REGULASI EMOSI DALAM MENGHADAPI MASA
PENSIUN PADA KARYAWAN PRIA PEKERJA TUNGGAL
DENGAN ANAK YANG MASIH SEKOLAH
Skripsi
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi
Program Studi Psikologi
Disusun oleh:
Klaudia Herba Ilona
NIM: 129114039
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI
JURUSAN PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
iv
HALAMAN MOTTO
“
What Goes Around Comes Back Around
”
Best Thing I never Had
–
Beyonce.
“
Some Were Born To Be Lucky. Some Were Born To Be Fighters
”
v
HALAMAN PERSEMBAHAN
vii
REGULASI EMOSI DALAM MENGHADAPI MASA PENSIUN PADA
KARYAWAN PRIA PEKERJA TUNGGAL DENGAN ANAK YANG
MASIH SEKOLAH
Studi Pada Mahasiswa Psikologi
Universitas Sanata Dharma Yogyakarta
Klaudia Herba Ilona
ABSTRAK
Pensiun merupakan hal yang wajar karena dialami oleh semua orang yang bekerja pada sebuah perusahaan atau institusi. Meskipun wajar, namun bagi sebagian orang pensiun dianggap sebagai beban karena hilangnya rutinitas yang telah dilakukan selama beberapa tahun serta berkurangnya pendapatan. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan regulasi emosi dalam menghadapi masa pensiun pada karyawan pria pekerja tunggal dengan anak yang masih sekolah. Pengumpulan data kualitatif dilakukan dengan wawancara personal dengan tiga informan. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif Analisis Isi Kualitatif (AIK) deduktif deskriptif. Uji kredibilitas yang digunakan dalam penelitian ini adalah Member Checking. Hasil penelitian menunjukkan bahwa proses regulasi emosi modulasi respon tidak muncul pada ketiga informan karena ketiga informan tidak menyadari adanya pengaruh kecemasan terhadap fisiologisnya. Selain itu, karyawan yang belum mempersiapkan masa pensiun sejak jauh hari merasa lebih tertekan dan terbebani daripada karyawan yang telah mempersiapkan masa pensiun sejak jauh hari. Peran keluarga sangat penting karena karyawan pria yang menghadapi masa pensiun banyak berdiskusi dengan istri untuk mempersiapkan kehidupan setelah pensiun nanti. Selain itu, peran dari perusahaan juga dibutuhkan untuk memfasilitasi pelatihan dan pembinaan agar para karyawan lebih siap dalam menghadapi masa pensiun.
viii
EMOTION REGULATION IN THE RELATION OF FACING PENSION
ON A MALE EMPLOYEE AS A SINGLE WORKER RAISING A CHILD
IN THE SCHOOL YEAR
A Study by a Psychology College Student
Sanata Dharma University
Klaudia Herba Ilona
ABSTRACT
Pension is a natural thing because it is experienced by everyone who is working at a company or an institution. Although it is reasonable, for several people pension is considered as a burden because of the disappear of daily routine which is done in numbers of years and the decreasing of the income. This study aimed to describe the regulation of the emotion which was faced by a male employee as a single worker raising a child in the school year. Qualitative data collection was done by conducting personal interview with three participants. This study used Content Analysis Qualitative (AIK) deductive descriptive method. Credibility test which was used in this study was Member Checking. The result of this study showed emotion regulation response modulation process did not appear in three interviewees because the interviewees were not aware of the existence of anxiety influence towards their fisiology. Besides, employee who did not prepare the pension time since a long time felt more pressures and burdens compared to employee who prepared the pension time since a long specified time. Family’s role was very important because male employee who faced pension time, discuss more with his spouse to prepare life afer pension. In addition, company’s role was also needed to facilitate training and development so that the employees would be much ready in facing pension time.
x
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala berkat, rahmat,
kasih setia, serta curahan Roh Kudus yang telah diberikan kepada penulis
sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Regulasi Emosi
dalam Menghadapi Pensiun pada Karyawan Pria Pekerja Tunggal dengan Anak
yang Masih Sekolah. Penelitian ini diajukan kepada Fakultas Psikologi
Universitas Sanata Dharma untuk memenuhi sebagian dari syarat-syarat guna
memperoleh gelar Sarjana Psikologi.
Dalam kesempatan ini pula, penulis ingin mengucapkan terimakasih yang
sebesar-besarnya kepada semua pihak yang turut memberikan bantuan, dukungan,
dan semangat hingga selesainya skripsi ini:
1.
Tuhan Yesus yang Maha Baik, atas segala berkat dan karunianya, yang
memberikan segala tantangan agar membentukku menjadi pribadi yang
lebih kuat dan tangguh namun tak pernah membiarkanku melewati segala
sesuatunya sendirian.
2.
Bapak Dr. T. Priyo Widianto, M.Si., selaku Dekan Fakultas Psikologi
Program Studi Psikologi Universitas Sanata Dharma.
3.
Bapak Paulus Eddy Suhartanto, M.Si., selaku Kepala Program Studi
Psikologi Universitas Sanata Dharma.
xi
maafkan kalo saya di awal agak jarang bimbingan hehe, meskipun
banyak kerikil tapi Ibu tetap yang terbaik! Makasih banyak Buuuu :
’
)
5.
Ibu Ratri Sunar Astuti, S.Psi., M.Si., Bapak Dr. T. Priyo Widianto, M.Si.,
dan Bapak TM. Raditya Hernawa, M.Psi., selaku dosen penguji.
Terimakasih banyak atas kritik dan saran yang membangun untuk skripsi
ini sehingga lebih layak untuk dipublikasikan.
6.
Ketiga informan saya beserta keluarga, terima kasih banyak. Tanpa
Bapak-Bapak sekalian, skripsi ini nggak akan ada. Tuhan memberkati,
Pak
7.
Pak Emanuel Satya dan Mas Ucil maLord atas bantuannya dalam
memecahkan kebingunganku. Upahmu besar si surga!
8.
Teruntuk
role model marriage goals. Lelaki yang tiada duanya di dunia
ini, Eusthasius Bambang Sutopo.!
And for his mate, yang katanya masih
muda kok anaknya udah gede, Yustina Sri Hernarita. Terimakasih atas
pelajaran hidupnya. This is for you guys, thank you so much!
9.
Lukianos Herbaian Ivory. Semakin dewasa kita semakin ngejaga satu
sama lain ya, Vor. Inget kita cuma berdua, kudu saling rukun yeay \m/
10.
Maria Grasia Deivi paketan sama Wisnu Cahya Ardian yang tercinta dan
xii
ganteng tapi jomblo terus
I Gede Sudana Sunarapuja yang kalo pas
suwung mesti nyulik terus tapi kalo pas isi gebetan gak pernah ngajak
main lagi apalagi setelah sibuk berbisnis huh,
ibu peri yang sekarang
suka jahat mulutnya hahaha
Agnes Fitisia Bella K terimakasih, White
House Bugisan mempersatukan kita semua, tekyaaaaan
Yosua Cahyo
Putro bocah paling nyathukan dan tekyan sepanjang segala masa hih
semoga bsk rejekimu melimpah yos jangan malu-maluin ah ya,
miss
kecantikan ever after
Sonia Chandrikinnanti ditunggu kabar baik
pernikahan yang sakinah mawadah waromahnya,
yang tercantik dan
eksotis
Komang Mahadewi Sandiasih makasih ya omang dulu pernah
sama-sama menguatkan disaat sama-sama ditinggalkan hahaha, dan
si
gondes pakem Nicolaus Chrisna Yudaaaaa koe tetep idolaku sakmodare
luv. Masa kuliahku hampa tanpa kalian. Aku rapuh porak poranda tanpa
kalian. Love you all. See you on top!
11.
Temen-temen seperjuangan bimbingan Ibu Ratri, Gektri, Sekar, Teteh,
Audrey, Dimas, Ema, Eni, Mbak Ella, Mbak Retha, semuanya aja tetep
semangaaaaaaaaat! Makasih buat dinamikanya selama ini ❤
xiii
13.
Miciners sejati dan pejuang nyekrip bersama Aprek, Erlin, Zelda, Benny,
Grego, Ema, Yudha, Gempol, Sonyol, Ayne, Lia, Bincik, Gungis, Chika
kalian sumber rasa umami di hidupku!
14.
Temen-temen Psikologi USD 2009-2016 makasih banyak atas
pertemanannya selama ini, memorable.
15.
Teruntuk kawan sepermainan sejak SMA, Jessica Alviona, si cina calon
psikolog juga dari kota sebelah yang gak garap skripsi malah sibuk
bakulan. Katarina Dian Apriliani, the hottest girl in the world uhhh~ dan
Ibu Agatha Virgo Christe Dollorosa, buruan lulus kuliah, katanya mau
program punya anak lagi, kasih kita ponakan yang lucu-lucu yah! Mas
Rully
and his girl
Rara, Rara Felisitas dan Gutomo, serta temen-temen
PL 2012, Gumyak Bareng, Southside, NII, Geng Nero, semuanya
terimakasih banyak :*
xiv
17.
Semua teman dan sahabat yang tidak bisa saya sebutkan satu per satu,
yang mengingatkan saya untuk tetap semangat meskipun begitu rumit
dinamika penulisan skripsi di fakultas ini, semoga kalian semua sukses
dan selalu dalam lindungan Tuhan. Amin!!
Akhir kata, penulis berharap bahwa skripsi ini dapat bermanfaat dan
memberikan kontribusi bagi perkembangan ilmu psikologi. Penulis menyadari
skripsi ini masih memiliki banyak keterbatasan. Oleh karenanya, penulis
menerima kritik maupun saran yang dapat membangun skripsi ini menjadi lebih
baik.
xv
DAFTAR ISI
Skripsi ... i
HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING ... ii
HALAMAN PENGESAHAN SKRIPSI ... iii
HALAMAN MOTTO ... iv
HALAMAN PERSEMBAHAN ... v
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi
ABSTRAK ... vii
ABSTRACT ... viii
LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK
KEPENTINGAN AKADEMIS ... ix
KATA PENGANTAR ... x
DAFTAR ISI ... xv
BAB I ... 1
PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang ... 1
B. Rumusan Masalah ... 6
C. Tujuan Penelitian ... 6
D. Manfaat Penelitian ... 7
1. Manfaat Teoritis ... 7
2. Manfaat Praktis ... 7
BAB II ... 8
TINJAUAN PUSTAKA ... 8
xvi
1. Emosi ... 8
2. Regulasi Emosi ... 9
B. Masa Pensiun Karyawan Pria... 12
1. Masa Pensiun ... 12
2. Dampak Pensiun pada Karyawan Pria Pekerja tunggal dengan Anak
yang masih sekolah ... 16
C. Kerangka Berpikir ... 19
BAB III ... 21
METODOLOGI PENELITIAN ... 21
A. Jenis dan Desain Penelitian ... 21
B. Fokus Penelitian ... 22
C. Informan Penelitian ... 23
D. Prosedur Pengumpulan Data ... 24
E. Prosedur Penelitian... 27
F. Metode Analisis Data ... 28
G. Kredibilitas Penelitian ... 28
BAB IV ... 30
HASIL DAN PEMBAHASAN ... 30
A. Persiapan dan Pelaksanaan Penelitian ... 30
B. Gambaran Informan ... 32
1. Data Informan ... 32
2. Latar Belakang Informan ... 32
C. Hasil Penelitian ... 41
1. Informan 1 (SG) ... 41
xvii
3. Informan III (BY) ... 55
D. Pembahasan ... 66
BAB V ... 74
KESIMPULAN DAN SARAN ... 74
A. Kesimpulan ... 74
B. Kontribusi Penelitian ... 75
C. Saran ... 76
1. Bagi Peneliti Selanjutnya ... 76
2. Bagi Karyawan Pria yang Menghadapi Masa Pensiun ... 77
3. Bagi Perusahaan dengan Karyawan yang Menghadapi Masa Pensiun .. 77
4. Bagi Keluarga Karyawan Pria yang Menghadapi Masa Pensiun ... 78
DAFTAR PUSTAKA ... 79
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Schwartz (Jahja, 2011) mengatakan bahwa masa pensiun mendorong
perubahan peran, perubahan keinginan dan nilai, serta perubahan secara
keseluruhan terhadap pola hidup individu. Pada masa pensiun, individu
diandaikan telah mencapai puncak karirnya sehingga dapat menikmati masa hidup
dengan lebih santai, rileks, tenang, dan bahagia karena tidak lagi terbebani dengan
berbagai tugas dan tanggung jawab dari instansi atau organisasi tempatnya
bekerja. Dengan berkurangnya tugas dan keterikatan terhadap organisasi ini, para
pensiunan memiliki lebih banyak waktu dan kesempatan bersama-sama dengan
keluarga atau pasangan, mengerjakan sesuatu yang disukai dan bukan pekerjaan
yang harus dikerjakan (Aidit, 2000; Handayani, 2013). Hadirnya waktu luang ini
bisa jadi membuka peluang bagi individu untuk memperhatikan kualitas
kesehatan dan meninjau ulang makna hidupnya (Aidit, 2000).
Perubahan-perubahan hidup tersebut tidak jarang mendatangkan rasa takut
pada individu yang menghadapi masa pensiun. Individu akan merasa berat untuk
meninggalkan pekerjaannya dan tidak mengetahui kehidupan macam apa yang
akan dihadapi selepas pensiun, sehingga menimbulkan kecemasan pada individu
dalam menghadapi masa pensiun (Sutrisno, 2013; Rini, 2001). Kecemasan itu
muncul karena ada tiga hal yang akan hilang saat pensiun, yaitu hilangnya
pendapatan dan status yang disandang (Handayani, 2013). Hasil penelitian dengan
subjek pegawai PT. Pos Indonesia menunjukkan bahwa pegawai yang
menghadapi masa pensiun merasa cemas karena nantinya mereka takut tidak
dapat memenuhi keingian keluarga dari sisi ekonomi. Penelitian yang dilakukan
oleh Yuliarti dan Mulyana (2014) juga menunjukkan bahwa pegawai yang
menghadapi masa pensiun merasacemas karena kurang mampu mengontrol
emosinya saat sedang marah.
Selain perubahan pola hidup, para pensiunan juga mengalami perubahan
dalam persoalan ekonomi (Suardiman, 2011). Uang jaminan pensiun yang mereka
terima jumlahnya lebih sedikit dibandingkan dengan gaji biasa yang mereka
terima ketika masih aktif bekerja. Hal ini akan berdampak pada kebutuhan fisik
mereka. Mereka khawatir nantinya tidak dapat mencukupi segala kebutuhan fisik
keluarganya apalagi jika mereka merupakan satu-satunya orang yang bekerja
dalam keluarga. Ditambah lagi, beban ekonomi akan makin terasa apabila seorang
pensiunan masih harus membiayai pendidikan anaknya (Bradbury, 1987; Prastiti,
2005).
Budaya patriarki masih sangat kental di negara ini dimana pria memiliki
peran yang lebih mendominasi dibandingkan wanita (Nimrah & Sakaria, 2015).
Masyarakat berpandangan bahwa pria merupakan kepala keluarga dan pemimpin
keluarga yang semestinya mencari nafkah di luar rumah untuk memenuhi
kebutuhan keluarga, sedangkan wanita dianggap sebagai sosok yang mengurus
pekerjaan rumah tangga (Omara, 2006). Konteks budaya ini memungkinkan
tersebut akan terasa berat karena disaat pensiun mereka masih harus membiayai
pendidikan anaknya apalagi ketika dirinya mempunyai anak lebih dari satu.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Nuraini (2013), diperoleh keterangan
bahwa subjek merasa cemas mengenai pendapatannya yang berkurang saat
pensiun sedangkan kebutuhan semakin meningkat dan anak masih memerlukan
biaya sekolah. Oleh karenanya, pensiun bukan hanya persoalan beban kerja yang
berkurang dan waktu luang yang lebih tersedia, namun bagi sebagian orang, masa
ini justru menciptakan permasalahan baru.
Robert Archley (Santrock, 2002) mengatakan bahwa ada dua fase yang
dilalui individu sebelum masa pensiun tiba, yaitu fase jauh dimana individu mulai
memikirkan dan menyiapkan masa pensiunnya dan fase mendekat dimana
individu mulai berpartisipasi pada program menjelang pensiun. Menurut Tarigan
(2002) masa kritis terjadi pada fase mendekat yaitu saat 1 sampai 2 tahun sebelum
pensiun, sehingga perubahan-perubahan yang menimbulkan kecemasan,
kekhawatiran dan stres akan semakin dipikirkan. Selanjutnya, individu akan
berusaha untuk meregulasi emosi yang muncul dalam menghadapi masa yang
tidak bisa diperkirakan ini (Gross, 2014). Pengaturan emosi ini diharapkan dapat
membantu individu agar mampu mereduksi tekanan dalam kehidupannya. Dengan
mengatasi tekanan tersebut, maka kesiapan akan perubahan-perubahan baru saat
masa pensiun tiba akan cenderung lebih mudah dihadapi.
Regulasi emosi merupakan strategi individu untuk mengatur dirinya dalam
mengekspresikan dan mengungkapkan emosinya untuk menunjukkan kemampuan
2012; Widuri, 2012). Gross (2014) menunjukkan bahwa ada lima bentuk dalam
proses regulasi emosi, yaitu pemilihan situasi (situation selection), modifikasi
situasi (situation modification), penyebaran atensi (attentional deployment),
perubahan kognitif (cognitive change) dan modulasi respon (response
modulation).
Maider (dalam Coon, 2005) menjelaskan bahwa salah satu faktor yang
mempengaruhi regulasi emosi seseorang adalah usia. Penelitian menunjukkan
bahwa semakin bertambahnya usia individu maka kemampuan regulasi emosi
akan semakin meningkat, di mana semakin tinggi usia individu semakin baik
kemampuan regulasi emosinya, sehingga dengan bertambahnya usia, ekspresi
emosi akan semakin terkontrol. Individu dengan usia paruh baya mampu
mempersiapkan diri dengan baik untuk mengatasi stres dibandingkan kelompok
usia lain karena mereka merasa memiliki kontrol diri yang stabil, sehingga dengan
kemampuan beradaptasi yang fleksibel dan kontrol emosi yang baik, mereka akan
melewati masa paruh baya dengan sukses (Lachman, 2004; Skaff, 2006;
Heckhausen, 2001; Klohnen, 1996; Lachman, 2004; Lachman & Firth, 2004,
dalam Papalia & Feldman, 2014). Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa jika
individu mampu menyesuaikan diri terhadap aspek keuangan dan pendidikan
anak-anaknya di masa pensiunnya, maka ia akan cenderung bahagia (Indrayani,
2013).
Selain usia, faktor lain yang mempengaruhi regulasi emosi adalah jenis
kelamin. Terdapat perbedaan tujuan antara pria dan wanita dalam
mengekspresikan emosi untuk menjaga hubungan interpersonal, sedangkan pria
untuk menunjukkan dominasi. Hal ini menunjukkan bahwa pria melakukan
regulasi terhadap emosi marah dan bangga, sedangkan wanita pada emosi takut,
sedih dan cemas (Fischer dalam Coon, 2005).
Dibandingkan dengan wanita, pria akan lebih sulit untuk melakukan
penyesuaian dalam memasuki masa pensiun (Hurlock, 2008). Hal ini dikarenakan
pria memiliki sedikit sumber pengganti yang dapat menghasilkan kepuasan, untuk
menggantikan kepuasan yang biasa diperoleh dari pekerjaannya dahulu daripada
yang dimiliki oleh wanita. Akibatnya, bagi mereka pensiun dirasa sebagai beban
mental dan mereka kurang dapat menyesuaikan diri dengan baik terhadap
perubahan peran yang dijumpainya selama pensiun (Jahja, 2011).
Peneliti akan menggunakan metode kualitatif untuk mengungkap gambaran
regulasi emosi pada karyawan pria dalam menghadapi masa pensiun. Sementara
itu penelitian mengenai kecemasan dan stres pada masa pensiun lebih banyak
dibahas dalam metode kuantitatif, namun lewat penelitian kualitatif ini diharapkan
pengalaman menghadapi pensiun mampu digali lebih dalam. Metode analisis data
yang akan digunakan adalah Analisis Isi Kualitatif terarah atau deduktif yang
bertujuan untuk menguji kembali data yang sudah ada dalam sebuah konteks baru
(Catanzaro, dalam Supratiknya, 2015). Peneliti akan melihat teori proses regulasi
emosi yang diungkapkan Gross pada konteks karyawan pria pekerja tunggal
dengan anak yang masih sekolah dalam menghadapi masa pensiun.
Berdasarkan paparan di atas, peneliti akan mencoba melihat gambaran proses
yang dimaksud dalam penelitian ini adalah pria yang menjadi pokok tulang
punggung keluarga dengan istri yang tidak bekerja dan tidak memiliki pendapatan
serta memiliki anak yang masih sekolah yang berada pada fase kritis yaitu 1-2
tahun menjelang pensiun. Karyawan dengan kriteria tersebut memiliki beban yang
lebih berat dibandingkan dengan karyawan pria yang istri dan anaknya bekerja,
serta dibandingkan dengan karyawan pria yang masih berada pada fase jauh
menjelang pensiun sehingga akan menimbulkan emosi negatif saat menghadapi
masa pensiun. Kemampuan regulasi emosi akan membantu individu untuk
mengurangi emosi negatif yang akan muncul karena beban ekonomi dari
pendidikan anaknya dan membantu menurunkan tingkat stres yang muncul karena
turunnya kondisi fisik dan psikis dari meningkatnya umur seseorang. Dengan
demikian, proses regulasi emosi akan menunjukkan bagaimana pola individu
dalam mengatur emosi mereka. Masa pensiun sendiri berada pada masa dewasa
akhir, sehingga dengan stresor yang terjadi dalam masa pensiun, individu
diharapkan dapat mengatur emosinya dengan lebih baik.
B.
Rumusan Masalah
C.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui regulasi emosi dalam menghadapi
masa pensiun pada karyawan pria pekerja tunggal dengan anak yang masih
sekolah.
D.
Manfaat Penelitian
1.
Manfaat Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat memperkaya kajian ilmu psikologi
perkembangan, khususnya gambaran proses regulasi emosi dalam menghadapi
masa pensiun bagi karyawan pria pekerja tunggal dengan anak yang masih
sekolah.
2.
Manfaat Praktis
a.
Memberikan gambaran kepada karyawan pria secara umum mengenai
pengalaman dinamika emosi yang muncul karyawan pria yang berada dalam
fase dekat pensiun dalam menghadapi masa pensiun, sehingga mampu
membandingkan pengalamannya dengan pengalaman orang lain.
b.
Memberikan gambaran mengenai pengaruh dukungan dan peran keluarga
8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A.
Regulasi Emosi
1.
Emosi
Emosi merupakan kecenderungan biologis maupun psikologis individu
untuk bertindak sesuai dengan pikiran dan perasaannya (Goleman, 2007).
Menurut James (Safaria & Saputra, 2009) emosi adalah keadaan jiwa yang
nampak dari perubahan yang jelas pada tubuh. Emosi cenderung terjadi pada
perilaku yang mendekati (approach) atau menghindari (avoidance) terhadap
sesuatu. Perilaku tersebut umumnya disertai dengan adanya ekspresi fisik,
sehingga orang lain dapat mengetahui bahwa individu sedang mengalami
emosi (Safaria & Saputra, 2009).
Menurut dampak yang ditimbulkan, emosi dibagi menjadi dua kategori
umum yaitu emosi positif dan emosi negatif (Safaria & Saputra, 2009). Emosi
positif memberikan dampak yang menyenangkan dan menenangkan seperti
tenang, santai, rileks, gembira, lucu, haru, dan senang. Emosi negatif
memberikan dampak tidak menyenangkan dan menyusahkan seperti sedih,
kecewa, putus asa, depresi, tidak berdaya, frustasi, marah, dendam, dan
lain-lain.
Pada umumnya emosi seringkali membantu dalam memfasilitasi interaksi
intensitas, dan durasi yang salah dalam sebuah situasi. Untuk itu individu akan
2.
Regulasi Emosi
Emosi merupakan proses yang melibatkan banyak komponen dan bekerja
terus menerus sepanjang waktu. Regulasi emosi juga melibatkan perubahan
dalam dinamika emosi, waktu munculnya, besarnya dan lamanya, serta
mengimbangi respon perilaku, pengalaman atau fisiologis. Regulasi emosi
dapat mengurangi, menguatkan atau memelihara emosi, tergantung pada tujuan
individu (Gross & Thompson, 2007).
Regulasi emosi merupakan kemampuan individu untuk mengatur dan
mengekspresikan emosi serta perasaannya sehingga akan menunjukkan
keseimbangan emosional dalam sikap dan perilaku (Widuri, 2012). Regulasi
emosi menunjukkan strategi yang digunakan individu untuk mengatur diri
dalam mengungkapkan emosi (Dennis dalam Aprisandityas & Elfida, 2012).
Menurut Gross & Thompson (2007), regulasi emosi adalah proses individu
mengatur emosinya, mulai dari bagaimana hal itu bisa terjadi hingga
bagaimana mengungkapkannya. Regulasi emosi merupakan kemampuan untuk
tetap tenang di bawah tekanan dengan memperhatikan ketenangan (calming)
dan fokus (focusing). Individu yang mampu mengelola kedua keterampilan ini
akan dapat meredakan emosi, berfokus pada pikiran yang menganggu,
sehingga dapat mengurangi stres (Reivich & Shatte dalam Umasugi, 2013).
Menurut Gross (2014), regulasi emosi memiliki tiga aspek, yaitu dilakukan
pada emosi negatif maupun positif, dilakukan secara sadar maupun tidak sadar
serta regulasi emosi mampu mengurangi stres atau mengubah stressor.
dalam menentukan keberhasilan individu agar mampu berfungsi dengan baik
dalam proses adaptasi dan memberikan respon serta menjadi individu yang
fleksibel dalam kehidupannya (Salamah, 2007).
Terdapat 5 rangkaian proses regulasi emosi yaitu pemilihan situasi
(situation selection), modifikasi situasi (situation
modification), penyebaran
perhatian (attentional deployment), perubahan kognitif (cognitive change) dan
modulasi respon (response modulation) (Gross, 2014). Pemilihan situasi
(situation selection) merupakan tindakan untuk mendekati atau menghindari
objek dan situasi tertentu sebagai usaha untuk mengurangi atau meningkatkan
emosi. Modifikasi situasi (situation modification) adalah memodifikasi situasi
secara langsung untuk mengubah dampak emosionalnya. Penyebaran atensi
(attentional deployment) merupakan bentuk pengalihan perhatian untuk
mempengaruhi sebuah perasaan. Hal ini dapat dilakukan dengan distraksi atau
konsentrasi, dan perenungan. Distraksi dilakukan dengan memindahkan
perhatian dari sebuah situasi yang dapat menimbulkan emosi ke situasi yang
tidak menimbulkan emosi. Konsentrasi adalah memfokuskan perhatian pada
situasi yang menimbulkan emosi. Perenungan dilakukan dengan mengarahkan
perhatian secara berulang pada perasaan yang dialami serta konsekuensinya.
Perubahan kognitif (cognitive change) yaitu menilai sebuah situasi sehingga
dapat mengubah makna yang menimbulkan emosi, dengan cara mengubah cara
berpikir. Dalam perubahan kognitif,
reappraisal biasa digunakan untuk
mengurangi atau menambahkan emosi positif maupun negatif. Modulasi
emosi. Respon tersebut dilakukan pada aspek fisiologis, seperti penggunaan
obat, alkohol, latihan, terapi, makan, dan relaksasi. Pengurangan perilaku
ekspresi emosi dikenal dengan istilah suppression.
Terdapat beberapa pendapat dari berbagai tokoh mengenai faktor yang
mempengaruhi regulasi emosi individu yaitu usia, jenis kelamin dan
religiusitas. Penelitian menunjukkan bahwa semakin bertambahnya usia
individu maka kemampuan regulasi emosi akan semakin meningkat, dimana
semakin tinggi usia individu semakin baik kemampuan regulasi emosinya,
sehingga dengan bertambahnya usia, ekspresi emosi akan semakin terkontrol
(Maider dalam Coon, 2005). Beberapa penelitian menemukan bahwa pria dan
wanita memiliki perbedaan dalam mengekspresikan emosi baik secara verbal
maupun ekspresi wajah. Wanita menunjukkan sifat feminimnya dengan
mengekspresikan emosi sedih, takut, cemas dan menghindari mengekspresikan
emosi marah dan bangga yang menunjukkan sifat maskulin. Perbedaan pria
dan wanita mengekspresikan emosi berkaitan dengan perbedaan tujuan pria
dan wanita dalam mengontrol emosinya. Wanita mengekspresikan emosi untuk
menjaga hubungan interpersonal serta membuat mereka tampak lemah dan
tidak berdaya, sedangkan pria untuk menunjukkan dominasi. Hal ini
menujukkan bahwa pria lebih dapat melakukan regulasi terhadap emosi marah
dan bangga, sedangkan wanita pada emosi takut, sedih dan cemas (Fischer
dalam Coon, 2005). Setiap agama mengajarkan individu untuk dapat
semakin berusaha untuk menampilkan emosi yang tidak berlebihan (Krause
dalam Coon, 2005).
Dengan ini dapat disimpulkan bahwa regulasi emosi merupakan usaha
individu untuk mengatur emosi positif dan negatif yang dimiliki. Terdapat 5
rangkaian proses regulasi emosi yaitu pemilihan situasi (situation selection),
modifikasi situasi (situation modification), penyebaran perhatian (attentional
deployment), perubahan kognitif (cognitive
change) dan modulasi respon
(response modulation). Regulasi emosi dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu
usia, jenis kelamin dan religiusitas.
B.
Masa Pensiun Karyawan Pria
1.
Masa Pensiun
Masa pensiun merupakan masa saat seseorang mencapai batas maksimum
bekerja, sehingga tidak bekerja lagi secara formal pada sebuah perusahaan atau
instansi (Parkinson, dalam Sutrisno, 2013).
Schwartz mengatakan bahwa
pensiun dapat merupakan awal dari hidup baru. Pensiun selalu menyangkut
perubahan peran, perubahan keinginan dan nilai, dan perubahan secara
keseluruhan terhadap pola hidup setiap individu (Jahja, 2011). Bagi karyawan
swasta, batas usia pensiun merujuk pada kebiasaan-kebiasaan yang berlaku
dalam perusahaan.
Robert Archley (dalam Santrock, 2002) mengatakan bahwa ada dua fase
pensiun yang dilalui oleh individu sebelum pensiun itu sendiri tiba, yaitu fase
individu mulai sedikit demi sedikit melakukan kegiatan yang bertujuan untuk
mempersiapkan masa pensiunnya. Individu pada fase ini mungkin akan
melakukan penyangkalan bahwa fase pensiun akan terjadi. Pada fase
mendekat, individu mulai berpartisipasi pada program menjelang pensiun.
Program ini akan membantu individu untuk mempersiapkan pensiun dengan
mengikuti diskusi kesehatan fisik dan mental. Menurut Tarigan (2002) masa
kritis terjadi pada saat 1 sampai 2 tahun sebelum pensiun.
Masa pensiun berada pada masa dewasa akhir dimana individu akan
mengalami transisi dari usia produktif menjadi usia non produktif (Hurlock,
2008). Usia paruh baya merupakan masa persiapan yang penting untuk
memasuki masa dewasa akhir (Lachman, 2004 dalam Santrock, 2012). Pada
masa dewasa akhir, individu akan mengalami peristiwa besar seperti kematian
orang tua, persiapan untuk pensiun dan pensiun itu sendiri. (Deeg, 2005 dalam
Santrock, 2012). Pada masa ini pula, individu akan mengenal krisis paruh baya
dimana individu akan menghadapi periode penuh dengan stres yang dipicu oleh
kajian dan evaluasi kembali atas kehidupannya (Lahcman, 2004, dalam
Papalia, 2014). Para peneliti menemukan bahwa dari kasus-kasus krisis paruh
baya, sepertiga diantaranya dipicu oleh peristiwa hidup seperti kehilangan
pekerjaan atau masalah finansial (Lachman, 2004, dalam Santrock, 2012).
Masa paruh baya tersebut juga meningkatkan stres secara signifikan dalam hal
keuangan atau yang melibatkan anak-anak (Papalia & Feldman, 2014).
Menghadapi usia paruh baya, pria mulai mengalami stres karena
proses, bukan merupakan suatu peristiwa (Moen dalam Santrock, 2012). Hal
ini berarti bahwa baik pria maupun wanita yang menjelang usia paruh baya
harus menyesuaikan diri dengan masa pensiun yang akan segera datang.
Masalah yang paling serius dan umum dalam masa pensiun adalah penyesuaian
diri karena berkaitan dengan anggota keluarga dan berhentinya pencari nafkah
dalam keluarga yang akan mempengaruhi pola hidup mereka. Wanita akan
lebih mudah untuk melakukan penyesuaian dalam memasuki masa pensiun
dibandingkan dengan pria (Hurlock, 2008). Pria tidak memiliki banyak sumber
pengganti kepuasan yang biasa didapatkan saat bekerja dulu dibandingkan
dengan wanita. Karena itu, pensiun dirasa sebagai beban mental bagi sebagian
pria dan mereka kurang dapat menyesuaikan diri dengan baik terhadap
perubahan peran yang dijumpainya selama pensiun (Jahja, 2011). Presentasi
konflik terbesar pada pria usia 50-60 menurut Perhitungan Burnemeister
mengenai konflik pekerjaan mencapai 29,70% (dalam Suardiman, 2011).
Permasalahan ini perlu dikonsultasikan kepada keluarga dan apabila
perilaku keluarga tidak menyenangkan dengan bersikap tidak peduli, maka
permasalahan ini akan terasa semakin berat. Bagi individu dewasa di usia
paruh baya yang telah mempersiapkan diri untuk menghadapi masa pensiun
dengan mencari kegiatan baru yang menarik dan mencari pekerjaan lain yang
menghasilkan pendapatan, biasanya akan lebih mampu menyesuaikan diri
terhadap hari tua dibandingkan individu dewasa di usia paruh baya yang tidak
Sisi positif dari individu paruh baya adalah mereka mungkin lebih mampu
untuk mengatasi stres dibandingkan kelompok usia lain (Lachman, 2004,
dalam Papalia & Feldman, 2014). Banyak individu dewasa di usia paruh baya
merasa memiliki kontrol diri yang stabil di kehidupan mereka (Skaff, 2006,
dalam Papalia & Feldman, 2014). Mereka juga belajar strategi yang lebih
efektif untuk menghindari, meminimalkan, atau mengubah situasi yang
membuat stres, serta lebih mampu untuk menerima apa yang tidak dapat
diubah (Papalia & Feldman, 2014). Individu dengan kelenturan ego atau
kemampuan untuk beradaptasi secara fleksibel dan individu yang mampu
mengontrol emosi akan lebih mungkin untuk mengarahkan lintasan paruh baya
dengan sukses (Heckhausen, 2001; Klohnen, 1996; Lachman, 2004; Lachman
& Firth, 2004, dalam Papalia & Feldman, 2014). Hasil penelitian juga
menunjukkan bahwa individu akan mendapatkan kebahagiaan apabila mampu
menyesuaikan diri terhadap aspek keuangan dan pendidikan anak-anaknya di
masa pensiunnya (Indrayani, 2013).
Berdasarkan penjelasan tersebut, dapat disimpulkan bahwa karyawan pria
pada fase mendekat yaitu 1-2 tahun menjelang pensiun berada dalam usia
paruh baya. Pada masa ini, pria lebih sulit dalam melakukan penyesuaian diri
menjelang pensiun dibandingkan dengan wanita karena berkaitan dengan
berhentinya pencari nafkah dan tentu akan mempengaruhi hidup mereka.
Dengan kemampuan kontrol diri yang lebih baik dibanding kelompok usia
lainnya, individu yang menghadapi masa pensiun diharapkan lebih mampu
di bidang yang baru dan mulai aktif mengikatkan diri pada bidang tersebut.
Selain
itu,
individu
diharapkan
untuk
mulai
mengkomunikasikan
permasalahannya dengan keluarga.
2.
Dampak Pensiun pada Karyawan Pria Pekerja Tunggal dengan Anak
yang Masih Sekolah
Individu diharapkan merasa senang saat pensiun tiba karena telah
mencapai puncak karirnya, sehingga dapat menikmati masa hidupnya dengan
lebih santai, rileks, tenang, dan bahagia karena tidak lagi terbebani dengan
berbagai tugas dan tanggung jawab dari instansi atau organisasi tempatnya
bekerja. Selain itu, individu akan memiliki lebih banyak waktu dan
kesempatan bersama-sama dengan keluarga atau pasangan, mengerjakan
sesuatu yang disukai dan bukan pekerjaan yang harus dikerjakan. Hal ini
dapat berdampak pada meningkatnya kualitas kesehatan karena berkurangnya
tekanan beban kerja yang harus dihadapi, sehingga dapat memaknai
kehidupannya dengan penuh keoptimisan (Aidit, 2000).
Berbeda dengan keadaan di lapangan dimana pensiun sering dianggap
sebagai kenyataan yang tidak menyenangkan, sehingga membuat sebagian
individu merasa cemas karena tidak tahu kehidupan macam apa yang akan
dihadapi setelah pensiun (Rini, 2001). Saat menghadapi masa pensiun individu
merasa takut dan cemas karena terjadi goncangan perasaan yang begitu berat
saat harus meninggalkan pekerjaannya (Sutrisno, 2013). Kecemasan itu muncul
karena ada tiga hal yang akan hilang saat pensiun, yaitu hilangnya kegiatan
kehilangan interaksi dengan teman kerja dan individu akan kehilangan
sebagian pendapatan dan status yang disandang. Ketika pensiun, seseorang
akan mengalami perubahan kondisi karena sudah tidak aktif bekerja lagi
(Handayani, 2013). Individu akan mengalami beberapa perubahan dalam
hidupnya, seperti perubahan ekonomi (Suardiman, 2011). Uang jaminan
pensiun yang mereka terima jumlahnya lebih sedikit dibandingkan dengan gaji
biasa yang mereka terima ketika masih aktif bekerja. Mereka khawatir nantinya
tidak dapat mencukupi segala kebutuhan keluarganya apalagi jika mereka
merupakan satu-satunya orang yang bekerja dalam keluarga.
Hasil penelitian mengenai hubungan antara kecemasan menghadapi
pensiun dengan semangat kerja pada pegawai PT. Pos Indonesia menunjukkan
bahwa kecemasan yang dirasakan pegawai yang menghadapi masa pensiun
berkaitan dengan ketakutan jika setelah pensiun nanti dirinya tidak bisa
sepenuhnya memenuhi semua keinginan anak maupun keluarganya dari segi
ekonomi, serta kurang bisa untuk mengontrol emosinya ketika sedang marah
(Yuliarti & Mulyana, 2014). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh
Nuraini (2013), diperoleh keterangan bahwa subjek merasa cemas akan
masalah pendapatan yang berkurang ketika sudah pensiun nanti, sementara
anak masih perlu biaya sekolah serta kebutuhan hidup yang terus meningkat.
Keadaan akan semakin sulit apabila beban pendidikan anak masih banyak
(Prastiti, 2005). Perubahan ekonomi yang dirasakan, seperti penghasilan
mereka akan berkurang dan masih harus membiayai anaknya sekolah atau
tugas perkembangan untuk memenuhi kebutuhan dan biaya kehidupan yang
semakin meningkat, termasuk juga saat anak mulai mengikuti kursus atau
ekstrakulikuler untuk mengembangkan kemampuannya (Fredericks & Eccles
dalam Santrock, 2012).
Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa karyawan pria
yang menghadapi masa pensiun mengalami masa krisis saat berada dalam fase
mendekat yaitu 1-2 tahun menjelang pensiun. Pada masa paruh baya, pria lebih
sulit dalam melakukan penyesuaian diri dalam menghadapi masa pensiun
dibandingkan dengan wanita karena berkaitan dengan berhentinya pencari
nafkah dan tentu akan mempengaruhi hidup mereka. Pensiun memberikan
dampak positif dimana individu dapat beristirahat setelah bekerja dalam waktu
yang lama dan merasa senang karena telah mencapai puncak karirnya,
sehingga dapat menikmati masa hidupnya dengan lebih santai, rileks, tenang,
dan bahagia karena tidak lagi terbebani dengan berbagai tugas dan tanggung
jawab dari instansi atau organisasi tempatnya bekerja. Kualitas kesehatan juga
akan meningkat karena berkurangnya tekanan pekerjaan sehingga dapat lebih
memaknai hidup. Selain itu, individu akan memiliki lebih banyak waktu untuk
pasangan dan keluarga. Dampak negatif dari pensiun adalah kehilangan
kegiatan rutin yang sudah dilakukan bertahun-tahun, kehilangan rekan kerja,
dan kehilangan sebagian pendapatan dan status yang dipandang. Individu akan
merasa cemas dan khawatir mengenai kehidupan seperti apa yang akan dijalani
setelah pensiun. Individu juga akan merasa khawatir jika tidak dapat memenuhi
C.
Kerangka Berpikir
Meskipun pada saat pensiun individu diharapkan dapat merasa bahagia
karena telah terbebas dari pekerjaan dan dapat menikmati waktunya bersama
keluarga, namun kenyataannya banyak individu yang takut dan cemas dalam
menghadapi masa pensiun. Beberapa penelitian menunjukkan kecemasan tersebut
dikarenakan individu tidak mengetahui kehidupan seperti apa yang akan mereka
alami kelak setelah pensiun termasuk dalam permasalahan finansial. Karyawan
pria dengan istri yang tidak bekerja dan anak yang masih bersekolah akan lebih
merasa takut dan cemas dalam menghadapi masa pensiun. Kecemasan,
kekhawatiran dan ketakutan tersebut merupakan bentuk emosi negatif sedangkan
bagi individu yang merasa bahagia dan siap menghadapi masa pensiun merupakan
bentuk emosi positif. Setiap individu cenderung akan mengatur emosi negatif dan
positif yang dimiliki dengan regulasi emosi. Salah satu faktor yang mempengaruhi
regulasi emosi adalah usia. Semakin bertambah usia, individu diharapkan semakin
mampu mengatur emosi yang dimiliki. Peneliti berasumsi bahwa karyawan pria
pekerja tunggal dengan anak yang masih sekolah memiliki beban yang lebih berat
dalam menghadapi masa pensiun di bandingkan karyawan pria yang istri dan
anaknya bekerja. Karyawan pria yang telah melakukan persiapan untuk masa
pensiunnya akan lebih mampu untuk menghadapi masa pensiun, sedangkan
karyawan pria yang belum melakukan persiapan cenderung akan merasa cemas,
khawatir dan takut. Masa pensiun berada dalam masa dewasa akhir sehingga
dalam menghadapi masa pensiun. Peneliti akan melihat bagaimana pola karyawan
pria dalam proses meregulasi emosinya menggunakan 5 bentuk regulasi emosi
yang dikemukakan oleh Gross yaitu pemilihan situasi (situation selection),
modifikasi situasi (situation
modification), penyebaran perhatian (attentional
deployment), perubahan kognitif (cognitive change) dan modulasi respon
(response modulation).
Skema 2.1 Skema Kerangka Berpikir
Masa Pensiun
Emosi Positif dan
Negatif
21
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A.
Jenis dan Desain Penelitian
Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif
adalah penelitian mengenai sebuah fenomena yang datanya diambil dari cerita
informan mengenai pengalamannya dalam menghadapi fenomena tersebut
(Supratiknya, 2015). Untuk menggali makna dari informan, peneliti akan terjun
langsung ke lapangan, untuk mengambil berbagai macam data, baik melalui
wawancara, observasi, maupun pengumpulan dokumen-dokumen. Secara umum,
penelitian kualitatif bersifat eksploratorik yaitu lebih mengandalkan data berupa
ungkapan atau penuturan dari para informan penelitian dalam mengeksplorasi
fenomena yang menjadi fokus penelitian (Supraktiknya, 2015).
Penelitian ini menggunakan desain Analisis Isi Kualtitatif (AIK). Hsieh &
Shanonn (Supratiknya, 2015) mendefinisikan AIK sebagai metode penelitian
untuk menguraikan data teks secara subjektif dengan cara mengklasifikasikan
secara sistematik menjadi sebuah kode, lalu dikelompokkan ke dalam tema atau
pola yang sesuai. Peneliti menggunakan Analisis Isi Kualitatif (AIK) dengan
pendekatan deduktif yang bertujuan untuk menguji kembali data yang sudah ada
dalam sebuah konteks baru, termasuk menguji kembali kategori, konsep, atau
hipotesis yang sudah pernah diperoleh (Catanzaro, dalam Supratiknya, 2015).
Pendekatan ini cocok diterapkan ketika sudah ada teori atau hasil penelitian
menggunakan metode deskriptif. Penelitian deskriptif adalah metode penelitian
yang berusaha menggambarkan objek apa adanya (Creswell, 2010). Tujuan
penelitian deskriptif adalah menggambarkan secara sistematsis fakta dan
karakteristik objek yang diteliti secara tepat (Sangadji & Sopiah, 2010).
Peneliti menggunakan jenis penelitian kualitatif dengan dengan analisis isi
deduktif deskriptif karena peneliti ingin menggambarkan proses regulasi emosi
dalam menghadapi masa pensiun yang dilakukan oleh karyawan pria pekerja
tunggal dengan anak yang masih sekolah secara sistematis berdasarkan
pengalamannya sendiri. Proses pengodean akan dilakukan dengan menggunakan
teori yang sudah ada mengenai proses regulasi emosi yang dijelaskan ke dalam
konteks baru yaitu dengan menggunakan informan karyawan pria pekerja tunggal
dengan anak yang masih sekolah.
B.
Fokus Penelitian
Fokus pada penelitian ini adalah proses regulasi emosi dalam menghadapi
masa pensiun pada karyawan pria pekerja tunggal dengan anak yang masih
sekolah. Ada lima rangkaian proses regulasi emosi yaitu pemilihan situasi
(
situation selection
), modifikasi situasi (
situation
modification
), penyebaran
perhatian (
attentional deployment
), perubahan kognitif (
cognitive change
) dan
modifikasi respon (
response modification
). Peneliti akan mengkaji bagaimana
karyawan pria pekerja tunggal dalam memproses regulasi emosi yang mereka
C.
Informan Penelitian
Informan dalam penelitian ini adalah karyawan pria pekerja tunggal dengan
anak yang masih sekolah, dan berada dalam fase dekat pensiun, yaitu 1-2 tahun
menjelang pensiun. Informan merupakan karyawan swasta yang memiliki anak
yang masih sekolah dan belum bekerja, serta memiliki istri yang tidak bekerja dan
tidak berpenghasilan. Dalam penelitian ini, dibutuhkan 3 orang informan yang
jujur dan dapat dipercaya, bersedia mengikuti prosedur penelitian sesuai dengan
kesepakatan bersama, bersedia terbuka menjawab pertanyaan berkaitan dengan
topik penelitian, serta yang terpenting informan merupakan seorang karyawan pria
yang memiliki anak yang masih sekolah dan sedang menghadapi masa pensiun.
Peneliti menggunakan karyawan sebagai syarat informan karena peneliti
melihat bahwa karyawan merupakan orang yang menawarkan jasa atau tenaga
kepada sebuah lembaga dan cenderung terikat dengan kontrak, sehingga
cenderung akan pensiun jika sudah memasuki batasan usia non produktif menurut
perusahaan atau lembaga tempatnya berkerja. Karyawan pria dipilih karena pria
dianggap sebagai tulang punggung keluarga dalam mencari nafkah. Karyawan
pria pekerja tunggal dengan anak yang masih sekolah menjelaskan bahwa
karyawan pria pekerja tunggalnya yang memiliki anak yang masih bersekolah.
Terdapat dua jalan dalam menemukan informan, yaitu keterangan orang yang
berwenang dan melalui wawancara pendahuluan (Prastowo, 2014). Peneliti akan
mengunakan dua cara tersebut dalam menemukan informan. Pertama, peneliti
selanjutnya peneliti akan melakukan wawancara pendahuluan terhadap orang
yang direkomendasikan tersebut.
D.
Prosedur Pengumpulan Data
Peneliti menggunakan teknik wawancara untuk menggali pengalaman sadar
dari karyawan pria pekerja tunggal dengan anak yang masih sekolah mengenai
proses regulasi emosinya. Teknik wawancara yang akan digunakan adalah
wawancara semi terstruktur, dimana peneliti dan informan akan melakukan dialog
secara langsung. Pertanyaan yang telah disusun sebelumnya dapat dimodifikasi
menurut respon dari informan penelitian. Peneliti dapat menyelidiki dan menggali
lebih jauh wilayah-wilayah menarik dan penting yang dipaparkan oleh informan
penelitian (Smith, 2009). Teknik ini akan memungkinkan peneliti untuk
mendapatkan jumlah data yang banyak, namun karena melibatkan aspek emosi,
maka dibutuhkan kerjasama yang baik antara peneliti dan informan (Sarwono,
2006).
Dalam penelitian ini, terdapat beberapa tahapan yang dilakukan peneliti
untuk mengumpulkan data, yaitu:
1.
Peneliti mencari informan yang sesuai dengan kriteria penelitian ini,
berdasarkan rekomendasi dari orang terdekat peneliti.
2.
Peneliti menyusun panduan pertanyaan sesuai dengan persetujuan dosen
3.
Peneliti melakukan wawancara pendahuluan terhadap informan, untuk
melihat apakah informan benar-benar sesuai dengan kriteria dalam
penelitian ini.
4.
Setelah mendapatkan informan yang sesuai dengan kriteria, peneliti
meminta persetujuan dan kesediaan informan untuk berpartisipasi dalam
penelitian ini. Peneliti juga menjelaskan tujuan dan manfaat penelitian ini
serta membangun raport dan mengatur jadwal wawancara dengan
informan.
5.
Peneliti mulai melakukan wawancara dengan informan.
Peneliti juga menggunakan beberapa media pembantu selama melakukan
wawancara, yaitu pedoman wawancara dan alat perekam dengan persetujuan
[image:43.595.87.513.235.748.2]informan. Berikut pedoman pertanyaan yang digunakan:
Tabel 3.1 Pedoman Wawancara
Aspek
Indikator
Pertanyaan
Emosi
Emosi
Tenang, santai, rileks,
gembira,
lucu,
haru,
senang.
Sedih, kecewa, putus
asa,
depresi,
tidak
berdaya, frustasi, marah,
dendam
Bagaimana perasaan anda saat
anda menyadari bahwa anda akan
pensiun dalam waktu dekat?
Regulasi Emosi
Pemilihan
situasi
Menghindari objek yang
meningkatkan emosi.
Menghindari objek yang
Apa yang anda lakukan saat anda
menyadari bahwa anda akan
mengurangi emosi.
Mendekati subjek yang
meningkatkan emosi.
Mendekati subjek yang
mengurangi emosi.
Apakah anda sempat menghindar
atau justru semakin berfokus pada
pekerjaan anda?
Perubahan
situasi
Mengubah situasi secara
langsung
untuk
mengalihkan emosi
Apa yang anda lakukan untuk
mengurangi dampak emosi yang
ditimbulkan dari permasalahan
ini?
Penyebaran
atensi
Memindahkan perhatian
dari sebuah situasi yang
dapat
menimbulkan
emosi ke situasi yang
tidak
menimbulkan
emosi
Memfokuskan perhatian
kepada
situasi
yang
menimbulkan emosi
Mengarahkan perhatian
secara berulang terhadap
perasaan yang dialami
dan konsekuensinya
Apakah
anda
pernah
melampiaskan
perasaan
anda
terhadap orang-orang atau hal-hal
yang
ada
di
sekitar
anda?
Terhadap siapa atau apa saja dan
apa yang anda lakukan terhadap
orang atau hal tersebut?
Saat
anda
mencoba
untuk
berfokus pada permasalahan anda,
apa yang anda rasakan? Apakah
anda akan merasa cemas dan
resah atau justru anda dapat
menemukan
cara
untuk
menyelesaikan
permasalahan
tersebut?
Perubahan
kognitif
Mengurangi
emosi
positif
Menambahkan
emosi
positif
Mengurangi
emosi
negatif
Bagaimana
anda
memandang
sebuah masalah? Apakah anda
pernah
mencoba
untuk
memandang permasalahan anda
Menambahkan
emosi
negatif
Perubahan
respon
Pengurangan
perilaku
emosi
Penggunaan
alkohol,
obat-obatan
Latihan, terapi, relaksasi
Makan
Bagaimana
cara
anda
untuk
meredam emosi saat menghadapi
masalah? apakah anda pernah
mengkonsumsi obat-obatan atau
alkohol?
E.
Prosedur Penelitian
Berikut ini merupakan prosedur penelitian yang dilakukan peneliti dalam
penelitian ini:
1.
Peneliti menentukan topik penelitian dan mengumpulkan data berkaitan
dengan penelitian ini untuk menyusun proposal penelitian.
2.
Peneliti berkonsultasi dengan dosen pembimbing dalam melakukan
penelitian ini.
3.
Peneliti menyusun pertanyaan wawancara.
4.
Peneliti mencari informan yang sesuai kriteria dengan cara melakukan
wawancara pendahuluan.
5.
Setelah mendapatkan informan yang sesuai, peneliti menjelaskan semua
hal yang berkaitan dengan penelitian ini, melakukan rapport, serta
melakukan pengisian
informed consent
sebagai persetujuan informan
untuk berpartisipasi dalam penelitian ini.
6.
Peneliti melakukan wawancara dengan menggunakan bantuan alat
7.
Peneliti melakukan verbatim rekaman data wawancara.
8.
Peneliti mulai melakukan koding dan intepretasi data untuk mendapatkan
hasil penelitian.
F.
Metode Analisis Data
Penulis akan melakukan analisis isi kualitatif terarah deduktif yang bertujuan
untuk memvalidasi atau menguji ulang sebuah teori (Hsieh & Shannon, dalam
Supratiknya, 2015). Untuk merumuskan pertanyaan dalam penelitian serta
menentukan skema pengodean untuk menentukan kategori secara deduktif,
peneliti menggunakan teori atau hasil penelitian yang sesuai.
Langkah awal yang dilakukan adalah membuat transkrip wawancara atau
verbatim dari rekaman selama wawancara. Setelah itu, peneliti membaca seluruh
transkrip wawancara dan menandai setiap bagian dari teks yang menunjukkan
proses regulasi emosi. Kemudian peneliti menentukan kode untuk teks yang sudah
ditandai menggunakan kode-kode yang sudah ada yaitu emosi positif dan emosi
negatif serta proses regulasi emosi yaitu pemilihan situasi (
situation selection
),
modifikasi situasi (
situation
modification
), penyebaran perhatian (
attentional
deployment
), perubahan kognitif (
cognitive change
) dan modulasi respon
(
response modulation
) (Hsieh & Shannon, dalam Supratiknya, 2015).
G.
Kredibilitas Penelitian
Moleong (2005) mengungkapkan bahwa uji kredibilitas digunakan untuk
kredibilitas
Member Checking
, yaitu pengecekan kembali pada partisipan
(Supratiknya, 2015). Tujuannya, untuk mengetahui seberapa jauh data yang kita
peroleh sesuai dengan apa yang diberikan oleh informan. Jika data yang
ditemukan disepakati oleh para informan, berarti data tersebut valid sehingga
semakin kredibel atau dipercaya (Prastowo, 2011). Dalam penelitian ini,
member
checking
akan dilakukan setelah proses wawancara berlangsung dan setelah
30
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A.
Persiapan dan Pelaksanaan Penelitian
Sebelum melakukan penelitian, peneliti membuat proposal hingga panduan
pertanyaan. Setelah itu peneliti melakukan diskusi dengan dosen pembimbing
untuk memastikan bahwa metode yang akan dilakukan sudah benar. Sembari
merumuskan panduan pertanyaan, peneliti mulai mencari informan penelitian
yang sesuai dengan kriteria, dibantu oleh orangtua peneliti dan teman peneliti.
Setelah mendapat persetujuan dari dosen pembimbing, peneliti mulai untuk
membuat janji dan melakukan rapport serta wawancara di satu hari yang sama,
karena peneliti sudah mengenal ketiga informan.
Pengambilan data pada penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari 2017.
Peneliti menggunakan teknik wawancara untuk menggali pengalaman sadar dari
ketiga informan. Waktu dan tempat wawancara sesuai dengan persetujuan
informan dan peneliti. Sebelum melakukan wawancara, peneliti melakukan
rapport pada informan dan menjelaskan tentang prosedur dalam penelitian yang
dilakukan. Selain itu, informan juga memberikan persetujuan melalui
informed
consent
.
Informan I (SG) merupakan ayah dari teman peneliti. Awalnya peneliti
meminta tolong pada teman peneliti untuk menanyakan kepada ayahnya apakah
ayah peneliti sesuai dengan kriteria yang dicari dan berkenan terlibat dalam
yang sedang dilakukan serta melakukan rapport. Selanjutnya peneliti memberikan
informed consent
dan mulai melaksanakan wawancara yang dilakukan di
kediaman SG pada hari Sabtu, 6 Januari 2017 pukul 11.00 hingga 14.30 WIB.
Informan II (NR) merupakan tetangga dari peneliti. Peneliti menemui NR untuk
menyampaikan tentang penelitian yang sedang peneliti lakukan dan menjelaskan
tentang kriteria yang peneliti cari. Lalu NR mengatakan jika memang sesuai maka
NR bersedia untuk menjadi informan dalam penelitian ini. Selanjutnya pada hari
Senin, 8 Januari 2017 peneliti melakukan rapport dan pemberian
informed
consent
. Wawancara dilakukan di kediaman NR mulai pukul 18.00 hingga 21.00
WIB. Informan III (BY) merupakan teman dari ayah peneliti. Ayah peneliti
membuatkan janji dengan BY untuk bertemu dengan peneliti pada hari Minggu,
29 Januari 2017 pukul 11.00 hingga 13.00 WIB, sehingga peneliti dapat
menjelaskan tentang penelitian ini, menyampaikan kriteria yang dibutuhkan
dalam penelitian ini dan menanyakan kesediaan BY untuk terlibat dalam
penelitian ini, serta memberikan
informed consent
. Setelah membuat transkrip
wawancara dengan BY, peneliti merasa perlu melakukan wawancara tambahan
sehingga peneliti membuat janji untuk melakukan wawancara kedua pada hari
[image:49.595.87.514.241.757.2]Selasa, 14 Maret 2017 pukul 19.00 hingga 20.30 WIB di kediaman BY.
Tabel 4.1. Pelaksanaan Wawancara
Kegiatan Informan I Informan II Informan III
Rapport, wawancara,
pengisian Informed Consent
Sabtu, 6 Januari 2017 pukul 11.00-14.30 di kediaman SG
Senin, 8 Januari 2017 pukul 18.00 – 21.00 di kediaman NR
Minggu, 29 Januari 2017 pukul 11.00-13.00
di kediaman BY
Selasa, 14 Maret
2017 pukul 19.00-20.30
Member Checking
Jumat, 17 Maret
2017 pukul 11.00-13.00 di kediaman SG
Kamis, 16 Maret
2017 pukul
18.00-19.30 WIB di
kediaman NR
Minggu, 19 Maret 2017 pukul 11.00-12.30 di Kediaman BY
[image:50.595.83.511.136.658.2]B.
Gambaran Informan
1.
Data Informan
Tabel 4.2. Data Informan
Keterangan Informan I Informan II Informan III
Nama Inisial SG NR BY
Usia 54 tahun 55 tahun 55 tahun
Pendidikan SMA S1 S1
Agama Katholik Kristen Islam
Jumlah Anak 2 2 1
Usia Anak 22 th dan 17 th 17 th dan 13 th 16 th
2.
Latar Belakang Informan
a.
Informan I (SG)
SG merupakan seorang
layout editor
di sebuah perusahaan media
cetak di Yogyakarta. SG berusia 54 tahun dan tinggal di Minomartani
bersama istri dan dua orang anak laki-laki. Anak pertama SG merupakan
mahasiswa semester 10 di salah satu perguruan tinggi swasta di Yogyakarta
yang saat ini sedang menyelesaikan skripsinya. Anak kedua SG duduk di
bangku kelas 3 sekolah menengah atas di salah satu sekolah swasta di
Yogyakarta. Istri SG merupakan seorang ibu rumah tangga. Dulunya istri
SG merupakan seorang penjahit dan memiliki 2 orang pegawai, namun pada
saat krismon tahun 1998, usahanya mengalami kebangkrutan.
SG ingin pensiun dini dari pekerjaannya karena SG sudah merasa
perkembangan media elektronik yang semakin pesat. Namun istrinya tidak
menyetujui keputusan SG untuk pensiun dini karena mumpung masih ada
pekerjaan yang bisa dikerjakan dan daripada menganggur di rumah. SG
memiliki kegiatan bersama istri yaitu memasak sayuran untuk dijual di
warung makan setiap pagi dan menerima pesanan
catering
. SG merasa
pemasukan dari usahanya bersama istri akan lebih baik jika dikembangkan
daripada terus mengandalkan pemasukan dari perusahaan.
SG ingin mengembangkan usahanya bersama istri dengan membuka
warung makan namun istri tidak setuju dan masih takut mengambil resiko
untuk mengontrak kios. Dengan modal berpikir yang SG miliki dan
kemampuan istrinya, SG yakin usaha tersebut bisa berkembang dengan
baik. SG sering mendiskusikan hal tersebut bersama istrinya bahwa SG
hanya memiliki waktu setahun-dua tahun lagi untuk bekerja.
Dalam menghadapi masa pensiun, SG merasa siap karena memang
sudah menjadi keinginannya sejak dulu karena merasa perusahaan sudah
tidak berkembang lagi. SG memiliki rencana untuk pensiun pada awal tahun
2017 sehingga SG meminta anak pertamanya untuk menyelesaikan skripsi
di tahun 2016. Namun kenyataannya anaknya tidak selesai dan akhirnya SG
membatalkan niatnya untuk pensiun dini. SG terkadang merasa marah
kepada anaknya karena program yang SG rencanakan tidak bisa berjalan.
SG merasa bahwa hal tersebut menjadi beban untuk dirinya.
Selain karena anaknya belum lulus, SG juga merasa kurang mendapat
sedikit. Istri juga meminta SG mencari kerja lagi untuk tambah-tambah. SG
mengatakan kepada istrinya bahwa SG mampunya segini, istri diajak usaha
bersama juga tidak mau dan SG merasa di usia yang sekarang ini tidak akan
ada yang mempekerjakan SG karena kualitas yang dimiliki, namun hanya
karena kasihan. Terkadang SG juga merasa bersalah karena saat menolak
saat diberikan tawaran untuk membantu cabang baru di luar pulau karena
sudah merasa nyaman di Jogja. SG tidak menyangka karirnya akan hancur.
Meski rencananya tidak bisa berjalan, SG tetap bersemangat dalam
bekerja. SG tidak merasa adanya perubahan dalam dirinya. Jika semangat
menurun maka teman-teman juga bisa
down
karena SG merasa menjadi
panutan bagi teman-teman kerjanya. Jika SG tidak masuk, SG merasa
kasihan dengan teman-temannya karena pekerjaannya akan ditanggung oleh
teman-temannya mengingat media cetak adalah pekerjaan yang dikejar
deadline
setiap malam harus selesai untuk disebarkan keesokan harinya.
Dalam dunia pekerjaannya, SG merasa bahwa menjadi wartawan itu
ada dua jalan, jalan yang lurus atau menjadi mafia. Jika menjadi mafia akan
memiliki banyak uang. Namun SG tetap memilih untuk di kantor saja
karena SG merasa kasihan dengan keluarga. Jika keluarganya diberi makan
atas keringat sendiri maka hasilnya akan baik dan tidak macam-macam. Jika
SG memiliki masalah dengan teman kerjanya, SG memilih untuk
menghindar dan tidak mendekati orang yang menyebalkan karena pada
Ketika berada dalam masalah, SG cenderung akan pergi ke gereja
untuk berdoa atau pergi berziarah. SG merasa terbantu dan tenang jika
sudah ke Gereja. SG juga tidak pernah marah sampai meledak-ledak dan
memilih untuk pergi. SG merasa dalam hidup ini tidak perlu muluk-muluk,
yang terpenting masih bisa bekerja dan menghasilkan untuk anak, meskipun
keinginannya tidak dapat terpenuhi. SG juga menekankan kepada anaknya
bahwa tidak bisa memberikan harta, hanya mampu menyekolahkan. Jika
anak-anaknya bisa mendapatkan beasiswa itu merupakan nilai tambah untuk