• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sahabat Senandika

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Sahabat Senandika"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

Sahabat Senandika

Newsl et t er Bul anan t ent ang Dukungan unt uk Odha

Yayasan Spiritia

No. 15, Februari 2004

Daftar Isi

Laporan Kegiatan 1

Pertemuan dengan Perusahaan Obat

di San Francisco 1

Pertemuan Nasional Odha IV,

Jawa Timur 19 - 24 Februari 2004 2

Pengetahuan adalah Kekuatan 3

Mobilisasi Komunitas Penting untuk

Keberhasilan “3 pada 5” 3

d4T/3TC/nevirapine Pilihan Terbaik

untuk “3 pada 5” 4

Terapi Antiretroviral Dapat Ditunda

Sampai CD4 Menjadi 200 5

Konsultasi 6

Tanya - jawab 6

Tips... 6

Tips untuk orang dengan HIV 6

Positif Fund 6

Laporan Keuangan Positif Fund 6

Pertemuan dengan

Perusahaan Obat di San

Francisco

Oleh Babe

Saya mengikuti pertemuan Badan Penasihat Komunitas Se-dunia (World Community Advisory Board/CAB) di San Francisco, AS, 4–7 February 2004. Pertemuan tersebut, yang dilaksanakan oleh CAB Eropa, dihadiri oleh 30 aktivis, sebagian besar hidup dengan HIV/AIDS, dari lima wilayah: Amerika Utara, Eropa termasuk bekas Uni Soviet, Afrika, Asia-Pasifik dan Amerika Latin/Karibia.

Tujuan utama pertemuan tersebut adalah untuk berunding dengan empat perusahaan obat multinasional: Bristol-Myers Squibb (BMS); Hoffman la Roche (Roche); Glaxo Smith Kline (GSK); dan Boehringer Ingelheim (BI). BMS (produsen ddI dan d4T) ternyata membatalkan kehadirannya tanpa alasan. Ada harapan bahwa Merck Sharpe & Dohme (MSD, produsen

efavirenz) dapat mengisi kekosongan, tetapi hal ini tidak terjadi.

Hari pertama diisi dengan pertemuan tertutup di antara aktivis, untuk saling kenal dan membahas strategi untuk pertemuan berikut. Ada sesi tentang masalah dasar dan kebijakan perusahaan dalam penentuan harga yang diberikan oleh Rachel Cohen dari MSF; ini sangat membantu kami untuk

mengerti latar belakang.

Satu masalah yang cukup rumit adalah beberapa pembagian dunia yang dipakai untuk menentukan harga. Misalnya, ada daftar “Least Developed Countries (negara yang paling kurang berkembang)” yang dikeluarkan oleh UNCTAD (Komisi PBB untuk perdagangan dan perkembangan) dan hampir semua perubahaan obat memberikan harga yang termurah pada negara dalam daftar ini, ditambah semua negara di Afrika sub-Sahara. Namun daftar ini mengeluarkan beberapa negara yang cukup

miskin, termasuk Indonesia. Ada daftar lain dari Bank Dunia yang membagikan negara menjadi “lower income (penghasilan rendah)”, “lower middle income (penghasilan sedang rendah)” (Indonesia termasuk negara di daftar ini), dan “upper middle income (penghasilan sedang tinggi)”. Negara di Afrika utara, misalnya Mesir dan Maroko, sebagian besar negara di Amerika Latin/Karibea, dan sebagian besar negara di Eropa timur, tidak memenuhi syarat untuk mendapatkan harga obat yang paling murah, walaupun tingkat kemiskinan di antara Odha di negara tersebut cukup tinggi. Ada kesepakatan untuk meminta badan PBB yang mengeluarkan daftar tersebut agar meninjaunya kembali.

Seperti kita ketahui, hak kepemilikan intelektual (HaKI) ditentukan oleh suatu kesepakatan antara negara anggota World Trade Organization (WTO) yang disebut TRIPs. Ini memberi kelonggaran kepada anggota untuk membuat atau mengimpor obat generik yang masih di bawah paten dalam keadaan tertentu. Namun, pemerintah AS saat ini mempunyai kebijakan untuk membuat perjanjian perdagangan ‘bilateral’ (antara dua pihak) yang

(2)

mengurangi kelonggaran yang diberikan oleh TRIPs, misalnya dengan memperpanjang masa paten menjadi 30 tahun dan membatasi

penggunaan data uji klinis oleh perusahaan generik waktu memohon persetujuan—hal ini memaksakan perusahaan generik melakukan uji klinis sendiri, yang sangat mahal dan juga tidak etis. Ada indikasi bahwa kebijakan AS tersebut dipaksakan oleh perusahaan obat dan peserta pertemuan kesepakatan bahwa kebijakan ini harus dilawan.

Masing-masing perusahaan obat ditemui sendiri dan diberi waktu untuk menjawab beberapa pertanyaan yang dikirim kepadanya sebelumnya. Namun dengan pemanduan yang cukup kuat, mereka tidak diperbolehkan mengendalikan pertemuan dan ada kesempatan untuk membahas sebagian besar masalah yang kami rencanakan.

Saya tidak akan melaporkan secara rinci semua masalah yang diangkat—kalau ada yang ingin tahu, saya sudah menyediakan laporan enam halaman dalam bahasa Inggris. Kesan yang diberikan oleh masing-masing perusahaan sangat berbeda. Roche sangat tajam, dan tidak sanggup membahas masalah harga nelfinavir sama sekali. Kami juga sangat tidak puas dengan kebijakannya terkait dengan uji klinis obat anti-HIV terbaru (T-20, yang harus disuntik dua kali sehari) di Thailand. Padahal peraturan internasional (Helsinki Agreement) untuk

pelaksanaan uji klinis mengharuskan agar obat yang diuji coba akan tersedia dan mampu diperoleh di tempat uji klinis. T-20, yang dipasarkan dengan harga lebih dari 20.000 dolar AS per tahun, tidak mungkin akan dimanfaatkan oleh sebagian besar Odha di Thailand.

GSK lebih ‘hormat’ dalam hubungannya, tetapi tidak menawarkan hasil yang lebih fleksibel.

Kebijakan harganya sangat tidak transparan, dengan harga yang paling murah disediakan untuk obat yang dibeli dengan dana dari Global Fund dan lebih mahal bila dibeli oleh pemerintah di negara yang sama. Solusinya: “cari dana dari Global Fund!”.

Kesan dari BI yang paling baik. Mereka sanggup memberi licence secara sukarela pada produsen obat generik di semua negara berkembang. Royalty yang harus dibayar adalah 3 persen dari harga jual, tetapi uang ini harus diberikan pada program HIV di negara tersebut. Selain itu, kami membahas masalah kerancunan hati (hepatotoksistas) dan ruam yang sering muncul sebagai efek samping—lihat artikel terpisah mengenai masalah ini.

Setelah pertemuan dengan perusahaan obat, kami ada pembahasan akhir, antara lain untuk

menentukan tindak lanjut. Juga ada pembahasan antara utusan dari Asia-Pasifik: Subha Raghavan, dari SAATHII—Solidarity and Action Against the HIV Infection in India, India; Paisan Suwannawong dan Karyn Kaplan, dari TTAG—Thai AIDS Treatment Action Group, Thailand; John Daye, NAPWA—National Association of People With AIDS, Australia; dan saya, mengenai tindak lanjut. Apakah sebaiknya kami membentuk CAB untuk daerah ini? Atau coba bekerja sama dengan organisasi yang sudah ada, misalnya APN+ atau APCASO? Satu masalah adalah bahwa wilayah ini sangat besar dan sangat beraneka ragam dan untuk mewakili semua masalah dari India ke Cina dan Fiji sangat rumit. Belum ada kesimpulan tentang masalah ini, tetapi kami akan tetap membahas melalui e-mail. Jika ada masukan dari pembaca, silakan kirim ke saya <chrisg@rad.net.id>.

Untuk saya, pertemuan ini sangat bermanfaat, terutama untuk mendengar masalah yang dihadapi oleh Odha di negara dan wilayah lain dan untuk belajar dari pengalaman mereka.

Pertemuan Nasional Odha

IV, Jawa Timur 19 - 24

Februari 2004

Oleh : J. O. Baju Pradjanto

Akhir Februari lalu diadakan Pertemuan Nasional Odha IV di salah satu kota di Jawa Timur. Acara ini dengan judul Lokakarya Pemahaman HIV/ AIDS untuk Peningkatan Dukungan IV dihadiri oleh 61 peserta dari 28 kota dan 19 propinsi di Indonesia yaitu: Medan, Denpasar, Singaraja, Yogyakarta, Semarang, Bandung, Subang, Cianjur, Batam, Pekanbaru, Pontianak, Kupang, Balikpapan, Mataram, Sumbawa, Lampung, Bengkulu,

Banjarmasin, Ujung Pandang, Surabaya, Palu, Manado, Timika, Jayapura, Sorong, Merauke, Manokwari dan Jakarta. Sebagian besar peserta adalah orang yang hidup dengan HIV.

(3)

ada acara dengan berupa sesi antara lain Hidup Positif oleh seorang nara sumber yang

berkompeten dalam bidang ini, juga ada sesi dari beberapa dokter tentang Infeksi Oportunistik, Hubungan Pasien dengan Dokter. Selain itu yang terpenting adalah kesempatan teman-teman seluruh Indonesia dapat bertemu satu sama lain dan menjalin hubungan.

Di hari awal, mendapatkan sesi tentang berbagi pengalaman tentang Dasar-dasar HIV/AIDS, dilanjutkan dengan berbagi pengalaman dari beberapa alumni PNO sebelumnya yang sangat membuat peserta terharu sekaligus menjadikan semangat buat diri sendiri.

Pada hari ketiga ada acara bebas dimana sebagian peserta ada yang ikut study tour ke Surabaya, jalan-jalan ke air terjun, serta tinggal di hotel dengan menonton film tentang HIV/AIDS. Banyak pengalaman yang di dapat peserta selama acara bebas ini, yang kemudian pengalaman ini dibagikan pada keesokan harinya pada saat membuka hari.

Kemudian Spiritia juga mengundang salah seorang nara sumber di bidang media, seorang penyiar radio yang membawakan pengalamannya mewawancarai odha, sesi ini dibawakan dengan berbagai role play bagaimana menghadapi

pertanyaan-pertanyaan dari penyiar yang cenderung memojokkan odha, serta ada peserta yang berbagi pengalamannya tentang wawancara di radio, karena ada sebagian peserta yang sudah pernah

diwawancarai oleh radio, televisi atau surat kabar. Kita sengaja lebih memilih radio karena sarana radio lebih memasyarakat dan cenderung hanya suara saja tanpa ada tampilan wajah.

Dalam pertemuan nasional ini, diadakan tes CD4 secara cuma-cuma oleh salah satu laboratorium dari Bali sehingga kesempatan ini bisa dimanfaatkan oleh peserta yang berasal dari daerah yang tidak ada fasilitas tes CD4. Tentu saja dilakukan konseling sebelum dan sesudah tes CD4. Hasil tes yang keluar setelah dua hari menunjukkan bahwa sebagian peserta ada yang sudah waktunya untuk memulai pengobatan ARV, tetapi tidak sedikit pula yang masih cukup tinggi kadar CD4-nya.

Pada acara ini kita menghasilkan suatu pernyataan yang disebut Pernyataan Tretes yang isinya kurang lebih adalah janji kita semua yang hadir, agar ikut terlibat dalam penanggulangan HIV/AIDS dan mengurangi angka kematian odha di seluruh Indonesia.

Acara ditutup dengan malam keakraban yang difasilitasi oleh teman-teman dari kelompok

dukungan Friend Plus serta sumbangan acara dari Perwakos (Persatuan Waria Kota Surabaya), Friend Plus juga banyak membantu terselenggaranya acara ini sebagai panitia lokal. Acara penutupan lebih berarti bagi peserta dikarenakan hadirnya Dirjen P2ML, dr Haikin Rahmat yang secara langsung berdiskusi dengan peserta, yang mana diskusi ini sangat membantu peserta terutama yang berada di daerah, kesulitan-kesulitan apa saja yang dihadapi di daerah-daerah. Setelah itu tiap-tiap propinsi

memberikan sumbangan acara baik lagu, joget/ tarian atau drama.

Keesokan harinya, peserta pulang kembali ke daerah masing-masing dengan membawa banyak pengalaman serta banyak teman baru dan kita semua yang hadir di acara ini berharap dapat melanjutkan perjuangan odha dalam ikut terlibat dalam penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia.

Pengetahuan

adalah Kekuatan

Mobilisasi Komunitas

Penting untuk Keberhasilan

“3 pada 5”

Oleh Keith Alcorn, 1 Desember 2003

Rencana WHO “3 pada 5” mengharapkan bahwa organisasi komunitas, termasuk kelompok orang yang hidup dengan HIV/AIDS (Odha) akan memain peranan kunci dalam peningkatan pengobatan. Hal ini bukan hanya agar mengisi kekosongan dalam layanan perawatan kesehatan di negara-negara yang sangat terpengaruh, tetapi tanggapan pada bukti dari program percobaan awal. Program tersebut menunjukkan bahwa keterlibatan komunitas adalah unsur kunci untuk menjamin pengobatan diterima. Membuat pengobatan bagian dalam bentuk sosial daripada upaya yang

tersembunyi adalah satu-satunya cara untuk menjamin kepatuhan jangka panjang.

(4)

sebelum pengobatan dimulai. Selain itu harus diajarkan keringanan gejala yang dasar, serta dukungan nutrisi dan keterampilan perawatan di rumah. Yang paling penting, ‘melek huruf’ pengobatan—pemahaman dasar tentang pengobatan HIV—harus didorong, agar meyakinkan masyarakat tentang manfaat mengetahui status HIV-nya.

Satu kegiatan yang harus dilakukan secara dini dalam program nasional apa pun adalah penilaian kemampuan komunitas. Organisasi komunitas adalah di mana, ada berapa, dan apa yang mereka lakukan? Dinas kesehatan akan didorong agar mengembangkan rencana untuk pelatihan komunitas dan membentuk panitia koordinasi komunitas.

Setelah obat antiretroviral (ARV) tiba dalam sebuah komunitas, konseling kepatuhan harus dilakukan oleh anggota komunitas. Diharapkan Odha akan memain peranan utama dalam proses pendidikan ini, seperti terjadi di proyek MSF di Khayelitsha di Afrika Selatan.

Meluaskan kader petugas kesehatan komunitas yang mempunyai keterampilan dasar untuk meresepkan obat akan penting. Petugas ini juga harus dilibatkan dalam distribusi obat dan memantau efek samping, serta catatan medis dan tes HIV.

WHO juga ingin mendanai organisasi advokasi dalam komunitas yang dapat merangsang pemerintah, LSM dan sektor swasta menuju rencana pengobatan yang disetujui secara nasional. WHO mengakui pentingnya jaringan advokasi pengobatan di Afrika Selatan, Kenya dan Thailand dalam memaksakan pemerintah agar bertindak, dan dalam mengembangkan kampanye melek huruf pengobatan yang dimiliki oleh komunitas.

Agar tujuan “3 pada 5” dicapai, WHO menganggap bahwa harus ada kemitraan antara pusat perawatan kesehatan resmi dan 30.000 organisasi komunitas dalam 60 negara yang menyampaikan program pengobatan skala besar pada akhir 2005.

URL: http:/ / www.aidsmap.com/ news/ newsdisplay2 .asp?newsId=2 4 4 9

d4T/3TC/nevirapine Pilihan

Terbaik untuk “3 pada 5”

Oleh Keith Alcorn, 1 Desember 2003

Pakar internasional bersepakat bahwa kombinasi tiga obat d4T (stavudine), 3TC (lamivudine) dan NVP (nevirapine) kemungkinan pilihan terbaik untuk segera melaksanakan pengobatan antiretroviral (ARV) dalam rangkaian terbatas sumber daya. Usulan ini disetujui pada konsultasi yang disokong oleh WHO dan UNAIDS di Zambia pertengahan November dan mengikuti usulan serupa dari pertemuan mufakat disokong oleh MSF pada September 2003.

d4T/3TC/NVP dianggap pilihan terbaik karena tidak membutuhkan pemantauan Hb sebelum mulai pengobatan, yang dibutuhkan bila AZT dipakai. Pasien dengan Hb rendah dan anemia sedang atau ringan kemungkinan akan mengalami anemia parah bila diobati dengan AZT.

Namun, konsultasi para ahli tidak mengusulkan tes enzim hati secara berkala. Toksisitas (keracunan) hati adalah efek samping dari pengobatan dengan NVP, dan perempuan lebih berisiko. Tetapi laporan konsultasi menyatakan: “Penilaian laboratorium untuk toksisitas harus tergantung pada gejala dan tidak dilakukan secara berkala pada tingkat apa saja.” Pasien yang mengalami gejala toksisitas akan dirujuk pada rumah sakit tertentu agar dokter dapat menentukan perubahan pada pengobatan. Klinik kesehatan setempat akan mampu meresepkan dan menyampaikan ARV setelah petugasnya dilatih, ketersediaan obat dapat dijamin dan ada sistem catatan medis dibentuk dan dijamin kerahasiaan.

(5)

Terapi Antiretroviral Dapat

Ditunda Sampai CD4

Menjadi 200

Oleh Michael Carter, 26 November 2003

Adalah aman bila Odha menunda terapi

antiretroviral (ART) sampai jumlah CD4 turun menjadi 200, asal mereka patuh pada terapinya setelah mulai. Ini menurut penelitian Kanada yang diterbitkan di Annals of Internal Medicine edisi 18 November 2003. Para peneliti Kanada juga

menemukan bahwa asal patuh pada terapi, pasien yang mulai pengobatan anti-HIV sewaktu jumlah CD4-nya 200 kemungkinan bertahan hidup serupa dengan mereka yang mulai ART dengan jumlah CD4 350 atau lebih.

Waktu terbaik untuk mulai ART belum diketahui. Pedoman saat ini dari British HIV Association menyatakan bahwa Odha sebaiknya mulai ART sebelum jumlah CD4-nya turun di bawah 200 dan ART sebaiknya dipertimbangkan bila jumlah CD4 adalah antara 200 dan 350. Pedoman lain, terutama yang dipakai di AS, lebih berhati-hati, dengan usulan untuk mulai ART pada jumlah CD4 yang lebih tinggi. Usulan tersebut sebagian berdasarkan penelitian yang memberikan kesan bahwa pasien yang menunda ART sampai jumlah CD4 di bawah 350 akan lebih cepat meninggal.

Para peneliti Kanada dari penelitian HAART Observational Medical Evaluation and Research (HOMER) mencatat bahwa penelitian sebelumnya tidak menilai kepatuhan. Padahal, kepatuhan adalah peramal kunci keberhasilan ART. Oleh karena itu, mereka ingin menentukan interaksi antara jumlah CD4 pada awal dan tingkat kepatuhan pada angka kematian setelah mulai ART.

Penelitian tersebut melibatkan 1.422 pasien yang mulai ART antara 1996 dan 2000, dan dipantau sampai awal 2002. Pasien digolongkan berdasarkan jumlah CD4 pada awal, dan dibagi lagi dalam kelompok patuh dan tidak patuh berdasarkan pengambilan resepnya pada tahun pertama

penggunaan ART. Pasien digolongkan sebagai tidak patuh bila mereka memakai kurang dari 75 persen obatnya pada tahun pertama terapi.

Tambahannya, para peneliti melakukan

subanalisis yang menilai risiko kematian di antara pasien dengan kepatuhan tinggi, yaitu memakai sedikitnya 95 persen obat. Kematian akibat kecelakaan atau bunuh diri dikeluarkan, dan angka

kematian dihitung untuk setiap kategori jumlah CD4 pada awal.

Masa pemantauan penelitian rata-rata 40 bulan, dan pada awal pasien rata-rata usia 37 tahun, dengan jumlah CD4 rata-rata 270 dan viral load rata-rata 120.000 kopi.

Selama masa penelitian 193 pasien meninggal, 25 akibat kecelakaan atau bunuh diri, dan 14 akibat overdosis narkoba.

Angka kematian di antara pasien yang sedikitnya 75 persen patuh dan mulai ART sebelum jumlah CD4 menjadi 200 adalah 7 persen. Sebaliknya, angka kematian untuk mereka yang mulai ART dengan jumlah CD4/viral load serupa tetapi kepatuhannya di bawah 75 persen lebih tinggi secara bermakna (15,2 persen). Lagi pula, para peneliti menemukan bahwa mulai ART dengan jumlah CD4 di atas 200 tidak bermanfaat kecuali kepatuhan pasien pada ART di atas 75 persen.

Dalam subanalisis yang mengeluarkan kematian tidak terkait HIV dan hanya menilai pasien dengan kepatuhan 95 persen atau lebih, para peneliti sekali lagi menemukan bahwa mulai ART dengan jumlah CD4 di atas 200 tidak bermanfaat.

Pentingnya kepatuhan untuk tahan hidup ditunjukkan lebih jelas oleh para peneliti. Mereka menentukan bahwa, bahkan di antara yang mulai ART dengan jumlah CD4 250 atau lebih, pasien yang tidak patuh mempunyai risiko kematian yang lebih tinggi secara bermakna dibandingkan dengan pasien yang memakai sedikitnya 75 persen obatnya. Justru, angka kematian pasien yang tidak patuh dengan jumlah CD4 350 atau lebih tinggi adalah serupa dengan pasien tidak patuh dengan jumlah CD4 200 pada awal.

Para peneliti menyimpulkan, “data ini memberi kesan bahwa ketidakpatuhan pasien, yang bukan mulai sebelum jumlah CD4 di atas 200, mungkin adalah peramal yang paling kuat tentang kematian pasien. Hasil ini akan berguna untuk pasien yang mempertimbangkan keputusan yang sulit tentang waktu terbaik untuk mulai ART dan untuk perkembangan pedoman terapeutik.”

Referensi: Wood E et al. Effect of medication adherence on survival of HIBV-infected adults who start HAART when CD4 cell count is 0.200 to 0.350 X 109 L. Annals of Internal Medicine 139: 810 – 816,

2003.

(6)

Sahabat Senandika

Diterbitkan sekali sebulan oleh

Yayasan Spiritia

dengan dukungan

T H E FORD T H E FORD T H E FORD T H E FORD T H E FORD FOU N D FOU N D FOU N D FOU N D

FOU N DAAAAAT I ONT I ONT I ONT I ONT I ON

Kantor Redaksi: Jl Radio IV/10 Kebayoran Baru Jakarta 12130

Telp: (021) 7279 7007 Fax: (021) 726-9521

E-mail: yayasan_spiritia@yahoo.com Editor:

Hertin Setyowati

Copyright 2002 Yayasan Spiritia. Izin dikeluarkan bukan untuk diperdagangkan, sehingga bila mengutip isinya Anda harus mencantumkan sumber (termasuk alamat dan nomor telepon). Semua informasi di dalam Sahabat Senandika sekadar untuk menambah wawasan dan pengetahuan. Sebelum

Laporan Keuangan Positive Fund Yayasan Spiritia

Periode Februari 2004

Saldo aw al 1 Februari 2004 8,713,625

Penerimaan di bulan Februari 2004

300,000 +

Total penerimaan 9,013,625

Pengeluaran selama bulan Februari :

Item Jumlah

Pengobatan 204,900

Transportasi 110,900

Komunikasi 0

Peralatan / Pemeliharaan 105,800

Modal Usaha 0+

Total pengeluaran 421,600

-Saldo akhir Positive Fund per 29 Februari 2004

8,592,025

Tips untuk orang dengan

HIV

Waktu kita di ruang praktek dokter, kita sering lupa apa yang harus kita bicarakan dengan dokter.

Satu hari sebelum periksa ke dokter A, mulai siapkan secara tertulis apa-apa saja yang ingin kita sampaikan, termasuk pertanyaan-pertanyaan dan keluhan yang kita rasakan. Mungkin ada manfaat minta dokter menjawab pertanyaan atau mencatat informasi seperti jadwal dosis secara tertulis juga. Ini menghindari kita lupa aturan yang penting.

Positif Fund

Tips...

Konsultasi

Tanya – jawab

T: Saya seorang yang terinfeksi virus HIV dan keadaan saya sekarang cukup sehat. Yang saya ingin tanyakan adalah apakah saya perlu untuk meminum multivitamin?

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) koreksi at-sensor dan at-surface reflectance merupakan metode koreksi yang paling efektif dan sekaligus stabil untuk dijadikan basis

nasabah dan/atau Perusahaan termasuk atau tidak terbatas pada ilustrasi produk, brosur, kuitansi, polis dan/atau dokumen lainnya milik Perusahaan, yang dari waktu ke waktu

Dalam konteks penyuluhan kelautan dan perikanan, seseorang tersebut adalah lingkup PUSLUHDAYA KP dalam ruang lingkup yang kecil atau BPSDMP KP dalam ruang lingkup yang lebih

simultan mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap rentabilitas ekonomi. Sedangkan untuk mengetahui signifikan pengaruh tingkat perputaran piutang dan tingkat perputaran

Pengumpulan data atau survei dilakukan hanya pada tempat yang biasanya menjadi asal dan tujuan responden, seperti: pusat-pusat perbelanjaan, sekolah, perkantoran dan perumahan.

Sebelum program KATPD semester 2, mahasiswa diwajibkan menyerahkan rencana judul penelitian Disertasi ke Ketua Program Studi atau ke bagian akademik.. KATPD semester 2

Untuk mengatakan bahwa hasil ulangan IPS terpadu adalah valid untuk mengukur tingkat kompetensi IPS terpadu siswa, maka perlu dibuktikan bahwa soal-soal tersebut telah

Setelah melaksanakan tindakan dan mengumpulkan berbagai data sesuai dengan tujuan perbaikan pembelajaran, maka langkah selanjutnya yang harus dilakukan oleh guru