1
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Negara Indonesia adalah salah satu Negara multikultur terbesar di dunia, hal
ini dapat terlihat dari kondisi sosiokultural maupun geografis Indonesia yang begitu
kompleks, beragam, dan luas. Indonesia terdiri atas sejumlah besar kelompok etnis,
budaya, agama, dan lain-lain yang masing-masing plural (jamak) dan sekaligus juga
heterogen “aneka ragam” (Kusumohamidjojo, 2000:45)”.
Kerja sama BPS dengan Institute of Southeast Asian Studies (ISEAS) pada
tahun 2013 menghasilkan klasifikasi baru yang dapat digunakan untuk menganalisis
data suku SP2010. Telah dilakukan identifikasi mana saja kode yang merupakan
nama lain, subsuku, dan sub-sub suku. Dihasilkan 633 kelompok suku besar dari
kode suku yang tersedia dalam SP2010.
Dalam studi lanjutan terhadap keanekaragaman data suku SP2010, yang mana
keanekaragaman diukur dengan Ethnic Fractionalize Index (EFI) dan Ethnic
Polarized Index (EPOI) diperoleh EFI sebesar 0,81 dan EPOI sebesar 0,50.
Tergambar bahwa Indonesia sangat heterogen/majemuk, namun tidak terpolar
sehingga potensi dampak konflik cenderung rendah.
Hal ini menunjukkan bahwa Negara Indonesia sebagai negara yang plural dan
heterogen. Sehingga Indonesia memiliki potensi kekayaan multi kultur, multi agama,
dan multi etnis yang kesemuanya merupakan potensi untuk membangun Negara.
Dapat diakui secara realistas sosial bangsa Indonesia terdiri dari berbagai suku
etnis yang ada. Diantaranya etnis suku bangsa, antara lain suku Bugis, Batak, Bali,
Jawa, dan Tionghoa. Namun, dari keragaman masyarakat di sisi lain sangat rawan
memicu konflik dan perpecahan. Menurut Nasikun (2007:33), bahwa kemajemukan
masyarakat Indonesia paling tidak dapat dilihat dari dua cirinya yang unik, pertama
2
berdasarkan perbedaan suku bangsa, agama, adat, serta perbedaan kedaerahan, dan
kedua secara vertikal ditandai oleh adanya perbedaan-perbedaan vertical antara
lapisan atas dan lapisan bawah yang cukup tajam. Sehingga masalah yang terjadi
tentang rasial banyak terjadi, baik dari segi agama, budaya, maupun etnis.
Hal ini berbeda dengan apa yang terjadi di Kampung Sudiroprajan atau yang
biasa dikenal dengan Kampung Balong yang berada di Kota Surakarta atau Solo,
provinsi Jawa Tengah. Kampung Balong merupakan kampung anti narkoba di Solo
dan salah satu kampung pecinan yang terletak di sebelah timur Pasar Gede, serta
menjadi pusat perdagangan yang selalu dipadati masyarakat. Hal yang menjadi unik
karena pembaharuan yang melibatkan interaksi antara masyarakat masyarakat Jawa
dan keturunan Tionghoa yang terjalin harmonis, dan terlihat bertolak belakang
bahwa Kota Solo yang buruk mengenai konflik rasial, dan kerusuhan Mei 1998.
Mereka juga tidak terlalu menganggap apakah seseorang itu Jawa atau Tionghoa.
Dari pembauran tersebut lama-kelamaan terjadilah pembauran pernikahan antara
kedua etnis tersebut sehingga melahirkan keturunan. Sampai sekarang menyebut
pernikahan campuran sebagai Ampyang. Menurut Dwi Gendro Sutrisno masyarakat
Jawa panitia Grebeg Sudiro
“Ampyang adalah makanan yang terbuat dari gula jawa dan kacang yang di ibaratkan sebagai bentuk pernikahan campuran antara masyarakat Jawa dan keturunan Tionghoa, di mana gula jawa yaitu orang Jawa dan kacang yaitu Tionghoa1”
Hal itu dibuktikan dengan pandangan narasumber, yaitu Didik Kushenratno
masyarakat Jawa panitia Grebeg Sudiro
“Bahwa meski berbeda etnis, dalam keseharian tidak pernah membedakan rasa tau diskriminasi2.”
Namun, dalam pembahasan kali ini lebih mempertanyakan “bagaimana Grebeg
Sudiro sebagai media komunikasi dalam harmonisasi sosial di masyarakat Jawa dan
keturunan Tionghoa”?.Untuk dapat lebih meningkatkan dan melestarikan pembauran
1 Wawancara dengan Dwi Gendro Sutrisno masyarakat Jawa panitia Grebeg Sudiro tanggal 17 Juli 2017 pukul 11:56 AM
3
yang terjalin antar etnis, maka munculah ide dari warga Kampung Sudiroprajan
untuk membuat sebuah acara atau perayaan yang mencerminkan unsur-unsur
pembauran budaya yang terdapat didalam kampung Sudiroprajan, mengingat
semakin hilangnya budaya-budaya seiring dengan begantinya jaman. Dari hal-hal
tersebut maka terbentuklah sebuah acara yang diberi nama Grebeg Sudiro.
Sebenarnya pada saat awal dicentuskan Grebeg Sudiro ini muncul dari
keberangkatan keamanan padaa saat kerusuhan 1998, berangkat dari situlah dari
keamanan ke budaya yaitu Grebeg Sudiro. Menurut Didik Kushendratno masyarakat
Jawa panitia Grebeg Sudiro,
“Awal berdirinya Grebeg Sudiro sebenarnya pesimis karena terbenturnya biaya, namun seiring jalannya dan tetap berpegang teguh karena beralasan yang kuat karena ingin mengampanyekan acara tersebut, dan segala laporan di laporkan segala hal dari kegiatan maupun anggaran, jangan sampai komunikasi terputus karena masalah uang”3.
Namun menurut Haryanto Ko Hok Sing keturunan Tionghoa salah satu pendiri
dari Grebeg Sudiro juga mengatakan
“Bahwa di awal juga susah mengajak orang-orang keturunan Tionghoa untuk mengikuti dalam acara Grebeg Sudiro”4,
Padahal tujuan baik yaitu mengajak supaya bisa menunjukkan bahwa orang
keturunan Tionghoa juga dapat berpartisipasi, namun karena masih adanya
kekhawatiran di tahun 1998 banyak keturunan Tionghoa yang menolak, karena
anggapan mereka untuk mencari amannya yaitu diam saja dan bekerja, namun
Haryanto Ko Hok Sing tidak putus asa, dia tetap menjalankan acara tersebut, dan
setelah ada output di acara yang pertama dan kedua, barulah acara yang ketiga
orang-orang keturunan Tionghoa ikut berpartisipasi dalam acara Grebeg Sudiro.
Keunikan dari kampung ini yaitu terjalin harmonis antara masyarakat Jawa dan
keturunan Tionghoa.
3 Wawancara dengan Didik Kushendratno masyarakat Jawa panitia Grebeg Sudiro tanggal 17 Juli 2017 pukul 3:40 PM
4
Merujuk namanya grebeg yang berasal dari kata Jawa, gumrebeg yang artinya
riuh atau keramain yang juga dimaknai sebagai iring-iringan atau perayaan.
Sedangkan Sudira, merupakan kependekan dari nama salah satu kelurahan yang
mayoritas dihuni warga keturunan Tionghoa, Sudiraprajan. Kegiatan Grebeg Sudiro
merupakan merupakan gambaran masyarakat pluralis serta kerukunan umat
beragama dan etnis di Kota Solo khususnya di daerah Sudiroprajan. Model-model
pembauran yang cukup efektif antara masyarakat Jawa dan keturunan Tionghoa
melalui kesenian, olahraga, pelayanan kesehatan, perkampungan, pekerjaan dan
pendidikan. Grebeg Sudiro sendiri memang secara tidak sengaja diadakan pada
waktu mendekati acara Imlek pada bulan Februari sehingga membuat masyarakat
kota Solo dan kebanyakan orang menganggap Grebeg Sudiro ini adalah
memperingati perayaan Imlek.
Jika perayaan Imlek identik dengan budaya Tionghoa, Grebeg Sudiro juga
tidak hanya mengusung budaya Tionghoa saja tetapi acara yang dibuat oleh
masyarakat kampung Sudiroprajan dengan mengusung tema Grebeg Sudiro nantinya
masih tetap membawa tema yang sama yakni harmoni dalam kebhinekaan.
Tema yang diangkat di tahun ini, Grebeg Sudiro Tahun 2017 mengambil tema
“Pesona Budaya Dalam Warna Kebhinnekaan”. Latar belakang tema Pesona Budaya Dalam Warna Kebhinnekaan tersebut ialah proses satu kesatuan golongan
masyarakat dalam sistem nilai kehidupan nasional. Tujuan diadakan Grebeg Sudiro
2017 ini ialah untuk meningkatkan semangat nasionalisme masyarakat Sudiroprajan
dan masyarakat Kota Solo pada umumnya. Acara Grebeg Sudiro ini juga banyak
dimuat dalam berbagai pemberitaan baik cetak maupun online, khususnya
pemberitaan dalam koran-koran lokal di Kota Solo. Ketua panita Grebeg Sudiro
2017 Wahyu Sugiarto menuturkan, meskipun sempat molor selama satu jam, namun
keseluruhan acara berjalan lancar. “Saya bangga melihat antusias warga yang hadir
5
budaya tidak mengenal perbedaan agama , usia, warna kulit, dan lain-lain. Terbukti
lewat kegiatan Grebeg Sudiro ini dapat menyatukan keanekaragaman budaya yang
ada.
Kegiatan Grebeg Sudiro mempunyai rentetan acara. Kegiatan akan
diselenggarakan, antara lain Umbul Mantram, Lomba Cipta Kreasi Lampion, Pesta
Kembang Api, Wisata Perahu hias, dan Bazar Potensi dan Karnaval Budaya. Berikut
jadwal berbagai kegiatan dalam Grebeg Sudiroprajan 2017, yaitu yang pertama,
Lomba Lampion untuk SMA dan SMK se Solo Raya, event ini diadakan pada hari
Selasa tanggal 10 Januari 2017 pukul 19.00 WIB, diadakan di kawasan Pasar Gede.
Kedua, Lomba wisata perahu hias dan Bazar Potensi, diadakan pada tanggal 17-27
Januari 2017 pukul 18.00 WIB - 21.30 WIB, diadakan di Kali Pepe. Ketiga,
Kegiatan Umbul Mantram, acara ini akan diadakan pada hari Kamis tanggal 19
Januari 2017 pada pukul 19.00 WIB, digelar di Kelurahan Sudiroprajan. Keempat,
Karnaval Budaya Grebeg Sudiro diadakan pada hari Minggu tanggal 22 Januari
2017, pada pukul 12.00 WIB hingga selesai di Kawasan Pasar Gede. Kelima, Pesta
Kembang Api (Pusat Acara) diadakan pada Jumat, tanggal 27 Januari 2017 mulai
pukul 20.00 WIB hingga 24.00 WIB, di Kawasan Pasar Gede.
Hal yang menjadi unik dalam Acara Grebeg Sudiro, yang pertama adalah
kebhinekaan budaya. Dimana dalam hal ini terdapat pembauran budaya antara
masyarakat Jawa dan keturunan Tionghoa, pembauran budaya tersebut misalya
lomba cipta kreasi lampion, Kerajinan warga Sudiroprajan, dan lain-lain. Yang
kedua, partsipasi warga dimana acara ini didukung dan diikuti oleh semua
masyarakat kampung Sudiroprajan, elemen-elemen masyarakat, serta antusisme
masyarakat Solo yang jumlahnya kian bertambah. Yang ketiga, yaitu dukungan dari
pemerintah yatiu Kementerian Pariwisata, bantuan yang diberikan senilai Rp100
juta. Tidak hanya secara menyumbangkan dari segi dana saja melainkan acara
6
Dalam peneliti sebelumnya yaitu skripsi Tissania Clarasati Adriana yang sudah
diterbitkan bahwa Grebeg Sudiro terbentuk karena adanya kesadaran dan
kesengajaan dari warga Sudiroprajan untuk memperlihatkan kerukunan dan
keharmonisan yang terjalin antara dua etnis yang berbeda, pelaksanaan prosesi
upacara tradisi Grebeg Sudiro meliputi berbagai rangkaian acara yang harus dilewati
diantaranya adalah malam pra event sedekah bumi Bok Teko tanggal 12 Januari
2012 dan puncak acara Grebeg Sudiro yang berlangsung pada tanggal 15 Januari
2012 yang mana kedua acara tersebut memiliki persyaratan yang harus dipenuhi, dan
melengkapi perlengkapan acara yang diperlukan, akulturasi kebudayaan Tionghoa
dengan kebudayaan Jawa dalam tradisi Grebeg Sudiro terlihat dalam susunan
gunungan kue keranjang dalam dua buah Gunungan Estri dan Gunungan Jaler yang
biasa ada dalam adat Kerjawen, Penampilan Liong dan Barongsai yang mengadakan
upacara ritual terlebih dahulu sebelum pentas, karena sebelum mengalami akulturasi
dengan kebudayaan Jawa pementasan Liong dan Barongsai tidka mengenal upacara
ritual serta musik tradisional Keroncong Jawa bekolaborasi dengan lagu Mandarin
yang disebut dengan Keroncong Mandarin.
Peneliti berkesempatan melakukan pra-penelitian di Kampung Sudiroprajan,
Debora Septiana keturunan Tionghoa panitia Grebeg Sudiro,
“Acara Grebeg Sudiro ini dianggap penting dan bermanfaat karena bisa membaur dan bergabung antara masyarakat Jawa dan keturunan Tionghoa, untuk melestarikan budaya dalam kesenian-kesenian, salah satunya wayang orang, dan sebagai hiburan keluarga. Juga, tidak pernah memandang ras dia Jawa atau Tionghoa”5.
Tanpa adanya dengan Grebeg Sudiro sebenarnya sudah terjalin komunikasi
yang baik,
“Namun dengan muncul nya Grebeg Sudiro lebih bagus dalam komunikasinya, dan menciptakan sebuah kerhamonisan sosial yang dilihat dari sampai sekarang Grebeg Sudiro masih diadakan”6, ungkap Ngatno Tjipto Wiyono masyarakat Jawa warga
Kampung Sudiroprajan.
5 Wawancara dengan Debora Septiana keturunan Tionghoa panitia Grebeg Sudiro tanggal 17 Juli 2017 pukul 5:15 PM
7
Seorang panitia di Grebeg Sudiro, yaitu Dwi Gendro Sutrisno masyarakat Jawa
panitia Grebeg Sudiro dan Didik Kushendratno masyarakat Jawa Panitia Grebeg
Sudiro,
“Acara Grebeg Sudiro ini penting, karena dapat merekatkan antara kebudayaan Jawa dan budaya Tionghoa, merupakan sebuah jembatan emas dengan memecah kebisuan yang ada supaya hubungan antar suku juga lebih enak dalam komunikasi, serta menggungah dalam perekonomian yang ada, salah satunya lewat makanan sebagai pemasukan, makanan antara lain bakpia, bakpao, dan lain-lain”7.
Tujuan adanya Grebeg Sudiro sebagai media komunikasi, supaya
menunjukkan bahwa inilah kekayaan Solo dalam hal segi budaya. Tanpa adanya
dengan Grebeg Sudiro sebenarnya sudah terjalin komunikasi yang baik, namun
dengan muncul nya Grebeg Sudiro lebih bagus dalam komunikasinya dan dapat
menunjukkan action di internal maupun eksternal. Namun, tetap ada juga beberapa
orang juga masih berpegang teguh dalam idealisnya, maka dari itu Grebeg Sudiro
salah satunya supaya 100 persen supaya dapat satu suara dalam segi idealis dalam
menjalin komunikasi antar satu sama lain.
Seorang panitia di Grebeg Sudiro, Donny Mahesa Widjaja keturunan Tionghoa
panitia Grebeg Sudiro dan Haryanto Ko Hok Sing keturunan Tionghoa panitia
Grebeg Sudiro, dalam
“Acara Grebeg Sudiro ini penting karena dapat memberikan wadah kreatifitas, mengangkat tali persaudaraan satu sama lain, mengangkat potensi kuliner, antara lain bakpao, cakue, dan tetap mempertahankan budaya yang ada juga, serta ia juga semata-mata tidak mencari profit”8.
Manfaat dari Grebeg Sudiro ini tentunya bagi seluruh warga Sudiroprajan,
terjalin komunikasi antar kelurahan satu dengan yang lain dalam partisipasi Grebeg
Sudiro, antara lain kelurahan Gandekan, Jagalan, Kepatihan, dan Jebres, serta bazar
kuliner di mana bisa mendapatkan profit. Dapat dikatakan sebagai media
komunikasi, karena jika ada rapat di kelurahan antar satu sama lain berkomunikasi
7 Wawancara dengan Dwi Gendro Sutrisno masyarakat Jawa panitia Grebeg Sudiro dan Didik Kushendratno masyarakat Jawa Panitia Grebeg Sudiro tanggal 18 Juli 2017 pukul 10.05 AM 8 Wawancara dengan Donny Mahesa Widjaja keturunan Tionghoa panitia Grebeg Sudiro dan
8
atau berbincang-bincang. Lalu dikatakan harmonisasi sosial karena melibatkan
semua dari kalangan umur dan tidak memandang ras, dan di rangkaian acaranya
adanya memberikan persembahan untuk mengucapkan syukur, dan memanggil
pemuka-pemuka agama juga. Namun, tetap ada yang pro dan kontra, yang kontra
salah satunya ada juga seseorang yang tidak ingin berpatisipasi dalam acara Grebeg
Sudiro walaupun orang itu memiliki kemampuan membuat lampion dikarenakan ada
orang yang tidak ia suka di dalam sebuah panitia tersebut, dan beberapa dari
masyarakat tersebut masih ada ego.
Seorang warga Sudiroprajan, Ngatno Tjiptowiyono masyarakat Jawa warga
Kampung Sudiroprajan, menurut
“Beliau tidak begitu penting, karena tidak terlalu mendatangkan banyak dalam hal profit”9.
Grebeg Sudiro bukan lah sebagai media komunikasi, karena menurut
pandangan dia sendiri bahwa komunikasi dari dulu di Soediroprajan sudah bagus,
dan Grebeg Sudiro hanyalah sebuah acara saja tidak lebih dari itu.
Dapat disimpulkan dari pra-penelitian, bahwa beberapa ada masyarakat yang
pro dan kontra dalam acara Grebeg Sudiro tersebut, dan ini menjadi keunikan
tersendiri di Grebeg Sudiro karena dengan adanya media komunikasi yaitu Grebeg
Sudiro lebih meningkatkan komunikasi antara masyarakat Jawa dan keturunan
Tionghoa, sehingga menciptakan harmonisasi sosial, selain itu juga setiap tanggal 17
Agustus diadakan event di mana pada masyarakat Sudiroprajan menggunakan
pakaian adat adat Tionghoa dan Jawa. Dalam penelitian kali ini akan
mengaplikasikan harmonisasi sosial, Grebeg Sudiro sebagai media komunikasi
dalam hal ini. Objek penelitian akan peneliti fokuskan pada masyarakat masyarakat
Jawa dan keturunan Tionghoa di Kampung Sudiroprajan. Sehingga penulis ingin
melihat kerharmonisan sosial melalui media komunikasi yaitu Grebeg Sudiro pada
etnis Jawa dan keturunan Tionghoa.
9 1.2 Rumusan Masalah
Bagaimana cara mewujudkan harmonisasi sosial dalam masyarakat Jawa dan
keturunan Tionghoa yang berasal dan atau tinggal di Kampung Sudiroprajan, Solo,
Jawa Tengah
1.3 Tujuan Penelitian
Mendeskripsikan cara mewujudkan harmonisasi sosial dalam masyarakat Jawa
dan keturunan Tionghoa yang berasal dan atau tinggal di Kampung Sudiroprajan,
Solo, Jawa Tengah.
1.4 Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
Penelitian ini dapat memberikan manfaat bagi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Komunikasi UKSW dan menambah kajian ilmu komunikasi dalam bidang
Komunikasi Interpersonal. Penelitian ini juga dapat memberikan sumbangan
wawasan dan pengetahuan serta menambah perbendaharaan kepustakaan bagi
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Komunikasi Universitas Kristen Satya Wacana
(UKSW). Selain itu dapat di gunakan sebagai referensi untuk penelitian yang
akan datang.
2. Manfaat Praktis
Penelitian ini dapat sebagai pembelajaran bagi masyarakat terhadap
komunikasi interpersonal yang terjadi di Kampung Sudiroprajan Kota Solo
antara keturunan Tionghoa dan masyarakat Jawa (Pribumi) yang bisa
berlangsung dengan langgeng dan harmonis yang tercemin dalam acara
Grebeg Sudiro. Penelitian ini juga di harapkan bisa menjadi sarana
pembelajaran bagi kita untuk tidak mengkota-kotakkan yang didasarkan
dengan perbedaan etnis apapun.
1.5 Batasan Penelitian
Agar peneliti terhindar dari lingkup yang terlalu luas, maka peneliti
10
1. Peneliti ini di batasi hanya pada bagaimana Grebeg Sudiro sebagai media
komunikasi dalam harmonisasi sosial di masyarakat masyarakat Jawa dan
keturunan Tionghoa
2. Media Komunikasi ini adalah Grebeg Sudiro
3. Objek Penelitian ini adalah masyarakat Jawa dan keturunan Tionghoa di