• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS FOUCAULDIAN TERHADAP UU NO. 44

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "ANALISIS FOUCAULDIAN TERHADAP UU NO. 44"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS FOUCAULDIAN TERHADAP UU NO. 44 TAHUN 2008 TENTANG PORNOGRAFI

Samuel Vincenzo Jonathan

Departemen Filsafat, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia smlvncnz@gmail.com

Herdito Sandi Pratama

Departemen Filsafat, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia herditosandi@gmail.com

ABSTRACT

UU no. 44 tahun 2008 is a constituion which give a legal position against pornography. Legislator, and the government, assume that constitution could overcome the problem of pornography, and it’s cultural impact on the society. The purpose of the constitution, one of them, is to protect women. Throught the foucauldian’s perspective, and critical hermeneutics, this research indicate that some of the government’s assumptions are false. Not only false, even in that constitution, there is a hidden text which could be shown, therefore the constitution present itself as a discourse which redefine pornography, and has a cultural impact which unintensified by the government for the society. Explicitly, the society in which talked is the indeginous people and women.

Keywords: pornography; foucauldian; discourse; women; constitution

ABSTRAK

UU no. 44 tahun 2008 merupakan sebuah undang-undang yang membahas posisi legal dari pornografi. Legislator, dan pemerintah, menganggap bahwa UU tersebut mampu mengatasi persebaran dari pornografi, serta dampak kultural dari pornografi di dalam masyarakat. Tujuan dari UU tersebut, salah satunya adalah melindungi perempuan. Melalui perspektif Foucauldian, serta hermneutika kritis, penelitian ini menunjukkan bahwasanya beberapa asumsi yang dimiliki pemerintah terhadap UU tersebut adalah salah. Tidak hanya salah, bahkan di dalam UU tersebut terdapat teks tersembunyi yang dapat tersibakkan, sehingga dapat dilihat bahwa ia hadir sebagai sebuah wacana yang meredefinisi ulang pornografi, dan memiliki implikasi kultural yang tidak diintensikan oleh pemerintah terhadap masyarakat. Masyarakat yang disebutkan di sini secara khusus adalah para penduduk asli di Indonesia, serta para perempuan.

Kata kunci: pornografi, Foucault, diskursus, perempuan, konstitusi

PENDAHULUAN

(2)

namun poin utamanya dapat diringkas menjadi sebuah term, yaitu “dalih agama”, atau “dalih moral”. Pornografi, dan pornoaksi, didefinisikan sebagai sebuah media yang menampilkan aurat dari seseorang, khususnya perempuan, adalah tidak bersesuaian dengan, pendapat sebagian besar orang, syariat Islam. Bagi mereka, genimbang Indonesia sebagai sebuah negara dengan mayoritas penduduk Muslim, maka adalah hal yang wajar bagi legislator, misalnya DPR, untuk mengadopsi hukum yang dilandaskan oleh agama Islam.

Kecenderungan yang ditunjukkan oleh pemerintah dan masyarakat Indonesia dalam menangani pornografi adalah bahwa mereka menangani pornografi melalui regulasi, mematikan sumber yang memampukan seseorang untuk memperoleh konten pornografi, dan argumentasi, atau dalil-dalil, keagamaan dan moralitas. Bahkan di dalam UU no. 44 tahun 2008, nuansa moral begitu terkandung di dalam pasal 3 dari UU tersebut, bahwa UU tersebut bertujuan untuk,”[M]ewujudkan dan memelihara tatanan kehidupan masyarakat yang beretika, berkepribadian luhur, menjunjung tinggi nilai-nilai Ketuhanan Yang Maha Esa, serta menghormati harkat dan martabat kemanusiaan,” serta,”[M]emberikan pembinaan dan pendidikan terhadap moral dan akhlak masyarakat”. Kecenderungan dari pemerintah dan masyarakat dalam menangani pornografi dengan mematikan sumber adalah dikarenakan pandangan terhadap pornografi sebagai merely permasalahan moral dan agama, tidak lebih dari itu, sehingga ia dianggap sebagai suatu hal yang tabu, duniawi, dan wajib untuk diperangi, bahkan dimusnahkan.

Salah satu pernyataan yang perlu untuk ditelisik lebih jauh lagi, selain soal bagaimana ia dilandaskan atas dalil agama dan moralitas, di dalam UU tentang pornografi tersebut adalah pernyataan bahwa UU tersebut bertujuan untuk, salah satunya,”[M]emberikan kepastian hukum dan perlindungan bagi warga negara dari pornografi, terutama bagi anak (cukup jelas) dan perempuan.” Pernyataan yang pertama, bahwa UU tersebut dibuat dengan tujuan memberikan kepastian hukum dan perlindungan terhadap anak, merupakan sebuah pernyataan yang cukup jelas. Anak-anak. perlu dilindungi dari exposure terhadap pornografi di usia dini untuk menghindari dampak negatif yang dihasilkan, serta kemungkinan terjadinya pornografi anak. Sedangkan, menurut saya, pernyataan yang kedua, bahwa bahwa UU tersebut dibuat dengan tujuan memberikan kepastian hukum dan perlindungan terhadap perempuan, adalah sebuah pernyataan yang memiliki ambiguitas. Apabila pernyataan yang kedua mengikuti penyimpulan dari pernyataan yang pertama, maka, artinya, perempuan harus dilindungi dari exposure terhadap pornografi, serta dilindungi dari keikutsertaannya di dalam pornografi. Namun, menurut saya, masih ada yang janggal dan tidak jelas di dalam pernyataan “[M]emberikan kepastian hukum dan perlindungan … terutama … perempuan.” Pertanyaan yang hadir adalah mengapa harus perempuan yang dilindungi, dan bukan laki-laki? Atau, kenapa terutama ditujukan bagi, selain anak, perempuan? Apakah berarti perempuan menjadi korban dari pornografi? Dan berbagai pertanyaan lainnya yang mungkin hadir, dengan jawaban yang tidak sesuai dengan realitas yang ada di dalam masyarakat saat ini.

(3)

membangun persepsi dari masyarakat terhadap pornografi, dan, tidak hanya pornografi, bahkan membangun persepsi masyarakat terhadap perempuan, baik secara amelioratif, ataupun peyoratif.

Oleh karena hal tersebut, rumusan masalah yang diangkat oleh penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut: (1) Bagaimana perspektif Foucauldian terhadap UU pornografi? (2) Bagaimana UU pornografi, sebagai sebuah wacana, bekerja membangun episteme yang baru terhadap pornografi? (3) Bagaimana UU pornografi, sebagai sebuah wacana, membangun perspektif individu terhadap perempuan? Penelitian ini akan menjawab tiga pertanyaan tersebut, dan menganalisis bagaimana dampak kultural dari UU pornografi bagi sebagian kelompok di dalam masyarakat.

TINJAUAN PUSTAKA

Setiap individu pada dasarnya memiliki worldview, cara pandang dunia, masing-masing baik secara sadar ataupun tidak sadar. Dengan bahasa yang lebih peyoratif, menurut saya, cara pandang dunia dapat disebut sebagai ideologi. Dua term tersebut memang memiliki definisi yang masing-masing berbeda. Menurut Oxford Dictionary, cara pandang dunia didefinisikan sebagai “A particular philosophy of life or conception of the world,” sedangkan ideologi didefinisikan sebagai “A system of ideas and ideals, especially one which forms the basis of economic or political theory and policy.” Namun, di dalam segala ketersandingannya, menurut saya, cara pandang dunia dan ideologi adalah dua hierarki yang berbeda. Maksudnya, ideologi secara hierarkis memiliki cakupan yang lebih luas dibandingkan cara pandang dunia. Ideologi membentuk cara pandang dunia seseorang. Cara pandang dunia merupakan sebuah “kacamata” yang digunakan oleh individu dalam mempersepsi fenomena sosial yang ada di sekitarnya; sebuah presuposisi, proposisi yang terlebih dahulu ada, yang diambil untuk menafsirkan dunia. Sedangkan ideologi membentuk “kacamata”, cara pandang, tersebut.

Implikasinya, bahwa manusia, per individu ataupun per kelompok, tidak pernah berada di dalam kondisi netral secara intelek. Setiap keputusan yang diambil oleh setiap individu didasarkan oleh ketidaknetralan dari inteleknya, sekali lagi, baik sadar atau tidak sadar, dan pada umumnya adalah sulit bagi individu untuk mengambil jarak, atau melepaskan kacamata, dari cara pandang dunia mereka yang spesifik. “Kuman di seberang lautan tampak, gajah di pelupuk mata tiada tampak,” menggambarkan bagaimana relasi antara cara pandang dunia dengan setiap individu yang mengambil “komitmen intelektual” terhadapnya: sulit bagi individu untuk bisa aware terhadap keberadaannya. Selain itu, selain individu bertindak sesuai dengan cara pandang dunia mereka masing-masing, yang sosial juga bekerja sesuai dengan cara kerjanya sendiri di dalam kekontingensiannya. Maka dari itu, diperlukan individu lainnya yang mampu melakukan suspension of judgment, sehingga melihat ketidaknetralan di dalam pemikiran seseorang. Salah satu tokoh yang menawarkan perangkat untuk melakukan hal tersebut adalah seorang filsuf asal Pranci yaitu Michel Foucault.

(4)

Di dalam keluasan topik dan fenomena sosial yang Foucault bahas di dalam tulisannya, ia tidak dapat dipisahkan dari semangatnya di dalam berfilsafat. Bagi Foucault, filsafat dilihat bukan lagi sebagai sebuah proses pencarian, kanonisasi, terhadap kebenaran (“berfilsafat adalah mencari kebenaran dengan seluruh jiwa,” menurut Platon) – seperti apa yang dipahami oleh orang pada umumnya –, melainkan sebagai sebuah upaya untuk melihat bagaimana wacana1 (filsafat dan ilmu) tentang kedokteran, kegilaan, penjara atau seks, dan topik lainnya, dibentuk dan ditampilkan sebagai kebenaran (Foucault, 2008: 10).

Dalam melaksanakan semangatnya tersebut, Foucault menggunakan dua metode yang ia sebut sebagai arkeologikal dan genealogikal. Dalam menjelaskan metode arkeologikal, Foucault mengadopsi pemikiran dari Annales yang membagi sejarah ke dalam dua bentuk, yaitu general history, sejarah umum, yang ia oposisikan dengan total history, sejarah keseluruhan. Sejarah keseluruhan cenderung untuk menggeneralisir, melihat, fenomena ke dalam satu bentuk penyebab yang berpusat, atau semangat dari sebuah masyarakat atau peradaban. Misalnya dengan melihat bahwa aspek ekonomi, politik, budaya, dan sebagainya, disebabkan oleh satu penyebab spesifik yang mempengaruhi mereka semua. Sedangkan, sejarah umum menaruh perhatian kepada seri-seri, segmentasi, batas-batas, perbedaan tingkat, peninggalan yang menyalahi jaman, jarak antara satu waktu, jenis-jenis relasi yang mungkin ada (Weeks, 1982: 110). Maksudnya, ia tidak melihat sejarah di dalam bentuk yang menyeluruh, melainkan secara terpisah. Arkeologikal, dengan mengikuti logika dari Foucault mengenai sejarah umum, adalah sebuah upaya untuk membaca dokumen untuk menemukan makna tersembunya di dalamnya, menjadikan monumen sebagai sebuah dokumen, dan bukan sebaliknya, yang kemudian memberikan deskripsi intrinsik terhadap dokumen.

Secara singkat, arkeologi merupakan sebuah metode yang tidak mengidentifikasi struktur universal dari semua pengetahuan, kesadaran, dan semua kemungkinan tindakan moral, tetapi mencari bentuk wacana langsung yang mengartikulasikan apa yang seseorang pikirkan, bicarakan, dan lakukan dalam peristiwa-peristiwa sejarah yang memiliki sifat kekontingensian. Metode genealogikal, adalah dengan tidak merancang menemukan “apa yang mungkin seseorang laukan atau kita ketahui,” tapi menyingkapkan “kemungkinan yang tidak dapat dilakukan atau dipikirkan tentang diri sendiri” (Gahral, 2011: 141). Pertama dengan melakukan analisis terhadap fenomena sosial dengan melihat jejak dari wacana yang mengartikulasikannya, dan kedua adalah dengan menyingkapkan ketidaktahuan di dalam tindakan dan pikiran seseorang. Melalui cara-cara tersebutlah seseorang mampu melakukan analisis terhadap wacana.

Disiplin dan Hukuman: Panoptisisme

Dalam menjelaskan bagaimana kuasa bekerja, di dalam bukunya Discipline and Punish, Foucault menggunakan dua buah ilustrasi yang ia ambil di dalam sejarah. Ilustrasi pertama yang diambil oleh Foucault adalah bagaimana masyarakat di abad ke-17 mengatasi wabah penyakit di sebuah kota. Ketika wabah menjangkit suatu kota, langkah pertama yang diambil oleh pemerintah adalah menutup kota tersebut, melarang penduduk untuk masuk ke dalam atau keluar dari kota tersebut, membunuh setiap hewan yang berkeliaran. Kota dibagi menjadi beberapa bagian yang mana bagian-bagian tersebut memiliki seorang pemimpin, yang merupakan seorang pejabat pemerintah. Ia memiliki kuasa untuk memerintahkan setiap orang terus berada di dalam rumah mereka, ia memegang kunci rumah, serta mengunci setiap rumah, dari setiap penduduk. Jatah makanan dari penduduk dibagikan menggunakan katrol dan ember, sebisa mungkin menghindari kontak dengan penduduk. Pemeriksaan bekerja terus menerus tanpa berhenti, ada

(5)

tatapan di segala tempat; penjaga di gerbang, di balai kota dan setiap belokan, untuk menjamin ketaatan dari penduduk serta otoritas absolut dari para pejabat. Setiap harinya para pejabat pemerintah akan berkeliling dari setiap rumah ke rumah, memanggil nama dari penduduk satu per satu, semacam absensi, dan setiap penduduk akan memunculkan wajahnya di depan jendela, menandakan bahwa mereka masih hidup. Pengawasan tersebut didasarkan oleh sistem registrasi permanen: dimana laporan dilaporkan oleh pejabat pemerintah rendahan kepada pejabat pemerintahan menengah, ke pejabat pengadilan, sampai pada akhirnya tersampaikan kepada walikota dari kota tersebut.

Ilustrasi kedua merupakan sebuah prototipe penjara yang ditawarkan oleh seorang filsuf, Jeremy Bentham, dengan maksud mempermudah pengawasan yang dilakukan oleh sipir penjara. Proptotipe dari penjara tersebut ia beri nama sebagai panoptikon. Bentham menawarkan sebuah penjara berbentuk gelang dan di tengah-tengah dari penjara tersebut terdapat sebuah menara yang menjulang ke atas. Menara tersebut memiliki sebuah jendela yang begitu luas, yang memampukan para sipir untuk memperhatikan para napi di bagian luar menara. Melalu efek lampu, sebaliknya, para napi tidak mampu melihat di mana dan berapa banyak, sipir yang memperhatikan mereka dari menara tersebut.

Gambar 1. Sketsa penjara panoptikon yang Bentham tawarkan.

Efek yang diharapkan melalui panoptikon tersebut adalah agar memberikan kondisi kesadaran kepada para napi bahwa mereka berada di dalam kondisi terus diperhatikan, memberikan kuasa yang bekerja secara otomatis, tanpa memerlukan napi yang mungkin sebenarnya tidak hadir. Bagi Foucault, melalui Panoptikon, dapat dipahami bahwa kuasa, dalam pandangan Bentham, harus tampak dan tidak dapat diverifikasi (Foucault, XXXX: 201). Tampak, bahwa napi dapat melihat kekuasaan tersebut di dalam bentuk sebuah menara, tempat ia diperhatikan oleh para sipir; tidak dapat diverifikasi, bahwa para napi, di dalam kesadaran bahwa terdapat kuasa yang memperhatikan mereka, tidak akan pernah mampu memverifikasi keberadaan dari napi di dalam menara tersebut, namun mereka harus selalu mengandaikan bahwa napi tersebut memang berada di dalam menara.

(6)

untuk mengawasi dan mendisiplinkan. Mereka bertugas untuk menangkap penjahat, menghukum orang yang membelot; sifatnya berupa kuasa yang hadir secara eksternal. Sedangkan, pada ekstrem yang kedua, yang Foucault sebut sebagai discipline-mechanism, melalui panoptisisme, mendisiplinkan dilakukan dengan cara yang lebih mudah, lebih cepat, lebih efektif, menghasilkan sebuah pemaksaan yang sifatnya subtil. Kuasa tidak hadir secara eksternal, melainkan internal, dan kehadirannya ada di mana-mana.

Konsep panoptikon yang Bentham tawarkan tersebut, sebagai bentuk dari sebuah penjara, sekarang tidak hanya hadir di dalam prototipe saja, namun juga di dalam masyarakat modern ini. Panoptikon merupakan simbol dari cara mendisiplinkan masyarakat melalui pengawasan. Ia menunjukkan bahwa pada saat ini kuasa tidak hadir secara terpusat, secara eksternal, namun tersebar, hadir di segala tempat, secara internal terhadap subjek.

METODE PENELITIAN

Dalam menelisik UU pornografi yang dihadirkan melalui teks, saya mengkombinasikan perspektif Foucaldian mengenai wacana dengan hermeneutika kritis secara umum. Melalui perspektif Foucauldian dan hermeneutika kritis dapat dilihat bagaimana wacana bekerja di dalam segala “netralitas” yang dianggap oleh legislator dan masyarakat, serta menyingkap teks tersembunyi di dalam suaut teks. Tiga hal yang dapat ditemukan melalui hermeneutika kritis adalah (Roberge, 2011: 1), pertama, mampu menemukan bagaimana pesan-pesan budaya disampaikan dan disembunyikan, bahwa ambiguitas makna selalu memberikan ruang bagi sekelompok orang untuk merepresentasikan dirinya untuk melakukan distorsi dan dominasi; kedua, menunjukkan bahwa tindakan dapat dimengerti dengan baik sebagai sebuah opposing performancesyang diarahkan oleh pandangan ideologis-moral, yang mana melalui analisis sosial dapat menunjukkan bahwa usaha dari sekelompok orang untuk melakukan keadilan justru memberikan ruang bagi mereka untuk melakukan eksklusi; ketiga, mengklarifikasi bahwasanya ketegangan dan dualisme antara makna dan makna dan tindakan tidak dipisahkan dari interpretasi diri sendiri darisetiap individual, menyingkapkan bahwa otonomi dari subjek sedang dipertaruhkan terkait permasalahan ideologi.

PEMBAHASAN

Perspektif Foucauldian terhadap UU Pornografi

Setiap individu, terlepas dari sadar atau tidak sadarnya mereka, tidak dapat dilepaskan dari wacana yang membentuk cara pandang mereka terhadap dunia. Hal itu tidak berlaku hanya bagi sebagian orang, atau masyarakat awam saja, namun juga orang-orang yang berada di dalam pemerintahan, akademisi, dan yang lainnya. Sehingga, dalam konteks penelitian ini, para perancang dan legislator, khususnya UU pornografi, adalah individu yang juga memiliki cara pandang dunia, dibentuk oleh wacana yang ada di sekitar mereka, sehingga menjadi sedemikian rupa. Sebagian dari mereka mungkin menyadari bagaimana cara mereka memandang dunia, namun belum tentu, dan menurut saya hampeir dapat dipastikan, bahwa mereka memahami bagaimana wacana membentuk cara pandang mereka terhadap dunia.

(7)

“pewacanaannya” (Foucault, 2008: 30). Untuk dapat melihatnya sebagai sebuah wacana perlu diketahui dalam bentuk apa, melalui jalur apa, dengan menyelinap, kekuasaan berhasil memayungi segala aktifitas seksual dari manusia di dalam bentuk yang paling halus. Sebanding dengan seksualitas, pornografi juga merupakan entitas yang pada saat ini diwacanakan keadaannya. Ketika sebuah, dan bahkan lebih, lembaga memiliki kuasa untuk berbicara mengenai pornografi, bahkan mendefinisikannya. Pornografi hadir sebagai sesuatu yang profane, yang haram, dan patut untuk dimusnahkan.

Teks apabila tidak dsertai oleh kuasa, adalah semata-mata sebuah teks. Misalnya, novel Percy Jackson yang ditulis oleh Rick Riordan, atau novel Harry Potter yang dituliskan oleh J. K Rowling. Kedua-duanya semata-mata merupakan sebuah teks, yang digunakan sebagai penghibur bagi sebagian orang. Namun, ketika teks disertai dengan kuasa, ia akan menjadi sebuah wacana. Misalnya, UU pornografi, yang tidak hanya semata-mata sebuah teks, namun juga memerintahkan disiplin serta hukuman terhadap individu yang melakukan sebuah tindakan tertentu. Melalui Foucault dapat dipahami bahwa sesungguhnya UU tentang pornografi merupakan sebuah praktek diskursif, wacana, dari sebuah institusi. Dalam kasus ini institusi yang memiliki andil banyak dalam melanggengkan wacana tersebut adalah negara. Wacana tersebut tidak ditampilkan di dalam UU pornografi secara eksplisit, melainkan secara implisit. Dan melalui UU tersebut ada sebuah wacana yang berusaha untuk disampaikan, dilanggengkan di dalam masyarakat. Untuk dapat mendapatkan hidden meaning, makna tersebunyi, yang disampaikan di dalam UU tersebut, UU tersebut harus diulas secara kritis dan sedemikian rupa pasal per pasal.

Sedari pasal pertama dari UU tersebut, nuansa wacana sebenarnya sudah ditampilkan secara implisit. Pasal pertama tersebut berbunyi:

Pasal 1

Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:

1. Pornografi adalah gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan lainnya melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum, yang memuat kecabulan atau eksploitasi seksual yang melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat.

2. Jasa pornografi adalah segala jenis layanan pornografi yang disediakan oleh orang perseorangan atau korporasi melalui pertunjukan langsung, televisi kabel, televisi teresterial, radio, telepon, internet, dan komunikasi elektronik lainnya serta surat kabar, majalah, dan barang cetakan lainnya.

3. Setiap orang adalah orang perseorangan atau korporasi, baik yang berbadan

hukum maupun yang tidak berbadan hukum.

4. Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun.

5. Pemerintah adalah Pemerintah Pusat yang dipimpin oleh Presiden Republik

Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

6. Pemerintah Daerah adalah Gubernur, Bupati, atau Walikota, dan perangkat

(8)

Ambiguitas makna selalu memberikan ruang bagi sekelompok orang untuk merepresentasikan dirinya untuk melakukan distorsi dan dominasi, dan beberapa pernyataan di dalam pasal ini, selain memiliki sifat yang ambigu, juga memiliki sifat yang multi-tafsir. Di dalam keberadaannya tersebut, terdapat ruang bagi seseorang untuk memaksakan wacana mereka mengenai sesuatu, dalam kasus ini: pewacanaan terhadap pornografi.

Foucault dalam melihat seksualitas membaginya ke dalam dua bentuk: ars erotica dan scientia sexualis. Ars erotica dapat diartikan sebagai seni erotis. Seni erotis tersebut biasanya dapat ditemukan di dalam kebudayaan yang ada pada masyarakat Asia, misalnya Cina, Jepang, India, Romawi Kuno, dan bahkan, menurut saya, Indonesia. Sedangkan, di sisi yang lain, masyarakat yang berada di Eropa daratan mempraktekkan scientia sexualis, dimana mereka berusaha untuk mengatakan kebenaran mengenai seks melalui prosedur yang ditata sedemikian rupa dalam bentuk pengetahuan-kekuasaan, melalui ilmu pengetahuan. Kbenearan tersebut disampaikan oleh dokter, psikiatris, seksolog, dan sejenisnya. Dan di dalam kasus UU pornografi, menurut saya, sebanding dengan seks, terdapat sebuah usaha untuk mengatakan permasalahan mengenai pornografi, bahkan seksualitas, secara legal, melalui hukum. Upaya untuk mengatakan kebenaran-kebenaran mengenai seks melalui moral, hukum, dan sebagainya merupakan suatu bentuk quae ad ius sexus, law relating to sex, hukum yang berhubungan dengan seks, singkatnya hukum tentang seks. Melalui hukum tentang seks, wacana dibentuk dan tampil sebagai kebenaran, bagaimana pornografi, dengan sangat jelas, sudah dinggap gamblang oleh legislator, dan nantinya oleh masyarakat.

Di sini peneliti tidak berusaha untuk mengatakan bahwa pornografi merupakan sebuah hal yang berguna, tidak berdampak buruk, dan sebagainya, saya tidak membicarakan dimensi etis dari pornografi. Melainkan saya berusaha untuk melihat bagaimana dampak dari diberlakukannya sebuah episteme spesifik ke dalam masyarakat, secara khusus masyarakat di Indonesia, yang sebenarnya juga memiliki sistem epistemenya sendiri. Bagaimana cara dari UU tersebut memaksakan episteme spesifik, wacananya, ke dalam masyarakat? Langkah paling awal yang perlu dilakukan oleh mereka adalah dengan mendefinisikan pornografi itu sendiri, karena salah satu mekanisme dari wacana adalah dengan melakukan pendefnisian. Pornografi didefinisikan sebagai,” … gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan lainnya melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum, yang memuat kecabulan atau eksploitasi seksual yang melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat.” Pendefinisian di dalam UU tersebut dilakukan dengan maksud memperluas definisi dari pornografi, namun, justru, yang dihasilkan adalah definisi yang ambigu dan multi-tafsir, hasilnya menjadi sebuah “pasal karet”.

(9)

Menyimpulkan dari definisi dari pornografi tersebut, ketika episteme yg diberlakukan adalah episteme tertentu, pengentalan terhadap satu nilai tertentu akan terjadi, sehingga beberapa budaya di dalam masyarakat dengan episteme yang berbeda dari episteme yang diwacanakan dapat dikategorikan sebagai sebuah bentuk dari pornografi. Ada asumsi-asumsi antropologis yang dimiliki oleh legislator. Di dalam pasal 3, misalnya, pasal tersebut meyatakan bahwasanya:

Pasal 3 Undang-Undang ini bertujuan:

a. mewujudkan dan memelihara tatanan kehidupan masyarakat yang beretika, berkepribadian luhur, menjunjung tinggi nilai-nilai Ketuhanan Yang Maha Esa, serta menghormati harkat dan martabat kemanusiaan;

b. menghormati, melindungi, dan melestarikan nilai seni dan budaya, adat istiadat, dan ritual keagamaan masyarakat Indonesia yang majemuk;

c. memberikan pembinaan dan pendidikan terhadap moral dan akhlak masyarakat; d. memberikan kepastian hukum dan perlindungan bagi warga negara dari pornografi,

terutama bagi anak dan perempuan; dan

e. mencegah berkembangnya pornografi dan komersialisasi seks di masyarakat.

Asumsinya adalah melalui UU tersebut legislator, dan pemerintah, hendak menjadikan masyarakat sebagai penduduk yang beretika, serta, secara kontradiktif, malahan mengaku hendak memelihara dan melestarikan masyarakat Indonesia yang majemuk. Padahal, sebaliknya, tidak sedikit budaya di Indonesia yang, melalui wacana tersebut, dapat dikategorikan sebagai sebuah bentuk dari pornografi, bahkan pornoaksi, melihat bahwa pada dasarnya sebagian dari budaya yang ada di Indonesia bebentuk ars erotica. Misalnya, secara khusus, budaya yang menampilkan erotisisme di dalam kesehariannya adalah budaya Bali. Di dalam masyarakat Bali, ketelanjangan merupakan sebuah keseharian mereka, baik di dalam keseharian perempuan maupun laki-laki. Apa yang dianggap sebagai sebuah tindakan pornoaksi, atau pornografi, bagi para legislator, merupakan sebuah tindakan yang normal di dalam masyarakat Bali tersebut. Menurut Nyoma Wijaya, ketelanjangan dari perempuan Bali merupakan bentuk dari kejujuran. Tidak hanya kebudayaan Bali saja yang menunjukkan,” … pertunjukan di muka umum … yang melanggar norma kesussilaan masyarakat,” namun juga kebudayaan di Papua terkait koteka, yang bahkan sampai saat ini masih tidak sulit untuk ditemukan. Tidak mengherankan apabila penolakan sebelumnya terhadap RUU pornografi dengan keras dilakukan oleh, salah satunya, dari masyarakat Bali, bahkan gubernur Bali yang menjabat pada saat itu. Ia menganggap bahwa disahkannya RUU tersebut merupakan sebuah bentuk “diskriminasi sebagian warga bangsa.”

Sebagai sebuah wacana, UU pornografi, ia merupakan quae ad ius sexus, law relating to sex, ada pemaksaan universalitas terhadap lokalitas. Bagaimana mungkin legislator dapat membagi nilai kepada mereka mengenai pornografi, ketika mereka sebagai indigenous people, penduduk asli, memiliki nilai yang berbeda dari nilai yang dipahami “pada umumnya” mengenai pornografi?

UU Pornografi: Melindungi Perempuan?

(10)

dalam UU tersebut tidak mungkin tertampilkan secara eksplisit, namun melalui analisis terhadap latar belakang budaya, bagaimana UU tersebut bekerja, prakteknya di dalam masyarakat, sampai saat ini, maka tersembunyi tersebut dapat disibakkan. Tiga poin yang dipelajari melalui hermeneutika kritis, yang bisa menjadi titik mulai untuk melihat UU tersebut adalah: pertama, bahwa ambiguitas makna memberikan ruang agar terjadi dominasi dan distori; kedua, tindakan dapat dimengerti melalui analisis ideologis-moral dibaliknya, bahwa keinginan utnuk melakukan keadilan memberikan ruang bagi suatu kelompok untuk melakukan eksklusi; dan, ketiga, bahwa makna dan tindakan tidak dipisahkan dari interpretasi diri sendiri dari setiap individual, menyingkapkan bahwa otonomi dari subjek sedang dipertaruhkan terkait permasalahan ideologi.

Pada pasal ketiga dari UU tersebut, yang sudah ditampilkan sebelumnya, terdapat lima tujuan dari dibuatnya, dan disahkannya, UU tersebut oleh pemerintah. Salah satu tujuan yang menurut saya masih mengandung ambiguitas, dan bahkan merupakan pernyataan yang multitafsir adalah pernyataan nomor empat, bahwa UU tersebut,”[M]emberikan kepastian hukum dan perlindungan bagi warga negara dari pornografi, terutama bagi anak dan perempuan.” Seperti yang sudah dijelaskan pada paragraf-paragraf sebelumnya, bahwa pernyataan,” … kepastian hukum dan perlindungan bagi … perempuan,” adalah pernyataan yang mengandung ambiguitas, dan saya menawarkan beberapa alternatif dalam menafsirkan pernyataan tersebut.

Pertama, bahwa perempuan harus dilindungi agar tidak terekspos oleh pornografi, kasarnya bahwa perempuan, secara khusus dinyatakan di dalam UU tersebut, tidak boleh mengakses pornografi. Penafsiran tersebut saya peroleh dengan mengikuti logika dari pernyataan sebelumnya, bahwa anak-anak harus dilindungi dari pornografi. Namun, permasalahannya, apa yang berusaha dinyatakan melalui UU tersebut memang merupakan perkara bahwa pornografi merupakan sebuah tindakan yang tidak etis, yang berarti bahwa tidak hanya perempuan yang tidak diperbolehkan untuk mengakses pornografi, melainkan setiap warga negara yang berada di bawah kuasa UU tersebut. Lantas, kenapa perempuan menjadi subjek yang harus disebut secara khusus oleh UU tersebut? Tafsiran yang kedua, adalah bahwa perempuan merupakan korban dari pornografi, sama seperti kasus pornografi anak, artinya bahwa di dalam setiap bentuk pornografi, pasti, di sana perempuan hadir sebagai korban. Pornografi merupakan media yang mengeksploitasi tubuh perempuan, sehingga, mengikuti logika dari pernyataan tersebut, perempuan yang berada di dalam media pornografi merupakan korban dan bukan pelaku. Lantas, pertanyaan yang muncul terhadap tafsiran kedua tersebut adalah, apakah perempuan adalah satu-satunya subjek yang dieksploitasi? Bagaimana dengan laki-laki, apakah mereka juga tidak ikut dieksploitasi?

(11)

Pada akhirnya, lebih parah lagi, justru tidak hanya negara yang mengutuk perempuan sebagai terdakwa, kuasa hadir secara tersebar di dalam masyarakat. Terjadi panoptikon terhadap tubuh perempuan. Negara menjadi mata elang bagi masyarakat, dan secara khusus bagi perempuan. Perempuan memiliki kesadaran bahwa terdapat kuasa yang selalu memperhatikan mereka, namun, di sisi lainnya, mereka tidak bisa memastikannya, sehingga mereka harus selalu mengasumsikan bahwa diri mereka berada di bawah kuasa. Independensi perempuan terhadap tubuhnya menghilang. Tradisi victim blaming justru dilanggengkan oleh UU pornografi tersebut.

KESIMPULAN

Di dalam perspektif Foucauldian, UU pornografi bukan sebuah teks yang hadir sebagai teks yang murni. Melainkan sebuah teks yang disertai oleh kuasa, sehingga ia hadir menjadi sebuah wacana di dalam masyarakat, yang mampu mendisiplinkan mereka. Ia, menurut saya, merupakan bentuk dari budaya quae ad ius sexus, law relating to sex. Sebagai sebuah wacana, ia mendefinisikan pornografi dengan episteme spesifik, sehingga episteme lainnya yang sudah hadir sebelumnya, mau tidak mau dipaksakan untuk menerima definisi yang ditawarkan oleh legislator. Pada akhirnya, justru, mengikuti pernyataan dari gubernur Bali, UU tersebut merupakan sebuah diskriminasi terhadap sebagian dari warga negara. Tidak hanya terhadap penduduk asli, UU tersebut justru juga menjadikan perempuan, tidak hanya sebagai korban, justru sebagai pelaku. Ketika negara hadir sebagai panoptikon, independensi perempuan terhadap tubuhnya juga ikut menghilang.

DAFTAR REFERENSI

Berteens, K. (2001). Sejarah filsafat abad XX, jilid II: Prancis. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Foucault, M. (2008). Ingin tahu: sejarah seksualitas. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Foucault, M., & Sheridan, A. (1995). Discipline and punish: the birth of the prison. New York: Vintage Books.

Gahral, D. (2011). Setelah marxisme. Depok: Penerbit Koekoesan.

Jonathan, R. (2011). What is critical hermeneutics?. Thesis eleven, 5-22.

Weeks, J. (1982). Foucault for historians. History Workshop, No. 14 (Autumn, 1982), pp. 106-119.

Y. Rahmawani. (2006). Pro dan kontra undang-undang anti pornografi. Al-Mawarid Edisi XV Tahun 2006, pp. 35-42

https://www.komnasperempuan.go.id/memberantas-pornografi-menghadirkan-hukum-yang-berkeadilan/ diakses pada tanggal 10 Juli 2017 19.34

http://www.bbc.com/indonesia/trensosial-39958579 diakses pada tanggal 10 Juli 2017 pukul 21.45

(12)

Gambar

Gambar 1. Sketsa penjara panoptikon yang Bentham tawarkan.

Referensi

Dokumen terkait

Segera Obati penyakit anda sebelum menyerang organ tubuh yang lain dan semakin susah disembuhkan, jadi anda juga tak perlu khawatir karena Obat Herbal De Nature

Unjuk kerja menuliskan pokok-pokok informasi yang berkaitan dengan pengaruh perubahan cuaca terhadap kegiatan manusia PPKn 1.4 2.4 3.4 4.4 Menjelaskan dan menuliskan Pentingnya

development of teachers of technology and vocational generally have qualified education (S1) or D IV in accordance with the Act of teachers and professors, even quite a lot that

Membangun Sistem Perangkat Lunak untuk Efisiensi Biaya Proyek Pembangunan dengan Memanfaatkan FLOAT pada Metode Analisis Jaringan

Hasil pengujian dengan uji t (I-test) menunjukkan bahwa hanya ada empat variabel yang berpengaruh dan secara statistik signifikan terhadap keputusan pendanaan pada

Dengan demikian, komitmen politik akan mengalami konkretisasi di dalam praktik demokratisasi politik, di mana sosok perempuan tidak lagi hanya sebagai “objek” pemenuhan suara

Alternatif strategi pada matriks hasil analisis TOWS (Tabel 5) dihasilkan dari penggunaan unsur-unsur kekuatan untuk mendapatkan peluang yang ada (SO), penggunaan kekuatan yang

Semua biaya di atas dibebankan ke dalam biaya ICU meskipun apabila pasien masih dirawat di ICU dan berdasarkan print out rincian pengeluaran biaya perawatan pasien di manajemen