• Tidak ada hasil yang ditemukan

OPINI TENTANG DAMPAK DARI PERADABAN MOD

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "OPINI TENTANG DAMPAK DARI PERADABAN MOD"

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

“OPINI TENTANG DAMPAK DARI PERADABAN MODERNISASI TERHADAP

PERGESERAN NILAI-NILAI DI INDONESIA”

Di ajukan guna melengkapi tugas mandiri serta Ujian Tengah Semester Mata Kuliah Ilmu Sosial Budaya

Oleh :

Tantik Dahlia 130810201048 Kelas SBD.02

JURUSAN MANAJEMEN S1 FAKULTAS EKONOMI UNIVERSITAS JEMBER

(2)

KATA PENGANTAR

Dengan Rahmat Allah Yang Maha Kuasa, penyusunan makalah yang berjudul “Budaya Korupsi Sebagai Problematika Soaial Budaya Di Indonesia dan Peran Pemerintah dalam Menanganinya” dapat diselesaikan tepat pada waktunya meskipun dalam bentuk maupun isinya yang sangat sederhana.

Harapan saya semoga makalah ini dapat dipergunakan sebagai salah satu acuan, petunjuk maupun pedoman, juga membantu menambah pengetahuan dan pengalaman bagi para pembaca, sehingga untuk kedepannya saya dapat memperbaiki bentuk maupun isi dari makalah ini dengan lebih baik.

Saya menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna, oleh karena itu segala kritik dan saran yang bersifat konstruktif untuk penyempurnaan makalah ini, dari siapapun datangnya, penulis akan menerima dan menyambutnya dengan segala kerendahan hati.

Akhir kata, kami sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah berperan serta dalam penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir. Semoga Allah Yang Maha Kuasa senantiasa meridhai segala usaha kita. Amin.

Jember, 04 April 2014

(3)

IDENTITAS PRIBADI

1. Nama : Tantik Dahlia

2. Nim : 130810201048

3. Jurusan/Program Studi : Manajemen

4. Fakultas : Ekonomi

5. Semester : II (dua)

6. Alamat email : tantik_jujha@yahoo.com

7. Agama : Islam

8. Jenis Kelamin : Perempuan

9. Tempat, Tanggal lahir : Probolinggo, 06 Juni 1995 10. Golongan Darah : AB

11. Alamat Asal : Dsn. Karang Anyar RT/RW:11?04 Ds.Bucor Wetan Pakuniran-Probolinggo

12. Alamat Di Jember : Jl. Jawa Gang.7 No.124

13. Nama Ayah : Hosen

14. Nama Ibu : Parma

15. Anak ke : 2 (dua) dari 2 bersaudara

(4)

HALAMAN JUDUL………..……….i

KATA PENGANTAR………..………...ii

IDENTITAS DIRI………..………...iii

DAFTAR ISI………...iv

BAB I PENDAHULUAN………..…...1

1.1. Latar Belakang Masalah………... ……1

1.2. Pemecahan Masalah………... ………..2

1.3. Manfaat Penulisan………... ………...2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA………..………...3

2.1. Pengertian Korupsi………... ………..………....3

2.2. Jenis-Jenis korupsi…… ………..4

BAB III PEMBAHASAN………...8

3.3. Gambaran Umum dan Persepsi Masyarakat tentang Korupsi di Indonesia ………....8

3.2. Budaya Korupsi di Indonesia………..……….9

3.3. Faktor-faktor Penyebab Terjadinya Korupsi di Indonesia ………10

3.4. Akibat Atau Dampak Dari Korupsi………...13

3.5. Peran Pemerintah Dalam Memberantas Korupsi...14

BAB IV PENUTUP………...…..16

Kesimpulan dan Saran………..16

DAFTAR PUSTAKA………...17

(5)

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kata Korupsi mungkin sudah tidak menjadi hal yang asing lagi di telinga masyarakat Indonesia, pasalnya hampir setiap hari media disibukkan dengan pemberitaan korupsi, baik di media surat kabar maupun media elektronik di negeri ini. Sehingga Korupsi jelas menjadi fenomena memprihatinkan bagi bangsa ini. Bangsa yang luhur, beretika, bermoral ketimuran kini mulai luntur seiring menghegimoninya praktik korupsi.

Tindakan Korupsi di sini dapat dipahami sebagai penyalahgunaan kekuasaan demi keuntungan pribadi atau kelompok. Selain itu tindakan korupsi tersebut juga dapat diartikan sebagai pengutamaan kepentingan pribadi atau klien di atas kepentingan publik oleh para pejabat atau aparatur negara yang bersangkutan (Braz dalam Lubis dan Scott; 1985).

Beberapa tahun terakhir ini masyrakat Indonesia tanpa henti disuguhi dengan sederetan sandiwara di panggung dunia hukum. Semuanya bermuara pada tidak adanya perpaduan antara penerapan hukum formal dengan nilai moral. Alasan logis dan legal bahwa “belum ada cukup bukti” mengakibatkan dilupakannya banyak kasus di negeri ini. Sehingga masih banyak pejabat dan tokoh publik yang terjerat kasus korupsi tanpa malu masih nyaman tampil tanpa beban.

Korupsi sudah tidak lagi dianggap sebagai perilaku menyimpang individu ataupun orang per orang. Melainkan sudah menggejala ke berbagai institusi, baik eksekutif, yudikatif, dan legislatif hanya untuk memperkaya diri sendiri dan kelompoknya. Nampaknya korupsi telah menancap kuat pada sendi-sendi kehidupan Negara dan memungkinkan akan menjadi budaya baru dalam hidup bernegara. Fenomena ini patut di perhatikan dan diwaspadai secara serius karena dampak dari tindakan korupsi tidak hanya sekedar merugikan keuangan Negara namun lebih dari itu, menciptakan kemiskinan, menciptakan pengangguran dan memicu tindakan kriminalitas, bahkan mengubur masa depan bangsa.

Hal yang jelas adalah bahwa korupsi yang terjadi dalam level manapun merupakan hal yang dapat menghancurkan nilai-nilai etika serta norma sosial dan nilai agama, sehingga dapat menjadi perilaku yang mengkorupsi budaya, dan ketika secara bertahap atau sekaligus diterima oleh masyarakat sebagai sesuatu yang wajar, maka disitu telah terjadi korupsi budaya yang kemudian membentuk budaya korupsi.

(6)

menghentikan budaya korupsi. Selain itu sangatlah di perlukan integritas dan konsistensi pemerintah bersama semua lembaga tinggi dan tertinggi Negara untuk membangun sistem, tata kelola dan kebijakan yang membuat korupsi tidak berdaya.

Menghapus budaya korupsi haruslah dengan membangun mindset, bahwa jabatan adalah alat untuk pelayanan dari integritas, dan bukan sebagai alat untuk mendapatkan keuntungan. Sudah waktunya untuk mengakhiri budaya korupsi. Bila tidak segera mengambil langkah-langkah untuk menghapus budaya korupsi, maka setiap orang berpotensi di jadikan hamba korupsi oleh sistem kehidupan dalam budaya korupsi.

1.2 Rumusan Masalah

1. Bagaimana gambaran umum dan persepsi masyarakat tentang korupsi di Indonesia? 2. Apakah Korupsi sudah menjadi budaya Indonesia?

3. Apa saja penyebab terjadinya korupsi di Indonesia? 4. Apa akibat atau dampak dari korupsi?

5. Bagaimana peran pemerintah dalam memberantas Korupsi? 1.3 Manfaat Penulisan

1. Bagi Penulis

Penulisan makalah ini disusun sebagai salah satu pemenuhan tugas mandiri dari mata kuliah Ilmu Sosial dan Budaya Dasar (SBD). Selain itu makalah ini bisa menjadi sumber acuan bagi penulis untuk lebih mengetahui dan memahami tentang korupsi dan akibat-akibat yang ditimbulkan dari tindakan korupsi.

2. Bagi pihak lain

Makalah ini diharapkan dapat menambah referensi pustaka yang berhubungan dengan permasalahan dan upaya penyelesaian Korupsi di Indonesia. Selain itu makalah ini diharapakan dapat menjadi sebuah sumber wawasan bagi semua pihak yang membaca makalah ini untuk membuka pikiran masyarakat luas tentang bahaya korupsi terhadap kepribadian Bangsa.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Korupsi

(7)

Menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa indonesia) menyebutkan bahwa korupsi bermakna penyelewengan atau penggelapan (uang Negara atau perusahaan) untuk kepentingan pribadi atau orang lain. Korupsi menurut Black’s Law Dictionary korupsi adalah perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk memberikan suatu keuntungan yang tidak resmi dengan hak-hak dari pihak lain secara salah menggunakan jabatannya atau karakternya untuk mendapatkan suatu keuntungan untuk dirinya sendiri atau orang lain, berlawanan dengan kewajibannya dan hak-hak dari pihak lain.

Menurut Syeh Hussein Alatas menyebutkan benang merah yang menjelujuri dalam aktivitas korupsi, yaitu subordinasi kepentingan umum di bawah kepentingan tujuan-tujuan pribadi yang mencakup pelanggaran norma-norma, tugas, dan kesejahteraan umum, dibarengi dengan kerahasian, penghianatan, penipuan dan kemasabodohan yang luar biasa akan akibat yang diderita oleh masyarakat.

Korupsi menurut wikipedia perilaku pejabat publik, baik politikus/politisi maupun pegawai negeri, yang secara tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri atau memperkaya mereka yang dekat dengannya, dengan menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan kepada mereka.

Korupsi menurut Pasal 2 Undang-Udang No. 31 Tahun 1999 “Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonoman negara…”

Korupsi menurut corruption is the abuse of trust in the interest of private gain penyelahgunaan amanah untuk kepentingan pribadi. Sedangkan Korupsi menurut Pasal 3 Undang-Udang No. 31 Tahun 1999 Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.

Korupsi menurut wikipedia Dalam arti yang luas, korupsi atau korupsi politis adalah penyalahgunaan jabatan resmi untuk keuntungan pribadi. Semua bentuk pemerintah/pemerintahan rentan korupsi dalam prakteknya. Beratnya korupsi berbeda-beda, dari yang paling ringan dalam bentuk penggunaan pengaruh dan dukungan untuk memberi dan menerima pertolongan, sampai dengan korupsi berat yang diresmikan, dan sebagainya. 2.2 Jenis-Jenis Korupsi

(8)

difungsikan dan dioptimalkan untuk mencegah dan menanggulangi perbuatan korupsi yang dilakukan para birokrat dan para pelaku dengan menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, dan sarana serta prasarana yang ada karena kedudukan dan jabatannya, yang secara langsung dan tidak langsung merugikan ekonomi dan keuangan negara.

Melihat pengertian di atas maka korupsi dapat dibagi menjadi beberapa jenis atau tifologi. Hal ini dipertegas Syed Husain Alatas, jenis-jenis korupsi tersebut antara lain:

1. Korupsi Transaksi, jenis korupsi yang menunjuk adanya kesepakatan timbak balik antara pihak pemberi dan pihak penerima yang kedua pihak memperoleh keuntungan. 2. Korupsi Perkerabatan, jenis korupsi yang menyangkut penyalahgunaan kekuasaan dan

kewenangan untuk berbagai keuntungan bagi teman atau sanak saudara serta kroni-kroninya.

3. Korupsi yang Memeras, biasanya korupsi yang dipaksakan kepada suatu pihak yang disertai dengan ancaman, teror, penekanan terhadap kepentingan orang-orang dan hal-hal demikiannya.

4. Korupsi Insentif, korupsi yang dilakukan dengan cara memberikan suatu jasa atau barang tertentu kepada pihak lain demi keuntungan masa depan.

5. Defensif, yaitu pihak yang dirugikan terpaksa ikut terlibat didalammya atau membuat pihak tertentu terjebak atau bahkan menjadi korban perbuatan korupsi.

6. Korupsi Otogenik, korupsi yang dilakukan seseorang, tidak ada orang lain ataupun pihak lain terlibat didalammya.

7. Korupsi Suportif, korupsi yang dilakukan dengan cara memberikan dukungan.

Jenis korupsi menurut Guy Benveniste yang terdapat dalam Pasal 2-Pasal 12 Undang-Undang No.31 Tahun 1999 adalah:

1. Discretionary Corruption adalah korupsi yang dilakukan karena ada kebebasan dalam menentukan kebijaksanaan.

(9)

3. Mercenary Corruption adalah tindakan korupsi untuk kepentingan pribadi. 4. Ideological Corruption adalah korupsi untuk mengejar tujuan kelompok. Karakteristik dan dimensi kejahatan korupsi dapat diidentifikasikan yaitu:

1. Masalah korupsi terkait dengan berbagai kompleksitas masalah, antara lain, masalah moral/sikap mental, masalah pola hidup dan budaya serta lingkungan sosial, masalah kebutuhan/tuntutan ekonomi dan kesenjangan sosial ekonomi, masalah struktur/sistem ekonomi, masalah sistem/budaya politik, masalah mekanisme pembangunan dan lemahnya birokrasi/prosedur administrasi (termasuk sistem pengawasan) dibidang keuangan dan pelayananan publik. Jadi, kausa dan kondisi yang bersifat kriminogen untuk timbulnya korupsi sangatlah luas (multidimensi), yaitu bisa dibidang moral, sosial, ekonomi, politik, budaya, dan birokrasi/administrasi.

2. Mengingat sebab-sebab yang multidimensional itu, maka korupsi pada hakikatnya tidak hanya mengandung aspek ekonomis (yaitu merugikan keuangan/ perekonomian negara dan memperkaya diri sendiri/orang lain), tetapi juga mengandung korupsi nilai-nilai moral, korupsi jabatan/kekuasaan, korupsi politik dan nilai-nilai-nilai-nilai demokrasi. 3. Mengingat aspek yang sangat luas itu, sering dinyatakan bahwa korupsi termasuk atau

terkait juga dengan economic crimes, organized crimes, illicit drug trafficking, money laundering, white collar crime, political crime, top hat crime, dan bahkan transnational crime.

4. Karena terkait dengan masalah politik/jabatan/kekuasaan (termasuk top hat crime), maka di dalamnya mengandung kembar yang dapat menyulitkan penegakan hukum yaitu adanya penalisasi politik dan politisasi proses peradilan pidana.

Bila diperhatikan Undang-Undang No.31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, maka dapat ditarik beberapa asas yang tercakup di dalamnya yang dapat membedakannya dengan undang-undang tindak pidana lainnya, asas-asas tersebut diantaranya adalah:

1. Pelakunya adalah setiap orang.

(10)

3. Adanya pidana minimum dan maksimum.

4. Percobaan melakukan Tindak Pidana Korupsi, pembantuan pemufakatan jahat melakukan Tindak Pidana Korupsi sama hukumannya dengan delik yang sudah selesai.

5. Setiap orang yang memberikan bantuan, kesempatan, sarana dan keterangan sehingga dapat terjadi tindak pidana korupsi dipidana sama sebagai pelaku tindak pidana korupsi.

6. Mempunyai pidana tambahan selain yang diatur KUHP, misalnya seperti: (1) Perampasan barang bergerak dan barang yang tidak bergerak baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud, (2) Pembayaran uang ganti rugi yang jumlahnya maksimal dengan harga yang diperoleh dari tindak korupsinya, (3) Pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu

7. Jika terpidana tidak dapat membayar uang pengganti selama 1 bulan setelah putusan maka harta bendanya dapat disita oleh jaksa dan dilelang.

8. Dapat dibentuk Tim Gabungan di bawah koordinasi Jaksa Agung

9. Dalam hal terpidana tidak mempunyai harta benda yang cukup untuk membayar pengganti, maka dipidana penjara yang lamanya melebihi ancaman maksimum dari pidana pokoknya sesuai ketentuan undang-undang.

10. Orang yang dengan sengaja memberikan keterangan yang tidak benar mengenai tindak pidana korupsi maka dapat dipidana.

11. Penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan disidang pengadilan didahulukan dari perkara lain guna penyelesaian secepatnya.

12. Tersangka wajib memberikan keterangan tentang seluruh harta bendanya.

13. Penyidik/Jaksa Penuntut Umum/Hakim berwenang meminta keterangan kepada Bank tentang keadaan keuangan Tersangka.

(11)

16. Putusan bebas dalam perkara korupsi tidak menghapuskan hak untuk menuntut kerugian terhadap keuangan negara.

17. Ahli waris tersangka/terdakwa/terpidana korupsi dapat digugat untuk menuntut kerugian negara.

18. Dalam tindak pidana korupsi dikenal dengan pembuktian terbalik. 19. Dapat diadili in absentia.

20. Hakim atas tuntutan Penuntut Umum menetapkan perampasan barang-barang yang telah disita.

21. Orang yang berkepentingan atas perampasan dapat menngajukan keberatan ke pengadilan.

(12)

BAB III PEMBAHASAN

3.1 Gambaran Umum dan Persepsi Masyarakat tentang Korupsi di Indonesia

KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme) sudah terjadi, bahkan sebelum Indonesia merdeka. Berawal sejak Indonesia masih berupa kerajaan-kerajaan, nepotisme sudah berjalan karena tahta raja diwariskan secara turun temurun. Bukan tidak mungkin, pada masa itu korupsi dan kolusi pun mulai merebak, seiring adanya upeti yang harus dibayarkan rakyat kepada raja yang bekuasa.

Pada masa penjajahan Belanda tepatnya saat tanam paksa dilakukan, ada enam peraturan tentang tanam paksa yang kesemuanya dilanggar oleh pihak Belanda ataupun para aparaturnya. Salah satunya peraturan bahwa tanah yang ditanami tanaman wajib yaitu 1/5 tanah penduduk tidak dipungut pajak, namun dalam praktiknya penduduk tetap diwajibkan membayar upeti yang tidak hanya dinikmati orang belanda tapi juga aparaturnya yang termasuk pribumi. Jelaslah bahwa hal ini merupakan tindak korupsi.

Seiring dengan berjalannya waktu, 17 Agustus 1945 bangsa Indonesia telah memproklamasikan kemerdekaannya, tetapi bangsa Indonesia tetap belum merdeka dari korupsi. Bahkan pada masa pemerintahan Soekarno, korupsi masih menjadi penyakit bangsa yang sulit diobati meski telah dua kali dibentuk badan pemberantasan korupsi bernama PARAN (Panitia Retooling Aparatur Negara) dan Operasi Budhi. Sayangnya Operasi Budhi yang mampu menyelamatkan uang negara sebanyak Rp 11 miliar, harus dibubarkan karena dianggap mengganggu prestise presiden yang mengetuai badan tersebut.

Bergantinya masa orde lama menjadi masa orde baru nyatanya tidak mampu membuat korupsi menghilang, tapi semakin merajalela karena tertutupnya sitem pemerintahan saat itu. Perusahaan-perusahaan negara seperti Bulog, Pertamina serta Departemen Kehutanan menjadi sorotan tajam masyarakat karena dianggap sebagai sarang koruptor. Keberadaan Tim Pemberantasan Korupsi (TPK) pun dipertanyakan karena dianggap tidak mampu mencegah ataupun menindaklanjuti perkara korupsi kala itu.

(13)

Nepotisme (KKN). Tuntutan tersebut akhirnya dituangkan di dalam Ketetapan MPR Nomor IV/MPR/1999 & Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih & Bebas dari KKN.

Ironinya Korupsi di Indonesia semakin merajarela hingga kini, ditambah kasus kasus Korupsi yang terjadi beberapa tahun terakhir ini yang telah menjadi suguhan dari media kepada rakyat Indonesia. Rakyat kecil yang tidak memiliki alat pemukul guna melakukan koreksi dan memberikan sanksi pada umumnya bersikap acuh tak acuh. Namun yang paling menyedihkan adalah sikap rakyat menjadi apatis dengan semakin meluasnya praktik-praktik korupsi oleh be-berapa oknum pejabat lokal, maupun nasional.

Kelompok mahasiswa sering menanggapi permasalahan korupsi dengan emosi dan de-monstrasi. Tema yang sering diangkat adalah “penguasa yang korup” dan “derita rakyat”. Mereka memberikan saran kepada pemerintah untuk bertindak tegas kepada para koruptor. Hal ini cukup berhasil terutama saat gerakan reformasi tahun 1998. Mereka tidak puas terhadap perbuatan manipulatif dan koruptif para pejabat. Oleh karena itu, mereka ingin berpartisipasi dalam usaha rekonstruksi terhadap masyarakat dan sistem pemerintahan secara menyeluruh, mencita-citakan keadilan, persamaan dan kesejahteraan yang merata.

3.2 Budaya Korupsi di Indonesia

Mungkin kita sering kali mendengar ataupun sering membaca tentang adanya sebuah kata Budaya Korupsi. Tentu kita akan bertanya-tanya apakah benar adanya bahwa korupsi sudah menjadi budaya di negeri ini. Namun apabila kita di tanya apakah korupsi sudah menjadi budaya? jawabannya pasti akan bervariasi tergantung apa yang dimaksud dengan budaya serta kekuatan ikatannya dalam menentukan pola dan norma kehidupan sosial masyarakat. Namun Melihat kasus kasus Korupsi di Indonesia yang semakin hari semakin memprihatinkan, dan juga adanya kenyataan bahwa korupsi di Indonesia seakan-akan menjadi kebutuhan seperti makanan pokok yang di konsumsi oleh semua lapisan penyelenggara Negara dan lapisan masyarakat kecil, korupsi seakan – akan sudah menjadi kebudayaan yang legal dan tidak dilarang baik dari pandangan agama maupun hukum.

(14)

Moh Hatta pernah menyatakan bahwa korupsi di indonesia telah menjadi budaya dengan melihat fenomena yang terjadi, namun bila budaya itu diwariskan apakah nenek moyang kita mengajarkan korupsi atau suatu perbuatan yang kemudian dalam masa modern disebut korupsi ?, masalahnya jelas jadi rumit oleh karena itu penyebutan tersebut perlu dilakukan hati-hati atau harus dengan referensi pemaknaan budaya yang spesifik dengan selalu memperhatikan continuity and change. Dan bukankah kata budaya berasal dari bahasa sansekerta yaitu buddhayah artinya hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia. Jika demikian, korupsi bukan budaya karena budaya bersifat positif sedangkan korupsi bersifat negatif.

Lagi pula penggunaan embel-embel budaya pada korupsi tidaklah tepat karena jika korupsi adalah budaya, korupsi harus dilestarikan layaknya budaya-budaya lain. Jika korupsi diberikan lebel budaya, maka para koruptorlah yang benar karena telah melestarikan budaya. Namun kita semua tahu bahwa tindak korupsi tidaklah benar apapun alasannya. Di dunia ini, tak ada satupun negara yang terbebas dari korupsi sehingga janganlah kita berpikir korupsi adalah budaya bangsa. Hilangkanlah kata budaya pada korupsi karena sebenarnya korupsi adalah perilaku menyimpang yang menjangkiti seseorang. Tapi, galakkan lah budaya antikorupsi karena yang sebenarnya harus dibudayakan adalah pemberantasan korupsi.

3.3 Faktor-faktor Penyebab Terjadinya Korupsi di Indonesia

Berikut merupakan faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya korupsi di Indonesia :  Tidak Menerapkan ajaran Agama. Indonesia dikenal sebagai bangsa religius yang

tentu akan melarang tindak korupsi dalam bentuk apapun. Kenyataan di lapangan menunjukkan bila korupsi masih berjalan subur di tengah masyarakat. Situasi paradok ini menandakan bahwa ajaran agama kurang diterapkan dalam kehidupan.

Kelemahan Sistem pengangkatan pejabat partai politik dan pejabat pemerintahan,

Kelemahan pengkaderan partai dan pencalonan pemimpin partai atau yang akan menjadi pejabat publik, legislatif atau pengawas pejabat publik yang tidak transparan dan berbiaya tinggi memicu terjadi korupsi sebagai tindakan untuk mencapai balik modal saat biaya mahal yang telah dikeluarkan saat menjadi pejabat partai dan pejabat publik

Kurang Memiliki Keteladanan Pimpinan Posisi pemimpin dalam suatu lembaga formal

(15)

bisa memberi keteladanan yang baik di hadapan bawahannya, misalnya berbuat korupsi, maka kemungkinan besar bawahnya akan mengambil kesempatan yang sama dengan atasannya.

Tidak Memiliki Kultur Organisasi yang Benar Kultur organisasi biasanya punya pengaruh kuat terhadap anggotanya. Apabila kultur organisasi tidak dikelola dengan baik, akan menimbulkan berbagai situasi tidak kondusif mewarnai kehidupan organisasi. Pada posisi demikian perbuatan negatif, seperti korupsi memiliki peluang untuk terjadi.

Sistem Akuntabilitas yang Benar di Instansi Pemerintahan yang Kurang Memadai Pada institusi pemerintahan umumnya belum merumuskan dengan jelas visi dan misi yang diembannya dan juga belum merumuskan dengan tujuan dan sasaran yang harus dicapai dalam periode tertentu guna mencapai misi tersebut. Akibatnya, terhadap instansi pemerintah sulit dilakukan penilaian apakah instansi tersebut berhasil mencapai sasaranya atau tidak. Akibat lebih lanjut adalah kurangnya perhatian pada efisiensi penggunaan sumber daya yang dimiliki. Keadaan ini memunculkan situasi organisasi yang kondusif untuk praktik korupsi.

Kelemahan Sistem Pengendalian Manajemen Pengendalian manajemen merupakan salah satu syarat bagi tindak pelanggaran korupsi dalam sebuah organisasi. Semakin longgar/lemah pengendalian manajemen sebuah organisasi akan semakin terbuka perbuatan tindak korupsi anggota atau pegawai di dalamnya.

Manajemen Cendrung Menutupi Korupsi di Organisasi Pada umumnya jajaran manajemen selalu menutupi tindak korupsi yang dilakukan oleh segelintir oknum dalam organisasi. Akibat sifat tertutup ini pelanggaran korupsi justru terus berjalan dengan berbagai bentuk.

Aspek Tempat Individu dan Organisasi Berada Nilai-nilai di masyarakat kondusif untuk terjadinya korupsi Korupsi bisa ditimbulkan oleh budaya masyarakat. Misalnya, masyarakat menghargai seseorang karena kekayaan yang dimilikinya. Sikap ini seringkali membuat masyarakat tidak kritis pada kondisi, misalnya dari mana kekayaan itu didapatkan.

(16)

peraturan yang monopolistik yang hanya menguntungkan kroni penguasa, kualitas peraturan yang kurang memadai, peraturan yang kurang disosialisasikan, sangsi yang terlalu ringan, penerapan sangsi yang tidak konsisten dan pandang bulu, serta lemahnya bidang evaluasi dan revisi peraturan perundang-undangan.

1. Dorongan dari dalam diri sendiri (keinginan, hasrat, kehendak, dan sebagainya) 2. Rangsangan dari luar (dorongan dari teman, adanya kesempatan, kurang kontrol dan

sebagainya).

3. Gaji pegawai negeri yangh tidak sebanding dengan kebutuhan yang semakin tinggi 4. Latar belakang kebudayaan atau kultur Indonesia yang merupakan sumber atau sebab

meluasnya korupsi

5. Manajemen yang kurang baik dan kontrol yang kurang efektif dan efesien, yang memberikan peluan untuk korupsi;

6. Modernisasi pengembangbiakan korupsi.

Aspek Individu Pelaku Sifat Tamak Manusia Kemungkinan orang melakukan korupsi bukan karena orangnya miskin atau penghasilan tak cukup. Kemungkinan orang tersebut sudah cukup kaya, tetapi masih punya hasrat besar untuk memperkaya diri. Unsur penyebab korupsi pada pelaku semacam itu datang dari dalam diri sendiri, yaitu sifat tamak dan rakus.

Moral yang Kurang Kuat Seorang yang moralnya tidak kuat cenderung mudah tergoda untuk melakukan korupsi. Godaan itu bisa berasal dari atasan, teman setingkat, bawahanya, atau pihak yang lain yang memberi kesempatan untuk itu.

(17)

Kebutuhan Hidup yang Mendesak Dalam rentang kehidupan ada kemungkinan

seseorang mengalami situasi terdesak dalam hal ekonomi. Keterdesakan itu membuka ruang bagi seseorang untuk mengambil jalan pintas diantaranya dengan melakukan korupsi.

Gaya Hidup yang Konsumtif Kehidupan di kota-kota besar acapkali mendorong gaya

hidup seseong konsumtif. Perilaku konsumtif semacam ini bila tidak diimbangi dengan pendapatan yang memadai akan membuka peluang seseorang untuk melakukan berbagai tindakan untuk memenuhi hajatnya. Salah satu kemungkinan tindakan itu adalah dengan korupsi.

Malas atau Tidak Mau Bekerja Sebagian orang ingin mendapatkan hasil dari sebuah

pekerjaan tanpa keluar keringat alias malas bekerja. Sifat semacam ini akan potensial melakukan tindakan apapun dengan cara-cara mudah dan cepat, diantaranya melakukan korupsi.

3.4 Akibat Atau Dampak Dari Korupsi

Korupsi ibarat kanker yang mengancam proses pembangunan dengan berbagai akibat, antara lain merugikan keuangan dan perekonomian Negara, sehingga menghambat pembangunan nasional. Korupsi juga menjadi kendala investasi dengan meningkatkan berbagai resiko bagi investor yang berasal dari dalam maupun luar negeri, karena pelaku bisnis bekerja berurusan dalam lingkungan masyarakat yang korup. Bukan hanya berakibat pada banyaknya waktu yang terbuang tetapi juga pada besarnya uang yang harus dikeluarkan dalam proses investasi, khusunya saat berhubungan dengan aparatur pemerintah yang berwenag dalam hal tersebut.

Meskipun terdapat beberapa pakar seperti Nathaniel Lef, dan Bayley (meningkatkan investasi, fleksibilitas administrasi, percepatan penyelesaian pekerjaan terkait birokrasi) yang melihat ada dampak positif dari korupsi, namun secara universal korupsi lebih banyak dipandang sebagai perilaku yang berakibat pada keruksakan tatanan sosial ekonomi dan budaya serta mutu kehidupan masyarakat suatu bangsa. Nye dalam Revida (2003) menyatakan bahwa akibat-akibat korupsi adalah :

(18)

2. ketidakstabilan, revolusi sosial, pengambilan alih kekuasaan oleh militer, menimbulkan ketimpangan sosial budaya.

3. pengurangan kemampuan aparatur pemerintah, pengurangan kapasitas administrasi, hilangnya kewibawaan administrasi.

Selanjutnya Mc Mullan (1961) menyatakan bahwa akibat korupsi adalah ketidak efisienan, ketidakadilan, rakyat tidak mempercayai pemerintah, memboroskan sumber-sumber negara, tidak mendorong perusahaan untuk berusaha terutama perusahaan asing, ketidakstabilan politik, pembatasan dalam kebijaksanaan pemerintah dan tidak represif. Berdasarkan pendapat para ahli di atas, maka dapat disimpulkan akibatakibat korupsi diatas adalah sebagai berikut :

1. Tata ekonomi seperti larinya modal keluar negeri, gangguan terhadap perusahaan, gangguan penanaman modal.

2. Tata sosial budaya seperti revolusi sosial, ketimpangan sosial.

3. Tata politik seperti pengambil alihan kekuasaan, hilangnya bantuan luar negeri, hilangnya kewibawaan pemerintah, ketidakstabilan politik.

4. Tata administrasi seperti tidak efisien, kurangnya kemampuan administrasi, hilangnya keahlian, hilangnya sumber-sumber negara, keterbatasan kebijaksanaan pemerintah, pengambilan tindakan-tindakan represif. (Revida, 2003)

Dengan demikian Secara umum akibat korupsi adalah merugikan negara dan merusak sendi-sendi kebersamaan serta memperlambat tercapainya tujuan nasional seperti yang tercantum dalam Pembukaan Undang-undang Dasar 1945.

3.5 Peran Pemerintah Dalam Memberantas Korupsi

Upaya-upaya yang telah dilakukan pemerintah sebenarnya sudah cukup banyak dan sistematis dalam memberantas korupsi, berikut merupakan upaya-upaya yang telah dilakukan oleh pemerintah :

(19)

ditempuh pemerintah. Dengan keluarnya PP tersebut, potensi terjadinya gejala korupsi, khususnya bagi anggota DPRD, menjadi semakin besar, tambahnya.

2. Kedua, peran pemerintah dalam pembentukan undang-undang anti korupsi. Berbagai produk peraturan perundang-undangan mengenai pemberantasan korupsi telah diterapkan di Indonesia, antara lain

a. Dalam penyusunan RUU Pengadilan Tipikor, pemerintah terbukti lamban b. Peraturan Penguasa Perang Pusat untuk daerah Angkatan Darat, No.

Prt/Peperpu/013/1958 tanggal 16 April 1958; dan

c. Peraturan Pemerintah Penggganti Undang-Undang RI Nomor 24 Tahun 1960 tentang Pengusutan, Penuntutan dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi (perpu No. 24 Tahun 1960); yang diganti dengan

d. Undang-Undang RI Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi; yang diganti dengan

e. Undang-Undang RI Nomor 31 tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi; sebagaimana diubah dengan

f. Undang RI Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999tantang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tanggal 16 Agustus 1999.

g. Undang-Undang RI No. 3 Tahun 2009 tentang MA. Komitmen pemerintah dalam hal ini patut dipertanyakan sebab isu paling krusial tentang perpanjangan usia hakim agung justru diusulkan oleh pemerintah.

Ketentuan Pasal 43 Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan korupsi menegaskan perlunya dibentuk komisi pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang independen dengan tugas dan wewenangnya dalam melakukan pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang kemudian diatur dalam Undang-Undang RI Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

3. Ketiga, penyelesaian adat atas dugaan kasus korupsi. Setidak-tidaknya terdapat dua kasus yang disoroti, yakni kasus Amien Rais vs Presiden SBY dan Yusril Ihza Mahendra vs Taufiequrrahman Ruki. Dalam konteks ini, Presiden terlihat mengintervensi proses hukum yang semestinya dapat dijalankan sesuai dengan prosedur.

4. Keempat , Pemerintah pernah membentuk beberapa komisi Pemberantasan Korupsi, sebagai berikut:

(20)

terdiri dari Wilopo, SH, I.J. Kasimo, Prof. Ir. Johanes, dan Anwar Tjokroaminoto dengan tugas pokok meneliti dan menilai kebijaksanaan dalam pemberantasan korupsi serta memberikan pertimbangan kepada pemerintah yang telah dibubarkan berdasarkan Keputusan Presiden RI Nomor 50 Tahun 1970 tentang membubarkan Komisi IV yang dibentuk dengan Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 1970.

b. Komisi Pemeriksaan Kekayaan penyelenggaraan Negara (KPKPN) yang dibentuk melalui Kepres RI No. 127 tahun 1999 tentang Pembentukan Komisi Pemeriksaan Kekayaan penyelenggara Negara;

c. Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGTPK) yang dibentuk tanggal 5 April 2000 berdasarkan PP RI Nomor 19 Tahun 2000 tentang Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. TGTPK yang diketuai oleh Andi Andoyo, SH bertugas melakukan penyidikan perkara Korupsi yang sulit pembuktiannya.

Di samping Kejaksaan dan kepolisian, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) juga memiliki peran yang sangat penting. Merupakan suatu hal yang memprihatin, karena sedemikian banyaknya para koruptor yang dituntut di pengadilan belum menyusutkan tingkat tindak pidana Korupsi. Indikasi korupsi yang terjadi di Indonesia tetap tinggi bahkan mnempati kelompok tertinggi di Asia.

(21)

BAB IV PENUTUP 4.1 Kesimpulan

Masalah korupsi di Indonesia bermula dari memudarnya budaya etika dan integritas. Dimana Korupsi disini yang terjadi dalam level manapun dan jenis apapun merupakan hal yang dapat mengahancurkan nilai-nilai etika serta norma sosial dan nilai agama, sehingga hal ini bisa menjadi perilaku yang mengkorupsi budaya. Krisis moral yang dimiliki oleh para koruptor sangat merugikan bangsa dan negara. Selain itu menjadi hambatan utama pada pembangunan.

Ironinya Korupsi di Indonesia seakan-akan menjadi kebutuhan seperti makanan pokok yang di konsumsi oleh semua lapisan penyelenggara Negara dan lapisan masyarakat kecil, korupsi seakan – akan sudah menjadi hal yang legal dan tidak dilarang baik dari pandangan agama maupun hukum. Dan ketika secara bertahap atau sekaligus diterima oleh masyarakat sebagai sesuatu yang wajar, maka disitu telah terjadi korupsi budaya yang kemudian membentuk budaya korupsi. Dengan demikian jika pun benar ada budaya korupsi, maka itu sebenarnya terjadi karena korupsi budaya akibat makin lemahnya kontrol sosial/pengabaian terhadap upaya mementingkan pribadi diatas kepentingan publik pada saat mereka mempunyai kedudukan/jabatan atas mandat publik baik langsung maupun tak langsung. Telah berbagai Upaya yang dilakukan Pemerintah dalam memberantas Korupsi namun semua upaya itu seakan tidak membuahkan hasil yang memuaskan.

4.2 Saran

(22)

dilakukan oleh pemerintah, Korupsi di Indonesia tidak kunjung tertuntaskan. Namun perlu adanya upaya yang dilakukan oleh semua elemen masyarakat di Indonesia. dan di perlukan integritas dan konsistensi pemerintah bersama semua lembaga tinggi dan tertinggi Negara untuk membangun sistem, tata kelola dan kebijakan yang membuat korupsi tidak berdaya. Pendidikan moral khususnya kejujuran, kesadaran bahwa korupsi itu salah serta tegaknya hukum adalah obat yang paling mujarab untuk menghilangkan korupsi. menegakan budaya etika dan integritas. Lalu, menjadikan hukum sebagai panglima. Menghapus budaya korupsi haruslah dengan membangun mindset, bahwa jabatan adalah alat untuk pelayanan dari integritas, dan bukan sebagai alat untuk mendapatkan keuntungan.

DAFTAR PUSTAKA

Jahja, Juni Sjafrien. Say No to Korupsi!. Jakarta: Visimedia, 2012

Poernomo, Soen’an Hadi. Berani Korupsi itu Memalukan. Jakarta: Imania, 2013 Alatas, Syeid Hussain. Korupsi, Sifat, Sebab, dan fungsi. Jakarta: LP3ES, 1987 Alatas, Syed Hussein. Sosiologi Korupsi. Jakarta: LP3ES, 1983

Chazawi, Adami. Hukum Pidana Materiil dan Formil Korupsi di Indonesia. Malang: Bayumedia Publishing, 2003

Suratman. dan Munir. Salamah, Umi. Ilmu Sosial dan Budaya Dasar. Malang: Intimedia, 2010 Politik.kompasiana.com/2013/11/03/benarkah-budaya-Korupsi-Sudah-menjadi-kebudayaan— 60622.html (Di akses pada tanggal 03 April 2014)

Achamadhidir.blogspot.com/2010/09/budaya-korupsi-sebuah-bentuk-masalah.html (Di akses pada tanggal 03 April 2014)

Scram-monster.blogspot.com/2011/08/krisis-moral-indonesia.html (Di akses pada tanggal 03 April 2014)

www.harianhaluan.com/index.php/opini/29925-menandingi-budaya-korupsi (Di akses pada tanggal 03 April 2014)

Referensi

Dokumen terkait

Kesimpulannya, melalui metode diskusi dengan teknik probing & prompting dapat mengembangkan keterampilan bertanya siswa dalam pembelajaran IPS.. Hal ini dapat

“the rich get richer” [12]. Overall, this study indi- cates that CBG existence is not as a single aspect which influenced presence and abundance non- native species in

Oleh karena itu migrasi data dapat didefinisikan sebagai proses atau teknik pemindahan data yang dilakukan dengan bantuan komputer di mana sistem yang lama

a) Berdasarkan hasil observasi siklus I terhadap kemampuan guru dalam mengelolah pembelajaran Strategi Discoverysudah tepat namun masih perlu dilakukan perbaikan kembali pada

Ketua Program Studi Magister Ilmu Komunikasi Universitas Mercu Buana, menugaskan kepada dosen-dosen yang tercantum dalam Lampiran Surat Tugas ini, untuk menjadi Dosen

Penggunaan SJT dalam proses seleksi mahasiswa kedokteran umum dapat menjadi prediktor kinerja yang lebih baik dibandingkan tes pengetahuan, wawancara terstruktur, tes IQ,

Meskipun sudah tidak lagi terisolasi total dan pemerintah sudah mulai memerhatikan kesejahteraan mereka secara memadai pada tahun 1950an, negara masih tetap merasa

H3: Terdapat perbedaan persepsi penumpang yang signifikan dilihat dari tingkat pendidikan mengenai kualitas layanan pada maskapai Lion Air, Indonesia AirAsia, dan