TRANSFORMASI
WACANA DAN PRAKSIS
POLITIK LINGKUNGAN
1Pendahuluan
Lingkungan menjadi sebuah isu yang semakin menempati
posisi sentral dalam wacana politik nasional maupun global. Bahkan,
di level global isu lingkungan telah bertransformasi menjadi sebuah
nilai dan prinsip yang menjadi rujukan bersama bagi setiap
stakeholders yang dianggap terlibat melalui konsep yang kita kenal
sebagai ‘sustainable development’.
Lingkungan atau ekologi dalam kajian ini dipahami sebagai
sebuah realitas yang sifanya diskursif, yang secara inheren juga
bersifat politis.2 Wacana ekologi yang kita kenal selama ini, secara
umum, pada dasarnya merupakan sebuah upaya diskursif untuk
1
Penyiapan naskah ini dibantu sejumlah teman yang bekerja kerja keras untuk tersajikan telaah ini. Mereka adalah Joash Tapiheru SIP., MA; Rangga Herdi SIP; Erwin Endaryanta, SIP, MT; dan Rafif Pamenang Imawan, SIP. Ucapan terima kasih yang tak terhingga harus penulis sampaikan; tanpa bermaksud sedikitnya membebani mereka dengan tanggung jawab terhadap isi naskah ini.
2
memaknai ulang relasi antara sistem sosial manusia dan ekosistem
sebagai sebuah lingkungan bio-fisik.
Watak politis dari proses ini akan nampak sekali ketika kita
mencermati bahwa artikulasi nilai-nilai ekologis senantiasa
mewarwai diskursus di arena publik. Wacana-wacana yang berisi
kritik terhadap pembangunan ini menandai terjadinya pertarungan
kuasa dalam memaknai realitas sosial, khususnya dalam interaksi
antara manusia dan lingkungan atau ekosistemnya.3
Wacana yang berhasil mendominasi medan pertarungan
tersebut akan mendominasi pemaknaan akan realitas, dalam hal ini
realitas antara hubungan manusia dengan lingkungannya dan
manifestasinya dalam tindakan yang selama ini kita kenal dengan
nama pembangunan. Perubahan wacana dominan akan diikuti oleh
transformasi tata nilai dan perilaku dari subyek yang distruktur oleh
wacana tersebut.
Makalah ini ingin melihat bagaimana pertarungan wacana
dalam ekologi sebagai medan diskursifnya berlangsung saat ini di
Indonesia. Kajian ini ingin mencermati dinamika pertarungan politik
yang terjadi, wacana apa yang dominan serta transformasi sosial
yang ditimbulkan sebagai akibat pertarungan wacana tersebut.
3
Telaah ini menyoroti dinamika praktek diskursif politik
lingkungan di Indonesia, di mana medan wacana lingkungan dan
pembangunan relatif dihegemoni oleh wacana sustainable
development atau pembangunan berkelanjutan.
Hegemoni wacana sustainable development dalam medan
wacana lingkungan dan pembangunan diawali sejak sekitar dekade
80-an. Wacana ini menjadi semakin sering digunakan untuk
merepresentasikan wacana lingkungan sejak diperkenalkan secara
formal pada tahun 1987 dalam 96thplenarry meeting Sidang Umum
PBB tahun 19874, sustainable development seakan-akan menjadi
representasi dari keseluruhan wacana ekologi. Konstelasi peta
wacana lingkungan pada saat itu berbeda dengan dekade-dekade
sebelumnya, di mana medan wacana politik lingkungan didominasi
oleh wacana-wacana radikal, yang saat ini kita kenal dalam
istilah-istilah seperti zero – growth dan steady state.
Posisi hegemonik wacana ini juga mengimplikasikan
transformasi dalam wacana pembangunan, di mana kebijakan di
seluruh sektor pembangunan harus merujuk pada prinsip
keberlanjutan, yang didasarkan pada konsep kelestarian ekologi.
Sejumlah ahli, seperti Lester R. Brown5, melihat bahwa adopsi
4
Definisi sustainable development dalam laporan yang disampaikan dalam sidang tersebut adalah “...meeting the needs of the present without compromising the ability of future generations to meet their own needs, ..., UN General Assembly, Report of the World Commission on Environment and Development, 96th plenary meeting, 11 December 1987, diakses 4 September 2011.
5
sustainable development sebagai nilai dan prinsip yang menjadi
rujukan bersama, menjadi sebuah titik balik perubahan paradigma
bagi manusia memahami diri serta interaksinya dengan
lingkungannya. Brown, mengutip Bruce Murray6 melihat bahwa
prinsip dan nilai yang telah ada sebelumnya harus direvaluasi
berdasarkan prinsip dan nilai keberlanjutan ekologis ini untuk
ditentukan relevansinya di kemudian hari.
Terlepas dari beragam kritik terhadap sustainable
development ini, baik yang melihat kemustahilan implementasinya
sampai yang mengatakannya absurd7, konsep ini menjadi mampu
menjadi sebuah terma payung yang mencakup beragam imajinasi
orang tentang sebuah ecologically sound model of development. Ada
perubahan cara berpikir dalam sekala global, dari yang tadinya
semata-mata didominasi antroposentrisme menjadi lebih bersifat
ekosentris.
Tanpa menutup mata akan sentralitas isu lingkungan dalam
politik global maupun nasional di Indonesia, kajian ini bermaksud
memperlihatkan bahwa bangunan wacana ini tidaklah sekokoh yang
dibayangkan orang. Pertarungan wacana akan kuasa atas pemaknaan
realitas tetap berlangsung. Ini terlihat dari tetap bermunculannya
6
Murray melihat bahwa, dalam konteks perang dingin, bahwa liberalisme maupun komunisme pada dasarnya sama-sama didasarkan pada pemikiran yang melihat bahwa kebutuhan dasar manusia adalah bersifat material, dan ini membuat implementasi dari kedua konsep tersebut sama-sama tidak berkelanjutan. Ibid., hal. 350
7
kritik terhadap konsep sustainable development maupun upaya
reartikulasi elemen-elemen yang membentuknya.
Kritik terhadap sustainable development, sejauh ini,
cenderung didominasi oleh kritik terhadap koherensi hubungan logis
antar konsep yang membentuknya dengan turunannya pada fisibilitas
praktisnya. Misal, kritik yang memunculkan konsep zero growth dan
steady-state pada dasarnya mendobrak logika pembangunan itu
sendiri. Bahwa pembangunan mau tidak mau dilakukan dengan
mengkonsumsi sumber-sumber ekologi secara besar-besaran, dan
pada dasarnya berlawanan dengan prinsip keberlanjutan. Bagi para
pengkritis ini, jika ingin konsekuen dengan keberlanjutan secara
ekologis, laju pembangunan harus dihentikan atau malah diputar
balik.8
Kritik yang lain melihat konsep sustainable development
dengan kecurigaan. Brunel misalnya, melihat sustainable
development sebagai instrumen lebih lanjut bagi negara-negara maju
untuk menerapkan proteksionisme. Brunel melihat bahwa pihak yang
paling diuntungkan dari penerapan model ini adalah kapitalisme.9
Reartikulasi elemen-elemen yang menjadi bagian dari
sustainable development juga menjadi sumber potensi dekonstruksi
wacana tersebut sebagai wacana hegemonik. Beragam konsep dan
praktek turunan yang menjadi implementasi dari pemikiran
sustainable development, seperti eco–efficiency, ecological
8
Meadows et. Al., op.cit; Daly, op.cit.
9
modernisation, environmental audit, dan masih banyak lagi rentan
terhadap pembajakan makna.
Bagian selanjutnya dari kajian ini akan membahas
bagaimana sustainable development menjadi sebuah wacana yang
menghegemoni medan wacana pembangunan dan ekologi di
Indonesia serta transformasi politik lingkungan yang
ditimbulkannya. Pada bagian kedua, dengan merefleksikan kasus di
Indonesia, tulisan ini akan membahas bagaimana transformasi sosial
yang dihasilkan oleh hegemoni wacana sustainable development
memunculkan sejumlah realitas baru yang berpotensi menjadi
sumber dekonstruksi posisi hegemoniknya. Pada bagian ketiga, atau
bagian akhir, penulis menawarkan sebuah alternatif transformasi
praktek diskursif politik lingkungan yang diharapkan bisa merespon
potensi dekonstruksi wacana lingkungan, yang di Indonesia
dibahasakan sebagai sustainable development, sehingga niat untuk
mencapai tujuan ideal untuk mewujudkan ecologically sound model
of society bisa terjaga.
Sustainable development: Sebuah Formasi Hegemonik
Seperti sudah disampaikan di atas, adopsi sustainable
development sebagai sebuah prinsip sudah pupuler pada dasarnya
adalah sebuah mata rantai dari sebuah proses transformasi sosial.
Transformasi ini ditandai dengan diperkenalkannya cara pandang,
nilai, prinsip dan praktek baru dalam memandang dan memahami
diketahui adanya dinamina ekonologis yang senantiasa terkait
dengan perilaku manusia. Sejumlah besar cara pandang, nilai,
prinsip, dan praktek yang sebelumnya telah ada dalam masyarakat
mengalami revaluasi ulang dengan menjadikan cara pandang, nilai,
prinsip, dan praktek sustainable development disepakai sebagai tolok
ukurnya. Ini pada dasarnya adalah sebuah proses yang bersifat
diskursif untuk mengkonstruksikan realitas sosial berdasarkan
sebuah sistem makna tertentu. Di sini diskursus dimaknai sebagai
“sebuah horizon yang terdiri dari berbagai praktek, makna, dan
konvensi melalui mana sebuah pemahaman tertentu tentang realitas
dan pemahaman tentang masyarakat dibangun”10.
Sustainable development bukanlah satu-satunya model
alternatif yang merepresentasikan wacana lingkungan. Kemunculan
sustainable development sebagai wacana yang dominan, baik dalam
medan wacana lingkungan maupun medan wacana yang lebih luas,
merupakan resultan dari sebuah proses pertarungan wacana yang
berlangsung terus menerus. Wacana lingkungan muncul sebagai
wacana tandingan dari wacana pembangunan yang sebelumnya
menghegemoni medan wacana politik global pada masa pasca PD II,
di mana negara-negara yang telah lama berdiri berupaya pulih dari
dampak krisis ekonomi tahun 1930-an dan dampak Perang Dunia II
yang menghancurkan, sementara negara-negara baru yang muncul
sebagai akibat proses dekolonisasi berupaya mengejar ketertinggalan
mereka dalam bidang pembangunan ekonomi dari negara-negara
10
maju. Pembangunan, yang dilandasi oleh paradigma modernitas,
menjadi sebuah wacana yang hegemonik pada saat itu, di mana
prinsip, nilai, serta prakteknya menjadi tolok ukur bagi prinsip, nilai,
serta praktek lain yang sebelumnya telah ada dalam masyarakat.
Dikatakan hegemonik di sini karena sebagian besar orang
yang hidup dan menjadi bagian dari masyarakat pada masa itu,
menerima, memahami dan hidup dengan mempraktekkan prinsip ini
sebagai bagian dari normalitas keseharian mereka. Hanya dengan
sedikit pengecualian, hampir semua orang melihat bahwa
pemenuhan kebutuhan dasar sebagai sesuatu yang bersifat material
melalui pembangunan ekonomi adalah sesuatu yang alamiah dan
niscaya. Kalaupun ada yang memahami dan menjalani kehidupan
dengan cara yang berbeda maka hal itu akan dianggap sebagai
fenomena anomali, dengan berbagai label seperti terbelakang,
eksotik, dsb. Dalam kasus ini, paradigma pembangunan ekonomi
modern menjadi hegemoni karena berhasil menstabilkan makna
kehidupan sosial sebagai kehidupan ekonomi modern dan
menyingkirkan pemaknaan lain terhadap kehidupan.11
Namun, merujuk pada Laclau dan Mouffe, hegemoni di sini
tidak merujuk pada sebuah totalitas yang final, bahkan sebaliknya ia
merujuk pada absen-nya totalitas tersebut.12 Bahkan, hegemoni
hanya bisa berlangsung ketika ada pemaknaan yang berbeda
terhadap artikulasi yang berbeda tentang makna masyarakat dan
11
Lihat Laclau and Mouffe, Ernesto and Chantal Mouffe, 2001 Hegemony and Socialist Strategy: Towards a Radical Democratic Politics, London: Verso, first published 1985, hal. 134
12
kehidupan sosial itu sendiri.13 Laclau dan Mouffe melihat absen-nya
totalitas tersebut dalam formasi yang disebut the social sebagai
sebuah keniscayaan, karena tidak mungkin membangun sebuah
sistem pemaknaan yang final dan, akhirnya, bersifat tertutup
(sehingga menihilkan kemungkinan terbentuknya hegemoni). Setiap
praktek diskursif untuk mengkonstruksi kehidupan sosial tertentu
niscaya memunculkan konsekuensi adanya elemen-elemen yang
terdislokasi. Dalam contoh kasus wacana pembangunan adalah apa
yang disebut terbelakang, anti-pembangunan, eksotis, dsb. Elemen
yang terdislokasi ini pula yang memunculkan potensi bagi setiap
formasi hegemonik mengalami dekonstruksi sebagaimana
direpresentasikan oleh kemunculkan isu lingkungan sebagai sebuah
counter-discourse terhadap wacana pembangunan ekonomi modern
yang hegemonik. Hal ini tidak akan dibahas lebih jauh lagi di sini.
Kajian ini lebih berfokus pada bagaimana wacana tentang
lingkungan berkembang menjadi wacana hegemonik melalui istilah
yang kita kenal sebagai sustainable development.
Ekosistem mengalami dislokasi sosial dalam kehidupan
sosial yang dikonstruksikan berdasarkan pembangunan ekonomi
modern. Manusia modern dikonstruksikan sebagai suatu entitas yang
terpisah dari ekosistem dan berada pada posisi yang superior. Berkat
perkembangan pengetahuan dan teknologi, manusia yang hidup pada
jaman modern mampu menjadikan alam bukan lagi sebagai sesuatu
yang harus ditakuti tetapi sebagai repositori sumber daya raksasa
yang harus dieksploitasi bagi kepentingan pemenuhan kebutuhan
13
manusia.14 Ekosistem dimaknai secara spesifik dalam diskursus
pembangunan ekonomi modern. Namun, seperti disampaikan oleh
Laclau dan Mouffe, ekosistem sebagai sebuah simbol atau signifier
tidak memiliki makna yang bersifat tetap dan setiap upaya fiksasi
suatu makna terhadap simbol tersebut akan niscaya berpotensi
didekonstruksi. Wacana lingkungan memaknai ekosistem
mendekonstruksi bangunan wacana pembangunan ekonomi modern
dengan memaknai alam sebagai sebuah entitas yang memiliki logika
dan hukumnya sendiri dan mendudukan manusia sebagai salah satu
elemen dari ekosistem tersebut. Artikulasi ini didukung oleh sebuah
sistem pemaknaan baru yang melihat bahwa jika masyarakat
manusia terus mengambil jalan yang mereka tempuh saat ini, suatu
saat alam akan berbalik melawan manusia.15 Wacana ini berhasil
menjadi counter–hegemony bagi wacana pembangunan ekonomi
modern, di mana bangunan realitas yang sampai saat itu diterima
sebagai sebuah normalitas mulai dipertanyakan kembali.
Sebagai sebuah wacana, lingkungan atau ekologi juga
memperoleh maknanya dengan menkombinasikan sejumlah simbol
dalam kombinasi tertentu, di mana masing-masing simbol tersebut
memperoleh maknanya yang spesifik berdasarkan posisinya dalam
kombinasi tersebut. Kombinasi tersebut menjadi struktur yang kita
kenal sebagai wacana lingkungan atau ekologi. Sama seperti wacana
pembangunan ekonomi modern konstruksi struktur makna tersebut
14
Lihat Brown, op.cit.
15
juga niscaya memunculkan dislokasi sosial dan dikontestasikan. Di
awal kemunculannya, muncul sejumlah wacana yang meng-counter
wacana lingkungan terutama wacana yang melihat pembangunan
ekonomi modern sebagai kebutuhan yang tidak bisa dikompromikan
begitu saja atas nama kelestarian lingkungan. Muncul juga wacana
tandingan dari kelompok kiri dan negara-negara dunia ketiga yang
melihat wacana ekologi sebagai strategi kapitalisme dan kelompok
negara-negara maju untuk melestarikan posisi dominan mereka,
senada dengan yang dikatakan Brunel. Proses pertarungan diskursif
ini memicu beragam respon dari wacana ekologi itu sendiri, dan
wacana ekologi mengalami proliferasi, terutama dalam memaknai
hubungan antara pembangunan ekonomi dan kelestarian lingkungan.
Sustainable development menjadi salah satu wacana yang
muncul sebagai akibat pertarungan diskursif antara wacana
antroposentris pembangunan ekonomi modern dan wacana
ekosentris ekologi. Keberhasilan wacana sustainable development
menjadi wacana hegemonik adalah berkat kemampuannya
membangun sebuah struktur pemaknaan yang mereartikulasikan
berbagai elemen dari wacana ekologi dan pembangunan ekonomi
yang maknanya relatif tanpa memicu artikulasi dislokasi secara kuat.
Hal ini dimungkinkan karena dalam proses diskursif
formasi hegemoni wacana sustainable development mampu
membangun logic of equivalence yang bisa mengartikulasikan
berbagai elemen yang pemaknaannya menjadi obyek kontroversi,
seperti keberlanjutan industri, struktur korporasi, dan pembangunan
ekonomi itu sendiri. Alih-alih membangun struktur pemaknaan yang
berseberangan secara tegas, wacana sustainable development
mengartikulasikan berbagai elemen tersebut secara lebih moderat.
Environmental governance bisa merepresentasikan tatanan sosial
yang diidealkan dalam wacana sustainable development (lihat Skema
I). Dalam konsep environmental governance, keberlanjutan
lingkungan diartikulasikan sebagai bekerja secara komplementer
dengan keberlanjutan kehidupan sosial manusia, termasuk politik,
konsep baru dalam dunia industri dan bisnis seperti environmental
capital, eco – efficiency16, dsb.
Artikulasi semacam ini juga lebih mudah diterima oleh
negara, terutama di negara-negara berkembang, yang melihat
pembangunan ekonomi nasional-nya sebagai prioritas utama
kebijakan. Bahkan, melalui wacana sustainable development itu pula
wacana lingkungan dan paradigma ekosentrisme bisa masuk dan
mempengaruhi kebijakan
16
Schmideniny, Stephan, 1992, Changing Course: A Global Business Perspective on Environment and Development, Cambridge, Mass: The MIT Press
Interaksi dalam
Sistem Sosial
Interaksi dalam
Sistem bio‐fisik
(ekosistem)
“good
governance”
manajemen
lingkungan
Skema I
Kaitan Antara konsep
governance
, manajemen
pembangunan.
Wacana Sustainable Development dan Transformasi Kebijakan Pembangunan di Indonesia
Indonesia merupakan salah satu negara dengan kemajuan
pembangunan ekonomi yang menjanjikan saat wacana sustainable
development muncul menjadi sebuah wacana hegemonik pada akhir
tahun 1980-an. Proses diskursif pengintegrasian wacana ini dalam
wacana lingkungan yang sudah ada dalam periode itu menjadi fokus
kajian penulis dalam disertasinya.17 Dalam disertasi tersebut, penulis
melihat pengadopsian dan pengintegrasian wacana ekologi dalam
wacana pembangunan dibangun melalui tiga instrumen utama yaitu
teknokrasi, legalitas, dan gerakan sosial yang pada akhirnya berhasil
mendorong negara dan mesin birokrasinya untuk menyesuaikan
paradigma pembangunan ekonominya dengan paradigma ekologis:
sustainable development.
Disertasi yang disusun oleh penulis berfokus pada periode
1967–1994, ketika Indonesia berada di bawah rezim Orde Baru yang
bersifat otoritarian dan bersendikan teknokratisme dan birokratisme.
Pada tahun 1998, rezim ini runtuh bersamaan dengan pengunduran
diri Suharto sebagai presiden, setelah gelombang krisis ekonomi
sejak pertengahan 1997. Dampak yang semakin berat dari krisis ini
17
mendorong menguatnya tuntutan yang kuat dari masyarakat akan
demokratisasi, terutama setelah krisis tersebut membuktikan
rapuhnya struktur ekonomi Orde Baru yang didominasi negara.
Perubahan rezim ini tidak membuat wacana lingkungan
kehilangan posisi sentralnya. Bahkan bisa dikatakan, karena
masuknya wacana lingkungan ke Indonesia berjejalin dengan wacana
demokrasi18, wacana lingkungan mendapatkan momentum yang
semakin besar untuk mendominasi wacana politik di Indonesia. Ini
dibarengi dengan adanya sentimen antipati terhadap segala sesuatu
yang berbau “pembangunanisme” karena diasosiasikan dengan
otoritarianisme negara di bawah rezim Orde Baru.
Manifestasi dari menguatnya hegemoni wacana lingkungan
di Indonesia pada periode pasca 1998 adalah ditetapkannya sejumlah
instrumen yang merupakan interpretasi yang lebih spesifik dari
pemikiran sustainable development. Kita melihat ada kebijakan
untuk mewajibkan setiap usulan proyek yang akan dilaksanakan dan
berpotensi untuk menimbulkan dampak lingkungan untuk membuat
Analisis Mengenai Dampak Lingkungan – AMDAL pada tahun 1999
melalui Peraturan Pemerintah no. 27.19 Hasil AMDAL ini menjadi
salah satu dasar pertimbangan utama apakah usulan proyek tersebut
bisa dilaksanakan atau tidak.
18
Merril, Thomas, “Forwards: Two Social Movements” dalam Ecology Law Quarterly, vol. 21, no. 2, 1994 dikutip dalam Santoso, Purwo, op.cit., hal. 65 19
Pemerintah Indonesia pasca 1998 juga mengeluarkan
kebijakan yang secara lebih ketat, mengatur tentang tata ruang dan
penggunaan lahan dengan mengacu pada prinsip sustainable
development. Ini dijabarkan dalam UU no. 26 tahun 2007 tentang
Penataan Ruang dan pelaksanaannya diatur dalam Peraturan
Pemerintah no. 26 tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah
Nasional.
Secara simultan, gerakan sosial dari civil society yang
mengusung isu lingkungan juga makin mengemuka, bersamaan
dengan berkembangnya tata pemerintahan yang lebih demokratis di
Indonesia pasca-1998. Hal ini juga seiring dengan makin meluasnya
kesadaran akan pentingnya kelestarian di kalangan masyarakat
Indonesia. Dalam kehidupan sehari-hari kita semakin banyak
mendengar dan melihat orang berbicara tentang makanan organik,
produk-produk ramah lingkungan, ecotourism dan makin jamaknya
label yang diasosiasikan dengan kelestarian lingkungan seperti green
– atau eco – .
Gejala-gejala yang dipaparkan di atas menunjukkan
bagaimana wacana lingkungan, khususnya sustainable development
telah semakin tersedimentasi dalam rutinitas kehidupan masyarakat
Indonesia. Keberlanjutan ekologi telah menjadi prinsip baru untuk
menimbang berbagai alternatif pilihan, baik pilihan kebijakan
maupun tindakan. Dengan kata lain prinsip-prinsip lingkungan telah
relatif menjadi bagian dari “norma kepantasan” yang menstruktur
Namun posisi hegemonik wacana lingkungan saat ini,
seperti dipaparkan di bagian sebelumnya juga memunculkan
sejumlah dislokasi sosial dan arus dekonstruksi yang semakin subtle.
Gejala ini mengkonfirmasi paparan teoritik di atas bahwa kekuatan
wacana sustainable development untuk mengakomodasi berbagai
elemen lain dalam arus wacana ekologi, ternyata juga menjadi
sumber utama kelemahannya. Makalah ini melihat beberapa gejala
yang terjadi dalam konteks Indonesia, yang menunjukkan adanya
pembajakan makna atas sustainable development yang menggiring
pada praktek diskursif yang lebih dalam yang berpotensi
memunculkan dampak yang bertentangan dengan apa yang
diharapkan melalui sustainable development.
Gejala yang pertama adalah pembajakan instrumentasi
sustainable development dalam kebijakan pemerintah menjadi
sekedar formalitas prosedural. Misalnya, secara normatif informasi
yang dihasilkan dari analisis AMDAL merupakan basis pengambilan
keputusan diterima atau tidaknya sebuah usulan proyek. Namun,
prosedur ini bisa dengan mudah dipelesetkan menjadi sebuah usulan
proyek dianggap bisa diterima asal disertai dokumen AMDAL.
Logika alur sekuensial deliberasi pengambilan keputusan tergantikan
oleh logika kelengkapan dokumen. Dalam lingkup yang lebih luas,
berbagai instrumentalisasi wacana sustainable development juga
mengalami proses pembajakan yang sama. Misalnya, instrumen
environmental audit dibajak dengan lebih mengedepankan elemen
audit daripada environment-nya.
Rencana tata ruang dan wilayah dianggap sebagai peluang
kebijakan sebagai arena mencari rente dan kebijakan tata ruang
menjadi komoditinya. Ini misalnya terjadi dalam sejumlah kasus, dan
proses ini bisa terjadi baik secara sadar maupun tidak sadar. Kasus
Indorayon di Sumatera Utara pada dekade tahun 1980-an seringkali
dianggap sebagai tonggak bersejarah bagi gerakan ekologi di
Indonesia. Namun, jika dicermati secara lebih dalam, wacana yang
diusung oleh aktifis lingkungan dalam upayanya menentang
kebijakan pemerintah adalah kelestarian lingkungan sebagai bagian
dari hak sipil warga negara.20
Pada saat yang sama, pemerintah juga semakin
mempertegas pentingnya aspek kelestarian lingkungan hidup sebagai
salah satu masalah publik. Dalam logika administrasi negara, situasi
ini diterjemahkan dalam bentuk kebijakan untuk membentuk suatu
organ tersendiri untuk mengurus isu lingkungan hidup, yang pada
gilirannya diklasifikasikan sebagai salah satu sektor urusan
pemerintahan. Namun, kompartemenalisasi isu ekologi sebagai
sebuah sektor tersendiri dalam logika ini sama saja dengan
membatasi ruang gerak untuk menjadikan pertimbangan ekologi
sebagai pertimbangan dasar kebijakan pembangunan, karena pada
dasarnya masalah lingkungan adalah permasalahan lintas sektoral.
Dalam periode yang menjadi fokus kajian disertasi penulis,
situasi seperti dipaparkan di atas direspon dengan memperkuat
kapasitas memobilisasi dan mensinergikan governance jejaring. Pada
20
saat itu, Emil Salim, yang notabene adalah seorang teknokrat yang
menduduki kursi Menteri Koordinator Lingkungan Hidup bekerja
sama dengan berbagai elemen aktifis lingkungan hidup untuk
menjebak pemerintah Orde Baru di bawah Suharto untuk
mengakomodasi pertimbangan ekologi sebagai dasar pembuatan
kebijakan pembangunan. Hal ini menjadi sesuatu yang luar biasa
mengingat watak rezim Orde Baru yang otoriter dan hegemoni
wacana pembangunan ekonomi modern pada masa itu.
Kapasitas diskursif semacam inilah yang saat ini tidak
nampak dimiliki. Mungkin tidak harus oleh Menteri yang mengurusi
sektor lingkungan hidup, tetapi juga elemen-elemen lain yang
mengusung isu lingkungan. Ada situasi di mana nampaknya
Kementerian Lingkungan Hidup menjadi mapan di pinggiran.21
Proliferasi wacana sustainable development ketika berusaha
dipraktekkan lebih jauh untuk secara diskursif mengkonstruksi
tatanan sosial menuju ideal yang diharapkan ternyata, sampai saat ini
menggiring pada sebuah situasi yang kompleksitasnya tidak mudah
diurai. Di satu sisi, wacana ekologi telah menstruktur kehidupan
sehari-hari pemerintah dan masyarakat Indonesia. Tetapi di sini yang
lain, proliferasi itu juga semakin memperbesar dislokasi serta potensi
kontingensi pemaknaan berbagai elemen yang membentuk tatanan
sosial itu sendiri.
21
Instrumentasi wacana sustainable development menjadi
sebuah keniscayaan ketika yang menjadi tujuan akhir adalah tatanan
sosial sebagaimana diidealkan. Instrumentasi tersebut merupakan
merupakan bagian dari praktek diskursif untuk mengkonstruksi
realitas sosial menurut prinsip dan nilai sustainable development.
Sementara, karena watak diskursifnya, pembajakan makna menjadi
sebuah kenyataan karena pemaknaan itu sendiri bersifat kontingen.
Pembajakan-pembajakan tersebut pada dasarnya
mengindikasikan adanya dislokasi yang diakibatkan oleh hegemoni
wacana sustainable development di Indonesia. Elemen-elemen yang
terdislokasi ini mencakup seperti birokrasi; politisi; pelaku bisnis dan
siapa saja yang merasakan posisinya dalam formasi sosial di bawah
hegemoni sustainable development tidak sepenuhnya
mengaktualisasikan kediriannya.
Dalam situasi yang berbeda, pembajakan makna sustainable
tersebut juga jamak terjadi. Misalnya, orang merasa sudah peduli
lingkungan ketika dia mengkonsumsi produk dengan label
environment friendly. Pada saat yang sama, pelaku bisnis juga
merasa sudah mendukung pelestarian lingkungan, dengan
memproduksi atau memasarkan produk-produk yang diklaim ramah
lingkungan atau, lebih parah lagi, cukup dilabeli dengan eco – atau
green – .
Kecenderungan yang terjadi di Indonesia untuk melihat
gejala ini sebagai sesuatu yang normal dan merasa puas dengan
merupakan kecenderungan yang dialami oleh KLH seperti
disebutkan di atas, yaitu memapankan diri di pinggiran.
Pada periode Orde Baru, kontingensi makna ini coba
dibatasi dengan instrumen koersif, meskipun harus diakui rezim
Orde Baru memiliki kapasitas diskursif yang luar biasa ketika
memunculkan developmentalisme sebagai hegemoni di Indonesia.
Konteks Indonesia pasca Orde Baru sangat berbeda ketika
strategi-strategi koersif semakin tidak memungkinkan untuk digunakan.
Dalam makalah ini penulis ingin menawarkan sebuah
strategi diskursif alternatif untuk mengawal proses konstruksi
masyarakat bersendikan prinsip “sustainable development. Alternatif
yang ditawarkan di sini mengacu pada gambaran ideal environmental
governance yang disajikan dalam Skema I di atas.
Tawaran Alternatif:
Environmental Governance22
Sebelum berbicara lebih jauh tentang governance,
buru-buru harus dikatakan bahwa penulis mengajak menggunakan
terminologi environmental governance dengan pemaknaan yang
kritis. Penggunaaan istilah goverenance, ingin dilakukan secara tidak
latah. Sehubungan dengan hal itu, penting kiranya dibahas
peristilahan governance sebelum membahas lebih lanjut
penggunaannya untuk mengupas environmental governance.
22
Governance
Penggunaan istilah governance dalam makalah ini sengaja
tidak diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia karena penulis
belum menemukan kata ganti yang tepat untuk mewadahi makna
yang terkandung di dalamnya. Yang jelas, penggunaan istilah ini
menekankan pergeseran orientasi pemikiran tentang pemerintahan.
Di masa lalu, wacana tentang pemerintahan terlampau dalam
merujuk pada aktor yang terlibat atau pemegang otoritas. Akibatnya,
wacana yang bergulir terlampau sarat dengan kepentingan sepihak
pemerintah. Yang berlangsung adalah pemerintahan demi
pemerintah. Yang beredar adalah cara pandang yang sensitif
terhadap kepentingan pemerintah namun tidak sensitif terhadap
kepentingan masyarakat atau sektor non-pemerintah. Fokus
amatannya adalah interaksi antara negara dengan rakyatnya. Artinya,
negara difahami tidak sebagai entitas yang berdiri sendiri, sebagai
entitas yang terpisan namun menguasai rakyatnya.
Jelasnya, koreksi terhadap kecenderungan untuk
melebih-lebihkan arti penting pemerintah ini dilakukan dengan menggeser
orientasi atau cara memahami persoalan. Untuk menghindari
kesepihakan dan kesemena-menaan pemerintah, pengkajian isu
pemerintahan perlu digeser sedemikian rupa sehingga lebih bisa
mengedepankan fenomena interaksi fihak-fihak yang terkait. Hanya
saja ada banyak cara pemetaan fihak-fihak yang terkait. Jan
Kooiman, misalnya memetakan adanya dua fihak: pemerintah dan
masyarakat.23 Yang populer di Indonesia adalah pemetaan ke dalam
23
tiga kategori: pemerintah, swasta (komunitas bisnis) dan civil
society. Berhubung dengan pergeseran alur perwacanaan yang lebih
mengedepankan interaksi ini, maka istilah stake holders dan share
holders menjadi ikut populer.
Dengan dikedepankan nuansa interaksi aktar fihak dalam
konsep governance ini kapasitas kelembagam atau sistem tetap saja
bisa difahami. Hanya saja, lembaga yang dijadikan andalan akhirnya
bukan hanya lembaga pemerintah. Dari berbagai corak kelembagaan
untuk mewadahi proses governance ini ada varian ekstrim yang
mengidolakan suatu governance without government.24 Yang jelas,
popularitas wacana governance membuka ruang yang sangat lebar
bagi advokasi untuk meminimalkan peran negara, termasuk dalam
pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan hidup. Singkat kata,
di balik popularitas istilah governance tersirat juga popularisasi
agenda mengkoreksi peran negara dalam pengelolaan kepentingan
publik sedemikian rupa sehingga interaksi yang dijalin oleh
aktor-aktor yang terkait bermuara pada suatu kinerja yang optimal.25 Kalau
untuk menghasilkan kinerja optimal ini negara harus mengurangi
peran-peran dominatif, maka hal itu harus minimalisasi peran negara
difahami sebagai keniscayaan.
Kita tahu bahwa bahwa penggunaan konsep governance
dalam percakapan publik belakangan ini senantiasa terkait dengan
24
Rhodes, R.A.W; “The New Governance: Governing without government”,
Political Studies, XLIV, 1996. Lihat juga, Young, Oran; Governance in World Affairs, Cornel University Press, 1999, Ch.1.
25
persoalan baik-buruk. Istilah governance biasanya dipakai dalam
rangka mengkampanyekan ide good governance. Sehubungan
dengan hal ini, perlu dikemukakan bahwa makalah ini tidak
dimaksudkan untuk membonceng popularitas retorika good
governance belakangan-belakangan ini. Konsep good governance
(penyelenggaraan pemerintahan yang baik) yang belakangan ini
populer diwacanakan sebetulnya dimaknai secara tendensius.
Pasalnya, persoalan good-bad (baik-buruk) dalam wacana good
governance selama ini hanya diletakkan dalam bentang pemikiran
yang anthropo-centric (antroposentrik). Lebih dari itu, ukuran
baik-buruk yang dikedepankan dibangun di atas asumsi-asumsi yang
diadopsi oleh komunitas yang terpolakan oleh pemikiran dan budaya
liberal.26 Mengingat wacana tentang governance yang beredar di
Indonesia selama ini senantiasa terlekat dengan wacana yang lebih
spesifik, yakni good governance, maka penulis merasa perlu untuk
menghindarkan diri terjebak dalam tendensi liberalisasi yang
berkembang ketika menggunakan istilah governance.27
26
Popularitas wacana governance ini memandai pudarnya kerangka fikir yang melebih-lebihkan peranan pemerintah. Ketika kita cermati bahwa tata fikir dan tata kerja kita selama ini sangat kental keberpihakannya kepada pemerintah toh ujung-ujungnya menyeret kita ke dalam kerusakan lingkungan, anjuran untuk menggeser kerangka fikir
government menjadi kerangka fikir governance sulit untuk ditampik. 27
Konsep good ataupun bad pada dasarnya adalah persoalan
pijakan atau keberpihakan pada nilai-nilai tertentu. Kalau kita
sepakat bahwa penilaian good ataupun bad perlu dilakukan dalam
bingkai penghormatan terhadap kedaulatan ekosistem maka
pemikiran tentang baik buruknya environmental governance tidak
harus dilihat dari kacamata antroposentrik. Dalam kaitannya dengan
keperluan untuk keluar dari pendekatan yang managerialistik
tersebut di atas, perlu dicermati bahwa pemaknaan good governance
dalam pengelolaan lingkungan hidup perlu dipastikan bahwa kita
tidak terjebak dalam antroposentrisme. Sungguhpun demikian, bukan
berarti bahwa pemikiran tentang governance melupakan arti penting
tentang pengkajian interaksi antar manusia.
Environmental governance
Alternatif yang ingin dijajagi relevansinya dalam makalah
ini adalah bahwa interaksi kita dengan lingkungan hidup kita kelola
dengan bingkai konseptual: environmental governance. Relevansi
dari kosep environmental governance ini adalah pada keperluan
untuk memahami dan mengelola hubungan timbal balik antara
sistem sosial dengan ekosistem. Lebih dari itu, pengelolaan sistem
sosial perlu dikelola dengan mengedepanan nilai-nilai ekologis, dan
sebaliknya, ketahanan ekosistem bisa dipelihara melalui pengelolaan
sistem sosial yang terbimbing oleh kaidah-kaidah ekologis.
Sehubungan dengan hal itu, perlu ditegaskan kajian-kajian ilmu
sosial selama ini cenderung untuk memahami fenomena sosial
ekosistemnya. Kalaupun para ilmuwan dari setiap disiplin ilmu
sosial menyadari hal itu, sangat jarang yang memasukkan dimensi
ekologis dalam pemahaman tentang fenomena sosial yang dikajinya.
Ilmu ekonomi, misalnya mengenal konsep eksternalitas.
Ada banyak transaksi antar fihak yang ternyata memiliki dampak
terhadap fihak lain. Dampak ini bisa bersifat positif maupun negatif.
Terjadinya fenomenta eksternalitas ini, tidak jarang, bisa
dieksplisitkan melalui kajian ekologis. Untuk memberi ilustrasi
tentang hal ini, mari kita kejadian berikut. Seorang pengusaha
membeli sebidang tanah untuk mendirikan pabrik. Yang melalukan
transaksi jual beli dalam hal ini adalah pemilik tanah dan sang
pengusaha. Ketiga sudah memiliki tanah, sang pengusaha harus
mengurus sejumlah perijinan. Setelah ijin dikantonginya (dus dia
menyelesaikan transaksi dengan pemerintah), dimulailah proses
pembangunan pabrik. Setelah pabrik beroperasi, penduduk sekitar
pabrik harus menerima kenyataan bahwa air sumur mereka
mengering. Mengapa hal itu terjadi. Pabrik di dalam komunitas
mereka telah menyedot air dalam volume besar-besaran. Dalam
kasus ini jelas terlihat adanya interaksi ekologis, yakni penyedotan
air bawah tanah, telah menyebabkan penduduk sekitar pabrik yang
tidak terlibat dalam transaksi dengan pengusaha, harus memikul
biaya eksternalitas yang diciptakan oleh pengusaha. Point yang ingin
dikedepankan di sini adalah bahwa kesediaan untuk mengkaitkan
dinamika ekologis akan memudahkan ekonom memahami biaya
eksternalitas, dan proses pembangunan pabrik tadi bisa menekan
konflik sekiranya perusahaan yang bersangkutan dikenai sanksi
Kegagalan untuk memasukkan dimensi ekologis ini secara
tragis melanda ilmuwan poltik. Mereka telah meminjam konsep
‘sistem’ dari para ekolog. Konsep sistem ini tadinya dipakai oleh
para ekologis untuk memahami (dan menjelaskan) keteraturan dalam
interaksi ekologis. Melalui konsep sistem ini bisa dijelaskan tentang
rantai makanan, ketergantungan antar makhluk hidup dan
sebagainya. Point penting dari para ekolog dibalik penggunaan kata
‘sistem’ ini adalah bahwa ekuilibrium atau tatanan kehidupan akan
runtuh ketika ada rantai interaksi yang terputus atau mengalami
perubahan secara drastis. Nah, apa yang terjadi ketika ilmuwan
politik menggunakan konsep ‘sistem’. Ilmuwan politik hanya
memperhatikan keterkaitan antara tindakan manusia yang satu
terhadap manusia yang lain, dan keterkaitan manusia dengan
makhluk hidup yang lain tidak sempat dicermati. Padahal, melalui
perubahan kondisi makhluk hidup lain itulah
kesejahteraan/kesengsaraan sosial terpola. Hal ini diperparah oleh
kecenderungan satu disiplin ilmu tidak mencampuri disiplin ilmu
lain. Ekolog tidak semestinya “masuk” ke pembahasan ilmu politik
dan sebaliknya, ilmu politik “boleh” tidak menggubris pesan sentral
ekolog. Justru disiplin ilmu ini ditegakkan dengan menghindari
pencampur-adukan. Ironisnya, kedisiplinan dalam menegakkan
disiplin ilmu ini justru membahayakan manusia sendiri.
Konsep environmental governance, menurut hemat penulis,
perlu dibangun di atas premis sentral bahwa sistem sosial dan
ekosistem dari waktu ke waktu terlibat dalam interaksi (aksi-reaksi)
yang tidak berkesudahan. Hal ini diperlihatkan dalam skema I.
pemolaan interaksi antara sistem sosial dengan ekosistem.
Sehubungan dengan hal itu, perlu diingat bahwa sistem sosial sendiri
berisikan kompleksitas interaksi, dann ekologipun berisikan suatu
kompleksitas interaksi.
Sebagaimana diperlihatkan dalam dalam skema I, kosep
good governance yang gencar diwacanakan selama ini sebetulnya
didasarkan pada pengamatan atau teorisasi atas interaksi sosial.
Interaksi sosial yang dijadikan rujukan untuk menentukan baik
tidaknya suatu pola penyelenggaraan kepentingan publik adalah
interaksi sosial yang tidak dikait-kaitkan dengan dinamika
ekosistem, meskipun kaitan ini ada. Sementara itu, konsep
menajemen lingkungan didapatkan dari pengamatan dan
pendayagunaan teori-teori ekologi yang diturunkan dari pengkajian
interaksi sistem bio-fisik. Atas dasar pemahaman teori-teori ekonogi
ini para manajer lingkungan hidup memanipulasi berkerjanya sistem
bio-fisik. Pemaknaan good governance yang sifatnya teknosentrik,
tidak dengan serta-merta menjamin kelestarian lingkungan. Di sisi
lain, majamenen lingkungan hidup yang hanya mensiasati
hukum-hukum ekologis tidak menjamin terkelolanya lingkungan hidup
dengan baik.
Sehungan dengan hal-hal tersebut di atas, konsep
environmental governance perlu dikembangkan sedemikian sehingga
meminimalisir kedua kecenderungan antroposentik tersebut di atas.
Artinya, good governance perlu didefinisikan sedemikian sehingga
judgementnya tidak bersifat teknosentrik atau antroposentrik. Good
dan bad harus dilihat dalam kerangka fikir yang konsisten dengan
entitas bio-fisik (sungai, danau, sumberdaya alam, lahan dan
sebagainya) melainkan perilaku manusia. Sehubungan dengan hal
itu, perlu dipastikan agar tercipta kapasitas kelembagaan yang
memadai untuk pola perilaku didasarkan pada cara fikir
antroposentrik terkoreksi oleh kendala-kendala ekologis, dan sistem
sosial yang terbentuk adalah yang berpilarkan kaidah-kaidah
ekologis.
Pemaknaan environmental governance dalam makalah ini
tidak semestinya terus terikat dengan pemaknaan yang
antroposentrik. Konsep governance diambil untuk kepentingan
tulisan ini justru dalam rangka mengedepankan urgensi
memperlakukan lingkungan sebagai suatu cara pandang. Melalui
bingkai pemikiran environmental governance diharapkan bisa
dirumuskan pembaruan penyelenggaraan kepentingan publik dengan
mengacu atau mengedepankan nilai-nilai ekologis. Jelasnya,
baik-buruknya penyelenggaraan pemerintahan tidak hanya dilihat dari
kualitas hubungan negara dengan rakyatnya, namun juga dari
kualitas interaksi ekologisnya, dari segi komitmennya untuk
menjunjung tinggi prinsip-prinsip ekologis.
Sebagaimana diperlihatkan oleh skema I, sistem sosial
menjalin interaksi yang intens dan berkelanjutan dengan sistem
bio-fisik. Kerusakan lingkungan hidup sangat erat kaitannya dengan
kelangsungan interaksi sosial yang terjadi dalam kehidupan
sehari-hari, baik yang berlangsung secara resmi maupun yang tidak resmi.
Kerusakan juga erat kaitannya dengan kecenderungan setiap
pengguna lingkungan hidup untuk menikmati jasa lingkungan hidup
fihak lain.28 Kerusakan lingkungan hidup ini juga sangat erat
kaitannya dengan menggejalanya keleluasaan masing-masing
pengguna jasa lingkungan hidup untuk menghindar dari tanggung
jawab. Singkat kata, kerusakan lingkungan sangat erat kaitannya
dengan ketidakberesan perilaku ummat manusia. Kalau pernyataan
ini boleh dibalik, pengelelolaan lingkungan hidup mensyaratkan
adanya kemampuan untuk mengelola perilaku kolektif ummat
manusia itu sendiri.
Implikasi Konseptual
Terdapat urgensi untuk menggusur cara pandang yang
antroposentris. Hal ini relevan meningat beberapa hal berikut ini.
Pertama, bahwa lingkungan hidup tidak semestinya
diperlakukan sebagai benda yang independent. Lingkungan hidup
tidak cukup difahami semata-mata sebagai realita bio-fisik.
Bekerjanya sistem bio-fisik (ekosistem) memiliki pengaruh tertentu
terhadap bekerjanya sistem sosial. Sebaliknya, bekerjanya sistem
sosial mempengaruhi proses bio-fisik yang terkait. Oleh karena itu,
lingkungan hidup perlu senantiasa difahami kaitannya dengan
28
masyarakat yang berinteraksi dengannya. Artinya; yang perlu
di-manage bukan hanya lingkungan sebagai entitas bio-fisik tersebut,
namun juga pola interaksi sosial yang berlangsung. Yang perlu
dicermati bukan hanya perubahan kondisi bio-fisik lingkungan,
namun juga bekerjanya sistem-sitem sosial yang berlangsung.
Kedua, kemajuan peradaban berjalan seiring dengan
kemampuan untuk mengubah kondisi alam (lingkungan bio-fisik).
Perkembangan kehidupan masyarakat yang semakin modern berjalan
seiring dengan pola konsumsi sumberdaya alam yang semakin tinggi,
dan penciptaan limbah yang semakin besar. Modernitas membawa
kehidupan yang secara sistemik semakin riskan. Pada saat yang
sama, tata kehidupan modern semakin mengandalkan pada
bekerjanya tatanan yang sifatnya terlembaga, terbakukan secara
struktural dan membudaya. Kehidupan modern hanya bisa berlanjut
ketika ditunjang oleh suatu bentuk ketahanan sistemik. Ini berarti
bahwa, kerentanan pada tataan sistemik bisa meruntuhkan sistem
sosial maupun sistem bio-fisik (ekosistem). Oleh karena
pertimbangan di atas itulah maka diyakini bahwa, kunci dari
pengelolaan lingkungan adalah pengelolaan pola interaksi sosial.
Ketiga, interaksi sosial sejauh memiliki bentuk yang
beraneka ragam. Sungguhpun demikian, pola interaksi yang ada pada
dasarnya bisa dipetakan coraknya. Ada corak yang sangat
mengandalkan konsistensi hierarkhis di satu ekstrim, dan ata corak
yang sangat mengandalkan mekanisme transaksi suka rela. Pola
interaksi yang pertama sangat jelas terlihat pada bekerjanya birokrasi
pemerintahan, dan pola yang lain kita kenal sebagai mekanisme
• Birokrasi bekerja atas dasar perintah yang ditentukan dari atasan
atau fihak yang memiliki kewenangan lebih tinggi. Bekerjanya
sistem yang birokratis sangat ditentukan oleh kepatuhan
terhadap yang telah dirumuskan secara hierarkhis.
• Mekanisme pasar pada hakekatnya adalah mekanisme transaksi
suka sama suka. Melalui pertukaran (exchange) antara yang
kelebihan dengan yang kekurangan, atau antara pemasok dan
pembeli berlangsung.
Poin yang ingin dikedepankan di sini adalah bahwa nasib lingkungan
hidup sangat ditentukan oleh bekerjanya mekanisme pasar maupun
bekerjanya birokrasi pemerintahan. Ini berarti bahwa, titik strategis
dalam pengelolaan lingkungan adalah pencermatan terhadap
bekerjanua mekanisme pasar maupun bekerjanya mesin
pemerintahan.
Keempat, ‘negara’ dan ‘pasar’ adalah mekanisme yang
secara alamiah telah terpola dalam kehidupan sehari-hari.
Pengamatan sejauh ini memperlihatkan bahwa kebijakan negara
sangat sensitif terhadap sentimen pasar, dan sebaliknya sentimen
pasar sangat mengkondisikan apa yang akan diputuhkan oleh
pejabat. Oleh karena itu, yang menjadi persoalan terpenting bukan
memilih interaksi yang dilakukan birokrasi namun juga interaksi
sosial yang berdasar mekanisme pasar. ‘Negara’ dan ‘pasar’
bukanlah pilihan, melainkan pola yang harus dicermati dan dikelola.
Di masa lalu, ketika yang menjadi kepedulian adalah peran negara
maka yang menjadi kerangka fikir adalah apa yang harus dilakukan
oleh negara dalam pengelolaan lingkungan hidup. Nasib lingkungan
semakin dominannya pola interaksi berbasis pasar dalam kehidupan
sehari-hari maka wacana yang berkembang mengalami pergeseran,
dari ‘government’ ke ‘governance’. Yang dipentingkan bukan
agency yang terlibat namun juga interaksi antar agency tersebut.
Sehubungan dengan point keempat tersebut di atas, perlu
kiranya dicermati adanya kecenderungan untuk mengedepankan
peranan pasar dalam memahami good governance. Sebagai contoh,
good governance adalah penyelenggaraan pemerintahan yang tidak
didominasi pemerintah melainkan pemerintahan yang partisipatif.
Pemerintahan yang baik adalah yang akuntabel, bukan hanya
memuaskan dirinya sendiri.29 Dalam bentuk seperti inilah wacana
good governance erat kaitannya dengan pelembagaan format a la
neo-liberal. Format yang diiedealkan adalah yang kuat namun
lingkupannya hanya pada hal-hal yang tidak bisa dikelola oleh
aktor-aktor non negara. Pembahasan sekelumit tentang wacana good
governance tersebut di atas memang relevan mengingat negara justru
bermasalah ketika mengemban tanggung jawab dalam pengelolaan
lingkungan hidup.30 Hanya saja, tidak ada kita juga harus ingat
bahwa pengurangan peran pemerintah tidak menjanjikan apa-apa
kalau masyarakat juga memiliki kesalahan yang sama dengan
pememrintah: berfikir etnosentrik ataupun teknosentrik.
29
United Nation Development Programme, Recontualising Governance: Discussion Paper 2, New York, 1997.
30
Implikasi Praktis
Sebetulnya tidak fair kalau dikatakan bahwa upaya untuk
mengatasi persoalan lingkungan hidup selama ini tidak membuahkan
hasil sama sekali. Yang sebetulnya terjadi adalah, kemapuan untuk
mengatasi persoalan lingkungan tidak diikuti dengan penghentian
kecenderungan destruktif: seperti pola konsumsi sumberdaya alam
yang terus meningkat dan bahkan semakin boros seiring dengan
tingkat kesejahteraan yang dicapai. Sehubungan dengan hal itu,
maka pengembangan etika dan etos yang konsisten dengan
kepentingan lingkungan menjadi kenharusan yang tidak bisa di
tawar. Kalau toh pengelolaan lingkungan hidup harus mengandalkan
mekanisme pasar, pada pelaku pasar tersebut perlu mengadopsi
etika lingkungan sedemikian sehingga transaksi-transaksi yang
terjadi hanya dilakukan di atas kepatuhan terhadap spirit ekologis.
Paralel dengan hal itu, para pejabat negara bisa mengemban amanat
pengelolaan lingkungan hidup dibalik setiap keputusan yang
diambilnnya sekiranya mereka juga mengadopsi etika lingkungan.
Sebagai suatu bingkai konseptual, environmental
governance memang tidak menjanjikan solusi praktis dalam jangka
pendek, namun diharapkan membantu kita membidik kelemahan
mendasar yang tersembunyi di balik rutinitas, dibalik obsesi kita
untuk melakukan kegiatan-kegiatan riil demi lingkungan hidup.
Pragmatisme dalam pengelolaan lingkungan yang tidak disertai
dengan refleksi yang memadai kiranya akan menjebak mereka dalam
frustrasi manakala yang mereka jangkau hanyalah
Pertama, issue sentral dalam pemikiran dan pengembangan
governance adalah kesadaran akan adanya keterkaitan berbagai
fihak. Sehubungan dengan hal itu, maka kesadaran tentang sistem
merupakan persoalan sentral. Perlu diingat, yang harus disadarkan
tentang bekerjanya sistem bukan hanya masyarakat awam melainkan
justru para aktor strategis: pejabat, pengusana, teknokrat dan
tokoh-tokoh yang lain.
Bagi para pejabat perlu disadari bahwa birokrasi pada
dasarnya adalah suatu sistem, yang hanya bisa berfungsi secara
sistemik sekiranya perilaku mereka konsisten dengan sistem tersebut.
Para birokrat seringkali berfikir sebagai pribadi dan tidak jarang
mengemas kepentingan pribadi seolah-olah merupakan kepentingan
negara. Mereka mengandaikan bahwa sistem bisa berjalan meskipun
dirinya bekerja diluar kerangka fikir sistem. Justru sistem menjadi
rusak ketika ada aktor yang perilakunya menyimpang dari kaidah
yang ditetapkan. Kalau yang menyimpang adalah minoritas,
penyimpangan ini boleh disebut sebagai deviasi, dan hal ini mungkin
bisa dimaklumi. Namun, kalau yang melakukan penyimpangan
adalah kalangan mayoritas, maka yang terjadi adalah mengelabuhan
sistemik. Dalam kondisi ini, sistem sebetulnya sudah tidak ada lagi.
Kosen sistem, sebagaimana dilahirkan oleh para ekolog memang
merupakan suatu abstraksi akademik. Hanya saja perlu diingat
bahwa ketika para pelaku gagal mereplikasi interaksi yang sifatnya
sistemik, maka abstaksi tersebut tidak memiliki manfaat apa-apa
untuk menyelesaikan masalah.
Para teknokrat dan manajer perlu menyadari bahwa bahawa
perlu di share dengan semua aktor yang terkait. Untuk itu, di satu sisi
mereka perlu melakukan sosialisasi tentang langkah-langkah yang
mereka usulkan, namun di sisi lain, langkah tersebut harus konsisten
dengan tatanan kehidupan sosial yang berlaku. Kearifan lokal perlu
mendapat tempat dalam skema kerja yang telah dirumuskan secara
“rasional” oleh para cerdik pandai.
Kedua, kalau kita ingin tetap memakai framework
managerial dalam pengelolaan lingkungan hidup, koordinasi
merupakan titik strategis dalam pengembangan environmental
governance. Hanya saja, perlu dicatat bahwa koordinasi tidak cukup
melibatkan aparat birokrasi atau para manager, melainkan
melibatkan seluas mungkin stake holder. Untuk itu, mari kita cermati
contoh kasus berikut ini.
Beberapa waktu yang lalu penulis berkunjung ke Chiang
May, Thailand. Dalam kunjungan itu penulis diajak melihat kasus
bagaimana mereka bisa mengelola konflik kepentingan dalam suatu
DAS. Ada daerah aliran sungai yang kemudian ada konflik yang
sangat sulit dipecahkan, solusi yang ditawarkan mereka adalah
sangat sederhana, mari kita segmentasi persoalan dalam DAS yang
sifatnya memanjang itu. Mereka bersepat untuk melakulan
segmentasi persoalan. Caranya tetap saja menggunakan konsep DAS,
lebih tepatnya mereka menentukan batas-batas sub DAS. Dalam
pada itu, DAS bagian yang hilir melibatkan para petani tanaman
keras, dan DAS yang bagian tengah disitu kebetulan menjadi
konsentrasi tempat bagi rekreasi resort hotel. Dengan menghudi DAS
semacam ini kita tahu ada kebutuhan akan air itu sangat tinggi. DAS
Yang mereka lakukan adalah sebagai berikut. Supaya
konflik bisa terkelola dengan baik maka mereka kemudian silahkan
mengembangkan sebuah mekanisme perwakilan dalam sub DAS itu.
Orang-orang yang bagian atas itu sepakat tentang esensi persoalan
apa yang harus dinegosiasikan dengan sub das yang lain. Begitu juga
Orang yang tinggal di DAS yang lain. DAS yang ditengah, karena
isinya adalah perusahaan-perusahaan besar yang mengeksploitasi air
dalam jumlah besar, akhirnya menjadi central point.
Dari perwakilan antar DAS ini terlihat upaya untuk terlihat
bahwa upaya mengintegrasikan entitas ekologis dengan entitas
politis/administratif adalah sesuatu yang mungkin. Menurut para
pelaku yang ditemui dalam kunjungan tersebut, dengan cara itu maka
berbagai macam bisa dibahas dan dicarikan pemecahan bersama.
DAS yang tadinya diperlakukan sebagai intrumen pengelolaan
lingkungan bio-fisik, bisa dikembangkan sebagai instrumen
pengelolaan proses politik dalam rangka mengeloka konflik. DAS
telah hadir sebagai intrumenn pengelolaan interaksi sosial.
Sepertinya kita mengalami kesulitan untuk meniru
pengalaman Thailand tersebut di atas. Hal ini terkait teritori pejabat.
Bupati atau Walikota itu sudah jelas teritorinya, dan bersikeras
dengan kekuasaannya di dalam teritori tersebut. Mereka tidak dengan
mudah menghilang tradisi politik sektoral tadi sektorisasi teritorial.
Pertanyaannya, bersediakan mereka lebih mengedepankan DAS dari
pada yurisdiksi administratifnya ?
Cara penyelenggaraan pemerintahan yang diinspirasi nilai
ekologis (dalam hal ini DAS) hanya bisa berjalan manakala logika
hidup tidak cukup difahami sebagai interaksi birokratis,
melainkanjuga interaksi jaringan dan pengorganisasian masyarakat.
Implikasinya, organisasi berkerja sesuai dengan format ekologisnya.
Lembaga perwakilan juga mewakili kepentingan-kepentingan yang
sudah dipolakan oleh ekosistemnya. Hal itu semua bisa jalan sebagai
suatu sistem manakala ada rasa saling percaya (trust) di antara
berbagai fihak yang terkait. Perlu diingat, pengelolaan trust ini
langsung terkait dengan pengelolaan unit-unit ekosistem setempat.
Hal inilah yang menjembatani kepentingan ekosistem dengan
kepentingan masyarakat. Adanya lembaga perwakilan
memungkinkan masing-masing pihak untuk memposisikan diri untuk
melakukan tawar menawar. Kalau egoisme masing-masing dibiarkan
ujung-ujungnya dia sendiri juga akan rugi. Katakanlah hotel yang
dibagian tengah tadi tidak mau tahu, ujung-ujungnya kemudian ada
protes dan lain sebagainya yang akan menyebabkan dia rugi. Hal
semacam itulah yang menjadi, tapi riot itu bisa diklasifikasi ketika
dia sama-sama mengabaikan prinsip-prinsip ekologis.
Penutup
Model good environmental governance di sini mencoba
menawarkan solusi untuk merespon potensi pembajakan makna dari
pembangunan yang berwawasan lingkungan, sekaligus menetralisir
potensi dekonstruktifnya melalui praktek deliberasi yang juga
bersifat diskursif. Alih-alih menggunakan instrumen represif seperti
pada masa Orde Baru untuk menjaga kohesifitas struktur hegemonik,
model ini membuka ruang bagi terjadinya praktek diskursif secara
oleh berbagai elemen akibat keberadaan wacana sustainable
development sebagai wacana hegemonik diartikulasikan bukan
dalam bentuk pembajakan makna, tetapi lebih dalam ruang-ruang
yang memang disediakan untuk memproduksi wacana dan
mengkontestasikannya secara terbuka. Pertarungan diskursif yang
terjadi diharapkan akan wacana yang lebih tajam diantara para
pelaku yang secara bertahap membangun trust di antara mereka
melalui engagement yang intensif dan ekstensif.
Proses discursive engagement dalam good environmental
governance ini diharapkan bisa memberikan dua output yang
mereproduksi dan memperkuat formasi hegemonik wacana
lingkungan. Pertama, adanya penterjemahan prinsip lingkungan
dalam pembangunan yang lebih spesifik yang, pada saat yang sama,
sambung dengan ekspektasi dari subyek yang distruktur oleh
prinsip-prinsip tersebut. Yang pertama dihasilkan melalui pertarungan
wacana yang terus menerus dikelola dalam good environmental
governance, sementara yang kedua dihasilkan dari engagement terus
menerus dari berbagai aktor yang terlibat dalam pertarungan
diskursif tersebut.
Dampak yang lebih jauh lagi diharapkan dari model
governance ini adalah munculnya kesadaran environment sebagai
sebuah model governance tersendiri. Sejauh ini, hanya ada dua
model governance yang relatif dikenal luas, yaitu model governance
berbasis logika pasar dan berbasis logika negara. Kasus pengelolaan
DAS di Thailand yang diilustrasikan di atas memberikan gambaran
bagaimana discursive engagement yang terus menerus terkait
akan ekosistem sebagai sebagai sebuah entitas yang memiliki
logikanya sendiri, di mana manusia menjadi salah satu bagian dari
sistem tersebut. Pada akhirnya, aktor yang terlibat menginisasi suatu
model governance berdasarkan penghayatan terhadap logika
ekosistem tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Brunel, Silvie, 2008, A qui profite le developpement durable? (Who benefits from Sustainable development?),
Celik, Nur Betul, “The Constitution and Dissolution of Kemalist Imaginary” in Howarth, David; Alleta J. Norval; and Yanis Stavrakakis (eds.), 2000, Discourse Theory and Political Analysis: Identities, Hegemonies and Social Change, UK: Manchester University Press, p. 194
Grindle, Merilee S. (ed.); Getting Good Government: Capacity Building in the Public Sectors of Developing Countries, Harvard Institute for International Development, Harvad University Press, 1997
Hardin, Garret, (1968), “The Tragedy of the Commons” dalam Science vol. 162 no. 3859, hal. 1243 – 1248.
Kooiman, Jan (ed.); Modern Governance: New Government-Society Interaction, Sage, London, 1993.
Laclau, Ernesto and Chantal Mouffe, 2001 Hegemony and Socialist Strategy: Towards a Radical Democratic Politics, London: Verso, first published 1985
Merril, Thomas, “Forwards: Two Social Movements” dalam Ecology Law Quarterly, vol. 21, no. 2, 1994 dikutip dalam Santoso, Purwo, op.cit., hal. 65
Rhodes, R.A.W; “The New Governance: Governing without government”, Political Studies, XLIV, 1996. Lihat juga, Young, Oran; Governance in World Affairs, Cornel University Press, 1999
Santoso, Purwo, 1999, Environmental Policy Making in Indonesia: A Study of State Capacity, 1967 – 1994, PhD thesis, Department of Government, London School of Economics and Political Science, University of London
Santoso, Purwo; Environmental Governance: Filosofi Alternatif untuk Berdamai dengan Lingkungan Hidup.
UN General Assembly, Report of the World Commission on Environment and Development, 96th plenary meeting, 11 December 1987, diakses 4 September 2011.
Undang-undang No.4 tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup