• Tidak ada hasil yang ditemukan

Buku Prosiding DIALOG CERDAS BERBUDAYA R

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Buku Prosiding DIALOG CERDAS BERBUDAYA R"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

Prosiding

DIALOG CERDAS BERBUDAYA DALAM RANGKA PERINGATAN 60 TAHUN KAA REVITALISASI NILAI-NILAI BUDAYA ASIA AFRIKA

“Membangun Sinergitas Keberagaman Sebagai Kedaulatan Budaya Dalam Perspektif Orientasi Nilai Kearifan Budaya Lokal Untuk Menghadapi Dampak Arus Globalisasi”

Buku tentang REVITALISASI NILAI-NILAI BUDAYA ASIA AFRIKA “Membangun Sinergitas Keberagaman Sebagai Kedaulatan Budaya Dalam Perspektif Orientasi Nilai Kearifan Budaya Lokal Untuk Menghadapi Dampak Arus Globalisasi” merupakan rangkaian tulisan (prosiding) dari hasil Dialog Cerdas Berbudaya Dalam Rangka Pringatan 60 Tahun KAA yang diselenggarakan pada hari Senin, 9 Maret 2015 Masehi (Soma Wage, 11 Suklapaksa bln Setra 1951 Caka Sunda) bertempat di Grand Ballroom Savoy Homan Bidakara Hotel, Jalan Asia-Afrika 112 Bandung atas kerjasama Yayasan BESTDAYA (Bengkel Studi Budaya) dan Museum Konperensi Asia Afrika (MKAA).

Buku ini merupakan kumpulan konsep dan metodologi pendekatan nilai-nilai kearifan budaya lokal yang telah dan sedang dilakukan oleh para pemangku kepentingan di Indonesia, serta untuk berbagi pengalaman dan pengetahuan mengenai mengenai praktek-praktek pendekatan nilai-nilai kearifan budaya lokal dalam perencanaan, pelaksaan dan pengendalian pembangunan.

Buku prosiding Dialog Cerdas Berbudaya ini terdiri dari 4 Bab, yaitu:

 Bab I Kerangka Acuan yang berisikan tentang Latar Belakang Pemikiran dan Tujuan Dialog diselenggarakan

 Bab II Notula dan Berlangsungnya Acara Dialog

 Bab III Merupakan kumpulan makalah dari Narasumber, Pembahas Utama, Pemakalah Tamu dan Makalah Partisipan yang terdiri dari :

- Dialog I dengan tema “Revitalisasi dan Reaktualisasi Nilai-Nilai Luhur Budaya Nusantara-Indonesia Menghadapi Arus Budaya Global Dalam Kehidupan Bermasyarakat, Berbangsa, dan Bernegera”

- Dialog II dengan tema “Merajut Peradaban Melalui Kegiatan Pemberdayaan Masyarakat Dalam Konteks Bahasa, Sastra, dan Kebudayaan”

- Dialog III dengan tema “Penguatan Kapasitas Kelembagaan dan Semangat Kebersamaan Membangun Peradaban Melalui Pendekatan Adat, Adab, Budaya”

 Bab IV Risalah dan Rekomendasi dari seluruh makalah dan kesimpulannya.

Keterangan Buku:

Penerbit : BESTDAYA, 2014 (didukung oleh ) ISBN : (jilid lengkap)

(2)

Publikasi: Buku

PROSIDING DAN REKOMENDASI DIALOG CERDAS BERBUDAYA 60 TAHUN KAA REVITALISASI NILAI-NILAI BUDAYA ASIA AFRIKA

“Membangun Sinergitas Keberagaman Sebagai Kedaulatan Budaya Dalam Perspektif Orientasi Nilai Kearifan Budaya Lokal Untuk Menghadapi Dampak Arus Globalisasi”

Pengarang _

ISBN -

Bahasa -

Halaman -

Tahun -

Persediaan -

BESTDAYA Library

Melihat dan mendefiniskan Nilai-nilai Budaya Asia Afrika dengan perspektif regional berdasarkan realitas globalisasi saat ini menjadi tuntutan yang semakin kuat bagi penentu kebijakan sebagai acuan diplomasi budaya. Sayangnya, dorongan untuk menjawab tantangan tersebut tidak cukup besar di Indonesia, negara yang memiliki peran dan posisi penting dalam menentukan dinamika kawasan. Kajian tentang Nilai-nilai Budaya Asia Afrika cenderung terpinggirkan dan tidak berkembang secara signifikan di ranah akademis di Indonesia. Mengingat pentingnya hal tersebut, maka Yayasan BESTDAYA (Bengkel Studi Budaya) bersama Museum Konperensi Asia-Afrika, melaksanakan DIALOG CERDAS BERBUDAYA 60 TAHUN KAA REVITALISASI NILAI-NILAI BUDAYA ASIA AFRIKA “Membangun Sinergitas Keberagaman Sebagai Kedaulatan Budaya Dalam Perspektif Orientasi Nilai Kearifan Budaya Lokal Untuk Menghadapi Dampak Arus

Globalisasi” pada tanggal 9 Maret 2015 dengan mengundang para Guru Besar dari

berbagai lintas disiplin ilmu dan para praktisi sebagai upaya untuk memberi masukan revitalisasi terhadap nilai-nilai budaya untuk menghadapi dampak arus globalisasi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegera.

Buku Prosiding ini terlahir dari pergulatan wacana dan gagasan dari para Narasumber, Pembahas Utama, dan Pemakalah yang tersampaikan pada sebuah diskusi akademis yang mengedepankan logika dan objektifitas, mengulas perubahan sosial dari berbagai sudut pandang, social setting yang beragam menjadi nilai lebih dalam buku ini, karena faktanya kita memang Negara yang sangat beragam. Pendekatan social setting ini akan membantu dalam melihat sebuah permasalahan.

Buku ini membahas secara multidisiplin mengenai fenomena perubahan sosial di masyarakat Indonesia, desain dan strategi untuk melakukan perubahan sosial. Perubahan sosial dilihat dari sudut pandang budaya, media massa, politik, pendidikan, birokrasi, gender dan pemanfaatan portal internet.

(3)

menghadapi dampak arus globalisasi dan membuka ruang diskusi yang lebih luas. Selamat membaca!

Abstrak Makalah

Dialog I

“Revitalisasi dan Reaktualisasi Nilai-Nilai Luhur Budaya Nusantara- Indonesia Menghadapi Arus Budaya Global Dalam Kehidupan Bermasyarakat, Berbangsa, dan Bernegera”

1. “Perkembangan Budaya, Suatu Pendekatan Antropologi Sosial” Prof. H. Judistira K. Garna, Ph.D

Dalam revitalisasi nilai-nilai budaya Asia-Afrika yang termaktub pada Dasa Sila Bandung agar dapat dikelompokkan nilai-nilai apa saja yang perlu direvitalisasi dan direaktualisasikan.

Pertama adalah (1) dalam proses perubahan budaya di masa ini tidak mudah melakukan revitalisasi dan reaktualisasi; (2) keberagaman budaya; (3) sifat individualitistik pelakunya; (4) hakekat perubahan budaya yang fungsional atau unsur-unsur yang berfungsi dalam budaya yang masih kurang diserap; (5) orientasi budaya yang berlainan menurut komunitas dan lapisan sosial serta beberapa; (6) unsur budaya yang penting sudah menjadi ideologi dan bukan menjadi budaya lagi; dan (7) tafsir budaya yang berbeda oleh para pelakunya.

Kedua adalah bagaimana model nilai-nilai budaya yang beragam dan dampaknya itu sebenarnya.

2. “The Sundanese of West Java and their Relation to Ethnoastronomy” Prof. Dr. H. Suhardja D. Wiramihardja, M.Sc.

Nothing in nature has intrigued humans more than gazing at a spectacularly star-lit sky. While all people on Earth have observed the same primitive objects in the sky, i.e. the sun, moon, and stars, all cultures have developed their own interpretations of these heavenly bodies within different cultural contexts. There are many different ways in which people have woven concepts and knowledge of sky phenomena and objects they watched into the fabric of their lives. But it is important to realize that in most cultures there was nothing that was thought of as “astronomy”. The phenomena and objects in the sky were merely part of the whole complex of the surrounding world.

3. “Komunikasi Antarbudaya Abad ke-21: Kendala dan Tantangan” Prof. H. Deddy Mulyana, M.A., Ph.D

(4)

4. “Revolusi Senyap : Mengelola Hidup dan Merencanakan Masa Depan” Prof. Dr. Hj. Marwah Daud Ibrahim, Ph.D

Hal yang kita angkat bersama hari ini untuk diteruskan melalui forum-forum yang lebih dalam lagi untuk dapat memperjelas dan melihat apa yang perlu kita kembangkan lagi serta apa yang perlu kita lakukan bersama ke depan.

Pertama, kata revitalisasi dan reaktualisasi, ada beberapa hal kalau kita lihat tentang Asia-Afrika setelah 60 tahun ini. Jadi kalau kita revitalisasi atau juga melakukan reaktualisasi, maka sesungguhnya kata atau semangat merdeka yang waktu itu dimunculkan oleh Bung Karno dan menggetarkan dunia ketika itu dan melakukan perubahan atau terjadi perubahan besar di banyak wilayah Indonesia, wilayah Asia, dan wilayah Afrika, maka sesungguhnya ini belum selesai. Jadi bisa dikatakan bahwa kepeloporan Indonesia itu masih diperlukan, karena kemerdekaan dan ketidakadilan masih sangat sangat tajam. Kalau kita lihat bolehlah merdeka secara ekonomi di wilayah Asia dan Afrika dan juga di wilayah Selatan lainnya, tetapi sesungguhnya secara budaya, secara ekonomi, secara informasi terjadi ketimpangan dan ketidakadilan.

5. “Pancasila Satu-satunya yang Mampu Hadapi Gempuran Globalisasi” Laksamana TNI (Purn) Slamet Soebijanto

WASANTARA :

Cara pandang bangsa Indonesia berdasarkan PANCASILA dan UUD’45 yaitu

tentang diri dan lingkungan serta keberadaannya yang sarwa Nusantara dalam mengekspresikan diri sebagai bangsa Indonesia di tengah-tengah masyarakat dunia dengan ke beragaman nilai-nilai dan tata laku adalah bukti potensi bangsa Indonesia

6. “Kerjasama Asia-Afrika Melalui Diplomasi Budaya” Sukawarsini Djelantik, Dra., M.Int.S, Ph.D

Tujuan Diplomasi Budaya adalah menumbuhkan opini positif di negara lain “goodwill ambassador”, virtual diplomacy, diplomacy without diplomat, dan untuk Menginformasikan/mempengaruhi opini publik di negara lain; Mempromosikan kepentingan nasional melalui saling pengertian, tukar menukar informasi, dan mempengaruhi publik di negara lain; Meningkatkan dialog antar warga negara dan institusi- institusi di luar negeri; Upaya-upaya pemerintah untuk membangun komunikasi di negara-negara dimana ada kepentingan Indonesia, untuk menghindarkan kesalahpahaman yang memperburuk hubungan

7. “Perkembangan Nilai-Nilai Budaya Dalam Perspektif Sistem Kalender Penanggalan Tradisional”

Dr. Ir. H. Moedji Raharto, M.Sc.

(5)

Pengetahuan astronomi pada nenek moyang bangsa Indonesia baik yang berdiam di daerah pesisir (masyarakat nelayan dan pelaut), maupun yang berdiam di daerah pedalaman (masyarakat agraris) telah mengenal perhitungan astronomis yang dipakai sebagai pedoman untuk mempermudah kehidupannya. Pada masyarakat pesisir dipakai sebagai “alat” navigasi, sedangkan pada masyarakat agraris dipakai untuk menentukan pertanggalan yang berkaitan dengan upacara untuk menentukan kondisi baik dan buruk atau untuk melihat seseorang yang melanggar pantangan serta pada akhirnya untuk menentukan waktu bercocok-tanam. Benda langit yang dijadikan pedoman untuk keperluan itu adalah bintang-bintang dan bulan. Penelitian perilaku masyarakat dalam kaitannya dengan astronomi sudah banyak dilakukan oleh para peneliti dalam hal pertanggalan (kalender), yang berusaha mencari kesesuaian unsur penanggalan dengan gerak benda langit.

8. “Makna Kebenaran dan Keseimbangan di Alam Semesta” Ferenc Raymond Sahetapy (Ray Sahetapy)

Hari ini, manusia hidup dikendalikan oleh dua hal: keinginan dan kebutuhan. Kebutuhan belum tentu keinginan. Keinginan juga belum tentu kebutuhan. Kebutuhan harus dipenuhi agar manusia dapat bertahan hidup. Dalam artian, kalau kebutuhan tidak dipenuhi, manusia akan terancam hidupnya. Maka, manusia yang seimbang bisa memisahkan antara kebutuhan dan keinginan. Keduanya harus seimbang.. Hancurnya suatu tatanan keseimbangan disebabkan karena manusia hidup lebih di dominasi oleh keinginannya, bukan kebutuhannya. Apakah itu keinginan untuk berkuasa, keinginan untuk mencari untung, keinginan untuk berbuat curang, dan sebagainya. Kebutuhan yang paling mendasar bagi setiap manusia adalah mengenal jati dirinya. Mengenal apa tujuan dia diciptakan di muka bumi. Setiap makhluk, hari ini sedang berlomba-lomba dalam menyelaraskan dirinya dengan aturan-aturan Sang Maha Pencipta yang berlaku di alam semesta ini, sehingga terciptalah keseimbangan itu. Jadi, tugas manusia itu tidak lain adalah mewujudkan kehendak-kehendak Sang Maha Pencipta itu kedalam kehidupannya, baik dalam kehidupan pribadi maupun sosial kemasyarakatan. Memperjuangkannya, sehingga terciptalah keseimbangan itu sendiri. Salah satu bentuknya, sebagaimana diungkap dalam Pancadarma sila ke satu: memuliakan, memelihara, dan menjaga seluruh ciptaan Sang Maha Pengatur alam semesta. Segala macam bentuk pemahaman, seharusnya jangan sampai keluar dari pola pikir semacam ini. Dalam artian, antara manusia, alam, dan Sang Maha Pencipta harus mempersatukan dan menyelaraskan kehendak agar terjadi keseimbangan diantara ketiganya.

9. “Kearifan Lokal sebagai Filter dari Globalisasi” R.A. Garlika Martanegara, S.Sos., M.Si

(6)

Dialog II

“Merajut Peradaban Melalui Kegiatan Pemberdayaan Masyarakat Dalam Konteks Bahasa, Sastra, dan Kebudayaan”

10. “Perkembangan Budaya Dalam Pendekatan Sejarah” Prof. Dr. Drs. H. A. Sobana Hardjasaputra, S.U

Perkembangan budaya memang perlu dipahami melalui pendekatan sejarah, karena sejarah merupakan proses yang berkesinambungan. “Hana nguni hana mangké, tan hana nguni tan hana mangké”. Demikian ungkapan dalam salah satu naskah Sunda kuno, yang berarti “Ada dulu maka ada sekarang, tanpa ada dulu tidak akan ada sekarang”. Bila ungkapan itu diterapkan pada budaya, berarti untuk memahami perkembangan budaya, perlu dipahami proses perkembangan budaya yang bersangkutan, untuk mengetahui faktor-faktor apa yang menyebabkan atau mendorong perkembangan budaya itu, sehingga akan diketahui apa yang menjadi sumber kekayaan budaya setiap bangsa. Dalam hubungan itulah pentingnya dipahami nilai-nilai kearifan budaya lokal, yang menunjukkan pengalaman-pengalaman penting manusia di masa lampau, dan hal itu pula yang menjadi cakupan sejarah. Sejarah termasuk ilmu empiris (Empeiria = pengalaman).

11. “Perkembangan Budaya Nusantara” Prof. Dr. Marsono, S.U

Bangsa Indonesia yang ber-Binneka Tunggal Ika terjadi dari berbagai etnik adalah bangsa yang besar. Sejarah budayanya telah terbentuk sejak zaman kuna. Jika sejarah budayanya dilihat, bangsa ini dalam kancah dunia internasional zamannya tercatat dalam tinta emas. Namun, dalam perjalanan sejarah setelah kemerdekaan sampai sekarang kondisi bangsa Indonesia, khususnya setelah runtuhnya rezim Orde Baru digantikan oleh Orde Reformasi, masih belum cemerlang. Apa yang diharapkan oleh masyarakat akan datang zaman yang tertata belum menenuhi harapan. Budaya pragmatis material dan bahkan hedonistis lebih dikedepankan. Nilai-nilai humanistis dalam kehidupan ditinggalkan. Tindakan sebagian dari mereka demi mengejar pragmatisme, material, dan hedonistis menjadi kebablasan.

Kondisi moral bangsa pada sebagian masyarakat dalam keadaan tidak beradab. Bangsa yang dahulunya dikenal sebagai bangsa yang berbudi luhur dan murah senyum, sikap yang demikian hanya tinggal dalam kenangan sejarah. Jika suatu tindakan kebablasan tidak bermoral ini dibiarkan menjadi budaya, niscaya bangsa dan negara Indonesia cepat atau lambat akan surut.

12. “Asia Afrika Dasawarsa KE-II Abad 21

Prof. Dr. H. M. Didi Turmudzi, M.Si

(7)

13. “Spirit Budaya Nusantara”

KRAT Mas’ud Thoyib Adiningrat, Drs.

Masalah kebudayaan di negara kita akhir-akhir ini memang terasa dilupakan orang meskipun disadari atau tak disadari hampir semua orang pada setiap harinya selalu berurusan dengan budaya. Meskipun sudah lebih dari setengah abad merdeka ternyata ada saja di antara kita yang sering keliru dalam memahami budaya sebagai kesenian semata-mata; padahal pengertian budaya ataupun kebudayaan adalah jauh lebih luas. Sebagaimana dinyatakan dalam penjelasan Pasal 32 UUD 1945 pada dasarnya kebudayaan merupakan buah usaha budi manusia secara kolektif. Di dalam teori budaya disebutkan tentang Teori Roda (yang Berputar), atau yang dalam referensi Jawa Klasik disebut dengan "Cakra Manggilingan". Budaya adalah bagian dari kehidupan manusia yang perjalanannya seperti halnya perjalanan kehidupan manusia itu sendiri; terkadang buntung terkadang untung, terkadang pahit terkadang manis, terkadang buruk terkadang baik, terkadang salah terkadang benar, dan terkadang kalah terkadang menang. Seperti perputaran roda; terkadang di bawah terkadang di atas.

14. “Revitalisasi Mitos KAA : Dari Indonesia Untuk Dunia Yang Bermartabat” Mahyudin Al Mudra S.H., M.M

Menurut Eliade, benar tidak sebuah mitos tidak ditentukan oleh apakah mitos tersebut betul-betul terjadi apa tidak, tetapi lebih kepada dampak yang ditimbulkannya. Dalam konteks inilah, penulis melabeli KAA sebagai sebuah mitos.

KAA merupakan satu dari sekian “mitos” yang diciptakan bangsa Indonesia. Melabeli KAA yang merupakan fenomena dunia pada tahun 1950an sebagai sebuah mitos, tidak dalam posisi bahwa penulis meragukan pelaksanaan KAA. KAA betul-betul terjadi, dan memberikan pengaruh luarbiasa bagi peradaban dunia saat ini. Mitos dalam hal ini bukan sesuatu yang dikhayalkan sehingga yang dimitoskan itu benar-benar terjadi apa tidak, tetapi lebih kepada pengaruh dari mitos tersebut. Menurut Eliade, benar tidak sebuah mitos tidak ditentukan oleh apakah mitos tersebut betul-betul terjadi apa tidak, tetapi lebih kepada dampak yang ditimbulkannya. Dalam konteks inilah, penulis melabeli KAA sebagai sebuah mitos.

15. “Tafakur dan Pemuliaan: Kiprah Nilai Perempuan dalam Merawat Budaya” Hj. Mira Rosana Gnagey Wiranatakusumah, Dra., M.Pd

(8)

Dialog III

“Penguatan Kapasitas Kelembagaan dan Semangat Kebersamaan Membangun Peradaban Melalui Pendekatan Adat, Adab, Budaya”

16. “Identitas Personal sebagai Pembangunan Kebudayaan” dr. Teddy Hidayat, Sp.KJ (K)

Gen mempengaruhi terhadap pengaruhi terhadap keberlangsungan keturunan. Apabila gen-nya bagus keturunannya akan bagus pula. Kapasitas mental, ada IQ, Eq, moral dan spiritual. GEN tidak dapat dirubah, namun prilaku, hari-hari kita dapat merubah gen sehingga sesuatu yang dibangun baik akan baik, dan melahirkan generasi budaya yang lebih baik. GEN, suka tidak suka lama-kelamaan akan punah. I Want, I Can, I do ; niat saja tidak cukup harus belajar ilmunya agar seseorng mulai dari lahir, tumbuh kembang hingga remaja. Merupakan suatu proses perjalanan panjang membangun situasi bangsa.

Sampai saat ini belum terlihat bagaimana sistematik mulai dari kandungan, perkembangan kepribadian. Orang kita banyak pinter tetapi banyak juga yang korupsi, bagaimana mengendalikan emosi, lingkungan?

Yang paling penting adalah moral spiritual menjadi pusat yang harus dimasukkan dalam fase perkembangan seseorang

17. “Nilai Kearifan Dalam Etika Tari Melayu”

Tengku Puan Puteri Bongsu Mira Rozanna Sinar, S.Sos

Masyarakat di belahan dunia manapun masing-masing memiliki adat dan seni budaya (custom and culture) yang berperan menjadi karakteristik bangsa dalam menuntun kehidupan budaya suatu bangsa. Namun, dinamika komunikasi dan informasi yang sedemikian cepat mengakibatkan pergeseran nilai budaya yang semakin hari semakin terasa nyatanya. Sebagai contoh rasa cinta kepada budaya leluhur bagi generasi muda di kota-kota besar sudah semakin terkikis. Mereka terlena akan gemerlapnya dunia modern. Disisi lain akar budaya dan jati diri yang telah diwariskan oleh nenek moyang bangsa ikut terbentuk. Adanya pembentukan budaya baru oleh penata tari muda dalam wujud kini, diharapkan dapat merupakan pengembangan kekayaan budaya masa kini yang sarat dengan modifikasi, inovasi dan dinamis, namun hendaknya tidak melupakan seni tari tradisional.

18. “Peran Perempuan dalam Politik Perspektif Al-Qur’an dan Tradisi di Kesultanan Kerton Kanoman Cirebon”

Ratu Raja Arimbi Nurtina, S.T., M.Hum

Politik senantiasa begitu menakutkan bagi kaum perempuan, di mana kaum perempuan cenderung ragu dalam mentukan pijakannya untuk ikut mengambil peran dalam politik. Beberapa pedoman dalam Al-quran dan pandangan beberapa ahli politik, bahwa perempuan memiliki hak yang sama dengan laki-laki dalam berbagai aktifitas, termasuk dalam berpolitik.

(9)

19. “Peran Pemerintah Dalam Mempertahankan Kearifan Lokal Ditengah Globalisasi”

Dr. Ir. Hj. Eni Sumarni, M.Kes.

Fenomena tergerusnya budaya dan kearifan lokal oleh budaya global, belakangan ini juga dirasakan para pemangku kepentingan di pelosok desa. Seperti halnya budaya gotong-royong, yaitu melakukan suatu pekerjaan secara bersama-sama dan tanpa berharap pamrih, tampaknya hanya tinggal menyisakan kisah indah masa lalu belaka. Peran pemerintah sangat penting dalam mempertahankan dan melestarikan kearifan lokal dan memupuk budaya-budaya asli bangsa Indonesia, ketidak pedulian pemerintah dan masyarakat terhadap budaya dan kearifan lokal mengakibatkan terjadinya kemunduran pada dekade ini, bahkan masih banyak alat kesenian lokal budaya Indonesia yang belum terdaftar UNESCO ini menjadi masalah yang belum terselesaikan sampai saat ini, dikarenakan ketidak tahuan masyarakat dan ketidak pedulian pemerintah untuk memfasilitasi hal tesebut misalnya dalam mempermudah pendaftaran. Belum adanya sebuah regulasi untuk melindungi budaya-budaya yang ada di Indonesia, DPD RI sebgai reperesentatif daerah akan mendorong adanya perlindungan terhadap budaya dan kearifan lokal di Indonesia sebagai Negara yang prulalistik haruslah ada perlindungan dan kepastian hukum, agar bangsa Indonesia bisa memiliki jati diri dan kehormatan dimata bangsa lain.

20. “Masyarakat Adat dan Hak Pengelolaan Kehidupannya Salah Satu Model Budaya Cerdas Nusantara”

Aom Muhtarom, S.Ag

Selama ini masyarakat adat dipahami sebagai masyarakat tradisional, kuno, tertinggal, primitif, terasing, pinggiran, terpencil. Istilah-istilah tersebut merupakan sebutan warisan terburuk yang dialami oleh masyarakat adat pada masa lalu. Kenyataannya tidaklah demikian karena secara manusiawi tidak pada tempatnya istilah tersebut ditujukan kepada masyarakat adat.

Istilah-istilah tersebut memang sempat menjadi perdebatan untuk menunjuk pada masyarakat adat. Istilah tersebut sering diperdebatkan oleh kalangan akademisi, aktivis LSM masyarakat adat dan masyarakat adat itu sendiri pada forum-forum nasional maupun internasional untuk memberikan rujukan istilah yang pantas bagi masyarakat adat. Sehingga kurang lebih 5 tahun istilah tersebut diperdebatakan dan disepakatilah istilah yang baku baik ditingkat nasional maupun internasional, yaitu dengan sebutan Masyarakat Adat (indigenous people).

(10)

PEMAKALAH TAMU

1. “Adat Budaya dan Adat Resam yang Bersimpang-siur (Songsang)” Prof. Dr. HM. Mudarasulail Alasatam Kiram

Budaya Sulu datang dari Indonesia yaitu dari Sumatera, penting untuk memahami budaya lokal atau asal-usulnya kita sebagai banteng pertahanan budaya. Dan kedaulatan raja/sultan adalah sebagai bentuk kemandirian budaya, namun Penggunaan Adat Budaya itu tidak konsisten, mereka suka merompak budaya asing atau budaya luar untuk dicampur-adukkan dengan budaya setempat, inilah yang menyebabkan kekeliruan budaya yang smar-samar untuk diketahui. Agar semua para pengamal kebudayaan, sastrawan dan sebagainya harus mengekalkan adat budaya daerah masing-masing agar keunikan dan kecintaan terhadap budaya itu dapat diamalkan dan diperturunkan kepada generasi yang mendatang, ini bermakna budaya itu kekal sebagai wardah tradisi yang diwarisi turun-temurun sehingga akhir zaman.

2. “Budaya Asia Afrika Mengayomi Dunia” Dr. Djuyoto Suntani

Hanya Budaya Asia Afrika yang bisa mengayomi dunia. Ini karena Masyarakat Asia Afrika memiliki “hati nurani”, kearifan, kasih sayang, ada etika, ada tata krama, punya wisdom, serta nilai-nilai spiritual. Karena itu semua agama yang diakui dunia sekarang ini lahir di Asia. Sebaliknya, Perang Besar yang bernama Perang Dunia I dan II dimulai di luar Asia Afrika. Masyarakat Asia Afrika memiliki budaya adiluhung. Contoh paling sederhana dapat kita lihat dalam kehidupan sehari-hari. Masyarakat Asia Afrika mengajarkan anak-anak untuk patuh dan hormat kepada orang yang lebih tua.

4. Exploring the Objectification of Islam through the Spreading Discourse of “jilboobs”

Ryo Araki

(11)

MAKALAH PARTISIPAN

1. “Revitalisasi Aspek Sosial-Ekonomi-Budaya Dalam Konteks Asia–Afrika Platform untuk Kesejahteraan Bangsa dan Masyarakat Dunia”

Prof. Dr. Ir. Elan Masbulan, M.P.

Budaya masyarakat Timur, secara tradisional lebih mengutamakan kerjasama berdasarkan kebersamaan dan saling percaya mempercayai (Trust Building).

Dalam skala kecil budaya kekeluargaan (Cronysm) akan berjalan dengan baik dan berkelanjutan. Tetapi kebersamaan dalam cronysm ini dilanjutkan dalam skala ekonomi yang besar dan bersifat global (melibatkan konglomersi usaha internasional), maka sistem perkoncooan tersebut mudah menimbulkan persoalan-persoalan besar. Akibatnya terjadilah kemajuan semu dan pertumbuhan ekonomi menyimpang dari tujuan–tujuan sosial yang lebih luas seperti pemerataan, pengentasan kemiskinan, dan konservasi sumberdaya alam dan lingkungan hidup. Akibat tersebut di atas, maka terjadi kesenjangan (gaps) perbedaan dalam masyarakat yang secara bersamaan diikuti oleh peningkatan tindak kejahatan sosial ekonomi. Fenomena ini pada gilirannya sudah menimbulkan kerawanan SOSIAL – EKONOMI- BUDAYA

2. “Budaya dan Falsafah Sunda Kontribusinya dalam Menghadapi Disintegrasi Sosial”

Nandang Rusnandar, Drs., M.Si

Perjalanan Bangsa Indonesia, kini sedang menuju ke Indonesia Baru. Berbicara mengenai Indonesia Baru, maka tak lepas dari Jawa Baru, Sunda Baru, kini masyarakat Jawa Barat harus mampu menghidupkan spirit Jawa Barat Baru dengan latar belakang budaya dan sejarah yang dimilikinya. Perlu pengadopsian nilai-nilai karuhun yang telah disosialisasikan dahulu dapat dijadikan pegangan hidup untuk survive. Salah satu elemen penting dalam menghadapi masalah besar tersebut, dengan memanfaatkan sikap kepemimpinan yang berbasis Back to Karuhun diharapkan dapat menciptakan kesatuan wawasan yang berorientasi pada upaya pemecahan masalah disintegrasi sosial yang semakin meruncing.

4. “Keberadaan Komunitas Adat Ditengah Perubahan” Drs. Ari Harmedi Memed

(12)

5. “Konsep Waktu Sunda dan Pembelajaran Sejarah Lokal” Miranda H. Wihardja

LEBIH kurang 500 tahun, sistem penanggalan Sunda tak lagi akrab dengan masyarakatnya. Padahal, praktik “hitung-menghitung hari baik” hingga kini tetap dilakukan orang-orang Sunda yang “pandai”. Malah, orang Sunda sendiri –meski tak semuanya– merasa belum afdal jika hajat mereka (seperti pernikahan, membangun rumah, dan sebagainya) tak “dihitung” terlebih dahulu.

Manusia menghadapi kenyataan hidup bahwa waktu bergerak terus menerus, maka secara eksak waktu diukur dengan detik, menit, jam, hari, minggu, bulan, tahun, windu, dasawarsa, dan abad. Sedangkan istilah masa kini sebenarnya bersifat relatif, karena waktu berjalan terus menerus dari detik ke detik, hari ke hari, tahun ke tahun, dan seterusnya, dimana masa kini merupakan titik temu antara masa lampau dengan masa yang akan datang. Peristiwa-peristiwa masa lampau, merupakan rangkaian peristiwa masa kini, dan masa yang akan datang, sehingga waktu dalam perjalanan sejarah adalah berjalan secara kontinuitas (berkesinambungan). Agar setiap waktu dapat dipahami, maka sejarah membuat pembabakan waktu atau periodisasi. Maksud periodisasi adalah supaya setiap babak waktu itu menjadi jelas ciri-cirinya, sehingga mudah dipahami. Misalnya, sejarah Eropa dapat dibagi ke dalam tiga periode, yaitu Zaman Klasik, Zaman Pertengahan, dan Zaman Modern. Demikian juga sejarah Indonesia biasanya dapat dibagi ke dalam empat periode yaitu Prasejarah, Zaman Kuno, Zaman Islam, dan Zaman Modern.

6. “Power OF Culture FOR Life”

Dr. R.A. Ikke Dewi Sartika, M.Pd.

Referensi

Dokumen terkait

pajak. Laba bersih dipindahkan kedalam perkiraan laba ditahan atau Ratainer Earning. Dalam perkiraan ini akan diambil suatu jumlah tertentu untuk dibagikan sebagai

Segala puji dan syukur kehadirat Allah SWT atas berkah, rahmat dan hidayah-Nya yang senantiasa dilimpahkan kepada penulis, sehingga bisa menyelesaikan penelitian

Permintaan minyak kelapa sawit yang terus meningkat juga dipacu oleh ditemukannya teknologi pengolahan atau diversifikasi seperti berkembangnya industri hilir kelapa

Jadi berdasarkan hasil uji validitas di atas pertanyaan 1 sampai Pertanyaan 9 memiliki r hitung yang lebih besar dari r tabel sehingga dinyatakan VALID sedangkan untuk pertanyaan

Risiko kredit Kelompok Usaha terutama terhadap piutang dagang. Perusahaan dan Entitas Anak memiliki kebijakan, hanya akan bertransaksi dengan pihak ketiga yang memiliki

Diantara ujian yang juga ada pada saat ini yaitu keburukan yang datang melalui media elektronik dan media cetak. Karya tulisan menyesatkan, foto dan gambar wanita dengan

Sebagaimana telah ditetapkan oleh Menteri Pendidikan RI bahwa Kurikulum 2013 dikembangkan untuk mempersiapkan siswa/i agar menentukan kemampuan dan mengasah mental seorang

ABSTRAK: Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara Keterlibatan Kerja dan Kepuasan Kerja dengan Perilaku Sosial Organisasi. Penelitian ini dilakukan di