Membentuk Karakter dengan Matematika
Andi Sitti Rohadatul Aisy (3049)
SMA N 1 Kendari
Pendidikan karakter kini menjadi orientasi pembelajaran saat ini, dikarenakan
tuntutan dan tantangan yang dihadapi anak didik di masa depan yang makin kompleks dan
menggoda. Keprihatinan dan harapan masa depan itu mendorong pihak-pihak terkait
mengembangkan strategi pendidikan yang sesuai, yaitu dengan pendidikan karakter.
Tindakan menyimpang yang dilakukan pelajar membuat pendidikan karakter mendesak untuk
diterapkan di berbagai jenjang sekolah. Wajah pendidikan Indonesia tercoreng dengan
berbagai pemberitaan miring. Sebut saja mulai aksi tawuran, bullying, penyalahgunaan
narkotika dan alkohol, seks bebas di kalangan pelajar yang berujung pada aborsi, dan lain
sebagainya. Namun, tidak sedikit pula pelajar Indonesia yang berhasil menorehkan prestasi di
berbagai bidang dan diakui dunia. Fondasi karakter yang kuat, tentunya juga akan
menjadikan pelajar mampu bersaing kelak di kancah internasional. Fakta yang ada
menunjukkan, sudah saatnya pendidikan karakter kembali dimantapkan lewat pendidikan di
bangku sekolah.
Istilah „Pendidikan Karakter‟ sebenarnya bukanlah hal yang asing lagi di tengah-tengah kita. Menurut Wynne istilah karakter berasal dari bahasa Yunani yang berarti „to mark‟ yaitu menandai atau mengukir1. Mengukir tidak sama dengan menggambar, karena menggambar dapat terhapus sedangkan mengukir akan terus berbekas. Berdasarkan istilah ini
dapat dikatakan bahwa karakter merupakan sesuatu yang menjadi ciri khas seseorang atau
sekelompok orang yang di dalamnya terkandung nilai, kemampuan, kapasitas moral, dan
ketegaran dalam menghadapi kesulitan. Untuk membangun karakter hampir sama halnya
dengan membuat ukiran yang akan menetap dan tertanam dalam diri setiap individu. Oleh
karena itu, terminologi dari karakter setidaknya memuat dua hal yakni nilai dan kepribadian.
Pembangunan karakter yang merupakan upaya perwujudan amanat Pancasila dan
Pembukaan UUD 1945 dilatarbelakangi oleh realita permasalahan kebangsaan yang
berkembang saat ini, seperti disorientasi dan belum dihayatinya nilai-nilai Pancasila,
keterbatasan perangkat kebijakan terpadu dalam mewujudkan nilai-nilai Pancasila,
bergesernya nilai etika dalam kehidupan berbangsa dan bernegara; memudarnya kesadaran
1
terhadap nilai-nilai budaya bangsa, ancaman disintegrasi bangsa, dan melemahnya
kemandirian bangsa.2 Untuk mendukung perwujudan cita-cita pembangunan karakter sebagaimana diamanatkan dalam Pancasila dan Pembukaan UUD 1945 serta mengatasi
permasalahan kebangsaan saat ini, maka Pemerintah menjadikan pembangunan karakter
sebagai salah satu program prioritas pembangunan nasional. Semangat itu secara implisit
ditegaskan dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) tahun
2005-2025, di mana pendidikan karakter ditempatkan sebagai landasan untuk mewujudkan visi
pembangunan nasional, yaitu “Mewujudkan masyarakat berakhlak mulia, bermoral, beretika, berbudaya, dan beradab berdasarkan falsafah Pancasila”3.
Dalam Pasal 3 UU 20 Tahun 2003 Sistem Pendidikan Nasional disebutkan,
“Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta
peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa,
bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman
dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif,
mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”4. Dengan demikian pembangunan karakter bangsa merupakan bentuk tindak lanjut yang akan dicapai.
Untuk menanamkan karakter tersebut dilakukan melalui pendidikan. Pendidikan yang
mengarahkan dan menanamkan karakter tersebut dinamakan pendidikan karakter. Pendidikan
karakter merupakan upaya-upaya yang dirancang dan dilaksanakan secara sistematis untuk
menanamkan nilai-nilai perilaku peserta didik yang berhubungan dengan Tuhan Yang Maha
Esa, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan, dan kebangsaan yang terwujud dalam pikiran,
sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata
krama, budaya, dan adat istiadat.5
Pendidikan formal di lingkungan sekolah mulai jenjang prasekolah (TK), SD, SMP
sampai SMA memiliki kurikulum yang memuat pelajaran dan materi yang akan diajarkan,
salah satu pelajaran tersebut adalah matematika. Matematika dijadikan tolak ukur kelulusan
siswa melalui diujikannya matematika dalam ujian nasional dan diajarkan di semua jenjang
pendidikan dan jurusan. Sebagian besar siswa menganggap matematika sebagai pelajaran
yang sukar dan menakutkan, sehingga terkadang menjadi musuh bagi siswa.
2 Departemen Pendidikan Nasional. 2010.
Desain Induk Pembangunan Karakter Bangsa 2010-2025. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.
3Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional
Tahun 2005-2025, file pdf diunduh melalui http://www.itjen.depkes.go.id/public/upload/unit/pusat/files/Undang-undang/uu17_2007.pdf
4
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentangSistem Pendidikan Nasional.
5
Mata pelajaran matematika sebagai mata pelajaran pokok di sekolah harus mampu
menjawab tantangan bahwa pendidikan nilai dapat diajarkan melalui pembelajaran
matematika. Pembelajaran matematika harus lebih diberdayakan untuk mendukung
pengembangan pribadi siswa. Pembelajaran matematika seharusnya tidak hanya
diorientasikan pada penguasaan materi saja, tetapi perlu diubah terbuka menyentuh dimensi
luas sehingga berkontribusi lebih besar dalam pendidikan nilai di sekolah.
Permasalahan belum diterimanya matematika secara suka rela atau senang hati oleh
siswa menjadi pekerjaan atau tugas khusus bagi guru sebagai pendidik khususnya guru
matematika. Hal ini dapat diminimalisir dengan memberikan wawasan dan arahan serta
pendekatan yang tepat kepada siswa. Khususnya tentang penggunaan atau aplikasi
matematika dalam bidang ilmu lain dalam kehidupan sehari-hari. Secara sengaja atau tidak
sengaja maupun langsung atau tidak langsung, masyarakat atau siswa menerapkan
matematika dalam kehidupan sehari-hari. Selain melalui arahan dan pendekatan yang tepat,
dapat juga dengan merevisi kurikulum yang disesuaikan kondisi dan keadaan.
Dalam kaitannya dengan hakekat matematika maka titik pangkalnya adalah mencari
pengertian menurut akar dan dasar terdalam dari kenyataan matematika. Pengertian
matematika menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah ilmu tentang bilangan-bilangan,
hubungan antar bilangan dan prosedur operasional yang digunakan dalam penyelesaian
masalah bilangan. Dalam perkembangannya bilangan ini diaplikasikan ke bidang ilmu-ilmu
lain sesuai penggunaannya.6 Berdasarkan pengertian tentang matematika tersebut maka matematika dapat diartikan sebagai suatu ilmu yang mempelajari bilangan dan bangun serta
konsep-konsep yang berkenaan dengan kebenarannya secara logika menggunakan
simbol-simbol yang umum serta aplikasi dalam bidang lainnya.
Sebagai ilmu pengetahuan, matematika memiliki beberapa karakteristik yakni (1)
memiliki objek kajian abstrak, (2) bertumpu pada kesepakatan, (3) berpola pikir deduktif, (4)
memiliki simbol yang kosong arti, (5) memperhatikan semesta pembicaraan, serta (6)
konsisten dalam sistemnya.7
Berdasarkan karakteristik matematika itu sendiri sebenarnya melekat nilai-nilai yang
dapat membangun karakter. Obyek matematika bersifat abstrak, maka belajar matematika
memerlukan daya nalar yang tinggi, sehingga matematika melatih seseorang untuk
menggunakan daya pikirnya secara cerdas merepresentasikan hal-hal yang abstrak tersebut.
6
Purwadarminta, WJS. 2002. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka
7
Kesepakatan dalam matematika memberikan arah kesadaran tentang berbagai
kesepakatan-kesepakatan yang ada dalam kehidupan sehari-hari, dengan kesepakatan-kesepakatan tersebut seseorang
dilatih bertanggung jawab dan menerima konskuensi-konskuensi yang terjadi. Pola pikir yang
deduktif mendorong seseorang untuk mencari suatu keputusan-keputusan yang dapat diterima
secara umum.
Matematika memiliki simbol yang kosong arti memberi arah pada pemikiran yang
terbuka, kreatif, inovatif, dan produktif. Bila simbol x tidak ada artinya. Bila kemudian kita
menyatakan bahwa x adalah bilangan bulat, maka x menjadi bermakna, artinya x mewakili
suatu bilangan bulat. Pada model matematika x + y = 40, x dan y tidak berarti, kecuali bila
kemudian dinyatakan konteks dari model itu, misalnya x dan y mewakili panjang suatu sisi
bangun datar tertentu atau x dan y mewakili banyaknya barang jenis I dan II yang dijual di
suatu toko. Kekosongan arti dari simbol-simbol dan model-model matematika merupakan
kekuatan matematika, karena dengan hal itu matematika dapat digunakan dalam berbagai
bidang kehidupan.8
Matematika memperhatikan semesta pembicaraan juga mendorong munculnya nilai
tentang sifat kesemestaan seperti baik-buruk tatanan nilai kadang kala berlaku setempat dan
bergantung tata nilai yang berlaku pada budaya seseorang.
Selanjutnya, matematika konsisten dalam sistemnya melahirkan sikap konsisten dan taat
aturan, serta bertanggungjawab. Matematika dalam hal ini yang berasas dikotomi
ketaatasaan atau konsistensi yaitu tidak dibenarkannya muncul kontradiksi, merupakan hal
yang sangat penting dan harus dipertahankan. Bila pernyataan “melalui suatu titik P diluar
garis a dapat dibuat tepat satu garis sejajar dengan a” diterima sebagai benar, maka pernyataan “Jika garis a sejajar garis b dan garis p memotong garis a, maka garis p tidak memotong garis b” harus ditetapkan sebagai salah. Inilah salah satu contoh tentang konsistensi dalam matematika.9 Seseorang yang telah terbiasa berpikir matematika, tidak terlalu sulit untuk memahami perlunya sikap konsisten dan tidak sulit melihat inkonsistensi
yang terjadi dalam kehidupan.
Karakteristik dalam matematika secara tidak langsung mengajarkan cara berpikir dan
bertindak yang cerdas, bertanggungjawab, terbuka, kreatif, inovatif, produktif, berpikir
keumuman, dan konsisten. Pembelajaran matematika yang konvensional bersifat mekanistik
dapat saja membangun karakter. Hal tersebut karena sifat alami dari matematika memberi
8
Muharti, Rina. 2010. Karakteristik Matematika. Diakses melalui http://muhartirina.blogspot.com/2010/11/karakteristik-matematika.html
9
pengaruh terhadap seseorang yang mempelajari atau bergelut dengan matematika. Tetapi,
karakter yang muncul belum optimal dan kadang kala menjauhi sifat alamiah manusia,
sehingga akan lebih bernilai dan optimal jika membangun karakter melalui keterpaduan dari
sifat matematika, matematika sekolah, dan pembelajaran yang dipilih. Integrasi nilai-nilai
tersebut perlu dituangkan dalam silabus maupun rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP).
Implementasi pendidikan karakter dalam pendidikan matematika merupakan
implikasi dari kesadaran akan pentingnya refleksi kegiatan matematika melalui kajian
matematika serta pendidikan matematika itu sendiri pada berbagai dimensinya. Dengan
demikian implementasi pendidikan karakter dalam pendidikan matematika mengandung
makna seberapa jauh kita mampu melakukan kegiatan dalam rentang niat, sikap,
pengetahuan, keterampilan dan pengalaman matematika, serta pendidikan matematika dan
pembelajaran matematika. Implementasi pendidikan karakter dalam pendidikan matematika
dapat dicapai atas dasar pemahaman tentang pengetahuan matematika yang bersifat objektif
dan pelaku matematika yang bersifat subjektif di dalam usahanya untuk memperoleh hasil
matematika melalui kreasi, formulasi, representasi, publikasi dan interaksi.
Seperti yang dijelaskan bahwa pendidikan matematika dapat dipandang sebagai suatu
keadaan atau nilai yang bersinergis dengan pendidikan karakter bangsa, maka perpaduan atau
sinergi antara pendidikan karakter bangsa dan pendidikan matematika merupakan keadaan
unik sebagai suatu proses pembelajaran yang dinamis yang merentang dalam ruang dan
waktunya pembelajaran matematika yang berkarakter konteks ekonomi, sosial, politik, dan
budaya bangsa. Dengan demikian, pendidikan karakter dalam pendidikan matematika
merupakan potensi sekaligus fakta yang harus menjadi bagian tidak terpisahkan bagi setiap
insan pengembang pendidikan, baik pendidik, tenaga pendidik maupun pengambil kebijakan
pendidikan nasional.
Penerapan pendidikan karakter di sekolah-sekolah jangan sampai hanya mengikuti
trend, tidak dibarengi dengan konsep kurikulum yang jelas serta pemahaman guru yang
komprehensif. Begitu pula pendidikan karakter jangan sampai dianggap sebagai mata
pelajaran baru. Kesalahan ini tentu akibat dari ketiadaan pemahaman yang komprehensif
terhadap pendidikan karakter. Sejatinya, pendidikan karakter adalah sebuah program bukan
mata pelajaran. Sebagai program, pendidikan karakter semestinya merasuki, mewarnai, dan
menjiwai seluruh komponen dan istrumen pendidikan di sekolah. Maka sejatinya, semua guru
adalah guru karakter. Semua kegiatan adalah kegiatan karakter.
Prinsip-prinsip dasar pengembangan pendidikan karakter dalam pendidikan
yang secara hirarkhis merentang mulai dari kesadaran diri dan lingkungannya, perhatian, rasa
senang dan rasa membutuhkan disertai dengan harapan ingin mengetahui, memiliki dan
menerapkannya, merasa perlunya mempunyai sikap yang selaras dan harmoni dengan
keadaan di sekitarnya, baik dalam keadaan pasif maupun aktif, serta mengembangkannya
dalam bentuk tindakan dan perilaku berkarakter, merasa perlunya disertai usaha untuk
mencari informasi dan pengetahuan tentang karakter dalam matematika yang dianggap baik,
mengembangkan keterampilan menunjukan sifat, sikap dan perilaku berkarakter dalam
pendidikan matematika, serta keinginan dan terwujudnya pengalaman mengembangkan
hidupnya dalam bentuk aktualisasi diri berkarakter dalam pendidikan matematika, baik secara
sendiri, bersama ataupun dalam jejaring sistemik.
Untuk memeroleh pilar-pilar dalam rangkaian membangun karakter bangsa melalui
matematika dan pendidikan matematika, maka diperlukan tekad dan usaha oleh semua
segmen untuk menempatkan pendidikan matematika yang dikembalikan kepada hakekat
mendidik sesuai dengan hakekat subjek didik dan hakekat keilmuan. Pendidikan matematika
janganlah dipandang sebagai sesuatu yang diwajibkan tetapi sesuatu yang dibutuhkan oleh si
belajar. Secara makro maka pendidikan matematika janganlah terlalu memandang bahwa
subjek didik sebagai investasi pembangunan tetapi hendaklah sebagai subjek yang memang
memerlukan untuk pengembangan diri.
Melalui pembelajaran matematika diharapkan dengan sendirinya para si belajar dapat
cermat dalam melakukan pekerjaan, kritis dan konsisten dalam bersikap, jujur, taat pada
aturan, dan bersikap demokratis. Dengan demikian tentunya memerlihatkan bahwa
Daftar Pustaka
Bennet,W.J. 1991. Moral Literacy and the Formation of Character. Diedit oleh J.S.
Bennigna. In: Moral Character, and Civic Education in the Elemenrty School. New York:
Teachers Collage Press.
Departemen Pendidikan Nasional. 2010. Desain Induk Pembangunan Karakter Bangsa
2010-2025. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.
Purwadarminta, WJS. 2002. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka
Soedjadi, R. 2000. Kiat-Kiat Pendidikan Matematika di Indonesia. Jakarta: Direktorat
Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional.
Muharti, Rina. 2010. Karakteristik Matematika. Diakses 10 Januari 2014 melalui
http://muhartirina.blogspot.com/2010/11/karakteristik-matematika.html
Sujadi, Imam. 2011. Pengembangan Pendidikan Karakter Bangsa. Diakses 10 Januari 2014
melalui
http://imamsjd.blogspot.com/2011/08/pengembangan-pendidikan-karakter-bangsa.html
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan
Jangka Panjang Nasional Tahun 2005-2025, file pdf diunduh 10 Januari 2014 melalui