• Tidak ada hasil yang ditemukan

Erotisme dalam Seri Bacaan Sastra Anak P

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Erotisme dalam Seri Bacaan Sastra Anak P"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

1 EROTISME DALAM SERI BACAAN SASTRA ANAK, PANTASKAH? *)

(Eroticism in Children Literature Series, Is it Suitable?)

Oleh/By: Shintya

Balai Bahasa Provinsi Jawa Tengah

Jalan Elang Raya, Mangunharjo Tembalang, Semarang

Telepon 024-76744357, 70769945; Faksimile 024-76744358, 70799945, [email protected]

Pos-el: [email protected]

*) Diterima : 24 Agustus 2012, Disetujui : 11 September 2012

ABSTRAK

Salah satu unsur pantangan dalam sastra anak adalah erotisme. Namun, ternyata ada bacaan sastra anak yang mengandung unsur tersebut yang tidak tepat dikonsumsi anak. Penelitian ini mengkaji apakah seri bacaan sastra anak berjudul Sita Dewi dalam Penjara Rawana, Manarmakeri, dan Arya Banjar Getas tepat untuk dikonsumsi anak. Penelitian ini merupakan jenis penelitian kualitatif. Analisis penelitian ini menekankan pada interpretasi isi dari buku-buku tersebut sehingga bersifat deskriptif interpretatif. Hasil penelitian menunjukkan buku-buku tersebut tidak layak untuk anak karena mengandung erotisme. Hal itu terlihat pada kata, kalimat, paragraf, dan ilustrasi yang ada dalam buku-buku tersebut.

Kata kunci: sastra anak, unsur pantangan, erotisme.

ABSTRACT

One of taboos in children’s literature is eroticism. Unfortunately, there are some children’s literature reading contain elements that are unsuitable for consuming by children. This study examines whether children literature reading series are titled Sita Dewi dalam Penjara Rawana, Manarmakeri, and Arya Banjar Getasgood for the child consumed. This study is a qualitative research. The study focuses on the contain of those books through interpretative descriptive analysis. The results show those books are not good for children because it contains eroticism. It can be seen in the words, sentences, paragraphs, and illustrations in the book.

Keywords: children's literature, taboos, eroticism.

(2)

2

Kita prihatin mendapati bacaan sastra yang khusus dibuat dan dikonsumsi

anak mengandung unsur-unsur yang tidak sesuai dengan perkembangan

psikologinya. Kita tahu bahwa daya tangkap, pemahaman konsep, daya pikir, dan

imajinasi anak tentu berbeda dengan remaja ataupun dewasa. Oleh karena itu,

bacaan yang dikonsumsi anak haruslah sesuai dengan perkembangannya.

Karya sastra seperti apakah yang cocok untuk anak? Karya sastra yang

diperuntukkan untuk anak menurut Nurgiyantoro (2005:35—41) harus

memberikan beberapa manfaat untuk kejiwaan anak. Nurgiyantoro menambahkan

bahwa sastra anak memiliki pengaruh yang besar bagi perkembangan kepribadian

anak dalam proses menuju kedewasaannya sebagai manusia. Pengaruh tersebut

ialah membentuk pertumbuhan berbagai pengalaman (rasa, emosi, bahasa),

personal (kognitif, spiritual, etis, spritual), eksplorasi dan penemuan, serta

petulangan dan kenikmatan.

Sastra anak pada umumnya berangkat dari fakta konkret berdasarkan

pengalaman dan pengetahuan anak agar mudah diimajinasikan dan dapat

dipahami oleh anak. Isi dan kandungan sastra anak juga harus disesuaikan dengan

perkembangan emosi dan kejiwaan anak.

Sastra anak tidak harus berkisah tentang anak. Sastra anak dapat berkisah

tentang apa saja yang menyangkut kehidupan, baik kehidupan manusia, binatang,

tumbuhan, maupun kehidupan yang lain termasuk makhluk dari dunia lain.

Namun, apa pun isi kandungan cerita yang dikisahkan mestilah berangkat dari

(3)

3

sesuatu, dan sesuatu itu haruslah berada dalam jangkauan pemahaman emosional

dan pikiran anak (Nurgiyantoro, 2005:8).

Pengalaman anak masih terbatas sehingga anak belum dapat memahami

cerita yang melibatkan pengalaman hidup yang kompleks. Berbagai pengalaman

abstrak dan nonverbal sebagaimana yang biasa dialami orang dewasa, misalnya

pengalaman religius yang amat mendalam; peristiwa sebab-akibat yang kompleks

seperti cinta segitiga, pengkhianatan, belum dapat dijangkau dan dipahami oleh

anak. Cerita tentang nostalgia yang melibatkan proses emosional yang ruwet dan

dengan bahasa yang abstrak, misalnya, adalah cerita untuk dewasa dan bukan

untuk anak. Demikian juga cerita yang mengandung keputusasaan, kepatahhatian,

politik, atau yang bernada sinis juga bukan sifat sastra anak (Nurgiyantoro,

2005:6—7).

Selain pengalaman, anak juga terbatas pada hal bahasa dan cara

pengisahan cerita. Anak belum dapat menjangkau dan memahami kosakata dan

kalimat yang kompleks. Oleh karena itu, secara umum dapat dikatakan bahwa

bahasa sastra anak adalah berkarakteristik sederhana baik dalam kosakata,

struktur, maupun ungkapan.

Riris K. Toha Sarumpaet (dalam http://sdn12sungairotan.blogspot.com/

2012/03/sastra-anak.html), seorang pemerhati sastra anak dari Universitas

Indonesia, mengungkapkan bahwa ada unsur-unsur pantangan dalam sastra anak.

Sastra anak pantang terhadap tema atau hal-hal percintaan yang bersifat erotis,

kekejaman yang keji, kesengsaraan yang menyedihkan, dan perbuatan tercela

(4)

4

jernih, penuh kasih sayang, dan kepribadian yang masih labil sehingga mudah

dibentuk. Sastra anak harus memberikan sesuatu hal yang bermanfaat bagi

kehidupan anak di kemudian hari, membentuk kepribadian yang bermoral, dan

mampu mengembangkan kreativitas untuk meraih cita-cita berbudi pekerti luhur

dan mulia hidupnya. Dengan menghindari pantangan itu diharapkan sastra anak

mampu menjadi media pendidikan yang efektif bagi kehidupan anak di masa

depan.

Pemilihan bahan bacaan untuk anak harus mempertimbangkan beberapa

aspek, yaitu aspek intelektual, emosional, kemampuan berbahasa anak, dan

struktur organisasi isi bacaan (Nurgiyantoro, 2005:210). Dengan demikian,

sebelum kita menilai suatu bacaan apakah cocok untuk dibaca anak-anak, kita

dapat mengajukan pertanyaan-pertanyaan berikut. Apakah anak secara intelektual

dapat memahami materi bacaan cerita itu? Apakah anak secara emosional sudah

siap untuk menerima isi bacaan tersebut? Apakah anak secara kebahasaan sudah

mampu memahami isi bacaan itu? Apakah anak sudah dapat menjangkau struktur

organisasi isi cerita?

Ternyata tidak semua bacaan sastra anak yang beredar di masyarakat

sesuai dengan syarat-syarat tersebut. Tahun 2012 ini masyarakat dikejutkan

dengan salah satu bacaan dalam buku LKS anak SD berjudul “Bang Maman dari

Kali Pasir”. Cerita tersebut menghebohkan karena menyinggung tentang istri

simpanan. Konsep tentang istri simpanan bila ditinjau dari segi budaya dan pesan

(5)

5

(http://edukasi.kompas.com/read/2012/04/17/1245030/Ketidakmampuan.Guru.Me

milih.Bacaan.Tepat.bagi.Siswa ).

Selain kasus buku LKS tersebut, munculnya buku berjudul Ada Duka di Wibeng karya Jazimah Al Muhyi, novel misteri Tidak Hilang Sebuah Nama karya Galang Lutfianto dan Tambelo, Kembalinya Si Burung Camar karya Redhite K

dengan penerbit Era Adi Citra Intermedia juga diisinyalir berisi hal-hal yang tidak

cocok untuk anak-anak (http://www.suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/

2012/06/11/189119/Buku-Porno-Beredar-di-Perpustakaan-Sekolah). Buku

tersebut berkisah seputar seks bahkan penyimpangan seksual. Dari 142 halaman

buku yang berjudul Tambelo, Kembalinya Si Burung Camar, setidaknya terdapat

13 halaman yang berisi kalimat tidak layak. Hal yang sama juga ada dalam buku

Ada Duka di Wibeng karya Jazimah Al Muhyi. Secara vulgar buku ini

mengumbar cerita tentang seks bebas. Tidak hanya itu, buku ini juga mengajarkan

cara berhubungan intim supaya aman dari kemungkinan kehamilan

(http://edukasi.kompas.com/read/2012/06/02/07393276/Buku.Bermuatan.Pornogr

afi.Ditarik). Ketiga buku tersebut sebenarnya cocok jika ditujukan untuk kaum

remaja, tetapi entah bagaimana buku-buku ini malahan masuk ke beberapa

perpustakaan SD.

Bacaan sastra anak yang tidak sesuai dengan tingkat perkembangan

psikologinya tidak hanya terbatas pada judul-judul yang telah disebutkan tadi.

Oleh sebab itu, penulis tertarik untuk meneliti Arya Banjar Getas: Kumpulan Cerita Rakyat Lombok, Manarmakeri: Cerita Rakyat Papua, dan Sita Dewi dalam

(6)

6

ditujukan untuk segmen anak-anak (diungkapkan dalam kata pengantar buku

tersebut) tersebut mengandung unsur-unsur pantangan, khususnya erotisme yang

sebenarnya tidak boleh ada.

II. METODE PENELITIAN

Penelitian ini merupakan jenis penelitian kualitatif yang menekankan

kajian kepada isi dari objek penelitian. Objek penelitian ini ialah tiga sampel buku

seri bacaan sastra anak yang diambil secara acak. Buku-buku tersebut berjudul

Arya Banjar Getas: Kumpulan Cerita Rakyat Lombok (Slamet Riyadi Ali, 2005),

Manarmakeri: Cerita Rakyat Papua (Asmabuasappe, 2004), dan Sita Dewi dalam Penjara Rawana (Suyono Suyatno, 2004). Alasan pemilihan ketiga buku tersebut adalah ketiganya berisi cerita rakyat yang mewakili tiga daerah di Indonesia. Sita

Dewi dalam Penjara Rawana dari Jawa (daerah barat Indonesia), Arya Banjar Getas dari Lombok (daerah tengah Indonesia), dan Manarmakeri dari Papua (daeerah timur Indonesia).

Metode pengumpulan data penelitian ini adalah kajian pustaka yang

dilakukan dengan cara membaca semua dokumen yang berkaitan dengan data.

Data kemudian diinventarisasi, selanjutnya dianalisis sesuai dengan teori dan

pendekatan penelitian.

Teknik analisis data penelitian ini adalah teknik analisis deskriptif

kualitatif. Data-data yang telah terkumpul kemudian dikaitkan dengan teori-teori

sastra anak. Analisis data dilakukan untuk memperoleh kata, kalimat, maupun

(7)

7 III. HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1 Sita Dewi dalam Penjara Rawana

Unsur erotisme merupakan hal yang tabu diungkapkan dalam buku bacaan

sastra anak. Jiwa anak-anak yang masih polos, sangat sayang jika harus dinodai

dengan hal-hal yang bersifat porno. Hal itu secara tersirat terdapat dalam buku

Sita Dewi dalam Penjara Rawana yang ditulis oleh Suyono Suyatno pada tahun

2004. Buku tersebut mengisahkan tentang Rawana yang terpikat pada Sita.

Padahal saat itu, Sita sudah menjadi istri Rama. Cara penulis dalam

menggambarkan perasaan Rawana yang memendam cintanya pada Sita

diungkapkan dalam kalimat berikut.

“Telah lama Rawana mendambakan Sita. Telah lama Rawana membayangkan Sita sebagai kekasih. Paras Sita yang cantik, sorot matanya yang bening dan sejuk, cara bicaranya yang lembut, lekuk tubuhnya yang sempurna sebagai perempuan, senantiasa menggoda angan Rawana. (Suyatno, 2004:1).

Kalimat bergaris bawah di atas menggambarkan kecantikan Sita yang

sempurna. Penulis mengungkapkannya dengan kalimat lekuk tubuhnya .... senantiasa menggoda angan Rawana. Kalimat itu mengandung konotasi

pornografi yang sebenarnya tidak pantas untuk bacaan anak-anak usia Sekolah

Dasar. Membaca buku tersebut, anak-anak dimungkinkan terdorong untuk

berimajinasi bagaimana lekuk tubuh perempuan yang disebut sempurna sehingga

sanggup menggoda lelaki sedemikian rupa.

Di halaman lain dalam buku tersebut diceritakan saat Sita Dewi berhasil

(8)

8

menyerakkannya ke tanah dengan maksud memudahkan Sri Rama mengikuti

jejaknya. Namun, saat Rama menemukan cabikan kain tersebut, dia malah

berpikir Sita Dewi diperkosa. Hal ini tampak dalam kutipan berikut.

Sri Rama merasa gamang. “Isyarat apa ini?” tanyanya dalam hati dengan perasaan kalut. “Apakah Sita Dewi sengaja mengisyaratkan jejaknya dengan cabikan kainnya? Ataukah Sita Dewi telah diperkosa orang sehingga kain yang dikenakannya tercabik-cabik?” (Suyatno, 2004:10).

Kalimat yang bergaris bawah di atas mengisyaratkan pemerkosaan dan

ketelanjangan. Atau dengan kata lain, orang yang kainnya tercabik-cabik pasti

diperkosa. Pemerkosaan merupakan hal yang belum pantas dikenalkan pada

anak-anak.

Buku tersebut juga menceritakan bahwa kemolekan tubuh perempuan

merupakan sumber malapetaka bagi perempuan itu sendiri. Hal itu diungkapkan

dalam kalimat berikut.

“Duh, Gusti,” ratap Sita Dewi dalam keluh panjang yang tak terucapkan, ‘kenapa semua yang kumiliki dan melekat pada diriku menjadi sumber malapetaka bagi diriku? Kenapa kecantikan wajahku, kemolekan tubuhku, pada akhirnya hanya memerangkapku dalam derita dan petaka? Kenapa tubuh dan wajahku tidak rata dan datar saja sehingga tak akan pernah mengundang Rawana untuk menculikku? Duh, Gusti, lekuk tubuhku, pesona wajahku hanya menciptakan bara api pada lelaki!” (Suyatno, 2004:36—37).

Istilah lekuk tubuh dan menciptakan bara api pada lelaki muncul lagi dalam kalimat di atas. Padahal kedua konsep tersebut jauh dan asing dari

pengalaman dan pengetahuan anak-anak. Lekuk tubuh perempuan yang

bagaimana yang dapat menciptakan bara api pada lelaki? Bara api yang seperti

apa? Apa maksudnya?? Dengan membaca kutipan tersebut, anak-anak akan

(9)

9

Penulis buku Sita Dewi dalam Penjara Rawana saat menggambarkan Rawana yang ingin menyentuh Sita Dewi juga menggunakan kalimat-kalimat

yang mengandung unsur erotisme yang seharusnya tidak layak dikonsumsi

anak-anak. Hal itu terlihat dalam beberapa kalimat berikut.

... tak terduga Rawana datang menghampirinya dan berusaha menyentuh kemolekan tubuhnya yang telah memabukkan Rawana (Suyatno, 2004:37).

Namun, gairah Rawana untuk menaklukkan dan mendapatkan Dewi Sita tak kunjung padam (Suyatno, 2004:37).

“Jangan sentuh aku!” teriak Sita Dewi panik. “Lebih baik aku mati daripada ternoda oleh sentuhanmu!” (Suyatno, 2004:37).

Bagi anak-anak yang masih polos, konsep “menyentuh” berbeda dengan

konsep “menyentuh” dalam konteks kutipan tersebut. “Menyentuh’ dalam konteks

buku tersebut bisa menyebabkan seorang perempuan menjadi ternoda. Konsep

“ternoda” juga merupakan konsep yang abstrak bagi pikiran anak-anak. Mereka

sulit memahami apa yang dimaksud penulis dengan istilah tersebut.

Selain itu, secara tidak langsung buku tersebut juga menceritakan cinta

birahi seorang ayah kepada anak kandungnya. Hal itu terlihat dalam kutipan

berikut.

Sita Dewi hanya bisa meratap dalam hati, “Duh, Gusti, kenapa Kau berikan wajah yang rupawan, tubuh yang molek, padaku sehingga bapakku pun tergoda padaku, menjadi kalap nafsunya, lupa segalanya hingga tega berbunuhan dengan lelaki yang sesungguhnya menantunya? Duh, Gusti, kenapa wajah dan tubuhku tak datar dan rata saja hingga tak akan pernah melahirkan perang dan saling bunuh?” (Suyatno, 2004:57).

Kutipan di atas memperlihatkan cinta terlarang antara bapak (Rawana) dan

(10)

10

merupakan bapak kandung Sita Dewi. Ketika Sita Dewi masih bayi, seorang

peramal mengatakan bahwa kelak suami Sita Dewi akan membunuh Rawana.

Karena ramalan tersebut, Rawana membuang si bayi ke tengah laut. Dengan

berjalannya waktu, Rawana semakin melupakan Sita Dewi dan tak lagi mengenali

anaknya, bahkan berniat memperistrinya.

Cinta birahi seorang ayah terhadap anaknya itu digambarkan secara tidak

langsung oleh keluhan Sita, dan sayangnya penulis melukiskannya dengan

kata-kata yang tidak pantas bagi anak-anak. Hal tersebut tampak dalam ungkapan “...

bapakku pun tergoda padaku, menjadi kalap nafsunya, lupa segalanya hingga tega

berbunuhan dengan lelaki yang sesungguhnya menantunya?”

3.2 Manarmakeri

Manarmakeri merupakan salah satu cerita rakyat dari Papua. Cerita rakyat tersebut diinvetarisasikan oleh Asmabuasappe pada tahun 2004 dalam bentuk seri

bacaan sastra anak dan ditujukan untuk anak-anak. Buku itu berisi cerita tentang

seorang pemuda tampan bernama Yawi Nusyado. Karena kesalahan yang

dibuatnya, Yawi Nusyado dikutuk menjadi tua, kurus, dan penuh kudis.

Perubahan bentuk fisik tersebut membuat penduduk sekitar menjulukinya dengan

nama baru yaitu Mansar Manarmakeri, artinya orang tua yang berkudis atau

berkoreng. Manarmakeri dapat berubah lagi ke sosok aslinya, Yawi Nusyado,

asalkan berhasil menjalani beberapa ujian yang akan mengantarkannya kepada

(11)

11

Walaupun Manamarkeri merupakan seri bacaan sastra anak, tetapi ada beberapa peristiwa dalam buku tersebut belum layak dikonsumsi anak-anak

karena dapat menimbulkan imajinasi yang mengarah ke pornografi. Contohnya

cerita tentang Manarmakeri yang sedang bermimpi. Dalam mimpi, dia melihat

seorang gadis yang amat rupawan sedang mandi di danau.

Dari balik semak tempat ia bersembunyi, Manarmakeri menatap kesintalan tubuh gadis itu. Matanya tak berkedip. Gadis itu sedang asyik berenang di sebuah danau yang airnya sangat jernih. Ia bergerak ke sana kemari. Pemilik tubuh sintal itu sungguh memiliki wajah yang sangat rupawan (Asmabuasappe, 2004:24).

Pada kalimat bergaris bawah di atas, pembaca dapat membayangkan

bahwa Manarmakeri sedang memandang seorang gadis yang sedang berenang.

Diceritakan pula bahwa gadis itu memiliki tubuh yang sintal sehingga membuat

Manarmakeri tak berkedip memandangnya. ‘Sintal’ menurut Kamus Besar

Bahasa Indonesia (2008) didefinisikan: 1. gemuk padat atau padat berisi; 2. kenyal atau tebal dan kencang.

Apakah layak jika bacaan anak menggambarkan ketertarikan seorang

laki-laki terhadap bentuk tubuh seorang perempuan sampai-sampai memandangnya

tanpa berkedip? Dengan membaca kisah tersebut, tentunya anak-anak akan

berimajinasi tentang kesintalan tubuh perempuan. Buku tersebut menggambarkan

perilaku mengintip orang mandi yang tidak boleh dilakukan siapa pun pada siapa

pun.

Perempuan yang diintip oleh Manarmakeri itu bernama Insoraki, putri

tunggal panglima Rumbarak yang berkuasa di tanah Cendrawasih. Mengetahui

(12)

12

Usai mengenakan pakaian, tiba-tiba gadis itu mengarahkan pandangan ke semak tempat Manarmakeri bersembunyi. Perlahan ia melangkah mendekati Manarmakeri. Laki-laki tua berkudis yang dalam tidur melihat dirinya yang asli, yaitu dalam sosok pemuda Yawi Nusyado gelalapan (Asmabuasappe, 2004:25).

Mulanya, Manarmakeri mengira Insoraki akan memarahinya.

Manarmakeri pasrah jika Insoraki melampiaskan amarahnya karena diintip ketika

mandi. Namun, Insoraki tidak marah, bahkan dia menyapa Manarmakeri dengan

lembut. Perlakuan ini membuat Manarmakeri mimpi basah. Hal itu digambarkan

dalam kalimat berikut.

Mendapat perlakuan yang bertolak belakang dengan apa yang dibayangkan membuat Manarmakeri tambah salah tingkah. Ia tidak tahu harus berbuat apa. Tiba-tiba ia merasa kebelet ingin buang air kecil. Saat itulah Manarmakeri terjaga dari tidurnya. Napasnya terengah-engah. Keringat dingin membasahi sekujur tubuhnya, dan ah …, tempat tidurnya pun ikut basah. Ternyata Manarmakeri, si laki-laki tua berkudis itu ngompol di tempat tidur (Asmabuasappe, 2004:25).

Pembaca dewasa tentunya sudah dapat menebak bahwa kutipan tersebut

berkaitan dengan mimpi basah, mimpi erotis sebagai pertanda seorang laki-laki

telah dewasa. Konsep itu sangat abstrak dan tidak layak dikonsumsi untuk

anak-anak usia sekolah dasar, sehingga deskripsi dalam kutipan tersebut sebenarnya

tidak perlu dikemukakan dalam cerita. Lagi pula, dengan hilangnya deskripsi

tersebut tidak akan memengaruhi alur cerita. Cukuplah diceritakan Manarmakeri

melihat seorang gadis kemudian tertarik padanya. Deskripsi tentang

ketelanjangan, kesintalan tubuh Insoraki, dan mimpi basah Manarmakeri tidak

(13)

13

Sejak bertemu Insoraki—walaupun dalam mimpi—Manarmakeri jatuh

cinta kepadanya. Suatu saat dia mendapat ‘pencerahan’ dari Makmeser—seorang

yang sakti—bila Insoraki sedang mandi di pantai bersama teman-temannya, ia

harus segera memetik buah bintanggur dan melemparnya ke laut. Ajaibnya, buah

bintanggur yang mengenai tubuh Insoraki tersebut mengakibatkan kehamilan.

Sebenarnya kisah kehamilan ajaib tersebut bisa saja diterima oleh

anak-anak, tetapi sayangnya penulis menggambarkannya dengan menggunakan istilah

dewasa yaitu ‘menyentuh payudara’. Hal itu terlihat dalam kutipan-kutipan

berikut.

Sesuai pesan Makmeser, buah itu dilemparkan ke laut. Buah bintanggur lalu bergerak dihempaskan oleh ombak ke arah gadis-gadis yang sedang mandi dan menyentuh payudara Insoraki. Diambilnya lagi buah bintanggur lalu dilemparkan ke laut dan kejadian tadi berulang kembali. Buah itu bergerak ke arah Insoraki dan kembali menyentuh payudara anak gadis Panglima Rumbarak. Peristiwa ini berulang sampai tiga kali berturut-turut. Walaupun merasa ganjil dengan tiga buah bintanggur yang selalu datang menyentuh payudaranya, namun Insoraki tidak begitu peduli (Asmabuasappe, 2004:38)

Ternyata inilah keajaiban koreri syeben pemberian Mekmeser atau si Bintang Pagi. Buah bintanggur yang ia lemparkan ke laut dan menyentuh payudara Insoraki telah menyebabkan kehamilan pada diri sang putri

(Asmabuasappe 2004:50).

Empat kali penulis menggunakan istilah ‘menyentuh payudara’ dalam

bukunya. Sebenarnya istilah itu tidak perlu dimunculkan. Istilah tersebut dapat

mengundang keingintahuan anak-anak, ada apa dengan menyentuh payudara dan

hubungannya dengan kehamilan.

(14)

14

Kutipan tersebut seolah-olah ingin menyampaikan bahwa seorang

perempuan tidak mungkin hamil jika tidak ada laki-laki yang berbuat kurang ajar

kepada perempuan tersebut. Padahal, kehamilan bukan disebabkan oleh

kekurangajaran seorang laki-laki terhadap perempuan (“kekurangajaran” bisa

dimaknakan dalam bentuk apapun), tetapi karena bertemunya sel sperma laki-laki

dan sel telur perempuan yang melakukan hubungan sex. Informasi tersebut dapat

menyebabkan kesalahan konsep penyebab kehamilan pada diri anak yang

membaca cerita tersebut. Akibatnya, anak-anak dapat berpendapat bahwa setiap

laki-laki yang berbuat kurang ajar kepada perempuan dalam bentuk apapun,

perempuan itu langsung hamil. Padahal konsep “kekurangajaran” versi anak-anak

dengan konsep “kekurangajaran” yang dimaksud dalam cerita tersebut berbeda.

Dengan demikian, penulis cerita ingin memaksakan konsep dewasa kepada

anak-anak yang belum dapat memahaminya. Hal yang sama terlihat pada berikut.

“Aku berani bersumpah demi ayah dan ibu serta demi langit dan bumi. Tak ada seorang pun laki-laki yang telah menyentuhku meski hanya seujung jari, Ibu, “ lanjut Insoraki meyakinkan ibunya (Asmabuasappe, 2004:44).

Konsep “menyentuh” dalam kutipan tersebut menurut pemahaman pembaca

anak-anak tentunya berbeda dengan pembaca dewasa. “Menyentuh” pada kutipan

tersebut mengandung makna ‘menempelkan jari pada perempuan dapat

mengakibatkan kehamilan’. Apakah hal ini bisa dipahami oleh anak-anak?

Konsep “menyentuh” yang tidak bisa diterima dalam pemahaman

(15)

15

Manamarkeri belum pernah menyentuh Insoraki meski hanya ujung jari si adik (Asmabuasappe, 2004:61).

Di bagian lain, penulis cerita tersebut menggunakan istilah ‘dewasa’ untuk

menggambarkan perasaan Insoraki kala mengetahui dirinya hamil. Hal itu terlihat

dalam kutipan berikut.

“Tuhan, aku tidak tahu apa yang terjadi pada diriku. Aku tidak mengerti bisa hamil padahal tubuhku tak pernah disentuh apalagi digauli seorang laki-laki …,” doa Insoraki di tengah kesunyian malam serta tangis pilu (Asmabuasappe, 2004:44)..

Istilah ‘digauli’ dalam konsep di atas artinya disetubuhi yang akhirnya

menyebabkan kehamilan Insoraki. Konsep tersebut tidak sesuai dengan konsep

pada anak-anak. Mereka lebih mengenal konsep ‘gaul’ yang diartikan sebagai

‘teman’. Sehingga konsep ‘digauli’ dianalogikan ‘ditemani’? Perbedaan konsep

tersebut menyebabkan anak-anak beranggapan bahwa ditemani alih-alih digauli

bisa menyebabkan kehamilan.

Selain menggunakan istilah-istilah yang dapat menimbulkan imajinasi dan

mengarah ke pornografi, kata berkonotasi negatif dan bernuansa kasar juga ada

dalam buku tersebut. Hal itu dapat dilihat dalam kalimat berikut.

“Ia ingin tahu siapa laki-laki bejat yang telah berani menyentuh putrinya.” (Asmabuasappe, 2004:43).

Bejat dalam bahasa Jawa digunakan untuk menggambarkan karakter dan tingkah laku seseorang yang buruk sekali. Kosakata tersebut sebaiknya tidak muncul

dalam buku yang dibuat untuk konsumsi anak-anak. Hal itu dapat menyebabkan

(16)

16

Hal kasar lainnya yang sebenarnya tidak layak ada dalam buku tersebut

digambarkan dalam kutipan berikut.

Tiba-tiba kebencian kepada Manarmakeri kembali membara di hati Insoraki. Laki-laki tua bangka itu betul-betul telah menghancurkan hidupnya. Jika bukan karena Manarbew yang tidak ingin berpisah dari ayahnya, tentu ia sudah meludahi muka laki-laki kudisan itu lalu ikut bersama ayah dan ibunya ke Pulau Yapen (Asmabuasappe, 2004:62).

Penulis berusaha menggambarkan kebencian hati Insoraki pada Manarmakeri

dengan deskripsi yang terlalu ‘kasar’ untuk anak-anak. Dalam kalimat tersebut

disebutkan Insoraki ingin meludahi Manarmakeri (yang digambarkan bersosok

laki-laki tua bangka dan kudisan). Perilaku meludahi seseorang merupakan hal

yang sangat tercela dan tidak boleh dilakukan pada siapapun. Dengan demikian,

deskripsi perilaku yang mengungkapkan kebencian secara kasar dan

terang-terangan tersebut tidak perlu ada.

3.3 Arya Banjar Getas

Arya Banjar Getas merupakan seri bacaan sastra anak yang ditulis oleh

Slamet Riyadi Ali pada tahun 2005. Buku tersebut berisi kumpulan cerita dari

Lombok. Tidak seperti buku berjudul Sita Dewi dalam Penjara Rawana ataupun

Manarmakeri yang telah diulas sebelumnya, buku Arya Banjar Getas tidak memuat kata-kata erotisme secara langsung. Buku tersebut juga tidak berkisah

pemerkosaan dan konsep-konsep dewasa lainnya yang sulit diterima oleh pikiran

anak-anak. Namun, buku tersebut memuat ilustrasi yang tidak layak ditampilkan

(17)

17

Cerita pertama dalam buku tersebut tentang Arya Banjar Getas. Arya

Banjar Getas merupakan anak seorang raja di Pulau Lombok. Sejak lahir dia

memiliki suatu tanda yang amat aneh. Ujung kemaluannya kerap kali

memancarkan sinar. Seorang ahli nujum menyampaikan kepada sang Raja bahwa

tanda yang dimiliki putranya itu adalah suatu tanda panas. Akibatnya, Arya Banjar

Getas yang saat itu masih bayi, dimasukkan ke dalam peti dan dihanyutkan ke

laut. Bayi mungil itu kemudian ditemukan dan diangkat menjadi anak oleh

seorang raja di Jawa. Banjar Getas tumbuh menjadi seorang anak yang tampan

dan sangat cerdas. Sayang, ketika Banjar Getas remaja, permaisuri meninggal.

Raja sangat bersedih atas musibah itu.

Pada suatu hari, raja sangat rindu akan permaisurinya. Ia pun berniat untuk

memiliki lukisan permaisuri untuk kenang-kenangan. Oleh karena itu, raja

memanggil para seniman. Akan tetapi, tak seorang pun di antara mereka yang

sanggup mengerjakannya. Akhirnya, Banjar Getas mengajukan permohonan untuk

menggarapnya. Permohonan itu diterima oleh sang raja. Banjar Getas pun segera

melukis permaisuri.

Saat lukisan tersebut jadi, semua orang mengaguminya. Wajah permaisuri

dalam lukisan tak berbeda sedikit pun dengan aslinya. Akan tetapi, setelah

memperhatikan lukisan itu dengan cermat, sang raja menjadi sangat murka.

Lukisan itu sangat menyinggung perasaan sang raja. Karena di salah satu tubuh

lukisan permaisuri terdapat tahi lalat. Tahi lalat itu memang dimiliki oleh

permaisuri dan tepat pada tempat yang sangat rahasia. Cerita tersebut

(18)

18

Ilustrasi pada buku tersebut memperlihatkan seorang lelaki bertelanjang

dada sedang membuat lukisan seorang perempuan yang juga bertelanjang dada.

Tahi lalat yang diceritakan dimiliki permaisuri di suatu tempat yang sangat rahasia

ternyata digambarkan di bagian payudaranya. Sehingga dengan mata awam,

payudara bahkan puting permaisuri dalam lukisan tersebut tergambar dengan

jelas.

Andai saja penulis buku Arya Banjar Getas hanya menceritakan kisah saat

Arya Banjar Getas melukis permaisuri tanpa menyertakan ilustrasi secara detail,

buku itu masih dikategorikan layak dikonsumsi anak-anak. Ilustrasi yang

menggambarkan ketelanjangan seorang perempuan terlebih dengan puting

(19)

19 IV. PENUTUP

Buku seri bacaan sastra anak yang berjudul Sita Dewi dalam Penjara

Rawana, Manarmakeri, dan Arya Banjar Getas tidak layak dikonsumsi oleh anak-anak karena mengandung unsur-unsur erotisme. Unsur-unsur erotisme tersebut

terdapat pada beberapa kata, kalimat, paragraf, maupun ilustrasi buku baik secara

langsung maupun tidak langsung. Unsur-unsur erotisme tersebut meliputi cerita

tentang ketelanjangan perempuan, pemerkosaan, kehamilan, dan hal-hal lain yang

dikhawatirkan dapat menimbulkan imajinasi pornografi pada anak-anak.

Kita sebaiknya selektif dalam pemilihan bacaan untuk anak-anak. Jika kita

tidak selektif pada bacaan apa yang dibaca oleh anak-anak, pengaruh negatif dari

buku-buku yang ‘salah’ berpotensi merusak jiwa, pikiran, dan perilaku mereka.

Penulis buku anak-anak sebaiknya berhati-hati dalam menulis. Mereka

harus mempertimbangkan tingkat perkembangan psikologi pembacanya. Hal-hal

yang menjurus pornografi sebaiknya dihilangkan dalam cerita mereka. Penulis

diharapkan kreatif dalam mengolah cerita agar nilai-nilai moral yang ingin

diangkat melalui cerita tersebut tetap menarik tanpa disuguhi hal-hal tabu.

Akhirnya, tanggung jawab moral untuk memberikan bacaan yang baik dan

sesuai bagi anak merupakan tanggung jawab bersama. Masa depan bangsa ini ada

di pundak anak-anak. Sampai saatnya tiba, kita harus mendidik mereka menjadi

generasi yang cerdas dan berkualitas sehingga mereka siap dan mampu

meneruskan perjuangan kita.

(20)

20

Ali, Slamet Riyadi. 2005. Arya Banjar Getas: Kumpulan Cerita Rakyat Lombok. Jakarta: Pusat Bahasa.

Asmabuasappe. 2004. Manarmakeri: Cerita Rakyat Papua. Jakarta: Pusat Bahasa. Nurgiyantoro, Burhan. 2005. Sastra Anak: Pengantar Pemahaman Dunia Anak.

Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Suyatno, Suyono. 2004. Sita Dewi dalam Penjara Rawana. Jakarta: Pusat Bahasa. http://edukasi.kompas.com/read/2012/04/17/1245030/Ketidakmampuan.Guru.Me

milih.Bacaan.Tepat.bagi.Siswa diunduh tanggal 12 Juli 2012

http://edukasi.kompas.com/read/2012/06/02/07393276/Buku.Bermuatan.Pornogra fi.Ditarik diunduh tanggal 12 Juli 2012

http://sdn12sungairotan.blogspot.com/2012/03/sastra-anak.html. diunduh tanggal 12 Juli 2012.

Referensi

Dokumen terkait

kebermanfaatannya sebagai bahan bacaan sastra di SMA. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan cara deskriptif kualitatif. Pendekatan yang dilakukukan sosiologi

Penyediaan buku bacaan sastra kepada anak-anak yang tepat sejak mereka masih bernama anak diyakini akan membantu literasi dan kemauan membaca anak pada usia selanjutnya dan

Berdasarkan hasil penelitian dengan judul Peran Taman Bacaan Masyarakat dalam Menumbuhkan Budaya Baca Anak di Taman Bacaan Masyarakat ³0RUWLU´ %DQ\XPDQLN-Semarang

Peran-peran sastra anak dalam membentuk karakter anak antara lain: (1) melalui karya sastra, anak-anak memiliki perilaku dan kebiasaan positif melalui proses apresiasi dan

Tujuan dari penulisan skripsi ini adalah untuk mengetahui kontribusi sastra anak, dan penilaian sastra anak dalam Analisis Sastra Anak Dalam Cerita ةماعنلا /An- na’āmatu/

Tujuan dari penulisan skripsi ini adalah untuk mengetahui kontribusi sastra anak, dan penilaian sastra anak dalam Analisis Sastra Anak Dalam Cerita ةماعنلا /An- na’āmatu/

Dengan analisis sastra bagi pendidikan anak-anak adalah merupakan langkah yang tepat untuk lebih menyempurnakan analisis karya sastra berupa cerita pendekE. Penulis tertarik

Penulisan ini mengkaji diksi dan gaya bahasa sastra anak yang digunakan pada cerita anak pada Majalah