• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAHASA BUDAYA DAN GAYA BAHASA YANG TERKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "BAHASA BUDAYA DAN GAYA BAHASA YANG TERKA"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

Tugas Final Stilistika:

BAHASA, BUDAYA DAN GAYA BAHASA YANG TERKANDUNG

DALAM SYAIR LAGU TOLAKI “PABITARA”

Dosen Pengampuh: Prof. Dr. H. Sudiro Satoto

Disusun oleh

ILFAN ASKUL PEHALA

S111508006

PROGRAM STUDI LINGUISTIK

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

(2)

BAB I

LATAR BELAKANG

A. Latar Belakang

Wacana sebagai satuan lingual terbesar dalam linguistic memberikan kita suatu hal yang dapat diteliti secara mendalam baik dari aspek kebahasaan baik mikro dan makro serta gaya bahasa dan budaya yang dapat memberikan kita gambaran dan pandangan dari isi kepala si penulis atau penutur itu sendiri. Dalam makalah ini, penulis menampilkan analisis dari aspek kebahasaan baik mikro dan makro serta gaya bahasa dan budaya dari sebuah syair lagu daerah suku Tolaki di Sulawesi Tenggara. Bila melihat dari segi teks atau wacana, syair ini mengarah kepada wacana lisan yang memiliki makna secara mendalam seperti idiomatis. Selain itu wacana lisan ini memiliki makna kearifan local yang sarat arti dan nilai luhur.

Syair yang menjadi objek dalam analisis ini merupakan syair yang berisi tentang nasihat kepada pihak penghulu adat suku Tolaki yang menjadi penengah saat terjadi kesalahpahaman, perselisihan atau pelanggaran hukum adat; dan menjadi pelaksana dalam ritual, upacara, prosesi dan sanksi adat. Dalam makalah ini, penulis menganalisis syair dengan pendekatan linguistic, budaya dan gaya bahasa yang tidak bisa dipisahkan satu sama lainnya. Dengan melihat gaya bahasa, kesopanan dan makna dari syair ini; diharapkan penulis bisa memahami secara mendalam apa saja yang terkandung di dalam nasehat berbentuk syair ini, baik secara makna atau strukturnya sendiri dalam bentuk literal yang membentuk makna dan gaya yang berbeda yang secara tidak langsung membawa penulis memahami nilai kearifan local.

B. Tujuan Penulisan

Berdasarkan pada latar belakang yang telah disebutkan sebelumnya, tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk:

1.

Menganalisis dan mendeskripsikan aspek kebahasaan baik mikro, makro dan gaya bahasa pada syair lagu bahasa daerah Tolaki “Pabitara”

(3)

BAB II

PEMBAHASAN

A. Unsur Kebahasaan pada syair “Pabitara” 1. Makna

Syair yang menjadi objek pada analisis makalah ini merupakan syair lagu suku Tolaki yang memiliki nilai filosofis tinggi. Adat merupakan salah satu unsur penting bagi masyarakat suku Tolaki selain nilai agama, hukum negara, pendidikan dan harga diri. Syair ini meskipun diterjemahkan secara harfiah, belumlah bisa memberikan makna yang jelas. Selain itu, lagu ini merupakan lagu kontemporer yang menggunakan kata-kata dengan variasi tinggi yang berfokus pada pelaksana adat yaitu tolea dan pabitara dimana liriknya memiliki pesan kepada mereka mengenai apa yang dilakukan, apa yang harus mereka ingat dan lainnya. Sehingga diperlukan penjelasan yang bisa menggambarkan apa yang sebenarnya ingin disampaikan oleh syair ini. Maka dalam proses pemaknaan ini, penulis menggunakan jenis-jenis makna yang ada pada bab II untuk memberikan penggambaran secara jelas utamanya makna-makna yang dicetuskan oleh Leech (1974). Berikut ini adalah penjelasan mengenai makna syair di atas agar lebih mudah dipahami. Di bawah ini merupakan lirik dari syair tersebut yang kemudian diterjemahkan secara harfiah atau literal berdasarkan tanya jawab dari penutur asli suku Tolaki.

Inggomiu tolea Pu’uno pabitara Pabitara mandara

Tolea nirere

Tuan (yang terhormat) juru bicara adat Ahlinya hakim adat

Hakim adat yang bijaksana/cerdas juru bicara adat yang disanjung

(4)

menentukan hajat hidup orang banyak dan stabilitas situasi dan kondisi

Supaya sesuai (tidak melengser dari yang seharusnya) Tingkatannya urusan (pelaksanaan adat yang sementara berjalan)

Meskipun mereka adalah orang yang berwenang dalam hal adat, ini tidak serta merta mereka bisa seenaknya memutuskan suatu perkara tanpa adanya dasar-dasar yang kuat dan melakukan tugas mereka tanpa rambu-rambu yang jelas, mengikat dan vital. Mereka haruslah bersinergi dengan pemerintah desa/kelurahan, pemuka masyarakat dan agama serta pihak berwajib (bila terjadi perselisihan atau konflik, namun polisi tidak bisa ikut campur dalam adat; mereka akan bertindak sesuai koridor apabila konflik tidak terselesaikan secara adat). Selain itu dalam pelaksanaan suatu prosesi atau penyelesaian adat, ada aturan-aturan yang telah disepakati dan sesuai koridornya. Bila mereka melanggar dan berbuat semaunya, mereka akan mendapat hukuman secara dunia dan akhirat. Bahkan masyarakat banyak akan memberikan penilaian dan cercaan luar biasa kepada mereka.

Keilaa mosara

Supaya diingat (agar jangan memutarbalikkan hukum adat) Adat permisi

Senada dengan penjelasan sebelumnya, bahwa dalam proses pelaksanaan adat, mereka harus meminta izin kepada pihak pemerintah dan agama agar ada sinergi dan kerjasama dalam menimbang dan memutuskan suatu perkara adat. Sehingga tidak ada masalah di kemudian hari dan ada kekuatan hukum yang bisa dijadikan sebagai bukti bahwa pihak pemerintah, pemangku adat dan agama telah berusaha menyelesaikan suatu masalah secara kekeluargaan dan adat serta agama.

(5)

Tolea me’irou

Tuan (yang terhormat ) juru bicara adat Ahlinya hakim adat

Hakim adat yang bijaksana/cerdas Penerima adat bijak/kepala dingin/tenang

Makna dalam bait ini sama dengan bait 1, namun ada hal yang sangat vital pada bait ini dimana sikap tenang, bijak dan kepala dingin sangatlah krusial. Ini merupakan factor penentu sukses tidaknya suatu adat dalam memecahkan masalah yang ada dan bagaimana keberhasilan diplomasi dari tolea dan pabitara itu sendiri. Dalam pemecahan masalah yang ada, tidak jarang konflik tersebut bisa berujung dengan darah. Banyak ketegangan terjadi dalam kasus kawin lari, maslah kesusilaan dan konflik lainnya. Maka diharapkan sebelum hal itu terjadi, mereka bisa menenangkan suasana yang tegang dan dua pihak yang bersitegang bisa menahan diri melalui diplomasi keduanya. Apabila keduanya tidak bisa bersikap seperti yang diharapkan dalam bait ini, apa jadinya masalah yang ada?

Keio nggomosoro Mosirungako osara

Ano susungawuki Ule mombabitara

Jika meletakkan (adat)

Menyerahkan/mempersembahkan adat Agar turunannya (yang melaksanakan hukum adat)

Turunan hakim adat adat (yang biasa melaksanakan prosesi adat)

Salah satu hal yang menjadi perhatian penting dalam prosesi adat adalah perangkat adat atau orang yang memiliki wewenang dalam hukum adat. Dalam syair ini, dikatakan bahwa jika dalam pelaksanaan adat, haruslah orang-orang yang menjadi pelaksananya merupakan dari garis turunan pelaksana adat baik laki-laki ataupun perempuan dimana ia mampu dan bisa melaksanakannya Namun ada beberapa tulisan dan pendapat yang mengatakan bahwa pelaksana adat di sini bisa dari orang biasa yang tidak memiliki garis yang disyaratkan di atas, namun ia haruslah disumpah oleh orang yang melatih, mengajari dan mendidik ia menjadi pelaksana adat utamanya tolea.

Keno laa susungawu Ule mondoleami

(6)

Jika ada turunanmu Turunan penerima adat

Kamu akan kualat Habis tujuh turunan

Bait ini merupakan hal yang sangat penting untuk dipahami dikarenakan adanya lirik yang berbunyi “Au kate’ise’i” dan “Saru motipu’ako”. Bila kita melihat pada bait ke 5 dan 6, keduanya masih memiliki relasi yang berkaitan erat. Dalam bait ke 6, liriknya memberikan gambaran jelas bagaimana jika pelaksanaan hukum dan aturan adat dilakukan oleh orang yang bukan dari garis keturunan pelaksana adat, ia pasti terkutuk dan turunan-turunannya akan terkena hukuman atau kutukan dikarenakan perbuatannya itu sendiri.

Kutukan ini berupa bala atau bencana, musibah, masalah, aib, penyakit ataupun yang lainnya. Dalam masyarakat Tolaki, hal ini disebut sebagai okula

atau panas yang diasosiasikan dengan bencana disebabkan panas merupakan simbolisasi dari kemarau berkepanjangan dimana semua hal memalukan, bencana ataupun hal negatif lainnya disimbolkan dengan panas. Maka lirik dari bait ke 6 mempertegas kembali bagaimana posisi pelaksana adat, fungsi mereka dan posisi mereka yang tidak bisa dianggap remeh dikarenakan adat di sini memiliki peran dalam mengatur kelangsungan, stabilitas dan kenyamanan masyarakat sehingga tidak terjadi konflik.

2. Gaya bahasa

(7)

Dilihat dari pilihan kata yang digunakan di dalam syair ini, penulis melihat lirik ini menggunakan gaya bahasa resmi di mana katanya merupakan kata-kata memiliki variasi tinggi yang hanya digunakan dalam momen tertentu misalnya urusan adat. Dilihat dari nada yang ada dalam syair, nadanya merupakan nada yang mulia berdasarkan variasi yang digunakan dan bertenaga dalam menyampaikan maksud yang disampaikan. Bertenaga di sini berwujud dalam penegasan akan konsekuensi, pentingnya bersikap bijaksana dan aturan yang harus dijalankan dalam adat itu sendiri.

Dari sisi langsung tidaknya makna dalam syair ini, penulis melihat adanya gaya langsung atau retorika dan kiasan. Pada gaya retorika, gaya bahasa ini memiliki berbagai fungsi antara lain: menjelaskan, memperkuat, menghidupkan objek mati, menimbulkan gelak tawa, atau untuk hiasan. Dalam lirik pada lagu ini, ada beberapa lirik yang merujuk pada klasmus yang merupakan pengulangan sekaligus juga merupakan inversi hubungan antara dua kata dalam satu kalimat. Ini dapat dilihat pada lirik-lirik berikut:

Kedua lirik di atas memperlihatkan adanya pengulangan sebanyak 2 kali pada 2 kata yang ada yaitu tolea dan pabitara. Selanjutnya ada pula eufimisme yang berupa ungkapan-ungkapan yang tidak menyinggung perasaan orang lain, atau ungkapan-ungkapan yang halus untuk mengganti acuan-acuan yang mungkin dirasakan menghina, menyinggung perasaan atau mensugesti sesuatu yang tidak menyenangkan. Ini terlihat pada lirik yang dicetak tebal yang menyiratkan konsekuensi mengerikan dari pelanggaran aturan pelaksana adat, yaitu:

Keno laa susungawu sebenarnya. yang terlihat dalam lirik pada awal lagu ini, yakni:

(8)

3. Kesopanan

Dari sisi kesopanan syair pada makalah ini, sebagaimana yang ada pada bab I, penulis melihat bahwa lirik dalam lagu yang ada dalam makalah memiliki unsur-unsur kesopanan yang terekspresikan dalam kata-kata utamanya yang ditujukan kepada pelaksana adat yaitu tolea dan pabitara. Thomas (1995) menyebutkan adanya prinsip ketertarikan yang dapat menjelaskan penggunaan litotes dan hiperbola. Litotes dapat terlihat pada lirik:

inggomiu tolea,

Pu’uno pabitara

Pabitara mandara

Tolea nirere

Lirik ini memperlihatkan bagaimana si penutur atau pembuat lagu ini membuat ungkapan berupa penurunan kualitas suatu fakta dengan tujuan merendahkan diri. Dalam lirik-lirik tersebut juga terdapat unsur kesopanan Leech (1983) yakni kerendahan hati (modesty) dan menjaga perasaan (tact) yang digunakan oleh penutur/penulis lagu untuk membuat mereka senang, merasa dihargai dan disanjung.

Meskipun demikian kita juga bisa melihat bahwa kesopanan dalam hal ini memiliki 2 sisi yang memiliki arti besar bagi tolea dan pabitara selaku pelaksana adat yang memiliki wewenang, tugas dan diawasi oleh masyarakat banyak. 2 sisi ini ada pada kesopanan yang disebutkan oleh Levinson dan Brown (1987) yaitu harga diri negatif dan positif. Bila dilihat secara negatif, tolea dan pabitara

memang memiliki hak kebebasan dalam bertindak dan bebas dari paksaan di mana dalam hal adat, mereka memiliki wewenang untuk menyelesaikan suatu perkara, namun penulis lagu ini memberikan peringatan secara jelas dalam lirik:

Inggomiu tolea

Pu’uno pabitara Pabitara mandara

Tolea nirere

Inggomiu tolea

Pu’uno pabitara Pabitara mandara

(9)

Keila mosaru Pondulura osara

Ano pesarunoki Tenggano peowai

Keio nggomosoro Mosirungako osara

Ano susungawuki Ule mombabitara

Keno laa susungawu Ule mondoleami

Au kate’ise’i Saru motipu’ako

Lirik ini secara tegas mengatakan bahwa meski mereka memiliki kebebasan, namun mereka terikat pada aturan-aturan yang ada dan bila mereka melanggar maka ada konsekuensi berat yang akan mereka tanggung. Sedangkan dari sisi positif, kesopanan dalam lirik pada lagu ini adalah memberikan konsekuensi kepada mereka untuk menjaga apa yang seharusnya dijaga, apa yang seharusnya dilakukan dan tidak boleh dilakukan sehingga kebutuhan untuk dihargai oleh orang lain dan kebutuhan untuk mempertahankan citra diri yang positif dapat terjaga dimana mempertahankannya itu adalah berpegang teguh pada aturan dan sikap yang bijaksana sebagaimana yang diisyaratkan dalam lirik:

Inggomiu tolea Pu’uno pabitara Pabitara mandara

Tolea me’irou

Dengan melihat secara keseluruhan isi syair dan unsur kesopanan yang ada maka unsur kesopanan Leech yaitu kesepakatan (agreement) dari dua sisi yaitu penutur dan mitra tutur atau penulis lagu dan pendengarnya telah tercapai.

B. Kearifan Lokal, Pola Pikir dan Mitos pada syair “Pabitara”

(10)

yang memiliki makna leksikal namun berubah secara kontekstual dan memiliki makna kiasan. Ada juga yang dapat dilihat secara morfologis pada kata inggomiu yang bila disegmentasikan ke dalam morfem dasar inggo dan +-miu sebagai sufiks yang hampir sama dengan inggo dan +-‘o. perbedaan morfologis ini menimbulkan makna yang berbeda di mana kata sebelumnya adalah anda/kamu/engkau dalam variasi tinggi dan satunya dalam variasi rendah.

Secara makro, lagu ini merupakan salah satu bagian dari budaya Tolaki itu sendiri yang terwujud dalam beberapa upacara, ritual atau prosesi adat yang dilakukan oleh pelaksana adat seperti yang disebutkan di atas, yaitu tolea dan pabitara. Dalam lirik sara peparamesi ini menyiratkan bahwa pelaksana adat haruslah meminta izin kepada pihak penguasa wilayah atau pemerintah daerah sebagai pelindung dan pengayom masyarakat dalam suatu penyelesaian perkara adat. Maka dapatlah disimpulkan bahwa Tolaki memiliki pandangan hidup menghargai dan menjalankan aturan namun tetap memperhatikan regulasi yang berlaku di suatu wilayah agar tidak terjadi ketimpangan. Selain itu, Tolaki juga memiliki falsafah hidup yang sampai saat ini dipegang teguh yaitu

Inae konasara ie pinesara, Inae liasara ie pinekasara yang bermakna “Siapa yang menaati adat (aturan dalam hidup/norma-norma) ia akan dihormati/selamat, siapa yang melanggar adat maka ia (hidupnya) akan tersia-siakan”. Kalimat ini memiliki relasi pada lagu di atas menunjukkan bahwa aturan hidup, bermasyarakat dan mematuhi aturan dan norma baik agama, adat, hukum Negara dan ketertiban merupakan hal yang perlu diperhatikan agar hidup kita selamat dunia akhirat dan tidak menjadi sia-sia.

Kemudian dalam lirik ini utamanya au kate’ise’i dan saru motipu’ako

(11)

yang mayoritas Muslim, orang yang zalim ini akan mendapatkan ganjaran yang sesuai dengan ketidakadilannya itu. Bahkan dalam beberapa kasus, hukuman ini juga berdampak pada keluarga dan keturunan dari pelaksana adat yang zalim itu.

C.

Budaya yang terkandung dalam syair lagu bahasa daerah Tolaki “Pabitara”

Berbicara mengenai masyarakat Tolaki dan tradisi yakni adat istiadat, bahasa dan budaya merupakan suatu hal yang tak dapat dipisahkan sama satu lain bahkan saling memberikan pengaruh satu sama lain. Demikian halnya dengan suku Tolaki yang menggunakan bahasa Tolaki dalam ekspresi kebahasaan mereka atau ekspresi verbal dalam seni, ritual keagamaan, adat istiadat ataupun yang lainnya, sedangkan budaya atau perilaku non verba atau adat dijelaskan dan diwujudkan dalam komunikasi melalui perilaku verbal.

Adat dalam bahasa suku Tolaki disebut dengan osara yakni aturan mengenai apa yang dilarang untuk dilakukan dan apa yang boleh dilakukan oleh seseorang, keluarga, kehidupan sosial masyarakat dan pemerintahan. Osara sebagai perilaku non verbal bertujuan untuk membina, mengawasi, mengatur dan menegakkan hukum dan aturan untuk terciptanya kehidupan yang aman, damai dan tertib. Ini tercermin dalam perilaku verbal yang berbunyi “Luwuako nggo nibutuno osara tambuoki, nggo nibutuno osara tambuoki suere, nggo tekono ine amboronga nggo-nggo nime’ambo’ako.”, yang bermakna “Semua tujuan adat istiadat/hukum adat adalah untuk terwujudnya ketertiban hukum, ketertiban sosial dan kesejahteraan hidup masyarakat.” Pentingnya adat bagi suku Tolaki dapat dilihat dalam ujaran yang berbunyi “Inae konasara ie pinesara, Inae liasara ie pinekasara” yang bermakna “Siapa yang mematuhi adat hidupnya tenang/dihargai, Siapa yang melanggar adat akan mendapat kesusahan”.

Kebudayaan suku Tolaki yang sarat dengan perilaku verbal dalam pelaksanaannya dan melibatkan elemen-elemen verbal dan non verbal terdapat dalam adat istiadat dan tradisi dan perilaku non verbal dalam wujud ritual dan upacara ataupun pernikahan semua sangat sarat dengan perilaku verbal yang terwujud dalam satuan-satuan lingual yang mencerminkan kearifan local, pola piker dan pandangan hidup suku Tolaki.

Adat yang disimbolkan dengan kalo sara dan perangkat adat berupa alat-alat atau benda yang simbolis yang disebutkan di atas berupa pu’uno patonggasu, tawano, popolo

dan sara pe’ana termasuk pemangku adat yakni tolea dan pabitara termasuk puutobu atau

(12)

mengawasi, mengatur dan menegakkan hukum dan aturan untuk terciptanya kehidupan yang aman, damai dan tertib pada masyarakat Tolaki dan harus dipatuhi oleh masyarakat Tolaki, jika tidak maka aka nada bencana, musibah ataupun kutukan lainnya yang disebut dengan okula. Ini sesuai dengan falsafah hidup Suku Tolaki yang berbunyi “Inae konasara ie pinesara, Inae liasara ie pinekasara” yang bermakna “Siapa yang mematuhi adat hidupnya tenang/dihargai, Siapa yang melanggar adat akan mendapat kesusahan”. Maka dengan demikian kearifan local tersebut telah mencerminkan pola pikir atau pandangan hidup masyarakat Tolaki.

Pola pikir atau pandangan hidup secara mikro atau kepada Tuhan, Yang Tertinggi, Penguasa Alam dan Pencipta; adat merupakan representasi aturan kehidupan bermasyarakat yang bertujuan untuk mengatur, menjaga, merawat dan mencegah konflik ataupun bencana sehingga tercipta kehidupan yang aman dan damai. Dengan ini, maka kehidupan masyarakat akan melimpah kesejahteraan dan rezeki. Mereka meyakini bencana yang datang merupakan ujian ataupun teguran dari Penguasa Alam yakni Allah SWT.; karena adanya pelanggaran adat, hukum, norma utamanya kesusilaan. Secara makro atau dunia, adat sangat menghargai kebersamaan dan kedamaian dan posisi wanita. Ini tersirat pada sara pe’ana yang memperlihatkan bagaimana wanita dan keluarganya sangat ditinggikan. Adat dalam kawin lari juga memperlihatkan bahwa peranan adat sebagai jalan keluar yang mengedepankan perdamaian memberikan “restu” atau legitimasi pasangan sejoli demi cinta mereka meskipun orang tua kedua belah pihak tidak setuju, bila adat sudah memutuskan perkara, mereka harus setuju. Jika mereka tidak mematuhi hal itu, mereka akan mendapat sanksi social dan hukuman dari Yang Kuasa.

(13)

BAB IV PENUTUP

A. Kesimpulan

Lirik pada syair lagu “Pabitara” yang menggunakan bahasa daerah Tolaki merupakan lagu kontemporer yang bermakna dalam dan mewakili pandangan filosofis masyarakat Tolaki terhadap adat itu sendiri di mana peranan adat sebagai aturan hidup yang mengikat dan mencerminkan nilai kearifan lokal serta pelaksana adat sebagai orang yang memiliki wewenang dalam pelaksanaan adat yang terikat pada aturan dan konsekuensi berat yang disandangnya menyebabkan mereka memiliki penghargaan secara signifikan kepada mereka. Namun di balik itu semua, bukan berarti mereka bisa sewenang-wenang atau semaunya dalam mengambil keputusan dalam penyelesaian suatu masalah, keseimbangan dan keadilan berdasarkan aturan secara adat, agama dan hukum Negara merupakan hal yang sangat krusial agar tidak menjadi masalah di kemudian hari.

Dari segi linguistic atau mikro; lagu ini memiliki makna yang mendalam bila dipahami secara kontekstual dan memerlukan latar belakang pemahaman tentang budaya Tolaki berdasarkan unsur makna leksikalnya. Kemudian dari segi kesopanan ada dalam lagu ini yang terlihat secara jelas utamanya dari kesopanan Leech (1983) yaitu kerendahan hati (modesty) dan menjaga perasaan (tact) dan kesepakatan (agreement), Thomas (1995) yaitu prinsip ketertarikan utamanya litotes yang ada dalam lirik dan Brown dan Levinson (1987) yang menunjukkan adanya harga diri positif dan negatif dari tolea dan pabitara

yang terimplikasi dalam lirik-lirik dari penulis lagu.

Dari segi kearifan lokal atau makro, dapat terlihat bagaimana pola pikir masyarakat Tolaki secara falsafah hidup yang mencerminkan pandangan hidup menghargai dan menjalankan aturan namun tetap memperhatikan regulasi yang berlaku di suatu wilayah agar tidak terjadi ketimpangan. Sedangkan dari pandangan hidup dunia, lirik pada lagu ini mencerminkan adanya konsekuensi berat dari Tuhan apabila terjadi pelanggaran terhadap aturan adat utamanya kesewenangan, pelanggaran dan ketidakadilan dalam pelaksanaan adat

(14)

Diperlukan analisis mendalam untuk pendeskripsian hasil analisis pada lirik lagu ini baik secara linguistic maupun sastra untuk memahami latar belakang kebudayaan dan social dari lagu ini sendiri.

DAFTAR PUSTAKA

Black, Elizabeth. 2011. Stilistika Pragmatis. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Chaer, Abdul. 2012. Linguistik Umum. Jakarta: Rineka Cipta

Djajasudarma, Fatimah. 2010. Semantik 2: Pemahaman Ilmu Makna. Bandung: Refika Aditama

Fernandez, Inyo Yos. 2015. Materi Mata Kuliah Etnolinguistik: Kajian Ilmu Disiplin Linguistik dan Antropologi. Surakarta: Universitas Sebelas Maret.

Kridalaksana, Harimurti. 1982. Kamus Linguistik. Jakarta: Gramedia

Referensi

Dokumen terkait

Terkadang ibu ingin menanyakan sesuatu hal yang sedang dialaminya saat proses persalinan kepada bidan yang akan menolongnya, Sesuai dengan hasil penelitian, sebagian besar

Pokja ULPD Kementerian Keuangan Provinsi Bangka

KBSN-29/II/BSN-2015 Tanggal 20 Februari 2015, dengan ini menetapkan calon pemenang Seleksi Sederhana Jasa Konsultansi Badan Usaha Pengawasan Pembangunan Gedung

Penggunaan 2,4-D 10 ppm tampaknya terlalu tinggi sehingga menyebabkan pembelahan sel yang terus menerus sehingga membentuk kalus yang rapuh tanpa mengarah pada

Sanksi terhadap pelaku tindak pidana penipuan dengan membuat informasi palsu sesuai pada Pasal 35 dan sanksi pidana diatur dalam Pasal 51 ayat (1) Undang Undang

Berdasarkan hasil penelitian tindakan kelas yang dilaksanakan pada siklus I dan II mengenai “Penggunaan Model Pembelajaran Terpadu dengan Pendekatan Cooperative Learning

Ilmu fisika merupakan ilmu dasar (basic science) terdiri atas sejumlah konsep- konsep fenomena alam yang keterkaitannya dengan ilmu teknik terapan sudah tidak

(1) Apabila jumlah pajak yang masih harus dibayar tidak dilunasi dalam jangka waktu sebagaimana ditentukan dalam surat teguran atau surat peringatan atau surat lain yang