MAKALAH
SISTEM ADMINISTRASI NEGARA INDONESIA
Dosen Pengampu : Geovani Meiwanda, S,sos. MPA
Di susun oleh :
Nina Kartini
(1601114527)
Kelas : C
F PROGRAM STUDI ILMU ADMINISTRASI PUBLIK
JURUSAN ILMU ADMINISTRASI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS RIAU
KATA PENGANTAR
Pertama saya ucapkan puji syukur pada Tuhan Yang Maha Esa sehingga saya dapat menyelesaikan makalah ini dengan semaksimal mungkin.
Saya sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah dan mendalami wawasan serta pengetahuan kita mengenai kekuasaan pemerintahan dalam sebuah negara menurut pemikiran para ahli dalam mata kuliah Sistem Aministrasi Negara. Saya juga menyadari sepenuhnya bahwa didalam makalah ini terdapat kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu, saya berharap adanya kritik, saran dan usulan demi perbaikan makalah yang telah saya buat, mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa saran yang membangun.
Semoga makalah ini dapat membantu pembaca dan memberikan pengetahuan yang berguna serta bermanfaat. Sebelumnya saya mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata yang kurang berkenan, saya ucapkan terima kasih.
Pekanbaru, 19 Mei 2017
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR ... 1
DAFTAR ISI... 2
BAB I. PENDAHULUAN... 1.1. Latar Belakang... 3
1.2. Rumusan Masalah... 4
1.3. Tujuan... 4
1.4. Metode Penelitian... 4
1.5. Manfaat Penelitian... 4
BAB II. PEMBAHASAN... 2.1...Pemikiran Niccolò Machiavelli... 5
2.2...Pemikiran Thomas Hobbes ... 7
2.3...Pemikiran George Wilhelm Friedrich Hegel... 10
BAB III. KESIMPULAN DAN SARAN... 3.1. Kesimpulan... 11
3.2. saran ... 11
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Niccolò Machiavelli, Thomas Hobbes, dan George Wilhelm Friedrich Hegel adalah tiga tokoh filsuf besar yang menyumbangkan pemikiran-pemikirannya dalam dunia politik dan negara.
Karya- karya para ahli banyak dituangkan dalam berbagai buku seperti Niccolò Machiavelli pemikirannya di tuangkan dalam buku Discorsi sopra la prima deca di Tito Livio (Diskursus tentang Livio) dan Il Principe (Sang Penguasa), awalnya ditulis sebagai harapan untuk memperbaiki kondisi pemerintahan di Italia Utara, kemudian menjadi buku umum dalam berpolitik pada masa itu. Thomas Hobbes, Hobbes memiliki pengaruh terhadap seluruh bidang kajian moral di Inggris serta filsafat politik, khususnya melalui bukunya yang amat terkenal "Leviathan". Dan menurut George Wilhelm Friedrich Hegel, realitas ide sebagai pisau untuk menganalisa konsepsi negara. Secara historis dalam merumuskan asal mula, konsepsi, fungsi dan tujuan negara, Hegel lebih melihat pada faktor keniscayaan ide dalam sejarah terbentuknya negara.
Pemikiran-pemikiran para filsuf tidak serta-merta langsung di terima, berbagai pihak ada yang menganggap pemikiran mereka merupakan hal yang brillian, ada juga yang beranggapan bahwa pemikiran para ahli penuh liku, kejam, serta dipenuhi keinginan rasional yang destruktif.
1.2 Rumusan Masalah
a. Apa sajakah Pemikiran Niccolò Machiavelli tentang kekuasaan politik dalam sebuah negara ?
b. Apa sajakah Pemikiran Thomas Hobbes tentang kekuasaan negara ?
c. Apa sajakah Pemikiran George Wilhelm Friedrich Hegel tentang kekuasaan negara ?
1.3 Tujuan
Adapun tujuan disusunnya makalah ini yaitu :
a. Untuk memahami dan dapat menjelaskan pemikiran dari Niccolò Machiavelli, b. Untuk memahami dan dapat menjelaskan pemikiran dari Thomas Hobbes, c. Untuk memahami dan dapat menjelaskan pemikiran dari George Wilhelm
Friedrich Hegel. 1.4 Metode Penulisan
Dalam penulisan makalah ini, penulis mencari informasi di internet dan metode pustaka.
1.5 Manfaat Penulisan
BAB II PEMBAHASAN
2.1. Pemikiran Niccolò Machiavelli
Pemikiran Machiavelli, sebuah negara tidak boleh dipikirkan dalam kacamata etis, tetapi dengan kaca mata medis. Pada saat itu, Italia sedang menderita dan menyedihkan, sedangkan Florentine dalam bahaya besar. Untuk itu negara harus dibuat menjadi kuat bukan dengan pendekatan etis tetapi medis. Rakyat yang berkhianat harus diamputasi sebelum menginfeksi seluruh negara (seditious people should be amputated before they infect the whole state). Machiavelli melihat politik seperti kondisi medan perang yang harus ditaklukkan.
Machiavelli dalam buku Discourses on Livy dan The Prince adalah memisahkan teori politik dari etika. Hal itu bertolakbelakang dengan tradisi barat yang mempelajari teori politik dan kebijakan sangat erat kaitannya dengan etika seperti pemikiran Aristoteles yang mendefinisikan politik sebagai perluasan dari etika. Dalam pandangan barat, politik kemudian dipahami dalam kerangka benar dan salah, adil dan tidak adil. Ukuran-ukuran moral digunakan untuk mengevaluasi tindakan manusia di lapangan politik. Saat itu, Machiavelli telah menggunakan istilah la stato, yang berasal dari istilah latin status, yang menunjuk pada ada dan berjalannya kekuasaan dalam arti yang memaksa, tidak menggunakan istilah dominium yang lebih menunjuk pada kekuasaan privat.
buku the Discourses on the Ten Books of Titus Livy menyimpulkan bahwa beberapa individu menginginkan kebebasan hanya untuk dapat
keduanya adalah identik. Namun ada juga yang menginginkan kebebasan untuk tujuan hidup dengan aman (vivere sicuro). Machiavelli kemudian menyatakan bahwa rakyat hidup dengan aman (vivere sicuro) tanpa alasan lain dibanding dengan rajanya yang terikat hukum guna memberikan keamanan bagi seluruh rakyat. Karakter kepatuhan terhadap hukum dari rezim Perancis adalah untuk memastikan keamanan, namun keamanan tersebut jika diperlukan tidak boleh dicampurkan dengan kebebasan.
Dalam buku the Prince digambarkan cara-cara agar seorang individu dapat memperoleh dan mempertahankan kekuasaan negara. Situasi sosial dan politik dalam buku tersebut dilukiskan dalam kondisi yang sangat tidak dapat diprediksi dan mudah berubah. Hanya orang hebat dengan pikiran penuh perhitungan yang dapat menaklukkan kondisi sosial politik tersebut.
Terdapat dua pandangan berbeda terhadap Machiavelli dilihat dari karya-karyanya :
1. Pandangan pertama, menyatakan bahwa Machiavelli adalah pengajar kejahatan atau paling tidak mengajarkan immoralism dan amoralism. Pandangan ini dikemukakan oleh Leo Strauss (1957) karena melihat ajaran Machiavelli menghindar dari nilai keadilan, kasih sayang, kearifan, serta cinta, dan lebih cenderung mengajarkan kekejaman, kekerasan, ketakutan, dan penindasan.
2. Pandangan kedua, merupakan aliran yang lebih moderat dipelopori oleh Benedetto Croce (1925) yang melihat Machiavelli sekadar seorang realis atau pragmatis yang melihat tidak digunakannya etika dalam politik. Padangan ketiga yang dipelopori oleh Ernst Cassirer (1946), yang memahami pemikiran Machiavelli sebagai sesuatu yang ilmiah dan cara berpikir seorang scientist. Dapat disebutkan sebagai “Galileo of politics” dalam membedakan antara fakta politik dan nilai moral (between the facts of political life and the values of moral judgment).[1]
[1] Ali Maksum. Pengantar Filsafat. Ar-Ruzz Media: Ar-Ruzz Media Group.
2.2. Pemikiran Thomas Hobbes
Negara
Pemikiran Hobbes mengenai negara terdapat di dalam karya besarnya yang berjudul "Leviathan". Leviathan adalah nama binatang di
dalam mitologi Timur Tengah yang amat buas. Di dalam filsafat Hobbes,
Leviathan merupakan simbol suatu sistem negara. Seperti Leviathan, negara haruslah berkuasa mutlak dan ditakuti oleh semua rakyatnya, karena hanya dengan cara inilah manusia-manusia dapat mengalami ketertiban dan kebahagiaan.[2]
Di dalam pandangannya tentang manusia, Hobbes berpendapat bahwa seluruh perilaku manusia ditentukan oleh kebutuhan mempertahankan diri atau takut akan kehilangan nyawa. Dengan mengetahui hal tersebut, Hobbes merasa mampu menjawab pertanyaan bagaimana manusia harus bersikap baik, yaitu kuasailah rasa takut mati mereka. Bila manusia diancam dan dibuat takut, ia akan dapat mengendalikan emosi dan nafsunya sehingga kehidupan sosial dapat terjamin. Karena itu, negara haruslah menekan rasa takut mati dari warga negaranya, supaya setiap orang berbuat baik.[3]
Terbentuknya negara
Menurut Hobbes, manusia tidaklah bersifat sosial. Manusia hanya memiliki satu kecenderungan dalam dirinya, yaitu keinginan mempertahankan diri. Karena kecenderungan ini, manusia bersikap memusuhi dan mencurigai setiap manusia lain: homo homini lupus (manusia adalah serigala bagi
terbentuknya negara. Akan tetapi, jika terus-menerus terjadi perang semua melawan semua, tentu saja eksistensi manusia juga terancam. Untuk itu, manusia-manusia mengadakan sebuah perjanjian bersama untuk mendirikan negara, yang mengharuskan mereka untuk hidup dalam perdamaian dan ketertiban.[3]
Status negara
Negara berkuasa secara mutlak dan berhak menentukan nasib rakyatnya demi menjaga ketertiban dan perdamaian. Status mutlak dimiliki negara sebab negara bukanlah rekan perjanjian, melainkan hasil dari perjanjian antar-warga negara. Artinya, di dalam perjanjian membentuk negara, setiap warga negara telah menyerahkan semua hak mereka kepada negara. Akan tetapi, negara sama sekali tidak punya kewajiban apapun atas warganya, termasuk kewajiban untuk bertanggung jawab pada rakyat.[3]
Negara berada di atas seluruh warga negara dan berkuasa secara mutlak. Kemudian negara juga berhak menuntut ketaatan mutlak warga negara kepada hukum-hukum yang ada, serta menyediakan hukuman bagi yang melanggar, termasuk hukuman mati. Dengan demikian, warga negara akan menekan hawa nafsu dan insting untuk berperilaku destruktif. Selanjutnya, warga negara akan memilih untuk patuh kepada hukum karena memiliki rasa takut dihukum mati. Hilangnya kebebasan warga negara terhadap negara adalah harga yang harus dibayar jika semua orang ingin hidup dalam ketenteraman, keteraturan, dan kedamaian.[3]
Pembatasan kekuasaan negara
Pertama, perlu ada kesadaran dari pihak yang berkuasa mengenai konsep keadilan, sebab kelak perbuatannya harus dipertanggungjawabkan di hadapan Allah dalam pengadilan terakhir.[3]
berbalik menghancurkan negara, sebelum negara menghancurkan mereka. Pada situasi tersebut, masyarakat akan kembali ke "keadaan alamiah" untuk selanjutnya membentuk negara yang lebih baik, dan seterusnya.[3]
[2] Franz Magnis-Suseno. 1992. Filsafat Sebagai Ilmu Kritis. Yogyakarta: Kanisius. Hal. 71-72. [3] Simon Petrus L. Tjahjadi. 2004. Petualangan Intelektual. Yogyakarta: Kanisius. Hal. 227-236.
Thomas Hobbes berpendapat, “Perang setiap manusia melawan setiap manusia” dalam negeri, namun menjadi dasar konflik dan perang pada tataran internasional. Dengan demikian, tugas politik Modern adalah menjinakkan kekuasaan negara, mengarahkan kegiatan-kegiatannya kea rah tujuan-tujuan yang dianggap sah oleh rakyat yang di layaninya, dan menjalankan kekuasaan di bawah aturan hukum.[4]
Hobbes merupakan filsuf modern pertama di dalam
bidang sensasionalisme.[5] Sensasionalisme adalah pandangan yang menganggap
semua keadaan mental, secara khusus kognitif manusia, beraal dari komposisi atau asosiasi-asosiasi dari sensasi atau perasaan belaka.[5]
[4] Fukuyama, Francis. 2004. Memperkuat Negara : Tata Pemerintahan dan tata Dunia Abad 21. Jakarta.
[5] Kenneth P. Winkler. 1999. "Sensationalism". In The Cambridge Dictionary of Philosophy. Robert
Audi, ed. 833. London: Cambridge University Press.
2.3. Pemikiran George Wilhelm Friedrich Hegel
“Satu-satunya pemikiran yang digunakan filsafat sebagai perenungan sejarah adalah konsepsi sederhana yaitu rasio, rasio merupakan penguasa dunia, dengan demikian sejarah dunia memberikan proses rasional kepada kita. Disatu pihak rasio adalah substansi alam semesta, yang melalui dan didalamnya realitas memiliki ada dan subsistensinya, dipihak lain rasio merupakan energi yang tidak terbatas dari alam semesta, karena rasio bukannya tanpa kekuatan yang tidak mampu
menghasilkan sesuatu, yang semata-mata merupakan ide, semata-mata merupakan makna yang berada diluar realitas. Tak seorang pun mengetahui dimana, sesuatu yang terpisah dan abstrak didalam kepala orang tertentu. Ia adalah kompleks yang tidak terbatas dari segala sesuatu, hakikat dan kebenarannya utuh”
Pemikiran Hegel tentang Negara Integralistik
Negara dalam pemikiran Hegel merupakan penjelmaan Roh Absolut (Great Spirit atau Absolute Idea), karena itu negara bersifat absolut yang dimensi kekuasaannya melampaui hak-hak transcendental individu. Gagasan hegel tentang Roh Absolut merupakan pengaruh dari pemikiran Kristiani yaitu tentang oknum roh kudus dalam trinitas. Sama seperti prespektif Kristiani yang menganggap roh atau spirit adalah sesuatu yang sacral, Hegel pun melihat negara sebagai organ politik yang suci yaitu sebagai derap langkah tuhan di bumi.
mengkultuskan kebebasan. Mirip dengan pendapat Machiavelli dan Hobbes yang menganggap manusia mempunyai watak kebinatangan, Hegel berpendapat karena wataknya yang mementingkan dirinya sendiri, maka kebebasan itu harus dibatasi. Dengan kata lain, meskipun manusia diberi kebebasan, kebebasan itu tetap harus di bawah control kekuasaan.
BAB III PENUTUP 3.1 Kesimpulan
Dalam makalah ini tedapat tiga Pemikiran tentang kekuasaan pemerintahan dalam sebuah negara, yaitu :
Pemikiran Machiavelli dalam buku Discourses on Livy dan The Prince adalah memisahkan teori politik dari etika. Hal itu bertolakbelakang dengan tradisi barat yang mempelajari teori politik dan kebijakan sangat erat kaitannya dengan etika seperti pemikiran Aristoteles yang mendefinisikan politik sebagai
perluasan dari etika. Dalam pandangan barat, politik kemudian dipahami dalam kerangka benar dan salah, adil dan tidak adil. Ukuran-ukuran moral digunakan untuk mengevaluasi tindakan manusia di lapangan politik. Saat itu, Machiavelli telah menggunakan istilah la stato, yang berasal dari istilah latin status, yang menunjuk pada ada dan berjalannya kekuasaan dalam arti yang memaksa, tidak menggunakan istilah dominium yang lebih menunjuk pada kekuasaan privat.
Pemikiran Hobbes mengenai negara terdapat di dalam karya besarnya yang berjudul "Leviathan". Leviathan adalah nama binatang di dalam mitologi Timur Tengah yang amat buas. Di dalam filsafat Hobbes, Leviathan merupakan simbol suatu sistem negara. Seperti Leviathan, negara haruslah berkuasa mutlak dan ditakuti oleh semua rakyatnya, karena hanya dengan cara inilah manusia-manusia dapat mengalami ketertiban dan kebahagiaan.
Dengan penulisan makalah ini diharapkan pembaca dapat memahami dan membedakan pemikiran para ahli mengenai kekuasaaan pemerintah dalam sebuah negara.
DAFTAR PUSTAKA
Fukuyama, Francis. 2004. Memperkuat Negara : Tata Pemerintahan dan tata Dunia Abad 21. Jakarta. Gramedia. Hal. 2
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas.Niccolò Machiavelli. Pada halaman https://id.wikipedia.org/wiki/Niccol%C3%B2_Machiavelli , diakses pada hari kamis 18 mei 2017 pukul 21.23
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas.Thomas Hobes. Pada halaman
https://id.wikipedia.org/wiki/Thomas_Hobbes , diakses pada hari kamis 18 mei 2017 pukul 21.21
Dodoy Kudeter. Negara, Hegel, dan Negara. Pada Halaman