• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN FLEKSIBILITAS RUANG APARTEMEN B

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "TINJAUAN FLEKSIBILITAS RUANG APARTEMEN B"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

TINJAUAN FLEKSIBILITAS RUANG APARTEMEN

BERSUBSIDI YANG BERORIENTASI PADA

PENGGUNA

Yunita Setyoningrum

Program Studi Desain Interior, Fakultas Seni Rupa dan Desain, Universitas Kristen Maranatha Jl. Prof. drg. Soeria Sumantri no.65, MPH, Bandung

e-mail: yunita.setyoningrum@gmail.com

ABSTRAK

Penataan layout ruang pada hunian apartemen seringkali dilakukan berdasar pada pertimbangan ekonomi dan efisiensi oleh pihak arsitek pengembang tanpa melakukan studi terhadap calon pengguna. Pengguna apartemen sendiri di kota-kota besar di Indonesia pada umumnya merupakan perorangan lajang ataupun keluarga inti (nuclear family). Tipikal pengguna semacam ini akan mengalami perkembangan kebutuhan, antaralain pertambahan jumlah anggota keluarga, perubahan hubungan sosial antaranggota keluarga, serta peningkatan kebutuhan ruang seiring meningkatkan usia ataupun keadaan ekonomi keluarga. Untuk itu diperlukan kecermatan dari desainer ruang hunian apartemen untuk lebih memikirkan solusi ruang yang fleksibel, dimana pengguna nantinya dapat mengatur sendiri ruang yang dihuninya sesuai dengan kebutuhannya sendiri. Fleksibiltas merupakan faktor utama yang perlu dipertimbangkan dalam perencanaan hunian dengan tujuan penggunaan ruang jangka panjang. Dalam tulisan ini, aspek-aspek yang menyangkut kebutuhan pengguna apartemen berkaitan dengan perkembangan kebutuhannya akan ditinjau sebagai landasan pemikiran perencanaan ruang unit apartemen berorientasi pada pengguna yang berkesinambungan.

Kata kunci: Tata ruang, Hunian apartemen, Fleksibilitas, Perkembangan kebutuhan pengguna

.

1. LATAR BELAKANG

(2)

Pada apartemen bersubsidi, sasaran pengguna adalah masyarakat menengah ke bawah, dengan tingkat pendapatan sekitar 4,5 juta/bulan dan diperuntukkan bagi orang-orang yang belum memiliki hunian. Masyarakat yang memilih tinggal dalam apartemen di kota-kota besar di Indonesia pada umumnya adalah lajang ataupun keluarga kecil baru dengan mobilitas tinggi, yang merasa tidak membutuhkan hunian yang luas, dan mengutamakan kepraktisan dalam hidup. Dengan memilih tinggal di apartemen, mereka mendapatkan keuntungan berupa kemudahan-kemudahan seperti yang telah disebutkan di atas. Namun demikian, muncul permasalahan sosial baru dari keberadaan apartemen ini, yaitu:

a. Kurangnya perhatian pihak perencana dan pengembang pemukiman publik terhadap fakta bahwa tiap manusia memiliki keunikan, dan terdapat kebutuhan manusia untuk mengekspresikan keunikannya tersebut.

b. Kurangnya perhatian pihak perencana dan pengembang pemukiman publik terhadap fakta bahwa tiap manusia atau keluarga merupakan bagian dari masyarakat dan lingkungannya, sehingga patut dipikirkan hubungan dan keterkaitan sosial antara satu manusia/keluarga dengan manusia/keluarga lainnya.

(Christopher Alexander et.al dalam The Scope of Social Architecture: 123)

Permasalahan sosial ini telah menjadi bahan pemikiran dan dicermati oleh pihak pengembang pemukiman publik dan pemerhati sosial di seluruh dunia, terutama di negara-negara maju. Kondisi ruang hunian yang seragam, kompak, dan siap pakai tersebut ternyata memiliki kelemahan yang berorientasi pada kehidupan sosial penggunanya. Abraham Maslow dalam teorinya mengenai tingkat hierarki motivasi manusia menyatakan bahwa perilaku dan kegiatan manusia sesungguhnya berdasar pada enam level kebutuhan, yaitu: 1) fisiologis (physiological), 2) keamanan (security and safety), 3) rasa sayang dan rasa memiliki (love and feelings of belonging), 4) kompetensi, prestise, dan kepercayaan diri (competence, prestige, and esteem), 5) pemenuhan diri

(self-fulfillment), dan 6) rasa ingin tahu dan keinginan untuk memahami (curiosity and the need to understand). Pada saat seseorang memasuki sebuah lingkungan baru,

misalnya menghuni apartemen baru, ia akan berusaha beradaptasi untuk mendapatkan kebutuhan-kebutuhan tersebut. Dalam kondisi hunian yang serba seragam dan direncanakan oleh pihak lain tanpa terlibat sebelumnya, pengguna apartemen baru akan berupaya untuk mendapatkan kepuasan atau pemenuhan terhadap keenam kebutuhan tersebut. Namun kembali lagi pada permasalahan bahwa tiap manusia adalah pribadi yang unik, proses adaptasi dan usaha pemenuhan kebutuhan tersebut tidak akan sama atau berjalan dengan baik bagi semua orang.

(3)

meningkatkan kualitas hidup masyarakat kebanyakan, perencanaan unit perumahan harus direncanakan dengan komunikasi yang terjalin baik antara pihak perencana dengan calon penggunanya. Pihak perencana dan pengembang seyogyanya berorientasi pada kebutuhan psikologis, sosial, dan budaya dari calon pengguna, bukan hanya berorientasi pada keuntungan ekonomi semata. Apabila memungkinkan, pemerintah diharapkan mampu mendanai proyek-proyek eksperimental yang menyangkut sistem ruang apartemen yang berorientasi pada pengguna.

2. TINJAUAN KONSEP RUANG HUNIAN DAN TEORI ADAPTASI MANUSIA

Apartemen bersubsidi menawarkan berbagai pilihan tipe unit, dengan fasilitas ruang yang berbeda-beda tergantung dari keadaan calon penghuninya, mulai dari tipe studio, 1-bedroom type, sampai dengan 3-bedroom type. Hal ini sesungguhnya memungkinkan pengguna memiliki pilihan sesuai dengan kondisinya. Namun demikian, desain layout tipe unit yang ditawarkan oleh apartemen seringkali tidak mampu mengakomodasi perkembangan kebutuhan penggunanya dalam jangka waktu panjang. Sama halnya seperti rumah tumbuh, desain unit-unit apartemen hendaknya memikirkan perkembangan kebutuhan ruang pengguna dalam jangka waktu panjang. Perancangan apartemen bersubsidi yang diperuntukkan untuk masyarakat menengah ke bawah, hendaknya memikirkan kemungkinan perkembangan kebutuhan ruang tersebut, walaupun hal tersebut tampak sulit dilakukan.

Setiap keluarga penghuni unit apartemen, bahkan individu-individu di dalam masing-masing keluarga, memiliki karakteristik kebutuhan yang berbeda-beda. Karakteristik kebutuhan yang berbeda-beda inilah yang menyulitkan perencanaan ruang apartemen yang ideal, karena apa yang sesuai oleh sebagian orang, mungkin tidak sesuai untuk sebagian orang lainnya. Untuk itu diperlukan rancangan ruang unit-unit hunian apartemen yang fleksibel, yang memungkinkan tiap individu ataupun keluarga yang bermukim di dalamnya menciptakan ruang sesuai dengan kondisinya dan perkembangan kebutuhannya masing-masing.

Ruang hunian bukanlah semata-mata menyangkut persoalan fisik saja, tetapi juga menyangkut konsep kognitif antara manusia dengan lingkungannya. Didalamnya terdapat masalah-masalah substansial yang menyangkut aspek sosial, kognitif, budaya, dan perilaku, dimana hunian dipandang sebagai simbol atau memiliki makna tertentu bagi penghuninya. Menurut Jerome Tognoli, ada enam konsep ideal tentang ruang hunian sebagai produk yang berangkat dari penyesuaian dan pengoptimalan manusia dengan lingkungannya, ada beberapa aspek makna yang dituju, yaitu:

(4)

sebagai tempat berpulang, bersarang, dan menetap. Penggunaan sebuah ruang memiliki peranan penting dalam interaksi manusia. Ruang adalah sebuah media komunikasi dimana manusia menggunakannya untuk menunjukkan ekspresi dan perasaan, perilaku dan sikap, serta berbagai jenis aktivitas yang terkait dengan ruang tersebut. Lingkungan fisik dapat mempengaruhi perilaku manusia dan begitu pula sebaliknya, karena secara personal manusia membangun kesadarannya sendiri terhadap suatu tempat. Di dalamnya terdapat suatu ikatan tanpa sadar yang dapat berkembang dan hal tersebut dapat diukur secara objektif melalui sensasi komunitas dan kepuasan lingkungan. Manusia dapat menciptakan ikatan emosi yang kuat (strong

bonds) dengan sebuah tempat. Keterikatan emosi manusia pada tempat dapat

tumbuh seiring dengan panjangnya waktu manusia tersebut tinggal dan beraktivitas di tempat tersebut.

• Kontinuitas, kesatuan, dan urutan. Ruang hunian dimaknai sebagai kontinuitas meliputi aspek-aspek: tradisi, keberakaran, siklus kehidupan dan kematian, waktu, pergantian generasi keluarga, hubungan dengan tempat asal penghuni, memori terhadap rumah masa kecil, dan hubungan dengan masa lampau penghuni. Ruang hunian sebagai simbol kesatuan, keteraturan, ritual, dan kesakralan

• Privacy, perlindungan, keamanan, dan rasa memiliki (sense of belonging). Ruang hunian dimaknai sebagai tempat untuk berpaling dari ketidakteraturan dunia luar, di dalamnya diperoleh privacy, rasa aman, nyaman, dan relaks, kehangatan, dan rasa kekeluargaan. Rumah atau domestifikasi seringkali ditandai dengan peranan perempuan didalamnya. Wanita dianggap sebagai ‘tempat berpulang’ atau ‘tempat berpaling’ para suami dan anak-anaknya dari aktivitas mereka di luar rumah. Privacy seringkali dikaitkan dengan rasa memiliki, dimana apabila penghuni kurang merasa memiliki hunian maka kebutuhan akan privacy pun akan berkurang.

• Identitas diri dan perbedaan gender. Ruang hunian dimaknai sebagai keterkaitan antara penghuni dengan huniannya, dimana hunian menggambarkan ekspresi si pemiliknya.

• Hubungan sosial dan keluarga.

• Konteks sosio-kultural. Ruang hunian dipengaruhi oleh konteks sosial dan budaya lingkungan di sekitarnya.

(Jerome Tognoli, Residential Environments dalam Handbook of Environmental

Psychology Vol.1, Chapter 17: 657)

Dalam konteks psikologi lingkungan, manusia yang tinggal dalam ruang hunian buatannya diharapkan untuk menyesuaikan diri, beradaptasi dengan lingkungan buatannya tersebut. Menurut Sonnenfield (1966), situasi yang dihadapi manusia dalam membentuk ruang dan lingkungan huniannya dapat berupa dua model perubahan, yaitu:

Adaptasi (adaptation), yaitu dimana manusia/individunya yang berubah sesuai dengan stimulus yang diberikan lingkungannya

Penyesuaian (adjustment), yaitu dimana manusia membuat perubahan pada lingkungannya karena adanya kebutuhan yang dimilikinya.

(5)

tinggalnya itu. Dengan demikian akan terbentuk motivasi dalam diri manusia untuk mencari keharmonisan atau paling tidak menghentikan hubungan yang dianggapnya negatif tersebut. Ketika manusia hidup dan beraktivitas dalam lingkungannya, dalam hal ini ruang hunian, ia akan diharapkan untuk menyesuaikan diri, beradaptasi dengan lingkungannya tersebut. Namun demikian, proses adaptasi ini adalah proses yang terus berubah dan dinamis. Brickman and Campbell (1971) menyatakan bahwa oleh karena kondisi alami level adaptasi manusia yang terus berubah secara dinamis dan tidak menentu, maka kepuasan permanen seseorang terhadap lingkungannya merupakan hal yang tidak mungkin. Hal ini disebabkan karena manusia secara konstan terus berubah, mengganti pandangannya, mengubah perilakunya, respons emosinya.

Teori tingkat adaptasi (adaptation level theory) menyebutkan bahwa manusia menyesuaikan responnya terhadap rangsangan yang datang dari luar sedangkan stimuluspun dapat diubah sesuai dengan kebutuhan manusia. Dinamakan penyesuaian respons terhadap stimulus sebagai suatu prtoses adaptasi, sedangkan penyesuaian stimulus pada keadaan individu adalah sebagai suatu adjustment. Dikatakan bahwa setiap orang memiliki tingkat adaptasi tertentu terhadap rangsang atau kondisi lingkungan tertentu. Reaksi pada manusia terhadap lingkungannya bergantung pada tingkat adaptasi manusia yang bersangkutan pada lingkungan itu. Makin jauh perbedaan keadaan lingkungan dengan tingkat adaptasi, maka makin kuat pula reaksi yang akan dilakukan oleh manusia tersebut. (Bell

Kondisi lingkungan yang sudah hampir sesuai atau sama dengan tingkat adaptasi dapat dikatakan sebagai suatu kondisi yang optimal. Seorang manusia pada dasarnya akan cenderung untuk mempertahankan kondisi yang optimal ini (kondisi homeostatis). Proses adaptasi sangat dipengaruhi oleh faktor kognisi (proses memperoleh pengetahuan atau usaha untuk mengenali sesuatu melalui pengamatan sendiri) dan motivasi (dorongan yang muncul pada diri seseorang secara sadar atau tidak sadar untuk melakukan suatu tindakan dengan tujuan tertentu). Latar belakang dari pengguna yang berbeda-beda akan menyebabkan proses adaptasi yang berbeda-beda pula. Di sisi lain, ketika keadaan defisit lingkungan melebihi ambang batas optimal, akan mengakibatkan munculnya ketidakseimbangan psikologis pada diri seseorang. Hal tersebutlah yang dapat mengakibatkan stress yang berlebihan pada pengguna. Kondisi ini bagi pengguna tertentu akan membangkitkan motivasi untuk menanggulangi ketidakseimbangan tersebut. Bila mekanisme penanggulangan tersebut berhasil maka akan dapat menurunkan ambang batas stress yang mereka terima, tetapi bila mekanisme tersebut gagal maka hal ini akan menambah stress yang akan mereka terima.

Berdasar pada pernyataan-pernyataan tersebut, perlu ditinjau kembali penggunaan apartemen sebagai fasilitas ruang hunian yang berorientasi pada pengguna.

(6)

Berangkat dari latar belakang kebutuhan terhadap apartemen bersubsidi yang kian meningkat, konsep ruang hunian pada manusia, dan hakekat bahwa manusia terus beradaptasi dengan lingkungannya, maka perlu dipikirkan sistem ruang yang berkesinambungan, dimana manusia pengguna dapat mengubah ruang huniannya dengan kebutuhan mereka masing-masing. Dengan merencanakan tata ruang yang fleksibel, maka diharapkan kualitas hidup manusia penggunanya dapat lebih baik, yaitu karena:

a. Penghuni dapat mengaktualisasikan diri, mengekspresikan individualitas dan identitas diri mereka pada ruang hunian dimana mereka beraktivitas dan berinteraksi.

b. Penghuni dengan berbagai latar belakang dapat beradaptasi dengan mudah dengan lingkungannya. Dengan kemampuan untuk mengontrol ruang dan lingkungannya, ketidakseimbangan yang dirasakan oleh manusia lebih mudah ditanggulangi sehingga terhindar dari stress.

Perencanaan tata ruang yang fleksibel pada unit apartemen dapat dilakukan dengan cara-cara sebagai berikut:

a. Ruang bebas sekat. Dalam hal ini bukan berarti ruang tidak menggunakan sekat sama sekali, namun meminimalkan penggunaan sekat-sekat pada ruang yang bukan merupakan struktur bangunan. Ruang-ruang dibagi menurut modul yang seragam. Dengan demikian pengguna akan dengan lebih leluasa menentukan zona interior unit huniannya berdasarkan modul yang telah ditentukan oleh pihak perencana atau pengembang.

b. Perancangan ruang ’setengah jadi’. Pihak perencana dan pengembang apartemen menyediakan unit-unit standar yang ’setengah jadi’ sehingga proses perancangannya dapat diteruskan oleh penghuni apartemen dengan memodifikasi sendiri elemen-elemen interior yang tersedia didalamnya. c. Perancangan ruang multifungsi. Pihak perencana dan pengembang

apartemen dapat menyediakan alternatif pembagian zona berdasarkan sifat privacynya. Dengan membuat ruang multifungsi, kebutuhan terhadap ruang dapat diminimalkan.

4. KESIMPULAN

Dari kajian tersebut diatas, dapat disimpulkan bahwa:

a. Perencanaan unit apartemen bersubsidi bagi masyarakat kebanyakan hendaknya mempertimbangkan peningkatan kualitas kehidupan penggunanya. Bukan sekedar menempati secara fisik, pengguna seyogyanya merasakan kualitas hidup yang utuh dan mengalami pemenuhan konsep-konsep kognitif pada saat menghuni apartemennya sebagai seorang individu maupun bagian dari komunitas sosial di lingkungannya.

(7)

c. Dalam perencanaan apartemen bersubsidi sebagai fasilitas hunian massal, perlu dijajaki kemungkinan komunikasi yang baik antara pihak perencana dengan calon pengguna untuk mengetahui secara pasti kebutuhan para calon pengguna dan kemungkinan-kemungkinan perkembangannya. Dengan demikian fleksibilitas tata ruang dapat direncanakan dalam suatu sistem ruang yang ideal.

d. Pihak perencana mungkin dapat menjalankan solusi perancangan ruang setengah jadi, dimana proses perancangan selanjutnya dapat dikerjakan oleh calon pengguna sendiri sesuai dengan kebutuhannya. Perancangan setengah jadi tersebut seyogyanya menyediakan berbagai kemungkinan yang fleksibel dan dapat dirakit atau dibangun sendiri dengan mudah oleh orang awam. Contohnya: desain partisi modular yang dapat dipindah-pindahkan.

DAFTAR PUSTAKA

1. Hatch, C. Richard, 1984, The Scope of Social Architecture, Van Nostrand Reinhold Company Inc., New York.

2. Tognoli, Jerome, 1987, Residential Environments dalam Handbook of

Environmental Psychology Vol.1, Chapter 17, Stokols, Daniel; Altman, Irwin,

Editor, John Wiley & Sons, Inc. New York.

3. Canter, David, PhD., A.B.Ps.S., A.I.J, 1974, Psychology for Architects, Applied Science Publishers, Ltd., London.

4. Altman, I and Carol Werner, 1985, Home Environment, Plenum Pers, New York.

5. Calhoun, James F and Acocelia, Joan R., 1990, Psychology og Adjustment

and Human Relationship, , Mc Graw Hill, New York

6. D.K. Ching, Francis. 1987, Form, Space and Order: Van Nostrand Reinhold Co.

7. Mackenzie, Dorothy, 1997, Green Design: Design for the Environment, Laurence King Publishing, London.

8. Pena, William, 1985, Penyelusuran Masalah sebagai Sebuah Dasar

Penyusunan Program.

Referensi

Dokumen terkait

Hasil pekerjaan perencanaan sampai mencapai prestasi 100% sebagaimana disebut dalam pasal 4 ayat 6 Surat Perjanjian ini paling lambat harus sudah

[r]

Dengan Program Kerja Penyelenggaraan Ujian Nasional Tahun Pelajaran 2015/2016 di SMP YP IPPI CAKUNG diharapkan dapat memperlancar pelaksanaan Ujian Nasional Berbasis Komputer

Untuk mengetahui materi yang di sampaikan dalam penanaman akidah terhadap siswa Tuna Netra di SDLB Bina Netra Fajar Harapan Martapurab. Untuk mengetahui bentuk

Bertanggung jawab untuk origination dan execution dalam kegiatan Investment Banking (Corporate Finance) di Indonesia yang sesuai dengan kebijakan dan prosedur internal

Selain itu, agenda Toyeb yang tidak membuat khawatir orang tua, juga menunjukkan adanya cerminan akhlak mahmudah seorang anak terhadap orang tuanya, disinilah

Judul Skripsi : ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI MANAJEMEN LABA SEBAGAI RESPON ATAS PERUBAHAN TARIF PAJAK PENGHASILAN BADAN PADA PERUSAHAAN MANUFAKTUR DI

Jibril kepada Nabi Muhammad SAW, tertulis didalam mushhaf, dimulai dari surat al- Fātiḥah dan diakhir dengan surat al-Nās, (3) Alquran merupakan kalam Allah