• Tidak ada hasil yang ditemukan

Problematika Kajian Alquran di Era Modern: Studi Pemikiran ‘Abīd al-Jābirī

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Problematika Kajian Alquran di Era Modern: Studi Pemikiran ‘Abīd al-Jābirī"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

JOURNAL OF QUR'ᾹN AND HADῙTH STUDIES

Vol. 7 No. 1, January – June 2018 (25 - 41)

http://journal.uinjkt.ac.id/index.php/journal-of-quran-and-hadith

Problematika Kajian Alquran di Era Modern: Studi Pemikiran ‘Abīd al-Jābirī Miftah Khilmi Hidayatulloh

Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

miftah@tafsir.uad.ac.id

Abstract: This paper examines a number of problems in Qur’anic studies in the

perspective of ‘Abīd al-Jābirī. By using descriptive analytic method, the writer discusses issues about the Qur'an, takwil, interpretation, and the role of reason towards revelation. This study finds that al-Jābirī in discussing these issues combines normative Qur'anic considerations with empirical and rational considerations, to provide answers to religious perspectives whiches relevant to the demands of the times.

Keywords: ‘Abīd al-Jābirī, Tafsir, Takwil, The Study of Qur’an

Abstrak: Makalah ini mengkaji problematika Alquran menurut perspektif pemikiran „Abīd al-Jābirī. Dengan menggunakan metode deskriptif analitik, penulis mendiskusikan isu-isu tentang Alquran, takwil, tafsir, dan peran akal terhadap wahyu. Kajian ini menemukan bahwa al-Jābirī dalam membahas isu-isu tersebut memadukan pertimbangan normatif Qur‟ani dengan pertimbnagan-pertimbangan rasional empiris, untuk menyediakan jawaban-jawaban perspektif keagamaan yang relevan dengan tuntutan zaman.

Kata kunci: ‘Abīd al-Jābirī, Tafsir, Takwil, Kajian Alquran

Pendahuluan

Alquran adalah sumber pertama umat Islam dalam memahami agamanya. Orisinalitas Alquran yang didukung doktrin keagamaan memudahkan Alquran merasuk dalam tiap jiwa umat Islam. Problemnya, ketika Alquran itu menjadi sebuah kitab pegangan tiap muslim, sudahkah mereka memahami kitab yang selalu mereka sanjung.

Permasalahan pemahaman terhadap Alquran mudah diselesaikan dengan melakukan klarifikasi kepada Rasulullah SAW. Sepeninggal beliau, proses klarifikasi ini dilakukan melalui riwayat-riwayat yang disandarkan kepada beliau, yang kemudian dikenal dengan sebutan tafsīr bi al-Ma‘ṡūr. Namun pada perjalanan sejarah, terlihat

(2)

Journal of Qur'ān and Hadīth Studies, 7 (1), 2018

selalu bertambah. Maka muncullah tafsīr bi al-Ra’yī yangmenjadikan teks-teks Bayānī itu menjadi lebih Burhānī dan „irfāni.

Ulama yang merupakan pewaris Nabi SAW, yang dianggap memiliki otoritas memahami dan memahamkan Alquran kepada umat ternyata tidak memiliki satu corak pemikiran. Diantara mereka ada yang tetap mempertahankan tradisi tafsīr bi al-Ma‘ṡūr

yang tekstual-Bayānī da nada pula yang lain. Perbedaan penafsiran disebabkan perbedaan nalar penafsir, sebagaimana nalar ulama Arab yang tidak sama dengan nalar ulama-ulama lain yang memiliki disiplin kelimuan yang beragam. Sebab itu, seorang penafsir meski memiliki corak tafsir yang sama, sering sekali produk yang dihasilkan tetap berbeda.

Diantara penafsir juga ada yang mengambil metode al-tafsīr bi al-Ra’yi yang kontekstual didasarkan pada nalar irfani dan Burhānī. Penggunaan metode ini mendorong munculnya tafsir ‘Isyārī, tafsir „ilmī, tafsir falsafī dan semacamnya. Jika ditilik lebih lanjut, bisa jadi metode al-tafsīr bi al-Ra’yi iniadalah reaksi ketidakpuasan terhadap tradisi al-tafsīr bi al-ma’ṡūr yang tekstual.

Dengan berbagai corak, metode dan pendekatan di atas, para ulama ingin memberikan solusi-solusi terhadap problem pemahaman Alquran yang belum terselesaikan. Alquran yang walaupun turun 14 abad yang lalu, diharapkan tetap fresh

dan mampu menjadi inspirasi kebaikan umat Islam saat ini. Jargon “al-Qur’ān Ṣāliḥ li

kulli Zamān wa al-Makān” harus benar-benar terwujud dan diakui oleh manusia

kotemporer. Maka pantas jika „Abīd al-Jābirī juga ingin memberikan kontribusi demi kebaikan umat Islam melalui magnum opus-nya dalam „ulūm al-Qur’ān dan tafsir, yakni kitab Madkhāl ilā al-Qur’ān al-Karīm & Fahm al-Qur’ān al-Ḥakīm.

Penulis akan memaparkan pemikiran-pemikiran khas „Abīd al-Jābirī dalam menyelesaikan problem pemahaman Alquran. Melalui penelitian literatur terhadap karya-karya Jābirī, penulis akan menyajikan makalah ini dalam bentuk narasi yang deskriptif. Untuk lebih mempertajam analisisnya, penulis juga akan menampilkan berbagai contoh penafsiran-penafsiran „Abīd al-Jābirī terhadap Alquran. Sehingga tampak diposisi mana Jābirī berdiri. Apakah sebagai seorang ahli tafsir yang tekstual ataukah kontekstual, atau sebagai seorang ahli tafsir yang Bayānī , ‘irfāni atau bahkan

(3)

Journal of Qur'ān and Hadīth Studies, 7 (1), 2018

Biografi ‘Abīd al-Jābirī

Muḥammad „Abīd al-Jābirī (lahir 1935 M) adalah seorang pakar epistemologi dari Maroko. Beliau memiliki 4 karya yang secara berurutan mencoba mengkritik nalar ulama-ulama Arab (red. Seri: Naqd al-‘Aql al-‘Arabī). Karya pertama berjudul Takwīn

al-‘Aql al-Arabī (Formasi Nalar Arab) mulai terbit tahun 1984 M. Karya kedua berjudul

Bunyah ‘Aql Arabī: Dirāsah Taḥlīliyyah Naqḍiyyah lū Nuẓūm Ma’rifah fī

al-Ṡaqāfah al-‘Arabiyyah (Struktur Nalar Arab: Studi Analisis Kritis Terhadap Sistem

Pengetahuan dalam Budaya Arab) mulai terbit tahun 1986 M. Karya ketiga berjudul

al-‘Aql al-Siyāsī al-‘Arabî: Muḥaddadātuhu wa Tajliyātuhu (Nalar Politik Arab: Batasan

dan Manifestasinya) terbit tahun 1990 M. Karya keempat berjudul al-‘Aql al-Akhlāqī ‘Arabī: Dirāsah taḥlīliyyah Naqḍiyyah lī Nuẓūm Al-Qiyām fī Ṡaqāfah

al-‘Arabiyyah (Nalar Aksiologi Arab: Studi Analisis Kritis terhadap Strutur Nilai dalam

Budaya Arab) terbit tahun 2001 M.

Selain sebagai seorang pakar epistemologi Jābirī juga memiliki karya dibidang

‘ulūm al-Qur’ān. Dua karya brilian beliau yang berjudul Madkhāl ilā Qur’ān

al-Karīm (Pengantar Studi Alquran Al-Karīm)terbit pada tahun 2006 dan Fahm al-Qur’ān

al-Ḥakīm; al-Tafsīr al-Wāḍiḥ ḥasba tartīb al-Nuzūl (Memahami Alquran; Sebuah

Karya Tafsir Berdasarkan Tertib Turunnya Alquran) terbit pada tahun 2008. Pemaparan studi Alquran dalam 2 karya besar yang tidak sekedar menukil dari satu buku ke buku lainnya, menjadikan karya beliau ini memiliki nuansa baru yang memberikan angin segar perkembangan pemikiran Alquran dan Tafsirnya. Tafsir bi al-Ma’ṡūr yang menjadi ciri khas tafsir terbaik dikalangan para ulama salaf, mampu beliau masukkan dalam karya beliau dengan tidak meninggalkan al-Ra’yu. Disajikan dengan nuansa pendekatan historis yang Burhānī, menambah bobot tafsir Jābirī layak untuk dibaca oleh semua kalangan akademisi.

Karya yang penulis sebutkan di atas mengindikasikan bahwa Muhammad „Abīd al-Jābirīadalah seorang akademisi yang ensiklopedik. Selain sebagai seorang ahli filsafat epistemologi, beliau juga seorang ahli sejarah Islam terbukti dalam karya beliau

Fahm al-Qur’ān al-Ḥakīm, dimana dalam karya tersebut beliau mencoba meletakkan

satu demi satu surat berdasarkan urut turunnya surat tersebut. Tentu hal ini tidak akan selesai tanpa menguasai sirah Nabi SAW dengan baik. Juga melihat pemikiran-pemikiran beliau yang baru dan unik dalam dua karya beliau tentang Alquran itu,

(4)

Journal of Qur'ān and Hadīth Studies, 7 (1), 2018

menjadikan beliau layak disebut sebagai seorang ulama „ulūm al-Qur’ān atau seorang

mufassir.

Alquran Menurut ‘Abīd al-Jābirī

Pemaknaan Alquran secara bahasa dikalangan ulama terbagi menjadi dua. Golongan ulama pertama membaca Alquran tanpa maḥmūz sehingga dibaca Alquran(

نارقلا

). Golongan ini terbagi ke dalam tiga golongan. Pertama, pandangan yang menyatakan bahwa Alquran adalah isim ‘alam untuk kitab yang Allah turunkan kepada Nabi Muhammad SAW sebagaimana Taurat berkedudukan menjadi isim ‘alam untuk kitab yang Allah diturunkan kepada Nabi Musa, dan Injil yang merupakan isim ‘alam untuk kitab Allah SWT yang diturunkan kepada Nabi Isa AS. Kedua, pandangan yang mengatakan Alquran terbentuk dari kata qarantu al-syai` bi al-syai` (

ءيشلبا ءيشلا تنرق

) yang berarti apabila aku mengumpulkan salah satu dari dua hal kepada yang lainnya. Dari kalimat tersebut dapat dipahami bahwa ayat-ayat dan surat-surat dalam Alquran dikumpulkan bagiannya kepada bagian yang lain sesudah turunnya secara bertahap.

Ketiga, mereka yang berpendapat bahwa kata Alquran terbentuk dari kata al-qarā`in

(

نئارقلا

). Karena ayat-ayat dalam Alquran saling membenarkan antara satu dan yang lainnya, dan memiliki kemiripan antar setiap ayat. Inilah arti qarā’in.

Ulama golongan kedua berpendapat bahwa lafal Alquran itu maḥmūz sehingga dibaca al-Qur’ān (

نآرقلا

). Akan tetapi golongan ini berbeda tentang bentuk dasar dari lafal ini. Pertama, diantara mereka ada yang berpendapat bahwa Alquran terbentuk dari kata al-Qur`u yang berarti mengumpulkan. Karena Alquran mengumpulkan surat-suratnya pada surat-surat yang lainnya. Alquran juga tidak sekedar mengumpulkan saja, tetapi juga mengumpulkan keistimewaan kitab-kitab yang diturunkan terdahulu. Maka kemudian dikatakan bahwa Alquran itu mengumpulkan seluruh cabang ilmu. Dinamakan Alquran juga karena didalamnya terkumpul para tokoh-tokoh yang dibaca atau dibahas.

Pendapat kedua dari golongan ini –pendapat yang diambil „Abīd al-Jābirī– Alquran secara bahasa berasal dari kata qara’a (

أرق

) yaqra’u (

أرقي

) qirā’ah (

ةءارق

) qur’ānan

(

ناآرق

). Ini sebagaimana ayat yang pertama kali turun “

كبر مسبا أرقا

(bacalah dengan nama Tuhanmu!)” yang mengajak bicara Rasulullah SAW. Kemudian RasululLah SAW
(5)

Journal of Qur'ān and Hadīth Studies, 7 (1), 2018

menjawab “ ؟

أرقأ اذام

(apa yang harus saya baca?)”.1 Juga sebagaimana QS. Al-Qiyāmah : 16-18 dimana Allah SWT berfirman “

اَذِإَف )

61(

ُوَنآْرُ قَو ُوَعَْجَ اَنْ يَلَع َّنِإ )

61(

ِوِب َلَجْعَ تِل َكَناَسِل

ِوِب ْكِّرَُتُ َلا

ُوَنآْرُ ق ْعِبَّتٱَف ُهَناْأَرَ ق

( 61

) ” (Janganlah kamu gerakkan lidahmu untuk (membaca) Alquran karena

hendak cepat-cepat (menguasai)nya. Sesungguhnya atas tanggungan Kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya. Apabila Kami telah selesai membacakannya maka ikutilah bacaannya itu. QS. Al-Qiyāmah : 16-18).2

Sebelum Nabi SAW melaksanakan dakwah secara jahr (terang-terangan) „Abīd al-Jābirītidak mendapati ada al-waḥy al-muḥammadī3 yang turun dan menamai Alquran dengan kata “Alquran”. Tepatnya, kata Alquran baru ada dalam surat yang turun nomor 27, yakni surat Al-Burūj ayat 21 (

ٌديَِّمَّ ٌنآْرُ ق َوُى ْلَب

).4 Sebelum turun surat al-Burūj, wahyu yang turun tidak pernah disifati dengan nama tertentu kecuali dengan kata (

ركذ

) yang berarti peringatan atau kata yang terbentuk dari kata itu. Ayat pertama yang menggunakan lafal (

ركذ

) adalah surat al-Takwīr ayat 27 (

َيِمَلاَعْلِّل

ٌرْكِذ َّلاِإ َوُى ْنِإ

). Jābirī mengurutkan surat tersebut berdasarkan turunnya pada urutan ke-7.5 Kemudian surat al-A‟lā‟ ayat 9 (

ىَرْكِّذلٱ ِتَعَفَّ ن نِإ ْرِّكَذَف

) yang turunnya surat ini diurutkan oleh Jābirī pada nomor ke-8. Kata (

ركذ

) juga disebutkan dalam surat al-Najm ayat 29 (

نَع َّلََّوَ ت نَّم نَع ْضِرْعَأَف

َناِرْكِذ

), dimana surat ini adalah surat pertama yang dibaca secara jahr oleh Rasulullah SAW di sekitar ka‟bah. Sehingga orang-orang Quraisy mendengarkan Alquran tersebut dibacakan. Jābirī menempatkan surat ini pada urutan ke 23.6

1

Jawaban ini telah dibahas panjang lebar oleh „Abīd al-Jābirīdalam kitabnya Madkhāl ilā al-Qur’ān al-Karām pasal III: Iqra’ : māżā aqra’? … aw Mā Ana biqāri’? riwāyatan! Lihat Muḥammad „Abīd al-Jābirī, Madkhāl ilā al-Qur’ān al-Karīm, jilid 1 (Bairūt: Markāz Dirāsāt Waḥdah al-„Arabiyyah, 2006), 77-81.

2„Abīd al-Jābirī memberi catatan karena Alquran itu dinamakan Alquran yang berarti bacaan.

Sedangkan dalam membaca itu tidak disyaratkan untuk memahami, tetapi sekedar kebenaran dan keindahan cara baca yang disyarakatkan. Maka aka nada kemungkinan orang yang membaca Alquran tetapi tidak memahaminya, sebagaimana hadis Nabi SAW, “sesungguhnya orang munafik yang paling banyak dari umatku adalah para pembaca/ penghafal Alquran”. Lihat Muḥammad „Abīd al-Jābirī,

Madkhāl ilā al-Qur’ān al-Karīm, jilid 1, 150.

3Jābirī menamai Alquran dengan sebutan al-Waḥyu al-Muḥammadī. Dari sini bisa disimpulkan

bahwa Jābirī menilai bahwa Alquran adalah wahyu. Lihat Muḥammad „Abīd al-Jābirī, Madkhāl ilā al-Qur’ān al-Karīm, jilid 1,152.

4Hal itu sebagaimana disebut Jābirī dalam kitab Madkhāl-nya. Namun dalam kitab Fahm

al-Qur’ān al-Ḥakīm, surat tersebut diletakkan pada urutan turun nomor 25. Lihat Muḥammad „Abīd al-Jābirī, Madkhāl ilā al-Qur’ān al-Karīm, jilid 1, 152 dan Muḥammad „Abīd al-Jābirī, Fahm Qur’ān al-Ḥakīm; al-Tafsīr al-Wāḍiḥ ḥasba Tartīb al-Nuzūl, jilid 1 (Bairūt: Markāz Dirāsāt Waḥdah al-„Arabiyyah, 2008), 112.

5Urutan ini berbeda dengan yang tertera dalam kitab Fahm al-Qur’ān al-Ḥakīm, dalam kitab

tersebut surat ini diletakkan pada nomor urut ke 4. Lihat Muḥammad „Abīd al-Jābirī, Fahm Qur’ān al-Ḥakīm; al-Tafsīr al-Wāḍiḥ ḥasba Tartīb al-Nuzūl,jilid 1, 41.

6Urutan ini berbeda dengan yang tertera dalam kitab Fahm al-Qur’ān al-Ḥakīm, dalam kitab

tersebut surat ini diletakkan pada nomor urut ke 22 sesudah surat Raḥmān. Lihat: Muḥammad „Abīd al-Jābirī, Fahm al-Qur’ān al-Ḥakīm; al-Tafsīr al-Wāḍiḥ ḥasba Tartīb al-Nuzūl, jilid 1, 96.

(6)

Journal of Qur'ān and Hadīth Studies, 7 (1), 2018

Setelah mendapatkan sifat (

ركذ

), Alquran memiliki nama lain yang turun dalam surat al-A‟rāf ayat 52.7 Nama lain itu adalah (

باتكلا

) yang berarti kitab/ buku/ tulisan sebagaimana disebutkan dalam ayat tersebut (

ٍمْوَقِّل ًةَْحَْرَو ىًدُى ٍمْلِع ىَلَع

ُهاَنْلَّصَف ٍباَتِكِب ْمُىاَنْ ئِج

ْدَقَلَو

َنوُنِمْؤُ ي

). Bacaan ini dinamakan (

باتكلا

) bisa jadi karena penegasan bahwa menjaga Alquran hanya dengan membaca dan menghafal sangat riskan dalam menjaga orisinalitas Alquran. Maka sebagian sahabat tetap menulis Alquran dalam pelepah kurma, potongan kulit dan semacamya. Kitab yang dulunya hanya dibaca dengan dihafalkan, dengan adanya tulisan, umat Islam lebih mudah untuk menjaga orisinalitas Alquran.

Kemudian dalam menerangkan tentang apa dan bagaimana (

باتكلا

) itu, Jābirī mecoba menjabarkannya dalam surat al-A‟rāf ayat 52. Bahwa panamaan (

باتكلا

) bagi Alquran merupakan sebuah aksi praktis yang memiliki alasan kuat. Yakni mengubah masyarakat arab yang tadinya merupakan umat “ummiyah” yang tidak memiliki kitab menjadi sebuah umat yang memiliki kitab.8

Penamaan Alquran tahap akhir adalah penamaan dengan kata al-furqān yang berarti yang membedakan antara yang benar (ḥaq) dan yang salah (bāṭil). Nama tersebut tertera dalam surat al-Furqān9 ayat 1 yang berbunyi (

َنوُكَيِل ِهِدْبَع ىَلَع َناَقْرُفْلٱ

َلَّزَ ن ىِذَّلٱ َكَراَبَ ت

ًاريِذَن َيِمَلاَعْلِل

). Pemisahan pertama yang dilakukan Alquran adalah memisahkan „Aqīdah

muḥamadiyyah dengan aqidah orang-orang musyrik.10

Sebagai penutup pembahasan ini, penulis ingin menyampaikan definisi Alquran secara istilah. Jābirī memaparkan 5 contoh definisi Alquran, yaitu: (1) Alquran merupakan kitab yang dibaca orang-orang Islam dan yang ditulis dalam muṣḥaf-muṣḥaf

mereka, (2) Alquran adalah firman (kalam) Allah Ta‘āla, yang diturunkan oleh malaikat

7Surat al-A‟rāf dalah surat yang turun pada urutan ke 39. Tepatnya masuk marhalah :

membatalkan dan menjauhi syirik serta masa bodoh terhadap terhadap penyembahan berhala. Lihat: Muḥammad „Abīd al-Jābirī, Fahm al-Qur’ān al-Ḥakīm; al-Tafsīr al-Wāḍiḥ ḥasba Tartīb al-Nuzūl, jilid 1, 220.

8Agaknya pernyataan ini (

باتك اله ةمأ عضو ليإ اله باتك لا "ةّيمأ" ةّمأ عضو

) menunjukkan bagaimana Jābirī memakanai sebutan ummī pada diri Nabi SAW dan umat pada umumnya. Bahwa disebut ummī bukan karena tidak pernah membaca, tetapi disebut ummī karena belum mempunyai kitab sampai datang Alquran. Lihat: Muḥammad „Abīd al-Jābirī, Madkhāl ilā al-Qur’ān al-Karīm, jilid 1, 160.

9Surat ini diturunkan pada urutan ke 42. Lihat: Muḥammad „Abīd al-Jābirī, Fahm Qur’ān

al-Ḥakīm; al-Tafsīr al-Wāḍiḥ ḥasba Tartīb al-Nuzūl, jilid 1, 270.

10 Pemisahan tersebut bisa dibaca pada surat al-A‟rāf ayat ke 2 yang berbunyi : “ ُهَل ىِذَّلٱ

ُكْلُم

َ ت ُهَرَّدَقَ ف ٍءْيَش َّلُك َقَلَخَو ِكْلُلما ِفِ ٌكيِرَش ُوَّل نُكَي َْلََو ًادَلَو ْذِخَّتَ ي َْلََو ِضْرَلأٱَو ِتاَواَمَّسلٱ

ًاريِدْق

”. Lihat: Muḥammad
(7)

Journal of Qur'ān and Hadīth Studies, 7 (1), 2018

Jibril kepada Nabi Muhammad SAW, tertulis didalam mushhaf, dimulai dari surat al-Fātiḥah dan diakhir dengan surat al-Nās, (3) Alquran merupakan kalam Allah Ta‘āla dan wahyunya yang diturunkan kepada penutup para Nabi, yakni Nabi Muhammad SAW, yang tertulis dalam muṣḥaf-muṣḥaf, diriwayatkan secara mutawatir, dianggap ibadah dengan membacanya, memiliki mukjizat yang menantang, (4) Alquran adalah firman (kalam) Allah Ta‘āla, bukan makhluk, diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW dengan bahasa arab, dikuatkan dengan mukjizat, menantang orang-orang Arab, dianggap ibadah dengan membacanya dan diriwayatkan mutawatir, (5) Alquran adalah firman (kalam) Allah Ta‘āla yang tampak, yang tidak diketahui kaifiyah pewahyuannya, diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, dibenarkan oleh orang-orang mukmin, mereka yakin bahwa itu adalah kalam Allah SWT, bukan makhluk seperti kalam

manusia, barang siapa yang mendengarnya dan menganggapnya perkataan manusia maka sungguh dia telah kafir.

Jābirī tidak ingin me-rājiḥ-kan salah satu dari lima definisi di atas. Justru beliau menambah dalam bukunya al-Madkhāl ilā al-Qur’ān al-Karīm itu sebuah sub-bab dengan judul definisi Alquran dalam Alquran. Sub-bab ini sangat kecil namun menarik untuk diperhatikan. Beliau menukil 3 ayat yang mendefinisikan Alquran dengan menunjukkan sifat-sifatnya. QS. Al-Syu‟arā‟ : 192-196

ُوَّنِإَو

ُليِزنَتَل

ِّبَر

َيِمَلاَعْلٱ

(

291

)

َلَزَ ن

ِوِب

ُحوُّرلٱ

ُيِمَلأٱ

(

291

)

ىَلَع

َكِبْلَ ق

َنوُكَتِل

َنِم

َنيِرِذْنُمْلٱ

(

291

)

ٍناَسِلِب

ٍِّبَرَع

ٍيِبُّم

(

291

)

ُوَّنِإَو

ىِفَل

ِرُبُز

َيِلَّوَلأٱ

(

291

)

“Dan sesungguhnya Al Quran ini benar-benar diturunkan oleh Tuhan semesta alam, dia dibawa turun oleh al-Rūḥ al-Amīn (Jibril), ke dalam hatimu (Muhammad) agar kamu menjadi salah seorang di antara orang-orang yang memberi peringatan, dengan bahasa Arab yang jelas. Dan sesungguhnya Al Quran itu benar-benar (tersebut) dalam Kitab-kitab orang yang dahulu.”

QS. Al-Isrā‟ : 106

ًناآْرُ قَو

ُهاَنْ قَرَ ف

ُهَأَرْقَ تِل

ىَلَع

ِساَّنلٱ

ىَلَع

ٍثْكُم

ُهاَنْلَّزَ نَو

ًليِزْنَ ت

(8)

Journal of Qur'ān and Hadīth Studies, 7 (1), 2018

kamu membacakannya perlahan-lahan kepada manusia dan Kami menurunkannya bagian demi bagian.”

QS. Alī „Imrān : 3-4

َلَّزَ ن

َكْيَلَع

َباَتِكْلٱ

ِّقَْلْٱِب

ًاقِّدَصُم

اَمِّل

َْيَ ب

ِوْيَدَي

َلَزْ نَأَو

َةاَرْوَّ تلٱ

َليِْنِْلإٱَو

(

1

)

ْنِم

ُلْبَ ق

ىًدُى

ِساَّنلِّل

َلَزْ نَأَو

َناَقْرُفْلٱ

َّنِإ

َنيِذَّلٱ

ْاوُرَفَك

ِتَيَِبِ

َِّللّٱ

ْمَُله

ٌباَذَع

ٌديِدَش

َُّللّٱَو

ٌزيِزَع

وُذ

ٍماَقِتْنٱ

(

1

)

“Dia menurunkan Al-Kitab (Alquran) kepadamu dengan sebenarnya; membenarkan kitab yang telah diturunkan sebelumnya dan menurunkan Taurat dan Injil, sebelum (Alquran), menjadi petunjuk bagi manusia, dan Dia menurunkan Al-Furqān. Sesungguhnya orang-orang yang kafir terhadap ayat-ayat Allah akan memperoleh siksa yang berat; dan Allah Maha Perkasa lagi mempunyai balasan (siksa).”11

Tafsir dan Takwil

Tafsir dan takwil merupakan pembahasan yang dijadikan satu pada kebanyakan buku-buku ulūm al-Qur’ān. Mannā‟ al-Qaṭṭān menukil pendapat Imam Zarkasyī ketika mendefinisikan arti tafsir. Tafsir menurut imam Zarkasyī ialah suatu ilmu yang digunakan untuk memahami kitab Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW: menjelaskan makna-maknanya dan mengeluarkan hukum beserta hikmah-hikmahnya.12 Imam Zarqanī menambahkan arti tafsir dengan kalimat “

ةيرشبلا ةقاطلا ردقب

” (sesuai dengan kadar kemampuan manusia.)13 Sedangkan takwil adalah memalingkan lafal dari makna yang rājiḥ kepada makna yang marjūḥ karena ada dalil yang mengindikasikannya.14

Penulis mendapatkan problem terhadap tafsir dan takwil perspektif Jābirī. Karena dalam dua buku (Madkhāl … & Fahm al-Qur’ān …) beliau tidak menerangkan

11 Muḥammad „Abīd al-Jābirī, Madkhāl ilā al-Qur‟ān al-Karīm, jilid 1, 19.

12Al-Qaṭṭān, Mannā‟, Mabāḥiṡ fī ‘Ulūm al-Qur’ān (Qāhirah: Maktabah Waḥbah, 2007), 317. 13Dengan kalimat tersebut beliau ingin menjelaskan bahwa usaha memahami Alquran hakikatnya

tidak akan final ditangan manusia. Seseorang hanya bisa menyelesaikan pemahaman tersebut sesuai dengan kemampuan orang itu saja. Al-Zarqanī, Muḥammad „Abd al-Aẓīm, Manāḥil ‘Irfān fī ‘Ulūm al-Qur’ān, jilid 2 (Qāhirah: Dār al-Ḥadīṡ, 2001, 7.

(9)

Journal of Qur'ān and Hadīth Studies, 7 (1), 2018

lebih jauh tentang makna tafsir dan takwil menurut beliau. Oleh karenanya, penulis menggunakan standar definisi tafsir dan takwil di atas untuk kemudian penulis akan membahas beberapa ayat-ayat syubhāt dalam pandangan Jābirī. Yang terkadang

mufassir-nya berbeda sikap menghadapi ayat-ayat tersebut. Sebagian sekedar

menafsirkan dan sebagian yang lain mentakwilkannya. Maka bagaimana sikap Jābirī terhadap ayat-ayat tersebut.

QS. al-Wāqi„ah : 79

َنوُرَّهَطُمْلٱ َّلاِإ ُوُّسََيَ َّلا

Terjemah Departemen Agama: tidak menyentuhnya kecuali orang-orang yang

disucikan.

Catatan: Jābirī tidak menafsirkan kata (

َنوُرَّهَطُمْلٱ

) sebagai orang-orang yang

disucikan sebagaimana dalam terjemahan Departemen Agama. Tetapi beliau memaknainya sebagai “malaikat”. Sehingga arti ayat tersebut adalah “tidak menyentuhnya kecuali para malaikat”15

Pemaknaan ini sesuai dengan riwayat dari Ibn „Abbās dalam Tafsir Ibn Kaṡīr. 16

Selanjutnya, metode yang digunakan Jābirī adalahTafsīr bi al-Ma’ṡūr, dan nalar yang digunakan adalah Bayānī.

QS. al-Furqān: 22

َمْوَ ي

َنْوَرَ ي

َةَكِئَلَمْلٱ

َلا

ىَرْشُب

ٍذِئَمْوَ ي

َيِمِرْجُمْلِّل

َنوُلوُقَ يَو

ًارْجِح

ًاروُجَّْمَّ

Terjemah Departemen Agama: Pada hari mereka melihat malaikat dihari itu

tidak ada kabar gembira bagi orang-orang yang berdosa mereka berkata: “Ḥijran

Maḥjūran”.

Catatan: Menurut Jābirī, (

ًاروُجَّْمَّ ًارْجِح

) adalah perkataan seorang laki-laki di zaman

jahiliyah apabila dia takut diserang pada bulan haram, maka dia mengatakan Ḥijran

15

Muḥammad „Abīd al-Jābirī, Fahm Qur’ān Ḥakīm; Tafsīr Wāḍiḥ ḥasba Tartīb al-Nuzūl, jilid 1, 310.

16Pemaknaan ini mirip dengan riwayat Ibn Abbas yang ada dalam tafsir Ibn Kaṡīr. Lihat Abū

(10)

Journal of Qur'ān and Hadīth Studies, 7 (1), 2018

Mahjūran yang artinya “haram bagimu menyerangku pada bulan ini.”17 Penafsiran ini

menunjukkan bahwa dalam beberapa tempat „Abīd al-Jābirī mengambil riwayat (

al-ma’ṡūr) untuk menafsirkan Alquran.

Selanjutnya, metode yang digunakan Jābirī adalahTafsīr bi al-Ma’ṡūr, dan nalar yang digunakan adalah Bayānī.

QS. al-Anfāl : 17 (Tentang af’āl (tindakan)Allah)

ْمَلَ ف

ْمُىوُلُ تْقَ ت

َّنِك َلَو

ََّللّٱ

ْمُهَلَ تَ ق

اَمَو

َتْيَمَر

ْذِإ

َتْيَمَر

َّنِك َلَو

ََّللّٱ

ىَمَر

َىِلْبُ يِلَو

َيِنِمْؤُمْلٱ

ُوْنِم

ًء

ۤلَب

ًانَسَح

َّنِإ

ََّللّٱ

ٌعيَِسَ

ٌميِلَع

Terjemah Departemen Agama: Maka (yang sebenarnya) bukan kamu yang

membunuh mereka, akan tetapi Allahlah yang membunuh mereka, dan bukan kamu yang melempar ketika kamu melempar, tetapi Allah-lah yang melempar. (Allah berbuat demikian untuk membinasakan mereka) dan untuk memberi kemenangan kepada orang2 mukmin, dengan kemenangan yang baik. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.

Catatan: „Abīd al-Jābirī melakukan takwil terhadap af’āl (tindakan) Allah yang

terlihat dalam kalimat (

ْمُهَلَ تَ ق ََّللّٱ َّنِك َل

). Seharusnya kalimat itu hanya berarti “akan tetapi Allahlah yang membunuh mereka”, namun ditambah “dengan memotivasi dan meneguhkan hati kamu sekalian”. Sehingga artinya “Akan tetapi Allah SWT yang membunuh mereka dengan memotivasi kamu sekalian dan meneguhkan hati kamu sekalian”. Objek yang terkena tindakan tampak berubah. Dalam terjemahan Departemen Agama, Allah menjadi subjek dan orang kafir menjadi objeknya. Sedangkan dalam pemahaman Jābirī, Allah menjadi subjek, orang mukmin menjadi objek pertama dan orang kafir menjadi objek kedua, atau menjadi objek pertama jika orang mukmin dijadikan subjeknya.18 Maka pemahamannya, Allah SWT adalah subjek yang memotivasi dan meneguhkan hati orang-orang mukmin (objek). Kemudian orang-orang

17

Muḥammad „Abīd al-Jābirī, Fahm Qur’ān Ḥakīm; Tafsīr Wāḍiḥ ḥasba Tartīb al-Nuzūl, jilid 1, 274.

18 Yang menarik, selain melakukan takwil, Jābirī juga mengambil sebuah riwayat untuk

menafsirkan ayat di atas. Diriwayatkan bahwa RasululLah SAW mengambil segenggam kerikil dari lembah (badar), kemudian melemparkannya ke wajah orang-orang kafir. Maka mata orang-orang musyrik tidak ada yang tidak dimasukki oleh sesuatu. Ini adalah salah satu sebab kemenangan orang-orang mukmin. Lihat Imam al-Wāḥidi dalam Muḥammad „Abīd al-Jābirī, Fahm al-Qur’ān al-Ḥakīm; al-Tafsīr al-Wāḍiḥ ḥasba Tartīb al-Nuzūl, jilid 1, 120.

(11)

Journal of Qur'ān and Hadīth Studies, 7 (1), 2018

mukmin selain sebagai objek tindakan Allah SWT, juga sebagai subjek yang menyerang atau membunuh orang-orang kafir.

Selanjutnya, metode yang digunakan Jābirī adalah Takwil, dan nalar yang digunakan adalah Burhānī.

QS. Ṭāhā: 5 (Tentang af’āl (tindakan) Allah)

ُن َْحَّْرلٱ

ىَلَع

ِشْرَعْلٱ

ىَوَ تْسٱ

Terjemah Departemen Agama: (Yaitu) Tuhan Yang Maha Pemurah. Yang

bersemayam di atas 'Arsy.

Catatan: Penafsiran „Abīd al-Jābirī tentang ayat ini tidak berbeda dengan apa

yang diterjemahkan oleh Departemen Agama. Beliau juga menambahkan lafal (

وى

) sebelum lafal (

ُن َْحَّْرلٱ

), sehinga bermakna “Dia yang Maha Pemurah” atau sama dengan terjemahan Departemen Agama di atas.19 Selain itu, perlu diketahui bahwa al-Jābirī tidak menafsirkan QS. Ṭāhā: 5.

QS. Yāsīn : 1 (Huruf al-Muqaṭṭa’ah)

ۤسي

Terjemah Departemen Agama: Yā sīn.

Catatan: „Abīd al-Jābirī sama sekali tidak memberikan penafsiran terhadap ayat

ini. Beliau hanya memberikan catatan kaki bahwa mengenai makna yâ sîn bisa

ditemukan banyak pendapat yang memaknainya, sedangkan beliau tidak menyebutkan memilih salah satu diantaranya.20 Selanjutnya, ayat ini tidak ditafsirkan.

19 Jābirī juga memberikan catatan kaki dan mengemukakan bahwa ulama terbagi menjadi 3 golongan

dalam memahami ayat tersebut. Pertama, golongan yang memiripkan Allah dengan manusia. Sehingga mereka berkata tentang ayat ini, “(Dia) bersemayam di atas „Arsy artinya duduk di atasnya sebagaimana para raja duduk di atas singasana mereka”. Kedua, golongan muktazilah dan asy‟ariyah yang memahami

ayat tersebut sebagai sebuah ayat yang majāzī. Mereka menafsirkan (

شرعلا يلع ءاوتسلاا

) sebagaimana dalam ayat (

سانلا كلم

) dan (

نيدلا موي كلم

). Ketiga, sebagian ahlu sunnah tidak merincikan penafsiran al-Istiwā’ itu, mereka berkata, “

ةعدب ونع لاؤسلا و لوهمَّ فيكلا و مولعم ءاوتسلاا

” yang artinya istiwā’ itu diketahui, caranya tidak diketahui, dan bertanya tentangnya adalah bid’ah. Kemudian Jābirī tidak memilih salah satu dari golongan yang ia sebutkan di atas. Lihat Muḥammad „Abīd al-Jābirī, Fahm Qur’ān al-Ḥakīm; al-Tafsīr al-Wāḍiḥ ḥasba Tartīb al-Nuzūl, jilid 1, 298.

20Muḥammad „Abīd al-Jābirī, Fahm Qur’ān Ḥakīm; Tafsīr Wāḍiḥ ḥasba Tartīb

(12)

Journal of Qur'ān and Hadīth Studies, 7 (1), 2018

QS. al-A‟rāf : 1 (Huruf al-Muqaṭṭa’ah)

ۤص ۤمۤلا

-

ٌباَتِك

َلِزنُأ

َكْيَلِإ

َلَف

ْنُكَي

ِفِ

َكِرْدَص

ٌجَرَح

ُوْنِّم

َرِذنُتِل

ِوِب

ىَرْكِذَو

َيِنِمْؤُمْلِل

Terjemah Departemen Agama: Alif lām mīm ṣād. Ini adalah sebuah kitab yang

diturunkan kepadamu, maka janganlah ada kesempitan di dalam dadamu karenanya, supaya kamu memberi peringatan dengan kitab itu (kepada orang kafir), dan menjadi pelajaran bagi orang-orang yang beriman.

Catatan: „Abīd al-Jābirī menukil pendapat al-Zamakhsyarī bahwa yang

dimaksud (

ۤص ۤمۤلا

) adalah surat ini. (

ۤص ۤمۤلا

) juga menjadi mubtada’ dan (

ٌباَتِك

) menjadi

khabar-nya. Penamaan surat ini dengan (

ٌباَتِك

) karena surat ini diwahyukan satu kali

turun. Seperti kitab-kitab yang turun pada Nabi-nabi terdahulu. Hal ini juga menjadi jawaban bagi orang-orang Quraisy yang mencela bahwa Alquran hanyalah perkataan-perkataan Muhammad SAW, bukan seperti kitāb yang diturunkan kepada Musa AS.21

Selanjutnya, metode yang digunakan Jābirī adalah Tafsīr bi al-Ra’yi dan nalar yang digunakan adalah Bayānī.

QS. al-Nisā‟ : 3 (Ayat Misoginis)

ْنِإَو

ْمُتْفِخ

َّلاَأ

ْاوُطِسْقُ ت

ِفِ

ىَماَتَ يْلٱ

ْاوُحِكنٱَف

اَم

َباَط

ْمُكَل

َنِّم

ِءآَسِّنلٱ

َنْ ثَم

َثَلُثَو

َعَباُرَو

ْنِإَف

ْمُتْفِخ

َّلاَأ

ْاوُلِدْعَ ت

ًةَدِحاَوَ ف

ْوَأ

اَم

ْتَكَلَم

ْمُكُناَْيََأ

َكِل ذ

َنْدَأ

َّلاَأ

ْاوُلوُعَ ت

Terjemah Departemen Agama: Dan jika kamu takut tidak dapat berlaku adil

terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yg kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yg kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.

Catatan: Menurut Jābirī, ayat ini berhubungan dengan Perang yang terjadi antara

umat Islam dengan orang Kafir yang tentunya meninggalkan banyak anak yatim dan para janda. Maka turunnya ayat ini adalah solusi bagi persoalan masyarakat yang

21Muḥammad „Abīd al-Jābirī, Fahm Qur’ān Ḥakīm; Tafsīr Wāḍiḥ ḥasba Tartīb

(13)

Journal of Qur'ān and Hadīth Studies, 7 (1), 2018

muncul.22 Selanjutnya, ayat ini tidakditafsirkan.

QS. al-Nisā‟ : 11 (Ayat Misoginis)

ُمُكيِصوُي

َُّللّٱ

ِۤف

ْمُكِدَلاْوَأ

ِرَكَّذلِل

ُلْثِم

ِّظَح

ِْيَ يَ ثْ نُلأٱ

Terjemah Departemen Agama: Allah mensyari'atkan bagimu tentang

(pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu : bagian seorang anak lelaki sama dengan bagian dua orang anak perempuan.

Catatan: Terjemahan di atas ditambahkan oleh Jābirī, “dari warisan bapaknya

yang meninggal apabila tidak ada ahli waris selain mereka”. Kemudian diberikan catatan bahwa orang-orang arab sebelum Islam biasa memberikan warisan kepada anaknya yang ikut berperang melawan musuh. Sehingga perempuan dan anak kecil tidak berhak dengan warisan itu karena tidak ikut berperang. Maka ketika turun ayat tentang warisan, banyak orang yang membencinya karena menyalahi adat kebiasaan mereka.23 Selanjutnya, ayat ini tidak ditafsirkan.

QS. al-Wāqi‟ah: 95

ِيِقَيْلا ُّقَح َوَُله اَذَى َّنِإ

Terjemah Departemen Agama: Sesungguhnya (yang disebutkan ini) adalah

suatu keyakinan yang benar.

Catatan: Persis dengan terjemahan di atas, (

ِيِقَيْلا ُّقَح

) dimaknai sebagai

keyakinan yang benar (

ُّقَلْا ُيِقَيْلا

). Jābirī sama sekali tidak menyinggung sisi „Irfānī

dalam penafsiran ayat tersebut.24 Padahal dalam bukunya Bunyah al-‘Aql al-‘Arabī

beliau menukil pendapat Imam al-Qusyairī bahwa ayat ini sebagai dalil eksistensi nalar

irfānī.25 Selanjutnya, ayat ini tidak ditafsirkan.

22Muḥammad „Abīd al-Jābirī, Fahm Qur’ān Ḥakīm; Tafsīr Wāḍiḥ ḥasba Tartīb

al-Nuzūl, jilid 3, 211.

23

Pada catatan kaki tersebut, Jābirī hanya menyampaikan bagaimana reaksi masyarakat Arab terhadap ayat waris tersebut, tanpa ada kesimpulan dari beliau. Lihat: Muḥammad „Abīd al-Jābirī, Fahm al-Qur’ān al-Ḥakīm; al-Tafsīr al-Wāḍiḥ ḥasba Tartīb al-Nuzūl, jilid 3, 213.

24Muḥammad „Abīd al-Jābirī, Fahm Qur’ān Ḥakīm; Tafsīr Wāḍiḥ ḥasba Tartīb

al-Nuzūl, jilid 1, 68.

25Muḥammad „Abīd al-Jābirī, Bunyah Al-‘Aql Al-Arabī: Dirāsah Tahlīliyah Naqdiyyah lī Nuẓūm

al-Ma’rifah fī al-Ṣaqāfah al-‘Arabiyyah (Bairūt: Markāz Dirāsat al-Waḥdah al-Arabiyyah, 2009), 251-252,

(14)

Journal of Qur'ān and Hadīth Studies, 7 (1), 2018 QS. al-Bāqarah : 208

اَهُّ يَ يٰ

َنيِذَّلٱ

ْاوُنَمآ

ْاوُلُخْدٱ

ِفِ

ِمْلِّسلٱ

ًةَّفآَك

َلاَو

ْاوُعِبَّتَ ت

ِتاَوُطُخ

ِناَطْيَّشلٱ

ُوَّنِإ

ْمُكَل

وُدَع

ٌيِبُّم

Terjemah Departemen Agama: Hai orang-orang beriman, masuklah kamu ke

dalam Islam keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu.

Catatan: Penafsiran Jābirī tidak berbeda dengan terjemahan Departemen Agama

di atas. Beliau hanya menambahkan ayat ini turun mengenai „Abdullah Ibn Salām dan para sahabatnya, mereka adalah orang yahudi yang baru saja masuk Islam, mereka masih mengagungkan hari sabtu dan membenci daging onta. Maka turunlah ayat ini sebagai peringatan bagi mereka supaya masuk ke dalam agama Islam secara keseluruhan.26 Penafsiran ini juga menunjukkan bahwa Jābirī mengambil riwayat (

al-ma’ṡūr) untuk menafsirkan ayat-ayat Alquran.

Selanjutnya, metode yang digunakan Jābirī adalahTafsīr bi al-Ma’ṡūr, dan nalar yang digunakan adalah Bayānī.

Untuk memudahkan pengamatan, penulis akan mengemukakan klasifikasi dari contoh-contoh di atas dalam sebuah tabel.

Tabel Metode

Jenis Metode Jumlah

Ayat Ayat-ayatnya

Tafsīr bi al-Ma’ṡūr 3 Wāqi‟ah: 79, Furqān: 22,

al-Bāqarah: 208

Tafsīr bi al-Ra’yi 1 al-A‟rāf : 1

Tidak ditafsirkan 5 Ṭāhā: 05, Yāsīn: 1, al-Nisā‟: 3, al-Nisā‟:

11, al-Wāqi‟ah: 95

Takwil 1 al-Anfāl: 17

Penafsiran dan pentakwilan ayat di atas, paling tidak mampu memberikan sedikit gambaran tentang bagaimana tafsir dan takwil menurut „Abīd al-Jābirī. Terlihat

26Muḥammad „Abīd al-Jābirī, Fahm Qur’ān Ḥakīm; Tafsīr Wāḍiḥ ḥasba Tartīb

(15)

Journal of Qur'ān and Hadīth Studies, 7 (1), 2018

bahwa Jābirī tidak melakukan takwil terhadap ayat-ayat yang berbicara tentang sifat Allah (QS. Ṭāhā : 05) dan huruf muqaṭṭa’ah (QS. Yāsīn: 1 dan al-A‟rāf: 1). Namun tampak bahwa Jābirī menafsirkan ḥarf muqaṭṭa’ah dengan pendekatan bahasa (al-tafsīr

bi al-ra’yi) seperti QS. al-A‟rāf: 127. Jābirī mantakwilkan satu ayat yang susah dipahami

dengan kenyataan emipiris sehingga ayat tersebut sejalan dengan realita sebagaimana terlihat QS. QS. al-Anfāl: 17. Jābirī juga tidak meninggalkan tafsir dengan al-ma’ṡūr

yang terlihat dalam penafsiran QS. al-Furqān: 22 dan QS. al-Bāqarah: 208.

Jābirī juga tidak menafsirkan pada beberapa ayat. Dari 10 ayat yang kami paparkan di atas, ada 5 ayat yang tidak ditafsirkan oleh Jābirī. Artinya mencapai 50% ayat tidak ditafsirkan. Bisa jadi sikap Jābirī itu mirip dengan pembagian tafsir oleh Ibn Abbas. Ibn Abbas membagi tafsir menjadi empat, yaitu: (1) tafsir tentang halal dan haram yang diketahui oleh setiap orang; (2) tafsir yang ditafsirkan dengan lisan orang arab; (3) tafsir yang ditafsirkan oleh para ulama/ ahli ilmu; dan (4) tafsir yang tidak diketahui kecuali oleh Allah.28

Melihat cara Jābirī dalam menafsirkan ayat-ayat Alquran di atas, penulis berasumsi bahwa sebagian ayat dalam Alquran menurut beliau mudah untuk dipahami sehingga tidak perlu ditafsirkan secara bahasa. Dalam klasifikasi Ibn Abbas, tafsir yang demikian masuk kelompok pertama, yaitu “tafsir tentang halal dan haram yang diketahui oleh setiap orang”.

Masih berkaitan dengan tafsir yang dilakukan oleh Jābirī, ada sebuah penafsiran yang unik dari Jābirī ketika beliau mendefinisikan Alquran. Beliau menggunakan metode Ibnu Taimiyah, yakni tafsir Alquran dengan Alquran yang termasuk dalam kategori tafsīr bi al-ma’ṡūr. Maka Jābirī dalam bukunya Madkhāl ilā Qur’ān

al-Karīm membuat sub-bab yang berjudul definisi Alquran dalam Alquran. Sub-bab ini

sangat kecil namun menarik untuk diperhatikan. Beliau menukil 3 ayat yang mendefinisikan Alquran dengan menunjukkan sifat-sifatnya.29 Ini juga menjadi salah satu bukti bahwa Jābirī sangat memperhatikan tafsīr bi al-ma’ṡūr.

27

Pada al-A‟rāf ayat 1, Jābirī memahaminya dengan ilmu munasabah yang memunculkan takwil.

28Muḥammad „Abd „Aẓīm al-Zarqanī, Manāḥil al-‘Irfān fī ‘Ulūm al-Qur’ān, di-tahqīq oleh

Fawwāz Aḥmad Zumaralī, jilid 2 (Bairūt: Dārr al-Kitāb al-„Arabī, 1995), 11.

(16)

Journal of Qur'ān and Hadīth Studies, 7 (1), 2018

Peran Akal Terhadap Wahyu Menurut ‘Abīd al-Jābirī

Membaca tiga nalar yang dipaparkan Jābirī dalam bukunya Bunyah ‘Aql Al-Arabī: Dirāsah Tahlīliyah Naqdiyyah lī Nuẓūm al-Ma’rifah fī al-Ṣaqāfah al-‘Arabiyyah

(Struktur Nalar Arab: Studi Analisis Kritis Terhadap Sistem Pengetahuan dalam Budaya Arab) memperlihatkan semangat Jābirī untuk membangun sebuah sistem pemikiran yang saling menopang, mendukung dan tidak saling menjatuhkan. Seimbang antara nalar Bayānī, ‘irfāni dan Burhānī. Tiga nalar tersebut telah terbukti adanya, dan telah terbukti memiliki keistimewaan dalam ranahnya masing-masing.

Maka memahami wahyu sebagaimana tercatat dalam karyanya Fahm al-Qur’ān

al-Ḥakīm; al-Tafsīr al-Wāḍiḥ ḥasba Tartīb al-Nuzūl seharusnya tetap mempertahankan

tiga nalar tersebut. Namun diantara 10 ayat yang kami kemukakan di atas hanya terlihat penafsiran yang menggunakan nalar bayānī dan burhānī saja. Sedangkan penggunaan nalar „irfānī tidak penulis temukan dalam penafsiran Jābirī di atas. Bahkan dalam penafsiran QS. al-Wāqi‟ah: 95 yang digunakan oleh Imam Qusyairi tidak tampak adanya nalar „Irfânî. 30Untuk lebih jelasnya penulis akan mengemukakan dalam bentuk tabel:

Tabel Nalar Jābirī Jenis Nalar Jābirī Jumlah

Ayat Ayat-ayatnya

Bayānī 4 al-Wāqi‟ah: 79, al-Furqān: 22, al-A‟rāf:

1, al-Bāqarah : 208

‘Irfānī 0 -

Burhānī 1 al-Anfāl: 17

Tidak ditafsirkan 0 -

Tabel di atas memperlihatkan alur pemikiran studi Alquran dan tafsir bagi Jābirī. Jābirī tidak bisa lepas dari mega proyek para ulama terdahulu yang ingin mengharmonisasikan antara „aql dan naql. Upaya ini dapat dilihat bagaimana Jābirī membongkar nalar arab dalam bukunya Bunyah Al-‘Aql Al-Arabī: Dirāsah Tahlīliyah

Naqdiyyah lī Nuẓūm al-Ma’rifah fī al-Ṣaqāfah al-‘Arabiyyah, sehingga memunculkan 3

jenis nalar – yakni Bayānī, „Irfānī dan Burhānī. Kemudian dalam menyusun kitab tafsir,

30 Jābirī, Muhammad Abid Al, Bunyah Al-‘Aql Al-Arabî: Dirâsah Tahlîliyah Naqdiyah li

Nudzum Al-Ma’rifah fi Al-Tsaqâfah Al-Arabiyah (Beirut : Markaz Dirâsat Al-Wahdah Al-Arabiyyah, Cet IX, 2009 M) h. 251-252.

(17)

Journal of Qur'ān and Hadīth Studies, 7 (1), 2018

Jābirī menyusun kitab tafsir ini berdasarkan tertib turunnya ayat. Yang berarti beliau sangat mengapresiasi pendekatan sejarah dalam penelitiannya. Dan dalam beberapa contoh tafsir yang telah penulis paparkan juga, terlihat Jābirī menggunakan al-Ra’yu

dan al-Ma’ṡūr dalam menafsirkan Alquran.

Kesimpulan

Melihat pemikiran Jābirī yang telah dikemukakan di atas, penulis melihat bahwa Jābirī dalam menafsirkan Alquran tidak meninggalkan tradisi ulama-ulama salaf. Sebagaimana terlihat dari corak tafsīr bi al-ma’ṡūr yang beliau pakai dalam menafsirkan beberapa ayat Alquran. Jābirī masih tergolong ulama yang tidak liberal dalam menafsirkan ayat-ayat mutasyabihat dengan al-ra’yu, juga pada ayat-ayat berhubungan dengan sifat Allah. Maka bisa disimpulkan bahwa Jābirī adalah seorang ahli tafsir yang ingin menggabungkan dua corak tersebut, bi al-ma’ṡūr dan bi al-ra’yi.

Daftar Pustaka

Abū al-Fīdā' Ismā'il Ibn „Umar Ibn Kaṡīr, Tafsīr al-Qur’ān al-‘Aẓīm. T.TP.: Dār Ṭībah, 1999.

Departemen Agama. Alquran Terjemah. Semarang: CV. Toha Putra, 1989.

al-Jābirī, Muḥammad „Abīd. Bunyah Al-‘Aql Al-Arabī: Dirāsah Tahlīliyah Naqdiyyah lī

Nuẓūm al-Ma’rifah fī al-Ṣaqāfah al-‘Arabiyyah. Bairūt: Markāz Dirāsat

al-Waḥdah al-„Arabiyyah, 2009.

. Fahm al-Qur’ān al-Ḥakīm; al-Tafsīr al-Wāḍiḥ ḥasba Tartīb al-Nuzūl. Bairū: Markāz Dirāsāt al-Waḥdah al-„Arabiyyah, 2008.

. Madkhāl ilā al-Qur’ān al-Karīm. Bairūt: Markāz Dirāsāt Waḥdah al-„Arabiyyah, 2006.

al-Qaṭṭān, Mannā‟. Mabāḥiṡ fī ‘Ulūm al-Qur’ān. Qāhirah: Maktabah Waḥbah, 2007. al-Zarqanī, Muḥammad „Abd al-Aẓīm. Manāḥil al-‘Irfān fī ‘Ulūm al-Qur’ān. Qāhirah:

Gambar

Tabel Metode
Tabel Nalar Jābirī

Referensi

Dokumen terkait

3 Setelah membaca cerita bebek selalu hidup rukun melalui tayangan media pembelajaran power point, siswa dapat menerima kewajiban sebagai tetangga sebagai wujud rasa syukur

Ilmu le!ih utama ari harta, karena ilmu akan men*agamu sementara harta malah engkau yang harus men*aganya#!. Ilmu le!ih utama ari harta karena i akherat nanti pemilik harta

Untuk pertanian masa panen sekitar empat bulan antara bulan agustus sampai november, sedangkan masa tanam antara bulan januari sampai maret, jadi masyarakat muara

Kebutuhan cabai terus meningkat disebabkan oleh meningkatkan pertumbuhan penduduk dan berkembangnya produksi makanan yang membutuhkan cabai.Salah satu cara

Keuangan & Umum Puket I Bidang Akademik BAAK Jurusan UPW Jurusan Perhotelan Bagian TU & Kepegawaian Bagian Keuangan Bagian Umum Bagian Rekruitmen Bagian

Prinsip syariah adalah aturan perjanjian berdasarkan hukum islam antara bank dan pihak lain untuk penyimpanan dana dan/atau pembiayaan kegiatan usaha, atau

Hal tersebut yang menjadi dasar perhitungan sektor unggulan dan non unggulan dari setiap jenis unit industri sektor pangan yang berada pada setiap sentra industri kecil

Dari hasil pengamatan, didapatkan upaya-upaya untuk meningkatkan rasa patriotisme, seperti menggalakkan program-program yang berkaitan dengan kebudayaan, nasionalisme, dan