• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERSEPSI PEGAWAI TERHADAP TUNJANGAN KINE (1)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "PERSEPSI PEGAWAI TERHADAP TUNJANGAN KINE (1)"

Copied!
67
0
0

Teks penuh

(1)

PERSEPSI PEGAWAI TERHADAP TUNJANGAN KINERJA DAERAH BERBASIS PENILAIAN PRESTASI KERJA

(STUDI PADA BPKD DAN KELURAHAN PROVINSI DKI JAKARTA)

Tesis

untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai Derajat Sarjana S-2 Program Studi Magister Akuntansi

Dosen Pembimbing:

Ratna Nurhayati, S.E., M.Com., Ak., CA., Ph.D.

diajukan oleh Dwi Garit Sunaryo Putri

15/391622/PEK/21068

PROGRAM STUDI MAGISTER AKUNTANSI FAKULTAS EKONOMIKA DAN BISNIS

(2)

BAB I PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang

Peran pegawai negeri sipil (PNS) dalam menjalankan roda pemerintahan

saat ini sangat besar pengaruhnya. Setiap PNS memiliki tanggung jawab dalam menjalankan tugas dan fungsi (tupoksi) guna mencapai tujuan organisasi, tetapi

pelaksanaan kegiatan pemerintahan masih sering kali mengecewakan masyarakat karena PNS tidak melaksanakan tugasnya dengan baik. Permasalahan tersebut terutama terkait dengan kinerja PNS di lingkungan pemerintah daerah dan

permasalahan ini dinilai masih sangat beragam antara daerah yang satu dengan daerah lainnya.

Kualitas PNS sering kali dikaitkan dengan kompensasi gaji dan tunjangan yang telah diterima oleh PNS di lingkungan pemerintah daerah. Tunjangan daerah bagi PNS di setiap pemerintah daerah memiliki aturan yang berbeda. Hal itu dapat

dipahami karena desentralisasi atas pengelolaan keuangan daerah yang menjadi hak dan tanggung jawab setiap kepala daerah yang mengakibatkan tunjangan

daerah di setiap pemerintah daerah berbeda dalam aturan dan besaran yang diterima. Terkait hal itu yang harus dipastikan ialah pemberian tunjangan daerah hendaknya didasarkan pada aturan yang jelas dan adil agar dapat meningkatkan

kinerja PNS dalam mencapai tujuan organisasi.

Pemberian tunjangan daerah yang tidak berdasarkan indikator yang baik

(3)

anggaran yang digunakan untuk memenuhi pemberian tunjangan daerah yang berdasarkan indikator yang tidak tepat pada akhirnya tidak mampu meningkatkan

kinerja PNS sehingga tujuan organisasi pun tidak dapat tercapai. Sebagian besar pemerintah daerah menggunakan tingkat kehadiran, jenjang jabatan, dan disiplin pegawai sebagai dasar pemberian tunjangan daerah. Hal ini dirasa belum mampu

memberikan dampak yang signifikan pada peningkatan kinerja PNS. Selain itu, tunjangan daerah berdasarkan tingkat kehadiran, jenjang jabatan, dan disiplin

pegawai belum memberikan keadilan yang merata kepada seluruh PNS berdasarkan perbedaan beban kerja yang dimiliki.

Di tengah permasalahan di atas, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta

menetapkan kebijakan baru terkait dengan tunjangan daerah. Kebijakan tersebut mengalami beberapa perubahan aturan sejak 29 Desember tahun 2014. Berikut

perubahan kebijakan mengenai tunjangan kinerja daerah berbasis penilaian prestasi kerja di Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.

1. Peraturan Gubernur Nomor 207 Tahun 2014 tentang Tunjangan Kinerja

Daerah;

2. Peraturan Gubernur Nomor 193 Tahun 2015 tentang Tunjangan Kinerja

Daerah;

3. Peraturan Gubernur Nomor 108 Tahun 2016 tentang Tunjangan Kinerja Daerah;

(4)

Tunjangan kinerja daerah di Lingkungan Provinsi DKI Jakarta menggunakan basis penilaian prestasi kerja sebagai indikatornya. Prestasi kerja

adalah hasil kerja yang dicapai oleh setiap PNS dan calon PNS pada SKPD/UPKD sesuai dengan aktivitas kerja, perilaku kerja, pencapaian KPI, tindak lanjut arahan gubernur, tindak lanjut pengaduan masyarakat, dan serapan

anggaran.

Pemberian tunjangan kinerja di DKI Jakarta memiliki beberapa tujuan

utama. Berdasarkan Peraturan Gubernur Provinsi Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta Nomor 409 Tahun 2016 tentang Tunjangan Kinerja Daerah Pasal 2, tujuan pemberian tunjangan kinerja daerah adalah

a. meningkatkan kualitas pelayanan kepada masyarakat; b. meningkatkan disiplin PNS dan calon PNS;

c. meningkatkan kinerja PNS dan calon PNS;

d. meningkatkan keadilan dan kesejahteraan PNS dan calon PNS; e. meningkatkan integritas PNS dan calon PNS;

f. meningkatkan tertib administrasi pengelolaan keuangan daerah.

Berdasarkan tujuan di atas, diharapkan pemberian tunjangan kinerja daerah

berbasis penilaian prestasi kerja dapat meningkatkan kualitas PNS dan pelayanan kepada masyarakat.

Besaran tunjangan kinerja daerah yang ditetapkan oleh Pemerintah

Provinsi DKI Jakarta terhitung tinggi. Jumlah tunjangan kinerja tertinggi yang dapat diperoleh sekretaris daerah sebesar Rp127.710.000,00 dan jumlah terendah

(5)

mengenai jumlah anggaran belanja pegawai dan anggaran tunjangan kinerja Pemerintah Provinsi DKI Jakarta Tahun 2015--2017.

Grafik 1.1 Belanja Pegawai dan TKD (dalam Jutaan Rupiah)

2015 2016 2017

0 5000000 10000000 15000000 20000000 25000000

Belanja Pegawai TKD

Sumber: Data APBD DKI Jakarta Tahun 2015--2017

Grafik di atas menunjukkan bahwa belanja TKD memiliki porsi 50% dari total

belanja pegawai di Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Jumlah ini tergolong sangat besar untuk belanja pegawai maka penggunaannya diharapkan tepat sasaran dan

pada akhirnya dapat memberikan dampak yang positif pada kesejahteraan masyarakat.

Kebijakan terkait dengan tunjangan kinerja daerah berbasis penilaian

prestasi kerja ini merupakan suatu inovasi di lingkungan pemerintah daerah. Peraturan Gubernur DKI Jakarta Nomor 409 Tahun 2016 tentang Tunjangan

Kinerja Daerah menyebutkan bahwa dasar perhitungan tunjangan kinerja daerah ialah penilaian prestasi kerja. Bobot penilaian prestasi kerja bagi pegawai dengan jabatan administrasi dan fungsional ialah aktivitas kerja sebesar 70%, perilaku

(6)

pelayanan, integritas, komitmen, disiplin, kerja sama, dan kepemimpinan. Serapan anggaran SKPD/UKPD dihitung berdasarkan realisasi belanja bulanan kumulatif

yang dibagi dengan SPS belanja bulanan kumulatif.

Sebelum kebijakan mengenai tunjangan kinerja daerah berbasis penilaian prestasi kerja ini diberlakukan, Pemerintah Provinsi DKI masih menggunakan

sistem honorarium sebagai pemberian imbalan kerja kepada para pegawainya. Setelah diberlakukan kebijakan mengenai tunjangan kinerja daerah berbasis

penilaian prestasi kerja, anggaran untuk honorarium bagi pegawai dihapus. Pemberian imbalan kerja kepada pegawai tidak lagi menggunakan sistem honorarium.

Dalam Peraturan Gubernur Nomor 409 Tahun 2016 tentang Tunjangan Kinerja Daerah ditetapkan mekanisme perhitungan realisasi tunjangan kinerja

daerah dengan menggunakan basis penilaian prestasi kerja. Dalam mekanisme ini pegawai sangat berperan penting dalam perhitungan realisasi tunjangan kinerja daerah. Pegawai melakukan input aktivitas kerja, selanjutnya pegawai lain sebagai

atasan langsung melakukan validasi atas aktivitas stafnya dan menjadi dasar perhitungan realisasi tunjangan kinerja daerah. Persepsi pegawai menjadi penting

untuk diketahui terkait dengan penerapan kebijakan tunjangan kinerja daerah berbasis penilaian prestasi kerja yang terjadi di lapangan.

Pemberian tunjangan kinerja dengan nilai yang sangat besar di Pemerintah

Provinsi DKI Jakarta harus melalui mekanisme yang tepat sehingga kebijakan dan penerapannya menjadi hal penting dan dapat dipastikan berjalan sesuai dengan

(7)

tunjangan kinerja harus berdampak positif. Hal ini disebabkan penggunaan anggaran dengan jumlah yang besar hendaknya membawa penghematan dan

perubahan positif, bukan melainkan menjadi pemborosan anggaran. Sehubungan dengan hal tersebut, penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul “Persepsi Pegawai terhadap Tunjangan Kinerja Berbasis Penilaian Prestasi Kerja

(Studi pada BPKD dan Kelurahan Provinsi DKI Jakarta)”.

1.2.Rumusan Masalah

Jumlah anggaran yang besar untuk tunjangan kinerja pegawai di Pemerintah Provinsi DKI Jakarta harus disertai dengan mekanisme dan penerapan kebijakan yang tepat. Mekanisme dan penerapan kebijakan yang tidak tepat akan

mengakibatkan tujuan peningkatan kinerja menjadi sulit untuk terwujud, yang pada akhirnya tidak akan terjadi perubahan yang lebih baik di Lingkungan

Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dan hanya menjadi pemborosan anggaran. Penerapan kebijakan tunjangan kinerja daerah berbasis penilaian prestasi kerja harus mampu menghasilkan perubahan positif.

1.3.Pertanyaan Penelitian

Berdasarkan rumusan permasalahan yang telah dijelaskan, pertanyaan penelitian

ialah sebaga berikut.

1. Bagaimana persepsi pegawai terhadap penerapan tunjangan kinerja daerah yang berbasis penilaian prestasi kerja?

(8)

1.4.Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini ialah untuk

1. menganalisis persepsi pegawai terhadap penerapan tunjangan kinerja daerah yang berbasis penilaian prestasi kerja di Lingkungan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta;

2. menganalisis persepsi pegawai terhadap perubahan yang terjadi setelah ditetapkannya tunjangan kinerja daerah yang berbasis penilaian prestasi kerja.

1.5.Kontribusi Penelitian

1. Secara akademis penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran terkait dengan penerapan tunjangan kinerja daerah di Lingkungan

Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.

2. Secara praktis hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi

mengenai penerapan tunjangan kinerja di Lingkungan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta daerah bagi pihak lain ataupun pemerintah daerah lain.

1.6.Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan laporan penelitian ini dibagi menjadi lima bab yang diuraikan sebagai berikut.

BAB I : PENDAHULUAN

Bab ini berisi mengenai latar belakang penelitian, rumusan masalah penelitian, pertanyaan penelitian, tujuan penelitian,

(9)

BAB II : TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini berisi mengenai landasan teori yang berasal dari berbagai literatur guna mendukung analisis penelitian. Bab ini berguna

sebagai dasar kerangka berpikir dalam melakukan penelitian dengan mempertimbangkan teori–teori dan penelitian

sebelumnya.

BAB III : METODE PENELITIAN

Bab ini berisi mengenai pendekatan penelitian, jenis penelitian,

lokasi dan sumber informasi penelitian, teknik pengumpulan data, analisis data dan pengujian data penelitian. Hal ini berguna

sebagai panduan dalam melakukan pengolahan data penelitian menjadi simpulan yang memiliki validitas yang tinggi.

BAB IV : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Bab ini akan berisi mengenai hasil dari penelitian mengenai persepsi pegawai terhadap tunjangan kinerja daerah yang berbasis

penilaian prestasi kerja serta perubahan sebelum dan sesudah diterapkannya kebijakan tunjangan kinerja daerah yang berbasis penilaian prestasi kerja.

BAB V : SIMPULAN

(10)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1.Tunjangan Kinerja

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia arti kata tunjangan adalah uang

(barang) yang dipakai untuk menunjang; tambahan pendapatan di luar gaji sebagai bantuan sokongan; bantuan. Selanjutnya, arti kata kinerja adalah sesuatu yang

dicapai; prestasi yang diperlihatkan; kemampuan kerja. Dapat disimpulkan bahwa tunjangan kerja ialah tambahan pendapatan di luar gaji dalam bentuk uang (barang) atas prestasi yang telah dicapai.

Tunjangan kinerja menurut Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 63 Tahun 2011 tentang Pedoman

Penataan Sistem Tunjangan Kinerja Pegawai Negeri merupakan fungsi dari keberhasilan pelaksanaan reformasi birokrasi atas dasar kinerja yang telah dicapai oleh seorang individu pegawai, tetapi kinerja individu harus sejalan dengan

kinerja yang hendak dicapai oleh instansinya. Tunjangan kinerja dalam pelaksanaan reformasi birokrasi menggunakan prinsip–prinsip

efisiensi/optimalisasi pagu anggaran belanja kementerian/lembaga dan pemerintah daerah dan equal pay for equal work, yaitu pemberian besaran tunjangan kinerja yang sesuai dengan jabatan dan pencapaian kinerja.

Tunjangan kinerja menurut Peraturan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor 409 Tahun 2016 tentang Tunjangan Kinerja Daerah adalah tunjangan

(11)

kerja. Menurut sumber yang sama, penilaian prestasi kerja adalah hasil kerja yang dicapai oleh setiap PNS dan calon PNS pada SKPD/UKPD sesuai dengan

aktivitas kerja, perilaku kerja, pencapaian KPI, tindak lanjut arahan gubernur, tindak lanjut pengaduan masyarakat, dan serapan anggaran. Tunjangan kinerja sangat berhubungan positif dengan penilaian prestasi kerja pegawai.

2.1.1. Pay for Performance

Tunjangan kinerja seringkali dikaitkan dengan konsep pay for

performance, yaitu pemberian tunjangan berdasarkan kinerja pegawai sehingga jumlah tunjangan yang diterima akan bervariasi. Di Indonesia pemberian gaji dan tunjangan kepada PNS sebagian besar masih menganut konsep pay as entitlement

atau tunjangan jabatan, yaitu pemberian tunjangan berdasarkan posisi jabatan pegawai dan jumlah yang diterima akan tetap. Menurut Milkovich dan Newman

(1999) dalam Kumorotomo (2011:3) perbedaan antara kedua konsep tersebut ialah sebagai berikut.

The major thing all these names have in common is a shift in thinking about compensation. We used to think of pay as primarily an entitlement --if you went to work and did well enough to avoid being fired, you were entitled to the same size check as everyone else. Pay-for performance plans signal a movement away from entitlement -- sometimes a very slow movement -- towards pay that varies with some measure of individual or organizational performance.

Menurut Kumorotomo (2011), perbaikan pemberian tunjangan kepada pegawai pemerintah tidak akan banyak mengubah kinerja ke arah yang lebih baik jika tidak

(12)

pendapatan PNS saja, tetapi melalui perbaikan mekanisme pemberian tunjangan yang berdasarkan kinerja pegawai. Hal ini diharapkan dapat meningkatkan kinerja

pegawai yang pada akhirnya berdampak pada peningkatan kualitas pelayanan kepada masyarakat.

2.1.2. Tunjangan Kinerja dan Prinsip Keadilan

Tunjangan sering kali dinilai tidak adil karena berdasarkan persepsi setiap pihak yang berkepentingan. Hal ini disebabkan pandangan yang berbeda-beda

terkait dengan sistem perhitungan tunjangan yang diberikan. Persepsi ketidakadilan terkait dengan tunjangan dapat menimbulkan kecemburuan yang pada akhirnya menjadikan proses pencapaian tujuan organisasi tidak dapat

terlaksana dengan baik.

Amstrong dan Murlis (2004) dalam Oktavia (2008) menyatakan bahwa

nilai–nilai dasar pemberian insentif atau tunjangan yang berupa penghargaan bagi anggota organisasi secara umum dipengaruhi keyakinan berikut.

a. Keadilan (fairness) ialah manajemen memberikan penghargaan secara

baik sesuai dengan prinsip distribusi dan prosedur yang adil tanpa memandang individu pegawai.

g. Kewajaran (equity) ialah pegawai menerima penghargaan sesuai dengan kepatuhan.

h. Konsisten (consistency) ialah dalam memberikan penghargaan tidak

ada perubahan yang disebabkan oleh perbedaan orang ataupun waktu. i. Transparan (transparency) ialah semua pegawai dalam organisasi

(13)

pegawai, alasan dalam memberikan insentif dijelaskan kepada pegawai ketika keputusan dibuat.

Keyakinan–keyakinan di atas merupakan dasar yang sebaiknya diterapkan dalam pemberian tunjangan agar tujuan organisasi dapat tercapai. Selain itu, diharapkan pemberian tunjangan, sebagai penghargaan, dapat dirasakan oleh penerima

tunjangan atau pegawai.

Keadilan organisasional, menurut Gibson et al. (2012), adalah tingkat

persepsi seorang individu yang merasa diperlakukan sama di organisasi tempat dia bekerja, sedangkan Colquitt et al. (2009) mengemukakan bahwa keadilan organisasional adalah persepsi adil dari seseorang terhadap keputusan yang

diambil oleh atasannya. Menurut Dyna dan Graham (2005) dalam Kristanto (2015) keadilan organisasi dapat diketahui dengan mengukur tiga hal berikut.

a. Keadilan yang Berkaitan dengan Kewajaran Alokasi Sumber Daya Organisasi dapat dikatakan adil oleh pegawai jika memberikan gaji sesuai

dengan hasil kerja yang dilakukan oleh pegawai.

j. Keadilan dalam Proses Pengambilan Keputusan

Organisasi dapat dikatakan adil oleh pegawai apabila dalam pengambilan

keputusan, karyawan diberikan kesempatan untuk menyuarakan pendapat dan pandangannya. Selain itu, setelah pengambilan keputusan dilakukan, apabila pelaksanaan keputusan tersebut dinilai

(14)

Organisasi dapat dikatakan adil oleh pegawai apabila terjadi hubungan baik antara atasan dan bawahan, seperti mendapatkan perlakukan yang

baik dan sewajarnya. Selain itu, kejujuran dan kebenaran informasi yang didapatkan dari atasan juga memengaruhi persepsi keadilan organisasional dari karyawan.

2.2.Penilaian Kinerja

Penilaian kinerja menurut Purwandari (2016) adalah suatu sistem penilaian

secara berkala terhadap kinerja pegawai yang mendukung kesuksesan organisasi atau yang terkait dengan pelaksanaan tugasnya. Menurut Kementerian Pendidikan Nasional dalam rancangan buku panduan kebijakan pengelolaan kinerja individu

tahun 2010, dinyatakan bahwa penilaian kinerja adalah proses meninjau kemajuan pekerjaan pegawai serta menilai potensinya untuk promosi di masa mendatang.

Simanjuntak (2005) menyatakan bahwa penilaian kinerja ialah suatu gambaran yang sistematis tentang kebaikan dan kelemahan dari pekerjaan individu atau kelompok meskipun terdapat masalah teknis (seperti pemilihan format) dan

masalah manusianya sendiri (seperti resistensi penilai atau hambatan hubungan antarindividu) yang semuanya itu tidak dapat teratasi oleh penilaian kinerja. Dapat

disimpulkan bahwa penilaian kinerja adalah sistem penilaian yang dilakukan pada rentang waktu tertentu secara berkala atas hasil pekerjaan pegawai sesuai dengan ketentuan guna mencapai tujuan organisasi.

2.2.1. Tujuan dan Manfaat Penilaian Kinerja

(15)

perbaikan dalam suatu organisasi. Penilaian kinerja dapat digunakan untuk memotivasi pegawai agar bekerja sesuai dengan standar yang ditetapkan dengan

timbal balik, yaitu penghargaan yang diberikan oleh organisasi atau lembaga tempatnya bekerja. Selanjutnya, penilaian kinerja juga dapat dijadikan tolok ukur dalam menilai pencapaian pelaksanaan kegiatan berdasarkan rencana strategis

sehingga dapat diketahui kemajuan organisasi serta dapat pula ditingkatkan kualitas pengambilan keputusan dan akuntabilitas. Manfaat penilaian kinerja

menurut Wether dan Davis (1996) adalah sebagai berikut.

a. Performance improvement adalah memungkinkan pegawai dan manajer untuk mengambil tindakan yang berhubungan dengan

peningkatan kinerja.

l. Compensation adjustment adalah membantu para pengambil

keputusan untuk menentukan pegawai yang berhak menerima kenaikan gaji atau sebaliknya.

m. Placement decision adalah menentukan promosi, rotasi, atau demosi.

n. Training and development needs adalah mengevaluasi kebutuhan pelatihan dan pengembangan bagi pegawai agar kinerja mereka lebih

optimal.

o. Career planning and development adalah memandu dalam penentuan jenis karier dan potensi karier yang akan dicapai.

(16)

q. Informational inaccuracies and job-design errors adalah membantu menjelaskan kesalahan yang telah terjadi dalam manajemen sumber

daya manusia.

r. Equal employment opportunity adalah menunjukkan penempatan pegawai yang tidak diskriminatif.

s. External challenges adalah membantu mengetahui faktor–faktor eksternal yang memengaruhi pegawai dalam melaksanakan tugasnya.

t. Feedback adalah memberikan umpan balik bagi bagian kepegawaian ataupun bagi pegawai.

2.2.2 Standar dan Bias Penilaian Kinerja

Dalam penetapan penilaian kinerja sangat diperlukan standar yang jelas. Hal ini disebabkan standar penilaian kinerja akan menjadi tolak ukur terhadap

jabatan yang akan dinilai. Hal tersebut diharapkan akan memenuhi ketentuan bahwa hasil penilaian dapat menunjukkan keadaan yang sebenarnya sehingga informasi yang dihasilkan valid dan dapat digunakan sebagai dasar pengambilan

keputusan yang tepat. Terkait dengan standar penilaian yang baik, Wether dan Davis (1996) menyebutkan bahwa terdapat empat hal yang harus diperhatikan

dalam penyusunan standar penilaian, yaitu

a. validity, standar penilaian harus sesuai dan relevan dengan jenis pekerjaan yang akan dinilai;

(17)

v. realism, standar penilaian tersebut dapat dicapai oleh para pegawai dan sesuai dengan kemampuan pegawai;

w. objectivity, standar penilaian harus objektif, adil, dan mampu mencerminkan keadaan yang sebenarnya.

Standar di atas seharusnya dapat dipenuhi oleh organisasi yang akan menyusun

penilaian kinerja, tetapi setiap kebijakan tentunya memiliki kelemahan-kelemahan tersendiri. Hal yang terpenting ialah upaya perbaikan yang dilakukan

terus-menurus sehingga tercapai suatu kebijakan yang tepat.

Penilaian kinerja, menurut Wether dan Davis (1996), memiliki bias yang mungkin dapat terjadi. Berikut penjabaran bias-bias yang dapat terjadi.

a. Hallo effect, yaitu penilaian pribadi penilai terhadap pegawai yang dinilainya, baik penilaian positif maupun negatif yang pada akhirnya

berpengaruh terhadap penilaian kinerja.

x. Central tendency adalah penilaian kinerja yang cenderung pada tingkat rata–rata. Hal ini disebabkan penilai menghindari nilai yang

terlalu tinggi ataupun terlalu rendah atas kinerja pegawai yang dinilainya.

y. Leniency and severity effect adalah penilai cenderung memberi pendapat yang baik terhadap pegawai. Hal ini disebabkan penilai beranggapan bahwa mereka harus berbuat baik. Hal sebaliknya dapat

(18)

z. Assimilation and differential effect atau assimilation effect adalah keadaan ketika penilai cenderung menyukai pegawai yang memiliki

sifat atau ciri-ciri seperti mereka sehingga memberikan nilai yang lebih baik kepada pegawai yang dinilai memiliki kesamaan dengannya. Lain hal dengan differential effect ialah keadaan ketika

penilai cenderung menyukai pegawai yang memiliki sifat atau ciri–ciri yang berbeda dengannya, tetapi sifat atau ciri–ciri tersebutlah yang

sebenarnya ia inginkan sehingga penilai akan memberikan nilai yang lebih baik.

aa. First impression error adalah penilai yang mengambil simpulan

mengenai pegawai berdasarkan kontak pertama mereka dan cenderung membawa kesan tersebut dalam penilaiannya pada jangka waktu yang

lama.

bb. Recency effect adalah penilai cenderung memberikan nilai atas dasar perilaku yang baru saja mereka saksikan sehingga melupakan perilaku

yang lalu selama jangka waktu penilaian.

Bias–bias di atas sangat mungkin terjadi pada proses penilaian kinerja pegawai.

Mengenai hal ini perlu dilakukan evaluasi secara berkala guna memastikan bias– bias tersebut tidak akan menciptakan penilaian kinerja yang tidak valid.

2.3 Persepsi

Berdasarkan KBBI, arti kata persepsi adalah tanggapan (penerimaan) langsung dari sesuatu; serapan. Menurut Robin (2008) dalam Purwandari (2016),

(19)

kesan–kesan mereka agar memberikan makna di lingkungan yang dipengaruhi oleh pelaku, target, dan situasi. Purwandari (2016) menyatakan bahwa kunci

memahami persepsi terletak pada pengenalan bahwa persepsi merupakan suatu penaksiran yang unik terhadap situasi dan bukannya suatu pencatatan yang benar terhadap situasi. Pratiwi (2014) menjelaskan bahwa persepsi kinerja ialah proses

mental seseorang untuk mengenali stimulus atau memahami informasi tentang hasil kerja yang dapat dicapai, yaitu berupa perilaku-perilaku atau

tindakan-tindakan yang relevan terhadap dicapainya tujuan organisasi. Menurut Hiam dan Schewe (1994) dalam Pristiyanti (2012), persepsi ialah proses pemberian arti oleh seseorang atas berbagai rangsangan atau stimulus yang diterimanya dan dari

proses tersebut seseorang mempunyai opini tertentu mengenai apa yang diamatinya. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa persepsi ialah tanggapan

langsung dalam menafsirkan informasi atau kesan–kesan mengenai suatu situasi dalam lingkungan dari seseorang atau kelompok yang bersifat unik, tetapi bukan berarti selalu benar.

Kreitner dan Kinicki (2001) dalam Pinasti (2007) menjelaskan empat tahap pemrosesan informasi dalam pembentukan persepsi, yaitu sebagai berikut.

a. Tahap perhatian selektif (selective attention), merupakan proses timbulnya kesadaran akan sesuatu atau seseorang.

b. Tahap interprestasi dan penyederhanaan (encoding and simplification),

(20)

c. Tahap penyimpanan dan pengulangan (storage and retention),

merupakan tahap penyimpanan informasi dalam memori jangka

panjang.

d. Tahap penarikan informasi dan pemberian respons (retrieval and response), merupakan tahap seseorang dalam membuat pertimbangan

dan mengambil keputusan.

Tahap encoding and simplifycation memungkinkan dihasilkannya

interpretasi dan evaluasi yang berbeda atas seseorang atau suatu kejadian yang sama. Perbedaan ini dapat disebabkan oleh perbedaan informasi, pengaruh emosi, menerapkan kategori kognitif terkini, dan

perbedaan individual.

Menurut Robbins (2001), terdapat tiga faktor utama yang

(21)

Gambar 2.1 Faktor-Faktor yang Terkait Persepsi (Robbins, 2001)

2.4 Implementasi Kebijakan

Implementasi kebijakan merupakan tahapan sulit dari suatu tujuan diterapkannya peraturan atau kebijakan pemerintah. Tahap ini menentukan keberhasilan pembuat kebijakan dalam mencapai tujuannya. Teori terkait

implementasi kebijakan yang dikemukakan oleh Daniel A. Mazmanian dan Paul A. Sabatier (1983) dalam Misnawati (2010) menyatakan bahwa ada tiga

kelompok variabel yang memengaruhi keberhasilan implementasi kebijakan.

1. Karakteristik Masalah

Karakteristik masalah meliputi hal-hal berikut:

(22)

cc. tingkat kemajemukan dari kelompok sasaran, yaitu kondisi homogen kelompok sasaran yang akan lebih mudah suatu kebijakan

diimplementasikan;

dd. presentase kelompok sasaran terhadap total populasi, yaitu suatu program akan lebih mudah diimplementasikan ketika sasarannya

hanyalah sekelompok orang tertentu atau hanya sebagian kecil dari semua populasi;

2. Karakteristik Kebijakan

Karakteristik Kebijakan meliputi hal-hal berikut:

a. kejelasan isi, yaitu kebijakan dengan isi yang jelas akan memudahkan implementasinya serta menghindari adanya distorsi atau penyimpangan dalam pengimplementasiannya;

ee. dukungan teoretis terkait kebijakan, yaitu dukungan teoretis akan lebih memantapkan suatu kebijakan karena sudah teruji; pada permasalahan sosial terkadang diperlukan adanya modifikasi;

ff. besarnya alokasi financial terhadap kebijakan, yaitu alokasi financial

diperlukan untuk menjamin terlaksananya tujuan kebijakan yang

memerlukan sumber daya;

gg. dukungan antarberbagai institusi pelaksana, yaitu implementasi suatu kebijakan akan sukses jika terjadi koordinasi yang baik antarberbagai

instansi terkait secara vertikal ataupun horizontal;

(23)

konsistensi agar tidak terjadi kerancuan yang menyebabkan kegagalan pengimplementasian;

ii. tingkat komitmen aparat terhadap tujuan kebijakan, yaitu komitmen yang kuat dari aparatur dalam melaksanakan tugas serta mencakup keseriusan agar penerapan suatu kebijakan dapat berjalan dengan baik,

diterima, dan dipatuhi oleh sasaran dari kebijakan tersebut,

jj. akses kelompok-kelompok luar untuk berpartisipasi dalam implementasi kebijakan,

3. Variabel Lingkungan

Variabel lingkungan meliputi hal-hal berikut:

a. kondisi sosial ekonomi dan tingkat kemajuan ekonomi, yaitu kondisi sosial ekonomi yang terbuka dan maju akan lebih mudah menerima

program-program pembaharuan; tingkat kemajuan teknologi akan mempermudah implementasi suatu kebijakan karena dapat dilakukan dengan menggunakan program yang lebih jelas;

kk. dukungan publik, yaitu dukungan publik akan semakin besar ketika kebijakan terkait dengan insentif, tetapi akan semakin sedikit ketika

terkait dengan disinsentif;

ll. sikap dari kelompok pemilih, yaitu kelompok pemilih dapat melakukan intervensi terkait dengan implementasi kebijakan;

(24)

2.5 Tunjangan Kinerja Daerah Berdasarkan Penilaian Prestasi Kerja di Provinsi DKI Jakarta

Kebijakan mengenai tunjangan kinerja daerah terbaru dituangkan dalam Peraturan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor 409 Tahun 2016 tentang Tunjangan Kinerja Daerah. Sistem perhitungan tunjangan kinerja daerah

dilakukan berdasarkan penilaian prestasi kerja. Penilaian prestasi kerja merupakan hasil kerja yang dicapai oleh setiap PNS dan calon PNS pada SKPD/UKPD sesuai

dengan aktivitas kerja, perilaku kerja, pencapaian KPI, tindak lanjut arahan Gubernur, tindak lanjut pengaduan masyarakat, dan serapan anggaran.

Kebijakan tunjangan kinerja daerah di Provinsi DKI Jakarta membagi

pegawai menjadi 2 bagian utama, yaitu jabatan pimpinan tinggi dan jabatan administrator/pengawas/pelaksana/fungsional/calon PNS. Berikut bobot penilaian

tunjangan kinerja berdasarkan kelompok jabatan. 1. Jabatan Pimpinan Tinggi

a. pencapaian KPI sebesar 60%,

b. tindak lanjut arahan gubernur sebesar 10%,

nn. tindak lanjut pengaduann masyarakat sebesar 10%, dan

oo. capaian serapan anggaran SKPD/UKPD sebesar 20%. 2. Jabatan Aministrator/Pengawas/Pelaksana/Fungsional/Calon PNS

a. aktivitas kerja sebesar 70%,

b. perilaku kerja sebesar 10%, dan

(25)

Berdasarkan bobot di atas, aktivitas kerja menempatkan porsi paling besar. Aktivitas kerja merupakan kegiatan–kegiatan yang dilakukan oleh PNS dan calon

PNS yang berhubungan dengan tugas dan fungsi atau tugas–tugas lain yang diberikan oleh atasan yang berhubungan dengan kedinasan.

.5.1 Penilaian Prestasi Kerja pada Jabatan Administrator/Pengawas/ Pelaksana/Fungsional/Calon PNS di Provinsi DKI Jakarta

Penilaian prestasi kerja pada jabatan administrator/pengawas/pelaksana/

fungsional/calon PNS dilakukan berdasarkan aktivitas kerja, perilaku kerja, dan capaian serapan anggaran. Pada aktivitas kerja akan dilakukan penilaian berdasarkan pekerjaan yang telah dilakukan oleh pegawai sesuai dengan tupoksi

yang telah ditetapkan. Setiap hari pegawai wajib melakukan input data atas pekerjaan yang telah dilakukan. Berikut Gambar 2.1 yang memperlihatkan format

pengisian aktivitas kerja pegawai.

Waktu Aktivitas Keterangan Volume Status

Gambar 2.2 Format Pengisian Aktivitas Kerja Pegawai (Pemerintah Provinsi DKI Jakarta)

Kolom waktu akan berisi tanggal dan jangka waktu yang digunakan untuk mengerjakan suatu pekerjaan. Kolom aktivitas akan berisi jenis tupoksi atas

(26)

akan berisi persetujuan atasan langsung terkait dengan pekerjaan yang dilakukan pegawai.

Peraturan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor 409 Tahun 2016 tentang Tunjangan Kinerja Daerah Pasal 15 menyatakan bahwa penilaian perilaku kerja memiliki beberapa aspek sebagai berikut.

a. Orientasi layanan ialah sikap dan perilaku kerja PNS dalam memberikan pelayanan terbaik kepada yang dilayani, antara lain

masyarakat, atasan, rekan kerja, unit kerja terkait, dan/atau instansi lain.

pp. Integritas ialah kemampuan untuk bertindak sesuai dengan nilai,

norma, dan etika dalam organisasi.

qq. Komitmen ialah kemauan dan kemampuan untuk menyelaraskan sikap

dan tindakan PNS untuk mewujudkan tujuan organisasi dengan mengutamakan kepentingan diri sendiri, seseorang dan/atau golongan. rr. Disiplin ialah kesanggupan PSN untuk menaati kewajiban dan

menghindari larangan yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan dan/atau peraturan kedinasan yang apabila tidak ditaati atau

dilanggar dijatuhi hukuman disiplin.

ss. Kerja sama ialah kemauan dan kemampuan PNS untuk bekerja sama dengan rekan sekerja, atasan, bawahan dalam unit kerjanya, serta

instansi lain dalam menyelesaikan suatu tugas dan tanggung jawab yang diberikan sehingga mencapai daya guna dan hasil guna yang

(27)

tt. Kepemimpinan ialah kemampuan dan kemauan PNS untuk memotivasi dan memengaruhi bawahan atau orang lain yang berkaitan

dengan bidang tugasnya demi tercapainya tujuan organisasi.

Penilaian perilaku kerja pegawai dilakukan dalam kurun waktu satu bulan sekali,

dengan melakukan pengamatan dan pengawasan oleh atasan langsung pegawai bersangkutan.

Serapan anggaran SKPD/UKPD merupakan perhitungan realisasi belanja bulanan kumulatif dibagi dengan serapan perkiraan sendiri (SPS) belanja bulanan kumulatif. Perhitungan serapan anggaran dilakukan oleh setiap kepala

(28)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Pendekatan dan Jenis Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan metode studi kasus. Penelitian kualitatif menurut Creswell (2014:4) adalah

…. is an approach for exploring and understanding the meaning individuals or group ascribe to a social or human problem. The process of research involves emerging questions and procedures, data typically collected in the participant’s setting, data analysis inductively building from particular to general themes, and the researcher making interpretations of the meaning of the data. The final written report has flexible structure.

Menurut Creswell (2014), studi kasus merupakan desain penelitian yang di dalamnya peneliti menyelidiki secara cermat suatu program, peristiwa, aktivitas,

proses, atau sekelompok individu. Kasus–kasus dibatasi oleh waktu dan aktivitas sehingga peneliti mengumpulkan informasi yang lengkap dengan menggunakan

berbagai prosedur pengumpulan data berdasarkan waktu yang telah ditentukan. Menurut Yin (2014), metode yang tepat untuk menjawab pertanyaan mengapa dan bagaimana adalah metode studi kasus karena studi kasus adalah

suatu inkuiri empiris yang menyelidiki fenomena dalam konteks kehidupan nyata, jika batas–batas antara fenomena dan konteks tidak tampak dengan tegas, dan

(29)

Penelitian ini menggunakan penelitian studi kasus jamak (multiple case study), yaitu penelitian yang menggunakan banyak (lebih dari satu) isu atau kasus

di dalam satu penelitian (Creswell, 2014). Penelitian ini menggunakan kasus yang terjadi di BPKD dan Kelurahan Provinsi DKI Jakarta. Kedua SKPD tersebut memiliki potensi perbedaan persepsi atas tunjangan kinerja daerah yang berbasis

penilaian prestasi kerja.

Tujuan penelitian studi kasus, menurut Creswell (2014), adalah untuk

memahami atau menjelaskan perilaku dan kepercayaan, mengidentifikasi proses, dan memahami konteks pengalaman masyarakat/kelompok. Orang–orang yang terlibat dalam populasi penelitian disebut sebagai partisipan karena mereka

dianggap berpartisipasi dalam penelitian dengan membahas dan membagi cerita atau pendapatnya dalam sebuah diskusi atau wawancara. Karena sifat mendalam

dari penelitian kualitatif, peserta penelitian yang diperlukan tidak terlalu banyak. Tujuannya ialah mencapai kedalaman informasi bukan keluasan informasi.

3.2. Lokasi dan Sumber Informasi

Penelitian ini dilakukan di Lingkungan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, khususnya di BPKD dan Kelurahan di Provinsi DKI Jakarta. Hal ini disebabkan

kedua SKPD tersebut memiliki perbedaan dalam berbagai hal. BPKD dan kelurahan memiliki perbedaan mendasar terkait dengan penerapan TKD yang berbasis penilaian prestasi kerja. Perbedaan tersebut di antaranya meliputi

(30)

Perbedaan-perbedaan tersebut mungkin saja dapat berpengaruh terhadap penerapan kebijakan TKD yang berbasis penilaian prestasi kerja.

Wawancara akan dilalukan dengan konsep semiterstruktur. Daftar pertanyaan akan disiapkan, tetapi tidak menutup kemungkinan wawancara akan mengikuti alur pendapat dari partisipan. Hal ini dilakukan untuk memastikan

partisipan dapat menyampaikan pendapatnya secara nyaman sehingga dapat diperoleh diperoleh data yang andal. Partisipan dalam penelitian ini ialah pegawai

di BPKD, kelurahan, dan BKD Provinsi DKI Jakarta. Wawancara akan dilakukan kepada pegawai yang mendapatkan tunjangan kinerja daerah serta atasan langsung pegawai tersebut sebagai penilai. Hal ini dilakukan untuk mendapatkan data

penelitian yang lebih mendalam serta upaya meningkatkan validitas data.

3.3. Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data merupakan langkah penting dalam melakukan penelitian karena tujuan utama penelitian ialah mendapatkan data yang akurat dan menganalisis data-data tersebut. Penelitian ini menggunakan metode penelitian

kualitatif dengan dua teknik pengumpulan data. 1. Dokumentasi

Menurut Sugiyono (2014), dokumentasi dapat berbentuk tulisan, gambar atau karya–karya dari seseorang. Dalam penelitian ini diggunakan data yang berasal dari peraturan–peraturan terkait tunjangan kinerja daerah dan laporan penilaian

(31)

2. Wawancara

Wawancara merupakan teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan cara

melakukan tanya jawab langsung dengan para partisipan guna mendapatkan informasi terkait dengan topik penelitian. Penelitian ini menggunakan teknik wawancara mendalam dengan beberapa partisipan yang berasal dari BPKD dan

BKD di Provinsi DKI Jakarta.

3.4. Analisis Data

Menurut Sugiyono (2014), analisis data dalam penelitian kualitatif merupakan proses mencari dan menyusun secara sistematis data yang diperoleh dari hasil wawancara, catatan lapangan, dan dokumentasi dengan cara

mengorganisasikan data ke dalam kategori, menjabarkan ke dalam unit–unit, melakukan sintesa, menyusun ke dalam pola, memilih mana yang penting dan

yang akan dipelajari, dan membuat simpulan sehingga mudah dipahami oleh diri sendiri ataupun orang lain. Proses analisis data kualitatif terdiri atas reduksi data, penyajikan data, dan pengambilan simpulan.

3.4.1. Reduksi Data

Reduksi data merupakan langkah pertama dalam data analisis data

kualitatif setelah tahap pengumpulan data. Reduksi data, menurut Sugiyono, (2014) merupakan proses merangkum, memilih hal–hal pokok, memfokuskan pada hal-hal yang penting, mencari tema dan pola, dan membuang hal–hal yang

(32)

Tahap reduksi data akan merangkum, memilih, dan memfokuskan pada hal–hal penting terkait dengan topik penelitian sehingga dapat membentuk tema

dan pola terkait dengan tujuan penelitian. Penelitian ini terfokus pada persepsi pegawai yang memiliki perbedaan jenis tupoksi terhadap tunjangan kinerja daerah berbasis penilaian prestasi kerja.

3.4.2. Penyajian Data

Tahap selanjutnya dalam analisis data kualitatif adalah penyajian data.

Menurut Miles dan Huberman (1994) dalam Sugiyono (2014), penyajian data yang paling sering digunakan adalah teks yang bersifat naratif, grafik, matriks,

network, dan chart. Penelitian ini menjadikan data dalam bentuk teks yang

bersifat naratif untuk menyajikan hasil penelitian dengan menggunakan teknik wawancara serta dalam bentuk grafik dan matriks pada penelitian dengan

menggunakan teknik dokumentasi.

3.4.3. Pengambilan Simpulan

Pada tahap menarik simpulan dan verifikasi, dijelaskan oleh Sugiyono

(2014) bahwa simpulan awal yang dikemukakan masih bersifat sementara dan akan berubah apabila tidak ditemukan bukti–bukti kuat yang mendukung pada

tahap pengumpulan data berikutnya. Namun, apabila simpulan awal tersebut didukung oleh bukti yang kuat dan konsisten, simpulan tersebut merupakan simpulan yang dapat dipercaya.

(33)

tersebut. Verifikasi dilakukan dengan melihat kembali reduksi data dan penyajian data sehingga simpulan yang diambil tidak menyimpang dari data yang dianalisis.

3.5. Pengujian Data

Sugiyono (2014) menyatakan bahwa validitas merupakan derajat ketepatan antara data yang terjadi pada objek penelitian dengan data yang dapat

dilaporkan oleh peneliti. Temuan atau data dapat dinyatakan valid apabila tidak terdapat perbedaan antara laporan penelitian dengan apa yang sesungguhnya

terjadi di lapangan.

Penelitian ini menguji data dengan menggunakan metode triangulasi. Triangulasi ialah teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu

yang lain (Moleong, 2012). Triangulasi yang akan digunakan adalah triangulasi sumber, yaitu akan dilakukan wawancara kepada beberapa sumber dengan

(34)

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

.1 Pengumpulan Data

Penelitian ini menggunakan metode dokumentasi terhadap

peraturan-peraturan terkait dengan TKD yang berbasis penilaian prestasi kerja di DKI Jakarta dan hasil penilaian aktivitas kerja pegawai. Selanjutnya, penggambilan

daya dilakukan dengan menggunakan teknik wawancara mendalam dengan para pegawai yang terlibat dalam perhitungan realisasi TKD dan pegawai yang menjadi pihak penyusun kebijakan. Langkah-langkah tersebut ditampilkan pada

Gambar 4.1.

Gambar 4.1 Langkah-langkah penelitian

Langkah pertama yang dilakukan untuk dapat menjawab pertanyaan dan memperoleh tujuan penelitian ialah dengan melakukan dokumentasi terhadap

Dokumentasi peraturan-peraturan terkait TKD dan laporan hasil penilaian aktivitas kerja pegawai, dilanjutkan dengan melakukan wawancara mendalam kepada pegawai di BPKD, BKD, dan Kelurahan.

(35)

peraturan-peraturan ataupun dokumen yang terkait dengan TKD yang berbasis penilaian prestasi kerja. Adapun peraturan dan dokumen yang digunakan adalah

1. Peraturan Gubernur Nomor 409 Tahun 2016 tentang Tunjangan Kinerja Daerah;

2. Peraturan Gubernur Nomor 217 Tahun 2015 tentang Jenis Aktivitas

Tunjangan Kinerja Daerah;

3. Peraturan Gubernur Nomor 218 Tahun 2015 tentang Mekanisme Perhitungan

Pembayaran Tunjangan Kinerja Daerah;

4. Data anggaran Pemerintah Provinsi DKI Jakarta Tahun 2014 sampai dengan 2017.

Penelitian ini selanjutnya menggunakan metode wawancara mendalam untuk memperoleh informasi dari pegawai Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.

Wawancara dilakukan di kantor BPKD, BKD, dan Kelurahan di Lingkungan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dengan durasi wawancara antara 15 menit sampai dengan 60 menit. Partisipan yang telah menyatakan kesediaannya untuk

(36)

13 MIK Kelurahan Pelaksana

14 E Kelurahan Pelaksana

Partisipan telah memberikan informasi terkait dengan TKD berbasis penilaian prestasi kerja berdasarkan pengetahuan, pengalaman, dan wewenang yang

dimilikinya. Hasil wawancara partisipan di atas disajikan dalam bentuk transkrip wawancara.

4.1. Penerapan Tunjangan Kinerja Daerah Berbasis Penilaian Prestasi Kerja

Kebijakan terkait dengan TKD berbasis penilaian prestasi kerja yang

berlaku saat ini adalah Peraturan Gubernur Nomor 409 Tahun 2016 tentang Tunjangan Kinerja Daerah. Peraturan gubernur terkait dengan TKD memang

sering kali mengalami perubahan, sejak ditetapkan pada tahun 2014 telah dilakukan perubahan peraturan gubernur sebanyak empat kali. Hal ini disebabkan adanya evaluasi pada setiap kali peraturan TKD dijalankan di lapangan. Hasil

evaluasi penerapan di lapangan menjadi bahan pertimbangan disusunnya kebijakan baru terkait TKD.

Pembahasan dalam penelitian ini ialah penerapan TKD berbasis penilaian prestasi kerja dengan pedoman peraturan yang berlaku saat ini pada BKPD dan Kelurahan di Lingkungan Provinsi DKI Jakarta. Pelaksanaan penilaian prestasi

(37)

Gambar 4.2 Perhitungan Prestasi Kerja

.2.1 Aktivitas Kerja

Aktivitas kerja memiliki bobot nilai tertinggi pada prestasi kerja. Setiap pegawai wajib melalukuan input data terkait dengan pekerjaannya setiap hari ke dalam sistem e-Kinerja yang isinya merujuk pada Peraturan Gubernur Nomor 217

Tahun 2015 tentang Jenis Aktivitas Tunjangan Kinerja Daerah. Atasan langsung setiap pegawai memiliki kewajiban untuk melakukan validasi. Dasar untuk

melakukan validasi aktivitas kerja pegawai ialah disposisi atasan, hal ini merupakan bentuk pencegahan terhadap kecurangan dalam pengisian aktivitas kerja. Validasi aktivitas kerja dilakukan paling lambat tanggal 8 bulan berikutnya.

Apabila tidak melakukan validasi aktivitas kerja bawahannya, atasan langsung dijatuhi hukuman berupa pemotongan TKD sebesar 40% dalam bulan yang

bersangkutan.

Perhitungan aktivitas kerja sebagai salah satu dasar realisasi TKD pegawai dilakukan menggunakan sistem e-Kinerja. Berikut metode perhitungan

(38)

Gambar 4.3 Metode Perhitungan Pencapaian Kinerja

Nilai aktivitas kerja menggunakan nilai terkecil antara capaian dan batasan maksimal waktu efektif. Penilaian aktivitas kerja diharapkan mampu

meningkatkan motivasi menyelesaikan pekerjaan pada setiap pegawai. Dengan metode TKD berbasis penilaian prestasi kerja, setiap pegawai berupaya

memperoleh tugas harian sebanyak-banyaknya guna mendapatkan poin maksimal. Hal ini tentu saja membawa dampak positif bagi organisasi. Hal tersebut sesuai dengan petikan wawancara sebagai berikut.

“…kemudian pegawai-pegawai jadi tambah rajin Mbak, rajin tambah belajar untuk dapat pekerjaan yang lebih banyak, artinya kalau dulu ada pemikiran kerja ngga kerja kan gajinya sama. Nah kalau sekarang ngga bisa kaya gitu lagi. Kalau ngga kerja ngga input hasil pekerjaan mereka tentu ngga akan dapet tunjangan.” (BKD5)

Penerapan aktivitas kerja telah mampu meningkatkan motivasi pegawai untuk menyelesaikan pekerjaan. Pada saat ini metode perhitungan pencapaian kinerja hanya menekankan pada aktivitas kerja yang dilakukan pegawai setiap

hari. Motivasi bekerja pegawai meningkat, tetapi hal ini belum mampu memberikan bukti yang meyakinkan mengenai adanya peningkatan kinerja yang

(39)

atas kualitas output kinerja pegawai. Pada saat ini penetapan metode perhitungan pencapaian kinerja hanya mampu menghitung waktu kerja pegawai, tetapi belum

dapat memberikan penilaian kualitas output kinerja pegawai. Peningkatan kinerja pegawai saat ini baru dapat dilihat secara makro. Hal tersebut sesuai dengan petikan wawancara sebagai berikut.

“Secara makro saya jelaskan itu bisa dilihat dengan keseharian di ibu kota itu kan, bisa kita lihat. Karena tadi saya bilang, setiap Kepala SKPD dia punya target prioritas.” (KH46)

Pengawasan terhadap penilaian aktivitas kerja belum dilakukan oleh tim

pengawasan (monitoring) dan evaluasi TKD. Hal ini memungkinkan peningkatan kesempatan bagi pegawai untuk berbuat curang. Wacana terkait dengan

melakukan unggah (upload) output dokumen pekerjaan dalam aktivitas kerja ke dalam sistem masih menemui hambatan teknis. Sebenarnya dapat dilakukan perbaikan sistem e-Kinerja dengan menambahkan fitur unggah upload dokumen

sebagai output pekerjaan, tetapi hal ini masih terkendala kemampuan server yang dimiliki oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Hal tersebut sesuai dengan petikan

wawancara sebagai berikut.

“Ke depannya kayanya ya. Kalau dari maksudnya, dasar pertanggungjawaban sih sebenernya ngga masalah kalau dari sisi kita. Cuma hal yang perlu dipertimbangkan, server kita pasti ngga akan kuat.” (BKD38)

Permasalahan teknis tersebut hendaknya dapat segera diatasi oleh

Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, mengingat pengawasan pada hasil (output)

(40)

.2.1.1 Penerapan Aktivitas Kerja pada BPKD

Penelitian yang dilakukan pada BPKD menggunakan teknik wawancara

mendalam yang melibatkan enam orang partisipan. Hasil wawancara mendalam memperoleh informasi bahwa penerapan TKD berbasis penilaian prestasi kerja sudah sesuai antara kebijakan dan kondisi di lapangan. Hal tersebut disebabkan

pegawai BPKD sudah memahami peraturan terkait TKD dengan baik. BPKD merupakan SKPD yang menjadi perwakilan Tim Penyusun kebijakan terkait TKD

sehingga informasi mengenai peraturan TKD berbasis penilaian prestasi kerja dapat tersampaikan dengan baik kepada seluruh pegawai.

Pengisian aktivitas kerja pada sistem e-Kinerja sudah sesuai dengan

kegiatan setiap pegawai. Hal tersebut sudah sesuai, salah satunya dengan petikan wawancara berikut.

“….tunjangan kinerja daerah sih saat ini sudah mulai sesuai ya, maksudnya kita sudah ada sistem sendiri dan sekarang memang tunjangan ini diberikan berdasarkan kerjaan yang kita lakukan sehari-hari. Jadi kalau menurut saya sampai saat ini sudah sesuai…” (EH4)

Setiap pegawai telah memahami mekanisme pencatatan aktivitas kerja, atasan langsung masing-masing pegawai pun telah memiliki tingkat kesadaran

yang baik mengenai pengisian aktivitas kerja sehingga memberikan keyakinan bahwa pengisian aktivitas kerja telah akurat. Hal ini tercermin dari petikan wawancara, pada level penilai yang menyampaikan bahwa telah melakukan

teguran apabila terdapat pegawai yang melakukan pengisian aktivitas kerja tidak sesuai dengan keadaan sebenarnya, sebagai berikut.

(41)

teguran. Yang tertulis itu biasanya waktu kerjanya dia kan udah terhitung nih, apabila batasan itu sudah melampau gitu ya, melampaui batas ketentuan, nah itu kita baru teguran lisan. Teguran lisan itulah yang kena punishment berupa kinerjanya, tunjangan kinerja yang diberikan.” (MH7)

Dalam memastikan aktivitas kerja pegawai telah sesuai dengan kondisi sebenarnya, para penilai di BPKD menggunakan disposisi sebagai dasar

melakukan validasi aktivitas kerja pegawai yang dinilainya.

Pada BPKD peningkatan motivasi kerja pegawai dinilai meningkat.

Peningkatan tersebut dikarenakan adanya sistem rotasi pegawai antar level staf yang sebelumnya tidak pernah dilakukan. Saat ini pegawai saling berlomba untuk memperoleh nilai prestasi kerja yang baik sehingga dapat mempertahankan

ataupun meningkatkan level jabatan yang pada akhirnya berdampak pada TKD yang diterimanya. Pemahaman tupoksi pegawai di BPKD sudah cukup baik.

Pembagian tupoksi sudah diatur dengan baik sehingga setiap pegawai memahami perannya dalam organisasi. Masing-masing pegawai menjalankan tugasnya tanpa merasa terdapat kekurangan ataupun kelebihan beban kerja yang tidak

proposional.

Sistem perhitungan kinerja menggunakan metode perhitungan pencapaian

kinerja (aktivitas kerja) menuai kritik dari para partisipan di BPKD. Penentuan sistem perhitungan nilai aktivitas ini memperoleh kritik dari para pegawai yang banyak melakukan lembur untuk menyelesaikan pekerjaan mendesak ataupun

(42)

kompensasi tambahan penghasilan maupun toleransi keterlambatan masuk kerja esok harinya. Pegawai menyampaikan keluhan terkait pemotongan yang

dilakukan karena keterlambatan pada jam masuk kantor namun waktu lembur tidak dapat dipertimbangkan sebagai jam kerja tambahan. Hal tersebut sesuai dengan kutipan wawancara sebagai berikut.

“…jadi kalau seumpama lebih ada yang dia beban kerjanya lebih berat istilahnya sampai malam, ada yang lembur ada yang tidak pulang, itu tetap perhitungannya sehari 300 menit. Padahal kalau kita terlambat itu kan langsung dipotong karena dianggap sehari tidak 300 menit. Jadi kinerjanya hanya berapa menit dari sehari itu, kalau seumpama sehari telat lima menit ya kerjanya cuma dianggap 295 menit. Padahal malamnya habis lembur, sampai malam, itu kekurangannya.” (AH15)

Perhitungan aktivitas dengan metode saat ini dinilai belum memberikan

keadilan pada pegawai yang memiliki tupoksi yang seringkali mengharuskan bekerja lembur, di BPKD cukup banyak pegawai yang harus bekerja lembur. Hal ini memacu pendapat partisipan di BPKD berpendapat metode perhitungan

aktivitas perlu dilakukan evaluasi.

Pengawasan yang dilakukan untuk perhitungan aktivitas kerja belum

pernah dilakukan. Pada BPKD pengawasan terkait dengan TKD masih terfokus hanya pada absen sedangkan output dari aktivitas kerja belum dilakukan pengawasan oleh tim monitoring dan evaluasi TKD. Selain hal tersebut, waktu

pelaksanaan pemeriksaan dinilai masih belum maksimal karena jarak periode periksaan yang masih kurang dan fokus pemeriksaan yang belum tepat sasaran.

Hal tersebut sesuai dengan petikan wawancara sebagai berikut.

(43)

Tim monitoring dan evaluasi TKD perlu melakukan perbaikan terkait dengan pengawasan. Hal tersebut menjadi kunci keberhasilan penerapan TKD

berbasis penilaian prestasi kerja. Pasalnya realisasi anggaran TKD berbasis penilaian prestasi kerja sangat bergantung pada pengisian aktivitas kerja yang dilakukan oleh masing-masing pegawai.

Hasil wawancara dengan partisipan pada BPKD menunjukkan penerapan TKD berbasis penilaian prestasi kerja terkait dengan aktivitas kerja telah memiliki

akurasi yang tinggi. Hal tersebut dikarenakan pemahaman mengenai peraturan dan tupoksi yang baik, baik dari level staf maupun level atasan sebagai penilai. Beban kerja yang dimiliki pegawai BPKD cukup tinggi, hal ini membawa

kelebihan maupun kekurangan. Kelebihannya setiap pegawai memiliki kesempatan untuk mendapatkan poin maksimal terkait dengan aktivitas kerja.

Kekurangannya ialah banyak pegawai yang merasa perlu dilakukan evaluasi terkait dengan metode perhitungan pencapaian kinerja yang menggunakan nilai terkecil antara realisasi capaian dan batas maksimal waktu efektif 1 bulan. Terkait

dengan pengawasan terkait dengan output aktivitas kerja belum dilakukan dengan maksimal di BPKD.

4.2.1.2 Penerapan Aktivitas Kerja pada Kelurahan

Penelitian yang dilakukan pada kelurahan menggunakan teknik wawancara mendalam melibatkan 6 orang partisipan. Hasil wawancara memperoleh informasi

(44)

kelurahan. Hal ini didasari oleh beberapa faktor, yaitu kurangnya pemahaman pegawai terhadap kebijakan TKD, lemahnya pengawasan dari tim monitoring dan

evaluasi TKD, jenis tupoksi yang lebih banyak dilakukan di luar kantor, dan kurangnya pemahaman mengenai tupoksi masing-masing pegawai. Berikut petikan wawancara yang menyatakan belum maksimalnya penerapan TKD

berbasis penilaian prestasi kerja.

“…penerapannya oleh pegawai yang bersangkutan itu kadang-kadang masih tidak maksimal. Dalam artian dia kerjanya kurang maksimal tapi memperoleh pendapatan dari TKD ini…” (HR5)

Pengisian aktivitas kerja pada sistem eKinerja diragukan kebenarannya oleh sebagian besar partisipan, terutama untuk pekerjaan yang dilakukan di luar

kantor. Pekerjaan yang dilakukan di luar kantor seharusnya disertai dengan dokumentasi foto namun pada kenyataannya sering kali pegawai tidak menyertakan foto kegiatan di lapangan. Selain hal tersebut terdapat juga pegawai

yang sering kali menambahkan jam penyelesaian pekerjaan yang tidak sesuai dengan kondisi sebenarnya. Hal tersebut sesuai dengan petikan wawancara

sebagai berikut.

“kelebihannya untuk saat ini secara materi ya kita udah cukup ya, tapi kekurangannya gimana ya ngomongnya juga ngga enak juga ya. Kekurangannya kalau orang itu jujur itukan positif tapikan kalau orang tidak jujur ngga sesuai dong pendapatan sama ini. Ketidakadilan jadinya. Bisa aja ngarang-ngarang, tidak kerja.” (LN4)

“….tapi ada beberapa kan yang ngga ada fotonya.” (LN15)

(45)

kadang-kadang di sistimnya itu..Sebenernya kalau tugas ya dilaksanakan cuman kadang-kadang kan untuk mempercepat hasil supaya sesuai dengan ketentuan waktu yang diterapkan di sistem, di sistem maksimal waktu 30 menit selesai gitu bisa mengerjakan secara selesai dengan 10 menit 15 menit gitu kan, kadang-kadang kita ambil yang maksimalnya.” (HR9)

Manipulasi pengisian aktivitas kerja oleh pegawai kelurahan yang tidak jujur menimbulkan ketidakadilan yang dirasakan pegawai lain. Tujuan dari

penerapan kebijakan TKD sebagai upaya meningkatkan keadilan antar pegawai belum tercapai.

Penerapan kebijakan TKD berbasis penilaian prestasi kerja yang masih

terdapat penyimpangan dikarenakan beberapa faktor. Pengawasan yang rendah dinilai menjadi penyebab terbesar manipulasi eKinerja dapat terjadi pada tingkat

kelurahan. Tim monitoring dan evaluasi TKD yang tertuang pada Peraturan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor 409 Tahun 2016 belum melaksanakan fungsi pengawasan dengan maksimal. Pengawasan terkait dengan TKD yang

dilakukan hanya terfokus pada kehadiran pegawai, hal ini dikarekan sistem absensi yang paling mudah untuk dilakukan pemeriksaan. Hal tersebut kurang

tertuju pada permasalahan besarnya yaitu manipulasi pengisian eKinerja, terutama pada aktivitas kerja yang memiliki bobot paling tinggi sebesar 70%. Hal tersebut sesuai dengan petikan wawancara sebagai berikut.

“Kurangnya pengawasan dari pihak tingkat kota, tingkat provinsi, jadinya di pas penerapannya di lapangannya itu apa ya.. kurang sesuai gitu.” (HN4)

(46)

Faktor selanjutnya yang menjadikan penerapan TKD berbasis penilaian

prestasi kerja belum maksimal pada tingkat kelurahan ialah kurangnya pemahaman mengenai tupoksi masing-masing pegawai. Hal tersebut mengakibatkan para pegawai yang khususnya bekerja di lapangan, sering kali

mengerjakan pekerjaan yang di luar tupoksinya. Tidak hanya karena kurangnya pengetahuan pegawai mengenai tupoksinya masing-masing, terdapat juga

pekerjaan-pekerjaan yang diturunkan dari tingkat kota ke tingkat kelurahan yang sebenarnya tidak terdapat pada daftar tupoksi kelurahan. Hal tersebut sesuai dengan petikan wawancara sebagai berikut.

“Kalau saya memang pengawasan dan ini.. agak rendah ya untuk pemahaman dari penerapan tupoksi. Jadi, dengan TKD sekian, misalnya staff apa gitu. Itu dia harusnya dia tau kalau misalnya dia staff apa yang dia kerjain tu apa gitu, jangan tupoksinya ini tapi mengerjakan yang lain.” (HN5)

“Jadi, mau ngerjain ini sudah dikerjain ini, nah akhirnya ini gitu. Jadi, yaudah akhirnya kita suka mencari apa yang bisa dimaksimalkan, mencari kerjaan gitu. Yaudah, saya kan menutupinya bisa salah satunya dengan cara monitoring ke wilayah.” (HN12)

Permasalahan-permasalahan yang terjadi di kelurahan terkait dengan penerapan TKD berbasis penilaian prestasi kerja tidak mengakibatkan kebijakan TKD menjadi sesuatu yang sia-sia. Kebijakan TKD tetap saja membawa

perubahan yang lebih baik, diantaranya tingkat disiplin pegawai mengenai jam kerja meningkat, motivasi bekerja meningkat, pelayanan kepada masyarakat lebih

(47)

bukanlah merupakan suatu yang gagal, namun perlu dilakukan evaluasi terus menerus mengingat beragamnya kondisi di lapangan.

4.2.2 Penilaian Perilaku Kerja

Penilaian perilaku kerja memiliki bobot sebesar 10% dari total TKD pegawai. Penilaian ini dilakukan oleh atasan langsung pegawai. Penilaian perilaku

dilakukan melalui pengamatan dan pengawasan oleh atasan langsung kepada PNS dan calon PNS sesuai dengan kriteria yang ditentukan. Penginputan penilaian

perilaku kerja dilakukan oleh atasan langsung paling lambat pada tanggal 5 bulan berikutnya. Penilaian perilaku kerja memiliki tujuan untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat dan menciptakan keadaan kondusif di lingkungan

kerja.

Kebijakan penilaian perilaku kerja yang terdapat pada Peraturan Gubernur

Nomor 409 Tahun 2016 tentang Tunjangan Kinerja Daerah merupakan adopsi dari kebijakan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 46 Tahun 2011 tentang Penilaian Prestasi Kerja Pegawai Negeri Sipil. Hal tersebut disampaikan

dalam petikan wawancara sebagai berikut.

“…kan ada SKP, ada perilaku. Nah, perilaku itu dilakukan oleh atasan langsung pada bawahannya. Ini sebetulnya adopsi….” (KH18)

Hal tersebut yang menjadi dasar penentuan penilaian

perilaku kerja dilakukan hanya oleh atasan langsung dan atasan

selanjutnya hanya sebagai pihak yang dapat memberikan

(48)

perilaku kerja menggunakan sistem 360 derajat belum dapat

dilakukan karena kendala sistem. Percobaan mengenai sistem

penilaian 360 derajat telah dilakukan namun belum berhasil

dikarenakan permasalahan teknis, yaitu kurangnya sumber daya

manusia yang dapat mengelola sistem penilaian tersebut dengan

baik, server dan pengelolaan data yang belum maksimal. Hal

tersebut sesuai dengan kutipan wawancara sebagai berikut.

“Dulu seperti itu Mbak..360 derajat. Penilaian 360 derajat, random, atasan sama teman sejawat. Kalau staf kan ngga punya bawahan ya, sedangkan kalau eselon baru 360 derajat. Itu kurang efektif. Kita setuju. Kita sebagai tim perumus kebijakannya kita setuju banget dengan konsep seperti itu, tapi pada kenyataanya ada yang kurang terakomodir, dalam artian itu kan melibatkan sistem dan data yang kita miliki masih belum terlalu kuat dan up to date.” (BKD45)

4.2.2.1 Penerapan Penilaian Perilaku Kerja di BPKD

Pegawai BPKD yang menjadi partisipan dalam penelitian ini

mengungkapkan puas akan penilaian perilaku kerja yang diberikan oleh atasan

langsungnya. Seluruh partisipan mengungkapkan bahwa sudah tidak terdapat

unsur subjektivitas dalam pemberian nilai perilaku kerja. Hal ini mampu

meningkatkan kerjasama antar pegawai dan menciptakan keadaan kondusif di

lingkungan kerja.

Atasan langsung sebagai penilai memahami perannya dalam mewujudkan tujuan TKD. Penilaian perilaku kerja dilakukan dengan objektif tanpa

membedakan pegawai. Hal tersebut tercemin dari jawaban partisipan pada level staf yang merasa puas akan penilaian yang diberikan. Berikut petikan wawancara

(49)

“Ya, enam bulan terakhir ya, puas saya. Artinya gini Mbak, selama ini saya tidak pernah punya komplain dengan atasan, seandainya pun ada kemarin beberapa bulan yang lalu kita ada penurunan perilaku mungkin pas dinilai kita ada kurangnya, kan ngga mungkin pas dinilai kita disuruh ayo duduk manis kan ngga mungkin, kebetulan mungkin kita jenuh bekerja kemudian atasan ada keperluan yang gimana terus kita jawabnya apa mungkin kurang berkenan. Saya rasa garis besarnya sih sudah oke.” (SH41)

Hasil wawancara menunjukkan terdapat perubahan hasil penilaian perilaku baik

penurunan maupun peningkatan setiap bulannya. Hasil penilaian perilaku yang terjadi penurunan dapat dilakukan diskusi antara staf dan atasan. Hal ini telah dilakukan di BPKD sehingga memberikan keyakinan bahwa penilaian perilaku

kerja telah dilakukan dengan objektif.

.2.2.2 Penerapan Penilaian Perilaku Kerja di Kelurahan

Terdapat pegawai kelurahan yang menjadi partisipan dalam penelitian ini mengungkapkan ketidakpuasan terkait dengan penilaian perilaku kerja. Hal ini dikarenakan masih terdapat unsur subjektivitas dalam penilaian perilaku kerja.

Penilaian perilaku kerja tidak dilakukan sesuai dengan kebijakan yang berlaku, atasan langsung yang seharusnya menjadi penilai tidak dapat menjalankan

fungsinya karena sistem penilaian perilaku dilakukan oleh pihak lain. Penilaian perilaku yang seharusnya diberikan sesuai dengan perilaku masing-masing pegawai diberikan nilai yang hampir setara pada seluruh pegawai kelurahan. Hal

ini menjadi bias karena penilaian yang diberikan sangat mungkin tidak sesuai dengan keadaan sebenarnya. Hal tersebut sesuai dengan petikan wawancara

(50)

ada perasaan seperti itu walaupun sebenernya secara rasa sih ya kita bisa dibilang agak kesel sih. Temen atau bawahan atau rekan kerja gitu kan kadang-kadang ada yang santai-santai, kurang maksimal kerjanya, tapi kadang-kadang penilaian kerjanya masih kategori maksimal.” (HR12)

“Kalau di sini, yang validasi cuma satu orang. Jadi, kaya staf ahli gitu, bukan pimpinannya langsung. Jadi, itu dipukul rata semua staf. Harusnya nggak boleh seperti itu kan.” (HS42)

Permasalahan terkait dengan penilaian perilaku ini tentu saja

masih didasarkan pada kurangnya pengawasan oleh pihak yang

berwenang yaitu tim monitoring dan evaluasi TKD sesuai dengan

peraturan gubernur. Rendahnya pemahaman mengenai kebijakan

TKD oleh para pejabat di kelurahan menjadi sebab lain tidak

berjalannya penilaian perilaku sesuai dengan kebijakan yang

berlaku.

Sistem penilaian yang bersifat subjektivitas di kelurahan ini

menjadi tanggungjawab pimpinan tertinggi. Rendahnya

perhatian terhadap sistem penilaian perilaku dari pimpinan dapat

menimbulkan situasi yang buruk di lingkungan kerja. Hal ini

dapat mengakibatkan pegawai tidak menyadari dan enggan

memperbaiki perilaku buruknya karena penilaian perilaku yang

diberikan selalu mendapat nilai yang baik. Whistleblowing

system dirasa dapat digunakan untuk mengatasi permasalahan

(51)

4.2.3 Capaian Serapan Anggaran

Komponen selanjutnya dalam melakukan perhitungan TKD ialah serapan

anggaran SKPD/UKPD. Serapan anggaran merupakan realisasi belanja bulanan kumulatif dibagi dengan SPS belanja bualann kumulatif. Ketika penyusunan DPA, kepala SKPD/UKPD wajib menghitung dan menginput SPS anggaran setiap bulan

pada sistem informasi TKD paling lambat 1 minggu setelah penetapan DPA. Hal tersebut terkait dengan kepentingan SPS sebagai dasar perhitungan realisasi

serapan anggaran dalam komponen perhitungan TKD.

Serapan anggaran memiliki bobot 20% dalam perhitungan TKD. Perhitungan serapan anggaran berpengaruh kepada seluruh pegawai di suatu

SKPD/UKPD. Tujuan diberlakukannya capaian serapan anggaran sebagai salah satu komponen perhitungan TKD ialah untuk meningkatkan tertib administrasi

pengelolaan keuangan daerah yang selanjutnya diharapkan tidak terjadi lagi penumpukan penyerapan anggaran di akhir tahun. Permasalahan mengenai terlambatnya penyelesaian pekerjaan yang pada akhirnya terjadi penumpukkan

penyerapan di akhir tahun sudah sering kali terjadi di pemerintahan. Guna menghindari hal tersebut, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta memberlakukan

capaian serapan anggaran sebagai komponen perhitungan TKD.

Hasil wawancara pada partisipan yang bekerja di BPKD menunjukkan perhatian yang tinggi pada serapan capaian anggaran. Hal ini dikarenakan

Gambar

Grafik 1.1 Belanja Pegawai dan TKD (dalam Jutaan Rupiah)
Gambar 2.1 Faktor-Faktor yang Terkait Persepsi (Robbins, 2001)
Gambar 2.2 Format Pengisian Aktivitas Kerja Pegawai (Pemerintah Provinsi DKI
Tabel 4.1 Partisipan Wawancara
+3

Referensi

Dokumen terkait

Pemilik Warung dapat bekerja sama dengan karyawan dalam mengembangkan usaha bubur kacang hijaub. Jelaskan dan

Penelitian ini terbatas pada judul: analisis faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat laba usaha dagang pada pedagang sembako muslim (studi kasus di Pasar Tradisional Bantul),

Hasil analisis ketuntasan belajar siswa secara individu dan secara klasikal pada siklus I dan siklus II pada materi pokok menjumlahkan dan pengurangan berbagai pecahan

Analisa dampak bisnis/ business impact analysis (BIA) digunakan untuk mengukur tingkat kritikalitas layanan TIK dengan menentukan prioritas layanan TIK yang paling

Setelah menyaksikan tayangan video beserta teks nonfiksi, siswa dapat membuat teks nonfiksi tentang penggolongan hewan yang ada disekitar lingkungannya berdasarkan jenis

Melindungi pesakit dan pengguna kita bermaksud kita memastikan penglibatan saintifik kita adalah jelas berbeza daripada promosi produk kita. Secara sah dan beretika, kami

Pasal 96 UUPM menjelaskan lebih lanjut mengenai larangan orang dalam untuk melakukan pembelian atau penjualan atas efek emiten atau perusahaan lain yang melakukan

seorang pekerja karena mengalami kecelakaan kerja atau sakit akibat pekerjaan yang dideritanya, dialihkan sementara ke pekerjaan lain atau pekerja tetap bekerja pada