PERSEPSI PEGAWAI TERHADAP TUNJANGAN KINERJA DAERAH BERBASIS PENILAIAN PRESTASI KERJA
(STUDI PADA BPKD DAN KELURAHAN PROVINSI DKI JAKARTA)
Tesis
untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai Derajat Sarjana S-2 Program Studi Magister Akuntansi
Dosen Pembimbing:
Ratna Nurhayati, S.E., M.Com., Ak., CA., Ph.D.
diajukan oleh Dwi Garit Sunaryo Putri
15/391622/PEK/21068
PROGRAM STUDI MAGISTER AKUNTANSI FAKULTAS EKONOMIKA DAN BISNIS
BAB I PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
Peran pegawai negeri sipil (PNS) dalam menjalankan roda pemerintahan
saat ini sangat besar pengaruhnya. Setiap PNS memiliki tanggung jawab dalam menjalankan tugas dan fungsi (tupoksi) guna mencapai tujuan organisasi, tetapi
pelaksanaan kegiatan pemerintahan masih sering kali mengecewakan masyarakat karena PNS tidak melaksanakan tugasnya dengan baik. Permasalahan tersebut terutama terkait dengan kinerja PNS di lingkungan pemerintah daerah dan
permasalahan ini dinilai masih sangat beragam antara daerah yang satu dengan daerah lainnya.
Kualitas PNS sering kali dikaitkan dengan kompensasi gaji dan tunjangan yang telah diterima oleh PNS di lingkungan pemerintah daerah. Tunjangan daerah bagi PNS di setiap pemerintah daerah memiliki aturan yang berbeda. Hal itu dapat
dipahami karena desentralisasi atas pengelolaan keuangan daerah yang menjadi hak dan tanggung jawab setiap kepala daerah yang mengakibatkan tunjangan
daerah di setiap pemerintah daerah berbeda dalam aturan dan besaran yang diterima. Terkait hal itu yang harus dipastikan ialah pemberian tunjangan daerah hendaknya didasarkan pada aturan yang jelas dan adil agar dapat meningkatkan
kinerja PNS dalam mencapai tujuan organisasi.
Pemberian tunjangan daerah yang tidak berdasarkan indikator yang baik
anggaran yang digunakan untuk memenuhi pemberian tunjangan daerah yang berdasarkan indikator yang tidak tepat pada akhirnya tidak mampu meningkatkan
kinerja PNS sehingga tujuan organisasi pun tidak dapat tercapai. Sebagian besar pemerintah daerah menggunakan tingkat kehadiran, jenjang jabatan, dan disiplin pegawai sebagai dasar pemberian tunjangan daerah. Hal ini dirasa belum mampu
memberikan dampak yang signifikan pada peningkatan kinerja PNS. Selain itu, tunjangan daerah berdasarkan tingkat kehadiran, jenjang jabatan, dan disiplin
pegawai belum memberikan keadilan yang merata kepada seluruh PNS berdasarkan perbedaan beban kerja yang dimiliki.
Di tengah permasalahan di atas, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta
menetapkan kebijakan baru terkait dengan tunjangan daerah. Kebijakan tersebut mengalami beberapa perubahan aturan sejak 29 Desember tahun 2014. Berikut
perubahan kebijakan mengenai tunjangan kinerja daerah berbasis penilaian prestasi kerja di Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.
1. Peraturan Gubernur Nomor 207 Tahun 2014 tentang Tunjangan Kinerja
Daerah;
2. Peraturan Gubernur Nomor 193 Tahun 2015 tentang Tunjangan Kinerja
Daerah;
3. Peraturan Gubernur Nomor 108 Tahun 2016 tentang Tunjangan Kinerja Daerah;
Tunjangan kinerja daerah di Lingkungan Provinsi DKI Jakarta menggunakan basis penilaian prestasi kerja sebagai indikatornya. Prestasi kerja
adalah hasil kerja yang dicapai oleh setiap PNS dan calon PNS pada SKPD/UPKD sesuai dengan aktivitas kerja, perilaku kerja, pencapaian KPI, tindak lanjut arahan gubernur, tindak lanjut pengaduan masyarakat, dan serapan
anggaran.
Pemberian tunjangan kinerja di DKI Jakarta memiliki beberapa tujuan
utama. Berdasarkan Peraturan Gubernur Provinsi Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta Nomor 409 Tahun 2016 tentang Tunjangan Kinerja Daerah Pasal 2, tujuan pemberian tunjangan kinerja daerah adalah
a. meningkatkan kualitas pelayanan kepada masyarakat; b. meningkatkan disiplin PNS dan calon PNS;
c. meningkatkan kinerja PNS dan calon PNS;
d. meningkatkan keadilan dan kesejahteraan PNS dan calon PNS; e. meningkatkan integritas PNS dan calon PNS;
f. meningkatkan tertib administrasi pengelolaan keuangan daerah.
Berdasarkan tujuan di atas, diharapkan pemberian tunjangan kinerja daerah
berbasis penilaian prestasi kerja dapat meningkatkan kualitas PNS dan pelayanan kepada masyarakat.
Besaran tunjangan kinerja daerah yang ditetapkan oleh Pemerintah
Provinsi DKI Jakarta terhitung tinggi. Jumlah tunjangan kinerja tertinggi yang dapat diperoleh sekretaris daerah sebesar Rp127.710.000,00 dan jumlah terendah
mengenai jumlah anggaran belanja pegawai dan anggaran tunjangan kinerja Pemerintah Provinsi DKI Jakarta Tahun 2015--2017.
Grafik 1.1 Belanja Pegawai dan TKD (dalam Jutaan Rupiah)
2015 2016 2017
0 5000000 10000000 15000000 20000000 25000000
Belanja Pegawai TKD
Sumber: Data APBD DKI Jakarta Tahun 2015--2017
Grafik di atas menunjukkan bahwa belanja TKD memiliki porsi 50% dari total
belanja pegawai di Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Jumlah ini tergolong sangat besar untuk belanja pegawai maka penggunaannya diharapkan tepat sasaran dan
pada akhirnya dapat memberikan dampak yang positif pada kesejahteraan masyarakat.
Kebijakan terkait dengan tunjangan kinerja daerah berbasis penilaian
prestasi kerja ini merupakan suatu inovasi di lingkungan pemerintah daerah. Peraturan Gubernur DKI Jakarta Nomor 409 Tahun 2016 tentang Tunjangan
Kinerja Daerah menyebutkan bahwa dasar perhitungan tunjangan kinerja daerah ialah penilaian prestasi kerja. Bobot penilaian prestasi kerja bagi pegawai dengan jabatan administrasi dan fungsional ialah aktivitas kerja sebesar 70%, perilaku
pelayanan, integritas, komitmen, disiplin, kerja sama, dan kepemimpinan. Serapan anggaran SKPD/UKPD dihitung berdasarkan realisasi belanja bulanan kumulatif
yang dibagi dengan SPS belanja bulanan kumulatif.
Sebelum kebijakan mengenai tunjangan kinerja daerah berbasis penilaian prestasi kerja ini diberlakukan, Pemerintah Provinsi DKI masih menggunakan
sistem honorarium sebagai pemberian imbalan kerja kepada para pegawainya. Setelah diberlakukan kebijakan mengenai tunjangan kinerja daerah berbasis
penilaian prestasi kerja, anggaran untuk honorarium bagi pegawai dihapus. Pemberian imbalan kerja kepada pegawai tidak lagi menggunakan sistem honorarium.
Dalam Peraturan Gubernur Nomor 409 Tahun 2016 tentang Tunjangan Kinerja Daerah ditetapkan mekanisme perhitungan realisasi tunjangan kinerja
daerah dengan menggunakan basis penilaian prestasi kerja. Dalam mekanisme ini pegawai sangat berperan penting dalam perhitungan realisasi tunjangan kinerja daerah. Pegawai melakukan input aktivitas kerja, selanjutnya pegawai lain sebagai
atasan langsung melakukan validasi atas aktivitas stafnya dan menjadi dasar perhitungan realisasi tunjangan kinerja daerah. Persepsi pegawai menjadi penting
untuk diketahui terkait dengan penerapan kebijakan tunjangan kinerja daerah berbasis penilaian prestasi kerja yang terjadi di lapangan.
Pemberian tunjangan kinerja dengan nilai yang sangat besar di Pemerintah
Provinsi DKI Jakarta harus melalui mekanisme yang tepat sehingga kebijakan dan penerapannya menjadi hal penting dan dapat dipastikan berjalan sesuai dengan
tunjangan kinerja harus berdampak positif. Hal ini disebabkan penggunaan anggaran dengan jumlah yang besar hendaknya membawa penghematan dan
perubahan positif, bukan melainkan menjadi pemborosan anggaran. Sehubungan dengan hal tersebut, penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul “Persepsi Pegawai terhadap Tunjangan Kinerja Berbasis Penilaian Prestasi Kerja
(Studi pada BPKD dan Kelurahan Provinsi DKI Jakarta)”.
1.2.Rumusan Masalah
Jumlah anggaran yang besar untuk tunjangan kinerja pegawai di Pemerintah Provinsi DKI Jakarta harus disertai dengan mekanisme dan penerapan kebijakan yang tepat. Mekanisme dan penerapan kebijakan yang tidak tepat akan
mengakibatkan tujuan peningkatan kinerja menjadi sulit untuk terwujud, yang pada akhirnya tidak akan terjadi perubahan yang lebih baik di Lingkungan
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dan hanya menjadi pemborosan anggaran. Penerapan kebijakan tunjangan kinerja daerah berbasis penilaian prestasi kerja harus mampu menghasilkan perubahan positif.
1.3.Pertanyaan Penelitian
Berdasarkan rumusan permasalahan yang telah dijelaskan, pertanyaan penelitian
ialah sebaga berikut.
1. Bagaimana persepsi pegawai terhadap penerapan tunjangan kinerja daerah yang berbasis penilaian prestasi kerja?
1.4.Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini ialah untuk
1. menganalisis persepsi pegawai terhadap penerapan tunjangan kinerja daerah yang berbasis penilaian prestasi kerja di Lingkungan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta;
2. menganalisis persepsi pegawai terhadap perubahan yang terjadi setelah ditetapkannya tunjangan kinerja daerah yang berbasis penilaian prestasi kerja.
1.5.Kontribusi Penelitian
1. Secara akademis penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran terkait dengan penerapan tunjangan kinerja daerah di Lingkungan
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.
2. Secara praktis hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi
mengenai penerapan tunjangan kinerja di Lingkungan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta daerah bagi pihak lain ataupun pemerintah daerah lain.
1.6.Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan laporan penelitian ini dibagi menjadi lima bab yang diuraikan sebagai berikut.
BAB I : PENDAHULUAN
Bab ini berisi mengenai latar belakang penelitian, rumusan masalah penelitian, pertanyaan penelitian, tujuan penelitian,
BAB II : TINJAUAN PUSTAKA
Bab ini berisi mengenai landasan teori yang berasal dari berbagai literatur guna mendukung analisis penelitian. Bab ini berguna
sebagai dasar kerangka berpikir dalam melakukan penelitian dengan mempertimbangkan teori–teori dan penelitian
sebelumnya.
BAB III : METODE PENELITIAN
Bab ini berisi mengenai pendekatan penelitian, jenis penelitian,
lokasi dan sumber informasi penelitian, teknik pengumpulan data, analisis data dan pengujian data penelitian. Hal ini berguna
sebagai panduan dalam melakukan pengolahan data penelitian menjadi simpulan yang memiliki validitas yang tinggi.
BAB IV : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Bab ini akan berisi mengenai hasil dari penelitian mengenai persepsi pegawai terhadap tunjangan kinerja daerah yang berbasis
penilaian prestasi kerja serta perubahan sebelum dan sesudah diterapkannya kebijakan tunjangan kinerja daerah yang berbasis penilaian prestasi kerja.
BAB V : SIMPULAN
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.Tunjangan Kinerja
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia arti kata tunjangan adalah uang
(barang) yang dipakai untuk menunjang; tambahan pendapatan di luar gaji sebagai bantuan sokongan; bantuan. Selanjutnya, arti kata kinerja adalah sesuatu yang
dicapai; prestasi yang diperlihatkan; kemampuan kerja. Dapat disimpulkan bahwa tunjangan kerja ialah tambahan pendapatan di luar gaji dalam bentuk uang (barang) atas prestasi yang telah dicapai.
Tunjangan kinerja menurut Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 63 Tahun 2011 tentang Pedoman
Penataan Sistem Tunjangan Kinerja Pegawai Negeri merupakan fungsi dari keberhasilan pelaksanaan reformasi birokrasi atas dasar kinerja yang telah dicapai oleh seorang individu pegawai, tetapi kinerja individu harus sejalan dengan
kinerja yang hendak dicapai oleh instansinya. Tunjangan kinerja dalam pelaksanaan reformasi birokrasi menggunakan prinsip–prinsip
efisiensi/optimalisasi pagu anggaran belanja kementerian/lembaga dan pemerintah daerah dan equal pay for equal work, yaitu pemberian besaran tunjangan kinerja yang sesuai dengan jabatan dan pencapaian kinerja.
Tunjangan kinerja menurut Peraturan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor 409 Tahun 2016 tentang Tunjangan Kinerja Daerah adalah tunjangan
kerja. Menurut sumber yang sama, penilaian prestasi kerja adalah hasil kerja yang dicapai oleh setiap PNS dan calon PNS pada SKPD/UKPD sesuai dengan
aktivitas kerja, perilaku kerja, pencapaian KPI, tindak lanjut arahan gubernur, tindak lanjut pengaduan masyarakat, dan serapan anggaran. Tunjangan kinerja sangat berhubungan positif dengan penilaian prestasi kerja pegawai.
2.1.1. Pay for Performance
Tunjangan kinerja seringkali dikaitkan dengan konsep pay for
performance, yaitu pemberian tunjangan berdasarkan kinerja pegawai sehingga jumlah tunjangan yang diterima akan bervariasi. Di Indonesia pemberian gaji dan tunjangan kepada PNS sebagian besar masih menganut konsep pay as entitlement
atau tunjangan jabatan, yaitu pemberian tunjangan berdasarkan posisi jabatan pegawai dan jumlah yang diterima akan tetap. Menurut Milkovich dan Newman
(1999) dalam Kumorotomo (2011:3) perbedaan antara kedua konsep tersebut ialah sebagai berikut.
The major thing all these names have in common is a shift in thinking about compensation. We used to think of pay as primarily an entitlement --if you went to work and did well enough to avoid being fired, you were entitled to the same size check as everyone else. Pay-for performance plans signal a movement away from entitlement -- sometimes a very slow movement -- towards pay that varies with some measure of individual or organizational performance.
Menurut Kumorotomo (2011), perbaikan pemberian tunjangan kepada pegawai pemerintah tidak akan banyak mengubah kinerja ke arah yang lebih baik jika tidak
pendapatan PNS saja, tetapi melalui perbaikan mekanisme pemberian tunjangan yang berdasarkan kinerja pegawai. Hal ini diharapkan dapat meningkatkan kinerja
pegawai yang pada akhirnya berdampak pada peningkatan kualitas pelayanan kepada masyarakat.
2.1.2. Tunjangan Kinerja dan Prinsip Keadilan
Tunjangan sering kali dinilai tidak adil karena berdasarkan persepsi setiap pihak yang berkepentingan. Hal ini disebabkan pandangan yang berbeda-beda
terkait dengan sistem perhitungan tunjangan yang diberikan. Persepsi ketidakadilan terkait dengan tunjangan dapat menimbulkan kecemburuan yang pada akhirnya menjadikan proses pencapaian tujuan organisasi tidak dapat
terlaksana dengan baik.
Amstrong dan Murlis (2004) dalam Oktavia (2008) menyatakan bahwa
nilai–nilai dasar pemberian insentif atau tunjangan yang berupa penghargaan bagi anggota organisasi secara umum dipengaruhi keyakinan berikut.
a. Keadilan (fairness) ialah manajemen memberikan penghargaan secara
baik sesuai dengan prinsip distribusi dan prosedur yang adil tanpa memandang individu pegawai.
g. Kewajaran (equity) ialah pegawai menerima penghargaan sesuai dengan kepatuhan.
h. Konsisten (consistency) ialah dalam memberikan penghargaan tidak
ada perubahan yang disebabkan oleh perbedaan orang ataupun waktu. i. Transparan (transparency) ialah semua pegawai dalam organisasi
pegawai, alasan dalam memberikan insentif dijelaskan kepada pegawai ketika keputusan dibuat.
Keyakinan–keyakinan di atas merupakan dasar yang sebaiknya diterapkan dalam pemberian tunjangan agar tujuan organisasi dapat tercapai. Selain itu, diharapkan pemberian tunjangan, sebagai penghargaan, dapat dirasakan oleh penerima
tunjangan atau pegawai.
Keadilan organisasional, menurut Gibson et al. (2012), adalah tingkat
persepsi seorang individu yang merasa diperlakukan sama di organisasi tempat dia bekerja, sedangkan Colquitt et al. (2009) mengemukakan bahwa keadilan organisasional adalah persepsi adil dari seseorang terhadap keputusan yang
diambil oleh atasannya. Menurut Dyna dan Graham (2005) dalam Kristanto (2015) keadilan organisasi dapat diketahui dengan mengukur tiga hal berikut.
a. Keadilan yang Berkaitan dengan Kewajaran Alokasi Sumber Daya Organisasi dapat dikatakan adil oleh pegawai jika memberikan gaji sesuai
dengan hasil kerja yang dilakukan oleh pegawai.
j. Keadilan dalam Proses Pengambilan Keputusan
Organisasi dapat dikatakan adil oleh pegawai apabila dalam pengambilan
keputusan, karyawan diberikan kesempatan untuk menyuarakan pendapat dan pandangannya. Selain itu, setelah pengambilan keputusan dilakukan, apabila pelaksanaan keputusan tersebut dinilai
Organisasi dapat dikatakan adil oleh pegawai apabila terjadi hubungan baik antara atasan dan bawahan, seperti mendapatkan perlakukan yang
baik dan sewajarnya. Selain itu, kejujuran dan kebenaran informasi yang didapatkan dari atasan juga memengaruhi persepsi keadilan organisasional dari karyawan.
2.2.Penilaian Kinerja
Penilaian kinerja menurut Purwandari (2016) adalah suatu sistem penilaian
secara berkala terhadap kinerja pegawai yang mendukung kesuksesan organisasi atau yang terkait dengan pelaksanaan tugasnya. Menurut Kementerian Pendidikan Nasional dalam rancangan buku panduan kebijakan pengelolaan kinerja individu
tahun 2010, dinyatakan bahwa penilaian kinerja adalah proses meninjau kemajuan pekerjaan pegawai serta menilai potensinya untuk promosi di masa mendatang.
Simanjuntak (2005) menyatakan bahwa penilaian kinerja ialah suatu gambaran yang sistematis tentang kebaikan dan kelemahan dari pekerjaan individu atau kelompok meskipun terdapat masalah teknis (seperti pemilihan format) dan
masalah manusianya sendiri (seperti resistensi penilai atau hambatan hubungan antarindividu) yang semuanya itu tidak dapat teratasi oleh penilaian kinerja. Dapat
disimpulkan bahwa penilaian kinerja adalah sistem penilaian yang dilakukan pada rentang waktu tertentu secara berkala atas hasil pekerjaan pegawai sesuai dengan ketentuan guna mencapai tujuan organisasi.
2.2.1. Tujuan dan Manfaat Penilaian Kinerja
perbaikan dalam suatu organisasi. Penilaian kinerja dapat digunakan untuk memotivasi pegawai agar bekerja sesuai dengan standar yang ditetapkan dengan
timbal balik, yaitu penghargaan yang diberikan oleh organisasi atau lembaga tempatnya bekerja. Selanjutnya, penilaian kinerja juga dapat dijadikan tolok ukur dalam menilai pencapaian pelaksanaan kegiatan berdasarkan rencana strategis
sehingga dapat diketahui kemajuan organisasi serta dapat pula ditingkatkan kualitas pengambilan keputusan dan akuntabilitas. Manfaat penilaian kinerja
menurut Wether dan Davis (1996) adalah sebagai berikut.
a. Performance improvement adalah memungkinkan pegawai dan manajer untuk mengambil tindakan yang berhubungan dengan
peningkatan kinerja.
l. Compensation adjustment adalah membantu para pengambil
keputusan untuk menentukan pegawai yang berhak menerima kenaikan gaji atau sebaliknya.
m. Placement decision adalah menentukan promosi, rotasi, atau demosi.
n. Training and development needs adalah mengevaluasi kebutuhan pelatihan dan pengembangan bagi pegawai agar kinerja mereka lebih
optimal.
o. Career planning and development adalah memandu dalam penentuan jenis karier dan potensi karier yang akan dicapai.
q. Informational inaccuracies and job-design errors adalah membantu menjelaskan kesalahan yang telah terjadi dalam manajemen sumber
daya manusia.
r. Equal employment opportunity adalah menunjukkan penempatan pegawai yang tidak diskriminatif.
s. External challenges adalah membantu mengetahui faktor–faktor eksternal yang memengaruhi pegawai dalam melaksanakan tugasnya.
t. Feedback adalah memberikan umpan balik bagi bagian kepegawaian ataupun bagi pegawai.
2.2.2 Standar dan Bias Penilaian Kinerja
Dalam penetapan penilaian kinerja sangat diperlukan standar yang jelas. Hal ini disebabkan standar penilaian kinerja akan menjadi tolak ukur terhadap
jabatan yang akan dinilai. Hal tersebut diharapkan akan memenuhi ketentuan bahwa hasil penilaian dapat menunjukkan keadaan yang sebenarnya sehingga informasi yang dihasilkan valid dan dapat digunakan sebagai dasar pengambilan
keputusan yang tepat. Terkait dengan standar penilaian yang baik, Wether dan Davis (1996) menyebutkan bahwa terdapat empat hal yang harus diperhatikan
dalam penyusunan standar penilaian, yaitu
a. validity, standar penilaian harus sesuai dan relevan dengan jenis pekerjaan yang akan dinilai;
v. realism, standar penilaian tersebut dapat dicapai oleh para pegawai dan sesuai dengan kemampuan pegawai;
w. objectivity, standar penilaian harus objektif, adil, dan mampu mencerminkan keadaan yang sebenarnya.
Standar di atas seharusnya dapat dipenuhi oleh organisasi yang akan menyusun
penilaian kinerja, tetapi setiap kebijakan tentunya memiliki kelemahan-kelemahan tersendiri. Hal yang terpenting ialah upaya perbaikan yang dilakukan
terus-menurus sehingga tercapai suatu kebijakan yang tepat.
Penilaian kinerja, menurut Wether dan Davis (1996), memiliki bias yang mungkin dapat terjadi. Berikut penjabaran bias-bias yang dapat terjadi.
a. Hallo effect, yaitu penilaian pribadi penilai terhadap pegawai yang dinilainya, baik penilaian positif maupun negatif yang pada akhirnya
berpengaruh terhadap penilaian kinerja.
x. Central tendency adalah penilaian kinerja yang cenderung pada tingkat rata–rata. Hal ini disebabkan penilai menghindari nilai yang
terlalu tinggi ataupun terlalu rendah atas kinerja pegawai yang dinilainya.
y. Leniency and severity effect adalah penilai cenderung memberi pendapat yang baik terhadap pegawai. Hal ini disebabkan penilai beranggapan bahwa mereka harus berbuat baik. Hal sebaliknya dapat
z. Assimilation and differential effect atau assimilation effect adalah keadaan ketika penilai cenderung menyukai pegawai yang memiliki
sifat atau ciri-ciri seperti mereka sehingga memberikan nilai yang lebih baik kepada pegawai yang dinilai memiliki kesamaan dengannya. Lain hal dengan differential effect ialah keadaan ketika
penilai cenderung menyukai pegawai yang memiliki sifat atau ciri–ciri yang berbeda dengannya, tetapi sifat atau ciri–ciri tersebutlah yang
sebenarnya ia inginkan sehingga penilai akan memberikan nilai yang lebih baik.
aa. First impression error adalah penilai yang mengambil simpulan
mengenai pegawai berdasarkan kontak pertama mereka dan cenderung membawa kesan tersebut dalam penilaiannya pada jangka waktu yang
lama.
bb. Recency effect adalah penilai cenderung memberikan nilai atas dasar perilaku yang baru saja mereka saksikan sehingga melupakan perilaku
yang lalu selama jangka waktu penilaian.
Bias–bias di atas sangat mungkin terjadi pada proses penilaian kinerja pegawai.
Mengenai hal ini perlu dilakukan evaluasi secara berkala guna memastikan bias– bias tersebut tidak akan menciptakan penilaian kinerja yang tidak valid.
2.3 Persepsi
Berdasarkan KBBI, arti kata persepsi adalah tanggapan (penerimaan) langsung dari sesuatu; serapan. Menurut Robin (2008) dalam Purwandari (2016),
kesan–kesan mereka agar memberikan makna di lingkungan yang dipengaruhi oleh pelaku, target, dan situasi. Purwandari (2016) menyatakan bahwa kunci
memahami persepsi terletak pada pengenalan bahwa persepsi merupakan suatu penaksiran yang unik terhadap situasi dan bukannya suatu pencatatan yang benar terhadap situasi. Pratiwi (2014) menjelaskan bahwa persepsi kinerja ialah proses
mental seseorang untuk mengenali stimulus atau memahami informasi tentang hasil kerja yang dapat dicapai, yaitu berupa perilaku-perilaku atau
tindakan-tindakan yang relevan terhadap dicapainya tujuan organisasi. Menurut Hiam dan Schewe (1994) dalam Pristiyanti (2012), persepsi ialah proses pemberian arti oleh seseorang atas berbagai rangsangan atau stimulus yang diterimanya dan dari
proses tersebut seseorang mempunyai opini tertentu mengenai apa yang diamatinya. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa persepsi ialah tanggapan
langsung dalam menafsirkan informasi atau kesan–kesan mengenai suatu situasi dalam lingkungan dari seseorang atau kelompok yang bersifat unik, tetapi bukan berarti selalu benar.
Kreitner dan Kinicki (2001) dalam Pinasti (2007) menjelaskan empat tahap pemrosesan informasi dalam pembentukan persepsi, yaitu sebagai berikut.
a. Tahap perhatian selektif (selective attention), merupakan proses timbulnya kesadaran akan sesuatu atau seseorang.
b. Tahap interprestasi dan penyederhanaan (encoding and simplification),
c. Tahap penyimpanan dan pengulangan (storage and retention),
merupakan tahap penyimpanan informasi dalam memori jangka
panjang.
d. Tahap penarikan informasi dan pemberian respons (retrieval and response), merupakan tahap seseorang dalam membuat pertimbangan
dan mengambil keputusan.
Tahap encoding and simplifycation memungkinkan dihasilkannya
interpretasi dan evaluasi yang berbeda atas seseorang atau suatu kejadian yang sama. Perbedaan ini dapat disebabkan oleh perbedaan informasi, pengaruh emosi, menerapkan kategori kognitif terkini, dan
perbedaan individual.
Menurut Robbins (2001), terdapat tiga faktor utama yang
Gambar 2.1 Faktor-Faktor yang Terkait Persepsi (Robbins, 2001)
2.4 Implementasi Kebijakan
Implementasi kebijakan merupakan tahapan sulit dari suatu tujuan diterapkannya peraturan atau kebijakan pemerintah. Tahap ini menentukan keberhasilan pembuat kebijakan dalam mencapai tujuannya. Teori terkait
implementasi kebijakan yang dikemukakan oleh Daniel A. Mazmanian dan Paul A. Sabatier (1983) dalam Misnawati (2010) menyatakan bahwa ada tiga
kelompok variabel yang memengaruhi keberhasilan implementasi kebijakan.
1. Karakteristik Masalah
Karakteristik masalah meliputi hal-hal berikut:
cc. tingkat kemajemukan dari kelompok sasaran, yaitu kondisi homogen kelompok sasaran yang akan lebih mudah suatu kebijakan
diimplementasikan;
dd. presentase kelompok sasaran terhadap total populasi, yaitu suatu program akan lebih mudah diimplementasikan ketika sasarannya
hanyalah sekelompok orang tertentu atau hanya sebagian kecil dari semua populasi;
2. Karakteristik Kebijakan
Karakteristik Kebijakan meliputi hal-hal berikut:
a. kejelasan isi, yaitu kebijakan dengan isi yang jelas akan memudahkan implementasinya serta menghindari adanya distorsi atau penyimpangan dalam pengimplementasiannya;
ee. dukungan teoretis terkait kebijakan, yaitu dukungan teoretis akan lebih memantapkan suatu kebijakan karena sudah teruji; pada permasalahan sosial terkadang diperlukan adanya modifikasi;
ff. besarnya alokasi financial terhadap kebijakan, yaitu alokasi financial
diperlukan untuk menjamin terlaksananya tujuan kebijakan yang
memerlukan sumber daya;
gg. dukungan antarberbagai institusi pelaksana, yaitu implementasi suatu kebijakan akan sukses jika terjadi koordinasi yang baik antarberbagai
instansi terkait secara vertikal ataupun horizontal;
konsistensi agar tidak terjadi kerancuan yang menyebabkan kegagalan pengimplementasian;
ii. tingkat komitmen aparat terhadap tujuan kebijakan, yaitu komitmen yang kuat dari aparatur dalam melaksanakan tugas serta mencakup keseriusan agar penerapan suatu kebijakan dapat berjalan dengan baik,
diterima, dan dipatuhi oleh sasaran dari kebijakan tersebut,
jj. akses kelompok-kelompok luar untuk berpartisipasi dalam implementasi kebijakan,
3. Variabel Lingkungan
Variabel lingkungan meliputi hal-hal berikut:
a. kondisi sosial ekonomi dan tingkat kemajuan ekonomi, yaitu kondisi sosial ekonomi yang terbuka dan maju akan lebih mudah menerima
program-program pembaharuan; tingkat kemajuan teknologi akan mempermudah implementasi suatu kebijakan karena dapat dilakukan dengan menggunakan program yang lebih jelas;
kk. dukungan publik, yaitu dukungan publik akan semakin besar ketika kebijakan terkait dengan insentif, tetapi akan semakin sedikit ketika
terkait dengan disinsentif;
ll. sikap dari kelompok pemilih, yaitu kelompok pemilih dapat melakukan intervensi terkait dengan implementasi kebijakan;
2.5 Tunjangan Kinerja Daerah Berdasarkan Penilaian Prestasi Kerja di Provinsi DKI Jakarta
Kebijakan mengenai tunjangan kinerja daerah terbaru dituangkan dalam Peraturan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor 409 Tahun 2016 tentang Tunjangan Kinerja Daerah. Sistem perhitungan tunjangan kinerja daerah
dilakukan berdasarkan penilaian prestasi kerja. Penilaian prestasi kerja merupakan hasil kerja yang dicapai oleh setiap PNS dan calon PNS pada SKPD/UKPD sesuai
dengan aktivitas kerja, perilaku kerja, pencapaian KPI, tindak lanjut arahan Gubernur, tindak lanjut pengaduan masyarakat, dan serapan anggaran.
Kebijakan tunjangan kinerja daerah di Provinsi DKI Jakarta membagi
pegawai menjadi 2 bagian utama, yaitu jabatan pimpinan tinggi dan jabatan administrator/pengawas/pelaksana/fungsional/calon PNS. Berikut bobot penilaian
tunjangan kinerja berdasarkan kelompok jabatan. 1. Jabatan Pimpinan Tinggi
a. pencapaian KPI sebesar 60%,
b. tindak lanjut arahan gubernur sebesar 10%,
nn. tindak lanjut pengaduann masyarakat sebesar 10%, dan
oo. capaian serapan anggaran SKPD/UKPD sebesar 20%. 2. Jabatan Aministrator/Pengawas/Pelaksana/Fungsional/Calon PNS
a. aktivitas kerja sebesar 70%,
b. perilaku kerja sebesar 10%, dan
Berdasarkan bobot di atas, aktivitas kerja menempatkan porsi paling besar. Aktivitas kerja merupakan kegiatan–kegiatan yang dilakukan oleh PNS dan calon
PNS yang berhubungan dengan tugas dan fungsi atau tugas–tugas lain yang diberikan oleh atasan yang berhubungan dengan kedinasan.
.5.1 Penilaian Prestasi Kerja pada Jabatan Administrator/Pengawas/ Pelaksana/Fungsional/Calon PNS di Provinsi DKI Jakarta
Penilaian prestasi kerja pada jabatan administrator/pengawas/pelaksana/
fungsional/calon PNS dilakukan berdasarkan aktivitas kerja, perilaku kerja, dan capaian serapan anggaran. Pada aktivitas kerja akan dilakukan penilaian berdasarkan pekerjaan yang telah dilakukan oleh pegawai sesuai dengan tupoksi
yang telah ditetapkan. Setiap hari pegawai wajib melakukan input data atas pekerjaan yang telah dilakukan. Berikut Gambar 2.1 yang memperlihatkan format
pengisian aktivitas kerja pegawai.
Waktu Aktivitas Keterangan Volume Status
Gambar 2.2 Format Pengisian Aktivitas Kerja Pegawai (Pemerintah Provinsi DKI Jakarta)
Kolom waktu akan berisi tanggal dan jangka waktu yang digunakan untuk mengerjakan suatu pekerjaan. Kolom aktivitas akan berisi jenis tupoksi atas
akan berisi persetujuan atasan langsung terkait dengan pekerjaan yang dilakukan pegawai.
Peraturan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor 409 Tahun 2016 tentang Tunjangan Kinerja Daerah Pasal 15 menyatakan bahwa penilaian perilaku kerja memiliki beberapa aspek sebagai berikut.
a. Orientasi layanan ialah sikap dan perilaku kerja PNS dalam memberikan pelayanan terbaik kepada yang dilayani, antara lain
masyarakat, atasan, rekan kerja, unit kerja terkait, dan/atau instansi lain.
pp. Integritas ialah kemampuan untuk bertindak sesuai dengan nilai,
norma, dan etika dalam organisasi.
qq. Komitmen ialah kemauan dan kemampuan untuk menyelaraskan sikap
dan tindakan PNS untuk mewujudkan tujuan organisasi dengan mengutamakan kepentingan diri sendiri, seseorang dan/atau golongan. rr. Disiplin ialah kesanggupan PSN untuk menaati kewajiban dan
menghindari larangan yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan dan/atau peraturan kedinasan yang apabila tidak ditaati atau
dilanggar dijatuhi hukuman disiplin.
ss. Kerja sama ialah kemauan dan kemampuan PNS untuk bekerja sama dengan rekan sekerja, atasan, bawahan dalam unit kerjanya, serta
instansi lain dalam menyelesaikan suatu tugas dan tanggung jawab yang diberikan sehingga mencapai daya guna dan hasil guna yang
tt. Kepemimpinan ialah kemampuan dan kemauan PNS untuk memotivasi dan memengaruhi bawahan atau orang lain yang berkaitan
dengan bidang tugasnya demi tercapainya tujuan organisasi.
Penilaian perilaku kerja pegawai dilakukan dalam kurun waktu satu bulan sekali,
dengan melakukan pengamatan dan pengawasan oleh atasan langsung pegawai bersangkutan.
Serapan anggaran SKPD/UKPD merupakan perhitungan realisasi belanja bulanan kumulatif dibagi dengan serapan perkiraan sendiri (SPS) belanja bulanan kumulatif. Perhitungan serapan anggaran dilakukan oleh setiap kepala
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1. Pendekatan dan Jenis Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan metode studi kasus. Penelitian kualitatif menurut Creswell (2014:4) adalah
…. is an approach for exploring and understanding the meaning individuals or group ascribe to a social or human problem. The process of research involves emerging questions and procedures, data typically collected in the participant’s setting, data analysis inductively building from particular to general themes, and the researcher making interpretations of the meaning of the data. The final written report has flexible structure.
Menurut Creswell (2014), studi kasus merupakan desain penelitian yang di dalamnya peneliti menyelidiki secara cermat suatu program, peristiwa, aktivitas,
proses, atau sekelompok individu. Kasus–kasus dibatasi oleh waktu dan aktivitas sehingga peneliti mengumpulkan informasi yang lengkap dengan menggunakan
berbagai prosedur pengumpulan data berdasarkan waktu yang telah ditentukan. Menurut Yin (2014), metode yang tepat untuk menjawab pertanyaan mengapa dan bagaimana adalah metode studi kasus karena studi kasus adalah
suatu inkuiri empiris yang menyelidiki fenomena dalam konteks kehidupan nyata, jika batas–batas antara fenomena dan konteks tidak tampak dengan tegas, dan
Penelitian ini menggunakan penelitian studi kasus jamak (multiple case study), yaitu penelitian yang menggunakan banyak (lebih dari satu) isu atau kasus
di dalam satu penelitian (Creswell, 2014). Penelitian ini menggunakan kasus yang terjadi di BPKD dan Kelurahan Provinsi DKI Jakarta. Kedua SKPD tersebut memiliki potensi perbedaan persepsi atas tunjangan kinerja daerah yang berbasis
penilaian prestasi kerja.
Tujuan penelitian studi kasus, menurut Creswell (2014), adalah untuk
memahami atau menjelaskan perilaku dan kepercayaan, mengidentifikasi proses, dan memahami konteks pengalaman masyarakat/kelompok. Orang–orang yang terlibat dalam populasi penelitian disebut sebagai partisipan karena mereka
dianggap berpartisipasi dalam penelitian dengan membahas dan membagi cerita atau pendapatnya dalam sebuah diskusi atau wawancara. Karena sifat mendalam
dari penelitian kualitatif, peserta penelitian yang diperlukan tidak terlalu banyak. Tujuannya ialah mencapai kedalaman informasi bukan keluasan informasi.
3.2. Lokasi dan Sumber Informasi
Penelitian ini dilakukan di Lingkungan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, khususnya di BPKD dan Kelurahan di Provinsi DKI Jakarta. Hal ini disebabkan
kedua SKPD tersebut memiliki perbedaan dalam berbagai hal. BPKD dan kelurahan memiliki perbedaan mendasar terkait dengan penerapan TKD yang berbasis penilaian prestasi kerja. Perbedaan tersebut di antaranya meliputi
Perbedaan-perbedaan tersebut mungkin saja dapat berpengaruh terhadap penerapan kebijakan TKD yang berbasis penilaian prestasi kerja.
Wawancara akan dilalukan dengan konsep semiterstruktur. Daftar pertanyaan akan disiapkan, tetapi tidak menutup kemungkinan wawancara akan mengikuti alur pendapat dari partisipan. Hal ini dilakukan untuk memastikan
partisipan dapat menyampaikan pendapatnya secara nyaman sehingga dapat diperoleh diperoleh data yang andal. Partisipan dalam penelitian ini ialah pegawai
di BPKD, kelurahan, dan BKD Provinsi DKI Jakarta. Wawancara akan dilakukan kepada pegawai yang mendapatkan tunjangan kinerja daerah serta atasan langsung pegawai tersebut sebagai penilai. Hal ini dilakukan untuk mendapatkan data
penelitian yang lebih mendalam serta upaya meningkatkan validitas data.
3.3. Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data merupakan langkah penting dalam melakukan penelitian karena tujuan utama penelitian ialah mendapatkan data yang akurat dan menganalisis data-data tersebut. Penelitian ini menggunakan metode penelitian
kualitatif dengan dua teknik pengumpulan data. 1. Dokumentasi
Menurut Sugiyono (2014), dokumentasi dapat berbentuk tulisan, gambar atau karya–karya dari seseorang. Dalam penelitian ini diggunakan data yang berasal dari peraturan–peraturan terkait tunjangan kinerja daerah dan laporan penilaian
2. Wawancara
Wawancara merupakan teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan cara
melakukan tanya jawab langsung dengan para partisipan guna mendapatkan informasi terkait dengan topik penelitian. Penelitian ini menggunakan teknik wawancara mendalam dengan beberapa partisipan yang berasal dari BPKD dan
BKD di Provinsi DKI Jakarta.
3.4. Analisis Data
Menurut Sugiyono (2014), analisis data dalam penelitian kualitatif merupakan proses mencari dan menyusun secara sistematis data yang diperoleh dari hasil wawancara, catatan lapangan, dan dokumentasi dengan cara
mengorganisasikan data ke dalam kategori, menjabarkan ke dalam unit–unit, melakukan sintesa, menyusun ke dalam pola, memilih mana yang penting dan
yang akan dipelajari, dan membuat simpulan sehingga mudah dipahami oleh diri sendiri ataupun orang lain. Proses analisis data kualitatif terdiri atas reduksi data, penyajikan data, dan pengambilan simpulan.
3.4.1. Reduksi Data
Reduksi data merupakan langkah pertama dalam data analisis data
kualitatif setelah tahap pengumpulan data. Reduksi data, menurut Sugiyono, (2014) merupakan proses merangkum, memilih hal–hal pokok, memfokuskan pada hal-hal yang penting, mencari tema dan pola, dan membuang hal–hal yang
Tahap reduksi data akan merangkum, memilih, dan memfokuskan pada hal–hal penting terkait dengan topik penelitian sehingga dapat membentuk tema
dan pola terkait dengan tujuan penelitian. Penelitian ini terfokus pada persepsi pegawai yang memiliki perbedaan jenis tupoksi terhadap tunjangan kinerja daerah berbasis penilaian prestasi kerja.
3.4.2. Penyajian Data
Tahap selanjutnya dalam analisis data kualitatif adalah penyajian data.
Menurut Miles dan Huberman (1994) dalam Sugiyono (2014), penyajian data yang paling sering digunakan adalah teks yang bersifat naratif, grafik, matriks,
network, dan chart. Penelitian ini menjadikan data dalam bentuk teks yang
bersifat naratif untuk menyajikan hasil penelitian dengan menggunakan teknik wawancara serta dalam bentuk grafik dan matriks pada penelitian dengan
menggunakan teknik dokumentasi.
3.4.3. Pengambilan Simpulan
Pada tahap menarik simpulan dan verifikasi, dijelaskan oleh Sugiyono
(2014) bahwa simpulan awal yang dikemukakan masih bersifat sementara dan akan berubah apabila tidak ditemukan bukti–bukti kuat yang mendukung pada
tahap pengumpulan data berikutnya. Namun, apabila simpulan awal tersebut didukung oleh bukti yang kuat dan konsisten, simpulan tersebut merupakan simpulan yang dapat dipercaya.
tersebut. Verifikasi dilakukan dengan melihat kembali reduksi data dan penyajian data sehingga simpulan yang diambil tidak menyimpang dari data yang dianalisis.
3.5. Pengujian Data
Sugiyono (2014) menyatakan bahwa validitas merupakan derajat ketepatan antara data yang terjadi pada objek penelitian dengan data yang dapat
dilaporkan oleh peneliti. Temuan atau data dapat dinyatakan valid apabila tidak terdapat perbedaan antara laporan penelitian dengan apa yang sesungguhnya
terjadi di lapangan.
Penelitian ini menguji data dengan menggunakan metode triangulasi. Triangulasi ialah teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu
yang lain (Moleong, 2012). Triangulasi yang akan digunakan adalah triangulasi sumber, yaitu akan dilakukan wawancara kepada beberapa sumber dengan
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
.1 Pengumpulan Data
Penelitian ini menggunakan metode dokumentasi terhadap
peraturan-peraturan terkait dengan TKD yang berbasis penilaian prestasi kerja di DKI Jakarta dan hasil penilaian aktivitas kerja pegawai. Selanjutnya, penggambilan
daya dilakukan dengan menggunakan teknik wawancara mendalam dengan para pegawai yang terlibat dalam perhitungan realisasi TKD dan pegawai yang menjadi pihak penyusun kebijakan. Langkah-langkah tersebut ditampilkan pada
Gambar 4.1.
Gambar 4.1 Langkah-langkah penelitian
Langkah pertama yang dilakukan untuk dapat menjawab pertanyaan dan memperoleh tujuan penelitian ialah dengan melakukan dokumentasi terhadap
Dokumentasi peraturan-peraturan terkait TKD dan laporan hasil penilaian aktivitas kerja pegawai, dilanjutkan dengan melakukan wawancara mendalam kepada pegawai di BPKD, BKD, dan Kelurahan.
peraturan-peraturan ataupun dokumen yang terkait dengan TKD yang berbasis penilaian prestasi kerja. Adapun peraturan dan dokumen yang digunakan adalah
1. Peraturan Gubernur Nomor 409 Tahun 2016 tentang Tunjangan Kinerja Daerah;
2. Peraturan Gubernur Nomor 217 Tahun 2015 tentang Jenis Aktivitas
Tunjangan Kinerja Daerah;
3. Peraturan Gubernur Nomor 218 Tahun 2015 tentang Mekanisme Perhitungan
Pembayaran Tunjangan Kinerja Daerah;
4. Data anggaran Pemerintah Provinsi DKI Jakarta Tahun 2014 sampai dengan 2017.
Penelitian ini selanjutnya menggunakan metode wawancara mendalam untuk memperoleh informasi dari pegawai Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.
Wawancara dilakukan di kantor BPKD, BKD, dan Kelurahan di Lingkungan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dengan durasi wawancara antara 15 menit sampai dengan 60 menit. Partisipan yang telah menyatakan kesediaannya untuk
13 MIK Kelurahan Pelaksana
14 E Kelurahan Pelaksana
Partisipan telah memberikan informasi terkait dengan TKD berbasis penilaian prestasi kerja berdasarkan pengetahuan, pengalaman, dan wewenang yang
dimilikinya. Hasil wawancara partisipan di atas disajikan dalam bentuk transkrip wawancara.
4.1. Penerapan Tunjangan Kinerja Daerah Berbasis Penilaian Prestasi Kerja
Kebijakan terkait dengan TKD berbasis penilaian prestasi kerja yang
berlaku saat ini adalah Peraturan Gubernur Nomor 409 Tahun 2016 tentang Tunjangan Kinerja Daerah. Peraturan gubernur terkait dengan TKD memang
sering kali mengalami perubahan, sejak ditetapkan pada tahun 2014 telah dilakukan perubahan peraturan gubernur sebanyak empat kali. Hal ini disebabkan adanya evaluasi pada setiap kali peraturan TKD dijalankan di lapangan. Hasil
evaluasi penerapan di lapangan menjadi bahan pertimbangan disusunnya kebijakan baru terkait TKD.
Pembahasan dalam penelitian ini ialah penerapan TKD berbasis penilaian prestasi kerja dengan pedoman peraturan yang berlaku saat ini pada BKPD dan Kelurahan di Lingkungan Provinsi DKI Jakarta. Pelaksanaan penilaian prestasi
Gambar 4.2 Perhitungan Prestasi Kerja
.2.1 Aktivitas Kerja
Aktivitas kerja memiliki bobot nilai tertinggi pada prestasi kerja. Setiap pegawai wajib melalukuan input data terkait dengan pekerjaannya setiap hari ke dalam sistem e-Kinerja yang isinya merujuk pada Peraturan Gubernur Nomor 217
Tahun 2015 tentang Jenis Aktivitas Tunjangan Kinerja Daerah. Atasan langsung setiap pegawai memiliki kewajiban untuk melakukan validasi. Dasar untuk
melakukan validasi aktivitas kerja pegawai ialah disposisi atasan, hal ini merupakan bentuk pencegahan terhadap kecurangan dalam pengisian aktivitas kerja. Validasi aktivitas kerja dilakukan paling lambat tanggal 8 bulan berikutnya.
Apabila tidak melakukan validasi aktivitas kerja bawahannya, atasan langsung dijatuhi hukuman berupa pemotongan TKD sebesar 40% dalam bulan yang
bersangkutan.
Perhitungan aktivitas kerja sebagai salah satu dasar realisasi TKD pegawai dilakukan menggunakan sistem e-Kinerja. Berikut metode perhitungan
Gambar 4.3 Metode Perhitungan Pencapaian Kinerja
Nilai aktivitas kerja menggunakan nilai terkecil antara capaian dan batasan maksimal waktu efektif. Penilaian aktivitas kerja diharapkan mampu
meningkatkan motivasi menyelesaikan pekerjaan pada setiap pegawai. Dengan metode TKD berbasis penilaian prestasi kerja, setiap pegawai berupaya
memperoleh tugas harian sebanyak-banyaknya guna mendapatkan poin maksimal. Hal ini tentu saja membawa dampak positif bagi organisasi. Hal tersebut sesuai dengan petikan wawancara sebagai berikut.
“…kemudian pegawai-pegawai jadi tambah rajin Mbak, rajin tambah belajar untuk dapat pekerjaan yang lebih banyak, artinya kalau dulu ada pemikiran kerja ngga kerja kan gajinya sama. Nah kalau sekarang ngga bisa kaya gitu lagi. Kalau ngga kerja ngga input hasil pekerjaan mereka tentu ngga akan dapet tunjangan.” (BKD5)
Penerapan aktivitas kerja telah mampu meningkatkan motivasi pegawai untuk menyelesaikan pekerjaan. Pada saat ini metode perhitungan pencapaian kinerja hanya menekankan pada aktivitas kerja yang dilakukan pegawai setiap
hari. Motivasi bekerja pegawai meningkat, tetapi hal ini belum mampu memberikan bukti yang meyakinkan mengenai adanya peningkatan kinerja yang
atas kualitas output kinerja pegawai. Pada saat ini penetapan metode perhitungan pencapaian kinerja hanya mampu menghitung waktu kerja pegawai, tetapi belum
dapat memberikan penilaian kualitas output kinerja pegawai. Peningkatan kinerja pegawai saat ini baru dapat dilihat secara makro. Hal tersebut sesuai dengan petikan wawancara sebagai berikut.
“Secara makro saya jelaskan itu bisa dilihat dengan keseharian di ibu kota itu kan, bisa kita lihat. Karena tadi saya bilang, setiap Kepala SKPD dia punya target prioritas.” (KH46)
Pengawasan terhadap penilaian aktivitas kerja belum dilakukan oleh tim
pengawasan (monitoring) dan evaluasi TKD. Hal ini memungkinkan peningkatan kesempatan bagi pegawai untuk berbuat curang. Wacana terkait dengan
melakukan unggah (upload) output dokumen pekerjaan dalam aktivitas kerja ke dalam sistem masih menemui hambatan teknis. Sebenarnya dapat dilakukan perbaikan sistem e-Kinerja dengan menambahkan fitur unggah upload dokumen
sebagai output pekerjaan, tetapi hal ini masih terkendala kemampuan server yang dimiliki oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Hal tersebut sesuai dengan petikan
wawancara sebagai berikut.
“Ke depannya kayanya ya. Kalau dari maksudnya, dasar pertanggungjawaban sih sebenernya ngga masalah kalau dari sisi kita. Cuma hal yang perlu dipertimbangkan, server kita pasti ngga akan kuat.” (BKD38)
Permasalahan teknis tersebut hendaknya dapat segera diatasi oleh
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, mengingat pengawasan pada hasil (output)
.2.1.1 Penerapan Aktivitas Kerja pada BPKD
Penelitian yang dilakukan pada BPKD menggunakan teknik wawancara
mendalam yang melibatkan enam orang partisipan. Hasil wawancara mendalam memperoleh informasi bahwa penerapan TKD berbasis penilaian prestasi kerja sudah sesuai antara kebijakan dan kondisi di lapangan. Hal tersebut disebabkan
pegawai BPKD sudah memahami peraturan terkait TKD dengan baik. BPKD merupakan SKPD yang menjadi perwakilan Tim Penyusun kebijakan terkait TKD
sehingga informasi mengenai peraturan TKD berbasis penilaian prestasi kerja dapat tersampaikan dengan baik kepada seluruh pegawai.
Pengisian aktivitas kerja pada sistem e-Kinerja sudah sesuai dengan
kegiatan setiap pegawai. Hal tersebut sudah sesuai, salah satunya dengan petikan wawancara berikut.
“….tunjangan kinerja daerah sih saat ini sudah mulai sesuai ya, maksudnya kita sudah ada sistem sendiri dan sekarang memang tunjangan ini diberikan berdasarkan kerjaan yang kita lakukan sehari-hari. Jadi kalau menurut saya sampai saat ini sudah sesuai…” (EH4)
Setiap pegawai telah memahami mekanisme pencatatan aktivitas kerja, atasan langsung masing-masing pegawai pun telah memiliki tingkat kesadaran
yang baik mengenai pengisian aktivitas kerja sehingga memberikan keyakinan bahwa pengisian aktivitas kerja telah akurat. Hal ini tercermin dari petikan wawancara, pada level penilai yang menyampaikan bahwa telah melakukan
teguran apabila terdapat pegawai yang melakukan pengisian aktivitas kerja tidak sesuai dengan keadaan sebenarnya, sebagai berikut.
teguran. Yang tertulis itu biasanya waktu kerjanya dia kan udah terhitung nih, apabila batasan itu sudah melampau gitu ya, melampaui batas ketentuan, nah itu kita baru teguran lisan. Teguran lisan itulah yang kena punishment berupa kinerjanya, tunjangan kinerja yang diberikan.” (MH7)
Dalam memastikan aktivitas kerja pegawai telah sesuai dengan kondisi sebenarnya, para penilai di BPKD menggunakan disposisi sebagai dasar
melakukan validasi aktivitas kerja pegawai yang dinilainya.
Pada BPKD peningkatan motivasi kerja pegawai dinilai meningkat.
Peningkatan tersebut dikarenakan adanya sistem rotasi pegawai antar level staf yang sebelumnya tidak pernah dilakukan. Saat ini pegawai saling berlomba untuk memperoleh nilai prestasi kerja yang baik sehingga dapat mempertahankan
ataupun meningkatkan level jabatan yang pada akhirnya berdampak pada TKD yang diterimanya. Pemahaman tupoksi pegawai di BPKD sudah cukup baik.
Pembagian tupoksi sudah diatur dengan baik sehingga setiap pegawai memahami perannya dalam organisasi. Masing-masing pegawai menjalankan tugasnya tanpa merasa terdapat kekurangan ataupun kelebihan beban kerja yang tidak
proposional.
Sistem perhitungan kinerja menggunakan metode perhitungan pencapaian
kinerja (aktivitas kerja) menuai kritik dari para partisipan di BPKD. Penentuan sistem perhitungan nilai aktivitas ini memperoleh kritik dari para pegawai yang banyak melakukan lembur untuk menyelesaikan pekerjaan mendesak ataupun
kompensasi tambahan penghasilan maupun toleransi keterlambatan masuk kerja esok harinya. Pegawai menyampaikan keluhan terkait pemotongan yang
dilakukan karena keterlambatan pada jam masuk kantor namun waktu lembur tidak dapat dipertimbangkan sebagai jam kerja tambahan. Hal tersebut sesuai dengan kutipan wawancara sebagai berikut.
“…jadi kalau seumpama lebih ada yang dia beban kerjanya lebih berat istilahnya sampai malam, ada yang lembur ada yang tidak pulang, itu tetap perhitungannya sehari 300 menit. Padahal kalau kita terlambat itu kan langsung dipotong karena dianggap sehari tidak 300 menit. Jadi kinerjanya hanya berapa menit dari sehari itu, kalau seumpama sehari telat lima menit ya kerjanya cuma dianggap 295 menit. Padahal malamnya habis lembur, sampai malam, itu kekurangannya.” (AH15)
Perhitungan aktivitas dengan metode saat ini dinilai belum memberikan
keadilan pada pegawai yang memiliki tupoksi yang seringkali mengharuskan bekerja lembur, di BPKD cukup banyak pegawai yang harus bekerja lembur. Hal ini memacu pendapat partisipan di BPKD berpendapat metode perhitungan
aktivitas perlu dilakukan evaluasi.
Pengawasan yang dilakukan untuk perhitungan aktivitas kerja belum
pernah dilakukan. Pada BPKD pengawasan terkait dengan TKD masih terfokus hanya pada absen sedangkan output dari aktivitas kerja belum dilakukan pengawasan oleh tim monitoring dan evaluasi TKD. Selain hal tersebut, waktu
pelaksanaan pemeriksaan dinilai masih belum maksimal karena jarak periode periksaan yang masih kurang dan fokus pemeriksaan yang belum tepat sasaran.
Hal tersebut sesuai dengan petikan wawancara sebagai berikut.
Tim monitoring dan evaluasi TKD perlu melakukan perbaikan terkait dengan pengawasan. Hal tersebut menjadi kunci keberhasilan penerapan TKD
berbasis penilaian prestasi kerja. Pasalnya realisasi anggaran TKD berbasis penilaian prestasi kerja sangat bergantung pada pengisian aktivitas kerja yang dilakukan oleh masing-masing pegawai.
Hasil wawancara dengan partisipan pada BPKD menunjukkan penerapan TKD berbasis penilaian prestasi kerja terkait dengan aktivitas kerja telah memiliki
akurasi yang tinggi. Hal tersebut dikarenakan pemahaman mengenai peraturan dan tupoksi yang baik, baik dari level staf maupun level atasan sebagai penilai. Beban kerja yang dimiliki pegawai BPKD cukup tinggi, hal ini membawa
kelebihan maupun kekurangan. Kelebihannya setiap pegawai memiliki kesempatan untuk mendapatkan poin maksimal terkait dengan aktivitas kerja.
Kekurangannya ialah banyak pegawai yang merasa perlu dilakukan evaluasi terkait dengan metode perhitungan pencapaian kinerja yang menggunakan nilai terkecil antara realisasi capaian dan batas maksimal waktu efektif 1 bulan. Terkait
dengan pengawasan terkait dengan output aktivitas kerja belum dilakukan dengan maksimal di BPKD.
4.2.1.2 Penerapan Aktivitas Kerja pada Kelurahan
Penelitian yang dilakukan pada kelurahan menggunakan teknik wawancara mendalam melibatkan 6 orang partisipan. Hasil wawancara memperoleh informasi
kelurahan. Hal ini didasari oleh beberapa faktor, yaitu kurangnya pemahaman pegawai terhadap kebijakan TKD, lemahnya pengawasan dari tim monitoring dan
evaluasi TKD, jenis tupoksi yang lebih banyak dilakukan di luar kantor, dan kurangnya pemahaman mengenai tupoksi masing-masing pegawai. Berikut petikan wawancara yang menyatakan belum maksimalnya penerapan TKD
berbasis penilaian prestasi kerja.
“…penerapannya oleh pegawai yang bersangkutan itu kadang-kadang masih tidak maksimal. Dalam artian dia kerjanya kurang maksimal tapi memperoleh pendapatan dari TKD ini…” (HR5)
Pengisian aktivitas kerja pada sistem eKinerja diragukan kebenarannya oleh sebagian besar partisipan, terutama untuk pekerjaan yang dilakukan di luar
kantor. Pekerjaan yang dilakukan di luar kantor seharusnya disertai dengan dokumentasi foto namun pada kenyataannya sering kali pegawai tidak menyertakan foto kegiatan di lapangan. Selain hal tersebut terdapat juga pegawai
yang sering kali menambahkan jam penyelesaian pekerjaan yang tidak sesuai dengan kondisi sebenarnya. Hal tersebut sesuai dengan petikan wawancara
sebagai berikut.
“kelebihannya untuk saat ini secara materi ya kita udah cukup ya, tapi kekurangannya gimana ya ngomongnya juga ngga enak juga ya. Kekurangannya kalau orang itu jujur itukan positif tapikan kalau orang tidak jujur ngga sesuai dong pendapatan sama ini. Ketidakadilan jadinya. Bisa aja ngarang-ngarang, tidak kerja.” (LN4)
“….tapi ada beberapa kan yang ngga ada fotonya.” (LN15)
kadang-kadang di sistimnya itu..Sebenernya kalau tugas ya dilaksanakan cuman kadang-kadang kan untuk mempercepat hasil supaya sesuai dengan ketentuan waktu yang diterapkan di sistem, di sistem maksimal waktu 30 menit selesai gitu bisa mengerjakan secara selesai dengan 10 menit 15 menit gitu kan, kadang-kadang kita ambil yang maksimalnya.” (HR9)
Manipulasi pengisian aktivitas kerja oleh pegawai kelurahan yang tidak jujur menimbulkan ketidakadilan yang dirasakan pegawai lain. Tujuan dari
penerapan kebijakan TKD sebagai upaya meningkatkan keadilan antar pegawai belum tercapai.
Penerapan kebijakan TKD berbasis penilaian prestasi kerja yang masih
terdapat penyimpangan dikarenakan beberapa faktor. Pengawasan yang rendah dinilai menjadi penyebab terbesar manipulasi eKinerja dapat terjadi pada tingkat
kelurahan. Tim monitoring dan evaluasi TKD yang tertuang pada Peraturan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor 409 Tahun 2016 belum melaksanakan fungsi pengawasan dengan maksimal. Pengawasan terkait dengan TKD yang
dilakukan hanya terfokus pada kehadiran pegawai, hal ini dikarekan sistem absensi yang paling mudah untuk dilakukan pemeriksaan. Hal tersebut kurang
tertuju pada permasalahan besarnya yaitu manipulasi pengisian eKinerja, terutama pada aktivitas kerja yang memiliki bobot paling tinggi sebesar 70%. Hal tersebut sesuai dengan petikan wawancara sebagai berikut.
“Kurangnya pengawasan dari pihak tingkat kota, tingkat provinsi, jadinya di pas penerapannya di lapangannya itu apa ya.. kurang sesuai gitu.” (HN4)
Faktor selanjutnya yang menjadikan penerapan TKD berbasis penilaian
prestasi kerja belum maksimal pada tingkat kelurahan ialah kurangnya pemahaman mengenai tupoksi masing-masing pegawai. Hal tersebut mengakibatkan para pegawai yang khususnya bekerja di lapangan, sering kali
mengerjakan pekerjaan yang di luar tupoksinya. Tidak hanya karena kurangnya pengetahuan pegawai mengenai tupoksinya masing-masing, terdapat juga
pekerjaan-pekerjaan yang diturunkan dari tingkat kota ke tingkat kelurahan yang sebenarnya tidak terdapat pada daftar tupoksi kelurahan. Hal tersebut sesuai dengan petikan wawancara sebagai berikut.
“Kalau saya memang pengawasan dan ini.. agak rendah ya untuk pemahaman dari penerapan tupoksi. Jadi, dengan TKD sekian, misalnya staff apa gitu. Itu dia harusnya dia tau kalau misalnya dia staff apa yang dia kerjain tu apa gitu, jangan tupoksinya ini tapi mengerjakan yang lain.” (HN5)
“Jadi, mau ngerjain ini sudah dikerjain ini, nah akhirnya ini gitu. Jadi, yaudah akhirnya kita suka mencari apa yang bisa dimaksimalkan, mencari kerjaan gitu. Yaudah, saya kan menutupinya bisa salah satunya dengan cara monitoring ke wilayah.” (HN12)
Permasalahan-permasalahan yang terjadi di kelurahan terkait dengan penerapan TKD berbasis penilaian prestasi kerja tidak mengakibatkan kebijakan TKD menjadi sesuatu yang sia-sia. Kebijakan TKD tetap saja membawa
perubahan yang lebih baik, diantaranya tingkat disiplin pegawai mengenai jam kerja meningkat, motivasi bekerja meningkat, pelayanan kepada masyarakat lebih
bukanlah merupakan suatu yang gagal, namun perlu dilakukan evaluasi terus menerus mengingat beragamnya kondisi di lapangan.
4.2.2 Penilaian Perilaku Kerja
Penilaian perilaku kerja memiliki bobot sebesar 10% dari total TKD pegawai. Penilaian ini dilakukan oleh atasan langsung pegawai. Penilaian perilaku
dilakukan melalui pengamatan dan pengawasan oleh atasan langsung kepada PNS dan calon PNS sesuai dengan kriteria yang ditentukan. Penginputan penilaian
perilaku kerja dilakukan oleh atasan langsung paling lambat pada tanggal 5 bulan berikutnya. Penilaian perilaku kerja memiliki tujuan untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat dan menciptakan keadaan kondusif di lingkungan
kerja.
Kebijakan penilaian perilaku kerja yang terdapat pada Peraturan Gubernur
Nomor 409 Tahun 2016 tentang Tunjangan Kinerja Daerah merupakan adopsi dari kebijakan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 46 Tahun 2011 tentang Penilaian Prestasi Kerja Pegawai Negeri Sipil. Hal tersebut disampaikan
dalam petikan wawancara sebagai berikut.
“…kan ada SKP, ada perilaku. Nah, perilaku itu dilakukan oleh atasan langsung pada bawahannya. Ini sebetulnya adopsi….” (KH18)
Hal tersebut yang menjadi dasar penentuan penilaian
perilaku kerja dilakukan hanya oleh atasan langsung dan atasan
selanjutnya hanya sebagai pihak yang dapat memberikan
perilaku kerja menggunakan sistem 360 derajat belum dapat
dilakukan karena kendala sistem. Percobaan mengenai sistem
penilaian 360 derajat telah dilakukan namun belum berhasil
dikarenakan permasalahan teknis, yaitu kurangnya sumber daya
manusia yang dapat mengelola sistem penilaian tersebut dengan
baik, server dan pengelolaan data yang belum maksimal. Hal
tersebut sesuai dengan kutipan wawancara sebagai berikut.
“Dulu seperti itu Mbak..360 derajat. Penilaian 360 derajat, random, atasan sama teman sejawat. Kalau staf kan ngga punya bawahan ya, sedangkan kalau eselon baru 360 derajat. Itu kurang efektif. Kita setuju. Kita sebagai tim perumus kebijakannya kita setuju banget dengan konsep seperti itu, tapi pada kenyataanya ada yang kurang terakomodir, dalam artian itu kan melibatkan sistem dan data yang kita miliki masih belum terlalu kuat dan up to date.” (BKD45)
4.2.2.1 Penerapan Penilaian Perilaku Kerja di BPKD
Pegawai BPKD yang menjadi partisipan dalam penelitian ini
mengungkapkan puas akan penilaian perilaku kerja yang diberikan oleh atasan
langsungnya. Seluruh partisipan mengungkapkan bahwa sudah tidak terdapat
unsur subjektivitas dalam pemberian nilai perilaku kerja. Hal ini mampu
meningkatkan kerjasama antar pegawai dan menciptakan keadaan kondusif di
lingkungan kerja.
Atasan langsung sebagai penilai memahami perannya dalam mewujudkan tujuan TKD. Penilaian perilaku kerja dilakukan dengan objektif tanpa
membedakan pegawai. Hal tersebut tercemin dari jawaban partisipan pada level staf yang merasa puas akan penilaian yang diberikan. Berikut petikan wawancara
“Ya, enam bulan terakhir ya, puas saya. Artinya gini Mbak, selama ini saya tidak pernah punya komplain dengan atasan, seandainya pun ada kemarin beberapa bulan yang lalu kita ada penurunan perilaku mungkin pas dinilai kita ada kurangnya, kan ngga mungkin pas dinilai kita disuruh ayo duduk manis kan ngga mungkin, kebetulan mungkin kita jenuh bekerja kemudian atasan ada keperluan yang gimana terus kita jawabnya apa mungkin kurang berkenan. Saya rasa garis besarnya sih sudah oke.” (SH41)
Hasil wawancara menunjukkan terdapat perubahan hasil penilaian perilaku baik
penurunan maupun peningkatan setiap bulannya. Hasil penilaian perilaku yang terjadi penurunan dapat dilakukan diskusi antara staf dan atasan. Hal ini telah dilakukan di BPKD sehingga memberikan keyakinan bahwa penilaian perilaku
kerja telah dilakukan dengan objektif.
.2.2.2 Penerapan Penilaian Perilaku Kerja di Kelurahan
Terdapat pegawai kelurahan yang menjadi partisipan dalam penelitian ini mengungkapkan ketidakpuasan terkait dengan penilaian perilaku kerja. Hal ini dikarenakan masih terdapat unsur subjektivitas dalam penilaian perilaku kerja.
Penilaian perilaku kerja tidak dilakukan sesuai dengan kebijakan yang berlaku, atasan langsung yang seharusnya menjadi penilai tidak dapat menjalankan
fungsinya karena sistem penilaian perilaku dilakukan oleh pihak lain. Penilaian perilaku yang seharusnya diberikan sesuai dengan perilaku masing-masing pegawai diberikan nilai yang hampir setara pada seluruh pegawai kelurahan. Hal
ini menjadi bias karena penilaian yang diberikan sangat mungkin tidak sesuai dengan keadaan sebenarnya. Hal tersebut sesuai dengan petikan wawancara
ada perasaan seperti itu walaupun sebenernya secara rasa sih ya kita bisa dibilang agak kesel sih. Temen atau bawahan atau rekan kerja gitu kan kadang-kadang ada yang santai-santai, kurang maksimal kerjanya, tapi kadang-kadang penilaian kerjanya masih kategori maksimal.” (HR12)
“Kalau di sini, yang validasi cuma satu orang. Jadi, kaya staf ahli gitu, bukan pimpinannya langsung. Jadi, itu dipukul rata semua staf. Harusnya nggak boleh seperti itu kan.” (HS42)
Permasalahan terkait dengan penilaian perilaku ini tentu saja
masih didasarkan pada kurangnya pengawasan oleh pihak yang
berwenang yaitu tim monitoring dan evaluasi TKD sesuai dengan
peraturan gubernur. Rendahnya pemahaman mengenai kebijakan
TKD oleh para pejabat di kelurahan menjadi sebab lain tidak
berjalannya penilaian perilaku sesuai dengan kebijakan yang
berlaku.
Sistem penilaian yang bersifat subjektivitas di kelurahan ini
menjadi tanggungjawab pimpinan tertinggi. Rendahnya
perhatian terhadap sistem penilaian perilaku dari pimpinan dapat
menimbulkan situasi yang buruk di lingkungan kerja. Hal ini
dapat mengakibatkan pegawai tidak menyadari dan enggan
memperbaiki perilaku buruknya karena penilaian perilaku yang
diberikan selalu mendapat nilai yang baik. Whistleblowing
system dirasa dapat digunakan untuk mengatasi permasalahan
4.2.3 Capaian Serapan Anggaran
Komponen selanjutnya dalam melakukan perhitungan TKD ialah serapan
anggaran SKPD/UKPD. Serapan anggaran merupakan realisasi belanja bulanan kumulatif dibagi dengan SPS belanja bualann kumulatif. Ketika penyusunan DPA, kepala SKPD/UKPD wajib menghitung dan menginput SPS anggaran setiap bulan
pada sistem informasi TKD paling lambat 1 minggu setelah penetapan DPA. Hal tersebut terkait dengan kepentingan SPS sebagai dasar perhitungan realisasi
serapan anggaran dalam komponen perhitungan TKD.
Serapan anggaran memiliki bobot 20% dalam perhitungan TKD. Perhitungan serapan anggaran berpengaruh kepada seluruh pegawai di suatu
SKPD/UKPD. Tujuan diberlakukannya capaian serapan anggaran sebagai salah satu komponen perhitungan TKD ialah untuk meningkatkan tertib administrasi
pengelolaan keuangan daerah yang selanjutnya diharapkan tidak terjadi lagi penumpukan penyerapan anggaran di akhir tahun. Permasalahan mengenai terlambatnya penyelesaian pekerjaan yang pada akhirnya terjadi penumpukkan
penyerapan di akhir tahun sudah sering kali terjadi di pemerintahan. Guna menghindari hal tersebut, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta memberlakukan
capaian serapan anggaran sebagai komponen perhitungan TKD.
Hasil wawancara pada partisipan yang bekerja di BPKD menunjukkan perhatian yang tinggi pada serapan capaian anggaran. Hal ini dikarenakan