BAB II
TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perilaku Bahaya Kerja
2.1.1 Definisi
Perilaku berbahaya menurut Silalahi (1995) identik dengan istilah perbuatan berbahaya yang merupakan terjemahan dari unsafe act. Berberapa contoh tindakan
berbahaya menurut Silalahi antara lain kegiatan yang tidak sah, kegiatan dengan kecepatan yang berbahaya dan mengambil posisi kerja atau sikap yang tidak selamat.
McCormick dan Anastasi dalam Winarsunu (2008) menggunakan istilah unsafe behavior dan accient behavior untuk menggambarkan perilaku berbahaya dalam
bekerja seperti memakai perlengkapan keselamatan kerja secara tidak tepat, kurangnya keterampilan dan kegagalan dalam mendeteksi waktu. Disamping menggunakan istilah unsafe behavior tetapi juga hazardous behavior untuk
menggambarkan perilaku berbahaya dalam bekerja, misalnya tidak adanya perhatian ketika bekerja, bekerja dengan cara yang kasar atau sambil berkelakar.
Menurut Kavianian dalam Winarsunu (2010) perilaku berbahaya adalah
kegagalan (human failure) dalam mengikuti persyaratan dan prosedur-prosedur kerja yang benar sehingga menyebabkan terjadinya kecelakaan kerja. Lawton dalam
Winarsunu (2010) menyatakan bahwa perilaku berbahaya adalah kesalahan-kesalahan (error) dan pelanggaran-pelanggaran (violation) dalam bekerja yang dapat menyebabkan kecelakaan kerja.
dalam Winarsunu (2008), hal ini didasarkan pada pertimbangan bahwa disamping
defenisi tersebut telah merangkum defenisi-defenisi yang lain juga karena memberikan gambaran yang lebih baik, yaitu didalamnya telah memuat
indikator-indikator perilaku berbahaya yaitu adanya kesalahan (errors) dan pelanggaran (violations).
Menurut Notoadmodjo (2007), perilaku seseorang terdiri dari pengetahuan,
sikap dan tindakan. 1. Pengetahuan
Pengetahuan adalah hasil dari proses pembelajaran dengan melibatkan indra penglihatan, pendengaran, penciuman dan pengecap. Pengetahuan akan memberikan
penguatan terhadap individu dalam setiap mengambil keputusan dan dalam berperilaku. Perilaku yang baru diadopsi oleh individu akan bisa bertahan lama dan langgeng jika individu menerima perilaku tersebut dengan penuh kesadaran, didasari
atas pengetahuan yang jelas dan keyakinan (Setiawati dan Dermawan, 2008). 2. Sikap
Menurut Azwar (2007), sikap adalah suatu pola perilaku, tendensi atau
kesiapan antisipatif, predisposisi untuk menyesuaikan diri dalam situasi sosial, atau secara sederhana, sikap adalah respons terhadap stimuli sosial yang telah
terkondisikan. Menurut Allport dalam Notoatmodjo (2007), sikap itu terdiri dari 3 komponen pokok, yaitu :
a. Kepercayaan atau keyakinan, ide, dan konsep terhadap objek, artinya bagaimana
b. Kehidupan emosional atau evaluasi orang terhadap objek, artinya bagaimana
penilaian (terkandung di dalamnya faktor emosi) orang tersebut terhadap objek. c. Kecenderungan untuk bertindak (tend to behave), artinya sikap merupakan
komponen yang mendahului tindakan atau perilaku terbuka. Ketiga komponen tersebut secara bersama-sama membentuk sikap yang utuh (total attitude). Dalam menentukan sikap yang utuh ini, pengetahuan, pikiran, keyakinan, dan emosi
memegang peranan penting dalam melaksanakan suatu aktiviatas (pekerjaan). 3. Tindakan
Suatu sikap belum otomatis terwujud dalam suatu tindakan (overt behaviour). Untuk terwujudnya sikap menjadi suatu perbedaan nyata diperlukan faktor
pendukung atau suatu kondisi yang memungkinkan, antara lain adalah fasilitas (Notoatmodjo, 2007). Suatu sikap belum otomatis terwujud dalam suatu tindakan (overt behaviour). Mengingat sikap itu belum berupa tindakan, maka untuk dapat
mewujudkan sikap menjadi tindakan dibutuhkan tingkatan-tingkatan tindakan, yaitu : 1. Persepsi, yaitu individu mulai membentuk persepsi dalam proses pikirnya tentang
suatu tindakan yang akan diambil.
2. Terpimpin, yaitu persepsi yang sudah ada pada seseorang akan ditindak lanjuti dengan kegiatan secara berurutan.
4. Adopsi, yaitu kegiatan yang sudah dilakukan secara otomatis selanjutnya individu
akan mengembangkan kegiatan tersebut dengan tidak mengurangi makna dan tujuan dari kegiatan tersebut (Setiawati dan Dermawan, 2008).
Contoh perilaku berbahaya (Winarsunu, 2000) :
1. Tindakan tanpa kualifikasi dan otoritas. Hal yang penting adalah bahwa semua peralatan harus dioperasikan oleh seseorang yang mempunyai
kewenangan dan mengenal dengan baik bahaya dan prosedur pengoperasiannya 2. Kurang atau tidak menggunakan perlengkapan pelindung diri. Ada banyak
kesempatan pekerja tidak mempunyai atau menggunakan peralatan pelindung diri untuk suatu performansi tugas tertentu.
3. Kegagalan dalam menyelamatkan peralatan.
4. Bekerja dengan kecepatan yang berbahaya. Seiring pekerja ingin mencoba mengakhiri pekerjaannya terlalu cepat, mungkin menjalankan mesin pada
kecepatan yang membahayakan. Pekerja mungkin juga mengambil jalan pintas yang dapat menyebabkan kecelakaan kerja. Manajemen harus menjamin bahwa tindakan semacam ini tidak benar.
5. Kegagalan dalam peringatan. Jika peralatan memiliki otomatis untuk hidup dan mati, atau jika bergerak tanda peringatan yang akurat harus diberikan. Juga lantai atau permukaan kerja yang membahayakan harus diberi tanda.
6. Menghindari atau memindahkan peralatan keselamatan kerja. Banyak peralatan kerja yang disertai yang disertai perlengkapan keselamatan kerja seperti
menghindari perlengkapan semacam ini dengan alasan kenyamanan dalam
bekeja.
7. Menggunakan peralatan yang tidak layak. Peralatan sering menjadi rusak
karena lamanya pemakaian.
8. Menggunakan peralatan tertentu untuk tujuan lain yang menyimpang.
9. Bekerja di tempat yang berbahaya tanpa perlindungan dan peringatan yang
tepat.
10. Memperbaiki peralatan secara salah, misalnya pada peralatan mesin yang
hidup yang bisa membahayakan keselamatan.
11. Bekerja dengan kasar. Aktivitas ini sangat membahayakan dan tidak diijinkan oleh perusahaan baik pada saat maupun tidak sedang bekerja.
12. Menggunakan pakaian yang tidak aman ketika bekerja.
13. Mengambil posisi bekerja yang tidak selamat. Misalnya mengangkat secara salah, meraih ketinggian yang membutukan pengurasan tenaga.
2.1.2 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Berbahaya A. Kondisi tempat kerja
1. Lingkungan fisik
Teknologi modern telah menghasilkan lingkungan kerja dan mesin-mesin
yang membawa bahaya bagi para pekerja. Proses produksi yang semakin maju, permesinan canggih dengan alur produksi yang sangat cepat dan mesin-mesin otomatis, menambah kompleksitas dan bahaya kerja. Industri membuat lingkungan
berjalan cepat dibandingkan evolusi sumber daya menusianya. Padahal sumber daya
manusia itulah yang diharapkan mengerti, mengoperasikan, mengontrol mesin yang canggih tersebut.
Kesulitan-kesulitan dalam mendisain lingkungan kerja yang aman selalu muncul setiap saat. Pekerja harus mendapatkan pelatihan mengenai prinsip dan praktek-praktek keselamatan kerja, namun pelatihan saja tidak dapat memecahkan
masalah. Industri juga harus memberi jaminan dan keyakinan bahwa pekerja juga dapat melindungi diri mereka sendiri, dan lebih jauh ada jaminan bahwa mereka
terlindungi dari bahaya-bahaya peralatan dan mesin-mesin yang disainnya kurang baik.
2. Jenis Industri
Sering tidaknya dan parah tidaknya kecelakaan kerja tergantung dari jenis industri dan jenis pekerjaan yang dilakukan. Semakin pekerjaan itu membutuhkan
persyaratan fisik, semakin tinggi angka kecelakaan kerjanya. Pekerjaan yang penuh stress dan tenaga banyak menimbulkan kecelakaan kerja.
3. Jam kerja
Ada dugaan bahwa, semakin banyak jam kerja seseorang maka akan semakin tinggi kemungkinan mendapat kecelakaan kerja. Meskipun hal ini sulit dibuktikan.
Sama halnya dengan tidak adanya bukti yang mengindikasikan bahwa pendeknya jam kerja menyebabkan seseorang semakin tidak mendapat kecelakaan keja.
Pada beberapa penelitian tentang terjadinya kecelakaan kerja di Industri
terjadi pada shif pagi, 23% terjadi pada sore hari dan 16% terjadi pada shif malam.
Lebih lanjut, kecelakaan yang terjadi pada malam hari ternyata memiliki akibat yang lebih serius atau lebih parah dibandingkan waktu-waktu shif yang lain. Sebagai
tambahan, kecelakaan kerja pada siang hari yaitu antara jam 9 dan jam 10 pagi dan pada jam 2 sampai jam 3 sore hari.
4. Pencahayaan (Lighting)
Beberapa para ahli mengatakan bahwa semakin baik pencahayaan di tempat kerja maka semakin kecil angka kecelakaan kerjanya. Diestimasikan bahwa 25%
kecelakaan kerja yang terjadi pada semua jenis industri disebabkan oleh pencahayaan yang kurang baik atau buruk. Kecelakaan kerja paling banyak terjadi pada
pabrik-pabrik yang memiliki sistem reproduksi terus menerus saat lampu belum dinyalakan. Hubungan antara taraf penerangan (ilumination) dengan angka kecelakaan kerja ternyata cukup tinggi.
Erat kaitannya dengan pencahayaan adalah pewarnaan lingkungan kerja. Perusahaan biasanya memberi warna cat tertentu pada dinding dan mesin-mesinnya. Prinsip umumnya adalah bahwa warna cat tembok dan langit-langit tidak boleh yang
membosankan dan diharapkan dapat memperkuat cahaya yang ada diruang tersebut. Demikian juga untuk pembatasan atau penghalangan harus diberi garis-garis warna
5. Temperatur
Temperatur yang ada di tempat kerja dipercayai sebagai salah satu penyebab terjadinya kecelakaan kerja. Dari beberapa penelitian ditemukan bahwa tingginya
temperatur yang ada di tempat kerja mempengaruhi banyaknya kejadian kecelakaan kerja. Perusahaan yang beroperasi dengan peralatan yang menghasilkan suhu yang sangat panas akan mengalami kecelakaan kerja tiga kali lebih besar dibandingkan
perusahaan-perusahaan yang menghasilkan suhu dibawahnya. Hal ini dapat dijelaskan bahwa kemungkinan para pekerja menjadi malas, tidak senang dan acuh
tak acuh oleh karena harus menyelesaikan pekerjaannya pada suhu panas yang tidak menyenangkan. Dilaporkan juga oleh Schulz (1990) bahwa temperatur yang tinggi
mempengaruhi kondisi pekerja-pekerja yang usianya lebih tua. Dimana, pekerja yang lebih tua usianya paling banyak kemungkinannya mendapatkan kecelakaan kerja bila bekerja pada suhu yang lebih tinggi, dibandingkan pekerja yang memiliki usia lebih
muda.
6. Disain peralatan
Aspek lain dari lingkungan kerja fisik yang berhubungan dengan kecelakaan
kerja adalah disain atau rancangan peralatan atau permesinan yang digunakan dalam proses produksi. Seringkali peralatan atau mesin dirancang tidak sesuai dengan yang
mengoperasikannya. Hal ini karena tidak mempertimbangkan kemampuan dan keterbatasan pemakainya. Kontrol mesin yang diletakkan pada posisi yang sulit atau tidak mudah dijangkau oleh operator akan mengakibatkan kesulitan dalam proses
yang tidak tepat, sinyal peringatan yang tidak akurat dan tombol yang sulit dijangkau
atau dioperasikan dapat menyebabkan terjadinya kecelakaan kerja. Kesesuaian mesin terhadap operator ini ditangani oleh ahli ergonomika atau ahli psikologi rekayasa
(enginering psychology), yang perannya adalah mendisain peralatan, mesin, dan menempatkan mesin-mesin yang secara efektif dapat menurunkan kemungkinan terjadinya kecelakaan kerja.
Hal yang juga penting dalam mendisain permesinan yang aman adalah penyediaan perlengkapan keselamatan kerja dan alat-alat yang dapat mencegah
terjadinya kecelakaan kerja. Perhatian yang memadai terhadap disain peralatan dan lingkungan pekerjaaan dapat membantu mengurangi frekuensi dan keserusan
(saverity) kecelakaan kerja. Namun demikian, faktor manusianya merupakan faktor penyebab utama terjadinya kecelakaan kerja.
B. Faktor-Faktor Personal
Para pakar dibidang psikologi telah banyak melakukan penelitian tentang hubungan antara karakteristik personal atau pribadi dengan kecelakaan yang terjadi. Beberapa karakteristik pribadi yang berperan dalam kecelakaan yang telah diteliti
oleh pakar psikologi antara lain: kemampuan kognitif, kesehaatan, kelelahan, pengalaman kerja, usia dan kepribadian.
1. Kemampuan kognitif
Ada anggapan yang berkembang bahwa kecerdasan berkorelasi secara negatif dengan kecelakaan. Dimana orang dengan kecerdasan rendah diasumsikan
kecerdasan akan berkorelasi dengan kecelakaan kerja hanya jika dalam jenis
pekerjaan tertentu, misalnya jenis pekerjaan yang mempersyaratkan penggunaan taraf kognitif yang tinggi untuk mengerjakannya, dan bukan pada jenis pekerjaan kasar
yang repetitif manual.
Kemampuan kognitif seperti persepsi, memori, pemrosesan informasi dan pertimbangan adalah sangat dibutuhkan dalam kinerja pada hampir semua jenis
pekerjaan, mulai dari pekerjaan di perkantoran sampai pekerjaan mengoperasikan mesin yang sangat komplek. Kesalahan-kesalahan (errors) dan lupa (lapses) yang
sering terjadi di dalam fungsi-fungsi kognitif yang menyebabkan timbulnya situasi-situasi sangat membahayakan (hazardous situations) bahkan bisa berakibat fatal
dengan terjadinya kecelakaan kerja. 2. Kesehatan
Beberapa bukti menunjukkan bahwa kesehatan berhubungan dengan
kecelakaan. Dimana, karyawan yang memiliki taraf kesehatan yang buruk atau banyak mengalami sakit cenderung mendapatkan kecelakaan kerja yang lebih tinggi. Pekerja yang secara fisik sakit atau ada hambatan secara fisik dalam menyelesaikan
pekerjaaannya maka biasanya harus mendapatkan motivasi yang jauh lebih banyak untuk bisa menghindari kecelakaan kerja pada dirinya.
Salah satu kelemahan fisik yang berhubungan dengan kecelakaan adalah penglihatan yang tidak baik (poor vision). Hasil pengukuran menunjukkan bahwa pekerja yang mendapatkan sedikit kecelakaan secara umum adalah karyawan yang
3. Kelelahan
Kelelahan bisa menjadi penyebab menurunnya produksi dan juga bisa menjadi penyebab meningkatnya kecelakaan kerja. Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa
terdapat hubungan antara frekuensi terjadinya kecelakaan kerja dengan taraf produksi yang dihasilkan pada suatu perusahaan. Pada beberapa industri memberlakukan 10 jam kerja, dilaporkan bahwa pada 8 jam kerja pertama kegiatan produksi masih
berjalan secara wajar, namun 2 jam setelah itu angka kecelakaan kerja menjadi meningkat. Hal ini diperkirakan pada 2 jam menjelang berakhirnya pekerjaan
mengalami kelelehan. 4. Pengalaman kerja
Perusahaan-perusahaan yang memberikan training tentang kemampuan, keterampilan dan keselamatan kerja pada pekerja barunya, dilaporkan memiliki angka kecelakaan kerja yang lebih rendah dibandingkan perusahaan yang tidak
memberikan training pada pekerja barunya. Hal ini diketahui dengan diadakannya
training atau pelatihan dapat menambah wawasan dan pengalaman kerja dalam melakukan pekerjaannya.
5. Karakteristik kepribadian
Hubungan antara kepribadian dengan kecelakaan kerja tidaklah terlalu kuat.
Sebab tidak ada dasar yang kuat untuk membuat kesimpulan apakah kecelakaan benar-benar terjadi karena kepribadian ataukah karena faktor lain. Ada pendapat yang menyatakan bahwa kecelakaan lebih kepada fungsi dari keadaan emosi temporer
cenderung mendapatkan kecelakaan kerja. Ditemukan bahwa lebih dari 50%
kecelakaan terjadi ketika para pekerja mengalami negative emotional. Untuk membantu menghindari terjadinya kecelakaan kerja perusahaan juga bisa
mengadakan konseling kepada karyawan yang mengalami stress, cemas atau emosi negatif yang lain.
2.2 Risiko
Menurut Imam Ghozali (2007), aktivitas suatu badan usaha atau perusahaan pada dasarnya tidak dapat dilepaskan dari aktivitas mengelola risiko. Operasi suatu
badan usaha atau perusahaan biasanya berhadapan dengan risiko usaha dan risiko non usaha. Risiko usaha adalah semua risiko yang berkaitan dengan usaha perusahaan
untuk menciptakan keunggulan bersaing dan memberikan nilai bagi pemegang saham. Sedangkan risiko non usaha adalah risiko lainnya yang tidak dapat dikendalikan oleh perusahaan (Kasidi, 2010).
2.2.1 Pengertian Risiko
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia risiko adalah kemungkinan terjadinya peristiwa yang dapat merugikan perusahaan. Isto menyebut bahwa risiko
adalah bahaya yang dapat terjadi akibat sebuah proses yang sedang berlangsung atau kejadian yang akan datang (Hoctro, 2008). Menurut Depnaker RI (1999), risiko
adalah kemungkinan seseorang untuk mengalami luka atau cedera karena bahaya tertentu. Risiko adalah besarnya kecenderungan atau kemungkinan untuk terjadinya kecelakaan/kerugian pada periode waktu tertentu atau siklus operasi tertentu dimana
dengan frekuensi kejadian atau besarnya kemungkinan kejadian tersebut (Ferlisa,
2008).
2.2.2 Penilaian Risiko
Istilah penilaian risiko berasal dari industri asuransi yang merupakan satu tahap proses dalam menentukan dan memperluas pertanggungan yang ditawarkan. Istilah ini diadopsi ke dalam kesehatan dan keselamatan kerja. Pengertiannya
diperluas untuk mengikutsertakan spektrum kegiatan yang lebih luas dari pengidentifikasian awal bahaya hingga pembentukan kondisi kerja yang aman
(Ridley, 2008).
Sasaran penilaian risiko adalah mengidentifikasi bahaya sehingga tindakan
dapat diambil untuk menghilangkan, mengurangi, atau mengendalikannya sebelum terjadi kecelakaan yang dapat menyebabkan cedera atau kerusakan. Untuk mencapai sasaran tersebut dan untuk mengefektifkan serta dapat menjalankan penilaian risiko,
kita perlu melakukan pendekatan yang sistematis.
Langkah-langkah berikut merupakan pendekatan yang logis dan sistematis:
1. Mendefinisikan tugas atau proses yang akan dinilai. 2. Mengidentifikasi bahaya.
3. Menghilangkan atau mengurangi bahaya hingga minimum. 4. Mengevaluasi risiko dari bahaya residual.
5. Mengembangkan strategi-strategi pencegahan.
9. Melakukan kajian ulang secara berkala dan membuat revisi jika perlu.
2.3 Kecelakaan Kerja
2.3.1 Pengertian Kecelakaan Kerja
Kecelakaan kerja merupakan kecelakaan seseorang atau kelompok dalam rangka melaksanakan kerja di lingkungan perusahaan, yang terjadi secara tiba-tiba, tidak diduga sebelumnya, tidak diharapkan terjadi, menimbulkan kerugian ringan
sampai yang paling berat, dan bisa menghentikan kegiatan pabrik secara total (Hadiguna, 2009). Kecelakaan kerja adalah suatu kejadian atau peristiwa yang tidak
diinginkan yang merugikan terhadap manusia, merusak harta benda atau kerugian terhadap proses. Secara umum kecelakaan kerja dibagi menjadi dua golongan, yaitu :
1) Kecelakaan industri (industrial accident) yaitu kecelakaan yang terjadi di tempat kerja karena adanya sumber bahaya atau bahaya kerja.
2) Kecelakaan dalam perjalanan (community accident) yaitu kecelakaan yang terjadi
diluar tempat kerja yang berkaitan dengan adanya hubungan kerja. (Sugeng, 2005).
Keadaan hampir celaka (near-accident) adalah suatu kejadian atau peristiwa
yang tidak diinginkan dimana dengan keadaan yang sedikit berbeda akan mengakibatkan bahaya terhadap manusia, merusak harta benda atau kerugian
terhadap proses (Sugeng, 2005). Kecelakaan terjadi tanpa diduga dan tidak diharapkan tetapi kecelakaan kerja pada prinsipnya dapat dicegah dan pencegahan ini merupakan tanggung-jawab para manajer lini, penyelia, mandor, kepala dan juga
2.3.2 Faktor Penyebab Kecelakaan Kerja
Menurut Benny dan Achmadi dalam Yustini (2009) penyebab kecelakaan kerja dikelompokkan sebagai berikut :
1. Faktor Lingkungan Kerja (Work Environment) a. Faktor Kimia
Disebabkan oleh bahan baku produksi, proses produksi dan hasil produksi suatu
kegiatan usaha. Untuk golongan kimia dapat digolongkan kepada benda-benda mudah terbakar, mudah meledak dan lainnya.
b. Faktor Fisik
Misalnya penerangan yang cukup baik di luar ruangan maupun di dalam ruangan,
panas kebisingan dan lainnya. c. Faktor Biologi
Dapat berupa bakteri, jamur, mikro-organisme lain yang dihasilkan dari bahan
baku proses produksi dan proses penyimpanan produksi dapat juga berupa binatang-binatang pengganggu lainnya pada saat berada di lapangan atau kebun. d. Faktor Ergonomi
Pemakaian atau penyediaan alat-alat kerja, apakah sudah sesuai dengan keselamatan kerja sehingga pekerja dapat merasakan kenyamanan saat bekerja.
Ergonomi terutama dikhususkan sebagai perencanaan dari cara kerja yang baik meliputi tata cara bekerja dan peralatan.
e. Faktor Psikologi
2. Faktor Pekerjaan
a. Jam Kerja
Yang dimaksud jam kerja adalah jam waktu bekerja termasuk waktu istirahat
dan lamanya bekerja sehingga dengan adanya waktu istirahat ini dapat mengurangi kecelakaan kerja. Menurut Undang-undang RI Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan pada pasal 77 ayat 2 (dua) huruf a dan b tentang waktu kerja,
menyebutkan :
a. 7 (tujuh) jam 1 (satu) hari dan 40 (empat puluh) jam 1 (satu) minggu untuk 6
(enam) hari kerja dalam 1 (satu) minggu; atau
b. 8 (delapan) jam 1 (satu) hari dan 40 (empat puluh) jam 1 (satu) minggu untuk 5
(lima) hari kerja dalam 1 (satu) minggu. b. Pergeseran Waktu
Pergeseran waktu dari pagi, siang dan malam dapat mempengaruhi terjadinya
peningkatan kecelakaan akibat kerja. 3. Faktor manusia (Human Factor) a. Umur pekerja
Penelitian dalam test refleks memberikan kesimpulan bahwa umur mempunyai pengaruh penting dalam menimbulkan kecelakaan akibat kerja. Ternyata
golongan umur muda mempunyai kecenderungan untuk mendapatkankecelakaan lebih rendah dibandingkan usia tua, karena mempunyai kecepatanreaksi lebih tinggi. Akan tetapi untuk jenis pekerjaan tertentu sering merupakan golongan pekerja dengan
b. Pengalaman bekerja
Pengalaman bekerja sangat ditentukan oleh lamanya seseorang bekerja. Semakin lama dia bekerja maka semakin banyak pengalaman dalam bekerja.
Pengalaman kerja juga mempengaruhi terjadinya kecelakaan kerja. Pengalaman kerja yang sedikit terutama di perusahaan yang mempunyai resiko tinggi terhadap terjadinya kecelakaan kerja akan mengakibatkan besarnya kemungkinan terjadinya
kecelakaan kerja.
c. Tingkat pendidikan dan keterampilan
Pendidikan seseorang mempengaruhi cara berpikir dalam menghadapi pekerjaan, demikian juga dalam menerima latihan kerja baik praktek maupun teori
termasuk diantaranya cara pencegahan ataupun cara menghindari terjadinya kecelakaan kerja. Kecelakaan kerja dapat juga disebabkan perilaku pekerja dalam melaksanakan aktivitasnya.
2.3.3 Akibat atau Dampak Kecelakaan Kerja
Apabila terjadi kecelakaan kerja, maka kecelakaan tersebut mempunyai dampak yang dapat memengaruhi suatu pekerjaan. Dampak atau akibat dari
kecelakaan kerja tersebut adalah: 1. Kerugian bagi instansi
Biaya pengangkutan korban kerumah sakit, biaya pengobatan,penguburan jika sampai korban meninggal dunia hilangnya waktu kerja si korban dan rekan-rekan yang menolong sehingga menghambat kelancaran program mencari pengganti atau
2. Kerugian bagi korban
Kerugian paling fatal bagi korban adalah jika kecelakaan itu sampai mengakibatkan seseorang sampai cacat atau meninggal dunia, ini berarti hilangnya
pencari nafkah bagi keluarga dan hilangnya kasih sayang orang tua terhadap putra-putrinya.
3. Kerugian bagi masyarakat dan negara
Akibat kecelakaan maka beban biaya akan dibebankan sebagai biaya produksi yang mengakibatkan dinaikkannya harga produksi perusahaan tersebut dan
merupakan pengaruh bagi harga di pasaran. Berdasarkan pada standar Occupation Safety and Health Administration (OSHA) tahun 1970, semua luka yang diakibatkan
oleh kecelakaan dapat dibagi menjadi : 1. Perawatan ringan (First aid)
Perawatan ringan merupakan suatu tindakan/perawatan terhadap luka kecil
berikut observasinya, yang tidak memerlukan perawatan medis (medical treatment) walaupun pertolongan pertama itu dilakukan oleh dokter atau paramedis. Perawatan ringan ini juga merupakan perawatan dengan kondisi luka ringan, bukan tindakan
perawatan darurat dengan luka yang serius dan hanya satu kali perawatan dengan observasi berikutnya.
2. Perawatan medis (Medical treatment)
Perawatan medis merupakan perawatan dengan tindakan untuk perawatan luka yang hanya dapat dilakukan oleh tenaga medis profesional seperti dokter
penurunan fungsi ginjal dan sebagainya; berakibat rusaknya struktur fisik dan
berakibat komplikasi luka yang memerlukan perawatan medis lanjutan. 3. Hari kerja yang hilang (Lost work days)
Hari kerja yang hilang ialah setiap hari kerja dimana sesorang pekerja tidak dapat mengerjakan seluruh tugas rutinnya karena mengalami kecelakaan kerja atau sakit akibat pekerjaan yan dideritanya. Hari kerja hilang ini dapat dibagi menjadi dua
macam: jumlah hari tidak bekerja (days away from work) yaitu semua hari kerja dimana sesorang pekerja tidak dapat mengerjakan setiap fungsi pekerjaannya karena
kecelakaan kerja atau sakit akibat pekerjaan yang dideritanya. Jumlah hari kerja dengan aktivitas terbatas (days of restricted activities), yaitu semua kerja dimana
seorang pekerja karena mengalami kecelakaan kerja atau sakit akibat pekerjaan yang dideritanya, dialihkan sementara ke pekerjaan lain atau pekerja tetap bekerja pada tempatnya tetapi tidak dapat mengerjakan secara normal seluruh tugasnya. Untuk
kedua kasus diatas, terdapat pengecualian pada hari saat kecelakaan atau saat terjadinya sakit, hari libur, cuti, dan hari istirahat.
4. Kematian (Fatality)
Dalam hal ini, kematian yang terjadi tanpa memandang waktu yang sudah berlalu antara saat terjadinya kecelakaan kerja ataupun sakit yang disebabkan oleh
pekerjaan yang dideritanya, dan saat si korban meninggal (Ramli, 2009). 2.3.4 Pencegahan Kecelakaan Kerja
Untuk mencegah kecelakaan kerja sangatlah penting diperhatikannya “Keselamatan Kerja”. Keselamatan kerja adalah keselamatan yang berhubungan
pekerjaan yang bertujuan untuk menjamin keadaan, keutuhan dan kesempurnaan,
baik jasmaniah maupun rohaniah manusia, serta hasil karya budayanya tertuju pada kesejahteraan masyarakat pada umumnya dan pekerja pada khususnya. Jadi dapat
disimpulkan bahwa keselamatan kerja pada hakekatnya adalah usaha manusia dalam melindungi hidupnya dan yang berhubungan dengan itu, dengan melakukan tindakan preventif dan pengamanan terhadap terjadinya kecelakaan kerja ketika kita sedang
bekerja (Santoso, 2004).
Kecelakaan kerja pada prinsipnya dapat dicegah dan pencegahan ini menurut
Silalahi (1995) merupakan tanggung jawab para manajer lini, penyedia, mandor kepala dan juga kepala urusan. Tetapi menurut Sulaksmono (1997) dan yang tersirat
dalam UU RI No. 01 tahun 1970 pasal 10 bahwa tanggung jawab pencegahan kecelakaan kerja, selain pihak perusahaan juga karyawan (tenaga kerja) dan pemerintah. Pencegahan kecelakaan kerja menurut para pakar, antara lain pendapat
Silalahi (1995) bahwa teknik pencegahan kecelakaan harus didekati dua aspek, yakni aspek perangkat keras (peralatan, perlengkapan, mesin, letak dan sebagainya). Kemudian aspek perangkat lunak (manusia dan segala unsur yang berkaitan).
Menurut Suma’mur dalam Yustini (2009) menyatakan bahwa kecelakaan–
kecelakaan akibat kerja dapat dicegah dengan dua belas hal berikut :
1. Peraturan perundangan, yaitu ketentuan-ketentuan yang diwajibkan mengenai kondisi kerja pada umumnya, perencanaan, konstruksi, perawatan dan pemiliharaan, pengawasan, pengujian dan cara kerja peralatan industri,
2. Standarisasi yang ditetapkan secara resmi, setengah resmi atau tidak resmi
mengenai misalnya syarat- syarat keselamatan sesuai instruksi peralatan industri dan alat pelindung diri (APD).
3. Pengawasan, agar ketentuan undang-undang wajib dipatuhi.
4. Penelitian bersifat teknik, misalnya tentang bahan- bahan yang berbahaya, pagarpengaman, pengujian APD, pencegahan ledakan peralatan lainnya.
5. Riset medis, terutama meliputi efek fisiologis dan patologis, faktor lingkungan dan teknologi dan keadaan yang mengakibatkan kecelakaan.
6. Penelitian psikologis, meliputi penelitian tentang pola – pola kewajiban yang mengakibatkan kecelakaan.
7. Penelitian secara statistik, untuk menetapkan jenis-jenis kecelakaan yang terjadi. 8. Pendidikan dan latihan-latihan.
9. Penggairahan.
10. Pendekatan lain agar bersikap yang selamat.
11. Asuransi, yaitu insentif finansial untuk meningkatkan pencegahan kecelakaan. 12. Usaha keselamatan pada tingkat perusahaan.
Untuk menghindari tingginya tingkat kecelakaan kerja, Pemerintah telah mengeluarkan ketentuan-ketentuan yang harus diikuti oleh perusahaan yang
berhubungan dengan keselamatan dan kesehatan kerja, antara lain :
1. Undang-Undang RI Nomor 01 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja yang didalam penjabarannya menyebutkan bahwa “setiap tenaga kerja berhak
2. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2000 tentang
Penyelenggaraan Jasa Konstruksi bagian standar keteknikan, ketenagakerjaan dan tata lingkungan yaitu pada pasal 30 yang menyebutkan bahwa keamanan,
keselamatan, kesehatan tempat kerja kontruksi telah diatur dalam perundangundangan yang berlaku dalam ayat 1 huruf a tentang keteknikan yang meliputi persyaratan keselamatan umum, konstruksi bangunan mutu hasil
pekerjaan, mutu bahan, komponen bangunan dan mutu hasil pekerjaan dan mutu peralatan sesuai dengan standar atau norma yang berlaku.
3. Undang-Undang RI Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan pada Bab X Tentang Perlindungan, Pengupahan dan Kesejahteraan pada pasal 86 ayat (1)
menyatakan bahwa setiap pekerja / buruh mempunyai hak untuk memperoleh perlindungan atas keselamatan dan kesehatan kerja.
2.3.5 Faktor-faktor yang Memengaruhi Kecelakaan Kerja
Penyebab langsung kecelakaan adalah suatu keadaan yang biasanya bisa dilihat dan dirasakan langsung, yang dibagi 2 kelompok:
1. Tindakan-tindakan tidak aman (unsafe acts)
Perbuatan berbahaya dari manusia yang dalam beberapa hal dapat dilatar belakangi antara lain: cacat tubuh yang tidak kentara (bodilly defect), keletihan dan kelesuan
(fatigiue and boredom), sikap dan tingkah laku yang tidak aman, dan pengetahuan. 2. Kondisi yang tidak aman (unsafe condition)
Keadaan yang akan menyebababkan kecelakaan, terdiri dari: mesin, peralatan,
a. Faktor manusia/personal (personal factor) meliputi: kurang kemampuan fisik,
mental dan psikologi, kurangnya/lemahnya pengetahuan dan skill, stress, motivasi yang tidak cukup/salah.
b. Faktor kerja/lingkungan kerja (job work enviroment factor) meliputi: faktor fisik yaitu, kebisingan, radiasi, penerangan, iklim; faktor kimia yaitu debu, uap logam, asap, gas; faktor biologi yaitu bakteri,virus, parasit, serangga; ergonomi dan
psikososial.
Menurut Santoso (2004) hasil penelitian menunjukkan bahwa 80-85%
kecelakaan disebabkan oleh faktor manusia. Unsur-unsur tersebut menurut buku “Management Losses” Bab II tentang “The causes and Effects of Loss”, antara lain :
1. Ketidak seimbangan fisik / kemampuan fisik tenaga kerja,antara lain: a. Tidak sesuai berat badan, kekuatan dan jangkauan
b. Posisi tubuh yang menyebabkan lebih lemah
c. Kepekaan tubuh
d. Kepekaan panca indra terhadap bunyi e. Cacat fisik
f. Cacat sementara
2. Ketidak-seimbangan kemampuan psikologis pekerja, antara lain:
a. Rasa takut/phobia b. Gangguan emosional c. Sakit jiwa
f. Sedikit ide (pendapat)
g. Gerakannya lamban h. Keterampilan kurang
3. Kurang pengetahuan, antara lain: a. Kurang pengalaaman
b. Kurang orientasi
c. Kurang latihan memahami tombol – tombol (petunjuk lain) d. Kurang latihan memahami data
e. Salah pengertian terhadap suatu perintah 4. Kurang trampil, antara lain:
a. Kurang mengadakan latihan praktik b. Penampilan kurang
c. Kurang kreatif
5. Stres mental, antara lain : a. Emosi berlebihan
b. Beban mental berlebihan
c. Pendiam dan tertutup
d. Problem dengan suatu yang tidak dipahami
e. Frustasi f. Sakit mental
6. Stres fisik, antara lain :
c. Kurang istirahat
d. Kelelahan sensori
e. Terpapar bahan berbahaya
f. Terpapar panas yang tinggi g. Kekurangan oksigen h. Gerakan terganggu
i. Gula darah menurun
7. Motivasi menurun (kurang termotivasi ) antara lain:
a. Mau bekerja bila ada penguatan/hadiah (reeward) b. Frustasi berlebihan
c. Tidak ada umpan balik (feed back) d. Tidak mendapat intensif produksi
2.4 Risiko Kecelakaan Kerja Pada Proyek Konstruksi
Industri jasa konstruksi merupakan salah satu sektor industri yang memiliki risiko kecelakaan kerja yang cukup tinggi. Berbagai penyebab utama kecelakaan kerja pada proyek konstruksi adalah hal-hal yang berhubungan dengan karakteristik
proyek konstruksi yang bersifat unik, lokasi kerja yang berbeda-beda, terbuka dan dipengaruhi cuaca, waktu pelaksanaan yang terbatas, dinamis dan menuntut
ketahanan fisik yang tinggi, serta banyak menggunakan tenaga kerja yang tidak terlatih. Ditambah dengan manajemen keselamatan kerja yang sangat lemah, akibatnya para pekerja bekerja dengan metoda pelaksanaan konstruksi yang berisiko
1. Terjatuh
2. Tertimpa benda jatuh 3. Menginjak dan terantuk
4. Terjepit
5. Kontak suhu tinggi 6. Kontak aliran listrik
7. Kontak dengan bahan berbahaya/radiasi
Untuk memperkecil risiko kecelakaan kerja, sejaka awal tahun 1980an
pemerintah telah mengeluarkan suatu peraturan tentang keselamatan kerja khusus untuk sektor konstruksi, yaitu Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No.
Per-01/Men/1980. Peraturan mengenai keselamatan kerja untuk konstruksi tersebut, walaupun belum pernah diperbaharui sejak dikeluarkannya lebih dari 20 tahun silam, namun dapat dinilai memadai untuk kondisi minimal di Indonesia. Hal yang sangat
disayangkan adalah pada penerapan peraturan tersebut di lapangan. Rendahnya kesadaran masyarakat akan masalah keselamatan kerja, dan rendahnya tingkat penegakan hukum oleh pemerintah, mengakibatkan penerapan peraturan keselamatan
kerja yang masih jauh dari optimal, yang pada akhirnya menyebabkan masih tingginya angka kecelakaan kerja. Akibat penegakan hukum yang sangat lemah, King
and Hudson (1985) menyatakan bahwa pada proyek konstruksi di negara-negara berkembang, terdapat tiga kali lipat tingkat kematian dibandingkan dengan di negara-negara maju.
dan pekerjaan galian. Pada ke dua jenis pekerjaan ini kecelakaan kerja yang terjadi
cenderung serius bahkan sering kali mengakibatkan cacat tetap dan kematian. Jatuh dari ketinggian adalah risiko yang sangat besar dapat terjadi pada pekerja yang
melaksanakan kegiatan konstruksi pada elevasi tinggi. Biasanya kejadian ini akan mengakibat kecelakaan yang fatal.
2.4.1 Pedoman K3 Konstruksi
Pemerintah telah sejak lama mempertimbangkan masalah perlindungan tenaga kerja, yaitu melalui UU No. 1 Tahun 1970 Tentang Keselamatan Kerja. Sesuai
dengan perkembangan jaman pada tahun 2003 pemerintah mengeluarkan UU 13/2003 tentang Ketenagakerjaan. Undang undang ini mencakup berbagai hal dalam
perlindungan pekerja yaitu upah, kesejahteraan, jaminan sosial tenaga kerja, dan termasuk juga masalah keselamatan dan kesehatan kerja.
Aspek ketenagakerjaan dalam hal K3 pada bidang konstruksi, diatur melalui
Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No.PER-01/MEN/1980 Tentang Keselamatan dan Kesehatan Kerja pada Konstruksi Bangunan. Peraturan ini mencakup ketentuan-ketentuan mengenai keselamatan dan kesehatan kerja secara
umum maupun pada tiap bagian konstruksi bangunan. Peraturan ini lebih ditujukan untuk konstruksi bangunan, sedangkan untuk jenis konstruksi lainnya masih banyak
aspek yang belum tersentuh. Di samping itu, besarnya sanksi untuk pelanggaran terhadap peraturan ini sangat minim yaitu senilai seratus ribu rupiah.
Sebagai tindak lanjut dikeluarkannya Peraturan Menakertrans tersebut,
Keselamatan dan Kesehatan Kerja pada Tempat Kegiatan Konstruksi. Pedoman yang selanjutnya disingkat sebagai ”Pedoman K3 Konstruksi” ini merupakan pedoman
yang dapat dianggap sebagai standar K3 untuk konstruksi di Indonesia.
Pedoman K3 Konstruksi ini cukup komprehensif, namun terkadang sulit dimengerti karena menggunakan istilah-istilah yang tidak umum digunakan, serta tidak dilengkapi dengan deskripsi/gambar yang memadai. Kekurangan-kekurangan
tersebut tentunya sangat menghambat penerapan pedoman di lapangan, serta dapat menimbulkan perbedaan pendapat dan perselisihan di antara pihak pelaksana dan
pihak pengawas konstruksi.
Pedoman K3 Konstruksi selama hampir dua puluh tahun masih menjadi
pedoman yang berlaku. Baru pada tahun 2004, Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah, yang kini dikenal sebagai Departemen Pekerjaan Umum, mulai memperbarui pedoman ini, dengan dikeluarkannya KepMen Kimpraswil No.
384/KPTS/M/2004 Tentang Pedoman Teknis Keselamatan dan Kesehatan Kerja pada Tempat Kegiatan Konstruksi Bendungan. ”Pedoman Teknis K3 Bendungan” yang
baru ini khusus ditujukan untuk proyek konstruksi bendungan, sedangkan untuk
jenis-jenis proyek konstruksi lainnya seperti jalan, jembatan, dan bagunan gedung, belum dibuat pedoman yang lebih baru. Namun, apabila dilihat dari cakupan isinya,
Pedoman Teknis K3 untuk bendungan tersebut sebenarnya dapat digunakan pula untuk jenis-jenis proyek konstruksi lainnya. ”Pedoman Teknis K3 Bendungan” juga mencakup daftar berbagai penyakit akibat kerja yang hrus dilaporkan.
Administration (OSHA), sebuah badan khusus di bawah Departemen Tenaga Kerja yang mengeluarkan pedoman K3 termasuk untuk bidang konstrusksi, memperbaharui peraturan K3-nya secara berkala (setiap tahun). Peraturan atau pedoman teknis
tersebut juga sangat komprehensif dan mendetil. Hal lain yang dapat dicontoh adalah penerbitan brosur-brosur penjelasan untuk menjawab secara spesifik berbagai isu utama yang muncul dalam pelaksanaan pedoman teknis di lapangan. Pedoman yang
dibuat dengan tujuan untuk tercapainya keselamatan dan kesehatan kerja, bukan hanya sekedar sebagai aturan, selayaknya secara terus menerus disempurnakan dan
mengakomodasi masukan-masukan dari pengalaman pelaku konstruksi di lapangan. Dengan demikian, pelaku konstruksi akan secara sadar mengikuti peraturan untuk
tujuan keselamatan dan kesehatan kerjanya sendiri.
2.5 Risiko Kecelakaan Kerja Pada Pekerja Asphal Mixing Plant (AMP)
Dalam Anonim (2014) bentuk kecelakaan kerja yang bisa terjadi pada pekerja
Asphal Mixing Plant (AMP) bermacam-macam dan merupakan dasar dari penggolongan atau pengklasifikasian jenis kecelakaan. macam–macam risiko kejadian kecelakaan kerja pada pekerja aspal dapat diklasifikasikan menjadi beberapa
jenis yaitu:
1. Terbentur (struck by) yaitu kecelakaan ini terjadi pada saat seseorang yang tidak
diduga ditabrak atau ditampar sesuatu yang bergerak atau bahan kimia. Contohnya: terkena benda asing misalnya material.
2. Membentur (struck against) yaitu kecelakaan yang selalu timbul akibat pekerja
kimia.Contohnya: terkena sudut atau bagian yang tajam, terkena zat kimia yang
sangat panas.
3. Terperangkap (caught in, on, between), contoh dari caught in adalah kecelakaan
yang akan terjadi bila kaki pekerja tersangkut. Contoh dari caught on adalah kecelakaan yang timbul bila baju dari pekerja terkena kawat, sedangkan contoh dari caught between adalah kecelakaan yang terjadi bila lengan atau kaki dari
pekerja tersangkut bagian mesin yang bergerak.
4. Jatuh dari ketinggian (fall from above) yaitu kecelakaan ini banyak terjadi, yaitu
jatuh dari tingkat yang lebih tinggi ke tingkat yang lebih rendah. Contohnya jatuh dari tangga atau atap.
5. Jatuh pada ketinggian yang sama (fall at ground level) yaitu beberapa kecelakaan yang timbul pada tipe ini seringkali berupa tergelincir, tersandung, jatuh dari lantai yang sama tingkatnya.
6. Pekerjaan yang terlalu berat (over-exertion or strain) yaitu kecelakaan ini timbul akibat pekerjaan yang terlalu berat yang dilakukan pekerja seperti mengangkat, menaikkan, menarik benda atau material yang dilakukan di luar batas kemampuan.
7. Terkena aliran listrik (electrical contact) yaitu luka yang ditimbulkan dari kecelakaan ini terjadi akibat sentuhan anggota badan dengan alat atau
perlengkapan yang mengandung listrik.
8. Terbakar (burn) yaitu kondisi ini terjadi akibat sebuah bagian dari tubuh mengalami kontak dengan percikan, bunga api, atau dengan zat kima yang panas.
samping dapat mengakibatkan korban jiwa, biaya-biaya lainnya adalah biaya
pengobatan, kompensasi yang harus diberikan kepada pekerja, premi asuransi, dan perbaikan fasilitas kerja. Terdapat biaya-biaya tidak langsung yang merupakan akibat
dari suatu kecelakaan kerja yaitu mencakup kerugian waktu kerja (pemberhentian sementara), terganggunya kelancaran pekerjaan (penurunan produktivitas), pengaruh psikologis yang negatif pada pekerja, memburuknya reputasi perusahaan, denda dari
pemerintah, serta kemungkinan berkurangnya kesempatan usaha (kehilangan pelanggan pengguna jasa). Biaya-biaya tidak langsung ini sebenarnya jauh lebih besar
dari pada biaya langsung. Berbagai studi menjelaskan bahwa rasio antara biaya tidak langsung dan biaya langsung akibat kecelakaan kerja konstruksi sangat bervariasi dan
diperkirakan mencapai 4:1 sampai dengan bahkan 17:1 (The Business Round table, 1991).
2.6 Kerangka Konsep
Undang-undang RI Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan bahwa upaya kesehatan kerja wajib diselenggarakan pada setiap tempat kerja, khususnya tempat kerja yang mempunyai risiko bahaya keselamatan dan kesehatan yang besar
bagi pekerja agar dapat bekerja secara sehat tanpa membahayakan diri sendiri, untuk memperoleh produktivitas kerja yang optimal, sejalan dengan program perlindungan tenaga kerja.
Banyak faktor bahaya kerja yang memengaruhi risiko kejadian kecelakaan kerja salah satunya adalah faktor perilaku bahaya kerja yang dipengaruhi oleh
ditekan serendah mungkin akan dapat mengganggu target atau produktivitas kerja
pegawai.
Adapun kerangka konsep dari penelitian adalah sebagai berikut : Perilaku Bahaya Kerja :
- Pengetahuan - Sikap - Tindakan