HUBUNGAN TUGAS KELUARGA DALAM PELAKSANAAN PERILAKU HIDUP BERSIH SEHAT DENGAN KEJADIAN DIARE PADA BALITA DI DESA GAMPONG
MATANG RAYEUK PEUDAWA PUNTONG KECAMATAN IDI TIMUR KABUPATEN ACEH TIMUR
TAHUN 2017
1
Muhammad Khairurrozi
1
Dosen Program Studi Keperawatan STIKes Bina Nusantara
ABSTRAK
Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) tersebut harus dimulai dari tatanan rumah tangga, karena rumah tangga yang sehat merupakan aset modal pembangunan di masa depan yang perlu dijaga, ditingkatkan dan dilindungi kesehatannya. Beberapa anggota rumah tangga mempunyai masa rawan terkena penyakit infeksi dan non infeksi, oleh karena itu untuk mencegahnya anggota rumah tangga perlu diberdayakan untuk melaksanakan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS).
Penelitian bertujuan untuk mengetahui hubungan tugas keluarga dalam pelaksanaan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) dengan kejadian diare pada balita Di Desa Gampong Matang Rayeuk Peudawa Puntong Kecamatan Idi Timur Kabupaten Aceh Timur Tahun 2017.
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa dari 42 responden, mayoritas tidak ada kejadian diare pada balita dalam waktu 3 bulan terakhir yaitu 29 (69%) dan mayoritas Tugas Keluarga tentang PHBS berada pada kategori Positif yaitu 27 responden (64,3%). dan berdasarkan analisa bivariat didapatkan bahwa dari 42 keluarga, 27 responden (100%) Tugas Keluarga tentang PHBS berada pada kategori positif dan tidak ada kejadian Diare dalam 3 bulan terakhir. Dan dari 15 (100%), 13 (86,7%) Tugas Keluarga tentang PHBS berada pada kategori negatif dan ada kejadian diare. Dengan nilai Pvalue = 0,000. Dapat disimpulkan bahwa ada hubungan Tugas Keluarga tentang PHBS dengan kejadiaan diare.
Diharapkan keluarga dapat menerapkan PHBS pada Balita dan keluarga untuk meningkatkan derajat kesehatan pada tatanan keluarga
Kata kunci : Tugas Keluarga, Perilaku Hidup Bersih Sehat, Diare
PENDAHULUAN
Selain ditinjau dari perbedaan jumlah dan angka harapan hidupnya, lansia pria dan wanita juga memiliki
mengungkapkan bahwa kualitas hidup pria lansia lebih tinggi dari pada wanita lansia. Pada pria lansia dilaporkan secara signifikan bahwa pria lansia memiliki kepuasan yang lebih tinggi dalam beberapa aspek yaitu hubungan personal, dukungan keluarga, keadaan ekonomi, pelayanan sosial, kondisi kehidupan dan kesehatan. Wanita lansia memiliki nilai yang lebih tinggi dalam hal kesepian, ekonomi yang rendah dan kekhawatiran terhadap masa depan. Perbedaan gender tersebut ternyata memberikan andil yang nyata dalam kualitas hidup lansia. Perlu adanya suatu upaya peningkatan kualitas hidup terhadap lansia, terutama wanita lansia mengingat usia harapan hidup yang lebih tinggi serta jumlah wanita lansia yang lebih banyak. Meningkatnya jumlah lansia tentu tidak lepas dari proses penuaan beserta masalahnya.
Pertambahan jumlah lanjut usia (lansia) di Indonesia dalam kurun waktu 1990 sampai 2025 diperkirakan sebagai pertumbuhan lansia yang tercepat di dunia. Jumlah lansia di Indonesia mencapai 16 juta jiwa pada tahun 2002. Data sensus badan pusat statistik pada tahun 2000 menunjukkan bahwa jumlah penduduk lansia sebanyak 15.054.877 jiwa dengan jumlah lansia wanita 52,42% dan pria 47,58%. Tahun 2007 menunjukkan bahwa jumlah lansia di Indonesia mencapai 18,96 juta jiwa (Statistik Indonesia, 2010).
Menurut Darmojo dan Martono (2006) pertambahan lansia di Indonesia dipengaruhi oleh perbaikan ilmu pengetahuan dan teknologi serta kemajuan sosio-ekonomi, yang pada akhirnya akan meningkatkan derajat
kesehatan masyarakat dan
memperpanjang usia harapan hidup. Hasil survei united nation development program (UNDP) dalam rentang tahun 1980 sampai 2008 menunjukkan peningkatan angka harapan hidup masyarakat Indonesia dari 54,4 tahun sampai 70,4 tahun. Pada tahun 1995 sampai tahun 2000, usia harapan hidup pria meningkat menjadi 63,33 tahun dan wanita 69 tahun (Hardywinoto & Setiabudhi, 2005). Menurut Bappenas (2009) proyeksi angka harapan hidup pada tahun 2025 diperkirakan mencapai 73,7 tahun. Proses penuaan merupakan proses fisiologis yang pasti dialami individu dan proses ini akan diikuti oleh penurunan fungsi fisik, psikososial dan spiritual. Perubahan dari segi biologis pada wanita lansia identik dengan gejala menopause, antara lain ketidaknyamanan seperti rasa kaku dan linu yang dapat terjadi secara tiba-tiba di sekujur tubuh, misalnya pada kepala, leher dan dada bagian atas. Kadang-kadang rasa kaku ini dapat diikuti dengan rasa panas atau dingin, pening, kelelahan dan berdebar-debar (Hurlock, 1992).
beraktivitas atau melakukan kegiatan yang tergolong berat. Perubahan fisik yang cenderung mengalami penurunan tersebut akan menyebabkan berbagai gangguan secara fisik sehingga mempengaruhi kesehatan, serta akan berdampak pada kualitas hidup lansia. Beberapa gejala psikologis yang menonjol pada wanita lansia adalah mudah tersinggung, sukar tidur, tertekan, gugup, kesepian, tidak sabar, tegang (tension), cemas dan depresi. Ada juga lansia yang kehilangan harga diri karena menurunnya daya tarik fisik dan seksual, mereka merasa tidak dibutuhkan oleh suami dan anak-anak mereka, serta merasa kehilangan femininitas karena fungsi reproduksi yang hilang (Kuntjoro, 2002).
Perubahan psikososial yang terjadi pada lansia erat kaitannya dengan perubahan fisik, lingkungan tempat tinggal dan hubungan sosial dengan masyarakat (Miller, 2002 dalam Stanley & Beare, 2007). Sebagian besar lansia mengalami penurunan fungsi kognitif dan psikomotor. Fungsi kognitif meliputi proses belajar, persepsi, pemahaman, pengertian, perhatian dan lain-lain sehingga menyebabkan reaksi dan perilaku lansia menjadi makin lambat. Sementara fungsi psikomotorik (konatif) meliputi hal-hal yang berhubungan dengan dorongan kehendak seperti gerakan, tindakan, koordinasi, yang berakibat bahwa lansia menjadi kurang cekatan. Teori disengagement menyatakan bahwa lansia berangsur-angsur menarik diri dalam berinteraksi dengan orang lain dan kehidupan sosialnya (Darmojo & Martono, 2006). Stressor psikososial yang berat, misalnya kematian
pasangan hidup, kematian keluarga dekat, dapat menyebabkan perubahan psikologis yang mendadak, misalnya bingung, panik, depresif, apatis.
Perubahan spiritual pada lansia ditandai dengan semakin matangnya lansia dalam kehidupan keagamaan. Agama dan kepercayaan terintegrasi dalam kehidupan dan terlihat dalam pola berfikir dan bertindak sehari-hari (Nugroho, 2000). Perkembangan spiritual yang matang akan membantu lansia untuk menghadapi kenyataan, berperan aktif dalam kehidupan, maupun merumuskan arti dan tujuan keberadaannya dalam kehidupan. Perubahan spiritual merupakan salah satu parameter yang mempengaruhi kualitas hidup lansia (WHO, 1996). Pengaruh yang muncul akibat berbagai perubahan pada lansia tersebut jika tidak teratasi dengan baik cenderung akan mempengaruhi kesehatan lansia secara menyeluruh. Perlu adanya suatu pelayanan untuk mengatasi masalah
kesehatan pada lansia dan
meningkatkan kualitas hidup lansia. Salah satu solusi yang dilakukan perawat untuk meningkatkan kualitas hidup lansia dengan cara melakukan
promosi kesehatan untuk
kesehatan melalui kegiatan senam, mediator tenaga medis yang memberikan pengobatan pada lansia.
Pemenuhan kebutuhan sosial lansia di komunitas cenderung lebih baik daripada di panti, karena interaksi lansia di komunitas pada dasarnya lebih luas dari pada lansia di panti. Lansia di komunitas dapat berinteraksi dengan keluarga, teman, dan masyarakat, sedangkan interaksi lansia dipanti terbatas pada penghuni panti serta petugas panti saja. Aspek lingkungan yang dipengaruhi kualitas dan keterjangkauan sarana kesehatan, keadaan tempat tinggal, sumber finansial, serta kesempatan rekreasi pada lansia panti dan komunitas juga akan mempengaruhi kesehatan lansia. Pengaruh yang menyeluruh terhadap kehidupan lansia akibat perbedaan jenis pelayanan yang didapatkan oleh lansia, tentunya akan mempengaruhi kesehatan biologis, psikologis, sosial, dan lingkungan. Dampak yang menyeluruh tersebut akan memengaruhi kualitas hidup lansia. Kualitas hidup merupakan persepsi individu terhadap posisinya di dalam kehidupan dalam konteks budaya sebuah sistem nilai dimana mereka tinggal dan dalam hubungannya dengan tujuan mereka, harapan, standar dan kepedulian (WHO, 1996). Jenis kelamin juga cenderung memberikan pengaruh terhadap kualitas hidup. Penelitian yang dilakukan oleh Chandra (2006) menunjukkan adanya perbedaan tingkat kecemasan antara lansia pria
dan wanita terhadap aspek
kehidupannya. Lansia wanita memiliki tingkat kecemasan yang lebih tinggi terhadap seluruh aspek kehidupannya daripada lansia pria. Kualitas hidup
digunakan untuk mengukur
kesejahteraan lansia secara menyeluruh. Kualitas hidup yang baik diperlukan lansia untuk melewati sisa hidupnya dengan sejahtera, sehat dan bermartabat.
Menurut WHO (1994) dalam (Bangun 2008), kualitas hidup didefenisikan sebagai persepsi individu sebagai laki-laki atau wanita dalam hidup, ditinjau dari konteks budaya dan system nilai dimana mereka tinggal, dan berhubungan dengan standar hidup, harapan, kesenangan, dan perhatian mereka.Hal ini merupakan konsep tingkatan, terangkum secara kompleks mencakup kesehatan fisik, status psikologis, tingkat kebebasan, hubungan social dan hubungan kepada karakteristik lingkungan mereka.
Di dalam bidang kesehatan dan aktivitas pencegahan penyakit, kualitas hidup dijadikan sebagai aspek untuk menggambarkan kondisi kesehatan (Wilson dkk dalam (Larasati, 2012). Adapun menurut Cohen & Lazarus dalam (Larasati, 2012) kualitas hidup adalah tingkatan yang menggambarkan keunggulan seorang individu yang dapat dinilai dari kehidupan mereka. Kualitas hidup individu tersebut biasanya dapat dinilai dari kondisi fisiknya, psikologis, hubungan sosial dan lingkungannya WHOQOL Group (1998) dalam (Larasati, 2012).
kesehatan fisik, psikologis, hubungan sosial dan lingkungan.
2. Dimensi–Dimensi Kualitas Hidup
Menurut WHOQOL group
Lopez dan Sayder (2004) (dalam Sekarwiri 2008), kualitas hidup terdiri dari enam dimensi yaitu kesehatan fisik, kesejahteraan psikologis, tingkat kemandirian, hubungan sosial, hubungan dengan lingkungan dan keadaan spiritual. Kemudian WHOQOL dibuat lagi menjadi instrument WHOQOL – BREF dimana dimensi tersebut diubah menjadi empat dimensi yaitu kesehatan fisik, kesejahteraan psikologis, hubungan sosial dan hubungan dengan lingkungan.
Dalam hal ini dimensi fisik yaitu aktivitas sehari-hari, ketergantungan obat-obatan dan bantuan medis, energi dan kelelahan, mobilitas, sakit dan ketidaknyamanan, tidur dan istirahat, serta kapasitas kerja. Menurut Tarwoto dan Martonah (2010) aktivitas sehari – hari adalah suatu energi atau keadaan untuk bergerak dalam memenuhi kebutuhan hidup dimana aktivitas dipengaruhi oleh adekuatnya system persarafan, otot dan tulang atau sendi.
Ketergantungan obat-obatan dan bantuan medis yaitu seberapa besar kecenderungan individu menggunakan obat-obatan atau bantuan medis lainnya dalam melakukan aktivitas sehari-hari. Energi dan kelelahan merupakan tingkat kemampuan yang dimiliki oleh individu dalam menjalankan aktivitas sehari-hari. Sedangkan mobilitas merupakan tingkat perpindahan yang mampu dilakukan oleh individu dalam menjalankan aktivitasnya sehari-hari. Kemudian sakit dan ketidaknyamanan
menggambarkan sejauh mana perasaan keresahan yang dirasakan individu terhadap hal-hal yang menyebabkan individu merasa sakit (Sekarwiri, 2008). Menurut Tarwoto dan Martonah (2010) istirahat merupakan suatu keadaan dimana kegiatan jasmaniah menurun yang berakibat badan menjadi lebih segar. Sedangkan tidur adalah suatu keadaan relative tanpa sadar yang penuh ketenangan tanpa kegiatan yang merupakan urutan siklus yang berulang-ulang dan masing-masing menyatakan fase kegiatan otak dan badaniah yang
berbeda. Kapasitas kerja
menggambarkan kemampuan yang dimiliki individu untuk menyelesaikan tugas-tugasnya.
Bodily dan appearance
menggambarkan bagaimana individu memandang keadaan tubuh serta penampilannya. Perasaan negative menggambarkan adanya perasaan yang tidak menyenangkan yang dimiliki oleh individu. Perasaan positif merupakan
gambaran perasaan yang
menyenangkan yang dimiliki oleh individu. Self – esteem melihat bagaimana individu menilai atau menggambarkan dirinya sendiri. Berfikir, belajar, memori, dan konsentrasi dimana keadaan kognitif individu yang memungkinkan untuk berkonsentrasi, belajar dan menjelaskan fungsi kognitif lainnya (Sekarwiri, 2008).
Partisipasi dan kesempatan untuk melakukan rekreasi atau kegiatan yang menyenangkan merupakan sejauhmana individu memiliki kesempatan dan dapat bergabung untuk berkreasi dan menikmati waktu luang.
menggambarkan keadaan lingkungan tempat tinggal individu (keadaan air, saluran udara, iklim, polusi, dll). Transportasi yaitu sarana kendaraan yang dapat dijangkau oleh individu (Sekarwiri, 2008).
3. Pengukuran Kualitas Hidup
Skevington, Lotfy dan O’
Connell (2004) dalam Sekarwiri (2008) pengukuran kualitas hidup dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu pengukuran kualitas hidup secara menyeluruh (kualitas hidup dipandang sebagai evaluasi individu terhadap dirinya secara menyeluruh atau hanya mengukur domain tertentu saja (kualitas hidup diukur hanya melalui bagian tertentu saja dari diri seseorang. Pengukuran kualitas hidup oleh para ahli belum mencapai suatu pemahaman pada suatu standar atau metoda yang terbaik.
Pengukuran kualitas hidup alat
WHOQOL – BREF merupakan
pengukuran yang menggunakan 26 item pertanyaan. Dimana alat ukur ini mengunakan empat dimensi yaitu fisik, psikologis, lingkungan dan sosial. 4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kualitas Hidup
Berdasarkan definisi yang dikemukakan oleh WHOQOL (dalam Power, 2003), persepsi individu
mengenai kualitas hidupnya
dipengaruhi oleh konteks budaya dan sistem nilai dimana individu tinggal. Hal ini juga sesuai degnan apa yang dikatakan Fadda dan Jiron (1999) bahwa kualitas hidup bervariasi antara individu yang tinggal di kota/ wilayahsatu dengan yang lain bergantung pada konteks budaya, sistem, dan berbagai kondisi yang
berlaku pada wilayah tersebut. Berbagai penelitian mengenai kualitas hidup menemukan beberapa faktor-faktor lain yang mempengaruhi kualitas hidup. Berikut beberapa faktor yang mempengaruhi kualitas hidup yaitu : a. Gender atau Jenis Kelamin
Moons, dkk (2004) dalam (Noftri, 2009)mengatakan bahwa gender adalah salah satu faktor yang mempengaruhi kualitas hidup. Bain, dkk (2003) dalam (Nofitri, 2009) menemukan adanya perbedaan antara kualitas hidup antara laki-laki dan perempuan, dimana kualitas hidup laki-laki cenderung lebih baik daripada kualitas hidup perempuan. Bertentangan dengan penemuan Bain, dkk (2004) dalam (Nofitri, 2009) menemukan bahwa kualitas hidup perempuan cenderung lebih tinggi daripada laki-laki. Ryff dan Singer (1998) dalam (Nofitri, 2009) mengatakan bahwa secara umum, kesejahteraan laki-laki dan perempuan tidak jauh berbeda, namun perempuan lebih banyak terkait dengan aspek hubungan yang bersifat positif sedangkan kesejahteraan tinggi pada pria lebih terkait dengan aspek pendidikan dan pekerjaan yang lebih baik.
b. Usia
individu. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Ryff dan Singer (1998) dalam (Nofitri, 2009), individu dewasa mengekspresikan kesejahteraan yang lebih tinggi pada usia dewasa madya. Penelitian yang dilakukan oleh Rugerri, dkk (2001) dalam (Nofitri, 2009) menemukan adanya kontribusi dari faktor usia tua terhadap kualitas hidup subjektif. c. Pendidikan
Moons, dkk (2004) dan Baxter (1998) dalam (Nofitri, 2009)
mengatakan bahwa tingkat
pendidikan adalah salah satu faktor yang dapat mempengaruhi kualitas hidup subjektif. Penelitian yang dilakukan oleh Wahl, dkk (2004) dalam (Nofitri, 2009) menemukan bahwa kualitas hidup akan meningkat seiring dengan lebih tingginya tingkat pendidikan yang didapatkan oleh individu. Penelitian yang dilakukan oleh Noghani, dkk (2007) dalam (Nofitri, 2009) menemukan adanya pengaruh positif dari pendidikan terhadap kualitas hidup subjektif namun tidak banyak. d. Pekerjaan
Moons, dkk (2004) dalam (Nofitri, 2009) mengatakan bahwa terdapat perbedaan kualitas hidup antara penduduk yang berstatus sebagai pelajar, penduduk yang bekerja, penduduk yang tidak bekerja (atau sedang mencari pekerjaan), dan penduduk yang tidak mampu bekerja (atau memiliki disablity tertentu). Wahl, dkk (2004) dalam (Nofitri, 2009) menemukan bahwa status pekerjaan berhubungan dengan kualitas hidup baik pada pria maupun wanita.
e. Status pernikahan
Moons, dkk (2004) dalam (Nofitri, 2009) mengatakan bahwa terdapat perbedaan kualitas hidup antara individu yang tidak menikah, individu bercerai ataupun janda, dan individu yang menikah atau kohabitasi. Penelitian empiris di Amerika secara umum menunjukkan bahwa individu yang menikah memiliki kualitas hidup yang lebih tinggi daripada individu yang tidak menikah, bercerai, ataupun janda/duda akibat pasangan meninggal Glenn dan Weaver (1981) dalam (Nofitri, 2009) .Demikian juga dengan penelitian yang dilakukan oleh Wahl, dkk (2004) dalam (Nofitri, 2009) menemukan bahwa baik pada pria maupun wanita, individu dengan status menikah atau kohabitasi memiliki kualitas hidup yang lebih tinggi. f. Penghasilan
Baxter, dkk (1998) dan Dalkey (2002) dalam (Nofitri, 2009) menemukan adanya pengaruh dari faktor demografi berupa penghasilan dengan kualitas hidup yang dihayati secara subjektif. Penelitian yang
dilakukan oleh Noghani,
Asgharpour, Safa, dan Kermani (2007) dalam (Nofitri, 2009) juga menemukan adanya kontribusi yang lumayan dari faktor penghasilan terhadap kualitas hidup subjektif namun tidak banyak.
g. Hubungan dengan orang lain
subjektif. Kahneman, Diener, & Schwarz (1999) dalam (Nofitri, 2009) mengatakan bahwa pada saat kebutuhan akan hubungan dekat dengan orang lain terpenuhi, baik melalui hubungan pertemanan yang saling mendukung maupun melalui pernikahan, manusia akan memiliki kualitas hidup yang lebih baik baik secara fisik maupun emosional. Penelitian yang dilakukan oleh Noghani, Asgharpour, Safa, dan Kermani (2007) dalam (Nofitri, 2009) juga menemukan bahwa faktor hubungan dengan orang lain memiliki kontribusi yang cukup besar dalam menjelaskan kualitas hidup subjektif.
h. Standard referensi
O’Connor (1993) dalam
(Nofitri, 2009) mengatakan bahwa kualitas hidup dapat dipengaruhi oleh standard referensi yang digunakan seseorang seperti harapan, aspirasi, perasaan mengenai persamaan antara diri individu dengan orang lain. Hal ini sesuai dengan definisi kualitas hidup yang dikemukakan oleh WHOQoL (Power, 2003) dalam (Nofitri, 2009), bahwa kualitas hidup akan dipengaruhi oleh harapan, tujuan, dan standard dari masing-masing individu. Glatzer dan Mohr (1987) dalam (Nofitri, 2009) menemukan bahwa di antara berbagai standard referensi yang digunakan oleh individu, komparasi sosial memiliki pengaruh yang kuat terhadap kualitas hidup yang dihayati secara subjektif. Jadi,
individu membandingkan
kondisinya dengan kondisi orang
lain dalam menghayati kualitas hidupnya.
Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam
penelitian ini adalah bagaimana hubungan tugas keluarga dalam pelaksanaan PHBS dengan kejadian diare pada balita Di Desa Gampong Matang Rayeuk Peudawa Puntong Kecamatan Idi Timur Kabupaten Aceh Timur Tahun 2017?
Tujuan penelitian 1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui Hubungan Tugas keluarga dalam pelaksanaan PHBS dengan kejadian diare pada balita Di Desa Gampong Matang Rayeuk Peudawa Puntong Kecamatan Idi Timur Kabupaten Aceh Timur Tahun 2017 2. Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui tugas keluarga dalam pelaksanaan PHBS dengan kejadian diare pada balita
b. Untuk mengetahui kejadian diare pada balita
c. Untuk mengetahui hubungan tugas keluarga dalam pelaksanaan PHBS dengan kejadian diare pada balita
Desain Penelitian
1. Populasi
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh keluarga atau kepala keluarga yang memiliki balita Di Desa Gampong Matang Rayeuk Peudawa Puntong Kecamatan Idi Timur Kabupaten Aceh Timur Berjumlah 42 keluarga (data diperoleh dari bidan desa)
2. Sampel
Pengambilan sampel dilakukan dengan menggunakan metode total sampling. Total sampling adalah suatu cara pengambilan sampel dengan mengambil semua anggota populasi, cara ini dilakukan jika populasinya kecil(Alimul, 2002). Jumlah sampel pada penelitian ini adalah 42 keluarga/kepala keluarga.
HASIL DAN PEMBAHASAN
a. Hasil Penelitian
Berdasarkan hasil dari pengumpulan data yang telah dilakukan mulai28 Juli –4 Agustus 2017 Di Desa Gampong Matang Rayeuk Peudawa Puntong Kecamatan Idi Timur Kabupaten Aceh Timur, dengan jumlah responden yang berpartisipasi dalam penelitian sebanyak42keluarga, dimana penelitian dilakukan untuk mengetahui hubungan perilaku hidup bersih sehat dengan kejadian diare pada anak di Desa Beringin kecamatan Pereulak Barat Kabupaten Aceh Timur tahunDi Desa Gampong Matang Rayeuk Peudawa Puntong Kecamatan Idi Timur Kabupaten Aceh Timur Tahun 2017.
1. Kejadian Diare
Tabel 5.1. Distribusi Frekuensi Kejadian Diare
Sumber : Data Primer (Tahun 2017) Berdasarkan tabel 5.1. dapat dilihat bahwa dari 42 responden, mayoritas tidak ada kejadian diare pada balita dalam waktu 3 bulan terakhir yaitu 29 (69%) dan minoritas ada kejadian diare 13 responden (31 %).
2.Tugas Keluarga tentang Perilaku hidup bersih sehat
Tabel 5.2
Distribusi FrekuensiTugas Keluarga tentang
Perilaku Hidup Bersih Sehat
No Tugas
Sumber : Data Primer (Tahun 2017) Berdasarkan tabel 5.2 didapatkan bahwa dari 42 responden, mayoritas tugas keluarga dalam Perilaku hidup bersih sehatberada pada kategori Positif yaitu27 responden (64,3%) dan minoritas negatif yaitu 15 responden (35,7%)
3.Hubungan Tugas Keluarga tentang Perilaku Hidup Bersih Sehat Dengan Kejadian Diare Pada Anak
4.2 . Pembahasan
Berdasarkan hasil penelitian yang didapat dari 42 responden, mayoritas tidak ada kejadian diare pada balita dalam waktu 3 bulan terakhir yaitu 29 (69%) dan mayoritas Tugas Keluarga tentangPHBS berada pada kategori Positif yaitu27 responden (64,3%) .
kejadian diare5. Dengan nilai Pvalue = 0,000. Dapat disimpulkan bahwa ada hubungan Tugas Keluarga tentangPHBS dengan kejadiaan diare.
Hasil penelitian Artini (2010) tentang Hubungan Pengetahuan dan Sikap Orangtua dengan Penerapan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat di puskesmas Pasundan Samarinda Kalimantan Timur, menunjukkan bahwa ada hubungan antara Pengetahuan dengan Penerapan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) dan besarnya hubungan antara Penerapan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) dengan pengetahuan adalah sebesar 0,471 atau 47,1 %. Dari penelitian tersebut didapatkan bahwa pengetahuan ternyata memiliki pengaruh terhadap penerapan perilaku hidup bersih dan sehat pada masyarakat di daerah tersebut.
Penelitian lain yang dilakukan Sulastri (2008) tentang Hubungan Pengetahuan dengan Sikap terhadap Penerapan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat dalam Rumah Tangga di Puskesmas Sidomulyo, menunjukkan adanya hubungan bermakna antara pengetahuan terhadap penerapan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat dalam Rumah tangga, dengan nilai p value 0,033 ≤ 0,05, maka pengetahuan berhubungan dengan penerapan perilaku hidup bersih dan sehat dalam rumah tangga. Jadi dapat disimpulkan bahwa pengetahuan ternyata berpengaruh terhadap perilaku hidup bersih dan sehat masyarakat
Hasil penelitian Amalia (2009) menemukan adanya hubungan tingkat pendidikan masyarakat dengan perilaku hidup bersih dan sehat. Hasil penelitian ini juga diperkuat dengan penelitian Kusumawati (2004) mengemukakan bahwa ada hubungan antara pendidikan kepala keluarga dengan perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS), dan ini juga diperkuat dari hasil penelitian Pratiwi Simanungkalit (2011) bahwa kepala keluarga yang berpendidikan tinggi lebih memiliki perilaku lebih sehat dari pada kepala keluarga yang berpendidikan
menengah dan sekolah dasar, dan kepala keluarga yang berpendidikan menengah memiliki perilaku lebih sehat dari pada kepala keluarga berpendidikan sekolah dasar.
Asumsi Peneliti bahwa Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) di Rumah Tangga merupakan salah satu upaya strategis untuk menggerakan dan memberdayakan keluarga atau anggota rumah tangga untuk hidup bersih dan sehat. Melalui ini setiap anggota rumah tangga diberdayakan agar tahu, mau dan mampu menolong diri sendiri dibidang kesehatan dengan mengupayakan lingkungan yang sehat, mencegah dan
menanggulangi masalah-masalah
kesehatan yang dihadapi terutama diare yang akan terjadi pada anak, serta memanfaatkan pelayanan kesehatan yang ada. Setiap rumah tangga juga digerakkan untuk berperan aktif dalam mewujudkan
kesehatan masyarakatnya dan
mengembangkan upaya kesehatan bersumber masyarakat
PENUTUP
a. Kesimpulan
Berdasarkan hasil dari pengumpulan data yang telah dilakukan mulai 9 - 13 Agustus 2017Di Desa Gampong Matang Rayeuk Peudawa Puntong Kecamatan Idi Timur Kabupaten Aceh Timur, dengan jumlah responden yang berpartisipasi dalam penelitian sebanyak42keluarga, dapat disimpulkan bahwaMayoritas keluargatidak ada kejadian diare pada balita dalam waktu 3 bulan terakhir yaitu 29 (69%).
1. Mayoritas Tugas Keluarga
tentangPHBS berada pada kategori Positif yaitu27 responden (64,3%) 2. Berdasarkan analisa bivariat
(100%), 13 (86,7%) Tugas Keluarga tentangPHBS berada pada kategori negatif dan ada kejadian diare 5. Dengan nilai Pvalue = 0,000. Dapat disimpulkan bahwa ada hubungan Tugas Keluarga tentangPHBS dengan kejadiaan diare.
b. Saran
1. Bagi Pendidikan Keperawatan Hasil penelitian diharapkan dapat
memberikan informasi dan
pengetahuan dalam pengembangan keperawatan khususnya keperawatan
keluarga Serta memberikan
gambaran pengetahuan orang tua tentang perilaku hidup bersih dan sehat pada keluarga
2. Bagi Pelayanan Keperawatan
Sebagai bahan pertimbangan dalam memecahkan masalah kesehatan mengenai pencegahan penyakit dan sebagai bahan informasi dalam mengoptimalkan program-program perilaku hidup bersih dan sehat.
3. Bagi Orang Tua Memberikan informasi tentang perilaku hidup bersih dan sehat sehingga masyarakat khususnya orang tua dapat mengetahui dan menerapkan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) tersebut dalam kehidupan sehari-hari.
DAFTAR PUSTAKA
Darmojo dan Martono(2006) Fisioterapi pada Lansia.Jakarta : EGC
Departemen Kesehatan. (2008). Jumlah Penduduk Lanjut Usia Meningkat. Diakses pada tanggal 17 Juni 2013 . (2010). Pedoman Puskesmas Santun
Lanjut Usia bagi Petugas Kesehatan. Diakses pada Tanggal
1 Oktober 2013 dari
http://www.perpustakaan.depkes.g
o.id/cgi-bin/koha/opac-ISBDdetail.pl?biblionumber=3490
Donald, A. (2009). What is Quality of life?. UK : Hayward Group Ltd. Diakses pada tanggal 22 Juni 2013dari
http://www.medicine.ox.ac.uk/ban dolier/painres/download/whatis/W hatisQOL.pdf
Effendi, F., Makhfudli. (2009). Keperawatan Kesehatan Komunitas: Teori dan Praktik dalam Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika. Diakses pada tanggal 16 Juli 2012 dari http://books.google.co.id/books?id =LKpz4vwQyT8C&pg=PT233&d q=tugas+kesehatan+keluarga+men urut+bailon+dan+maglaya&hl=id &sa=X&ei=dWUDUIvQGcLmrAe 30dCTBg&ved=0CDcQ6AEwAA
Hardywinoto & Setiabudhi. (2006). Quality Of Life Pada Lanjut Usia Studi Perbandingan pada Janda atau Duda Lansia antara yang Tinggal di Rumah Bersama Keluarga dengan yang Tinggal di Panti Werdha. Tesis Universitas Atma Jaya. Diakses pada Tanggal
3 Oktober 2013 dari
http://adl.aptik.or.id/default.aspx?t abID=61&src=k&id=124555
Friedman, M. (1998). Keperawatan Keluarga.Jakarta : EGC
Friedman, M.M., Bowden, V.R., & Jones, E.G. (2003). Family Nursing, Research, Theory and Practice. New Jersey: Prentice Hall
Hurlock, E. (2009). Development psychology (Edisi Kelima). Jakarta: Erlangga.
17 Juni 2013 dari http://www.e-psikologi.com/epsi/lanjutuisa_detai
l.asp?id=182-17k-Mansjoer, A. (2000). Kapita Selekta Jilid 1.Jakarta : Media Aesculapius Martono, H. (2011). Lanjut Usia dan
Dampak Sistemik Dalam Siklus Kehidupan. Diakses pada tanggal 2
Oktober 2013 dari
http://www.komnaslansia.or.id/mo dules.php?name=News&file=print &sid=63
Tarwoto dan Martonah (2010). Buku Ajar Ilmu Keperawatan Komunitas 2. Jakarta : CV. Sagung Seto
Notoatmodjo, S. (2010). Metodologi Penelitian kesehatan. Jakarta : Rineka Cipta
Nugroho, W. (2008). Keperawatan Gerontik dan Geriatrik. Jakarta : EGC.
Nursalam. (2011). Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan Edisi 3. Jakarta : Salemba Medika
Maryam, (2008).Fisioterapi pada Lansia. Jakarta : EGC
Putri, W.A.R. & Iman, P. (2012). Hubungan Fungsi Keluarga dengan Kualitas Hidup Lansia di Kelurahan Wirobrajan Yogyakarta. Diakses pada Tanggal 28 September 2012 dari W Amilia Rosmita Putri - FKIK (Pendidikan
Dokter), 2012
-publikasi.umy.ac.id
Moons, dkk (2004) dalam (Nofitri, 2009). Gambaran Kualitas Hidup Dewasa Muda Berstatus Lajang melalui Adaptasi Instrumen WHOQOL-BREF dan SRPB. Depok:
Pascasarjana Fakultas Psikologi UI.
Sutikno, E. (2012). Hubungan Fungsi Keluarga dengan Kualitas Hidup Lansia. Tesis UNS Solo. Diakses pada Tanggal 28 September 2012 dari http://pasca.uns.ac.id/?p=1627 WHO. (1994). Department of Psychiatry
Centre for Participant Report Outcomes.Diakses pada tanggal 17
Juni 2013 dari