• Tidak ada hasil yang ditemukan

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Irasionalitas Persyaratan Pencalonan Perseorangan dalam Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Irasionalitas Persyaratan Pencalonan Perseorangan dalam Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah"

Copied!
51
0
0

Teks penuh

(1)

71 BAB III

HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS

A. Hasil Penelitian

1. Calon Perseorangan dalam Pilkada Serentak I Tanggal 9 Desember 2015

(2)

72

perseorangan dibandingkan dengan mencalonkan diri melalui jalur partai politik. Hal pertama, dikarenakan calon perseorangan tidak memiliki struktur dukungan politik yang terlembagakan layaknya partai politik di level kabupaten/kota, kecamatan, sampai dengan desa. Kedua, partai politik dalam pencalonan dimungkinkan membangun koalisi, sedangkan calon perseorangan tidak punya pola koalisi. Ketiga, parpol bergerak dengan struktur calon yang banyak (mereka bisa mengusung 3-12 calon per dapil) pada masa pemilu legislatif, dan mendapatkan bantuan keuangan dari negara pasca mereka terpilih, sedangkan calon perseorangan mengandalkan individu dalam pencalonan.

(3)

73 Tabel 3.1

Pasangan Calon Perseorangan dalam Pilkada 2015

Jenis

Pada periode I Pilkada serentak yang berlangsung tanggal 9 Desember 2015, terdapat 156 calon perseorangan yang ikut dalam pelaksanaan Pilkada yang tersebar di 9 Provinsi, 224 Kabupaten dan 36 Kota. Sebagai contoh misalnya di Jawa Tengah, terdapat 3 Kabupaten dan 1 Kota yang diikuti oleh calon perseorangan, yaitu Kabupaten Rembang, Wonosobo dan Klaten serta Kota Magelang. Dari keempat daerah tersebut, calon perseorangan yang menang dalam Pilkada hanya di Kabupaten Rembang.

(4)

74

menyatakan bahwa Pencalonan perseorangan yang didahului dengan penyerahan berkas persyaratan pencalonan perseorangan merupakan bagian yang memberikan batasan kepada calon perseorangan. Mengingat sekarang sudah menggunakan Sistem Aplikasi Pencalonan, dimana setiap bakal calon perseorangan harus menyerahkan syarat dukungan dalam bentuk softcopy selain hardcopy

(5)

75

sehingga tidak dapat fokus dalam membangun konstituen. Hal tersebut juga disebabkan karena cara pemerolehan syarat dukungan berupa KTP juga didapat tidak melalui mekanisme yang memungkinkan yang tercantum tersebut tahu KTP mereka dijadikan syarat dukungan.54

Berbeda lagi dengan yang terjadi di Kabupaten Boyolali dan Kabupaten Semarang misalnya, dengan jumlah penduduk yang lebih besar dari Kota Magelang, berdasarkan wawancara dengan Anggota KPU Boyolali, Wahyu Prihatmoko bahwa bakal calon pasangan perseorangan yang menyampaikan syarat dukungan memang tidak dapat memenuhi batas minimal syarat yang ada karena terjadinya peningkatan jumlah syarat dukungan yang harus disampaikan. Apalagi untuk bakal calon perseorangan yang belum pernah terjun dalam dunia politik atau awam masalah pencalonan, akan sangat kesulitan

54 Wawancara dengan Ketua KPU Kota Magelang, Basmar Perianto

(6)

76

sekali dalam memenuhi persyaratan berupa salinan fotocopy KTP.55

Berbeda dengan yang terjadi di Kabupaten Rembang, calon perseorangan yang maju merupakan incumbent, yang dahulunya diusung partai politik. Posisi incumbent baik melalui partai politik maupun jalur perseorangan memang lebih diuntungkan. Hal tersebut lebih dipengaruhi faktor bagaimana mekanisme mendapatkan syarat dukungan itu. Dalam kasus di Kabupaten Rembang, secara pengalaman calon incumbent mengetahui bagaimana proses mendapatkan berkas persyaratan sehingga data dukung dalam penyerahan dokumen persyaratan lebih valid dibandingkan dengan bakal calon yang belum pernah berkecimpung dalam Pilkada.56

55 Wawancara dengan Anggota KPU Kabupaten Boyolali, Wahyu

Prihatmoko, 29 Agustus 2016

56 Wawancara dengan Ketua KPU Kabupaten Rembang, Minatus Salam,

(7)

77

2. Calon Perseorangan dalam Pilkada Serentak II Tanggal 15 Februari 2017

Dalam pelaksanaan Pilkada Serentak Tahap II, tanggal 15 Pebruari 2017 yang dilaksanakan di 101 wilayah yang terdiri dari 7 Provinsi, 76 Kabupaten dan 18 Kota diikuti oleh 90 calon perseorangan sebagaimana dalam tabel di bawah ini:

Tabel 3.2

Pasangan Calon Perseorangan dalam Pilkada 2017

Jenis

(8)

78

perbedaan dalam hal syarat jumlah penduduk dan pemilih dalam DPT. Sebagai contoh misalnya, di Jawa Tengah dalam Pilkada Serentak 2015, dari 21 Kabupaten/Kota yang melaksanakan Pilkada, jumlah calon perseorangan yang mendaftar masih terdapat 12 bakal calon perseorangan, dan yang dapat mengikuti pemilihan terdapat 3 pasangan calon, dan 1 pasangan calon yang memenangi Pilkada 2015. Sedangkan pada tahun 2017 meskipun syaratnya berdasarkan jumlah DPT, di Jawa Tengah pada Pilkada 2017, tidak satupun calon perseorangan yang mendaftar dan lolos menjadi pasangan calon yang ditetapkan untuk mengikuti Pilkada.

(9)

79

yang mengundurkan diri dan syarat dukungan.57 Sanksi bagi partai politik atau gabungan partai politik yang menarik calonnya setelah ditetapkan sebagai pasangan calon oleh KPUD, maka partai politik atau gabungan partai politik yang mencalonkan tidak dapat mengusulkan calon pengganti. Sedangkan bagi pasangan calon perseorangan atau salah seorang di antaranya mengundurkan diri setelah ditetapkan sebagai pasangan calon oleh KPUD, maka pasangan calon perseorangan dinyatakan gugur dan tidak dapat diganti pasangan calon perseorangan yang lain, serta dikenai sanksi tidak dapat mencalonkan diri atau dicalonkan oleh partai politik/gabungan partai politik sebagai calon kepala daerah/wakil kepala daerah untuk selamanya di seluruh wilayah Republik Indonesia. Jika dengan pengunduran diri dari calon perseorangan tersebut menyebabkan tinggal 1 (satu) pasang calon, maka pasangan calon tersebut dikenai sanksi selain tersebut di atas, juga diberikan sanksi denda sebesar Rp.20.000.000.000,00 (dua

57 Retno Saraswati, Calon Perseorangan: Pergeseran Paradigma

(10)

80

(11)

81

(12)

82 B. Analisis

1. Analisis Munculnya Calon Perseorangan dalam Pilkada

Pemilihan umum adalah instrumen untuk mewujudkan negara yang menganut nilai-nilai demokrasi yang mampu mengartikulasikan aspirasi dan kehendak rakyat. Memahami pengertian pemilihan umum secara mendalam dapat diketahui dari tujuannya. Tujuan penyelenggaraan pemilihan umum atau pemilu pada pokoknya dapat dikemukakan ada empat hal, yaitu:58

a. Untuk memungkinkan terjadinya peralihan

kepemimpinan pemerintahan secara tertib dan damai b. Untuk memungkinkan terjadinya pergantian pejabat

yang akan mewakili kepentingan rakyat di lembaga perwakilan.

c. Untuk melaksanakan prinsip kedaulatan rakyat.

d. Untuk melaksanakan prinsip hak-hak asasi warga

negara.

(13)

83

(14)

84

berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Partai politik sebagai infrastruktur politik memiliki peran yang sentral dalam demokrasi. Hal tersebut tercermin dari Undang-Undang No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik, yang salah satu fungsi partai politik adalah sebagai sarana partisipasi politik Warga Negara Indonesia. Sayangnya peran sentral tersebut sedikit demi sedikit mengalami degradasi, proses melemahnya peran partai ini sering disebut sebagai deparpolisasi. Deparpolisasi dapat terjadi sebagai akibat dari Peraturan Perundang-Undangan, putusan hakim, persepsi publik bahkan sikap amoral dari anggota partai politik. Secara historis dalam Pasal 56 ayat (2) Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah menyebutkan bahwa “Pasangan calon sebagaimana dimaksud pada ayat 1 diajukan oleh Partai Politik atau

gabungan Partai Politik”, artinya calon kepala daerah untuk

(15)

85

atau koalisi partai politik, sehingga terlihat bahwa partai politik memiliki peran yang begitu dominan dalam Pilkada.

Keadaan berubah pasca putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 5/PUU-V/2007, yang menyatakan bahwa calon kepala daerah dari jalur perseorangan dapat menjadi peserta Pilkada. MK menafsirkan bahwa pemilihan kepala daerah yang demokratis yang dimaksud dalam Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 berarti memberikan peluang kepada calon perseorangan untuk mengajukan diri dalam Pilkada. Sehingga dalam Pilkada calon kepala daerah dari jalur perseorangan dan calon kepala daerah yang diusulkan partai dapat bersaing untuk menjadi kepala daerah.Implikasi dari putusan MK tersebut adalah partai politik bukan merupakan satu-satunya sarana politik bagi warga negara untuk berpartisipasi dalam Pilkada.

(16)

86

dengan menurunnya kepercayaan masyarakat terhadap partai politik. Berbagai jajak pendapat publik sejak tahun 2004 selalu menunjukkan angka party identification di kisaran 15-20 persen saja, artinya hanya sekitar 15-15-20 persen masyarakat Indonesia yang merasa dekat dengan partai politik. Selain itu riset yang dilakukan Lembaga Survey Indonesia yang dilakukan pada 2015 menghasilkan beberapa beberapa temuan diantaranya adalah sebagai berikut:59

a. Secara umum warga mendukung prinsip bahwa setiap warga punya hak untuk memilih dan dipilih dalam pemilihan umum Presiden, dalam Pilkada Gubernur, Bupati, maupun Walikota.

b. Warga menghendaki agar pencalonan Presiden, Gubernur, Bupati dan Walikota tidak hanya boleh partai politik tapi juga boleh oleh kelompok–kelompok di luar partai maupun perorangan.

c. Pencalonan hanya oleh partai politik, apakah itu dalam Pemilu Presiden maupun dalam Pilkada, dipandang

(17)

87

publik sebagai pengekangan terhadap hak-hak politik warga.

d. Rendahnya kepercayaan publik pada parpol meningkatkan dukungan pada gagasan calon perseorangan.

Sehingga setelah melakukan riset tersebut Lembaga Survey Indonesia menyimpulkan beberapa hal sebagai berikut:60

a. Setiap desain institusi politik demokratis harus diupayakan sedemikian rupa agar dekat dengan aspirasi publik sehingga punya basis dukungan dan legitimasi massa yang kuat. Bila desain institusional mempunyai basis massa yang kuat maka desain instusi tersebut akan semakin kokoh, dan demokrasi akan semakin kuat.

b. Aspirasi publik nasional sejalan dengan putusan Mahkamah Konstitusi yang membatalkan pasal-pasal berkaitan dengan pencalonan kepala daerah hanya oleh

(18)

88

partai politik. Putusan itu dengan demikian punya basis legitimasi populer yang kuat.

c. Warga pada umumnya mendukung gagasan calon perseorangan, bahkan bukan hanya untuk posisi Gubernur, Bupati, dan Wali Kota tetapi juga Presiden. d. Munculnya dukungan yang luas dari publik atas calon

perseorangan tumbuh dari rendahnya kepercayaan publik pada partai politik, sementara partai adalah lembaga yang memonopoli kontestasi politik di tingkat daerah dan nasional.

e. Dukungan yang luas terhadap calon perseorangan ini tidak akan muncul bila partai politik selama ini dirasakan cukup mampu memperjuangkan kepentingan konstituen mereka. Karena itu, dukungan terhadap calon perseorangan ini merupakan tantangan bagi partai agar semakin dekat dengan aspirasi publik.

(19)

89

politik, penentuan calon kepala daerah yang tidak partisipatif, sampai dengan tindakan dari kader partai yang bertentangan dengan common sense menjadi penyebab kurang dekatnya partai politik dengan masyarakat yang berujung pada deparpolisasi. Penyebab-penyebab deparpolisasi yang melanda tentu saja harus dihilangkan oleh partai politik untuk menciptakan budaya politik yang baik. Menghapuskan kebiasaan-kebiasaan buruk yang menyebabkan deparpolisasi tentu saja membutuhkan waktu yang tidak singkat, terdapat cara yang dapat ditempuh oleh partai politik untuk memperkuat perannya dan mendekatkan dengan masyarakat.

(20)

90

penghimpun, dan penyalur aspirasi politik masyarakat dalam merumuskan dan menetapkan kebijakan negara, dan sebagai sarana rekrutmen politik dalam proses pengisian jabatan politik melalui mekanisme demokrasi dengan memperhatikan kesetaraan dan keadilan gender. Terkait dengan fenomena deparpolisasi, partai politik harus melakukan perbaikan jangka panjang pada rekrutmen calon kepala daerah. Penentuan calon kepala daerah dalam sebuah partai politik harus memiliki proses dan prosedurnya harus jelas, harus bersifat partisipatif dan transparan, sehingga nantinya calon kepala daerah yang diusung oleh partai politik ini berkualitas dan berkompeten.61

Sedangkan perbaikan jangka pendek yang dapat dilakukan adalah partai politik dapat bergabung dengan komunitas masyarakat untuk mengusung calon perseorangan, sehingga partai politik tidak terlalu

strictdengan mekanisme pencalonan yang dibuatnya. Namun dengan syarat calon perseorangan yang diusung

(21)

91

adalah calon yang berkualitas dan tidak hanya mengandalkan popularitas semata. Keputusan partai politik untuk mengusung calon perseorangan sebaiknya diawali dengan proses deliberasi antara pengurus dan anggota, sehingga langkah yang ditempuh partai politik tidak didasarkan atas konsensus elitis semata. Apabila partai politik bergabung dengan komunitas masyarakat tersebut akan terdapat manfaat-manfaat yang akan didapat oleh partai politik, diantaranya:62

a. Partai politik dipandang masyarakat dapat mengubah citra menjadi lebih mengakomodasi aspirasi publik dalam mengusung calon kepala daerah;

b. Memudahkan partai politik dalam melakukan komunikasi politik maupun sosialisasi politik kepada masyarakat, khususnya kepada relawan-relawan yang terdapat di dalam komunitas masyarakat pengusung calon perseorangan;

(22)

92

Apabila kedua manfaat tersebut dapat terwujud maka peran partai politik dalam demokrasi akan kembali menguat. Bukan tidak mungkin orang-orang yang ingin mencalonkan diri melalui jalur perseorangan atau perseorangan akan berubah pikiran untuk mencalonkan diri melalui partai politik yang sangat dekat dengan masyarakat.

(23)

93

segelintir orang yang kebetulan beruntung yang berhasil memenangkan suara rakyat yang mudah dikelabui, untuk memaksakan berlakunya kebijakan-kebijakan publik tertentu ‘at the expense of the general will’. Kondisi yang semacam ini lah yang membuat sikap pesimisme masyarakat terhadap partai politik terlebih terhadap Pilkada itu sendiri, banyak yang beranggapan tidak memilih adalah jalan terbaik, yang sampai dengan saat ini angka partisipasi pemilih masih berkisar dibawah 70%.63

Pilkada akan menjadi sumber masalah bagi daerah apabila:64

a. Mengutamakan Figur Public (Public Figure) atau aspek

akseptabilitas saja, tanpa memperhatikan kapabilitasnya untuk menerapkan urgensi Pemerintah Daerah maupun masyarakat.

b. Kemungkinan akan terjadi konflik horizontal antar

pendukung apabila kematangan politik rakyat di satu

63 Ibid, h. 79

(24)

94

daerah belum cukup matang dan adanya kecurigaan terhadap sistem yang ada.

c. Kemungkinan kelompok minoritas baik dilihat dari segi

suku, agama, ras, maupun golongan akan tersisih dalam percaturan politik, apabila dalam kampanye faktor-faktor primordial lebih ditonjolkan.

d. Sebagian masyarakat masih bersifat paternalistik dan

primordial. Masyarakat dengan karakter seperti ini cenderung menginduk pemberian pimpinan. Artinya dominasi patron sangat kuat terhadap clientnya sehingga menyebabkan kesulitan bagi masyarakat untuk menentukan pilihannya secara mandiri. Banyak kasus yang muncul akhir-akhir ini menunjukkan betapa mudah elit-elit menghasut kelompok-kelompok masyarakat.

e. Partai-partai politik belum berfungsi baik dalam

(25)

95

politik kepada rakyat, bahkan tidak jarang aspirasi masyarakat sering dimanipulasi.

f. Daerah tidak seluruhnya mudah dijangkau.

g. Biaya yang dibutuhkan cukup besar, sehingga hanya

calon yang memiliki dana yang cukup atau didukung oleh sponsor saja yang akan maju ke pemilihan Kepala Daerah.

h. Parpol mengusung calon Kepala Daerah yang tidak

berkualitas.

i. Penegakan hukum belum berlangsung baik, sehingga

sangat sulit untuk menerapkan sanksi bagi palanggarnya.

(26)

96

ternyata telah membuktikan calon perseorangan juga menjadi pilihan rakyat dengan melihat kualitas, integritas maupun komitmennya membangun bangsa dan negara. Diantara calon perseorangan yang berhasil meraih kursi adalah R. Soedjono Prawiriseodarso untuk DPR dan L.M. Idris Efendi sebagai anggota konstituante.65

Maka idealnya, balajar dari kritik demokrasi elektoral, olak ukur kualitas Pilkada seharusnya tidak hanya pada ukuran formal-prosedural, tetapi lebih pada ukuran kualitatif dan substantif. Berikut beberapa perbedaan mendasar dari dua hal tersebut.

(27)

97

Tabel 3.3 Ukuran Ideal Pemilihan Umum Kepala Daerah Variabel Ukuran

Partisipasi Kuantitas dan kualitas pemilih

- Pemilih yang kritis. Tidak

ada diskriminasi bagi pemilih.

- Tidak ada partisipasi semu

karena mobilisasi dan vote buying.

Kompetisi Jumlah kompetitor dan syarat formal hak politik warga oleh elite Hasil

2. Irasionalitas Persyaratan Pencalonan Perseorangan dalam Undang-Undang Pilkada

(28)

Undang-98

Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Berdasarkan UU No. 32 Tahun 2004 sebagaimana dinyatakan secara tegas dalam Pasal 59

ayat (1) disebutkan bahwa “Peserta pemilihan kepala

daerah dan wakil kepala daerah adalah pasangan calon

yang diusulkan secara berpasangan oleh partai politik

atau gabungan partai politik”. Hal ini menujukkan bahwa sejatinya dalam UU No. 32 Tahun 2004 mekanisme pengusulan pasangan calon Pilkada hanya dilakukan oleh parpol atau gabungan parpol yang diambil berdasarkan pertimbangan bahwa mekanisme demokrasi yang dibangun di Indonesia adalah berdasarkan basis parpol dan bukan perseorangan.

(29)

99

Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UU Pemerintahan Aceh) tidaklah bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI Tahun 1945). Sehingga UU No. 32 Tahun 2004 perlu menyesuaikan dengan perkembangan terbaru yaitu memberikan hak kepada perseorangan untuk dapat mencalonkan diri dalam Pilkada tanpa harus melalui parpol atau gabungan parpol sebagaimana diatur dalam Pasal 67 Ayat (2) UU Pemerintahan Aceh. Lebih lanjut lagi, dalam poin [3.15.19] Putusan MK No. 55/PUU-V/2007, Mahkamah

Konstitusi juga berpendapat bahwa “terhadap

perseorangan yang bersangkutan harus dibebani

kewajiban yang berkaitan dengan persyaratan jumlah

dukungan minimal terhadap calon yang bersangkutan.

Hal demikian diperlukan agar terjadi keseimbangan

dengan parpol yang disyaratkan mempunyai jumlah

wakil minimal tertentu di DPRD atau jumlah perolehan

(30)

100

pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala

daerah.” Terkait kewajiban legilasi ini pun Mahkamah Konstitusi dalam poin [3.15.22} berpendapat

penentuan syarat dukungan minimal bagi calon

perseorangan sepenuhnya menjadi kewenangan

pembentuk undang-undang, apakah akan menggunakan

ketentuan sebagaimana yang dicantumkan dalam Pasal

68 Undang-Undang Pemerintahan Aceh ataukah

dengan syarat berbeda”. Hal tersebut yang kemudian

menjadi dasar pengaturan bagi calon perseorangan yang untuk pertama kalinya diberlakukan dalam pelaksanaan Pilkada yakni dalam perubahan Pasal 59 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 32 Tahun 2004.

(31)

101

Gubernur/Wakil Gubernur apabila memenuhi syarat dukungan dengan ketentuan :

1. Provinsi dengan jumlah penduduk sampai dengan 2.000.000 (dua juta) jiwa harus didukung sekurang-kurangnya 6,5% (enam koma lima persen);

2. Provinsi dengan jumlah penduduk lebih dari 2.000.000 (dua juta) sampai dengan 6.000.000 (enam juta) jiwa harus didukung sekurang-kurangnya 5% (lima persen);

3. Provinsi dengan jumlah penduduk lebih dari 6.000.000 (enam juta) sampai dengan 12.000.000 (dua belas juta) jiwa harus didukung sekurang- kurangnya 4% (empat persen); dan

4. Provinsi dengan jumlah penduduk lebih dari 12.000.000 (dua belas juta) jiwa harus didukung sekurang-kurangnya 3% (tiga persen).

5. Jumlah dukungan tersebut tersebar di lebih dari 50% (lima puluh persen) jumlah kabupaten/kota di provinsi dimaksud

Pasangan calon perseorangan dapat mendaftarkan diri sebagai pasangan calon bupati/wakil bupati atau walikota/wakil walikota apabila memenuhi syarat dukungan dengan ketentuan :

1. Kabupaten/kota dengan jumlah penduduk sampai dengan 250.000 (dua ratus lima puluh ribu) jiwa harus didukung sekurang-kurangnya 6,5% (enam koma lima persen);

(32)

102

didukung sekurang-kurangnya 5% (lima persen); 3. Kabupaten/kota dengan jumlah penduduk lebih

dari 500.000 (lima ratus ribu) sampai dengan 1.000.000 (satu juta) jiwa harus didukung sekurang- kurangnya 4% (empat persen); dan 4. Kabupaten/kota dengan jumlah penduduk lebih

dari 1.000.000 (satu juta) jiwa harus didukung sekurang-kurangnya 3% (tiga persen).

5. Jumlah dukungan tersebut tersebar di lebih dari 50% (lima puluh persen) jumlah kecamatan di kabupaten/kota dimaksud.

Dukungan terhadap pasangan calon perseorangan sebagai pasangan calon gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati atau walikota/wakil walikota dibuat dalam bentuk surat dukungan yang disertai dengan fotokopi Kartu Tanda Penduduk (KTP) atau surat keterangan tanda penduduk sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

(33)

103

menjadi Undang-Undang, yang menyebabkan syarat dukungan bagi pasangan calon perseorangan dalam Pasal 41 ayat (1) dan ayat (2) dinaikkan sebesar 3,5% (tiga setengah persen) dari ketentuan sebagaimana Undang- Undang Nomor 12 Tahun 2008 Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Pasal 59 ayat (2a) dan ayat (2b).

(34)

104

perseorangan sebagaimana diatur dalam Pasal 41 ayat (1) dan ayat (2) huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d

yang semula menggunakan acuan “jumlah penduduk

menjadi berdasarkan “daftar pemilih tetap”. Adapun dalam Pertimbangan Hukum alinea terakhir dari Putusan ini, Mahkamah menyatakan sebagai berikut: “Bahwa mengingat tahapan-tahapan pemilihan kepala

daerah telah berjalan, sementara putusan Mahkamah

tidak berlaku surut (non-retroactive), agar tidak

menimbulkan kerancuan penafsiran maka Mahkamah

penting menegaskan bahwa putusan ini berlaku untuk

pemilihan kepala daerah serentak setelah pemilihan

(35)

105

(36)

106

dikalangan masyarakat menjadi hal yang cukup dikhawatirkan akan merusak esensi dari pada pemilihan kepala daerah itu sendiri yang jauh dari asas pemilihan yang sesungguhnya.

(37)

107

ketatanegaraan yang telah menimbulkan dampak kesadaran konstitusi secara nasional, yakni realitas pengaturan pilkada sebagaimana dipraktekkan di Aceh.

(38)

108

rakyat. Putusan Mahkamah Konstitusi . 55/PUU-V/2007 lahir sebagai akibat adanya pergeseran paradigma kekuasaan dalam Pilkada. Pergeseran paradigma ini terjadi akibat perluasan penafsiran terhadap Pasal 18 Ayat (4) UUD 1945 oleh Mahkamah Konstitusi, dengan memaknai bahwa kepala daerah selain dapat diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik, juga dapat berasal dari perseorangan. Sehingga pencalonan kepala daerah dan wakil kepala daerah tidak hanya menjadi hak parpol akan tetapi juga membuka kesempatan kepada perseorangan untuk mencalonkan diri sebagai kepala daerah dan wakil kepala daerah. Dengan argumen keadilan dan kesejahteraan masyarakat, maka Mahkamah Konstitusi mengabulkan gugatan tentang calon perseorangan.

(39)

109

keniscayaan, sebagaimana Seymour Martin Lipzig menyebutkan:66

“Hak demokrasi itu tidak boleh dibatasi oleh apapun,

termasuk untuk memilih pemimpin. Berbagai pembatasan terhadap akses demokrasi itu adalah penghianatan demokrasi, padahal demokrasi itu sendiri harus memberikan kompetisi yang bebas bagi seluruh warga negara untuk bersaing pada

jabatan-jabatan politik dan pemerintahan.”

Berdasarkan hal tersebut, penulis berpendapat bahwa dengan adanya pemilihan calon perseorangan merupakan pengejawantahan demokrasi yang sesungguhnya. Dengan begitu, persaingan politik akan memberikan semangat baru bagi setiap pasangan calon baik itu dari partai maupun non partai untuk memberikan yang terbaik kepada masyarakatnya. Tentunya partisipasi masyarakat dalam hal ini juga menjadi faktor yang akan mendukung terciptanya demokratisasi yang menyejahterakan rakyat. Masyarakat akan dituntut untuk memilih calon kepala

66 International IDEA Institute, Desain Penyelenggaraan Pemilu: Buku

Pedoman Internasional IDEA¸Terjemahan Djohan Radi, Perludem, Jakarta,

(40)

110

daerahnya sesuai dengan visi dan misi yang relevan dan logis untuk menjadikan daerahnya yang sejahtera. Arbi Sanit berpendapat tentang perlunya ada calon perseorangan di dalam pemilu Indonesia. Dengan alasannya sebagai berikut:67

a. Untuk mengoperasikan paradigma kolektivitisme

(Pembukaan UUD 1945) dan paradigma individualisme (ketentuan HAM dalam UUD 1945) melalui lembaga pemilu.

b. Lembaga calon perseorangan memberikan peluang

kepada upaya orang yang tidak menjadi anggota atau simpatisan partai, untuk menggunakan haknya ikut pemilu.

c. Partai politik sejauh ini mengalami krisis calon

pemimpin sebagaimana dibuktikan dengan kesulitan memajukan calon yang berkualitas tinggi dan berkapabilitas kepemimpinan dalam kadar popularitasnya.

67 Arbi Sanit, Penegakan Hukum Pemilu dalam Pemilukada, LP3ES,

(41)

111

d. Hadirnya calon perseorangan mampu memotivasi

partai politik untuk mengembangkan sistem kaderisasi yang efektif.

e. Urgensi menanggulangi masalah krisis

kepemimpinan. Dengan begitu lembaga calon perseorangan Pilkada akan lebih memberi harapan bagi perbaikan demokrasi dan negara.

(42)

112

Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati dan atau Walikota dan Wakil Walikota, kenaikan syarat dukungan 3,5% dan berdasarkan DPT merupakan bentuk pembatasan tersendiri yang disebabkan salah satunya karena adanya putusan Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut memiliki dampak langsung bagi calon kepala daerah yang berasal dari DPR, DPD, dan DPRD. Anggota DPR, DPD, dan DPRD harus berfikir ulang ketika ingin maju menjadi calon kepala daerah karena dengan adanya putusan tersebut para calon kepala daerah dan calon wakil kepala daerah yang berasal dari DPR, DPD, dan DPRD diharuskan untuk mengundurkan diri ketika ditetapkan sebagai calon kepala daerah dan calon wakil kepala daerah.

Pasal 28D (3)“Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan sama dalam pemerintahan”.

(43)

113

partai politik, karena esensinya adalah sama yaitu hak untuk dipilih.

Salah satu cara untuk menilai apakah pemilu atau Pilkada yang demokratis adalah diakomodasinya oleh substansi peraturan perundangan–undangan yang memberikan peluang kepada semua warga negara untuk dipilih dan memilih secara adil. Dengan diberikannya pengajuan secara perseorangan dalam Pilkada setidak– tidaknya menjadi salah satu bukti terwujudnya demokrasi yang baik. Pencalonan perseorangan dalam Pilkada tidak bertentangan dengan nilai HAM dan demokrasi, namun justru mengakomodir HAM dan demokrasi itu sendiri. Pembatasan pengajuan calon hanya melalui partai politik atau gabungan partai politik justru memasung HAM dan nilai–nilai demokrasi yang terkandung filsafat bangsa.

(44)

114

karena keduanya berbeda dan ia juga tidak boleh terlalu ringan supaya calonnya memang orang yang bersungguh-sungguh dalam mencari basis dukungan sebagai wujud kedaulatan rakyat.

Penentuan jumlah persentase akan mempengaruhi kemampuan seseorang yang berminat mendaftar melalui jalur perseorangan. Semakin sedikit jumlah persentase dukungan yang dipersyaratkan dalam aturan maka semakin besar pula keuntungan yang diperoleh calon perseorangan. Dan dengan semakin besar keuntungan yang diperoleh, maka potensi mewujudkan harapan maksimalnya akan semakin terbuka lebar.

(45)

115

bagian yang tidak menggunakan formula persentase-pun, jumlah dukungannya juga relatif kecil. Maine minimal 4 ribu dan maksimal 6 ribu, Minnesota sebanyak 2 ribu petisi dukungan dan New York sebanyak 15 ribu.68

Keadilan yang eksklusif bagi individu yang terlibat dalam kontrak(UU) akan berimplikasi langsung dengan individu yang berada diluar kontrak. Hal ini berarti dalam hal menentukan formula persentase dukungan calon perseorangan tidak hanya mempertimbangkan asumsi keadilan versi pemerintah atau DPR. Akan tetapi juga pihak-pihak diluar kontrak, yakni publik. Karena baik calon perseorangan maupun jalur parpol pada akhirnya akan dipilih oleh masyarakat pemilih dalam proses pilkada. Dengan kata lain, dimensi sosiologis dengan segala keberagamannya harus dimaknai sebagai proses yang juga menentukan adil tidaknya jumlah persentase yang dipilih.

(46)

116

Untuk menilai adil tidaknya jumlah persentase dukungan calon perseorangan setidaknya ada dua prinsip yang bisa dijadikan ukuran, Pertama prinsip kesetaraan. Dalam prosedur politik, John Rawls menyebut prinsip ini sebagai partisipasi atau jaminan kesetaraan bagi seluruh warga untuk memilih dan dipilih. Menurutnya, mereka bebas menentukan hak pilihnya dan pada saat bersamaan sepanjang memenuhi syarat, ia juga bebas mendapatkan kesetaraan akses untuk bergabung dengan partai politik, mengejar posisi-posisi pilihan serta memegang tampuk kekuasaan.69

Dalam pemilu yang demokratis, ruang partisipasi bagi warga untuk bisa memilih dan dipilih harus dibuka seluas-luasnya. Pembatasan yang dilakukan tidak boleh diskriminatif, menghambat atau bahkan menghilangkan secara tidak sah hak warga untuk memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan. Hal inilah yang menjadi konsen MK ketika memutus perkara

(47)

117

Nomor 5/PUU-V/2007, yang berimplikasi pada terbukanya calon perseorangan sebagai peserta Pilkada dan perkara Nomor 60/PUU/2015, yang mengubah basis perhitungan calon perseorangan dari jumlah penduduk menjadi jumlah pemilih dalam DPT.

Hart merumuskan hal ini dengan ‘perlakukan

hal serupa dengan cara serupa dan perlakukan

hal-hal yang berbeda dengan cara yang berbeda’. Inti rumusan Hart terletak pada momentum ketika manfaat dan beban itu didistribusikan. Hukum akan dianggap

‘tidak adil’ jika substansinya mengatur perbedaan atas

dasar rasialisme, sebaliknya perbedaan itu dianggap

‘adil’ jika menarik unsur kekebalan atau keistimewaan

dari kelompok tertentu.70 Sebagai contoh, hukum itu

dianggap ‘tidak adil’ ketika melarang etnis Tionghoa

mencalonkan diri sebagai Gubernur. Sebaliknya hukum itu adil, apabila suara pemilih dalam menentukan hasil Pilkada itu mempunyai bobot yang sama. Apakah ia

(48)

118

Gubernur, Bupati, Walikota atau anggota DPRD semua hak imunitasnya ditarik, sehingga bebannya sama dengan pemilih biasa.71

Rawls mengemukakan bahwa ketidaksamaan dibenarkan sepanjang menguntungkan kelompok masyarakat yang lemah serta sepanjang ia memiliki kemampuan, dasar kemauan dan kebutuhan. Sebab, jika yang paling lemah mendapat keuntungan otomatis memberikan keuntungan juga bagi pihak yang lebih kuat, atau setidak-tidaknya ia tidak dirugikan. Sebaliknya skema itu tidak adil jika keuntungan dari pihak yang lebih kuat bersifat eksesif, menghambat potensi keuntungan dari pihak yang paling lemah. Gagasan Rawls yang hanya menekankan distribusi keuntungan oleh Amartya Sen dikritik sebagai konsep yang sama sekali tidak menyentuh substansi keadilan. Dalam buku The Idea of Justice, ia mereformulasi penerapan distribusi keadilan yang mestinya tidak hanya

(49)

119

menekankan pada pemenuhan resources, atau keterbukaan individu untuk memberikan kesempatan yang sama terhadap yang kurang beruntung. Melainkan juga mempertimbangkan aksestabilitas individu, yakni kemampuan dalam mengolah resources. Kemampuan ini relevan dalam pengertian, produktivitas individu dalam menciptakan alternatif pilihan-pilihan terbuka.72

Merujuk pendapat Sen, adil itu bukan hanya memberikan kesempatan yang sama kepada semua warga berpartisipasi sebagai calon Kepala Daerah. Bukan pula sebatas membedakan syarat persentase dukungan. Akan tetapi juga memenuhi kebutuhan mereka sebagai calon, sehingga kepadanya perlu didistribusikan informasi atau pengetahuan mengenai syarat-syarat calon, teknis dukungan, batas waktu penyerahan persyaratan dan lain sebagainya. Intinya, agar substansi keadilan bisa tercapai, maka negara juga harus memfasilitasi pemenuhan penerapan keadilan

(50)

120

tersebut. Dalam ilustrasi diatas, percuma memberikan kesempatan dipilih jika para calon tidak mengetahui informasi terkait pencalonan.73

Meski dikritik Sen, tapi gagasan Rawls dianggap memiliki relevansi dalam konstitusi kita. Didalam pasal 28H ayat (2) UUD 1945 disebutkan bahwa, “Setiap

orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan

khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat

yang samaguna mencapai persamaan dan keadilan”.

Pasal inilah yang menjadi dasar konstitutif MK dalam memutus perkara Nomor 070/ PUU-II/2004, Nomor 14-17/PUU-V/2007, Nomor 27/PUU-V/2007 dan Nomor 53/PUU-VI/2008.

Secara faktual, calon perseorangan dan calon jalur parpol memang berbeda, baik dari aspek sumber daya politik maupun keterwakilan. Parpol memiliki SDM yang berjenjang mulai dari tingkat desa sampai pusat. Belum lagi dengan finansialnya yang mendapat

(51)

121

Gambar

Tabel 3.1
Tabel 3.2 Pasangan Calon Perseorangan dalam Pilkada 2017
Tabel 3.3 Ukuran Ideal Pemilihan Umum Kepala Daerah

Referensi

Dokumen terkait

Ubijalar Varietas Antin-1 ( Antin-1 Sweet Potato Variety ) Badan Litbang Pertanian.Kementrian Pertanian - Republik Indonesia.. Potensi Ubijalar Ungu Sebagai

 Apakah penggunaan permainan “Ohh Anda Jutawan!!” dapat meningkatkan kemahiran menjawikan perkataan rumi yang mengandungi suku kata terbuka- terbuka murid tahun

Berdasarkan pada pengertian-pengertian yang telah diuraikan di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa penerbitan izin usaha pertambangan yang dilakukan oleh

dari ahli lainnya, news atau berita adalah sesuatu yang termasa yang dipilih oleh wartawan untuk dimuat dalam surat kabar, karena dia menarik minat atau.. mempunyai makna bagi

Berdasarkan penelitian ini maka akan diperoleh manfaat bahwa dengan adanya perjanjian perdagangan Internasional antara India Indonesia melalui Kemitraan Strategis

Mata bor helix kecil ( Low helix drills ) : mata bor dengan sudut helix lebih kecil dari ukuran normal berguna untuk mencegah pahat bor terangkat ke atas

Disemprotkan ( Jet Application of Fluid ), pada proses pendinginan dengan cara ini cairan pendingin disemprotkan langsung ke daerah pemotongan (pertemuan antara

Instructors are now trained to not only help you understand skiing and snowboarding, regardless of your expertise or how comfortable you are on the snow, but create an