BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
1. Konsep Stres
1.1 Definisi Stres
Stres adalah respons tubuh yang tidak spesifik terhadap setiap kebutuhan
tubuh yang terganggu, suatu fenomena universal yang terjadi dalam
kehidupan sehari-hari dan tidak dapat dihindari, setiap orang mengalaminya,
stres memberi dampak secara total pada individu yaitu terhadap fisik,
psikologis, intelektual, sosial dan spiritual, stres dapat mengancam
keseimbangan fisiologis. Stres emosi dapat menimbulkan perasaan negatif
terhadap diri sendiri dan orang lain. Stres intelektual akan mengganggu
persepsi dan kemampuan seseorang dalam menyelesaikan masalah, stres
sosial akan mengganggu hubungan individu terhadap kehidupan (Hans Selye,
1956 ; Davis, at all, 1989 ; Barbara Kozier, et all, 1989)
Potter dan Perry (2005) menyatakan persepsi atau pengalaman individu
terhadap perubahan besar menimbulkan stres. Stimuli yang mengawali
mencetuskan perubahan disebut stresor. Stresor menunjukkan suatu
kebutuhan yang tidak terpenuhi dan kebutuhan tersebut bisa saja kebutuhan
fisiologis, psikologis, sosial, lingkungan, perkembangan, spiritual, atau
kebutuhan kultural. Stresor secara umum dapat diklasifikasikan sebagai
internal atau eksternal. Stresor internal berasal dari dalam diri seseorang )
emosi seperti rasa bersalah). Stresor eksternal berasal dari luar diri seseorang
(mis.perubahan bermakna dalam suhu lingkungan, perubahan dalam peran
keluarga atau sosial, atau tekanan dari pasangan).
Lazarus dan Folkman (1984) stres adalah sebagai suatu hubungan yang
khas antar individu dan lingkungan yang dinilai oleh individu tersebut
sebagai suatu hal yang mengancam atau melampaui kemampuannya untuk
mengatasinya sehingga membahayakan kesejahteraannya. Maramis (1999)
mengatakan stres adalah segala masalah atau tuntutan penyesuaian diri, oleh
karena itu stres dapat mengganggu keseimbangan.
1.2 Jenis Stres
Nasir dan Muhith (2011) menyatakan bahwa stres terbagi dua jenis stres,
yaitu baik dan buruk. Stres melibatkan perubahan fisiologis yang
kemungkinan dapat dialami sebagai perasaan yang baik anxiousness (distres)
atau pleasure (eustres).
a. Stres yang baik atau eustres adalah sesuatu yang positif. Stres dikatakan
berdampak baik apabila seseorang mencoba untuk memenuhi tuntutan
untuk menjadikan orang lain maupun dirinya sendiri mendapatkan sesuatu
yang baik dan berharga. Stres yang baik terjadi jika setiap stimulus
mempunyai arti sebagai hal yang memberikan pelajaran bagi kita, betapa
suatu hal yang dirasakan seseorang memberikan arti sebuah pelajaran dan
bukan sebuah tekanan. Dengan demikian, dikatakan stres positif apabila
stimulus yang masuk merupakan suatu pelajaran yang berharga dan
mendorong seseorang untuk selalu berpikir dan berprilaku bagaimana agar
apa yang akan dilakukan selalu membawa manfaat dan bukan bencana.
Untuk menjadikan stres sebagai suatu yang positif, maka perlu ada sikap
bahwa masalah harus dicarikan penyelesaiannya (problem solving). Salah
satunya dengan mencari dukungan dari orang lain untuk membantu
menyelesaikan masalah, terutama bila masalah sulit diselesaikan. Apabila
tetap tidak bisa diselesaikan cukup dengan diambil hikmahnya.
b. Stres yang buruk atau distres adalah stres yang bersifat negatif. Distres
dihasilkan dari sebuah proses yang memaknai sesuatu yang buruk, dimana
respons yang digunakan selalu negatif dan ada indikasi mengganggu
integritas diri sehingga bisa diartikan sebagai sebuah ancaman. Distres
terjadi apabila suatu stimulus diartikan sebagai sesuatu yang merugikan
dirinya sendiri dalam hal kenikmatan saja dan biasanya terjadi pada saat
itu juga, dimana sebuah stimulus dianggap mencoba untuk menyerang
dirinya. Hal ini berdampak pada suatu penentuan sikap untuk mencoba
mengusir stimulus tersebut dengan cara menyalahkan diri sendiri,
menghindar dari masalah, atau menyalahkan orang lain. Hans Selye
(1982), menyebutkan bahwa distres adalah tubuh jika dihadapkan pada
tuntutan yang berlebihan, sedangkan menurut Dadang Hawari (2001),
distres dimaknai sebagai sebuah reaksi tubuh yang menyebabkan fungsi
1.3 Model Stres
Perawat menggunakan model stres untuk membantu klien mengatasi
respons yang tidak sehat atau non produktif. Dengan modifikasi, model ini
dapat membantu perawat berespons dalam merawat degan cara yang
menunjukkan individualisasi bagi klien.
1.3.1 Model Stres Berdasar respons
Model stres dari Selye (1976) adalah model berdasarkan respons yang
mendefinisikan stres sebagai respons non-spesifik dari tubuh terhadap
setiap tuntutan yang ditimpakan padanya. Stres ditunjukkan oleh reaksi
fisiologis spesifik, GAS. Sehingga respon seseorang terhadap stres
benar-benar fisiologis dan tidak pernah dimodifikasi untuk
memungkinkan pengaruh dari kognitif (McNett, 1989).
1.3.2 Model Adaptasi
Model adaptasi didasarkan pada pemahaman bahwa individu
mengalami ansietas dan peningkatan stres ketika mereka tidak siap
untuk menghadapi situasi yang menegangkan. Dengan menggunakan
model ini dan intervensi yang sesuai, perawat dapat membantu klien
dan keluarga untuk meningkatkan kesehatan dalam semua dimensi
1.3.3 Model Berdasar Stimulus
Model berdasarkan stimulus memfokuskan pada asumsi berikut : (a)
Peristiwa perubahan dalam kehidupan adalah normal, dan perubahan ini
membutuhkan tipe dan durasi penyesuaian yang sama. (b) Individu
adalah resipien pasif dari stres, dan persepsi mereka terhadap peristiwa
adalah tidak relevan. (c) Semua orang mempunyai ambang stimulus
yang sama, dan penyakit dapat terjadi pada setiap titik setelah ambang
tersebut (McNett, 1989). Seperti hal pada model berdasarkan respons,
model berdasarkan stimulus tidak memungkinkan untuk perbedaan
individu dalam persepsi dan respons terhadap stressor. Perawat
mungkin mengalami kesulitan ketika berupaya untuk menggunakan
model ini dalam penatalaksanaan stres karena kurangnya keleluasaan
untuk adaptasi individu (McNett, 1989).
1.3.4 Model Berdasar Transaksi
Model berdasarkan transaksi memandang individu dan lingkungan
dalam hubungan yang dinamis, resiprokal, dan interaktif (Lazarus &
Folkman, 1984). Model ini, yang dikembangkan oleh Lazarus &
Folkman, memandang stresor sebagai respons perseptual individu yang
berakar dari proses psikologis dan kognitif. Stres berasal dari hubungan
berkaitan dengan stres seperti penilaian kognitif dan koping (Monsen,
Floyd, dan Brookman, 1992).
1.4 Tingkat Stres
Menurut Rasmun (2004) stres dibagi menjadi tiga tingkatan, yaitu stres
ringan, stres sedang, dan stres berat. Stres ringan biasanya tidak merusak
aspek fisiologis, stres ringan umumnya dirasakan oleh setiap orang misalnya,
lupa, ketiduran, kemacetan, dan dikritik. Situasi seperti ini biasanya berakhir
dalam beberapa menit atau beberapa jam. Situasi seperti ini nampaknya tidak
akan menimbulkan penyakit kecuali jika dihadapi terus-menerus.
Stres sedang terjadi lebih lama beberapa jam sampai beberapa hari,
contohnya kesepakatan yang belum selesai, beban kerja yang berlebih,
mengharapkan pekerjaan baru, anggota keluarga pergi dalam waktu yang
lama, situasi seperti ini dapat bermakna bagi individu yang mempunyai faktor
predisposisi suatu penyakit koroner.
Stres berat adalah stres kronis yang terjadi beberapa minggu sampai
beberapa tahun, misalnya hubungan suami istri yang tidak harmonis,
kesulitan finansial dan penyakit fisik yang lama.
1.5 Tahapan Stres
Seseorang yang stres akan mengalami tahapan stres. Menurut Amberg
(1979), sebagaimana dikemukakan oleh Dadang Hawari (2001) bahwa
tahapan stres adalah sebagai berikut : (a) Stres tahap pertama (paling ringan),
mampu menyelesaikan pekerjaan tanpa memperhitungkan tenaga yang
dimiliki, dan penglihatan menjadi tajam. (b) Stres tahap kedua, yaitu stres
yang disertai keluhan, seperti bangun pagi tidak segar atau letih, cepat lelah
pada saat menjelang sore, mudah lelah sesudah makan, tidak dapat rileks,
lambung dan perut tidak nyaman, jantung berdebar, otot tengkuk dan
punggung tegang. Hal tersebut karena cadangan tenaga tidak memadat. (c)
Stres tahap ketiga, yaitu tahapan stres dengan keluhan seperti defekasi tidak
teratur, otot semakin tegang, emosional, insomnia, mudah terjaga dan susah
tertidur lagi, bangun terlalu pagi dan sulit tidur lagi, koordinasi tubuh
terganggu, dan akan jatuh pingsan. (d) Stres tahap keempat, yaitu tahapan
stres dengan keluhan, seperti tidak mampu bekerja sepanjang hari, aktivitas
pekerjaan terasa sulit dan menjenuhkan, respon tidak adekuat, kegiatan rutin
terganggu, gangguan pola tidur, sering menolak ajakan, konsenterasi dan
daya ingat menurun, serta timbul ketakutan dan kecemasan. (e) Stres tahap
kelima, yaitu tahapan stres yang ditandai dengan kelelahan fisik dan mental,
ketidakmampuan menyelesaikan pekerjaan yang sederhana dan ringan,
gangguan pencernaan berat, meningkatnya rasa takut dan cemas, bingung dan
panik. (f) Stres tahap keenam (paling berat), yaitu tahapan stres dengan
tanda-tanda, seperti jantung berdebar keras, sesak napas, badan gemetar, dingin dan
banyak keringat, lemah, serta pingsan.
Nasir dan Muhith (2011) menyatakan bahwa sumber-sumber stres sebagai
berikut :
1. Sumber stres dari individu
Terkadang sumber stres berasal dari individunya sendiri. Salah satu
yang dapat menimbulkan stres dari pribadi sendiri adalah melalui penyakit
yang diderita oleh seseorang. Menjadi sakit menempatkan demands pada
sistem biologis dan psikologis, tingkatan stres yang dihasilkan oleh
demands tersebut bergantung pada keseriusan penyakit dan usia orang
tersebut. Hal lain yang dapat menimbulkan stres dari individu sendiri adalah
melalui penilaian dari dorongan motivasi yang bertentangan, ketika terjadi
konflik dalam diri seseorang dan biasanya orang tersebut berada dalam
suatu kondisi di mana dia harus menentukan pilihan, dan pilihan tersebut
sama pentingnya.
2. Sumber stres dalam keluarga
Konflik interpersonal dapat timbul sebagai akibat dari masalah
keuangan dan tujuan yang bertolak belakang. Dari banyak stresor dalam
keluarga, ada tiga hal yang paling sering terjadi, yaitu sebagai berikut:
a. Bertambahnya anggota keluarga dnegan kelahiran anak dapat
menimbulkan stres yang berkaitan dengan masalah keuangan
kesehatan, dan ketakutan bahwa hubungan antara suami istri dapat
terganggu.
b. Perceraian dapat menghasilkan banyak perubahan yang penuh dengan stres
untuk semua anggota keluarga karena mereka harus menghadapi
perubahan dalam status sosial, pindah rumah, dan perubahan kondisi
keuangan.
c. Anggota keluarga yang sakit, cacat, dan mati, yang pada umumnya
memerlukan adaptasi, kemampuan untuk mengatasi perasaan sedih atau
duka yang mendalam dan kesabaran.
3. Sumber stres dalam komunitas dan lingkungan
Hal ini disebabkan karena tuntutan pekerjaan yang dapat menghasilkan
stres dalam dua cara, yaitu:
a. Beban pekerjaan yang terlalu tinggi, sebagai akibat dari keinginan untuk
mendapatkan pengahasilan yang lebih atau jabatan yang lebih tinggi.
b. Beberapa macam aktivitas dapat menyebabkan stres lebih daripada yang
lainnya, apabila pekerjaan yang dilakukan terus-menerus di bawah
kemampuannya.
2. Konsep Tidur
2.1 Definisi Tidur
Tidur didefinisikan sebagai suatu keadaan bawah sadar dimana
atau dengan rangsang lainnya (Guyton & Hall, 1997). Tidur merupakan dua
keadaan yang bertolak belakang dimana tubuh beristirahat secara tenang dan
aktivitas metabolisme juga menurun namun pada saat itu juga otak sedang
bekerja lebih keras selama periode bermimpi dibandingkan dengan ketika
beraktivitas di siang hari (Chopra , 2003).
Tidur merupakan suatu keadaan tidak sadar di mana persepsi dan reaksi
individu terhadap lingkungan menurun atau menghilang, dan dapat
dibangunkan kembali dengan indra atau rangsangan yang cukup (Asmadi,
2008).
Tidur adalah perilaku penarikan diri secara terus menerus dari dan tidak
berespons terhadap lingkungannya yang bersifat reversibel (Carskadon &
Dement, 1994). Tidur sangat penting bagi pemeliharaan kesehatan dan proses
penyembuhan penyakit, karena tidur bermanfaat untuk menyimpan energi,
meningkatkan imunitas tubuh dan mempercepat proses penyembuhan
penyakit juga pada saat tidur tubuh mereparasi bagian- bagian tubuh yang
sudah aus. Umumnya orang akan merasa segar dan sehat sesudah istirahat.
Jadi istirahat dan tidur yang cukup sangat penting untuk kesehatan (Suyono,
2008).
2.2 Fisiologi Tidur
Tidur didefinisikan sebagai suatu keadaan bawah sadar saat orang
tersebut dapat dibangunkan dengan pemberian rangsang sensorik atau dengan
minimal, tingkatan kesadaran yang bervariasi, perubahan-perubahan proses
fisiologi tubuh dan penurunan respon terhadap rangsangan dari luar (Priharjo,
1993). Tidur merupakan sesuatu yang paling penting bagi manusia, sama
halnya seperti kesehatan yang baik secara umum (Chopra, 2003). Tiap
individu membutuhkan jumlah yang berbeda untuk tidur. Tanpa jumlah tidur
yang cukup, kemampuan untuk berkonsentrasi, membuat keputusan, dan
berpartisipasi dalam aktivitas harian akan menurun, dan meningkatkan
iritabilitas (Potter & Perry, 2005).
Sebagian besar, organisme hidup menunjukkan adanya fluktuasi fungsi
tubuh yang berirama sepanjang kurang lebih 24 jam, yaitu berirama sirkadian.
Umumnya, organisme-organisme tersebut menjadi terlatih seirama dengan
siklus cahaya siang-malam yang terjadi di lingkungannya (Ganong, 2002).
Irama sirkadian mempengaruhi pola fungsi biologis utama dan fungsi
perilaku. Fluktuasi dan prakiraan suhu tubuh, denyut jantung, tekanan darah,
sekresi hormone, kemampuan sensorik, dan suasana hati tergantung pada
pemeliharaan siklus sirkadian 24 jam (Potter & Perry, 2005). Zona tidur otak
depan basal meliputi bagian-bagian dari hipotalamus. Dari hipotalamus, jalur
endokrin dan saraf yang menuju ke berbagai bagian tubuh, mengatur irama
ini, termasuk pelepasan melatonin di malam hari, yang berfungsi sebagai
sinyal waktu sistemik (Ganong, 2002).
Irama biologis tidur seringkali menjadi sinkron dengan fungsi tubuh yang
lain. Jika siklus tidur-bangun menjadi terganggu (misalnya perputaran dinas
mempertahankan siklus tidur-bangun individual yang biasanya dapat secara
berlawanan mempengaruhi kesehatan keseluruhan seseorang (Potter & Perry,
2005).
Tidur melibatkan suatu urutan keadaan fisiologis yang dipertahankan
oleh integrasi tinggi aktivitas system saraf pusat yang berhubungan dengan
perubahan dalam system saraf peripheral, endokrin, kardiovaskuler,
pernapasan dan muscular (Robinson, 1993). Tiap rangkaian diidentifikasi
dengan respon fisik tertentu dan pola aktivitas otak. Peralatan seperti
elektroensefalogram (EEG), yang mengukur aktivitas listrik dalam korteks
serebral, elektromiogram (EMG), yang mengukur tonus otot dan
elektrookulogram (EOG) yang mengukur gerakan mata, memberikan
informasi struktur aspek fisiologis tidur (Potter & Perry, 2005).
Kontrol dan pengaturan tidur tergantung pada hubungan antara dua
mekanisme serebral yang mengaktivasi secara intermitten dan menekan pusat
otak tertinggi untuk mengontrol tidur dan terjaga. Sebuah mekanisme
menyebabkan terjaga dan yang lain menyebabkan tertidur (Potter & Perry,
2005).
Siklus tidur-bangun mempengaruhi dan mengatur fungsi fisiologis dan
respons prilaku. Jika siklus tidur-bangun seseorang terganggu, maka fungsi
fisiologis tubuh yang lain juga dapat terganggu atau berubah. Kegagalan
untuk mempertahankan siklus tidur-bangun individual yang normal dapat
Tidur dapat dihasilkan dari pengeluaran serotonin dari sel tertentu dalam
sistem tidur Raphe pada pons dan otak depan bagian tengah. Zat agonis
serotonin berguna untuk menekan tidur dan antagonis serotonin
meningkatkan tidur gelombang-lambat pada manusia. Seseorang tetap tertidur
atau terbangun tergantung pada keseimbangan impuls yang diterima dari
pusat yang lebih tinggi, reseptor sensori perifer dan sistem limbik. Ketika
seseorang mencoba untuk tidur mereka akan menutup mata dan berada pada
posisi relaks. Jika stimulus ke SAR menurun maka aktivasi SAR juga akan
menurun. Pada beberapa bagian lain, BSR mengambil alih dan menyebabkan
seseorang tidur (Ganong, 2002).
Jumlah tidur total tidak berubah sesuai pertambahan usia. Akan tetapi,
kualitas tidur kelihatan menjadi berubah pada kebanyakan lansia (Bliwise,
1993 Dikutip dari Potter & Perry, 2005). Keluhan tentang kesulitan tidur
waktu malam seringkali terjadi di antara lansia, sering kali akibat keberadaan
penyakit kronik yang lain (Evans dab Rogers, 1994 Dikutip dari Potter &
Perry, 2005).
2.3 Pengaturan tidur
Tidur melibatkan suatu urutan keadaan fisiologis yang dipertahankan
oleh integrasi tinggi aktivitas sistem saraf pusat yang berhubungan dengan
perubahan dalam sistem saraf periferal, endokrin, kardiovaskuler, pernafasan,
muskular (robinson, 1993). Tiap rangkaian diidentifikasi oleh dengan respon
(EEG), yang mengukur aktivitas listrik dalam korteks serebral,
elektromiogram (EMG) yang mengukur tonus otot dan elektrookulogram
(EOG) yang mengukur gerakan mara, memberikan informasi struktur aspek
fisiologis tidur.
Kontrol dan pengaturan tidur tergantung pada hubungan antara dua
mekanisme serebral yang mengaktivasi secara intermiten dan menekan pusat
otak tertinggi untuk mengontrol tidur dan terjaga. Sebuah mekanisme
menyebabkan terjaga, dan yang lain menyebabkan tertidur.
Sistem aktivasi retikular (SAR) berlokasi pada batang otak teratas. SAR
dipercayai terdiri dari sel khusus yang mempertahankan kewaspadaan dan
terjaga, SAR menerima stimulus sensori visual, auditori, nyeri, dan taktil.
Aktivitas korteks serebral (mis. proses emosi atau pikiran) juga menstimulasi
SAR. Saat terbangun merupakan hasil dari neuron dalam SAR yang
mengeluarkan katekolamin seperti norepinefrin (Sleep Research Society,
1993).
Tidur dapat dihasilkan dari pengeluaran serotonin dari sel tertentu dalam
sistem tidur raphe pada pons dan otak depan bagian tengah. Daerah otak juga
disebut daerah sinkronisasi bulbar (bulbar synchronizing region, BSR).
Ketika orang mencoba tertidur, mereka akan menutup mata dan berada
dalam posisi relaks, stimulus ke SAR menurun. Jika ruangan gelap dan
tenang, maka aktivasi SAR selanjutnya menurun. Pada beberapa bagian, BSR
2.4 Tahapan Siklus Tidur
Tidur yang normal melibatkan dua fase : tahapan non REM (rapid eye
movement) NREM dan tahapan REM (Potter & Perry, 2005).
2.4.1 Tahap tidur Non-Rapid Eye Movement
Tidur NREM adalah tidur yang lambat dengan mata tertutup, ada
pergerakan tubuh dan bernapas dengn tenang dan teratur (Brugne, 1994).
Selama tidur NREM, seseorang yang tidur mengalami kemajuan melalui
empat tahapan selama siklus tidur yang tipikal 90 menit.
Tahap pada tidur NREM terdapat empat, yaitu :
a. Tahap tidur pertama NREM memiliki karakteristik, yaitu tahap transisi
diantara mengantuk dan tertidur yang ditandai dengan pengurangan
aktivitas fisiologis yang dimulai dengan menutupnya mata, pergerakan
lambat, otot berelaksasi serta penurunan secara bertahap tanda-tanda
vital dan metabolisme, menurunnya denyut nadi, dan mudah terbangun.
Tahap ini berakhir selama 5-10 menit
b. Tahap tidur kedua NREM memiliki karakteristik, yaitu tahap tidur
ringan, denyut jantung mulai melambat, menurunnya suhu tubuh, dan
berhentinya pergerakan mata. Tahap kedua NREM ini masih relatif
mudah untuk terbangun dan akan berakhir 10 hingga 20 menit
c. Tahap 3 NREM memiliki karkateristik, yaitu tahap awal dari tidur yang
dalam, laju pernapasan dan denyut jantung terus melambat karena
sistem saraf parasimpatik semakin mendominasi, otot skeletal semakin
terjadi. Pada tahap ini, seseorang yang tidur sulit dibangunkan, tidak
dapat diganggu oleh stimuli sensori. Tahap ini berakhir 15 hingga 30
menit
d. Tahap 4 NREM memiliki karakteristik, yaitu tahap tidur terdalam, tidak
ada pergerakan mata dan aktivitas otot. Tahap ini juga ditandai dengan
tanda-tanda vital menurun secara bermakna dibanding selama terjaga,
laju pernapasan dan denyut jantung menurun sampai 20-30%.
Seseorang yang terbangun pada saat tahap ini tidak secara langsung
menyesuaikan diri, sering merasa pusing dan disorientasi untuk
beberapa menit setelah bangun dari tidur
2.4.2 Tahap tidur Rapid Eye Movement
Tidur REM adalah sasaran dari jejak EEG yang cepat. Pada fase ini
biasanya mimpi terjadi selama tidur REM (Brugne, 1996). Tidur REM ini
merupakan fase pada akhir tiap siklus tidur 90 menit (Karni dkk, 1994). Dan
pemulihan psikologis terjadi pada waktu ini, faktor yang berbeda dapat
meningkatkan atau mengganggu tahapan siklus tidur yang berbeda (Potter &
Perry, 2005). Tahap tidur REM ditandai dengan pergerakan mata bergerak
secara cepat ke berbagai arah, pernapasan cepat, tidak teratur, dan dangkal,
otot tungkai mulai lumpuh sementara, meningkatnya denyut jantung dan
tekanan darah. Pada pria terjadi ereksi penis sedangkan pada wanita terjadi
sekresi vagina. Durasi dari tahap tidur REM meningkat pada tiap siklus dan
2.5 Faktor-faktor yang mempengaruhi tidur
Potter dan Perry (2005) sejumlah faktor mempengaruhi kuantitas dan
kualitas tidur. Seringkali faktor tunggal tidak hanya menjadi penyebab
masalah tidur. Faktor fisiologis, psikologis, dan lingkungan dapat mengubah
kualitas dan kuantitas tidur. Faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas tidur
antara lain:
a. Penyakit Fisik
Setiap penyakit yang menyebabkan nyeri, ketidaknyamanan fisik (mis.
Kesulitan bernapas), atau masalah suasana hati, seperti kecemasan atau
depresi, dapat menyebabkan masalah tidur. Seseorang dengan perubahan
seperti itu mempunyai masalah kesulitan tertidur atau tetap tertidur.
Penyakit juga dapat memaksa klien untuk tidur dalam posisi yang tidak
biasa. Sebagai contoh, memperoleh posisi yang aneh saat tangan atau
lengan diimobilisasi pada traksi dapat mengganggu tidur.
b. Obat-obatan dan Substansi
Orang dewasa muda dan dewasa tengah dapat tergantung pada obat tidur
untuk mengatasi stresor gaya hidupnya. Lansia seringkali menggunakan
variasi obat untuk mengontrol atau mengatasi penyakit kroniknya, dan
L-triptopan, suatu protein alami ditemukan dalam makanan seperti susu,
keju, dan daging, dapat membantu orang tidur.
c. Gaya Hidup
Rutinitas harian seseorang mempengaruhi pola tidur. Kesulitas
mempertahankan kesadaran selama waktu kerja menyebabkan penurunan
dan bahkan penampilan yang berbahaya. Setelah beberapa minggu kerja
pada dinas malam hari, jam biologis seseorang biasanya dapat
menyesuaikan. Perubahan lain dalam rutinitas yang mengganggu pola
tidur meliputi kerja berat yang tidak biasanya, terlibat dalam aktivitas
sosial pada larut-malam, dan perubahan waktu makan malam.
d. Stres Emosional
Kecemasan tentang masalah pribadi atau situasi dapat mengganggu tidur.
Stres emosional menyebabkan seseorang menjadi tegang dan seringkali
mengarah frustasi apabila tidak tidur. Stres juga menyebabkan seseorang
mencoba terlalu keras untuk tertidur, sering terbangun selama siklus tidur,
atau terlalu banyak tidur. Stres yang berlanjut dapat menyebabkan
kebiasaan tidur yang buruk.
Seringkali klien lansia mengalami kehilangan yang mengarah pada stres
emosional. Pensiun, gangguan fisik, kematian orang yang dicintai, dan
kehilangan keamanan ekonomi merupakan contoh situasi yang
individu lain yang mengalami masalah perasaan depresi, sering juga
mengalami perlambatan untuk jatuh tertidur, munculnya tidur REM secara
dini, seringkali terjaga, peningkatan total waktu tidur, perasaan tidur yang
kurang, dan terbangun cepat (Bliwise, 1993).
e. Lingkungan
Lingkungan fisik tempat seseornag tidur berpengaruh penting pada
kemampuan untuk tertidur dan tetap tertidur. Ventilasi yang baik adalah
esensial untuk tidur yang tenang. Suara juga mempengaruhi tidur. Tingkat
suara yang diperlukan untuk membangunkan orang tergantung pada tahap
tidur (Webster dan Thompson, 1986). Suara yang rendah lebih sering
membangunkan seorang dari tidur tahap 1, sementara suara yang keras
membangunkan orang pada tahap tidur 3 atau 4. Tingkat cahaya dapat
mempengaruhi kemampuan untuk tidur. Beberapa klien menyukai ruangan
yang gelap, sementara yang lain seperti anak-anak atau lansia menyukai
cahaya remang yang tetap menyala selama tidur. Klien juga mungkin
bermasalah tidur karena suhu ruangan. Ruangan yang terlalu hangat atau
terlalu dingin akan membuat klien gelisah.
3. Kualitas Tidur
3.1 Definisi Kualitas Tidur
Kualitas tidur adalah kepuasan seseorang terhadap tidur, sehingga
dan gelisah, lesu dan apatis, kehitaman di sekitar mata, kelopak mata
bengkak, konjungtiva merah, mata perih, perhatian terpecah-pecah, sakit
kepala dan sering menguap atau mengantuk (Hidayat, 2006). Kualitas tidur
juga didefinisikan sebagai suatu fenomena kompleks yang melibatkan
beberapa dimensi (American Psychiatric Association, 2000)
Kualitas tidur meliputi aspek kuantitatif dan kualitatif tidur, seperti
lamanya tidur, waktu yang diperlukan untuk bisa tertidur, frekuensi
terbangun dan aspek subjektif seperti kedalaman dan kepulasan tidur
(Daniel et al, 1998; Buysse, 1998). Kualitas tidur adalah kemampuan
individu untuk tetap tertidur dan untuk mendapatkan jumlah tidur REM
dan NREM yang tepat (Kozier, Erb, Berman, & Synder, 2004). Namun, di
sisi lain, Lai (2001) dalam Wavy (2008) menyebutkan bahwa kualitas tidur
ditentukan oleh bagaimana seseorang mempersiapkan pola tidurnya pada
malam hari seperti kedalaman tidur, kemampuan tinggal tidur, dan
kemudahan untuk tertidur tanpa bantuan medis. Kualitas tidur yang baik
akan ditandai dengan tidur yang tenang, merasa segar pada pagi hari dan
merasa sangat semangat untuk melakukan aktivitas (Craven & Hirnle,
2000)
Kualitas tidur seseorang dapat dianalisa melalui pemeriksaan
laboratorium yaitu EEG yang merupakan rekaaman arus listrik dari otak.
Perekaman listrik dari permukaan otak atau permukaan luar kepala dapat
menunjukkan adanya aktivitas listrik yang terus menerus timbul dalam
kedaan tidur, keadaan siaga atau karena penyakit lain yang diderita. Tipe
gelombang EEG diklasifikasikan sebagai gelombang alfa, betha, dan delta
(Guyton & Hall, 1997).
3.2 Pengkajian kualitas tidur
Kualitas tidur adalah perasaan segar dan siap menghadapi hidup baru
setelah bangun tidur. Kualitas tidur menyangkut pengkajian subjektif yaitu
seberapa menyegarkan dan tenangnya tidur mereka dan pengkajian objektif
yang dapat diketahui dari rekaman poligrafi, gerakan pergelangan tangan,
gerakan kepala dan mata (Mac Arthur, 1997; Nisrina, 2008).
3.2.1 Data subjektif
Data subjektif tidur yang baik atau buruk dapat dievaluasi dengan
persepsi para penderita penyakit tentang parameter tidur diantaranya
adalah berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk tertidur, frekuensi
terbangun pada malam hari, total waktu tidur di malam hari dan
kepulasan tidur (Kales & Kales, 1984; Lee, 1997; Suryani, 2004).
Hanya para penderita penyakit saja yang dapat melaporkan apakah
mereka mendapatkan tidur yang baik atau buruk. Jika para penderita
penyakit puas dengan kualitas dan kuantitas tidurnya maka mereka
mempunyai tidur yang baik (Potter & Perry, 2005).
Data objektif bisa didapatkan melalui pengkajian fisik penderita
penyakit yaitu dengan mengobservasi lingkaran mata, adanya respon
yang lamban, ketidakmampuan/kelemahan, penurunan konsentrasi.
Selain itu, data objektif kualitas tidur penderita penyakit juga bisa
dianalisa melalui pemeriksaan laboratorium yaitu EEG, EMG, dan
EOG sinyal listrik menunjukkan perbedaan ingkat aktivitas yang
berbeda dari otak, otot, dan mata yang berhubungan dengan tahap
tidur yang berbeda (Sleep Research Society, 1993; dikutip dari (Potter
& Perry, 2005).
3.2.3 Hubungan antara data subjektif dan data objektif
Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan
kuat antara kualitas tidur berdasarkan data subjektif dan data objektif.
Dari data objektif yang diperoleh maka dapat diketahui bagaimana
kualitas tidur seseorang. Menurut beberapa penelitian, semakin
banyak gelombang kecil perdetiknya pada EEG maka semakin lelap
dan tenang tidur seseorang (Selamihardja, 2002). Beberapa penelitian
melaporkan adanya hubungan yang signifikan anatara data subjektif
dan data objektif berupa evaluasi polisomnografi seperti EEG, EOG
dan EMG (Lewis,1969; Johns, 1975; John & Dore, 1978; Webster &