BAB II
LOKASI PENELITIAN
2.1. Lokasi dan Letak Desa
Lokasi penelitian ini terletak di Desa Parbubu II, Kecamatan Tarutung,
Kabupaten Tapanuli Utara, Provinsi Sumatera Utara. Untuk mencapai Desa
Parbubu II ini dibutuhkan waktu ± 7 jam pejalanan dari ibukota Provinsi Sumatera
Utara yakni Kota Medan. Desa Parbubu II ini bejarak ½ jam dari Kota Tarutung.
Kota Tarutung adalah kot
luas wilayah terkecil di Kabupaten Tapanuli Utara tetapi memiliki kepadatan
tertinggi di Kabupaen Tapanuli Utara. Untuk mecapai Desa Parbubu II ini dapat
ditempuh melalui jalur darat.
Wilayah Desa Parbubu II ini dibagi dalam 11 lingkungan dan 4 dusun.
Adapun batas-batas wilayah Desa Parbubu II adalah :
• Sebelah Timur : berbatasan dengan Desa Parbubu Pea
• Sebelah Barat : berbatasan dengan Parbubu Dolok • Sebelah Utara : berbatasan dengan Desa Parbubu I
Gambar 1
Peta Kecamatan Tarutung
Sumber Gambar : Tarutung Dalam Angka 2011.
2.2. Sejarah Desa
Lokasi penelitian yang berada di Desa Parbubu II yang memiliki asal-usul
daerah yang menurut cerita warga masyarakat terbentuk kira-kira 300 tahun yang
lalu. Berdasarkan cerita natua-tua atau orang-orang tua di desa ini, ada salah
seorang yang dianggap sebagai orang yang pertama kali menempati desa ini.
Orang yang pertama kali tinggal di desa ini bermarga Tobing, dan selama tinggal
keturunannya di Tarutung. Salah satu keturunannya bahkan sampai sekarang
masih bermukim di salah satu dusun di Desa Parbubu II.
Menurut cerita warga masyarakat, Desa Parbubu II pada awal sebelum
ditempati oleh warga masyarakat merupakan hutan belukar di lereng Gunung
Martimbang. Secara berangsur-angsur maka hutan belukar itu berubah menjadi
sebuah desa yang bernama Parbubu II. Sampai sekarang Desa Parbubu II ini
masih dikelilingi oleh hutan-hutan yang berasal dari Gunung Martimbang
walaupun jumlahnya tidak lagi banyak.
Suku Bangsa yang paling banyak tinggal di desa ini adalah suku Batak
Toba, mengingat akan sejarah desa ini yang dibuka oleh seorang yang berasal dari
suku Batak Toba maka keturunannya lah yang mendominasi jumlah penduduk
yang bermukim di desa ini. Penduduk Desa Parbubu II ini masih terikat dengan
adat istiadat dan tradisi Batak Toba yang kental. Hal tersebut dapat dilihat dari
upacara perkawinan, kematian dan upacara adat lainnya yang masih dilaksanakan
oleh masyarakat setempat dengan tata cara adat yang masih berlaku.
Norma-norma dan kebiasaan yang berlaku di daerah ini juga disesuiakan dengan
aturan-aturan dalam suku Batak Toba, jadi aturan-aturan yang mengatur kehidupan masyarakat
disini masih didominasi oleh aturan adat, walaupun secara administratf ada
2.3. Kondisi Geografis
Luas wilayah Desa Parbubu II keseluruhan adalah 450 Ha. Desa Parbubu
II memilki tanah yang subur, di sekitarnya banyak dijumpai sawah dan ladang
kopi milik penduduk. Desa Parbubu II ini tergolong tempat dengan dataran yang
tinggi karena wilayah ini merupakan kawasan lereng gunung.
Tab el 1
Komposisi Jenis Pemanfaatan Lingkungan Oleh Penduduk Desa Parbubu II
No Jenis Pemanfaatan Lingkungan Jumlah
1 Sawah 37
2 Kebun/ Ladang 45
3 Tambak/ Kolam 23
4 Rawa 7
Sumber: Data Monografi Desa Parbubu II Tahun 2006/2007
Dari jenis pemanfaatan lingkungan di Desa Parbubu II, mayoritas dari
warga bekerja sebagai petani, baik itu bertani ladang maupun sawah. Dalam sisi
yang lain terdapat satu bagian dari masyarakat yang ada di Desa Parbubu II ini
yakni para perempuan yang telah menjadi orang tua tunggal (janda) yang sebagian
besar dari mereka memanfaatkan sawah dan ladang sebagai tempat mencari
penghasilan. Sepeninggal suami mereka, biasanya para janda ini meneruskan
Mereka melakukan hal tersebut tanpa kendala karena sewaktu suami mereka
masih hidup pun mereka sudah terbiasa membantu suami mereka di sawah atau
ladang jadi bukan hal yang baru lagi bagi mereka untuk mengolah sawah dan
ladang.
Pemanfaatan lingkungan melalui sawah dan ladang ini dikerjakan sendiri
oleh para warga masyarakat, mulai dari mencangkul, mengairi sawah, menanam
bibit, memotong rumput dan sampai saat memanen. Mereka berusaha mandiri
dengan mengolah sawah atau ladang yang dapat menghasilkan uang untuk
mereka. Sementara itu ketika sampai di rumah sebagian dari kaum wanita akan
melakukan aktifitas menenun ulos yang mana hasilnya akan dipakai sendiri pada
pesta adat ataupun di jual kepada orang yang berminat.
2.4. Pola Pemukiman Masyarakat
Wilayah pemukiman penduduk Parbubu II ini luasnya 17 Ha. Di Desa
Parbubu II pola pemukiman penduduk tidak terpusat pada satu wilayah. Dalam
satu wilayah jarak rumah satu dengan rumah lain tidak begitu berjauhan, antara
Tab el 2
Komposisi Jenis Rumah Penduduk di Desa Parbubu II adalah :
No. Jenis Rumah Jumlah
1. Menurut Sifat dan Bahannya a. Rumah Panggung / Kayu b. Rumah Semi Permanen
d. Rumah Yang Memiliki WC e. Rumah Yang Tidak Memiliki
WC
Keadaan penduduk merupakan apa-apa saja yang terdapat di masyarakat
tersebut yang berhubungan dengan kehidupan dan aktivitasnya sehari-hari di
daerah itu. Dapat diketahui kondisi suatu daerah apabila kita telah mengetahui
keadaan penduduknya, dengan itu dapat diperoleh data atau hasil yang diinginkan
2.5.1.Bahasa
Keberadaan bahasa dalam kehidupan manusia mempunyai peranan yang
sangat penting, bahasa menjadi kunci penentu proses perubahan. Dengan bahasa
kita dapat menyampaikan maksud dan tujuan kita kepada orang lain, bahasa juga
merupakan perantara penyampai ilmu pengetahuan yang kita miliki kepada orang
lain. Bahasa yang biasa digunakan penduduk Desa Parbubu II ini adalah bahasa
Batak Toba, mengingat hampir seluruh penduduknya adalah suku Batak Toba.
Penggunaan bahasa lain seperti bahasa Indonesia hanya digunakan pada
saat dan ditempat-tempat tertentu saja seperti di sekolah maupun tempat
bimbingan belajar. Umumnya masyarakat hanya memakai bahasa Indonesia
ketika ada orang asing yang datang. Orang asing yang dimaksud adalah suku lain
selain Batak Toba yang tidak mengerti bahasa Batak Toba.
2.5.2. Jumlah penduduk, usia dan jenis kelamin
Bedasarkan data monografi Desa Parbubu II Tahun 2006-2007, jumlah
penduduk di desa Parbubu II sebanyak 737 jiwa yang terdiri dari 278 orang
laki-laki dan 459 orang perempuan.Di desa ini terdapat 174 kepala keluarga. Jumlah
janda di Desa Parbubu II tercatat 19 orang sampai tahun 2007. Di desa ini lebih
banyak jumlah perempuan dibandingkan laki-laki.
Laki-laki di desa ini sebagian besar jika sudah beranjak dewasa akan
merantau ke kota lain untuk tujuan bekerja atau bersekolah, sedangkan perempuan
perempuan jarang diijinkan merantau karena perempuan biasanya diharapkan
mengurus urusan rumah oleh orang tuanya sedangkan laki-laki yang pergi bekerja
mencari nafkah. Jadi keinginan merantau lebih diprioritaskan untuk laki-laki.
Tab el 3
Komposisi Jumlah Penduduk Menurut Golongan Usia Di Desa Parbubu II
No Golongan Usia Jumlah Penduduk
1. 0-5 Tahun 61 Orang
2. 6-12 tahun 83 orang
3. 13-18 tahun 90 orang
4. 19-25 tahun 76 orang
5. 26-35 tahun 89 orang
6. 36-45 tahun 82 orang
7. 46-55 tahun 70 orang
8. 56-65 tahun 86 orang
9. 66-75 Tahun 56 orang
10. 76 tahun ke atas 54 orang
Tab el 4
Komposisi Penduduk Usia Produktif (18 s/d 55 Tahun) Di Desa Parbubu II
No. Jenis Kelamin Jumlah
1. Laki-laki 150
2. Perempuan 157
Sumber : Data Monografi Desa Parbubu II Tahun 2006/2007
2.5.3. Pendidikan
Di Desa Parbubu II walaupun rata-rata masyarakatnya sudah mengecap
pendidikan minimal SD, tetapi pendidikan di Desa ini lebih diutamakan untuk
anak laki-laki karena dianggap anak laki-laki lah yang kelak menjadi pemimpin
dan mencari nafkah keluarga sehingga memerlukan pendidikan yang bagus
sebagai modal baginya.
Pendidikan bagi masyarakat di desa ini ternyata merupakan hal yang
paling penting. Para janda-janda di desa ini walaupun berada dalam di tengah
ekonomi yang sulit dan tanpa bantuan dari suaminya ternyata untuk urusan
pendidikan anak-anaknya para perempuan ini akan berusaha dengan sekuat tenaga
Pemberian pendidikan sejak dulu lebih diutamakan pada anak laki-laki,
anak laki-laki diberikan ijin untuk bersekolah bahkan bila diperlukan mereka
dapat merantau untuk mencari ilmu. Hal ini mungkin salah satu penyebab para
perempuan janda di desa ini memliki keahlian terbatas, hanya pada keahlian
bersawah dan bertenun saja. Latarbelakang pendidikan yang hanya rata-rata SD
membatasi ruang gerak perempuan untuk bekerja di sektor lain, ini juga
pembatasan kemandirian perempuan akibat budaya yang telah terbangun sejak
dahulu di masyarakat Batak Toba.
Tab el 5
Komposisi Penduduk Menurut Tingkat Pendidikannya Di Desa Parbubu II
2.5.4. Mata Pencaharian
Penduduk Desa Parbubu II sebagian besar bekerja sebagai petani dan
selebihnya bekerja sebagai peternak, pegawai negeri sipil, karyawan swasta,
pedagang, supir, pekerja bangunan, dan lain sebagainya. Dari semua jenis
pekerjaan yang ada di desa ini, para perempuan janda yang ada di desa ini
sebagian besar bekerja sebagai petani. Pekerjaan ini sebenarnya merupakan
pekerjaan berat dan biasanya dilakukan oleh para laki-laki tetapi perempuan di
desa ini dapat mengerjakan sawah seorang diri. Hal ini membuktikan bahwa
perempuan yang selama ini dipandang sebagai mahluk yang lemah dibandingkan
laki ternyata dapat mengerjakan pekerjaan yang biasa dikerjakan oleh
laki-laki. Dalam hal pekerjaan lain yang disediakan di desa ini, para perempuan ini
sulit mendapatkan akses untuk memilih pekerjaan lain dikarenakan adanya
keterbatasan pendidikan, keahlian serta modal yang dimiliki oleh para perempuan
ini.
Melalui mata pencaharian ini membuktikan bahwa perempuan yang
menjadi janda dapat mandiri dengan menggantikan fungsi suaminya sebagai
pencari nafkah, ini juga membuktikan bahwa perempuan dapat berperan ganda
Tab el 6
Komposisi Jumlah Penduduk Desa Parbubu Ii Menurut Profesinya
No. Profesi Jumlah
1. Petani 82 Orang
2. Peternak 3 Orang
3. Pegawai Negeri Sipil 19 Orang
4. Karyawan Swasta 39 Orang
5. Pedagang 35 Orang
6. Sopir/Kenek 8 Orang
7. Pekerja Bangunan 18 Orang
8. Lain-lain 39 Orang
Sumber : Data Monografi Desa Parbubu II Tahun 2006/2007
2.5.5.Agama
Masyarakat Desa Parbubu II sebagian besar menganut agama Kristen
Protestan. Agama yang dianut masyarakat di desa ini secara langsung
mempengaruhi kehidupan mereka, seperti yang ditemukan dalam kehidupan
ditemukan janda yang bercerai karena suaminya telah meninggal. Tidak ada
ditemukan janda yang cerai hidup atau janda yang memiliki anak tanpa suami.
Hal ini disebabkan karena agama yang dianut oleh masyarakat di desa ini tidak
memperbolehkan adanya perceraian.
Perempuan yang telah menjadi janda di desa ini, memiliki perkumpulan
ibadah yang dilaksanakan satu kali dalam seminggu. Di dalam perkumpulan ini
selain melakukan doa bersama juga mereka dapat saling bercerita tentang
kesusahan yang mereka alami di dalam kehidupan mereka. Karena setelah
ditinggal oleh suami mereka, secara otomatis beban mereka akan bertambah
banyak. Dalam perkumpulan ini mereka dapat memperoleh hiburan dari
masalah-masalah mereka sehari-hari.
Tab el 7
Komposisi Penduduk Menurut Agama Di Desa Parbubu II
No. Islam Jumlah Penduduk
1. Islam 1 Orang
2. Protestan 737 Orang
3. Katolik -
4. Hindu -
6. Aliran Kepercayaan 4 Orang
Sumber : Data Monografi Desa Parbubu II Tahun 2006/2007
2.6. Sarana dan Prasarana
Sarana dan Prasarana yang tersedia di suatu desa akan sangat membantu
perkembangan masyarakat di desa itu. Adanya sarana dan prasarana yang
memadai dari pemerintah masyarakat akan lebih mudah memenuhi kebutuhan
hidupnya.
2.6.1. Sarana Ibadah
Penduduk di Desa Parbubu II mayoritas bergama Kristen karena itulah di
desa ini hanya terdapat sarana ibadah Gereja untuk tempat ibadah umat Kristen
disini. Gereja di desa ini dimanfaatkan para janda di desa ini sebagai tempat
Tab el 8
Komposisi Sarana Agama Di Desa Parbubu II
No. Sarana Keagamaan Jumlah
1. Mesjid -
2. Surau / Mushola -
3. Gereja 1
4. Kuil / Pura -
Sumber : Data Monografi Desa Parbubu II Tahun 2006/2007
2.6.2. Sarana Kesehatan
Sarana kesehatan di desa Parbubu II tidak begitu banyak jumlahnya, hanya
terdiri dari Puskesmas, Poliklinik da Posyandu. Para Janda yang ada di Desa
Parbubu II sesekali menggunakan sarana kesehatan di desa ini seperti Posyandu.
Mereka membawa anak mereka yang masih balita untuk diimunisasi, sedangkan
sarana kesehatan lainnya seperti Puskesmas dan Poliklinik digunakan bila sangat
membutuhkan saja, artinya bila sakit ringan mereka memilih meminum obat saja
dibandingkan harus langsung ke Poliklinik atau Puskesmas. Waktu dulu mereka
melahirkan, mereka jarang melahirkan di Puskesmas, biasanya bidan desa yang
Tab el 9
Komposisi Sarana Kesehatan Di Desa Parbubu II
No. Sarana Kesehatan Jumlah
1. Rumah Sakit -
2. Puskesmas / Pustu 1
3. Poliklinik 1
4. Pos Yandu 1
5. Prakter Dokter -
6. Apotik -
7. Toko Obat -
Tabel 10
Komposisi Pelayan Kesehatan Di Desa Parbubu II
No. Petugas Pelayan Kesehatan Jumlah
1. Dokter 1
2. Perawat 2
3. Bidan 2
Sumber : Data Monografi Desa Parbubu II Tahun 2006/2007
2.6.3. Sarana Perekonomian Desa
Sarana perekonomian di Desa Parbubu II membatu masyarakat memenuhi
kebutuhannya, seperti warung-warung yang ada di desa ini menjual keperluan
dapur serta bahan makanan sehingga masyarakat tidak perlu pergi ke kota untuk
sekedar membeli keperluan-keperluan kecil.
Adanya warung-warung di desa ini juga menunjukkan bahwa masyarakat
di desa sudah sedikit memahami mengenai tentang kebutuhan ekonomi yang
dibutuhkan masyarakat di desa ini. Selain bermanfaat bagi masyarakat, adanya
warung-warung ini juga sedikit membatu usaha para janda yang ada di desa ini.
Adanya warung-warung di desa ini akan semakin memudahkan para janda ini
untuk menjual hasil sawah mereka yaitu beras. Hal ini akan lebih menghemat
Tab el 11
Komposisi Sarana Perekonomian Desa Di Desa Parbubu II
No. Sarana Perekonomian Desa Jumlah
1. Pasar -
Komposisi Sarana Pemerintahan Desa Parbubu II
No. Sarana
2.7. Organisasi Kemasyarakatan
Organisasi Kemasyarakatan yang ada di Desa Parbubu II ini menjadi
wadah bagi masyarakat untuk bersosialisasi dengan orang lain. Organisasi
kemasyarakatan ini juga dimanfaatkan oleh para janda-janda ini untuk tetap
membina hubungan baik dengan masyarakat lain.
Seperti dalam persatuan marga-marga yang ada di desa ini, para janda
masuk ke dalam organisasi marga-marga ini untuk tetap mempererat hubungan
dengan keluarganya atau dengan keluarga suaminya. Mengikuti perkumpulan
marga ini, ia akan tetap dianggap ada oleh keluarga suaminya walaupun
keberadaannya sekarang tidak begitu diperhatikan dibandingkan sewaktu
suaminya masig hidup.
2.8. Sekilas Mata Pencaharian Bertenun
Masyarakat Desa Parbubu II mayoritas memiliki mata pencaharian sebagai
petani, dimana laki-laki dan perempuan berprofesi sebagai petani. Kaum
perempuan masyarakat Desa Parbubu II mengisi waktu selain bertani dengan
kegiatan menenun kain ulos.
Kegiatan menenun menjadi salah satu mata pencaharian masyarakat Desa
pencaharian utamanya sebagai petani, mata pencaharian sebagai petani dalam hal
ini bergantung kepada musim dan biaya produksi yang tinggi sehingga menenun
menjadi satu-satunya pilihan mata pencaharian tambahan selain bertani.
Mata pencaharian dengan menenun kain ulos yang dilakukan oleh kaum
perempuan di Desa Parbubu II juga disebabkan oleh mata pencaharian dengan
bertani yang dilakoni oleh mereka terkadang mengalami kegagalan (gagal panen)
yang disebabkan oleh faktor musim, cuaca, dan lain sebagainya. Untuk mengatasi
pendapatan yang tidak menentu yang diperoleh dengan cara bertani, kaum
perempuan memilih untuk menenun kain ulos untuk mendapatkan penghasilan
yang tetap.
Tabel 13
Komposisi Kegiatan Kemasyarakatan Yang Ada Di Desa Parbubu II
No Organisasi Kemasyarakatan Jumlah
1. Kelompok Tani 4
2. LKMD 1
3. Lembaga Partungkoan 1
4. Karang Taruna 2
5. Lembaga-lembaga Adat a. L.A.D.N
b. Persatuan marga-marga
6. Klub-klub olahraga -
7. Kelompok-kelompok seni -
Sumber : Data Monografi Desa Parbubu II Tahun 2006/2007
2.8.1 Penduduk Yang Bertenun
Kota Tarutung Kabupaten Tapanuli Utara memiliki jenis ulos yang berbeda
dengan Kota Siantar dan Balige maupun daerah lainnya, para penenun di Kota
Tarutung masih menggunakan alat tenun sebagai fungsi utama mendapatkan ulos
yang kuat dan tebal, hal ini terletak pada benangnya. Mereka menyebut benang
tersebut dengan sebutan benang ipahan, benang yang belum diolah menjadi ulos.
Sebelum benang dijadikan kain makanya awal prosesnya adalah benang tersebut
harus diberi kanji5
Berbeda dengan yang digunakan para penenun Pematang Siantar dan
Balige, mereka menggunakan mesin sebagai alat tenun. Harga alat tenun yang
digunakan mencapai hingga jutaan rupiah, karena itu apabila menggunakan mesin
maka hasil kain ulos yang didapat juga sangat tipis berbeda dengan ulos yang
ditenun di wilayah Tarutung, dengan jenis kualitas kain yang ada maka harga ulos dulu kemudian dipintal. Hal ini bertujuan agar benang yang
akan dijadikan kain akan lebih kuat dan teksturnya lebih halus. Alat tenun yang
digunakan terbuat dari kayu yang bisa dibeli jadi atau dibuat sendiri karena
bahannya juga mudah didapat masyarakat dari hutan yang tidak jauh dari
perkampungan mereka.
pun bervariasi. Ada yang mahal dan ada yang murah semua tergantung dengan
kebutuhan dan juga kondisi ekonomi si pemakai. Setelah kain ulos siap, mereka
memberikannya pada toko langganan mereka yang biasa menampung hasil
tenunan mereka.
Khusus untuk mereka para penenun ulos dari Siantar harga perlembar ulos
mereka bisa mencapai harga ratusan ribu rupiah. Setelah dari penampungan
tersebut maka ulos kembali lagi disebarkan diseluruh daerah di Sumatera
contohnya Balige, Pematang Siantar, Sidempuan, Tebing Tinggi dan sampai ke
Kota Medan. Tetapi terkadang dengan adanya modernisasi maka ujung dari ulos
mengalami perubahan dengan ditambahkannya berbagai jenis bordir dan juga
payet. Permintaan tersebut bisa dilakukan oleh penenun juga tetapi dengan
menaikkan harga dari biasanya tapi terkadang para penampung tersebut juga
membuat sendiri tanpa bantuan dari penenun tersebut. Satu kain ulos biasa
dikerjakan oleh penenun dalam tiga hari, sehingga dalam seminggu mereka bisa
menghasilkan tiga lembar kain ulos.
Tetapi terkadang apabila para masyarakat khususnya para pekerja penenun
ulos sedang melakukan kegiatan panen disawah maka minat jual mereka kepada
para toko langganan tempat para penenun menjual hasil ulos mereka pun
menurun, karena dalam beberapa minggu mereka tidak melakukan aktivitas
menenun melainkan sedang disawah memanen dan menjemur padi mereka untuk
dijual. Mereka tidak hanya berharap dari hasil penjualan kain ulos, disinilah
kesempatan para agen yang biasa menampung ulos mereka bertindak untuk
penenun tidak sedang melakukan kegiatan menenun ulos. Sedangkan apabila
mereka tidak melakukan kegiatan memanen dan kembali untuk menenun ulos
maka harga yang diberikan para agen penampung ulos relatif kecil.
Ulos pun menjadi barang yang penting dan dibutuhkan semua orang kapan
saja dan di mana saja, hingga akhirnya karena ulos memiliki nilai yang tinggi di
tengah-tengah masyarakat Batak dibuatlah aturan penggunaan ulos yang di
tuangkan dalam aturan adat, misalnya
• ulos hanya di berikan kepada kerabat yang di bawah kita, misalnya
natoras tu ianakhon (orang tua kepada anak).
• ulos yang di berikan haruslah sesuai dengan kerabat yang akan di beri
ulos, misalnya ragihotang diberikan untuk ulos kepada hela (menantu
laki-laki).
Sedangkan menurut penggunaanya :
• Siabithonon (dipakai ke tubuh menjadi baju atau sarung) digunakan ulos
ragidup, sibolang, runjat, jobit dan lainnya.
• Sihadanghononhon (diletakan di bahu) digunakan ulos sirara, sumbat,
bolean, mangiring dan lainnya.
• Sitalitalihononhon (pengikat kepala) digunakan ulos tumtuman,
mangiring, padang rusa dan lain-lain. (dalam Sitompul, 2003:53)
Saat ini tidak dibutuhkan ulos sebagai penghangat tubuh di saat tidur
untuk memberi kehangatan bagi tubuh pada saat berada pada udara yang sangat
dingin.
Ulos sudah menjadi lambang kehangatan yang sudah mengakar di dalam
budaya Batak. Namun juga menjadi tantangan bagi budaya Batak di masa depan,
karena cara pandang dan penghargaan anak-anak muda masa depan sangat
berbeda dengan para orang tua yang sempat merasakan berharganya nilai ulos
dalam kekerabatan. Akan sangat banyak tantangan masa depan yang akan
menghimpit “niat maradat” bagi generasi muda masa depan. Seperti masalah
keuangan, penggunaan waktu, perkembangan pola pikir praktis, berkurangnya
rajaparhata6
Ulos bintang maratur, ulos ini merupakan ulos yang paling banyak
kegunaannya di dalam acara-acara adat Batak Toba, beberapa diantaranya yakni:
kepada anak yang memasuki rumah baru. Memiliki rumah baru (milik sendiri)
adalah merupakan suatu kebanggaan terbesar bagi masyarakat Batak Toba,
keberhasilan membangun atau memiliki rumah baru di anggap sebagai salah satu
bentuk keberhasilan atau prestasi tersendiri yang tak ternilai harganya. Tingginya
penghargaan kepada orang yang telah berhasil membangun dan memiliki rumah
baru adalah karena keberhasilan tersebut di anggap merupakan suatu berkat dari . Keberagaman ulos juga memiliki jenis dan juga fungsi. Beberapa
jenis dan fungsi ulos adalah ulos Antakantak, ulos ini dipakai sebagai selendang
orang tua untuk melayat orang yang meninggal, selain itu ulos tersebut juga
dipakai sebagai kain yang dililit pada waktu acara manortor (menari).
Tuhan yang maha Esa yang di sertai dengan adanya usaha dan kerja keras yang
bersangkutan di dalam menjalani kehidupan.
Keberhasilan membangun atau memiliki rumah baru adalah merupakan
situasi yang sangat menggembirakan, oleh karena itu ulos ini akan diberikan
kepada orang yang sedang berada dalam suasana bergembira. Orang Batak yang
tinggal dan menetap di berbagai puak/horja di sekitar Tapanuli telah memiliki
adat dan kebiasaan yang berbeda pula, walaupun konsep dan pemahaman tentang
adat itu secara umum adalah sama, namun pada hal-hal tertentu ada kalanya
memiliki perbedaan dalam hal pemaknaan terhadap nilai dan konsep adat yang
ada sejak turun-temurun, oleh karena itu pemberian ulos bintang maratur khusus
di daerah Silindung di berikan kepada orang yang sedang bergembira dalam hal
ini sewaktu menempati atau meresmikan rumah baru.
Secara khusus di daerah Toba ulos ini diberikan waktu acara selamatan
usia kehamilan tujuh bulan yang diberikan oleh pihak hulahula kepada anaknya.
Ulos ini juga di berikan kepada pahompu (cucu) yang baru lahir sebagai parompa
(gendongan) yang memiliki arti dan makna agar anak yang baru lahir itu di iringi
kelahiran anak yang selanjutnya, kemudian ulos ini juga di berikan untuk
pahompu (cucu) yang baru mendapat baptisan di gereja dan juga bisa di pakai
sebagai selendang.
Ulos mangiring, ulos ini dipakai sebagai selendang. Ulos ini juga
diberikan kepada anak cucu yang baru lahir terutama anak pertama yang memiliki
maksud dan tujuan sekaligus sebagai simbol besarnya keinginan agar si anak yang
dipergunakan sebagai parompa (alat gendong) untuk anak. Sedangkan ulos
pinuncaan merupakan kain ulos uang terdiri dari lima bagian yang ditenun secara
terpisah yang kemudian di satukan dengan rapi hingga menjadi bentuk satu ulos.
Dalam kehidupan masyarakat Batak Toba ulos memiliki beberapa
kegunaan, antara lain:
• Dipakai dalam berbagai keperluan acara-acara duka cita maupun suka cita,
dalam acara adat ulos ini dipakai/ disandang oleh raja-raja adat.
• Dipakai oleh rakyat biasa selama memenuhi beberapa pedoman misalnya,
pada pesta perkawinan atau upacara adat di pakai oleh suhut sihabolonon/
hasuhuton (tuan rumah).
• Kemudian pada waktu pesta besar dalam acara marpaniaran (kelompok
istri dari golongan hulahula), ulos ini juga di pakai/dililit sebagai kain atau
hohophohop oleh keluarga hasuhuton (tuan rumah).
• Ulos ini juga berfungsi sebagai ulos passamot pada acara perkawinan.
Ulos passamot di berikan oleh orang tua pengantin perempuan (hulahula)
kepada kedua orang tua pengantin dari pihak laki-laki (pangoli). Sebagai
pertanda bahwa mereka telah sah menjadi saudara dekat.
Ulos ragi hotang merupakan ulos yang diberikan kepada sepasang
pengantin yang sedang melaksanakan pesta adat yang di sebut dengan nama ulos
hela. Pemberian ulos hela memiliki makna bahwa orang tua pengantin perempuan
telah menyetujui put rinya dipersunting atau di peristri oleh laki-laki yang telah di
memberikan mandar hela (sarung menantu) yang menunjukkan bahwa laki-laki
tersebut tidak boleh lagi berperilaku layaknya seorang laki-laki lajang tetapi harus
berperilaku sebagai orang tua, dan sarung tersebut dipakai dan dibawa untuk
kegiatan-kegiatan adat.
Ulos ragi huting. Ulos ini sekarang sudah jarang dipakai, konon pada
jaman dulu sebelum Indonesia merdeka, anak perempuan (gadis-gadis) memakai
ulos ragi huting ini sebagai pakaian sehari-hari yang dililitkan di dada (hobahoba)
yang menunjukkan bahwa yang bersangkutan adalah seorang putri (gadis
perawan) Batak Toba yang beradat. Seiring dengan berjalannya waktu ada juga
ulos yang jarang dipakai dalam berbagai acara adat batak. Hal ini karena ulos
sudah tidak diproduksi lagi, seperti ulos raja, ulos ragi botik, ulos gobar, ulos
saput (ulos yang digunakan sebagai pembungkus jenazah), dan ulos sibolang.
Berdasarkan pengamatan lapangan, dimana mata pencaharian masyarakat
Desa Parbubu II sebagai penenun kain ulos, terdapat 83 orang yang menjadi
penenun ulos dimana 10 diantaranya bekerja pada kilang ulos di Desa Parbubu II
yang menjadi informan penelitian ini.
Kaum perempuan yang menenun kain ulos di Desa Parbubu II merupakan
salah satu keahlian yang diperoleh secara turun-temurun, hal ini juga didukung
oleh pola motif dan persebaran ulos yang secara adat dibawa oleh pihak
perempuan sehingga pola dan motif ulos berkembang seiring dengan perjalanan
Penelitian ini juga mendapatkan bahwa pengetahuan menenun ulos selain
diperoleh secara turun-temurun juga dapat diperoleh melalui mengikuti kegiatan
ulos yang banyak dilakukan pada kilang pembuatan ulos, pada umumnya ini
dilakukan oleh kaum perempuan yang tidak mendapatkan pengetahuan menenun
ulos secara turun-temurun.
Berkaitan dengan pengetahuan pembuatan kain ulos, kaum perempuan
partonun ulos di Desa Parbubu II hanya mengenal sedikit pola dan motif ulos
sebagaimana pengetahuan yang diperoleh oleh kaum perempuan sebelum mereka
(nenek, ibu) sehingga pada perkembangannya saat ini pola dan motif ulos yang
ditenun kaum perempuan di Desa Parbubu II terbatas pada pola dan motif Ulos