• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 TINJAUAN KEPUSTAKAAN 2.1. Definisi Infeksi Leher Dalam - Karakteristik Abses Leher Dalam Di SMF THT-KL RSUP. H. Adam Malik Medan Tahun 2006-2012.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB 2 TINJAUAN KEPUSTAKAAN 2.1. Definisi Infeksi Leher Dalam - Karakteristik Abses Leher Dalam Di SMF THT-KL RSUP. H. Adam Malik Medan Tahun 2006-2012."

Copied!
25
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

TINJAUAN KEPUSTAKAAN

2.1. Definisi Infeksi Leher Dalam

Infeksi leher dalam merupakan infeksi leher pada ruang (potensial) diantara fasia leher dalam sebagai akibat penjalaran infeksi dari berbagai sumber seperti gigi, mulut, tenggorok, sinus paranasal, telinga tengah dan leher (Fachruddin, 2007).

Abses terjadi sebagai akumulasi dari pus dalam suatu rongga patalogis yang dapat terjadi dibagian tubuh manapun sebagai reaksi pertahanan tubuh terhadap benda asing. Infeksi pada area leher dalam tidak selalu menyebabkan abses. Pada kasus-kasus dimana infeksi jaringan lunak tidak terlokalisir dimana eksudat menyebar keantara celah interstitial jaringan ikat (Surarso, 2011).

2.2. Etiologi Dan Patogenesis

Pembentukan abses merupakan hasil perkembangan dari flora normal dalam tubuh. Flora normal dapat tumbuh dan mencapai daerah steril dari tubuh baik secara perluasan langsung, maupun melalui laserasi atau perforasi. Berdasarkan kekhasan flora normal yang ada di bagian tubuh tertentu maka kuman dari abses yang terbentuk dapat diprediksi berdasarkan lokasinya. Sebagian besar abses leher dalam disebabkan oleh campuran berbagai kuman, baik kuman aerob, anaerob, maupun fakultatif anaerob (Pulungan, 2011).

(2)

Menurut penelitian yang dilakukan Parhischar dan kawan-kawan, terhadap 210 infeksi leher dalam, 175 (83,3%) dapat diidentifikasi penyebabnya. Penyebab terbanyak infeksi gigi 43%. Ludwig’s angina

yang disebabkan infeksi gigi 76%, abses submandibula 61% disebabkan oleh infeksi gigi (Parhiscar et al., 2001).

Yang dan kawan-kawan (2008) melaporkan dari 100 penderita infeksi leher dalam, 77 (77%) penderita dapat diidentifikasi sumber infeksi sebagai penyebabnya. Penyebab terbanyak berasal dari infeksi orofaring 35%, odontogenik 23%. Penyebab lain adalah infeksi kulit, sialolitiasis, trauma, tuberkulosis, dan kista yang terinfeksi.

2.3. Gejala Klinis dan Diagnosis

Gejala klinis infeksi leher dalam secara umum sama dengan gejala infeksi pada umumnya yaitu, nyeri, demam, pembengkakan dan gangguan fungsi. Berdasarkan ruang yang dikenai akan menimbulkan gejala spesifik yang sesuai dengan ruang potensi yang terlibat (Ballenger, 1994; Fachruddin, 2000).

Pada penelitian Lee dan kawan-kawan di Korea, melaporkan gejala klinis pada 158 kasus infeksi leher dalam, yaitu keluhan leher bengkak (74,7%), keluhan sakit leher (41,1%), demam (14,6%), panas dingin (10,1%), sulit bernafas (10,1%), disfagia (6,3%), dan trismus (1,9%) (Lee et al., 2007).

2.4. Pemeriksaan Penunjang

Rontgen servikal lateral

Dapat memberikan gambaran adanya pembengkakan jaringan lunak pada daerah prevertebra, adanya benda asing, gambaran udara di subkutan, air fluid levels, erosi dari korpus vertebra. Penebalan jaringan lunak pada prevertebra setinggi servikal II (C2), lebih 7 mm dan setinggi 14 mm pada anak, lebih 22 mm pada dewasa dicurigai sebagai suatu abses retrofaring (Vieira, 2008).

(3)

Dilakukan pada kasus infeksi leher dalam yang dicurigai berasal dari gigi (Viera, 2008).

Rontgen toraks

Perlu dilakukan untuk evaluasi mediastinum, empisema subkutis, pneumonia yang dicurigai akibat aspirasi dari abses (Viera, 2008).

CT Scan

Berdasarkan penelitian Crespo dkk, dikutip dari Murray AD dkk, bahwa dengan hanya pemeriksaan klinis tanpa CT Scan mengakibatkan estimasi terhadap luasnya abses yang terlalu rendah pada 70% pasien.

CT Scan memberikan gambaran abses berupa adanya air fluid levels

(Viera, 2008).

Menurut penelitian yang dilakukan pada 65 penderita infeksi leher dalam di Departemen THT-KL Universidade Estadual de Campinas, São Paulo, Brazil, pemeriksaan CT Scan dengan kontras adalah penting dalam mengevaluasi lokasi infeksi pada ruang leher sehingga mempermudah tindakan drainase dan pembedahan. John dan kawan-kawan menggunakan pemeriksaan CT Scan dengan kontras untuk mendiagnosis infeksi leher dalam pada anak-anak yang akan diberikan terapi antibiotik intravena (McClay et al., 2003).

• Pemeriksaan bakteriologi

Pemeriksaan bakteriologi pus dari lesi yang dalam. Setelah desinfeksi kulit, pus dapat diambil dengan aspirasi memakai jarum aspirasi atau dilakukan insisi. Pus yang diambil sebaiknya tidak terkontaminasi dengan flora normal yang ada di daerah saluran nafas atas atau rongga mulut. Spesimen yang telah diambil dimasukkan ke dalam media transportasi yang steril (Yang, 2008).

2.5. Prinsip Penatalaksanaan

(4)

krikotirotomi. Terapi selanjutnya dimaksudkan untuk mengatasi infeksi dan mencegah komplikasi (Bailey, 2006).

Pemeriksaan kultur darah serta aspirasi abses dan pemberian antibiotik serta drainase bedah, diperlukan pada penatalaksanaan infeksi ini. Resusitasi cairan diperlukan karena hampir selalu terjadi dehidrasi oleh karena intake yang tidak mencukupi karena seringnya terjadi trismus (Bailey, 2006).

Drainase bedah diindikasikan untuk penderita dengan abses atau ancaman terjadinya komplikasi. Ruang primer yang terkena dan perluasan keruang lainnya harus dibuka dan didrainase. Drainase dapat berupa aspirasi abses atau insisi dan eksplorasi, tergantung pada luasnya abses dan komplikasi yang ditimbulkannya (Surarso, 2011;Triana, 2011).

Berikut algoritma untuk menegakkan diagnosis dan penatalaksanaan infeksi/abses leher dalam (Bailey, 2006; Surarso, 2011).

Gambar 1. Algoritma penatalaksanaan infeksi leher dalam (Bailey, 2006).

2.6. Komplikasi Infeksi leher dalam

(5)

• Perdarahan pada arteri karotis • Trombosis pada sinus kavernosus

• Defisit neurologi yang terdiri dari: Horner Syndrome, pada nervus kranial IX dan XII

• Edema paru • Mediastinitis • Perikarditis • Aspirasi • Sepsis

B. Komplikasi pembedahan:

• Kerusakan dari struktur neurovascular • Infeksi pada luka

• Keracunan darah • Luka parut

• Aspirasi

2.7. Ruang Lingkup

Infeksi di dalam ruang (potensial) leher dalam meliputi abses yang terbentuk di peritonsil, parafaring, retrofaring, angina ludovici (Ludwig’s angina) atau abses submandibula (Surarso, 2011; Bradley, 2012).

2.8. Abses Peritonsil

Definisi

Abses peritonsil (Quinsy) adalah kumpulan nanah/pus dalam ruang peritonsil, diantara kapsul fibrous tonsil dengan muskulus konstriktor faringeal superior, biasanya pada bagian kutub atas (Cowan, 1997; Dingra, 2007).

(6)

Abses peritonsil biasanya terjadi sebagai komplikasi tonsilitis akut atau infeksi yang bersumber dari kelenjar mukus weber dikutub atas tonsil (Bailey, 2006; Galioto, 2008).

Biasanya kuman penyebab sama dengan penyebab tonsilitis, dapat ditemukan kuman aerob dan anerob. Streptococcus pyogenes (grup A beta hemolytic streptococcus) merupakan kuman aerob yang paling sering dijumpai pada abses peritonsil. Infeksi gigi dan merokok juga menjadi faktor risiko terjadinya abses peritonsil (Balleger 1997;MD Galioto, 2008).

Patogenesis

Daerah superior dan lateral fosa tonsilaris merupakan jaringan ikat longgar sehingga infiltrasi atau supurasi ke ruang peritonsil tersering menempati area ini, sehingga palatum mole tampak membengkak. Infeksi biasanya berasal dari kripta magna yang ada di dekat kutub atas (Fachruddin, 2007; Surarso, 2011).

Pada stadium permulaan ditandai dengan area infiltrat yang bengkak dan hiperemis. Bila proses berlanjut, terjadi supurasi sehingga daerah tersebut lebih lunak. Pembengkakan peritonsil akan mendorong tonsil dan uvula kearah kontralateral (Ballenger, 1997; Surarso, 2011).

Bila proses peradangan berlanjut ke area sekitarnya akan menyebabkan iritasi pada muskulus pterigoid interna sehingga timbul trismus. Abses peritonsil dapat pecah spontan dan menimbulkan komplikasi aspirasi ke paru (Fachruddin, 2007; Surarso, 2011).

(7)

terbentuknya nanah merupakan tanda dan gejala yang klasik dari abses peritonsil (Galioto, 2008).

Tanda Dan Gejala

Abses peritonsil biasanya didahului oleh nyeri tenggorok selama 2-3 hari yang secara perlahan-lahan menjadi lebih berat dan biasanya unilateral. Abses peritonsil bilateral pernah dilaporkan tetapi jarang terjadi (Fachruddin, 2007).

Dapat terjadi nyeri alih pada telinga dan pembengkakan pada leher akibat limfadenopati infektif.

Gejala klinis abses peritonsil terdiri dari:

• Demam tinggi, suhu tubuh bisa mencapai 39-40°C atau lebih • Lemah

• Menggigil • Sakit kepala • Muntah

• Nyeri tenggorok yang berat, biasanya unilateral. Nyeri dapat menjalar ke telinga dan sudut mandibula. Nyeri bertambah sesuai dengan perluasan timbunan nanah.

• Nyeri menelan (odinofagia) dan sulit menelan (disfagia). Penderita tidak dapat menelan air ludahnya sendiri.

• Hipersalivasi dan air ludah menetes dari sudut mulut.

• Suara tidak jelas seperti mengulum makanan, yang dikenal dengan sebutan “hot potato voice”.

• Mulut berbau (fetor ex ore).

• Sukar membuka mulut (trismus).

• Nyeri bila menggerakkan kepala ke lateral akibat infiltrasi ke jaringan leher di regio tonsil (Dingra, 2007; Surarso, 2011).

Tanda-tanda Klinis

(8)

menonjol ke depan, dapat teraba fluktuasi. Uvula membengkak dan terdorong ke sisi kontralateral. Tonsil tampak hiperemis, membengkak dan terdorong kearah tengah, depan dan bawah. Mukopus dapat terlihat menutupi daerah tonsil. Sering dijumpai limfadenopati leher pada sisi yang sakit (Dingra, 2007).

Diagnosis

Diagnosis ditegakkan berdasarkan (Steyer, 2002; Dhingra, 2007): 1. Anamnesis

2. Pemeriksaan fisik 3. Aspirasi abses

Aspirasi abses merupakan gold standard untuk menegakkan diagnosa abses peritonsil

4. Pemeriksaan laboratorium

Pus yang didapat dari tindakan aspirasi dikirim ke laboratorium untuk dilakukan pewarnaan gram dan kultur untuk menentukan regimen terapi yang sesuai

5. Pemeriksaan radiologi

Pemeriksaan radiologi yang dapat membantu menegakkan diagnosa abses peritonsil adalah CT Scan dan MRI.

Penatalaksanaan A. Konservatif

(9)

Pasien sebaiknya dirawat di rumah sakit dan diberikan cairan infus untuk mencegah dehidrasi (Dhingra, 2007; Fachruddin, 2007).

Pemilihan antibiotik sangat tergantung kepada hasil biakan dan uji kepekaan dari pus yang didapat melalui tindakan aspirasi. Antibiotik sebagai pilihan digunakan golongan penicillin tetapi karena munculnya bakteri yang memproduksi beta-laktamase maka pilihan antibiotik telah berubah. Beberapa penelitian melaporkan lebih dari 50% hasil kultur didapati kuman anerob yang memproduksi beta-laktamase, hal inilah yang membuat banyak para dokter menggunakan antibiotik spektrum luas sebagai first line therapy (Galioto, 2008).

Manfaat pemberian steroid pada pengobatan abses peritonsil belum diteliti lebih lanjut meskipun steroid banyak dipakai untuk mengurangi edema dan inflamasi pada penyakit THT lainnya (Galioto, 2008).

B. Operatif

Ada 3 prosedur operasi untuk pengobatan abses peritonsil, yaitu aspirasi jarum, insisi dan drainase serta tonsilektomi.

a) Aspirasi jarum/ Pungsi

Bila telah terbentuk abses, dilakukan aspirasi pada daerah abses, kemudian diinsisi untuk mengeluarkan pus. Aspirasi abses merupakan gold standard untuk menegakkan abses peritonsil (Fachruddin, 2007).

b) Insisi dan drainase

Insisi dilakukan pada daerah yang menonjol (berfluktuasi), biasanya pada bagian depan pilar anterior, batas antara 1/3 bagian atas dan tengah tonsil atau pada pertengahan garis yang menghubungkan dasar uvula dengan geraham atas terakhir pada sisi yang sakit (Ballenger, 1997; Fachruddin, 2007).

c) Tonsilektomi

(10)

bersama-sama tindakan drainase abses disebut tonsilektomi “a’chaud”. Bila tonsilektomi dilakukan 3-4 hari sesudah drainase abses, disebut tonsilektomi ”a’ tiede” dan bila tonsilektomi 4-6 minggu sesudah drainase abses, disebut tonsilektomi “a’ froid”. Pada umumnya tonsilektomi dilakukan setelah infeksi tenang, yaitu 2-3 minggu sesudah drainase abses (Fachruddin, 2007).

Komplikasi

Abses dapat pecah spontan dan menyebabkan perdarahan dan aspirasi paru (Lee KJ, 1997; Surarso, 2011).

1. Penjalaran infeksi dan abses ke daerah parafaring yang dapat menyebabkan abses parafaring. Penyebaran infeksi melalui m. konstriktor faringeus superior dapat menyebabkan abses parafaring dimana bagian luar tonsil terikat longgar pada m. konstriktor faringeus superior.

2. Infeksi meluas masuk ke mediastinum sehingga terjadi mediastinitis. Infeksi dapat turun ke bawah (mediastinum) melalui ruang visceral vascular. Ruangan ini adalah ruang potensial dalam

carotid sheath yang berada mulai dari dasar tengkorak hingga ke medistinum dan menerima kontribusi dari seluruh tiga lapisan fasia profunda dan dapat menjadi tempat infeksi sekunder yang menyebar langsung dari ruang-ruang lain di leher dalam termasuk dari ruang peritonsil.

(11)

2.9. Abses Retrofaring

Abses retrofaring adalah suatu peradangan yang disertai pembentukan pus pada daerah retrofaring. Biasanya terjadi pada anak usia 3 bulan hingga 5 tahun. Umumnya terjadi karena pada usia tersebut ruang retrofaring masih berisi kelenjar dari hidung, sinus paranasal, nasofaring, faring, tuba eustachius dan telinga tengah. Sedangkan pada usia 6 tahun kelenjar-kelenjar tersebut mengalami atrofi (Fachruddin, 2007; Surarso, 2011).

Etiologi

Keadaan yang dapat menyebabkan terjadinya abses ruang retrofaring ialah (Facruddin 2007):

1. Infeksi saluran nafas atas yang menyebabkan limfadenitis retrofaring.

2. Trauma dinding belakang faring oleh benda asing seperti tulang ikan atau tindakan medis, seperti adenoidektomi, intubasi endotrakea dan endoskopi.

3. Tuberkulosis vertebra servikalis bagian atas (abses dingin).

Berdasarkan jenisnya secara umum abses retrofaring terbagi dua yaitu: 1. Akut

Sering terjadi pada anak-anak berumur dibawah 4-5 tahun. Keadaan ini terjadi akibat infeksi pada saluran nafas atas seperti pada adenoid, nasofaring, rongga hidung, sinus paranasal dan tonsil yang meluas ke kelenjar limfe retrofaring (limfadenitis) sehingga menyebabkan supurasi pada daerah tersebut. Sedangkan pada orang dewasa terjadi akibat infeksi langsung oleh karena trauma akibat penggunaan instrumen (intubasi endotrakea, endoskopi, sewaktu adenoidektomi) atau benda asing.

2. Kronis

(12)

vertebra servikalis dimana pus secara langsung menyebar melalui ligamentum longitudinal anterior. Selain itu abses dapat terjadi akibat infeksi TBC pada kelenjar limfe retrofaring yang menyebar dari kelenjar limfe servikal (Fachruddin, 2007; Surarso, 2011).

Pada banyak kasus sering dijumpai adanya kuman aerob dan anaerob secara bersamaan. Beberapa organisme yang dapat menyebabkan abses retrofaring adalah: kuman aerob; Streptococcus beta–hemolyticus group A (paling sering), Streptococcus pneumoniae, Streptococcus non–hemolyticus, Staphylococcus aureus, Haemophilus

sp., kuman anaerob; Bacteroides sp., Veillonella, Peptostreptococcus, Fusobacteria (Fachruddin, 2007; Surarso, 2011).

Tanda dan Gejala

Pada anak dari anamnesis biasanya didahului oleh infeksi saluran nafas atas. Pada orang dewasa dari anamnesis biasanya didahului riwayat tertusuk benda asing pada dinding posterior faring, pasca tindakan endoskopi atau adanya riwayat batuk kronis (Fachruddin, 2007).

Gejala utama abses retrofaring ialah rasa nyeri dan sukar menelan. Pada anak kecil, rasa nyeri menyebabkan anak menangis terus (rewel) dan tidak mau makan dan minum. Juga terdapat demam, leher kaku dan nyeri. Dapat timbul sesak napas karena sumbatan jalan napas, terutama di hipofaring. Bila proses peradangan berlanjut sampai mengenai laring dapat timbul stridor. Sumbatan oleh abses juga dapat mengganggu resonansi suara sehingga terjadi perubahan suara (Adam, 1997; Fachruddin, 2007).

(13)

Diagnosis

Diagnosis ditegakkan berdasarkan adanya riwayat infeksi saluran nafas bagian atas atau trauma, gejala dan tanda klinik serta pemeriksaan penunjang foto rontgen lateral jaringan lunak leher. Pada kasus-kasus ini, radiografi jaringan lunak lateral leher menunjukkan peningkatan bayangan jaringan lunak yang jelas antara saluran udara faring dan korpus vertebra servikalis. Laring dan trakea ditunjukkan dalam posisi ke arah depan. Jika terdapat keraguan mengenai radiografi, maka dapat dipertegas dengan radiografi penelanan barium (Adam 1997; Kahn JH, 2010).

Penatalaksanaan A. Medikamentosa

Sebagai terapi medikamentosa diberikan antibiotika dosis tinggi, untuk kuman aerob dan anaerob, diberikan secara parenteral. Tujuan dari farmakoterapi adalah untuk membasmi infeksi, mengurangi morbiditas, dan mencegah komplikasi.

B. Tindakan bedah

Dilakukan pungsi dan insisi abses melalui laringoskop langsung dalam posisi pasien baring Trendelnburg. Pus yang keluar segera diisap, agar tidak terjadi aspirasi. Tindakan dapat dilakukan dalam analgesia lokal atau anesthesia umum. Pasien dirawat inap sampai gejala dan tanda infeksi reda. Kadang-kadang, intubasi endotrakeal atau krikotirotomi mungkin diperlukan jika pasien menunjukkan tanda-tanda obstruksi saluran napas atas (Fachruddin, 2007; Khan JH, 2010).

Komplikasi

(14)

aspirasi dan abses paru. Infeksi itu sendiri seperti sepsis dan kematian (Fachruddin, 2007; Khan 2012).

2.10. Abses Parafaring

Abses parafaring dapat terjadi setelah infeksi faring, tonsil, adenoid, gigi, parotis, atau kelenjar limfatik. Pada banyak kasus abses parafaring merupakan perluasan dari infeksi leher dalam yang berdekatan seperti; abses peritonsil, abses submandibula, abses retrofaring maupun mastikator (Ballenger, 1997; Fachruddin, 2007).

Gambar 2. Daerah parafaring dari potongan axial (Bailey, 2006)

Etiologi

Ruang parafaring dapat mengalami infeksi dengan cara:

1. Langsung, yaitu akibat tusukan jarum pada saat melakukan tonsilektomi dengan analgesia. Peradangan terjadi karena ujung jarum suntik yang telah terkontaminasi kuman menembus lapisan otot tipis (m. konstriktor faring superior) yang memisahkan ruang parafaring dari fosa tonsilaris.

(15)

3. Penjalaran infeksi dan ruang peritonsil, retrofaring atau submandibula (Ballenger, 1997; Fachruddin, 2007).

Tanda dan Gejala

Sebagian besar pasien mengalami edema, sakit tenggorokan, dan odinofagia. Jika infeksi meluas dari faring ke ruang ini, pasien akan menunjukkan trismus yang jelas. Adanya pembengkakan di sekitar angulus mandibula dan demam tinggi. Sedangkan dinding faring lateral mungkin terdorong ke medial, seperti pada abses peritonsilar (Bailey, 2006; Fachruddin, 2007).

Diagnosis

Diagnosis ditegakkan berdasarkan riwayat penyakit, gejala dan tanda klinik. Bila meragukan, dapat dilakukan pemeriksaan penunjang berupa foto rontgen jaringan lunak AP atau CT Scan (Bailey, 2006; Fachruddin,2007).

Terapi

Terapi yang berhasil mencakup perbaikan jalan napas, antibiotik parenteral, dan drainase bedah. Drainase eksternal adalah melalui fosa submaksillaris seperti yang dijelaskan oleh Mosher tahun 1929 (Bailey, 2006).

Untuk terapi medikammentosa pada abses parafaring adalah dengan pemberian antibiotika dosis tinggi secara parenteral terhadap kuman aerob dan anaerob. Evakuasi abses harus segera dilakukan bila tidak ada perbaikan dengan antibiotika dalam 24-48 jam dengan cara eksplorasi dalam narkosis. Caranya melalui insisi dari luar dan intra oral (Surarso, 2011).

(16)

terabanya prosesus stiloid. Bila nanah terdapat di dalam selubung karotis, insisi dilanjutkan vertikal dari pertengahan insisi horizontal ke bawah di depan m. sternokleidomastoideus (cara Mosher) (Bailey, 2006; Fachruddin, 2007).

Insisi intraoral dilakukan pada dinding lateral faring. Dengan memakai klem arteri eksplorasi dilakukan dengan menembus m. konstriktor faring superior ke dalam ruang parafaring anterior. Insisi intraoral dilakukan bila perlu dan sebagai terapi tambahan terhadap insisi eksternal. Pasien dirawat inap sampai gejala dan tanda infeksi reda (Bailey, 2006; Fachruddin, 2007).

Komplikasi

Proses peradangan dapat menjalar secara hematogen, limfogen atau langsung ke daerah sekitarnya. Penjalaran ke atas dapat mengakibatkan peradangan intrakranial, ke bawah menyusuri selubung karotis mencapai mediastinum. Komplikasi yang paling berbahaya dari infeksi spatium faringomaksilaris adalah terkenanya pembuluh darah sekitarnya. Dapat terjadi tromboflebitis septic vena jugularis. Juga dapat terjadi perdarahan masif yang tiba-tiba akibat dari erosi arteri karotis interna. Komplikasi ini dapat memberi kesan dengan adanya perdarahan awal yang kecil (perdarahan tersamar) (Adam, 1997; Fachruddin, 2007).

2.11. Abses Submandibula

Ruang submandibula terdiri dari ruang sublingual dan ruang submaksila dan submental. Muskulus milohiod memisahkan ruang sublingual dengan ruang submental dan submaksila. Ruang sublingual dipisahkan dari ruang submaksila oleh otot milohioid. Didalam ruang sublingual terdapat kelenjar liur sublingual beserta duktusnya (Bailey, 2006).

Abses submandibula dan angina ludovici (Ludwig’s angina) dapat

(17)

faring, kelenjar limfe submandibula. Mungkin juga kelanjutan infeksi dari ruang leher dalam lain (Raharjo, 2008; Ballenger, 2009).

Gambar 3. Potongan vertikal submandibula (Lee KJ, 1997).

Etiologi

Sumber infeksi seringkali dari gigi molar ke dua atau ke tiga, ataupun peradangan supuratif kelenjar limfe servikal di ruang sub mandibula yang merupakan penyebab dari abses sub lingual ataupun submental (Surarso, 2010). Pada kasus yang berasal dari infeksi gigi, sering ditemukan kuman anaerob Bacteroides melaninogenesis, Eubacterium Peptostreptococus dan yang jarang adalah kuman

Fusobacterium (Novialdi, 2011).

Tanda dan Gejala

Demam dan nyeri leher yang disertai pembengkakan di bawah dagu atau dibawah lidah baik unilateral atau bilateral, disertai rasa demam, nyeritenggorok atau trismus. Mungkin didapatkan riwayat infeksi atau cabut gigi. Pembengkakan dapat berfluktuasi atau tidak (Ballenger, 1997; Fachruddin, 2007).

Diagnosis

(18)

beberapa daerah infeksi leher dalam dan jika pasien sudah mendapatkan pengobatan sebelumnya, pada pasien biasanya dijumpai riwayat sakit gigi, mengorek atau mencabut gigi (Bailey, 2006; Surarso, 2010).

Terapi

Antibiotika dosis tinggi terhadap kuman aerob dan anaerob harus diberikan secara parenteral. Evakuasi abses dapat dilakukan dalam anastesi lokal untuk abses yang dangkal dan terlokalisasi atau eksplorasi dalam narcosis bila letak abses dalam dan luas. Insisi dibuat pada tempat yang paling berfluktuasi atau setinggi os hyoid, tergantung letak dan luas abses. Pasien dirawat inap sampai 1-2 hari gejala dan tanda infeksi reda (Surarso, 2010).

2.12. Angina Ludovici/Ludwig’s Angina

Ludwig’s angina mula-mula di deskripsikan oleh Wilhelm Frederick von Ludwig pada 1836. Ludwig’s angina atau angina ludovici ialah infeksi ruang submandibula berupa selulitis atau flegmon dari bagian superior ruang suprahioid dengan tanda khas berupa pembengkakan, tidak membentuk abses, sehingga keras pada perabaan submandibula (Adam, 1997; Fachruddin, 2007).

Etiologi

(19)

Tanda dan Gejala

Tanda-tanda dan gejala ludwig’s angina adalah selulitis, nyeri tenggorok dan leher, disertai selulitis yang berkembang pesat atau pembengkakan di daerah submandibula, yang tampak hiperemis dan keras pada perabaan. Demam, sakit gigi, malaise, disfagia dan napas berbau trismus, merupakan gejala yang umum.

Peradangan ruang ini menyebabkan kekerasan yang berlebihan pada jaringan dasar mulut dan mendororng lidah ke atas dan belakang dengan demikian dapat menyebabkan obstruksi jalan napas secara potensial (Adam, 1997).

Diagnosis

Diagnosis ditegakkan berdasarkan riwayat sakit gigi, gejala dan tanda klinik. Pada “Pseudo Angina Ludovici”, dapat terjadi fluktuasi (Fachruddin, 2007).

Diagnosis menurut kriteria Grodinsky yaitu :

• Keterlibatan secara bilateral atau lebih ruang leher dalam • Gangren yang disertai dengan pus serosanguinous

• Keterlibatan jaringan ikat, fasia, dan otot tetapi tidak mengenai struktur kelenjar.

• Penyebaran melalui ruang fasial lebih sering daripada melalui sistem limfatik (Lemonick, 2002).

Terapi

(20)

Sebelum dilakukan insisi dan drainase, sebaiknya dilakukan persiapan terhadap kemungkinan trakeostomi karena ketidakmampuan dilakukan intubasi pada pasien (Fachruddin, 2007; Russel, 2011).

Komplikasi

Komplikasi yang sering terjadi ialah (Medina, 2005; Facruddin, 2007):

1. Sumbatan jalan napas

2. Penjalaran abses ke ruang leher dalam lain dan mediastinum 3. Sepsis

2.13. Anatomi Leher

Pada daerah leher terdapat beberapa ruang potensial yang dibatasi oleh fasia servikalis. Fasia servikalis terdiri dari lapisan jaringan ikat fibrosus yang membungkus organ, otot, saraf dan pembuluh darah serta membagi leher menjadi beberapa ruang potensial. Fasia servikalis terbagi menjadi tiga bagian yaitu fasia servikalis superfisialis, media dan fasia servikalis profunda. Ketiga fasia ini dipisahkan oleh otot platisma yang tipis dan meluas ke anterior leher. Otot platisma sebelah inferior berasal dari fasia servikalis profunda dan klavikula serta meluas ke superior untuk berinsersi di bagian inferior mandibula. (Ballenger, 1994).

Fasia servikalis superfisial terletak tepat di bawah kulit leher berjalan dari perlekatannya di prosesus zigomatikus pada bagian superior dan berjalan ke bawah ke arah toraks dan aksila yang terdiri dari jaringan lemak subkutan. Ruang antara fasia servikalis superfisial dan fasia servikalis profunda berisi kelenjar limfe superfisial, saraf dan pembuluh darah termasuk vena jugularis eksterna (Ballenger, 1994).

Fasia servikalis profunda mengelilingi daerah leher dalam dan terdiri dari tiga lapisan yaitu:

1. Lapisan superfisial

(21)

menyebarkan ke daerah wajah dan melekat pada klavikula serta membungkus m. sternokleidomastoideus, m. trapezius, m. masseter, kelenjar parotis dan submaksila. Lapisan ini disebut juga lapisan eksternal, investing layer, lapisan pembungkus dan lapisan anterior.

2. Lapisan media

Lapisan ini dibagi atas dua yaitu divisi muskular dan viscera.

a) Divisi muskular, terletak dibawah lapisan superfisial fasia servikalis profunda dan membungkus m. sternohioid, m. sternotiroid, m. tirohioid dan m. omohioid. Di bagian superior melekat pada os hioid dan kartilago tiroid serta dibagian inferior melekat pada sternum, klavikula dan skapula.

b) Divisi viscera, membungkus organ-organ anterior leher yaitu kelenjar tiroid, trakea dan esofagus. Di sebelah posterosuperior berawal dari dasar tengkorak bagian posterior sampai ke esofagus sedangkan bagian anterosuperior melekat pada kartilago tiroid dan os hyoid. Lapisan ini berjalan ke bawah sampai ke toraks, menutupi trakea dan esofagus serta bersatu dengan perikardium. Fasia bukofaringeal adalah bagian dari divisi viscera yang berada pada bagian posterior faring dan menutupi m. konstriktor dan m. buccinator.

3. Lapisan profunda

Lapisan ini dibagi menjadi dua yaitu divisi alar dan prevertebra. a) Divisi alar terletak diantara lapisan media fasia servikalis

profunda dan divisi prevertebra, yang berjalan dari dasar tengkorak sampai vertebra torakal II dan bersatu dengan divisi viscera lapisan media fasia servikalis profunda. Divisi ala melengkapi bagian posterolateral ruang retrofaring dan merupakan dinding anterior dari danger space.

(22)

ke os koksigeus serta merupakandinding posterior dari danger space dan dinding anterior dari korpus vertebra.

Ketiga lapisan fasia servikalis profunda ini membentuk selubung karotis (carotid sheath) yang berjalan dari dasar tengkorak melalui ruang faringomaksilaris sampai ke toraks (Raharjo SP,2013)

Gambar 4. Ruang-ruang potensial di daerah leher (Bailey, 2006)

Ruang potensial leher dalam dibagi menjadi ruang yang melibatkan daerah sepanjang leher, ruang suprahioid dan ruang infrahioid.

• Ruang sepanjang leher

Ruang ini meliputi ruang retrofaring, the danger space, ruang prevertebral dan ruang vascular visceral. (Raharjo SP,2013).

Di bagian posterior ruang retrofaring terdapat danger space,

disebut demikian karena berisi jaringan ikat longgar sehingga resistensinya kecil terhadap penyebaran infeksi dan berjalan mulai dari dasar tengkorak hingga ke diafragma. Ruang prevertebral terletak diantara otot-otot prevertebral dan fasia prevertebral. Infeksi di sini dapat menerobos ke lateral atau inferior ke dalam mediastinum posterior (Bailey, 2006).

Ruang visceral vascular adalah ruang potensial dalam carotid sheath. Sebagaimana halnya ruang prevertebral, ruang visceral vascular

(23)

dan resisten terhadap penyebaran infeksi. Ruangan ini berada mulai dari dasar tengkorak hingga ke medistinum dan menerima kontribusi dari seluruh tiga lapisan fascia profunda dan dapat menjadi tempat infeksi sekunder yang menyebar langsung dari ruang-ruang lain di leher (Bailey, 2006).

• Ruang suprahioid

Ruang yang berada di atas tulang hioid antara lain adalah ruang submandibular, ruang parafaring, ruang peritonsil, ruang mastikator, ruang temporal dan ruang parotis. Ruang submandibular dibatasi di anterior dan lateral oleh mandibula, bagian superior oleh mukosa lingual dan di postero-inferior oleh hioid serta lapisan superfisial fascia servikalis profunda dibagian inferior (Bailey, 2006).

Ruang parafaring, disebut juga ruang faringomaksila, ruang perifaring atau ruang faring lateral. Digambarkan berbentuk corong terbalik dengan dasarnya berada di dasar tengkorak dan apeksnya di hioid. Ruang parafaring berhubungan dengan beberapa ruang leher dalam termasuk submandibular, retrofaringeal, ruang parotis dan ruang mastikator. Hal ini memiliki implikasi klinis penting dalam penyebaran infeksi di ruang-ruang leher (Ballenger, 1997).

Ruang parafaring kemudian dibagi oleh prosessus styloid menjadi kompartemen anterior, muskuler, atau prestyloid serta kompartemen posterior neuro vaskuler atau poststyloid. Ruang prestyloid berisi lemak, otot, kelenjar limfe, dan jaringan konektif serta dibatasi oleh fossa tonsilar dimedial dan pterygoid medial disebelah lateral (Ballenger, 1997).

Ruang poststyloid berisi carotid sheath dan saraf kranialis IX, X, XII.

Aponeurosis stylopharingeal zuckerkandel dan testus dibentuk oleh perpotongan antara fascia alar, buccoparyngeal dan stylomuscular fascia

yangbertindak sebagai penghalang penyebaran infeksi dari kompartemen

prestyloid ke poststyloid (Bailey, 2006).

(24)

jaringan ikat longgar terutama yang dekat dengan palatum mole yang menjelaskan mengapa mayoritas abses peritonsil berlokasi di pole posterior dari tonsil (Ballenger, 1997).

Ruang mastikator dibentuk oleh lapisan superfisial dari fascia servikalis profunda dan membungkus masseter dibagian lateral dan m. pterigoid di medial. Ruang mastikator berhubungan langsung dengan ruang temporal di bagian superior di bawah zigoma (Raharjo SP,2013).

Ruang temporal dibatasi di lateral oleh lapisan superfisial fasia servikalis yang melekat ke zigoma dan temporal ridge serta batas medialnya adalah periosteum tulang temporal. Ruang ini dibagi menjadi ruang superfisial dan profunda oleh m. Temporalis (Bailey, 2006).

Ruang parotid, selain berisi kelenjar parotis juga kelenjar limfe parotis, n. fasialis dan vena fasialis posterior. Lapisan pembungkus memiliki bagian paling lemah di permukaan supero-medial menyebabkan adanya hubungan langsung ruangan ini dengan ruang parafaring (Ballenger, 1997; Surarso, 2011).

• Ruang infrahioid

Ruang potensial yang ada di bawah tulang hioid adalah ruang visceral anterior. Area ini dibungkus oleh lapisan media dari fasia servikalis profunda dan mengandung kelenjar tiroid, esofagus dan trakea. Ruang potensial ini mulai dari kartilago tiroid hingga ke anterior dari mediastinum superior dan arkus aorta (Ballenger, 1997; Surarso, 2011)

2.13. Kekerapan

Lee dan kawan-kawan (2007) melaporkan 158 kasus infeksi leher dalam dari tahun 1995-2004. Ditemukan 89 penderita laki-laki dan 69 penderita perempuan. Usia penderita mulai dari 1-89 tahun dengan nilai umur rata-rata 35,4 tahun.

(25)

29%, abses submandibula 35%, parafaring 20%, mastikator 13%, peritonsil 9%, sublingual 7%, parotis 3%, infra hyoid 26%, retrofaring 13%, dan ruang karotis 11%.

Di bagian THT-KL Rumah Sakit dr. M. Djamil Padang (Oktober 2009- September 2010) didapatkan 33 penderita infeksi leher dalam, abses peritonsil 11 penderita, abses submandibula 9 penderita, abses parafaring 6 penderita, abses retrofaring 4 penderita, abses mastikator 3 penderita, abses pretrakea 1 penderita.

2.14. Kerangka konsep

Etiologi Umur

Jenis Kelamin

Infeksi Leher Dalam

Peritonsil Retrofaring Parafaring Submandibula

Keluhan Utama Gejala Klinis Lokasi Mikrobiologi Radiologi

Penatalaksanaan

Komplikasi Tanpa Komplikasi

Gambar

Gambar 2. Daerah parafaring dari potongan axial (Bailey, 2006)
Gambar 4. Ruang-ruang potensial di daerah leher (Bailey, 2006)

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Tujuan utama suatu perusahaan adalah memperoleh laba semaksimal mungkin, sehingga dalam operasinya perlu dibuat laporan keuangan dan dalam laporan keuangan tersebut terdiri

[r]

Dalam perpajakan di Indonesia menganut sistem self assessment yang berarti bahwa wajib pajak diberi kepercayaan dan tanggung jawab menghitung, memperhitungkan, membayar dan

Pada penulisan Ilmiah ini penulis membahas pembuatan Aplikasi Multimedia Tentang Iklan Layanan Masyarakat Dengan Tema âBahaya Merokokâ Menggunakan Macromedia Flash MX sebagai

Hasil dari penelitian ini adalah pada konsentrasi filtrat jeruk nipis 0% didapatkan kadar protein 10.68%, konsentrasi 50% sebesar 8.50%, dan konsentrasi 75% sebesar

Hal ini terbukti dengan, manajemen strategis yang ada dapat di uji dengan metode yang disediakan dalam perencanaan sistem informasi strategis baik meliputi: analisis

Lebih lanjut, pelatihan pengelolaan perpustakaan ini berguna untuk pencerahan atau solusi jangka pendek apa yang harus dilakukan oleh pengelola perpustakaan dalam