• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Evaluasi Implementasi Program Sekolah Dasar Standar Nasional (SDSN) Di Sekolah Dasar Negeri 1 Ngadirejo Kabupaten Temanggung

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "BAB II LANDASAN TEORI - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Evaluasi Implementasi Program Sekolah Dasar Standar Nasional (SDSN) Di Sekolah Dasar Negeri 1 Ngadirejo Kabupaten Temanggung"

Copied!
36
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

LANDASAN TEORI

2.1 Evaluasi Program

2.1.1 Teori Evaluasi Program

Evaluasi berasal dari kata evaluation (bahasa Inggris) yang kemudian kata tersebut diserap ke dalam perbendaharaan istilah bahasa Indonesia menjadi “evaluasi” dengan tujuan mempertahankan kata aslinya dengan sedikit penyesuaian lafal. Arikunto dan Jabar (2008) mengemukakan bahwa evaluasi adalah kegiatan untuk mengumpulkan informasi tentang bekerjanya sesuatu, yang selanjutnya informasi tersebut digunakan untuk menentukan alternatif yang tepat dalam sebuah keputusan.

Tyler mengemukakan bahwa evaluasi ialah proses yang menentukan sampai sejauh mana tujuan pendidikan dapat dicapai. Sedangkan Maclcolm, Provus mendefinisikan evaluasi sebagai perbedaan apa yang ada dengan suatu standar untuk mengetahui apakah ada selisih. (Tayibnapis, 2008)

Wirawan (2011) mengemukakan bawa evaluasi sebagai riset untuk mengumpulkan, menganalisis, dan menyajikan informasi yang bermanfaat mengenai objek evaluasi, menilainya dengan membandingkannya dengan indikator evaluasi dan hasilnya dipergunakan untuk mengambil keputusan mengenai objek evaluasi.

(2)

Evaluasi program adalah suatu rangkaian kegiatan yang dilakukan dengan sengaja untuk melihat tingkat keberhasilan program. Ada beberapa pengertian tentang program sendiri. Dalam kamus (a) program adalah rencana, (b) program adalah kegiatan yang dilakukan dengan seksama. Melakukan evaluasi program adalah kegiatan yang dimaksudkan untuk mengetahui seberapa tinggi tingkat keberhasilan dari kegiatan yang direncanakan (Arikunto, 1993).

Menurut Tyler yang dikutip oleh Arikunto dan Jabar (2008), evaluasi program adalah proses untuk mengetahui apakah tujuan pendidikan telah terealisasikan. Selanjutnya menurut Cronbach dan Stufflebeam evaluasi program adalah upaya menyediakan informasi untuk disampaikan kepada pengambil keputusan.

Definisi evaluasi program menurut (Wirawan, 2011) adalah metode-metode sistematik untuk mengumpulkan, menganalisis, dan memakai informasi untuk menjawab pertanyaan dasar mengenai program. Arikunto dan Jabar (2008), menjelaskan bahwa terdapat perbedaan yang mencolok antara penelitian dan evaluasi program adalah sebagai berikut:

1. Dalam kegiatan penelitian, peneliti ingin mengetahui gambaran tentang sesuatu kemudian hasilnya dideskripsikan, sedangkan dalam evaluasi program pelaksanan ingin mengetahui seberapa tinggi mutu atau kondisi sesuatu sebagai hasil pelaksanaan program, setelah data yang terkumpul dibandingkan dengan kriteria atau standar tertentu. 2. Dalam kegiatan penelitian, peneliti dituntut oleh

(3)

Dari beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa evaluasi program merupakan proses pengumpulan dan analisis data atau informasi yang ilmiah, untuk mengetahui apakah tujuan program telah terealisasi yang hasilnya dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan bagi pengambil keputusan dalam menentukan alternatif kebijakan.

2.1.2 Ciri-ciri dan persyaratan evaluasi program

Menurut Arikunto dan Jabar (2008) evaluasi program memiliki cirri-ciri dan persyaratan sebagai berikut :

A. Proses kegiatan penelitian tidak menyimpang dari kaidah-kaidah yang berlaku bagi penelitian pada umumnya;

B. Dalam melaksanakan evaluasi, peneliti harus berpikir secara sistematis yaitu memandang program yang diteliti sebagai sebuah kesatuan yang terdiri dari beberapa komponen atau unsur yang saling berkaitan satu sama lain dalam menunjang keberhasilan kinerja dari objek yang dievaluasi; C. Agar dapat mengetahui secara rinci kondisi dari

objek yang dievaluasi, perlu adanya identifikasi komponen yang berkedudukan sebagai faktor penentu bagi keberhasilan program;

D. Menggunakan standar, kriteria, atau tolak ukur sebagai perbandingan dalam menentukan kondisi nyata dari data yang diperoleh dan untuk mengambil kesimpulan;

E. Kesimpulan atau hasil penelitian digunakan sebagai masukan atau rekomendasi bagi sebuah kebijakan atau rencana program yang telah ditentukan. Dengan kata lain, dalam melakukan kegiatan evaluasi program peneliti harus berkiblat pada tujuan program kegiatan sebagai standar, kriteria, atau tolak ukur;

(4)

terlaksana, maka perlu ada identifikasi komponen yang dilanjutkan dengan identifikasi subkomponen, sampai pada indikator program yang dievaluasi; G. Standar, kriteria, atau tolak ukur ditetapkan pada

indikator yaitu bagian yang paling kecil dari program agar dapat dengan cermat diketahui letak kelemahan dari proses kegiatan;

H. Dari hasil penelitian harus dapat disusun sebuah rekomendasi secara rinci dan akuran sehingga dapat ditentukan tindak lanjut secara tepat.

2.1.3 Tujuan Evaluasi Program

Tujuan dari pelaksanaan evaluasi program menurut Wirawan (2011) adalah: 1) mengukur pengaruh program yang dilaksanakan terhadap masyarakat, 2) Mengukur apakah program telah dilaksanakan sesuai dengan rencana, 3) Mengukur apakah pelaksanaan program sesuai dengan standar, 4) Untuk mengidentifikasi dan menemukan mana dimensi program yang jalan dan mana yang tidak jalan, 5)Pengembangan staf program, 6)Akreditasi program, 7) Mengukur cost effectiveness dan cost efficiency, 8) Mengambil keputusan mengenai program, 9) Accountabilitas, 10) Memberikan balikan pada kepada pimpinan dan staf program.

Menurut Endang Mulyatiningsih (2011), evaluasi program dilakukan dengan tujuan untuk : 1) Menunjukkan sumbangan program terhadap pencapaian tujuan organisasi. Hasil evaluasi ini penting untuk mengembangkan program yang sama ditempat lain, 2) Mengambil keputusan tentang keberlanjutan sebuah program, apakah program perlu diteruskan, diperbaiki atau dihentikan.

(5)

Dari beberapa pendapat para ahli di atas dapat disimpulkan bahwa tujuan dari evaluasi program adalah mengumpulkan informasi yang akurat untuk menilai proses pelaksanaan program, menilai hasil yang telah dicapai program, menilai tingkat kebermanfaatan program sehingga dapat diperoleh upaya tindak lanjut untuk memperbaikinya.

2.1.4 Model-Model Evaluasi Program

Kaufman dan Thomas dalam bukunya Arikunto (2008) membedakan model evaluasi menjadi 8, yaitu : A. Model Evaluasi Berbasis Tujuan

Model evaluasi berbasis tujuan dalam bahasa inggris disebut Goal Based Evaluation Model atau

Objective Oriented Evaluation atau Objective-Referenced

Evaluation Model atau Objective Oriented Approach atau

Behavioural Objective Approuch, merupakan model

evaluasi tertua yang dikembangkan oleh Ralph W. Tyler. (Wirawan, 2011).

Objek pengamatan pada model evaluasi berbasis tujuan Menurut Arikunto dan Jabar (2008) adalah tujuan dari program yang sudah ditetapkan jauh sebelum program dimulai. Evaluasi dilakukan secara berkesinambungan, terus menerus, mengecek seberapa jauh tujuan tersebut sudah terlaksana di dalam proses pelaksanaan program.

Wirawan, (2011) mengemukakan bahwa model evaluasi berbasis tujuan secara umum mengukur apakan tujuan yang ditetapkan dalam kebijakan, program atau proyek dapat tercapai atau tidak. Model evaluasi ini memfokuskan pada mengumpulkan informasi yang tertujuan mengukur pencapaian tujuan

kebijakan, program dan proyek untuk

(6)

Wirawan, (2011) menyatakan bahwa model evaluasi berbasis tujuan dirancang dan dilaksanakan dengan proses sebagai berikut :

1. Mengidentifikasi tujuan. Mengidentifikasi dan mendefinisikan tujuan atau objektif intervensi, layanan dari program yang tercantum dalam rencana program. Objektif program kemudian dirumuskan dalam indikator-indikator kuantitas dan kualitas yang dapat diukur.

2. Merumuskan tujuan menjadi indikator-indikator. Evaluator merumuskan tujuan program menjadi indikator-indikator kuantitatif dan kualitatif yang dapat diukur. Indikator-indikator ini dirumuskan dalam pertanyaan evaluasi yang harus diukur dalam evaluasi. 3. Mengembangkan metode dan instrumen untuk

menjaring data. Evaluator menentukan apakah akan menggunakan metode kuantitatif atau kualitatif atau campuran. Mengembangkan instrument untuk menjaring data. Jenis instrument tergantung pada metode yang dipergunakan.

4. Memastikan program telah berakhir dalam mencapai tujuan. Layanan, intervensi dari program telah dilaksanakan dan ada indikator mencapai pencapaian tujuan, pengaruh atau perubahan yang diharapkan.

(7)

6. Kesimpulan. Mengukur hasil pencapaian program, atau pengaruh intervensi atau perubahan yang diharapkan dari pelaksanaan program dan membandingkan dengan objektif yang direncanakan dalam rencana program untuk menentukan apakah terjadi ketimpangan. Hasilnya salah satu dari berikut :

a.Program dapat mencapai objektifnya sepenuhnya

b.Program dapat mencapai sebagian objektifnya antara 50 % - 99,9 %

c. Program mencapai objektifnya di bawah 50 % d.Program gagal mencapai objektifnya.

7. Mengambil keputusan mengenai program. Keputusan dapat berupa :

a.Jika program dapat mencapai tujuannya sepenuhnya, mungkin program dilanjutkan atau dilaksanakan di daerah lain jika sebelumnya hanya dilakukan di daerah tertentu.

b.Dapat juga terjadi jika program berhasil sepenuhnya dan masyarakat yang dilayanai tidak memerlukan lagi layanan program maka dihentikan.

(8)

Proses rancangan dan pelaksanaan Model Evaluasi Berbasis Tujuan ini dapat dilihat pada Gambar 2.1 di bawah ini :

Gambar 2.1 Proses Model Evaluasi Berbasis Tujuan

Goal Based Evaluation Model mempunyai

keunggulan jika dibandingkan dengan model evaluasi lainnya, keunggulan tersebut antara lain :

a. Demokratis. Tujuan, layanan atau intervensi program merupakan hasil keputusan formal dari lembaga negara yang dipilih secara demokratis. Program tersebut disusun dan dilaksanakan sehingga merupakan perintah dari undang-undang yang merupakan keputusan dari lembaga formal pembuat undang-undang (legislatif dan eksekutif) atau keputusan pemerintah. Program juga dapat merupakan hasil delegasi pengambilan keputusan 3. Mengembangkan desain dan

instrument evaluasi

1. Tujuan Program : layanan & intervensi

2. Evaluator merumuskan tujuan menjadi indikator kuantitatif dan kualitatif yang dapat diukur

4. Evaluator memastikan aktivitas program telah berakhir

5. Menjaring dan mengana-lisis data/informasi pen-capaian indikator-indikator tujuan 6. Kesimpulan :

- Tujuan tercapai

- Tujuan tercapai sebagian - Tujuan tidak tercapai 7. Keputusan pemanfaatan hasil

(9)

ke lembaga pemerintah lebih rendah atau pemerintah daerah. Objektif, layanan, dan intervensi program ditujukan untuk anggota masyarakat bukan untuk pengambil keputusan sendiri atau untuk evaluator.

b. Inparsial. Evaluasi merupakan bagain dari riset sosial yang bersifat imparsial tidak memihak. Tugas evaluator adalah mengumpulkan data dan informasi secara objektif mengenai pencapaian tujuan apakah tujuan telah tercapai, apakah layanan dan intervensi program memuaskan mereka yang seharusnya mendapatkan layanan dan para pemangku kepentingan lainnya.

c. Sederhana. Proses merancang dan melaksanakan model evaluasi berbasis tujuan mudah merancang dan melaksanakannya. Biayanya murah dan waktunya singkat.

Goal Based Evaluation Model mempunyai

kelemahan sebagai berikut :

a. Tujuan tidak mudah dipahami. Sering tujuan program tidak mudah dipahami : terdiri dari sejumlah tujuan yang terpisah atau dapat bertentangan satu sama lain, tujuan ambigius, dan dapat juga terjadi tujuan program tidak tegas. Dalam situasi seperti ini evaluator harus jeli, teliti, dan hati-hati dalam mengidentifikasi dan merumuskan tujuan program. Kekeliruan evaluator dalam mengidentifikasi dan menganalisis tujuan akan menyebabkan kekeliruan keseluruhan evaluasi.

(10)

program yang waktunya jangka panjang. Dalam kaitan ini dalam mengevaluasi program, evaluator juga harus menilai apakan tujuan program masih relevan atau perlu dilakukan perubahan.

c. Efek samping dari tujuan. Ketika aktivitas program dilaksanakan untuk merealisasi tujuan dapat terjadi pengaruh, akibatnya atau hasil yang diluar tujuan atau yang malampaui tujuan program yang ditetapkan. Program dapat menimbulkan efek samping yang negativ atau efek sekunder lain yang positif. Jika evaluator hanya mengukur tujuan program, maka efek samping tidak akan terdeteksi. d. Tujuan tersembunyi dari pengambil kebijakan.

Sering pengambil keputusan mempunyai tujuan tersembunyi ketika menyusun suatu program. Dengan kata lain tujuan program merupakan tujuan antara dari pengambil kebijakan.

B. Model Evaluasi Bebas Tujuan

Menurut Michael Scriven model evaluasi ini merupakan evaluasi mengenai pengaruh yang sesungguhnya, obyektif yang ingin dicapai program (Wirawan, 2011). Evaluator seharusnya tidak mengetahui tujuan program sebelum melakukan evaluasi.

Yang perlu diperhatikan dalam program tersebut adalah bagaimana kerjanya program dengan jalan mengidentifikasi penampilan-penampilan yang terjadi baik hal-hal yang positif (yang diharapkan) maupun hal-hal negatif (yang sebetulnya tidak diharapkan) (Arikunto,2008).

(11)

C. Model Evaluasi Formatif dan Sumatif

Model evaluasi formatif dan sumatif diperkenalkan oleh Michael Scriven. Evaluasi ini mulai dilakukan ketika kebijakan, program atau proyek mulai dilaksanakan (evaluasi formatif) dan sampai akhir pelaksanaan program (evaluasi sumatif). (Wirawan, 2011). Tujuan evaluasi formatif adalah mengetahui seberapa jauh program yang dirancang dapat berlangsung serta untuk mengidentifikasi hambatan sehingga dapat dilaksanakan pengambilan keputusan untuk mengadakan perbaikan yang mendukung pencapaian tujuan program. Tujuan dari evaluasi sumatif adalah untuk mengukur ketercapaian program. (Arikunto, 2008).

Wirawan (2011) mengemukakan bahwa evaluasi sumatif berupaya mengukur indikator-indikator tertentu, diantaranya adalah hasil dan pengaruh layanan program; mengukur persepsi klien mengenai layanan dan intervensi program; menentukan cost

effectiveness, cost efficiency, dan cost benefit program

evaluasi sumatif; ,menentukan sukses keseluruhan pelaksanaan program; menentukan apakah tujuan umum dan tujuan khusus program telah tercapai; menentukan apakah klien mendapatkan manfaat dari program; menentukan komponen yang mana yang paling efektif dalam program; menentukan keluaran yang tidak diantisipasi dari program; menentukan cost

dan benefit program; mengomunikasikan temuan

evaluasi kepada para pemangku kepentingan; dan mengambil keputusan apakah program harus dihentikan, dikembangkan, dihentikan atau dilaksanakan ditempat lain.

D. Countenance Evaluation Model

(12)

context), (2) transaksi (transaction/ process) dan (3) keluaran (output-outcomes) (Arikunto, 2008).

E. CSE-UCLA Evaluation Model

CSE merupakan singkatan dari Center for the

Study of Evaluation, sedangkan UCLA merupakan

singkatan dari University of California in Los Angeles. Ciri dari evaluasi model CSE-UCLA adalah adanya lima tahap yang dilakukan dalam evaluasi yaitu perencanaan, pengembangan, implementasi, hasil dan dampak. Fernandes dalam Arikunto (2008) menjelaskan tentang model CSE-UCLA menjadi empat tahap, yaitu needs assessment, program planning,

formative evaluation dan summative evaluation.

Pada tahap needs assessment evaluator memusatkan perhatian pada penentuan masalah. Pada tahap ini evaluator mengidentifikasi hal-hal apa saja yang perlu dipertimbangkan sehubungan sengan keberadaan program, kebutuhan apa yang terpenuhi sehubungan dengan adanya pelaksanaan program serta tujuan jangka panjang yang akan dicapai melalui program ini. Tahap program planning evaluator mengumpulkan data yang terkait langsung dengan pembelajaran dan mengarah pada pemenuhan kebutuhan yang telah diidentifikasi pada tahap pertama. Tahap formative evaluation, evaluator memusatkan perhatian pada pelaksanaan program. Tahap terakhir adalah summative evaluation dimana para evaluator diharapkan dapat mengumpulkan semua data tentang hasil dan dampak dari program (Arikunto, 2008).

F. CIPP Evaluation Model

(13)

evaluasi, yaitu evaluasi konteks (context evaluation), evaluasi masukan (input evaluation), evaluasi proses

(process evaluation) dan evaluasi produk (product

evaluation).

Evaluasi konteks untuk menjawab pertanyaan apa yang perlu dilakukan. Evaluasi ini mengidentifikasi dan menilai kebutuhan-kebutuhan yang mendasari disusunnya suatu program.

Evaluasi masukan untuk mencari jawaban atas pertanyaan apa yang harus dilakukan, evaluasi ini mengidentifikasikan problem, asset, dan peluang untuk membantu para pengambil keputusan mendefinisikan tujuan, prioritas-prioritas, dan membantu kelompok-kelompok lebih luas pemakaian untuk menilai tujuan, prioritas, dan manfaat-manfaat dari program, menilai pendekatan alternatif, rencana tindakan, rencana staf, dan anggaran untuk feasibilitas dan potensi cost

effectiveness untuk memenuhi kebutuhan dan tujuan

yang ditargetkan.

Evaluasi proses berupaya untuk mencari jawaban atas pertanyaan apakah program sedang dilaksanakan. Evaluasi ini berupaya mengakses pelaksanaan dari rencana untuk membantu staf program melaksanakan aktivitas dan kemudian membantu kelompok pemakai yang lebih luas menilai program dan menginterpretasikan manfaat.

Evaluasi produk diarahkan untuk mencari jawaban pertanyaan Did it succed. Evaluasi ini berupaya mengidentifikasi dan mengakses keluaran dan manfaat baik yang direncanakan maupun tidak, baik jangka pendek maupun jangka panjang (Wirawan, 2011).

G. Discrepancy Evaluation Model

(14)

besarnya kesenjangan yang ada di setiap komponen atau mengukur adanya perbedaan antara yang seharusnya dicapai dengan yang sudah riil dicapai (Arikunto,2008).

Wirawan (2011) mengemukakan enam langkah untuk melaksanakan model evaluasi ketimpangan, yaitu :

1. Mengembangkan suatu disain dan standar-standar yang menspesifikasi karakteristik-karakteristik implementasi ideal dari evaluand (objek evaluasi) : kebijakan, program atau proyek.

2. Merencanakan evaluasi menggunakan model evaluasi diskrepensi. Menentukan informasi yang diperlukan untuk membandingkan implementasi yang sesungguhnya dengan standar yang mendefinisikan kinerja objek evaluasi.

3. Menjaring kinerja objek evaluasi yang meliputi pelaksanaan progam, hasil-hasil kuantitatif dan kualitatif.

4. Mengidentifikasi ketimpangan-ketimpangan

(discrepancies) antara standar-standar dengan

pelaksanaan dengan hasil-hasil pelaksanaan objek evaluasi yang sesungguhnya dengan menentukan rasio ketimpangan.

5. Menentukan penyebab ketimpangan antara standar dengan kinerja objek evaluasi.

(15)

Gambar 2.2

Langkah-langkah Gap Analisis

Sumber : Wirawan, 2011

Dalam model ini ketimpangan-ketimpangan ditentukan melalui mempelajari tiga aspek dari program yaitu masukan, proses, dan keluaran pada tingkat-tingkat pengembangan program (Wirawan, 2011) :

1) Definisi program yang memfokuskan pada desain dan sifat daripada proyek, termasuk objektif, siswa, staf, aktivitas dan sebagainya.

2) Implementasi program

3) Proses program, yang difokuskan pada tingkat formatif dimana objektif sedang dicapai

4) Produk program atau pertandingan final outcome

dengan standar atau ojektif.

Karakteristik dari model ini adalah membandingkan data actual yang diperoleh dengan criteria program (standard) untuk mencari tahu di mana letak kesenjangan (Discrepancy). Kemudian kesenjangan tersebut digunakan sebagai dasar untuk mengambil keputusan tentang kondisi aspek program yang diteliti (Fitzpatrick dkk dalam Yasik, 2013).

1. Mengembangkan desain & standar program

2. Merencanakan evaluasi menggunakan model evaluasi ketimpangan

3. Menjaring data mengenai kinerja program

4. Mengidentifikasi

ketimpangan antara kinerja dengan standar 5. Menentukan alasan

penyebab ketimpangan 6. Menyusun aktivitas untuk

menghilangkan

(16)

Pada tahap design, yaitu tahap pertama dilakukan identifikasi dan merumuskan criteria sumber daya program. (Alkin dan Christie dalam Yasik, 2013). Tahap kedua adalah tahap installation, yaitu tahap yang dimaksudkan untuk melihat apakah input sudah sebangun dengan criteria program (Nyre dan Rose dalam Yasik, 2013). Tahap ketiga adalah tahap process

dimana tahap ini dimaksudkan untuk menilai dan membandingkan aspek process pada kondisi aktual dengan kriteria program (Suciptoardi dalam Yasik, 2013). Tahap terakhir dari model ini adalah tahap

product, evaluasi pada tahap ini difokuskan untuk

membandingkan output program antara kondisi aktual dengan kriteria yang telah disepakati pada tahap desain (Wirawan, 2011).

Pendapat di atas juga diperjelas oleh Clare Rose & Glenn F Nyre, (1977) dalam bukunya The Practice of

Evaluation mengemukakan bahwa evaluasi model

ketimpangan Malcolm Provus memiliki tahapapan pengembangan sebagai berikut :

The first stage focuses on the design and refers to the nature of the program, its objectives, students, staff and other resources required for the program, and the actual activities designed to promote attainment of the objectives. The program design that emerges becomes the standard against which the program is compared in the next stage, The second stage, installation

involves determining whether an implemented

program is congruent with its implementation plan. Process is the third stage, in which evaluator serves in a formative role, comparing performance with standards and focusing on the extent to which the interim or enabling objectives have been achieved. The fourth stage, product is concerned with comparing actual attainments against the standards (objectives) derived during stage 1 and noting the discrepancies.

(17)

untuk mengkategorikan kesenjangan, penulis menetapkan empat kategori kesanjangan sebagai berikut :

Tabel 2.1 Kategori Kesenjangan

Presentase Kesenjangan Kategori kesenjangan

0 – 25 Rendah

26 – 50 Sedang

51 – 75 Tinggi

76 – 100 Menyimpang

Dengan mengetahui kesenjangan ini dapat memberikan masukan untuk perbaikan dan peningkatan dalam implementasi SDSN selanjutnya.

2.2 Sekolah Dasar Standar Nasional

2.2.1 Pengertian Sekolah Dasar Standar Nasional Sekolah Dasar Standar Nasional selanjutnya disebut SDSN sebagaimana disebutkan dalam buku Panduan Penyelenggaraan Sekolah Dasar Standar Nasional tahun 2007 adalah Sekolah Dasar/Madrasah Ibtidaiyah yang memenuhi Standar Nasional Pendidikan. Standar-standar tersebut meliputi standar isi, proses, kompetensi lulusan, pendidik dan tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, pembiayaan, dan penilaian.

2.2.2 Tujuan Sekolah Dasar Standar Nasional

(18)

bermartabat; (3) meningkatkan mutu layanan pendidikan di tingkat sekolah dasar.

2.2.3 Proses Penetapan

Dalam penetapan program Sekolah Dasar Standar Nasional ini terdapat beberapa ketentuan yaitu :

A. Persyaratan Umum :

1. Sekolah negeri maupun swasta 2. Terakreditasi B

3. Memenuhi areal tertentu untuk kegiatan upacara dan olah raga serta pengembangan lain ruang penunjang pembelajaran.

Khusus

1. Tingkat kelulusan siswa di atas 95% dan lebih dari 90% melanjutkan ke sekolah yang lebih tinggi.

2. Minimal 50% tenaga kependidikan memenuhi kualifikasi standar pendidik.

3. Pernah menjadi juara tingkat kabupaten/kota atau provinsi atau nasional dalam lomba UKS atau gugus atau lomba sejenis atau termasuk sekolah dasar koalisi nasional/regional.

4. Memiliki laboratorium pendidikan teknologi dasar atau laboratorium bahasa atau laboratorium komputer atau pusat sumber belajar lain.

5. Memiliki potensi untuk berkembang dan berada pada lingkungan pendidikan yang baik.

B. Proses Penetapan 1. Pengajuan Usulan

a. Pengajuan usulan penetapan sekolah dasar standar nasional dapat dilakukan oleh:

1) Kepala Dinas Pendidikan Kab/Kota untuk sekolah negeri.

2) Penyelenggara sekolah bagi sekolah swasta.

(19)

c. Dinas Pendidikan Provinsi menetapkan SDSN di wilayahnya dan melaporkannya kepada Direktur Pembinaan TK dan SD.

2. Penilaian Kelayakan

a. Tim Dinas Pendidikan provinsi melalukan penilaian terhadap semua usulan dengan cara:

1) penilaian dokumen

2) Visitasi ke lokasi calon SDSN

b. Hasil penilaian oleh tim dilaporkan ke Kepala Dinas pendidikan Provinsi berupa rekomendasi layak atau tidak layak dari usulan tersebut.

Penetapan

Kepala Dinas Pendidikan Provinsi membuat keputusan penetapan Sekolah Dasar Standar Nasional atau dasar rekomendasi dari tim.

2.2.4 Implementsi Program

A. Penyusunan Rencana Pengembangan Sekolah (RPS) Pogram sekolah, baik jangka panjang, menengah, pendek. disusun dengan tujuan untuk:

1. Menjamin agar tujuan sekolah yang telah ditetapkan dapat dicapai dengan tingkat kepastian yang tinggi dan resiko yang kecil;

2. Mendukung koordinasi antar stake holder sekolah; 3. Menjamin terciptanya integrasi, sinkronisasi, dan

sinergi baik antar pelaku sekolah, antar sekolah dan pembina pendidikan, dan antar waktu;

4. Menjamin keterkaitan dan konsistensi antara perencanaan, penganggaran, pelaksanaan, dan pengawasan;

5. Mengoptimalkan partisipasi warga sekolah dan masyarakat;

6. Menjamin tercapainya penggunaan sumber daya secara efisien, efektif, berkeadilan dan berkelanjutan.

Dari sisi ketercakupan RPS harus mencakup tiga tema/pilar pembangunan pendidikan nasional, yaitu: 1. Pemerataan kesempatan: persamaan kesempatan,

(20)

perencanaan pemerataan kesempatan misalnya: bea siswa untuk siswa miskin, peningkatan angka melanjutkan, pengurangan angka putus sekolah, penarikan kembali anak putus sekolah.

2. Peningkatan mutu. Mutu pendidikan sekolah meliputi input, proses, dan output, dengan catatan bahwa output sangat ditentukan oleh proses, dan proses sangat dipengaruhi oleh tingkat kesiapan input. Contoh-contoh perencanaan mutu misalnya, pengembangan input siswa, pengembangan pendidik dan tenaga kependidikan (guru, kepala sekolah, pustakawan, tenaga administrasi), pengembangan sarana dan fasilitas sekolah, seperti: pengembangan perpustakaan, pengembangan laboratorium, pengembangan media pembelajaran, pengembangan ruang/kantor, rasio (siswa/guru, siswa/kelas, siswa/sekolah), pengembangan bahan ajar, pengembangan model pembelajaran PAKEM, pembelajaran yang kondusif, pengembangan komite sekolah, peningkatan kualitas siswa (UAS, keterampilan kejuruan, kesenian,

olahraga, karya ilmiah, keagamaan, kedisiplinan, karakter, budi-pekerti, dsb.)

3. Peningkatan relevansi. Relevansi merujuk kepada kesesuaian hasil pendidikan dengan kebutuhan (need), baik kebutuhan peserta didik, kebutuhan keluarga, dan kebutuhan pembangunan yang meliputi berbagai sektor dan sub sektor. Contoh-contoh perencanaan relevansi misalnya: program pendidikan kecakapan hidup yang meliputi kertakes, pendidikan karakter, calistung dan pendidikan teknologi dasar (PTD).

B. Penyusunan RAPBS

(21)

Besar kecilnya RAPBS sangat ditentukan oleh kemampuan kepala sekolah dalam mengelola sekolah dan menggali dana selain dana dari pemerintah. RAPBS disusun dengan tujuan untuk: (1) memberikan arah yang jelas program sekolah; (2) merencanakan kegiatan-kegiatan sekolah di masa yang akan datang; (3) menjamin terciptanya integrasi, sinkronisasi, dan sinergi pendanaan pada kegiatan-kegiatan sekolah; (4) menjamin keterkaitan dan konsistensi antara perencanaan, penganggaran, pelaksanaan, dan pengawasan; (5) mengoptimalkan partisipasi warga sekolah dan masyarakat dalam hal dukungan finansial; dan (6) menjamin tercapainya penggunaan sumber dana secara efisien, efektif, berkeadilan dan berkelanjutan.

C. Pembentukan Tim Pengembang di Sekolah

Sekolah yang ditetapkan sebagai rintisan SDSN, harus melakukan langkah-langkah strategis sebagai persiapan menuju sekolah yang benar-benar memenuhi SNP. Sekolah dapat melakukan analisis SWOT untuk mengetahui potensi kekuatan dan mengetahui kelemahan yang ada, serta untuk mengetahui ancaman dari dalam dan dari luar, dan untuk mengetahui peluang yang ada bagi sekolah. Dari hasil analisis ini sekolah dapat melakukan langkah-langkah untuk mengatasi berbagai kendala, kelemahan, dan ancaman yang timbul, sehingga sekolah mampu menjalankan rintisan SDSN secara baik dan profesional menurut kemampuan dan kondisi masing-masing.

Pada tahap pertama, sekolah melakukan pengembangan berikut: (1) manajemen; (2) kurikulum; (3) proses belajar mengajar; (4) lingkungan sekolah menuju komunitas belajar;(5) kinerja profesional guru; (6) sarana prasarana sekolah; (7) penggalangan partisipasi masyarakat.

1. Pengembangan Manajemen

(22)

pengelolaan satuan pendidikan dilakukan dengan prinsip manajemen berbasis sekolah. Dengan demikian SDSN menerapkan MBS. Melalui Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) aspek dikembangkan, yaitu:

a. kemandirian/otonomi b. kerjasama

c. keterbukaan d. fleksibilitas e. akuntabilitas f. sustainabilitas

Aspek lainnya yang perlu dikembangkan oleh SDSN adalah organisasi dan administrasi. Pengembangan organisasi dan administrasi meliputi perumusan visi, misi dan tujuan sekolah, penyempurnaan struktur organisasi sekolah, perumusan regulasi sekolah serta penataan administrasi sekolah yang efektif dan efisien.

2. Pengembangan Kurikulum Tingkat Sekolah

Sejak dikeluarkannya Permendiknas 22 tahun 2006 tentang standar isi, dan permendiknas no 23 tahun 2006 tentang standar kompetensi lulusan, setiap sekolah dituntut untuk mengembangkan kurikulum tingkat satuan pendidikan. Pengembangan kurikulum SDSN mencakup pengembangan standar kompetensi, tujuan, KTSP, silabus, RPP dan bahan ajar.

3. Pengembangan Inovasi Proses Pembelajaran

Inovasi pembelajaran berhubungan dengan peningkatan mutu pendidikan. SDSN harus mampu melakukan inovasi khususnya dalam pembelajaran, inovasi pembelajaran dilakukan agar proses belajar berjalan efektif.

(23)

tetap bermuara pada peningkatan hasil belajar, baik yang bersifat akademik maupun non akademik.

Inovasi terutama ditujukan pada perubahan model pembelajaran, yaitu agar siswa senang belajar (joyful

learning) dan siswa mempelajari sesuatu kompetensi

yang bermakana bagi dirinya saat ini dan perkembangannya di masa datang (meaningful

learning). Oleh karena ini SDSN perlu mempelajari

berbagai inovasi yang telah dilakukan oleh sekolah inovatif dan kemudian merancang inovasi pembelajaran yang diyakini sesuai dengan karakteristik siswanya maupun lingkungan sekolah. Pengembangan inovasi pembelajaran meliputi :

a. Pengintegrasian Pendidikan Kecakapan Hidup

Pengintegrasian pendidikan kecakapan hidup merupakan salah satu jawaban agar peserta didik mampu menghadapi masalah-masalah keseharian, mandiri dan bersosialisasi dengan lingkungannya sesuai dengan norma-norma yang dianut dalam masyarakatnya. Pendidikan berorientasi kecakapan hidup merupakan pendidikan yang memberi bekal kecakapan hidup yang sifatnya mendasar dan berbasis kepada kebutuhan masyarakat luas. Program pendidikan berorientasi kecakapan hidup pada SD/MI meliputi:

1) Program Pengembangan Kemampuan Baca-Tulis-Hitung (CALISTUNG). Pendekatan kecakapan ini diarahkan pada terutama kelas rendah 1, 2, dan 3. 2) Program keterampilan/prakarya dan Kesenian. Pendekatan ini ditujukan untuk terutama kelas 4, 5, 6 sesuai dengan kebutuhan pembangunan dan

kebutuhan daerah, perkembangan dan

pertumbuhan siswa serta tuntutan kurikulum yang berlaku.

3) Program kecakapan hidup yang bersifat generik

(Generic Life Skill), dengan menitikberatkan pada

(24)

general life skill yang menitikberatkan pada pendidikan karakter dilaksanakan pada pengembangan model.

b. Program Pendidikan Teknologi Dasar (Basic

Technology Education)

Pendidikan Teknologi Dasar (PTD) adalah suatu pendidikan tentang teknologi yang bertujuan meningkatkan kecakapan hidup dalam area-area teknologi yang dilakukan secara sistematis, kreatif dan inovatif serta membentuk pengetahuan yang menjadi dasar bagi pendidikan teknologi selanjutnya. Pendidikan teknologi dasar bertujuan agar peserta didik dapat : (1) membuat karya teknologi sendiri secara kritis dan kreatif melalui proses pemecahan masalah dan kerja tim; (2) menguji karya teknologi yang ada di lingkungannya secara sistematis dan inovatif melalui proses analisis sistem dan kerja tim; (3) menggunakan dan merawat alat, bahan, perabot, bengkel workshop dan lingkungan kerja (workshop) secara benar dan bertanggungjawab; (4) menumbuhkan jiwa kewirausahaan.

c. Pembelajaran Aktif, Kreatif, Efektif, Menyenangkan (PAKEM)

(25)

4. Pengembangan Lingkungan Sekolah Menuju Komunitas Belajar

Pengembangan komunitas belajar di sekolah dapat dimulai dengan menata lingkungan fisik, misalnya melalui program 7 K (kebersihan, ketertiban, keindahan, kerindangan, keamanan, kenyamanan dan kekeluargaan), sehingga nyaman dan kondusif untuk belajar. Bersamaan dengan itu, kebiasaan belajar ditumbuhkan melalui kegiatan membaca, membuat rangkuman, mendiskusikan hasil bacaan dan bahkan membahas fenomena aktual yang terjadi di masyarakat dapat dikaitkan dengan inovasi pembelajaran. Guru dapat menugasi siswa untuk membaca suatu buku yang relevan, kemudian membuat rangkuman. Tugas itu dapat diberikan sebelum topik tersebut dibahas/diterangkan sebagai pemanasan, sehingga saat pembahasan siswa telah siap. Dapat juga ditugaskan sesudah topik dibahas, sebagai pendalaman. Tugas dapat diberikan secara individu maupun kelompok, karena yang dipentingkan adalah membiasakan siswa untuk membaca, membuat rangkuman, berdiskusi dan menampilkan hasil rangkuman kepada umum.

Pola tersebut di atas mampu mendorong tumbuhnya komunitas belajar di sekolah. Guru harus menjadi teladan bagi siswa dalam gemar membaca, mendiskusikan fenomena aktual dengan siswa, menulis rangkuman atau artikel serta memberi komentar, khususnya berupa pujian bagi siswa/kelompok siswa yang giat belajar. Jika sekolah mampu menumbuhkan komunitas belajar di lingkungannya, maka tugas pembelajaran selanjutnya akan mudah, karena semua warga sudah terbiasa untuk belajar.

5. Pengembangan sarana prasarana sekolah

(26)

langsung dengan penyelenggaraan proses pembelajaran, baik buku teks, referensi, modul, media belajar, dan alat peraga pendidikan lainnya.

Selain itu pengembangan SDSN juga diarahkan pemenuhan sarana prasarana sebagai berikut: luas tanah memadai, ruang belajar nyaman dengan rasio ruang : siswa= 1: 28, fasilitas ICT, ruang perpustakaan, ruang laboratorium, ruang serba guna, ruang kesehatan (UKS), ruang praktek, ruang keterampilan, kantin, prasarana olahraga, ruang administrasi, kantor, toilet untuk siswa dan guru, tempat bermain (taman), dan tempat beribadah.

6. Pengembangan kinerja profesional guru

Komitmen kerja guru akan meningkat jika yang bersangkutan merasa dipercaya, mendapat penghargaan dari hasil kerjanya, merasa mendapatkan keadilan di tempat kerja dan mendapatkan tantangan untuk menunjukkan kemampuannya. Oleh karena itu SDSN juga berupaya menciptakan situasi kerja yang memberikan perasaan tersebut pada setiap guru dan tenaga kependidikan lainnya.

Pemberian dorongan untuk melakukan pembaruan atau inovasi, merupakan salah satu cara memberikan kepercayaan, sekaligus tantangan untuk menunjukkan kemampuannya. Guru harus didorong untuk tidak takut gagal. Guru yang bekerja keras atau berhasil harus mendapatkan penghargaan, sehingga dapat membedakan siapa yang kerja keras dan siapa yang tidak, siapa yang berhasil membuat inovasi dan siapa yang tidak. Sentuhan-sentuhan psikologi dan religius diharapkan mampu meningkatkan komitmen kerja. Pelatihan yang bernuansa achievement motivation training (AMT) dan spiritual mampu meningkatkan gairah kerja karyawan.

7. Penggalangan partisipasi masyarakat

(27)

dan alumni guna mendukung program sekolah harus digalang.

Terkait dengan itu, Depdiknas telah menerbitkan Kepmendiknas Nomor 044/U/2002 yang memuat pembentukan Komite sekolah, yang diharapkan berperan sebagai reprentasi stakeholder sekolah dan berfungsi untuk memberi saran/pertimbangan dalam pengambilan kebijakan dan program sekolah, mendukung pelaksanaan program tersebut, menjadi mediator antara sekolah dengan pihak-pihak lain, serta mengontrol pelaksanaan program sekolah.

Penguatan peran serta masyarakat di sekolah dapat ditempuh melalui strategi-strategi yang meliputi : (1) memberdayakan melalui berbagai media komunikasi (media tertulis, pertemuan, kontak langsung secara individual, dan sebagainya); (2) menciptakan dan melaksanakan visi, misi, tujuan, kebijakan, rencana, program, dan pengambilan keputusan bersama; (3) mengupayakan jaminan komitmen sekolah-masyarakat melalui kontrak sosial; (4) mengembangkan model-model partisipasi masyarakat sesuai tingkat kemajuan masyarakat.

(28)

D. Pembinaan

Pembinaan SDSN dilaksanakan oleh berbagai pihak terkait dari pusat dan daerah dalam aspek akademik maupun non akademik, dalam kerangka peningkatan pengelolaan dan kualitas lulusan. Biaya penyelenggaraan SDSN ditanggung oleh pemerintah pusat dan daerah secara proporsional, sedangkan untuk SDSN swasta ditanggung oleh masyarakat dan pengelola sekolah dan dibantu oleh pemerintah pusat maupun daerah atas dasar persyaratan tertentu.

Pembiayaan SDSN harus mempertimbangkan konsistensi dari masyarakat agar keberhasilan pembiayaan dapat dijamin. Dukungan pemerintah pusat terhadap SDSN hanya sebagai perintisan dan selanjutnya biaya operasional menjadi tanggung jawab pemerintah daerah.

2.2.5 Standar Nasional Pendidikan untuk SDSN A. Standar Isi

Standar isi pendidikan adalah mencakup lingkup materi dan tingkat kompetensi untuk mencapai kompetensi lulusan dan jenis pendidikan tertentu. Standar isi memuat krangka dasar dan struktur kurikulum, beban belajar, kurikulum tingkat satuan pendidikan, dan kalender pendidikan/akademik.

B. Standar Proses

(29)

C. Standar Kompetensi Lulusan

Standar kompetensi lulusan pendidikan adalah kualifikasi kemampuan lulusan yang mencakup sikap, pengetahuan dan keterampilan. Standar kompetensi lulusan digunakan sebagai pedoman penilaian dalam penentuan kelulusan peserta didik dari satuan pendidikan. Standar kompetensi lulusan meliputi kompetensi untuk seluruh mata pelajaran atau kelompok mata pelajaran, termasuk kompetensi membaca dan menulis. Kompetensi lulusan mencakup pengetahuan, ketrampilan, dan sikap sesuai dengan Standar Nasional Pendidikan. Standar kompetensi lulusan pada jenjang SDSN diarahkan untuk meletakkan dasar kecerdasan, pengetahuan, kepribadian, akhlak mulia, serta ketrampilan untuk hidup mandiri dan mengikuti pendidikan lebih lanjut.

D. Standar Pendidik dan Tenaga Kependidikan

(30)

Kompetensi pedagogik merupakan kemampuan mengelola pembelajaran peserta didik yang meliputi pemahaman terhadap peserta didik, perancangan dan pelaksanaan pembelajaran, evaluasi hasil belajar, dan

pengembangan peserta didik untuk

mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimilikinya. Kompetensi kepribadian mencerminkan kepribadian yang mantap, stabil, dewasa, arif, dan berwibawa, menjadi teladan bagi peserta didik, dan berakhlak mulia.

Kompetensi professional merupakan panguasaan materi pembelajaran secara luas dan mendalam yang memungkinkannya membimbing peserta didik memenuhi standar kompetensi yang ditetapkan dalam Standar Nasional Pendidikan.

Kompetensi sosial merupakan kemampuan pendidik sebagai bagian dari masyarakat untuk berkomunikasi dan bergaul secara efektif dengan peserta didik, dan masyarakat sekitar. Seseorang yang tidak memiliki ijazah dan/atau sertifikat keahlian tetapi memliki keahlian khusus yang diakui dan diperlukan dapat diangkat menjadi pendidik setelah melewati uji kelayakan dan kesetaraan. Kualifikasi akademik pendidikan minimum untuk pendidik SDSN adalah S1.

Tenaga kependidikan pada SDSN sekurang-kurangnya terdiri atas kepala sekolah, tenaga administrasi, tenaga perpustakaan, tenaga laboratorium, dan tenaga kebersihan sekolah. Persyaratan untuk menjadi kepala SDSN meliputi: berstatus guru SD; memiliki kualifikasi akademik dan kompetensi sebagai agen pembelajaran sesuai dengan ketentuan perundangan yang berlaku; memiliki pengalaman mengajar sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun di SD; dan memiliki kemampuan kepemimpinan dan kewirausahaan di bidang pendidikan.

E. Standar Sarana dan Prasarana

(31)

tempatberolahraga, tempat beribadah, perpustakaan, laboratorium, bengkel kerja,tempat bermain, tempat berkreasi, perabot, alat dan media pendidikan, buku, dansumber belajar lain, yang diperlukan untuk menunjang proses pembelajaran, termasuk penggunaan teknologi informasi dan komunikasi.

F. Stanar Pengelolaan

Standar Pengelolaan pendidikan adalah standar nasional pendidikan yang berkaitan dengan perencanaan, pelaksanan, dan pengawasan kegiatan pendidikan pada tingkat satuan pendidikan, kabupaten/kota, atau nasional agar tercapai efesiensi dan efektivitas penyelenggaraan pendidikan. Pengelolaan satuan pendidikan menjadi tanggung jawab kepala satuan pendidikan. Pengelolaan SDSN menerapkan manajemen berbasis sekolah yang ditunjukan dengan kemandirian, kemitraan, partisipasi, keterbukaan, dan akuntabilitas dalam perencanaan program, penyusunan kurikulum tingkat satuan pendidikan, kegiatan pembelajaran, pendayagunaan tenaga kependidikan, pengelolaan sarana dan prasarana pendidikan, penilaiyan kemajuan hasil belajar, dan pengawasan.

(32)

satuan pendidikan dan hubungan antara warga satuan pendidikan dengan masyarakat.

SDSN dikelola atas dasar rencana pengembangan sekolah (RPS) dan rencana kerja tahunan. Rencana kerja tahunan merupakan penjabaran rinci dari RPS yang merupakan rencana kerja jangka menengah satuan pendidikan yang meliputi masa 4 (empat) tahun. Pengawasan SDSN meliputi pemantauan supervisi, evaluasi, pelaporan, pemeriksaan dan tindak lanjut hasil pengawasan.

G. Standar Pembiayaan

Standar pembiayaan mengatur komponen dan besarnya biaya operasional satuan pendidikan. Pembiayaan SDSN mencakup biaya investasi, biaya operasi dan biaya personal satuan pendidikan.

Biaya investasi SDSN mencakup pembiayaan penyediaan sarana prasarana, pengembangan SDM, dan modal kerja tetap. Biaya operasi satuan pendidikan adalah bagian dari dana pendidikan yang diperlukan untuk membiayai kegiatan operasional satuan pendidikan agar dapat berlangsungnya kegiatan pendidikan yang sesuai standar nasional pendidikan secara teratur dan berkelanjutan. Biaya operasi satuan pendidikan meliputi: gaji pendidik dan tenaga kependidikan serta segala tunjangan yang melekat pada gaji, bahan atau peralatan pendidikan habis pakai, dan biaya operasi pendidikan tak langsung seperti daya, air, jasa telekomunikasi, pemeliharaan sarana dan prasarana, uang lembut, tranportasi, konsumsi, pajak, asuransi, dan lain sebagainya.

Biaya personal SDSN meliputi biaya pendidikan yang harus dikeluarkan oleh peserta didik untuk mengikuti proses pembelajaran secara teratur dan berkelanjutan.

H. Standar Penilaian

(33)

belajar peserta didik. Penilaan hasil belajar peserta didik dilaksanakan sesuai dengan ketentuan Peraturan Menteri No. 20 Tahun 2007.

SDSN melakukan penilaian akhir pada untuk semua mata pelajaran pada kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia, kelompok mata pelajaran kewarganegaraan dan kepribadian, kelompok mata pelajaran estetika, dan kelompok mata pelajaran jasmani, olah raga dan kesehatan sebagai bahan pertimbangan dalam menentukan kelulusan peserta didik dari penilaan akhir mempertimbangkan hasil penilaian akhir satuan pendidikan. Penilaian akhir mempertimbangkan hasil penilaian peserta didik sejak awal hingga akhir masa studi. Ujian sekolah dilakukan untuk semua mata pelajaran kelompok ilmu pengetahuan dan teknologi yang tidak diujikan secara nasional untuk menentukan kelulusan peserta didik.

2.2.6 Indikator Keberhasilan SDSN

Indikator-indikator keberhasilan SDSN secara umum terkait hal:

A. Pengelolaan

1. memiliki RPS dan RAPBS

2. memiliki dokumen kurikulum (silabus, RPP dan bahan ajar) untuk semua mata pelajaran dan semua tingkatan kelas

3. memiliki ruang kelas, ruang kepala sekolah, ruang guru, ruang administrasi, ruang ibadah, kamar kecil yang cukup dan memadai

4. memiliki ruang perpustakaan, ruang laboratorium, ruang multimedia dan ruang serba guna, sarana olah raga / kesenian.

5. memiliki sarana pembelajaran yang memadai dan mencukupi kebutuhan jumlah siswa

6. rasio ruang kelas: siswa = 1:28

7. memiliki tenaga pendidik minimal 50% S1

8. penguasaan kompetensi, 50% guru bersertifikasi kompetensi

(34)

B. Proses Pembelajaran 1. menerapkan MBS

2. menerapkan pendidikan kecakapan hidup, pembelajaran aktif kreatif efektif menyenangkan (PAKEM)

3. menerapkan model pembelajaran

konstruktivisme

4. menerapkan sistem penilaian yang komprehensif 5. menyusun formative TIK dalam pembelajaran

C. Out Put

1. standar ketuntasan belajar minimal 95% (SKBM). 2. nilai UN di atas rata-rata regional.

3. memiliki prestasi di tingkat regional, nasional dan internasional.

4. 90% lulusan melanjutkan ke sekolah yang lebih tinggi.

2.3 Penelitian yang Relevan

(35)

peningkatan peringkat sekolah tingkat Kabupaten semakin baik. Tahun pelajaran 2007/2008 peringkat 18 tingkat kabupaten,2008/2009peringkat16 tingkat kabupaten, dan 2009/2010 peringkat 14 tingkat kabupaten dari75 SMP Negeri. Perolehan nilai rata-rataujian nasional (UN) juga meningkat, tahun pelajaran 2007/2008 sebesar 7.22, 2008/2009 sebesar 7.53, dan tahun 2009/2010 sebesar 7.57.

Yoni (2012) melakukan penelitian mengenai Proses Implementasi Kebijakan Sekolah Standar Nasional Pada Sekolah Dasar di Kabupaten Purbalingga. Hasil temuan dalam penelitian Yoni menunjukkan bahwa implementasi kebijakan Sekolah Dasar Standar Nasional yang telah dilaksanakan di Kabupaten Purbalingga sejak tahun ajaran 2008/2009 belum dilaksanakan secara optimal, masih banyak penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan oleh masing-masing sekolah dan Dinas Pendidikan Kabupaten Purbalingga, diantaranya adalah beberapa SDSN tidak memperhatikan atau mempertahankan bahkan meningkatkan pencapaian standar pendidikan baik dari segi sarana dan prasarana serta mutu pendidikan. Sedangkan kewenangan danfungsi Dinas Pendidikan Kabupaten Purbalingga sebagai pembina atau pengawas implementasi kebijakan SDSN tidak dilaksanakan secara optimal dikarenakan terjadi

overlapping pekerjaan antara implementasi kebijakan

SDSN, dengan kebijakan lain yang harus dilaksanakan oleh Dinas Pendidikan Kabupaten Purbalingga. Faktor-faktor yang mempengaruhi implementasi kebijakan SDSN diantaranya dukungan sumberdaya dalam implementasi kebijakan SDSN masih sangat terbatas.

(36)

implementasi program SSN ditinjau dari komponen proses adalah baik, 4) efektivitas implementasi program SSN ditinjau dari komponen produk adalah cukup, 5) kendala yang dihadapi dalam implementasi program SSN adalah terkait dengan pola pikir dari sebagian

stakeholder yang tidak sungguh-sungguh menyikapi

perubahan kebijakan pemerintah di bidang pendidikan, 6) upaya yang dilakukan dalam mengatasi masalah adalah dengan cara melakukan kerjasama antara sekolah dengan komite, dewan guru, orang tua siswa, dan tokoh masyarakat secara optimal agar seluruh

stakeholder yang ada dapat mengerti dan memahami

Gambar

Gambar 2.1 Proses Model Evaluasi Berbasis Tujuan
Gambar 2.2 Langkah-langkah Gap Analisis
Tabel 2.1 Kategori Kesenjangan

Referensi

Dokumen terkait

The following analysis of the serial’s depiction of M ī r ā ’s childhood is structured around some closely connected themes: Her relationship to her mūrti of K ṛṣṇ a, and

As Rajagopal (2001) has shown, the television serial Ramayana – a wildly popular program based on the eponymous epic screened from January 1987 to July 1988 – is a

Untuk menjaga kualitas dan akuntabilitas, penerbit ilmiah harus memiliki instrumen, baik berupa kriteria, rekomendasi hasil penelaahan dan penilaian naskah, maupun

After The Course I’m Going To Work In France, But I Don’t Know Where

Penyakit Defisiensi "Ca" atau gejala Penyakit Defisiensi "Ca" atau gejala Anak.. Anak--anak anak : rakitis :

[r]

kematangan emosi pada anggota Polisi yang pernah melakukan

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui proses belajar mengajar mata kuliah Jaringan Komputer menggunakan media pembelajaran Packet Tracer 5.0 yang seharusnya dilaksanakan,