• Tidak ada hasil yang ditemukan

Etika dan Profesi Hukum Kode Etik Advoka

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Etika dan Profesi Hukum Kode Etik Advoka"

Copied!
31
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

A.

Latar Belakang

Sebagai bagian dari elemen penegakan hukum, advokat tentu saja memegang peranan penting dalam menegakkan hukum yang adil dan tidak pandang bulu. Advokat berdasarkan yang tertulis dalam Anggaran Dasar Peradi bertanggung jawab untuk menegakkan hukum, memperjuangkan keadilan dan kebenaran, melindungi hak asasi manusia, meningkatkan kesadaran hukum, dan berperan memelopori pembaharuan pembangunan dan pembentukan hukum demi terselenggaranya supremasi hukum.

Akan tetapi, kenyataannya para advokat seringkali tidak dapat menjunjung tinggi idealisme dari profesi advokat itu sendiri. Hal itu bisa terjadi karena adanya faktor di luar dirinya yang begitu kuat atau terkadang juga karena penghayatan advokat yang bersangkutan terhadap esensi profesinya yang kurang.1 Pada prinsipnya, advokat dapat memberikan layanan jasa yang dibagi dalam tiga kategori, yaitu:2

1. Nasihat dalam bentuk lisan maupun tulisan terhadap permasalahan hukum yang dihadapi klien, termasuk membantu merumuskan berbagai jenis dokumen hukum. Dalam kategori ini advokat secara teliti, antara lain memberikan penafsiran terhadap dokumen-dokumen hukum yang bersangkutan dalam kaitannya dengan peraturan perundang-undangan Indonesia ataupun internasional.

2. Membantu melakukan negosiasi atau mediasi. Dalam hal ini advokat harus memahami keinginan klien maupun pihak lawan, tugas utamanya adalah mencapai penyelesaian yang memuaskan para pihak. Kadangkala advokat juga diminta menilai bukti-bukti yang diajukan para pihak, tetapi tujuan utama di sini adalah penyelesaian di luar pengadilan (settlement out of court).

1

Tinjauan Umum Etika Profesi Advokat

(2)

3. Membantu klien di pengadilan baik dalam bidang hukum perdata, hukum pidana, hukum tata usaha negara, ataupun mahkamah konstitusi. Dalam kasus pidana, bantuan dapat diterima ketika klien di Kepolisian dan Kejaksaan.

Intinya tugas advokat atau penasehat hukum adalah untuk memberikan pendapat hukum (legal opinion), serta nasehat hukum (legal advice) dalam rangka menjauhkan klien dari konflik, tetapi di lingkungan peradilan (beracara di Pengadilan) penasehat hukum justru tidak sedikit yang mengajukan atau membela kepentingan kliennya (secara ambisius).3

Oleh karena itu, advokat pada kenyataannya seringkali melakukan segala cara untuk memengangkan kasus kliennya dan melanggar kode etik profesi advokat, seperti melakukan penyuapan pada hakim agar klienya mendapatkan keringanan hukuman, tidak bertingkah laku atau bersikap baik dalam persidangan, dan lain sebagainya.

Kode etik profesi advokat merupakan instrumen penting untuk mencegah advokat melakukan tindakan-tindakan yang tidak etis dan melanggar hukum. Dengan adanya kode etik profesi advokat, diharapkan advokat dapat menyadari akan pentingnya tugas dan kewajiban dari profesi advokat bagi penegakan hukum di Indonesia. Atas dasar inilah, maka pemakalah akan membahas tentang Kode Etik Profesi Advokat.

B.

Rumusan Masalah

Dari latar belakang di atas, terdapat permasalahan yang menarik dan patut untuk dibahas, yakni sebagai berikut:

1. Bagaimana peran, fungsi, dan kewajiban profesi advokat?

2. Bagaimana fakta sejarah organisasi advokat, fungsi dan perannya? 3. Bagaimana aturan mengenai kode etik profesi advokat?

4. Bagaimana acara peradilan malpraktik advokat? 5. Bagaimana aturan mengenai hak imunitas advokat? 6. Bagaimana aturan tentang kerahasiaan klien?

3

(3)

C.

Tujuan Penulisan

Dari rumusan masalah di atas, maka didapat tujuan dari penulisan makalah yakni sebagai berikut:

1. Menganalisis peran, fungsi, dan kewajiban profesi advokat?

2. Menganalisis fakta sejarah organisasi advokat, fungsi dan perannya? 3. Menganalisis aturan mengenai kode etik profesi advokat?

(4)

BAB II

PEMBAHASAN

A.

Pengertian Advokat

Akar kata Advokat, apabila berdasarkan pada kamus latin Indonesia, dapat ditelusuri dari bahasa latin, yaitu advocatus yang berarti antara lain yang membantu seseorang dalam perkara, saksi yang meringankan.4

Secara historis, Advokat termasuk salah satu profesi yang tertua. Dalam perjalanannya, profesi ini dinamai sebagai officium nobile, jabatan yang mulia. Penamaan itu terjadi adalah karena aspek “kepercayaan” dari (pemberi kuasa/klien) yang dijalankannya untuk mempertahankan dan memperjuangkan hak-haknya di forum yang telah ditentukan.5

Advokat merupakan salah satu penegak hukum yang bertugas memberikan bantuan hukum atau jasa hukum kepada masyarakat atau klien yang menghadapi masalah hukum yang keberadaannya sangat dibutuhkan oleh masyarakat. Advokat mengandung tugas, kewajiban, dan tanggung jawab yang luhur baik terhadap diri sendiri, klien, pengadilan dan Tuhan serta demi tegaknya keadilan dan kebenaran. Dalam sumpahnya, advokat bersumpah tidak akan berbuat palsu atau membuat kepalsuan, baik di dalam maupun di luar pengadilan. Sebagai pekerjaan bermartabat Advokat karenanya harus mampu melibatkan diri lebih tinggi dengan aparat penegak hukum. Dasar filosofis, asas-asas, teori-teori dan tentunya norma-norma hukum dan hampir semua aspek harus dikuasai.6

4 Harlen Sinaga V, Dasar-Dasar Profesi Advokat, (Jakarta: Erlangga, 2011), hlm. 2

5 Luhut M.P. Pangaribuan. Advokat dan Contempt of Court Satu Proses di Dewan Kehormatan Profesi. Dalam Amir Syamsuddin. Tanggung Jawab Profesi Dan Etika Advokat. Di http://click-gtg.blogspot.com/2012/05/tanggung-jawab-profesi-dan-etika.html

6

(5)

Profesi Advokat, tidak bisa dijauhkan dari profesi hukum pada umumnya. Keluhuran dari profesi hukum adalah terletak pada karakter dan corak keilmuannya yang langsung menyentuh kebutuhan pokok rohaniah masyarakat (manusia). Karena hukum pada hakekatnya merupakan akal budi yang bermartabat, dan tidak ada masyarakat yang sehat, jika di dalam masyarakat tersebut tidak ditegakkan prinsip hukum dan keadilan. Berbanding lurus dengan karakteristik keilmuannya itu pula, profesi hukum pada hakekatnya merupakan profesi yang prestisius. Sebaliknya profesi ini, karena banyak godaan dan tantangan dapat terjerumus ke lembah nista, manakala diaplikasikan secara tidak bertanggung jawab dan tanpa kendali moral.7

B.

Peran dan Fungsi Advokat

Peran dan fungsi advokat dapat dilihat dalam Undang-Undang Advokat. Dalam pasal 1 ayat (1), ketentuan tentang fungsi dan peran advokat selengkapnya berbunyi sebagai berikut:

Advokat adalah orang yang berprofesi memberikan jasa hukum baik di dalam maupun di luar pengadilan yang memenuhi persyaratan berdasarkan ketentuan Undang-Undang ini.”

Dari definisi di atas dapat diketahui bahwa peran dan fungsi advokat meliputi pekerjaan baik yang dilakukan di pengadilan maupun di luar pengadilan tentang masalah hukum pidana (hukum publik) dan/atau perdata, seperti mendampingi klien dalam tingkat penyelidikan dan penyidikan (di kejaksaan atau kepolisian) atau beracara di muka pengadilan.

Hukum publik diartikan sebagai hukum yang mengatur hubungan antara badan publik dan badan publik atau antara badan publik dan perorangan, yang singkatnya mengatur hubungan negara dan warganya. Sementara itu, hukum perdata diartikan

Indonesia (Indonesia Bar Association). Bumi Hotel Surabaya Jl.Basuki Rahmat 106-128. Surabaya. Jumat, 5 April 2013.

7

(6)

sebagai hukum yang mengatur hak dan kewajiban orang perorangan dan korporasi (governs the rights and duties of private persons and corporations).

Ruang lingkup pekerjaan advokat yang berkaitan dengan pengadilan disebut pekerjaan litigasi, suatu bidang yang lebih dahulu dikerjakan advokat, sehingga orang banyak salah paham bahwa pekerjaan advokat hanya terbatas pada bidang tersebut. Bahkan dikatakan bahwa pekerjaan advokat hanya sepenuhnya berkaitan dengan perkara gugatan, suatu pemahaman yang dapat muncul karena dunia advokat hanya berkaitan dengan perkara perdata.

Namun, dalam perkembangannya sebetulnya masih terdapat banyak pekerjaan advokat di luar bidang litigasi, yang disebut sebagai pekerjaan non-litigasi (non-litigious work), bidang-bidang tersebut adalah:

1. Memberi pelayanan hukum (legal service);

2. Memberi nasihat hukum (legal advice), dengan peran sebagai penasihat hukum (legal adviser);

3. Memberi pendapat hukum (legal opinion);

4. Mempersiapkan dan menyusun kontrak (legal drafting); 5. Memberikan informasi hukum;

6. Membela dan melindungi hak asasi manusia;

7. Memberikan bantuan hukum cuma-cuma (pro bono legal aid) kepada masyarakat yang tidak mampu dan lemah.

Pekerjaan di bidang litigasi di atas memiliki kemiripan dengan pekerjaan advokat di Inggris yang disebut barrister, yang mewakili klien di ruang pengadilan. Sedangkan pekerjaan non-litigasi di Indonesia memiliki kesamaan dengan tugas

solicitor, yaitu bahwa mereka dapat melakukan pekerjaan di bidang hukum tetapi tidak dapat tampil di pengadilan. Agak mirip dengan hal di atas, fungsi advokat di Amerika Serikat dapat dibagi ke dalam tiga jenis:

1. Advokat yang mewakili pekerjaan di pengadilan (lawyers as advocates).

(7)

2. Advokat sebagai penasihat (lawyers as advisors). Sebagai contoh tentang

lawyers as advisors, advokat akan memberikan nasihat kepada kalangan bisnis atas hak dan kewajibannya dan menjelaskan konsekuensi hukum dari keputusan yang diambil, sehingga orang ini disebut juga advokat yang melakukan tindakan hukum prevensi (preventive law);

3. Advokat sebagai juru runding (lawyers as negotiators). Akhirnya, dalam fungsi

lawyers as negotiators, advokat dibekali dengan pelatihan dan pengalaman untuk melakukan tugas-tugasnya secara efektif atas nama klien dalam bidang antara lain kontrak penjualan, sewa-menyewa, real estate, dan kesepakatan perdagangan internasional. Dalam fungsi ini dihindari agar masalah yang ditangani advokat tidak diteruskan ke pengadilan.

Selain semua tugas di atas, peran advokat dapat bersifat futuristik, yang berarti bahwa advokat ikut memikirkan dan memberikan sumbangan dalam strategi pembangunan hukum pada masa yang akan datang. Strategi pembangunan hukum adalah upaya dari kelompok sosial dalam suatu masyarakat untuk mengambil bagian dalam pembentukan, penerapan, dan pelembagaan dalam proses politik. Peran ini disebut sebagai agent of development, yaitu untuk turut serta dalam pembangunan hukum (law development), pembaruan hukum (law reform), dan pembuatan formulasi rumusan hukum (law shaping).

Dalam pembangunan hukum, advokat mendorong dan mengarahkan undang-undang dan perkembangan hukum kebiasaan yang sesuai dengan tuntutan masyarakat yang berkembang ke arah modernisasi. Hal ini dapat dipahami karena hukum merupakan pertumbuhan sejarah yang berkembang dari waktu ke waktu dari tradisi dan kebiasaan masyarakat yang merupakan pencerminan ciri khusus masyarakat yang berinteraksi dengan lingkungan tertentu. Dalam peran ini advokat harus membuka mata terhadap perkembangan di sekitarnya agar mereka dapat menyumbangkan pikirannya dalam pembangunan hukum.

(8)

Akhirnya, dalam pembuatan dan penyusunan formulasi hukum, hukum kebiasaan dalam undang-undang dan hukum kebiasaan yang tegas dan jelas memuat dan menampung asas-asas, norma-norma dan syarat-syarat hukum yang memihak pada yang lemah, melarang penyalahgunaan kekuasaan, melarang perbuatan yang menindas dan sebagainya.

Berdasarkan hal di atas, advokat seharusnya dapat memberikan andil atau berbuat secara konkret dalam menentukan arah perkembangan hukum nasional yang disebut sebagai politik hukum, yang meliputi dua hal. Pertama, pembangunan hukum yang berintikan pembuatan dan pembaruan materi-materi hukum agar dapat sesuai dengan kebutuhan; kedua, pelaksanaan ketentuan hukum yang telah ada, termasuk penegasan fungsi lembaga dan pembinaan para penegak hukum. Hal ini terkait dengan jenis dan peraturan perundang-undangan sesuai dengan pasal 1 Undang-Undang Nomor 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, yang menyatakan bahwa advokat dapat memberikan sumbangan pikiran pembentukan undang-undang sebagai bagian dari hukum.

C.

Kewajiban Advokat dan Larangan Terhadapnya

Profesi advokat yang bebas, mandiri, dan bertanggungjawab, yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat, dalam penyelenggaraan peradilan ialah guna menegakkan hukum dan keadilan. Kemandirian dan kebebasan yang dimiliki oleh profesi advokat, tentu harus diikuti oleh adanya tanggungjawab masing-masing advokat dan Organisasi Profesi yang menaunginya. Ketentuan UU Nomor 18 Tahun 2003 telah memberikan rambu-rambu agar profesi advokat dijalankan sesuai dengan tujuan untuk menegakkan hukum dan keadilan. Undang-undang advokat tersebut memuat landasan pijakan berupa hak dan kewajiban yang melekat pada seorang advokat. Kewajiban advokat yang diatur dalam UU Advokat meliputi:

(9)

2. Advokat tidak dapat diidentikkan dengan kliennya dalam membela perkara klien oleh pihak yang berwenang dan/atau oleh masyarakat.

3. Advokat wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahui atau peroleh dari kliennya karena hubungan profesinya, kecuali ditentukan lain oleh undang-undang.

4. Advokat dilarang memegang jabatan lain yang bertentangan dengan kepentingan tugas dan martabat profesinya.

5. Advokat dilarang memegang jabatan lain yang meminta pengabdian sedemikian rupa sehingga merugikan profesi advokat atau mengurangi kebebasan dan kemerdekaan dalam menjalankan tugas profesinya.

6. Advokat yang menjadi pejabat negara, tidak melaksanakan tugas profesi advokat selama memangku jabatan tersebut.

Undang-Undang Advokat telah memberikan aturan tentang pengawasan, tindakan-tindakan terhadap pelanggaran, dan pemberhentian advokat, yakni ketentuan Pasal 6 Undang-undang Advokat yang menentukan bahwa advokat dapat dikenai tindakan dengan alasan8:

1. Mengabaikan atau menelantarkan kepentingan kliennya;

2. Berbuat atau bertingkah laku yang tidak patut terhadap lawan atau rekan seprofesinya;

3. Bersikap, bertingkah laku, bertutur kata, atau mengeluarkan pernyataan yang menunjukkan sikap tidak hormat terhadap hukum, peraturan perundang-undangan, atau pengadilan;

4. Berbuat hal-hal yang bertentangan dengan kewajiban, kehormatan, atau harkat dan martabat profesinya;

5. Melakukan pelanggaran terhadap peraturan perundangundangan dan atau perbuatan tercela;

6. Melanggar sumpah/janji Advokat dan/atau kode etik profesi Advokat.

8

(10)

Selain ketentuan Undang-undang Advokat di atas, ada juga ketentuan mengenai kewajiban dan larangan terhadap advokat menurut KEAI (Kode Etik Advokat Indonesia), yaitu9:

1. Memelihara rasa solidaritas di antara teman sejawat (pasal 3 huruf d KEAI); 2. Memberikan bantuan hukum kepada teman sejawat yang diduga atau didakwa

suatu perkara pidana baik atas permintaan sendiri maupun karena penunjukan organisasi profesi (pasal 3 huruf c KEAI);

3. Bersikap sopan terhadap semua teman sejawat dan mempertahankan martabat advokat (pasal 4 huruf d KEAI);

4. Dalam menentukan besarnya honorarium, wajib mempertimbangkan kemampuan klien (pasal 4 huruf d KEAI);

5. Memegang rahasia jabatan tentang hal-hal yang diberitahukan oleh klien secara kepercayaaan dan tetap menjaga rahasia tersebut setelah sampai berakhir hubungannya dengan klien (pasal h KEAI);

6. Memberikan surat dan keterangan apabila perkara akan diurus advokat baru dengan memperhatikan hak retensi (pasal 5 huruf f KEAI);

7. Wajib memberikan bantuan hukum cuma-cuma kepada orang yang tidak mampu (pasal 7 huruf h KEAI);

8. Menyampaikan pemberitahuan tentang putusan pengadilan mengenai perkara yang ditangani kepada klien (pasal 7 huruf i KEAI).

Sementara itu, beberapa pelanggaran kode etik advokat yang telah diputus kasusnya oleh Dewan Kehormatan PERADI antara lain ialah seputar hal-hal sebagai berikut:10

1. Merebut klien;

2. Mengurus dua kepentingan yang bertentangan;

3. Mengeluarkan kata-kata kasar, mengidentikkan advokat dengan kliennya; 4. Mengirim tembusan surat secara langsung ke pihak lawan;

5. Mendatangi pihak lawan secara langsung; 6. Menerima suap dari pihak lawan;

9

http://www.peradi.or.id/index.php/profil/detail/5 diakses pada Tanggal 25 Mei 2017.

10

(11)

7. Mengeluarkan pendapat/pernyataan secara tidak proporsional (Nomor Putusan Peradi: 14);

8. Diam-diam menjadi kuasa hukum pihak lawan; 9. Membocorkan rahasia klien;

10.Tidak jujur, tidak adil dan tidak bertanggung jawab; 11.Memberikan keterangan yang menyesatkan;

12.Meminta honor yang tidak pantas; 13.Meninggalkan atau menelantarkan klien; 14.Mencemarkan nama baik;

15.Mengeluarkan pernyataan yang menunjukkan sikap tidak hormat; 16.Mengeluarkan ancaman;

17.Mempengaruhi saksi; 18.Merugikan klien;

19.Melakukan pekerjaan yang konflik kepentingannya demi mencari keuntungan dan publisitas pribadi;

20.Menggunakan surat atau dokumen palsu; 21.Melakukan kekerasan;

22.Memberikan kuasa substitusi kepada orang yang belum qualified; 23.Mengikutsertakan orang yang bukan advokat;

24.Membiarkan kliennya melakukan perbuatan tidak menyenangkan; 25.Memberikan keterangan yang membingungkan klien;

26.Tidak memberikan laporan kepada klien.

Semua bentuk pelanggaran di atas telah diputus berdasarkan Undang-undang Advokat dan peraturan perundang-undangan tentang Kode Etik Profesi Advokat yang sudah dijelaskan sebelumnya.

D.

Pengawasan Terhadap Advokat

(12)

pengawasan sehari-hari dilakukan oleh Komisi Pengawas yang dibentuk oleh Organisasi Advokat. Keanggotaan Komisi Pengawas terdiri atas unsur Advokat senior, para ahli/akademisi, dan masyarakat.

Pasal 12

(1) Pengawasan terhadap Advokat dilakukan oleh Organisasi Advokat.

(2) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan agar Advokat dalam menjalankan profesinya selalu menjunjung tinggi kode etik profesi Advokat dan peraturan perundang-undangan.

Pasal 13

(1) Pelaksanaan pengawasan sehari-hari dilakukan oleh Komisi Pengawas yang dibentuk oleh Organisasi Advokat.

(2) Keanggotaan Komisi Pengawas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas unsur Advokat senior, para ahli/akademisi, dan masyarakat.

(3) Ketentuan mengenai tata cara pengawasan diatur lebih lanjut dengan keputusan Organisasi Advokat.

Pasal 36 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung menetapkan bahwa “Mahkamah Agung dan Pemerintah melakukan pengawasan atas Penasihat Hukum dan Notaris.” Kemudian berdasarkan Pasal 36 ini, dikeluarkan peraturan pelaksana berupa Surat Keputusan Bersama (SKB) antara Ketua Mahkamah Agung dan Menteri Kehakiman Republik Indonesia tanggal 6 Juli 1987 tentang Tata Cara Pengawasan, Penindakan dan Pembelaan Diri Penasihat Hukum yang pada intinya menentukan:

1. Bahwa pelaksanaan pengawasan sehari-hari atas para penasihat hukum dilakukan oleh Ketua Pengadilan Negeri setempat dan selanjutnya secara hierarkis dilakukan oleh Ketua Pengadilan Tinggi, Ketua Mahkamah Agung dan Menteri Kehakiman (ayat (1) Pasal 2);

(13)

lawannya, melakukan contempt of court, berbuat hal-hal yang bertentangan dengan kewajiban profesi dan lain-lain.

Penasihat hukum yang melanggar ketentuan tersebut dikenakan sanksi penindakan oleh Mahkamah Agung dan Pemerintah yang terdapat pada Pasal 4 yaitu:

1. Teguran dengan lisan atau tertulis; 2. Peringatan keras dengan surat;

3. Pemberhentian sementara dari jabatan advokat selama tiga bulan sampai dengan enam bulan;

4. Pemberhentian dari jabatan sebagai advokat (pencabutan ijin praktek sebagai advokat).

Berdasarkan SKB ini, maka advokat selain berada di bawah pengawasan badan yudikatif (Pengadilan Negeri sampai Mahkamah Agung), juga berada di bawah pengawasan badan eksekutif (Pemerintah/Menteri Kehakiman). Loekman Wiriadinata, mantan Menteri Kehakiman RI pernah menyatakan bahwa SKB ini tidak sah dan tidak berlaku untuk umum.11

Pengadilan dan Organisasi Advokat tersebut akan memantau bahkan memaksa agar advokat selalu tunduk pada ketentuan Undang-undang atau berperilaku yang patut dan pantas terhadap kliennya. Karena advokat harus membela klien semaksimal mungkin, advokat harus hati-hati dan tunduk sepenuhnya kepada aturan hukum yang berlaku.

E.

Organisasi Advokat

Di dunia terkenal beberapa bentuk bar association, yakni single bar assoiation

yaitu hanya ada satu organisasi advokat dalam suatu yurisdiksi; multi bar association

yaitu terdapat beberapa organisasi advokat yang berdiri sendiri. Organisasi advokat merupakan instrumen penting untuk profesi advokat. Setidaknya organisasi advokat harus memiliki tujuan untuk meningkatkan kualitas profesi advokat, melaksanakan

11

(14)

pengawasan terhadap advokat agar advokat dapat menjalankan profesinya dengan selalu menjunjung tinggi pelaksanaan kode etik dan peraturan perundang-undangan yang mengatur advokat,12 dan menghukum advokat yang melakukan korupsi yudisial (mafia peradilan).

Organisasi advokat di Indonesia bermula dari masa kolonialisme. Jumlah advokat pada masa itu masih sedikit, advokat hanya ditemukan di kota-kota yang memiliki landraad (pengadilan negeri) dan raad van justitie (dewan pengadilan). Para advokat yang tergabung dalam suatu organisasi advokat disebut balie van advocaten.

Wadah advokat di Indonesia dibentuk pada tanggal 4 Maret 1963 di Jakarta pada saat Seminar Hukum Nasional di Universitas Indonesia, yang diberi nama Persatuan Advokat Indonesia (PAI). Pembentukan wadah atau organisasi advokat di Jakarta tersebut disusul dengan pembentukan organisasi PAI di daerah-daerah.13

Kemudian, dalam Musyawarah I/Kongres Advokat yang berlangsung di Hotel Danau Toba di Solo, pada tanggal 30 Agustus 1964, secara aklamasi diresmikan pendirian Persatuan Advokat Indonesia (PERADI), sebagai pengganti PAI. Semenjak itu PERADIN konsisten mengawal konstitusi, sehingga semua Keppres, Inpres, PP, dan UU yang bertentangan dengan konstitusi diprotes keberadaannya. Karena kiprahnya tersebut, PERADIN sampai disebut I’enfant terrible (si anak nakal). Bahkan pernah dianggap disiden.14 Wadah-wadah profesi advokat setelah PERADIN dibentuk bermunculan di Jakarta, yakni antara lain ialah sebagai berikut:15

1. PUSBADHI (Pusat Bantuan dan Pengabdian Hukum)

2. FOKSO ADVOKAT (Forum Studi dan Komunikasi Advokat) 3. HPHI (Himpunan Penasihat Hukum Indonesia)

4. BHH (Bina Bantuan Hukum) 5. PERNAJA

6. LBH KOSGORO

12

Keputusan Dewan Pimpinan Nasional Perhimpunan Advokat Indonesia Nomor. KEP 504/PERADI/DPN/VIII/2015 tentang Perubahan Pertama Anggaran Dasar Perhimpunan Advokat Indonesia.

13

Lasdin Wlas, Cakrawala Advokat Indonesia, (Yogyakarta: Liberty, 1989), hlm. 89-90 14

Frans Hendra Winarta, Advokasi dengan Hati Nurani, (Jakarta: Komisi Hukum Nasional RI, 2010), hlm. 69

15

(15)

Sebab hal di atas, serta untuk membungkan PERADIN si anak nakal, maka pemerintah ORBA memprakarsai pembentukan wadah tunggal advokat yaitu Ikatan Advokat Indonesia (IKADIN). Pada tahun 1981, Ketua Mahkamah Agung Mudjono, S.H., Menteri Kehakiman Ali Said, S.H., dan Jaksa Agung Ismail Shaleh, S.H., dalam kongres PERADIN di Bandung sepakat untuk membentuk wadah tunggal advokat, yakni IKADIN tersebut.16 Pada akhirnya, IKADIN dibentuk pada tanggal 10 November 1985.17

Meski pemerintah telah membentuk IKADIN, namun PERADIN ternyata tidak pernah dibubarkan. PERADIN hanya masuk dalam kondisi demisioner karena ditinggalkan anggota-anggotanya yang bergabung dalam IKADIN. Anggota PERADIN mencurigai bahwa ada satu rencana diam-diam untuk menempatkan para advokat di bawah kontrol pemerintah. Konsep bottom up yang dijalankan oleh PERADIN menjadi kandas dan diganti dengan konsep top down semenjak didirikannya IKADIN tersebut, sehingga pemerintah menjadi berwenang mengatur advokat dan advokat tidak bebas mengeluarkan aspirasinya untuk Indonesia.18

Pada akhirnya IKADIN tidak dapat bertahan lama, karena tidak ditindaklanjuti secara konsisten oleh pendirinya. Terjadi perpecahan di tubuh IKADIN sebagai akibat dari pengurus IKADIN tidak setuju terhadap beleid (kebijakan) Dewan Pimpinan Pusat IKADIN, puncaknya adalah insiden pada saat berlangsungnya Kongres sekitar tahun 1990 di Hotel Horison.19 Sejak peristiwa di atas, muncul banyak organisasi advokat antara lain ialah:

1. Asosiasi Advokat Indonesia (AAI);

2. Ikatan Penasihat Hukum Indonesia (IPHI);

3. Himpunan Advokat dan Pengacara Indonesia (HAPI); 4. Serikat Pengacara Indonesia (SPA);

5. Himpunan Konsultan Pasar Modal (HKPM);

6. Badan Pembelaan dan Konsultasi Hukum MKGR (BPKH MKGR); 7. Bina Bantuan Hukum (BHH);

16

V. Harlen Sinaga, Dasar-dasar Profesi Advokat, (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2011), hlm. 8 17 Lasdin Wlas, Cakrawala Advokat Indonesia, (Yogyakarta: Liberty, 1989), hlm. 104.

18

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 101/PUU-VII/2009 19

(16)

8. Lembaga Bantuan dan Pengembangan Hukum Kosgoro;

9. Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum Trisula (LKBH Trisula); 10.Lembaga Pelayanan dan Penyuluhan Hukum (LPPH);

11.Perhimpunan Organisasi Pengacara Indonesia; 12.Asosiasi Konsultan Hukum Indonesia (AKHI);

13.Perhimpunan Ahli Hukum Spesialis Indonesia (Pahsindo); 14.Asosiasi Kurator dan Pengurus Indonesia (AKPI);

15.Jakarta Lawyers Club (JLC);

16.Perhimpunan Pengacara Persaingan Usaha (Perhumpus); 17.Perhimpunan Pengacara Kepailitan.

Kemudian pada tanggal 5 April 2003, dibentuklah Undang-undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat. Undang-undang ini dianggap sebagai tonggak sejarah besar dalam dunia hukum, sebab sudah sangat lama dinantikan oleh advokat Indonesia. Biarbagaimana pun, advokat membutuhkan payung hukum dalam melakukan kewajiban dan memperoleh hak-haknya sebagai profesional hukum. Jepang bahkan telah memiliki undang-undang advokat sejak tahun 1949, yang telah diamandemen sebanyak dua puluh kali hingga tahun 1999. Oleh karenanya, evaluasi fungsi dan peran advokat tersebut mestilah dilakukan secara saksama, sebagaimana yang dilakukan negara lain.

1. Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi)

Berdasarkan rumusan Pasal 28 (1) Undang-undang Advokat, pembentukan hanya satu organisasi advokat yang menjadi wadah dari seluruh pengacara, advokat, pengacara praktik, penasihat hukum, dan konsultan hukum menjadi suatu keharusan. Hal ini bertujuan agar organisasi advokat yang berdiri sebelum dibentuknya Undang-undang Advokat dapat diintegrasikan atau disatukan. Dalam Pasal 28 ayat (1) tersebut dinyatakan bahwa:

Organisasi advokat merupakan satu-satunya wadah profesi advokat yang

(17)

anggaran dasar dan anggaran rumah tangga. Pimpinan organisasi advokat tidak dapat dirangkap dengan pimpinan partai politik, baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah.

Berangkat dari aturan di atas, maka organisasi advokat yang terdiri dari beberapa organisasi advokat sepakat untuk membentuk sebuah komite yang akan bertugas untuk membentuk kode etik advokat Indonesia. Kesepakatan advokat tersebut melahirkan sebuah komite yang disebut Komite Kerja Advokat Indonesia (KKAI) yang bertugas membentuk satu kode etik yang akan diberlakukan untuk semua advokat Indonesia. Organisasi advokat yang menandatangani Kode Etik Advokat Indonesia dan sekaligus terlibat dalam Komite Kerja Advokat Indonesia (KKAI) adalah20:

a. Ikatan Advokat Indonesia (IKADIN); b. Asosiasi Advokat Indonesia (AAI);

c. Ikatan Penasihat Hukum Indonesia (HAPI); d. Serikat Pengacara Indonesia (SPI);

e. Himpunan Advokat dan Pengacara Indonesia (HAPI); f. Asosiasi Konsultan Hukum Indonesia (AKHI); g. Himpunan Konsultan Hukum Pasar Modal (HKHM).

Pada tanggal 21 Desember 2004, ketujuh organisasi advokat tersebut di atas ditambah dengan Asosiasi Pengacara Syariah Indonesia (APSI) mengadakan deklarasi pendirian perhimpunan advokat Indonesia (Indonesian Bar Association). Inti dari deklarasi tersebut menyatakan hal-hal sebagai berikut:21

a. Mewakili para advokat Indonesia yang tergabung dalam keorganisasian advokat yang tersebut diatas;

b. Menyatakan sepakat untuk mendirikan organisasi advokat Indonesia dengan nama Perhimpunan Advokat Indonesia;

c. Perhimpunan Advokat Indonesia merupakan satu-satunya wadah profesi advokat yang bebas, mandiri, dan bertanggung jawab berdasarkan Undang-undang Dasar 1945;

20 Supriadi, S.H., M.Hum., Etika dan Tanggung Jawab Profesi Hukum di Indonesia, Cet. Ketiga (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), hlm. 85

21

(18)

d. Hal-hal lain yang berkenaan dengan susunan, tugas, dan wewenang Perhimpunan Advokat Indonesia akan diatur lebih lanjut dalam anggaran dasar dan anggaran rumah tangga.

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 014/PUU-IV/2006 tanggal 27 November 2006 mengatur bahwa Peradi tidak hanya dikatakan sebagai subjek hukum yang dimaksudkan oleh Undang-undang Nomor 18 Tahun 2003, tetapi juga merupakan organ negara yang mandiri (independent state organ).

Berdasarkan pemikiran Hans Kelsen, organ negara merupakan organisasi yang dapat melakukan penciptaan hukum (a law-creating function) atau fungsi penerapan hukum (a law-applying function).22 Oleh karenanya, Peradi disebut organ negara sebab Peradi mempunyai kewenangan untuk melakukan pengangkatan advokat dan mengeluarkan peraturan/ketentuan sehubungan dengan pemenuhan persyaratan pengangkatan advokat tersebut.

Sementara itu, suatu badan dapat dikatakan mandiri apabila terpenuhi dua hal.

Pertama, negara tidak dapat mencampuri atau mengurusi tindakan-tindakan badan tersebut karena ia merupakan lembaga yang bebas dan bertanggung jawab. Kedua,

negara tidak terbebani atau mengeluarkan biaya untuk aktivitas organisasi tersebut, meskipun seharusnya, sebuah organ negara, seyogyanya mendapatkan anggaran untuk aktivitas yang dijalankannya.23

Sebagai organ negara yang mandiri, dari sudut ilmu perundang-undangan, Peradi memiliki hak dan kewenangan untuk melakukan atribusi kewenangan dan membentuk peraturan otonom (autonome satzung) yang berkaitan dengan keadvokatan. Atribusi kewenangan ialah pemberian kewenangan kepada lembaga negara/pemerintah untuk membentuk peraturan perundang-undangan.24

Sementara itu, Fungsi Peradi yang diatur dalam Undang-undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat antara lain:

a. menyelenggarakan pendidikan khusus profesi Advokat;

22 V. Harlen Sinaga, Dasar-dasar Profesi Advokat, (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2011), hlm. 34 23 Ibid., hlm. 35

24

(19)

b. menyelenggarakan ujian advokat;

c. mengangkat advokat yang telah lulus ujian advokat; d. menyusun Kode Etik Advokat Indonesia;

e. melakukan pengawasan terhadap advokat;

f. memeriksa dan mengadili pelanggaran kode etik profesi advokat; dan

g. menentukan jenis sanksi dan tingkat pelanggaran advokat yang dapat dikenakan sanksi.

2. Kepengurusan Peradi

Kepengurusan Peradi terdiri atas Dewan Pimpinan Nasional (DPN), Dewan Pimpinan Daerah (DPD), dan Dewan Pimpinan Cabang (DPC). Dalam melakukan tugas-tugasnya, Dewan Pimpinan Nasional dibantu oleh Dewan Pimpinan Daerah yang hanya berjumlah lima orang. Pengangkatan Dewan Pimpinan Daerah sepenuhnya ada di tangan Dewan Pimpinan Nasional, Dewan Pimpinan Cabang memiliki peran dalam mengusulkan anggota Dewan Pimpinan Daerah kepada Dewan Pimpinan Nasional.25

Berdasarkan Pasal 46 Anggaran Dasar Peradi, kepengurusan Dewan Pimpinan Nasional Peradi untuk kurun waktu lima tahun dari sejak didirikan, yang berarti bahwa kepengurusan Peradi berlaku hingga tahun 2010, sehingga di tahun 2010 tersebut, harus dilakukan musyawarah nasional. Dalam Musyawarah Nasional, pengurus akan atau harus menyampaikan pertanggungjawaban kepada anggota mengenai hal-hal yang telah dilakukan pengurus selama waktu kepengurusan. Musyawarah Nasional tersebut dilaksanakan pada tanggal 30 April 2010 di Pontianak.26

Hasil dari Musyawarah Nasional tersebut salah satunya ialah para anggota sepakat untuk mempertahankan Peradi sebagai satu-satunya Organisasi advokat di Indonesia. Oleh karenanya, kedelapan organisasi pendiri yang telah dijelaskan di atas, secara hukum bukan merupakan organisasi advokat lagi, sehingga seharusnya organisasi

25 V. Harlen Sinaga, Dasar-dasar Profesi Advokat, (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2011), hlm. 36 26

(20)

pendiri bubar atau membubarkan diri sebagai organisasi advokat dengan melakukan perubahan atas anggaran dasar masing-masing melalui rapat atau musyawarah.27

F.

Dewan Kehormatan

Dewan Kehormatan dibentuk oleh Peradi. Dewan kehormatan ini memiliki wewenang dalam memeriksa dan mengadili perkara pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh Advokat sebagaimana yang dimaksud pasal 2 huruf c dan ketentuan pasal 10 atas permintaan pengaduan dari pihak yang mengadukan (pengadu). Dewan Kehormatan yang dibentuk di Pusat disebut Dewan Kehormatan Pusat dan yang di Cabang disebut Dewan Kehormatan Cabang.

Dewan Kehormatan Cabang berkuasa memeriksa dan mengadili pelanggaran kode etik pada peradilan kode etik tingkat pertama di cabangnya dan Dewan Kehormatan Pusat di tingkat banding atau putusan akhir. Persidangan oleh Dewan Kehormatan tersebut dipimpin Majelis Dewan Kehormatan yang terdiri dari seorang Ketua Majelis dan beberapa orang anggota Majelis dengan ketentuan Majelis Dewan Kehormatan harus berjumlah ganjil.

G.

Sanksi Pelanggaran Kode Etik Advokat

Sanksi-sanksi atas pelanggaran kode etik profesi ialah sebagai berikut:

1. Teguran 2. Peringatan; 3. Peringatan keras;

4. Pemberhentian sementara untuk waktu tertentu; 5. Pemberhentian selamanya;

6. Pemecatan dari keanggotaan organisasi profesi.

Dengan pertimbangan atas berat dan ringannya sifat pelanggaran kode etik, teradu dapat dikenakan sanksi-sanksi sebagai berikut:

27

(21)

1. Berupa teguran atau berupa peringatan bilamana sifat pelanggarannya tidak berat;

2. Berupa peringatan keras bilamana sifat pelanggarannya berat atau karena mengulangi berbuat melanggar kode etik dan atau tidak mengindahkan sanksi teguran/peringatan yang diberikan;

3. Berupa pemberhentian sementara untuk waktu tertentu bilamana sifat pelanggarannya berat, tidak mengindahkan dan tidak menghormati ketentuan kode etik profesi atau bilamana setelah mendapatkan sanksi berupa peringatan keras masih mengulangi melalukan pelanggaran kode etik profesi.

Advokat yang melakukan pelanggaran kode etik profesi dengan maksud dan tujuan merusak citra serta martabat kerhormatan profesi Advokat yang wajib dijunjung tinggi sebagai profesi yang mulia dan terhormat, dapat dikenakan sanksi dengan hukuman pemberhentian selamanya.

Sanksi putusan dengan hukuman pemberhentian sementara untuk waktu tertentu dan dengan hukuman pemberhentian selamanya, dalam keputusannya dinyatakan bahwa yang bersangkutan dilarang dan tidak boleh menjalankan praktek profesi Advokat baik di luar maupun di muka pengadilan. Terhadap mereka yang dijatuhi hukuman pemberhentian selamanya, dilaporkan dan diusulkan kepada Pemerintah Menteri Kehakiman Republik Indonesia untuk membatalkan serta mencabut kembali izin praktek/surat pengangkatannya.

H.

Acara Peradilan Malpraktik Advokat

28

Pedoman yang digunakan dalam mengadili seorang advokat diatur dalam Keputusan Dewan Kehormatan Pusat PERADI Nomor 2 tahun 2007 tentang Tata Cara Memeriksa dan Mengadili Pelanggaran Kode Etik Advokat Indonesia, yang ditetapkan pada tanggal 5 Desember 2007. Beberapa bagian penting dari Keputusan tersebut diringkas di bawah ini.

28

(22)

1. Legal Standing

Pengadu KEAI menetapkan pada Pasal 11 ayat (1) bahwa pengaduan dapat diajukan oleh “pihak-pihak yang berkepentingan dan merasa dirugikan.” Pasal ini dijabarkan lebih rinci oleh Pasal 2 ayat (1) Keputusan Dewan Kehormatan Pusat PERADI No. 2 tahun 2007 bahwa yang dapat mengajukan pengaduan adalah:

a. Klien;

b. Teman sejawat; c. Pejabat Pemerintah; d. Anggota Masyarakat; e. Komisi Pengawas;

f. Dewan Pimpinan Nasional PERADI;

g. Dewan Pimpinan Daerah PERADI di lingkungan mana berada Dewan Pimpinan Cabang dimana Teradu terdaftar sebagai anggota;

h. Dewan Pimpinan Cabang PERADI dimana Teradu terdaftar sebagai anggota. Dalam hal yang menyangkut kepentingan hukum dan kepentingan umum serta hal lain yang dipersamakan untuk itu, Dewan Pimpinan Nasional/Daerah/Cabang PERADI dapat juga bertindak sebagai Pengadu.

Jika melihat cakupannya yang begitu luas dengan memasukkan “Anggota Masyarakat” sebagai pihak yang berhak mengadu, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa pada prinsipnya setiap orang yang “berkepentingan dan merasa dirugikan” oleh malpraktik seorang advokat boleh mengadu ke PERADI.

2. Susunan Majelis Kehormatan Daerah

(23)

3. Tahap Pengaduan

Pengaduan harus disampaikan secara tertulis dan jelas mengenai identitas para pihak, hal yang diadukan dan alasannya, tuntutan yang dimohonkan serta bukti-bukti yang dianggap perlu. Pengaduan ditujukan kepada:

a. Dewan Kehormatan Daerah yang wilayahnya mencakup Dewan Pimpinan Daerah/Cabang; dan/atau

b. Dewan Pimpinan Daerah/Cabang dimana Teradu terdaftar sebagai anggota; dan/atau

c. Dewan Pimpinan Nasional.

Berkas pengaduan dibuat dalam 7 (tujuh) rangkap, didaftar di bagian registrasi dan membayar biaya pengaduan. Menurut informasi langsung dari PERADI Jakarta pada bulan April 2012, biaya pengaduan yang berlaku sekarang adalah Rp.3.500.000,- (Tiga juta lima ratus ribu rupiah) per kasus.

Dalam waktu 7 (tujuh) hari setelah menerima pengaduan, Dewan Kehormatan Daerah sudah harus selesai memeriksa dan menyatakan lengkap atau tidak lengkapnya berkas pengaduan. Kalau berkas dinyatakan lengkap, maka dalam 7 (tujuh) hari kerja Dewan Kehormatan Daerah harus membentuk Majelis Kehormatan Daerah yang akan memeriksa dan memutus pengaduan tersebut. Majelis ini dapat mengadakan pemeriksaan pendahuluan atas berkas pengaduan, apabila dianggap perlu maka Pengadu akan diberi kesempatan untuk memperbaiki surat pengaduannya.

Majelis menyampaikan surat pemberitahuan kepada Teradu dengan melampirkan 1 (satu) rangkap berkas pengaduan paling lambat 14 (empat belas) hari kerja sejak surat pengaduan dinyatakan lengkap. Setelah menerima surat pemberitahuan, dalam waktu 21 (dua puluh satu) hari kerja Teradu harus memberikan jawabannya secara tertulis kepada Majelis.

(24)

jawaban secara tertulis, maka ia dianggap telah melepaskan hak jawabnya. Dengan demikian, Majelis dapat segera memeriksa pengaduan dan menjatuhkan putusan tanpa kehadiran Teradu.

4. Tahap Persidangan

Kalau Teradu sudah memberikan jawaban, maka dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari kerja sejak jawaban diterima, Majelis sudah harus menetapkan hari sidang pertama dan menyampaikan panggilan kepada Pengadu dan Teradu. Panggilan ini harus diterima oleh Pengadu dan Teradu paling lambat 3 (tiga) hari kerja sebelum hari sidang.

Pengadu dapat mencabut pengaduannya sebelum sidang pertama dimulai. Apabila sidang pertama sudah berjalan, pencabutan hanya dapat dilakukan dengan persetujuan dari Teradu.

Pengadu dan Teradu harus hadir secara pribadi di persidangan. Kalau Pengadu berhalangan hadir karena suatu alasan yang sah, ia dapat diwakili oleh keluarganya bila pengaduannya berkaitan dengan kepentingan pribadi atau keluarga, atau oleh pengurus/pemimpin bila terkait dengan kepentingan badan hukum. Pengadu dan Teradu dapat didampingi Penasihat dan masing-masing pihak berhak mengajukan saksi-saksi dan bukti-bukti.

Apabila Pengadu tidak hadir tanpa alasan yang sah pada sidang pertama walaupun sudah dipanggil secara patut, maka Majelis akan memanggil untuk kedua kali. Apabila Pengadu tetap tidak hadir maka pengaduannya dinyatakan gugur. Pada sidang kedua, dilakukan pemeriksaan bukti-bukti, saksi atau ahli. Majelis berwenang menetapkan keabsahan alat bukti di persidangan ini.

(25)

Pada sidang terakhir yang bersifat terbuka, pembacaan Putusan dapat dilakukan tanpa kehadiran para pihak yang bersangkutan setelah sebelumnya diberitahu tentang hari, tanggal dan waktu persidangan tersebut.

5. Putusan Tingkat Pertama

Putusan Majelis diambil secara mufakat namun apabila tidak tercapai mufakat maka Putusan diambil berdasarkan suara terbanyak. Anggota Majelis yang kalah dalam pemungutan suara dapat membuat dissenting opinion yang dimuat di dalam Putusan. Majelis dapat mengambil Putusan berupa:

a. Menyatakan pengaduan dari Pengadu tidak dapat diterima;

Amar putusan ini perlu dibandingkan dengan amar putusan pengadilan perdata. Pada pengadilan perdata, amar putusan yang berbunyi “gugatan penggugat tidak dapat diterima” (niet onvankelijk verklaad), putusan tersebut berkaitan dengan formalitas perkara, yakni secara konkret berkaitan dengan pengadilan mana yang seharusnya mengadili, ke pengadilan wilayah mana seharusnya diajukan gugatan, para pihak mana sebagai tergugat atau turut tergugat, siapa subjek hukum para pihak, dan/atau apakah gugatan tersebut kabur (tidak jelas) atau tidak. Dalam putusan yang tidak dapat diterima, penggugat masih dapat mengajukan gugatannya lagi.29 Sama halnya dengan putusan pengadilan dalam perkara perdata, Dewan Kehormatan dalam perkara pelanggaran KEAI juga menjatuhkan putusan tidak dapat diterima tersebut apabila persyaratan formalitas pengaduan tidak terpenuhi.30

b. Menerima pengaduan dari Pengadu dan mengadili serta menjatuhkan sanksi kepada Teradu.

Jika dalam pemeriksaan ternyata ditemukan bahwa advokat bersalah. Sanksi akan dijatuhkan pada yang bersangkutan dengan amar putusan: “menerima pengaduan dari pengadu dan mengadili serta menjatuhkan

29

Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Yogyakarta: Liberty, 1982), hlm. 77-78

30

(26)

sanksi kepada teradu”. Apabila dibandingkan dengan peradilan perdata, redaksi amar putusan tersebut tampak tidak sama karena dalam peradilan perdata apabila argumen penggugat diterima, amar putusannya akan berbunyi: “gugatan dikabulkan.”

Dilihat dari sifat amar atau diktum, maka terdapat perbedaan antara putusan condemnatoir pada pengadilan perdata dan putusan Dewan Kehormatan atas pengaduan pelanggaran KEAI. Putusan condemnatoir pada pengadilan perdata, pihak penggugat dapat meminta pihak tergugat untuk melakukan pembayaran sejumlah uang, menyerahkan barang, atau mengosongkan persil.31 Untuk putusan condemnatoir perkara kode etik, Dewan Kehormatan hanya menjatuhkan sanksi yang sama sekali tidak terkait dengan pembayaran sejumlah uang.32

Untuk tuntutan pembayaran sejumlah uang, pengadu akan menempuh upaya hukum ke peradilan umum dengan dasar perbuatan melawan hukum, sebagaimana diatur dalam Pasal 1365 KUHPerdata. Namun lebih baik jika diselesaikan melalui mediasi terlebih dahulu.

c. Menolak pengaduan dari Pengadu;

Dewan Kehormatan menjatuhkan putusan berupa penolakan pengaduan dari pengadu yang dijatuhkan apabila ternyata Dewan Kehormatan tersebut tidak menemukan kesalahan pada teradu.

Sanksi yang diberikan dalam Putusan dapat berupa:

a. Teguran lisan sebagai peringatan biasa; b. Teguran tertulis sebagai peringatan keras;

c. Pemberhentian sementara dari profesi selama 3 (tiga) sampai 12 (dua belas) bulan;

d. Pemberhentian tetap dari profesinya dan pemecatan dari keanggotaan organisasi profesi.

31

Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Yogyakarta: Liberty, 1982), hlm. 127

32

(27)

Putusan Dewan Kehormatan Daerah akan disampaikan kepada Dewan Kehormatan Nasional PERADI untuk dieksekusi kecuali Pengadu dan/atau Teradu mengajukan banding.

6. Pemeriksaan Tingkat Banding

Pengadu dan/atau Teradu yang tidak puas dengan Putusan tingkat pertama dapat mengajukan banding dalam waktu 21 (dua puluh satu) hari kerja sejak tanggal menerima salinan Putusan. Upaya banding dilakukan dengan menyampaikan Permohonan Banding disertai Memori Banding melalui Dewan Kehormatan Daerah yang akan meneruskan berkas tersebut kepada Dewan Kehormatan Pusat dalam waktu 14 (empat belas) hari kerja.

Dewan Kehormatan Daerah harus mengirimkan salinan Memori Banding kepada Terbanding paling lambat 14(empat belas) hari kerja sejak menerima Memori Banding. Terbanding dapat mengajukan Kontra Memori Banding dalam 21 (dua puluh satu) hari kerja sejak ia menerima Memori Banding. Bila ia tidak menyampaikan Kontra Memori Banding dalam jangka waktu tersebut, maka ia dianggap telah melepaskan haknya untuk itu.

Dewan Kehormatan Pusat harus membentuk Majelis Kehormatan Pusat dalam waktu 7 (tujuh) hari kerja setelah menerima berkas permohonan Banding. Majelis terdiri dari 5 (lima) orang anggota, 3 (tiga) orang dari unsur Dewan Kehormatan, 2 (dua) orang dari unsur non-advokat. Dalam hal tertentu Majelis dapat terdiri lebih dari 5 (lima) orang.

7. Putusan Tingkat Banding

Majelis Kehormatan Pusat mengeluarkan Putusan Tingkat Banding berupa:

a. Menguatkan putusan Dewan Kehormatan Daerah;

(28)

Putusan Majelis Kehormatan Pusat mempunyai kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dalam sidang terbuka dengan atau tanpa dihadiri para pihak. Putusan Majelis Kehormatan Pusat bersifat final dan mengikat yang tidak dapat diganggu gugat dalam forum manapun, termasuk dalam Musyawarah Nasional PERADI. Dewan Pimpinan Nasional wajib melaksanakan eksekusi putusan Dewan Kehormatan Pusat yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap serta mengumumkannya.

8. Pemeriksaan Prorogasi

Pemeriksaan Prorogasi adalah pemeriksaan perkara langsung ke tingkat akhir oleh Majelis Kehormatan Pusat yang bersifat final, tanpa melalui pemeriksaan tingkat pertama oleh Majelis Kehormatan Daerah. Apabila para pihak menghendaki maka pada sidang pertama mereka dapat mengajukan permohonan pemeriksaan prorogasi sebelum Majelis Kehormatan Daerah memeriksa materi perkara.

Apabila Majelis menyetujui permohonan tersebut, maka akan dibuatkan Penetapan Prorogasi dan berkasnya diserahkan kepada Ketua Dewan Kehormatan Daerah. Ketua Dewan lalu mengirim berkas tersebut kepada Ketua Dewan Kehormatan Pusat untuk ditindaklanjuti. Persetujuan Pemeriksaan Prorogasi dari masing-masing pihak harus dilakukan secara tertulis dan tidak dapat dicabut kembali.

(29)

BAB III

PENUTUP

Simpulan

Undang-undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat mengatur mengenai peran dan fungsi advokat, kewajiban advokat, larangan, tugas organisasi advokat, dan lain sebagainya. Dari Undang-undang Advokat inilah, dibentuk satu organisasi advokat yakni Peradi, yang fungsi utamanya ialah sebagai pengawas profesi advokat. Dengan adanya Peradi, advokat Indonesia yang melanggar aturan mengenai peraturan kode etik advokat –yang dibuat oleh Peradi- dapat dikenakan sanksi.

(30)

Daftar Pustaka

Yio Tjeh Kie. 2012. Malpraktik Advokat dan Sanksi Kode Etiknya: Studi Kasus Komparatif antara Indonesia dan Jepang. Skripsi. Depok: Universitas Indonesia.

Sinaga V, Harlen. 2011. Dasar-Dasar Profesi Advokat. Jakarta: Erlangga.

Pangaribuan, Luhut M.P. Advokat dan Contempt of Court Satu Proses di Dewan Kehormatan Profesi. Dalam Amir Syamsuddin: Tanggung Jawab Profesi Dan Etika Advokat. Di akses dari http://click-gtg.blogspot.com/2012/05/tanggung-jawab-profesi-dan-etika.html

Tantowi, Jawahir. “Peningkatan Kualitas Advokat Melalui Pendidikan Advokat Di Era Global”. Makalah disampaikan pada Karya Latihan hukum ke X (KARTIKUM) LKBH FH UII,Tanggal 25-30 Januari 1992, Ar-Risalah, Vol. XIII No. 1 April 2015.

http://www.peradi.or.id/index.php/profil/detail/5 diakses pada Tanggal 25 Mei 2017.

Wiriadinata, Loekman. 1989. Kemandirian Kekuasaan Kehakiman. Editor Paul S. Baut dan Luhut M.P. Pangaribuan. cetakan pertama. Jakarta: YLBHI.

Keputusan Dewan Pimpinan Nasional Perhimpunan Advokat Indonesia Nomor. KEP 504/PERADI/DPN/VIII/2015 tentang Perubahan Pertama Anggaran Dasar Perhimpunan Advokat Indonesia.

Wlas, Lasdin. 1989. Cakrawala Advokat Indonesia. Yogyakarta: Liberty.

Winarta, Frans Hendra. 2010. Advokasi dengan Hati Nurani. Jakarta: Komisi Hukum Nasional RI.

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 101/PUU-VII/2009.

(31)

Mertokusumo, Sudikno dan A. Pitlo. 1982. Hukum Acara Perdata Indonesia. Yogyakarta: Liberty.

Referensi

Dokumen terkait

Putusan Tidak menerima yaitu putusan hakim yang menyatakan bahwa hakim “tidak menerima gugatan penggugat/permohonan pemohon” atau dengan kata lain “gugatan

Sejalan dengan pembagian urusan kewenangan antara Pemerintah dengan Pemerintah Daerah, Kementerian Perumahan Rakyat melimpahkan sebagian urusan yang menjadi

PERANAN BADAN NASIONAL PENEMPATAN DAN PERLINDUNGAN TENAGA KERJA INDONESIA (BNP2TKI) TERHADAP PEKERJA MIGRAN YANG MELANGGAR KLAUSUL PERJANJIAN KERJA DALAM

Pengaruh Tingkat Perputaran Kas, Perputaran Piutang dan Perputaran Persediaan Terhadap Profitabilitas (ROA) pada Perusahaan Industri Barang Konsumsi Subsektor Makanan

Adapun yang menjadi tujuan penulisan adalah untuk mengetahui bagaimana pelaksanaan Peraturan Daerah Nomor 6 tahun 2014 Tentang Kawasan Jalur Hijau di

Ketergantungan warga desa terhadap lingkungan membuat mereka menolak dengan keras pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah, sehingga perlawanan terhadap pembangunan

Hasil pengamatan oleh peneliti yang dilihat dari skor indikator masing- masing variabel di atas dalam proses pembelajaran PAI pada tahap prasiklus bahwa motivasi

o Nilai residual maupun bentuk dan ukuran dari ellips kesalahan relatif, tidak akan terpengaruh oleh lokasi titik dalam jaringan yang dianggap sebagai titik tetap.... l Perataan