• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kewajiban Kontinjensi Pemerintah Indones Indones

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Kewajiban Kontinjensi Pemerintah Indones Indones"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

Kewajiban

Kontinjensi

Pemerintah Indonesia

Terkait Stabilisasi

Harga Pangan dalam

Rangka Ketahanan

Pangan Nasional

P o l i t e k n i k K e u a n g a n N e g a r a S T A N

B a d a n P e n d i d i k a n d a n P e l a t i h a n K e u a n g a n

K e m e n t e r i a n K e u a n g a n R I

N o v e m b e r 2 0 1 5

Satria Hangga Nugraha

(2)

(Indonesian Government’s Contigent Liabilities on Commodity Price Stabilization for National Food Security)

Oleh: Satria Hangga Nugraha

Abstract

Food security is the most crucial thing, either nationally or internationally. The importance of food security is related to economic, social and political stability. National food security in Indonesia also became government’s ideals of the nation that has to be actualized. The form of government commitment toward national food security is by controlling factors that can cause the failure of national food security itself. One of the determining factors in national food security is problem related to stability of food price. With many strategies, government tried to cope with instability price situation, especially the food commodity. With the strategies that government owned, it turns out emerging another contingent liability that must be concerned. Government has been aware of this contingent liability that will

arise from the effects of government’s effort to gain food security. Even though those risks

have been mitigated by the government, those should be made an instrument which can solve the risks. Government should have the real and effective instrument to face those risks.

Key Words : food security, price stabilization, food, risk, contingent liability,

strategy, government, budget, Indonesia

Abstrak

Ketahanan pangan merupakan hal yang sangat krusial baik nasional maupun internasional. Pentingnya ketahanan pangan terkait dengan stabilitas ekonomi, sosial dan politik. Ketahanan pangan nasional di Indonesia juga menjadi cita-cita pemerintah yang harus diwujudkan. Bentuk komitmen pemerintah terhadap ketahanan pangan adalah dengan melakukan kendali atas faktor penyebab tidak tercapainya ketahanan pangan tersebut. Salah satu faktor penentu keberhasilan ketahanan pangan nasional adalah terkait masalah stabilisasi harga terutama komoditas pangan. Dengan berbagai strategi pemerintah mencoba mengatasi ketidakstabilan harga pangan. Dengan strategi-strategi yang dimiliki pemerintah ternyata muncul kewajiban kontinjensi yang perlu diwaspadai. Pemerintah telah menyadari adanya kewajiban kontinjensi yang mungkin timbul atas usaha pemerintah mencapai ketahanan pangan nasional. Risiko-risiko tersebut meskipun telah dimitigasi tetapi harus dibuatkan suatu instrumen yang dapat menjadi solusi ketika risiko nanti terjadi. Pemerintah harus memiliki instrumen yang real dan efektif dalam menghadapi risiko tersebut.

Kata Kunci : ketahanan pangan, stabilisasi harga, pangan, risiko, kewajiban

(3)

Terkait Stabilisasi Harga Pangan dalam Rangka

Ketahanan Pangan Nasional

2015

(Indonesian Government’s Contigent Liabilities on Commodity Price Stabilization for National Food Security)

Pentingnya Ketahanan Pangan

Ketahanan pangan atau food security merupakan suatu hal mendasar yang harus

dipenuhi demi terbentuknya stabilitas ekonomi, sosial dan politik. Stabilitas di bidang

ekonomi, sosial dan politik suatu negara akan terbentuk jika didukung oleh sumber daya

manusianya yang bermutu. Oleh karena itu untuk mewujudkan sumber daya manusia yang

bermutu maka harus di dukung dengan ketahanan nasional di bidang pangan. Jadi implikasi

dari ketahanan pangan nasional sebenarnya bukan hanya pada masalah kesehatan masyarakat

suatu negara tetapi memiliki implikasi yang lebih luas terhadap aspek-aspek penting dalam

suatu negara.

Ketahanan Pangan Global dan Nasional

Pentingnya ketahanan pangan telah memperoleh perhatian yang cukup besar pada

dunia internasional. Ketahanan pangan menjadi isu utama di berbagai negara, terutama di

lingkungan third world countries maupun di negara berkembang seperti Indonesia. Isu

ketahanan pangan global atau food security yang telah menjadi perhatian masyarakat dunia

tersebut memunculkan suatu pemahaman akan pilar-pilar penting dari ketahanan pangan itu

sendiri. Perhatian tersebut terbukti dengan diadakannya The World Food Summit pada tahun 1996 oleh WHO sebagai badan dari PBB terkait kesehatan.

Food security exists when all people, at all times, have physical and economic access to sufficient, safe and nutritious food that meets their dietary needs and food preferences for an active and healthy life”. (World Food Summit, 1996)

(4)

Di Indonesia sendiri isu ketahanan pangan telah menjadi agenda utama dalam

pembangunan nasional jangka panjang. Dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007

tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005-2025 disebutkan

bahwa pembangunan pangan dan perbaikan gizi dilaksanakan secara lintas sektor meliputi

produksi, pengolahan, distribusi, hingga konsumsi pangan dengan kandungan gizi yang

cukup, seimbang, serta terjamin keamanannya. Selain itu, dalam Undang-Undang Nomor 18

Tahun 2012 tentang Pangan disebutkan pula bahwa penyelenggaraan pangan dilakukan untuk

memenuhi kebutuhan dasar manusia yang memberikan manfaat secara adil, merata, dan

berkelanjutan berdasarkan Kedaulatan Pangan, Kemandirian Pangan, dan Ketahanan Pangan.

Dengan adanya komitmen dari pemerintah, terwujudnya suatu ketahanan pangan nasional

harus diupayakan.

Komitmen pemerintah dalam hal ketahanan pangan diwujudkan dalam bentuk

langkah-langkah strategis. Langkah strategis pemerintah bertujuan untuk mewujudkan

ketahanan pangan secara langsung dan untuk menghadapi kendala-kendala terkait ketahanan

pangan nasional. Langkah strategis untuk mewujudkan suatu ketahanan pangan nasional

maupun global yang dapat dilakukan oleh pemerintah adalah melalui aturan atau policy.

Aturan yang dibuat oleh pemerintah haruslah tepat sasaran sehingga ketahanan pangan dapat

tercapai.

Stabilisasi Harga Pangan

Banyak hal yang dapat diatur untuk menjaga ketahanan pangan salah satunya terkait

harga dari komoditas-komoditas terkait pangan. Aturan yang berfokus pada komoditas

pangan dapat dikatakan tepat sasaran jika diterapkan pada negara berkembang seperti

Indonesia. Dari data BPS tahun 2006 sampai dengan 2013, ketidakstabilan harga komoditas

pangan merupakan determinan inflasi tertinggi di Indonesia. Ketidakstabilan harga tersebut

dikarenakan sifat komoditas pangan yang musiman, kondisi alam dan letak geografis yang

terkendala juga masalah transportasi (Nurhemi, Soekro, dan Suryani R, 2014). Di banyak

negara berkembang, makanan pokok merupakan komponen terbesar dalam komposisi belanja

rumah tangga, terutama rumah tangga miskin. Adanya ketidakstabilan harga makanan pokok

yang disebabkan inflasi akan menyebabkan permasalahan rumah tangga dalam pemenuhan

kebutuhan pangan (Gouel dan Jean, 2012). Ketidakstabilan harga makanan pokok yang

berujung pada kegagalan suatu rumah tangga dalam mewujudkan ketahanan pangan akan

(5)

kemandirian pangan rumah tangga merupakan fondasi kemandirian pangan wilayah dan

nasional (Nainggolan, 2008).

Dalam proses kegiatan ekonomi, komoditas pangan melalui berbagai proses, mulai

dari produksi, distribusi hingga konsumsi. Tahapan proses tersebut dapat menjadi panduan

bagi pemerintah dalam menerapkan suatu kebijakan. Pemerintah dapat mencari celah di

tiap-tiap proses demi terwujudnya stabilitas harga demi ketahanan pangan nasional. Banyak

aturan yang akan berpengaruh pada stabilitas harga pangan, misalkan aturan terkait

perdagangan atau trade policy (Gouel dan Jean, 2012) atau aturan terkait proses penyimpanan dan distribusi atau storage policy (Gouel, 2014). Aturan juga dapat difokuskan pada sumber

ketidakstabilan harga komoditas baik aturan yang terkait pasar maupun yang tidak terkait

pasar (Rashid, 2007). Kebijakan terkait pasar dapat diberikan dalam bentuk penentuan harga

minimum komoditas maupun subsidi di lini produksi atau konsumsi sehingga harga dapat

dikontrol. Di negara berkembang, kestabilan harga komoditas pangan dapat memberikan efek

positif pada welfare atau tingkat kesejahteraan masyarakat baik bagi produsen maupun

konsumen (Brook, Grilli dan Waelbroeck, 1978). Untuk kebijakan non pasar dapat diberikan

dalam bentuk dukungan pemerintah melalui pembangunan infrastruktur yang terkait produksi

maupun distribusi.

Unsur Kontinjensi dari Ketahanan Pangan

Dari strategi-strategi pemerintah terkait perwujudan kestabilan harga komoditas

pangan baik itu teori maupun praktik, berdasarkan waktu kejadiannya dapat dikelompokkan

menjadi dua. Yang pertama yaitu strategi atau kebijakan yang bersifat preventif sehingga

kegagalan ketahanan pangan tidak terjadi atau kebijakan yang mendukung terwujudnya

ketahanan pangan di masa mendatang. Hal ini misalnya pembangunan infrastruktur,

penentuan batasan harga komoditi pangan, atau aturan terkait perdagangan. Yang kedua yaitu

strategi kuratif ketika penyebab kegagalan ketahanan pangan muncul ke permukaan. Hal ini

misalkan kebijakan perdagangan (ekspor dan impor) ketika harga komoditas pangan meroket,

kebijakan operasi pasar untuk menstabilkan harga pasar kebutuhan pokok, maupun subsidi

kepada konsumen ketika terjadi inflasi. Kesemua strategi tersebut tentunya juga akan

berpengaruh terhadap susunan anggaran pemerintah pusat dimana pemerintah harus

menganggarkan semua kemungkinan kewajiban pemerintah yang akan terjadi sehingga

strategi tersebut tetap on budget.

Strategi dalam perwujudan kestabilan harga komoditas pangan merupakan

(6)

Strategi tersebut merupakan suatu kewajiban bagi pemerintah karena telah berkomitmen

untuk melakukan kemadirian di bidang pangan dalam skala nasional. Oleh karena itu adalah

wajar jika semua pengeluaran pemerintah untuk menjalankan strategi tersebut

dikelompokkan sebagai kewajiban kontinjensi pemerintah. Kewajiban kontinjensi pemerintah

meliputi strategi dalam menghadapi ketidakstabilan harga komoditas pangan. Hal ini

dikelompokkan sebagai kewajiban kontinjensi karena kewajiban hanya akan muncul ketika

kegagalan stabilitas harga terjadi. Sedangkan strategi yang mendukung ketahanan pangan

nasional bukan dikelompokkan sebagai kewajiban kontinjensi terutama yang terkait dengan

infrastruktur. Pembangunan infrastruktur telah mendapatkan pos-pos penganggaran sendiri

oleh pemerintah. Pembangunan infrastruktur tersebut memiliki dampak yang luas selain

stabilitas harga sehingga pemerintah merasa perlu untuk melakukan pembangunan tanpa

menunggu situasi kontinjen muncul. Dengan demikian kewajiban kontinjensi yang muncul

hanya terbatas ketika ketidakstabilan harga terjadi.

Kontinjensi Terkait Ketahanan Pangan dalam Anggaran 2015

Pada Tahun 2015 pemerintah Indonesia sebenarnya telah menuangkan masalah

ketahanan pangan dan stabilitas harga dalam RAPBN 2015. Selain itu pemerintah juga telah

menyediakan pos subsidi non-energi yang salah satunya berisi ketahanan pangan. Tetapi hal

tersebut belum memitigasi risiko kegagalan ketahanan pangan dengan lebih fokus. Dalam

Nota Keuangan dan APBN 2015 anggaran untuk masalah ketahanan pangan belum

difokuskan pada satu pos kewajiban kontinjensi. Beberapa strategi untuk ketahanan pangan

juga masih bersifat preventif dan belum bersifat kontinjensi. Masalah ketahanan pangan pada

nota keuangan pemerintah melebur dengan masalah sasaran pembangunan perdesaan, dan

subsidi non-energi. Pada pos subsidi non-energi, pemerintah menyebutkan pemberian subsidi

pupuk untuk pencapaian ketahanan pangan nasional. Poin tersebut belum menunjukkan sikap

pemerintah terkait kewajiban kontinjensi di bidang ketahanan pangan. Selain itu strategi

subsidi non-energi untuk pupuk tersebut juga masih bersifat preventif dan belum ada strategi

yang bersifat kuratif.

Dalam Nota Keuangan dan APBN 2015, pada pokok-pokok rencana kerja

pembangunan perdesaan disebutkan bahwa pemerintah membentuk dana cadangan dalam

rangka ketahanan pangan nasional. Meskipun dana cadangan tersebut merupakan penyisihan

terkait kewajiban kontinjensi tetapi pos penganggarannya masih masuk dalam pembangunan

perdesaan. Pemerintah juga menyinggung masalah cadangan stabilisasi harga pangan dalam

(7)

mencadangkan dana tersebut ketika inflasi terjadi. Pada program pengelolaan belanja lainnya

pemerintah juga menyebutkan dana cadangan stabilisasi harga pangan. Begitu pula pada

kewajiban kontinjensi terkait bencana alam, dana cadangan ketahanan pangan juga

disebutkan tetapi tentu dana ini untuk risiko kekurangan pangan yang terkait bencana alam

saja. Poin-poin tersebut sebenarnya menunjukkan bahwa pemerintah telah memperkirakan

kewajiban kontinjensi yang nantinya timbul tetapi tidak dimitigasi secara jelas dan rinci.

Dari Nota Keuangan dan APBN 2015 sebenarnya pemerintah telah berkomitmen

dalam mewujudkan ketahanan pangan nasional tetapi pemerintah belum dapat memitigasi

risiko kegagalan stabilisasi harga pangan. Jika risiko tersebut terjadi pemerintah dapat

mengalami kesulitan dalam mengatasinya dikarenakan kurang fokusnya pemerintah pada

risiko tersebut. Selain itu jika pemerintah gagal mengatasi ketidakstabilan harga komoditas

pangan, masyarakat akan menganggap pemerintah gagal dalam memberikan support terkait

fluktuasi harga tersebut dan pemerintah kehilangan kepercayaan. Bukan terwujud food

security tetapi hal tersebut akan menimbulkan food insecurity yang berujung pada terjadinya moral hazard di masyarakat (Pinstrup-Andersen, 2009).

Kontinjensi Terkait Ketahanan Pangan dalam Anggaran 2016

Baru pada Nota Keuangan dan RAPBN 2016 pemerintah Indonesia membuat pos

tersendiri untuk mengelola kewajiban kontinjensi atas stabilisasi harga pangan. Pada bagian

risiko fiskal, pemerintah membuat pos risiko fiskal tertentu yang di dalamnya terdapat

kewajiban kontinjensi stabilisasi harga pangan. Kewajiban kontinjensi stabilisasi harga

pangan juga dipisahkan dengan kewajiban atas risiko kejadian bencana alam. Pemisahan ini

merupakan langkah positif yang diambil pemerintah terkait ketahanan pangan nasional.

dengan pemerintah mulai memfokuskan stabilitas harga komoditas pangan sebagai risiko

tersendiri maka mitigasi risikonya dapat dilakukan dengan lebih baik. Pemerintah

menginventarisir beberapa risiko yang dihadapi terkait ketahanan pangan selain masalah

gejolak harga pangan. Beberapa diantaranya yaitu kurangnya ketersediaan pangan, bantuan

pangan korban bencana alam, serta keadaan darurat yang disebabkan kegagalan produksi

pangan akibat kejadian diluar kendali manusia seperti bencana alam, kekeringan, dan

gangguan Organisme Pengganggu Tanaman (OPT). Dari rincian tersebut pemerintah telah

memahami bahwa risiko ketahanan pangan harus tetap dikelola secara terpisah meskipun hal

itu terkait bencana alam yang notabene telah dimitigasi juga secara tersendiri. Terkait

kekurangan ketersediaan pangan pemerintah dapat mengkaitkannya dengan trade policy

(8)

dapat dipenuhi (Gouel dan Jean, 2012). Selain itu, menurut pemerintah sistem perdagangan

pangan dunia yang semakin terbuka atau pasar bebas juga turut andil dalam mempengaruhi

harga pangan dalam negeri dimana harga akan terpengaruh oleh situasi atau kondisi harga

internasional (NKRAPBN 2016, 2015). Ketidakstabilan harga pangan internasional tersebut

tentunya menjadi risiko tersendiri bagi masyarakat agrikultur negara berkembang khususnya

masalah konsumsi dan yang lebih jauh lagi masalah iklim investasi di dalam negeri (Ngare,

Simtowe, dan Massingue, 2014). Jika hal tersebut dibiarkan terjadi maka Indonesia akan

semakin jauh dari cita-cita awal yaitu ketahanan pangan nasional. Maka adalah keputusan

yang tepat untuk memasukkan unsur ekternal berupa fluktuasi harga pangan global dalam

memitigasi risiko ketahanan pangan di dalam negeri.

Strategi Pemerintah dan Risiko Fiskal yang Dihadapi

Dalam memitigasi risiko fiskal tertentu di tahun 2016, terutama yang terkait dengan

stabilisasi harga pangan, secara garis besar pemerintah Indonesia melakukan dua pendekatan.

Pendekatan tersebut bersifat kuratif dan preventif. Strategi yang bersifat preventif sangatlah

penting tetapi strategi yang bersifat kuratif juga tidak boleh ditinggalkan. Kerangka dasar dari

suatu strategi yang merupakan kombinasi preventif dan kuratif sangat berguna untuk tujuan

ketahanan pangan dan nutrisi (Dufour, Kauffmann, dan Marsland, 2014).

Untuk strategi yang bersifat kuratif pemerintah mengeluarkan kebijakan terkait harga,

perizinan dan pengendalian.

Pemerintah mengeluarkan kebijakan harga serta kebijakan perizinan dan pengendalian. Penetapan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) merupakan salah satu contoh kebijakan harga yang diambil Pemerintah untuk menjaga stabilisasi harga pangan, seperti beras/gabah. Sedangkan kebijakan perijinan dan pengendalian bertujuan agar ketersediaan pasokan bahan pokok terjamin. (NKRAPN 2016)

Kebijakan penetapan harga memang harus diperhatikan oleh pemerintah. Kebijakan

penetapan harga komoditas sebenarnya akan berpengaruh dengan stabilisasi pendapatan

nasional, dimana harga komoditas yang stabil akan menyebabkan total pendapatan negara

juga stabil. Meskipun demikian dengan mengatur komoditas mana yang dijadikan sasaran

kebijakan, stabilisasi harga tidak akan berpengaruh signifikan terhadap pendapatan negara

dan akan meningkatkan welfare dari konsumen dan produsen pada komoditas tersebut,

terutama di negara berkembang (Brook, Grilli dan Waelbroeck, 1978). Menurut Brook, Grilli

dan Waelbroeck, komoditas pangan yang berada pada stabilized market akan meningkatkan

(9)

dilepas pada non-stabilized market, yang akan menjadi trade off atas efek berupa stabilisasi

pendapatan (misal sektor pertanian non-pangan pokok, mineral, dan metal).

Untuk kebijakan perizinan dan pengendalian sebenarnya merupakan sebuah trade

policy dan storage policy dimana keduanya memainkan peranan penting dalam pengendalian

harga kebutuhan pangan (Gouel, 2014). Pengendalian atas ketersediaan komoditas pangan

disini maksudnya adalah terkait masalah penyimpanan, pergudangan, dan penimbunan.

Kegiatan penimbunan tentu saja dapat mempengaruhi fluktuasi harga suatu komoditas.

Namun intervensi pemerintah disini diperlukan agar penyimpanan, pergudangan, dan

penimbunan membawa dampak positif terkait ketahanan pangan. Sebenarnya penimbunan ini

akan membutuhkan biaya yang tinggi bagi pemerintah dan kurang efisien, tetapi pemerintah

dapat melepasnya ke pasar dengan melalui perjanjian dan kontrak sebagai bentuk kontrol.

Selain itu hal yang paling penting dari penimbunan adalah penimbunan harus ditujukan untuk

mengatasi permasalahan ketersediaan pangan untuk kalangan masyarakat miskin. Dengan

demikian penimbunan atau storage akan memberi dampak positif bagi ketahanan pangan

(Newbery, 1989). Menurut David M. Newbery, pada The Theory of Food Price Stabilisation

(1989), sebenarnya strategi yang lebih efisien untuk mengatasi volatilitas harga kebutuhan

pangan adalah pemberian ransum karena cakupan dari kebijakan ini akan lebih luas dan

intervensi pemerintah akan lebih kecil daripada storage policy. Mungkin bentuk dari ransum

ini bukan berupa pemberian jatah makanan secara langsung seperti pada negara miskin tapi

lebih kepada operasi pasar oleh pemerintah. Kebijakan operasi pasar ini telah dijelaskan

dalam asumsi dasar ekonomi makro 2016 terkait masalah inflasi. Hal ini juga menjadi

persiapan pemerintah terkait dampak El Nino pada produksi komoditas pangan di Indonesia. Untuk masalah trade policy, pemerintah menerapkan kebijakan di bagian perizinan sehingga

pemerintah dapat mengontrol arus perdagangan secara langsung yang diharapkan membawa

dampak positif pada stabilisasi harga pangan.

Untuk strategi yang bersifat preventif, pemerintah Indonesia menerapkan kebijakan

asuransi pertanian dalam rangka melindungi petani dari risiko gagal panen yang disebabkan

oleh bencana alam, kekeringan, dan Organisme Pengganggu Tanaman (OPT). Dalam Nota

Keuangan dan RAPBN 2016 disebutkan bahwa asuransi pertanian akan memberikan

perlindungan kepada petani dalam bentuk bantuan modal kerja jika terjadi kerusakan

tanaman atau gagal panen. Sehingga dengan diberikannya asuransi pertanian kepada para

petani, diharapkan mereka tetap bisa melakukan usaha tani (menanam kembali) ketika terjadi

gagal panen akibat bencana alam. Jika hal ini dilakukan maka pilar ketahanan pangan berupa

(10)

terkait dengan bencana alam yang sebenarnya telah memiliki pos kewajiban kontinjensi

tersendiri, pemerintah mengambil tindakan benar dengan mengelola risiko ini pada kewajiban

kontinjensi stabilisasi harga pangan terkait food security. Pengelolaan risiko secara terpisah

tersebut menunjukkan bahwa pemerintah dapat memahami sumber dari ketidakstabilan harga

pangan yang nantinya akan menjadi semacam guidance bagi pemerintah dalam menyiapkan

kebijakan baik market-based policy maupun non-market-based policy dan merupakan respon

atas risiko yang terjadi (Rashid, 2007).

Berbeda dengan strategi tahun 2015 terkait stabilisasi harga pangan, pada tahun 2016

dana cadangan stabilisasi harga pangan bukan merupakan strategi final dari pemerintah

terkait risiko di lingkup ketahanan pangan. Jika pada tahun 2015 dana cadangan tersebut

merupakan respon pemerintah terhadap ketidakstabilan harga komoditas pangan internasional

yang berpengaruh pada harga di pasar domestik, maka pada tahun 2016 pemerintah lebih

memikirkan aspek contingent liabilities yang muncul ketika cadangan tersebut gagal

mengatur harga pasar. Pemerintah menilai risiko fiskal tambahan akan timbul jika

strategi-strategi di bidang pangan, yang tentunya telah dilakukan di tahun 2015, gagal mengatasi

risiko di bidang ketahanan pangan. Potensi pengeluaran tambahan akan muncul berupa

tambahan pengeluaran negara dalam rangka stabilisasi harga pangan (seperti yang telah

dijelaskan sebelumnya, yaitu dana cadangan stabilisasi harga pasar yang tidak dapat

mengendalikan harga pangan di pasaran), kurangnya cadangan beras pemerintah, dan

kurangnya subsidi pangan. Kegagalan tersebut menurut penilaian pemerintah akan timbul

jika terdapat deviasi antara realisasi dana stabilisasi harga pangan dengan yang dialokasikan

dalam APBN.

Penganggaran oleh pemerintah Indonesia pada RAPBN 2016 terkait stabilisasi harga

pangan demi tercapainya ketahanan pangan nasional telah dilakukan. Pemerintah telah

menganggarkan dana untuk ketahanan pangan dalam Anggaran Kedaulatan Pangan. Prioritas

anggaran ini adalah mensasar pada komoditas pangan pokok seperti beras, jagung, kedelai,

telur ayam, daging sapi/kerbau, ikan. Selain untuk ketahanan pangan pemerintah juga ingin

memperkuat produksi pangan dalam negeri dan mengurangi ketergantungan impor. Pada

Anggaran Kedaulatan Pangan, pemerintah mengalokasikan dana sebesar Rp126,6 triliun

dengan pembagian Rp50,4 triliun dialokasikan melalui belanja Kementerian/Lembaga dan

sisanya sebesar Rp76,1 triliun dialokasikan melalui belanja non Kementerian/Lembaga. Pada

tiap-tiap alokasi akan dibagi lagi dalam beberapa pos anggaran yang telah ditentukan. Untuk

Belanja K/L, anggaran akan dikelola oleh Kementerian Pertanian, Kementerian Kelautan dan

(11)

dalam 3 pos yaitu subsidi, belanja lain-lain dan transfer ke daerah. Struktur Anggaran

Kedaulatan Pangan secara lebih rinci dapat dilihat pada Tabel I

Tabel I Anggaran Kedaulatan Pangan, 2015-2016

2. Kementerian Kelautan Perikanan 7,8 11,0

3. Kementerian PU dan PERA 10,2 6,6

Pada anggaran belanja non Kementerian/Lembaga, terdapat pos-pos anggaran yang

sangat berkaitan erat dengan kewajiban kontinjensi pemerintah terkait ketahanan pangan.

Dalam pos subsidi, pemerintah menganggarkan sebesar Rp21,0 triliun untuk subsidi pangan.

Subsidi ini diberikan dalam bentuk pemberian beras kepada 15,5 juta RTS (Rumah Tangga

Sasaran). Subsidi dalam bentuk ini merupakan upaya pemerintah untuk mengatasi masalah

food availability dan food access dengan menggunakan metode ransum, yang mana strategi

ini juga efisen dalam menggendalikan fluktuaksi harga pangan di dalam negeri dengan

mengontrol permintaan pasar (Newbery, 1989). Kewajiban kontinjensi yang muncul dari hal

ini adalah ketika stok pangan dalam negeri yang bisa disediakan tidak mencukupi sehingga

dengan terpaksa pemerintah harus melakukan impor dengan kondisi harga pasar internasional

yang tidak menentu dan bisa saja pemerintah kekurangan dana. Maka pemerintah dapat

membuat sebuah storage policy yang mengatur stok beras dalam negeri sehingga ketika

(12)

memperhatikan karakteristik bahan pangan yang tidak tahan lama. Sehingga penanganan stok

dan masalah storage stok tersebut harus dikelola dengan benar. Menurut David M. Newbery,

akan lebih efektif dan efisien jika masalah storage tersebut diserahkan pada sektor privat

(dengan kontrol dan kontrak dengan pemerintah) daripada ditangani oleh pemerintah sendiri

karena dapat menekan cost yang timbul. Terkait masalah penangan stok, pemerintah lebih

memilih alternatif yang lebih baik dengan menunjuk Perusahaan Umum Milik Negara Badan

Urusan Logistik, atau Perum Bulog, untuk mengelola masalah stok ini. Dengan menyerahkan

pengelolaannya pada korporasi namun tetap di bawah kontrol pemerintah, diharapkan

masalah storage dapat diatasi dan muncul ekternalitas positif yaitu stabilitas harga komoditas

pangan itu sendiri.

Susbsidi benih merupakan bentuk upaya preventif pemerintah dalam mencapai

ketahanan pangan nasional dan secara tidak langsung juga dapat menjaga stabilitas harga

pangan dalam negeri. Ketika subsidi digelontorkan maka diharapkan cost production bahan

pangan dalam negeri juga tertekan atau dengan tingkat biaya yang sama kuantitas produksi

dapat meningkat. Subsidi juga harus diatur dengan tepat karena terkait dengan free trade

agreement (FTA) Indonesia dengan beberapa negara lain di tingkat regional. Jangan sampai, pemberian subsidi malah memunculkan retaliation atau aksi balasan dari negara mitra FTA

yang malah dapat mengacaukan stabilitas harga komoditas dalam negeri. Jika subsidi yang

diberikan tidak meningkatkan ketahanan pangan nasional maka kewajiban kontinjensi

pemerintah timbul. Jika risiko ini muncul, pemerintah telah mempersiapkan instrumen khusus

yaitu berupa asuransi pertanian sehingga masyarakat pertanian di Indonesia dapat

menjalankan proses produksi lagi yang sempat terhambat. Meskipun pasokan akan terhambat

dengan mundurnya masa panen, pemerintah dapat menerapkan trade agreement berupa

kebijakan ekspor impor untuk menahan gejolak harga dalam negeri dalam negeri sementara,

hingga produksi dalam negeri kembali pulih. Asuransi tersebut merupakan langkah bagi

pemerintah untuk sebagai bentuk risk sharing di sektor pertanian dan ketahanan pangan.

Asuransi di bidang pertanian ini sebenarnya tidak efisien dengan biaya melebihi manfaat

yang diterima, seperti yang terjadi di Amerika Serikat dan beberapa negara berkembang

(Skees, Hazell, dan Miranda, 1999). Menurut Jerry Skees, Peter Hazell, dan Mario Miranda

asuransi yang konvensional di bidang pertanian harus diubah menjadi kontrak asuransi

berbasis indeks area (area-based index insurance) dan lebih melibatkan kemandirian petani

dalam mengelola pembayaran premi sehingga tidak 100% menjadi tanggungan pemerintah.

Index area disini mencakup luas, kelembaban tanah, tingkat hujan, dan indikator lain yang

(13)

Dana cadangan pemerintah dalam Anggaran Kedaulatan Pangan dimasukkan dalam

pos belanja lain non K/L. Total dana cadangan yang disiapkan pemerintah adalah sebesar

5,5% dari anggaran yang dialokasikan melalui belanja non K/L atau sebesar 3,3% dari total

dana Anggaran Kedaulatan Pangan. Dana tersebut memang terbilang kecil, tetapi jika

dibandingkan dengan tahun 2015 telah mengalami peningkatan sebesar 20%. Perhitungan

tersebut muncul atas dasar asumsi pemerintah terhadap kecukupan dana cadangan beras dan

stabilisasi harga pangan tahun 2015. Dengan ditambahkan asumsi ekonomi makro 2016

terutama yang terkait tingkat inflasi, nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat, dan

harga minyak dunia, maka pemerintah menaikkan dana cadangan tersebut sebesar 20%.

Meskipun pemerintah telah memperhitungkan pula dampak perubahan asumsi dasar ekonomi

makro terhadap postur APBN 2016, yang mana perubahan tersebut akan merubah besarnya

risiko terkait stabilisasi harga, tetapi skenario terburuk juga bisa terjadi. Skenario terburuk

ketika dana cadangan yg telah dianggarkan (baik sebelum perubahan maupun setelah

perubahan asumsi dasar ekonomi makro jika nantinya perlu) adalah dana tersebut tidak dapat

menutup seluruh risiko yang terjadi. Sebenarnya untuk memitigasi risiko tersebut maka

pemerintah mengalokasikan dana cadangan, baik itu berupa stok beras maupun dana

stabilisasi harga. Namun, pemerintah perlu untuk menciptakan suatu instrumen yang tegas

terkait masalah stabilisasi harga pangan tersebut.

Sebelum menentukan instrumen apa yang tepat untuk menjaga stabilitas harga pangan

sehingga dapat terpenuhinya 4 pilar food security yang dicetuskan WHO dan FAO, perlu

ditentukan dahulu akar permasalahan dari volatilitas harga pangan domestik. Sebenarnya

terdapat 3 faktor penting penentu fluktuasi harga komoditas pangan (Galtier, Vindel, 2013).

Menurut Franck Galtier dan Bruno Vindel, yang menyebabkan harga pangan tidak stabil

yang pertama yaitu masalah bencana alam dan sensitifitas proses produksi pangan terhadap

bencana tersebut. Yang kedua yaitu kecenderungan produksi yang bersamaan, maksudnya

petani akan melakukan penanaman jenis tanaman yang sama pada musim yang sama

terutama jika berada pada zona wilayah yang sama (misal di Indonesia, sama-sama berada di

sekitar lingkar khatulistiwa). Hal ini sebenarnya wajar terjadi di sektor agrikultur, tetapi

kecenderungan ini akan menimbulkan ekses pada jumlah produksi yang menyebabkan

ekspektasi harga terlalu tinggi dikarenakan terdapat ketimpangan dengan harga pasar. Ketika

mencapai titik tersebut akan berakibat pada harga komoditas pangan yang memiliki elastisitas

rendah. Yang ketiga, adanya positive feedback antara pergerakan harga dengan ekspektasi

harga. Maksudnya ketika harga pangan naik maka publik akan cenderung beranggapan

(14)

masyarakat (konsumen maupun distributor) untuk melakukan pembelian secara masif atau

melakukan penimbunan. Hal demikian akan semakin menyebabkan harga melambung tinggi.

Dari ketiga akar permasalahan ketidakstabilan harga pangan tentu ada yang bisa

dikontrol dan ada yang sulit untuk dikontrol. Masalah bencana alam tentu saja tidak dapat

dikontrol, meskipun dilakukan dengan teknologi eksternalitas yang terjadi dari sebuah

bencana mutlak terjadi tetapi hanya dapat dikurangi dan itupun tidak begitu signifikan

tergantung seberapa besar bencananya. Oleh karena sifatnya yang sulit dikontrol maka adalah

hal yang tepat untuk memasukkan ketidakstabilan harga pangan akibat bencana ke dalam

kewajiban kontinjensi pemerintah, terutama di negara berkembang (Murphy et al., 2012).

Kewajiban kontinjensi terkait stabilitas harga pangan sebagai akibat dari bencana alam telah

dimitigasi oleh pemerintah Indonesia dan telah dituangkan kedalam Nota Keuangan dan

RAPBN 2016.

Dari akar permasalahan kedua dan ketiga dapat dibuat strategi-strategi sebagai solusi

untuk masalah fluktuasi ini. Franck Galtier dan Bruno Vindel menawarkan sebuah strategi

yang disebut ABCD strategy . Strategi tersebut harus saling dikombinasikan untuk dapat

mengatasi masalah stabilitas harga komoditas pangan.

1. Stategi A : Mengatur perilaku pasar untuk menstabilkan harga, maksudnya

pemerintah dapat mengatur perilaku aktor pasar (produsen, distributor dan konsumen)

untuk menstabilkan harga. Pemerintah dapat mengatur melalui waktu (kapan dijual

atau kapan dibeli), tempat (dimana harus dijual, dimana harus membeli), pilihan (apa

yang harus ditanam dan alternatifnya), dan tekait teknologi (teknik pertanian)

2. Stategi B : Membendung risiko melalui intervensi. Maksudnya pemerintah dapat

melindungi produsen atau pedagang dengan memberikan kompensasi pada lini

tersebut ketika terjadi ketidakstabilan harga, sehingga efek atau risikonya tidak

meluas bahkan hingga menyebabkan ketidakstabilan pendapatan.

3. Strategi C : Melakukan intervensi demi menjamin keseimbangan antara supply

dan demand. Pemerintah dapat mengintervensi produksi, stok dan perdagangan.

4. Strategi D : Memberikan support pendapatan pada rumah tangga sebagai

konsumen, misal melalui subsidi langsung atau operasi pasar.

Keempat strategi tersebut harus dikombinasikan dan dikelola dengan benar sehingga tercipta

sebuah sistem yang efektif dan nantinya fluktuasi harga, terutama di pasar domestik, dapat

terkendali. Tentu saja pemerintah sebagai policy maker dapat merealisasikan strategi-strategi

(15)

policy, karena keduanya sangat berpengaruh terhadap stabilitas harga komoditas khususnya

pangan (Gouel dan Jean, 2012; Goule, 2014; Murphy et al., 2012).

Kesimpulan

Dalam rangka mewujudkan sebuah negara yang memiliki ketahanan pangan nasional,

diperlukan strategi-strategi tertentu agar pilar-pilar ketahanan pangan dapat dipenuhi yaitu

food availability, food access, food utilization, dan food stabilization. Strategi-strategi yang

diambil pemerintah yang paling utama adalah stabilisasi harga pangan karena sangat

berpengaruh terhadap ketahanan pangan suatu negara. Stabilitasi harga pangan dipengaruhi

oleh banyak faktor baik itu faktor internal maupun eksternal. Dalam rangka memanipulasi

dan mengontrol faktor penyebab fluktuasi harga komoditas pangan, pemerintah telah

menyediakan beberapa strategi paik itu preventif maupun kuratif. Kesemua strategi tersebut

telah dianggarkan dan setiap program telah memiliki alokasi dana tersendiri di dalam

RAPBN, terutama untuk tahun anggaran 2016. Namun demikian, dari strategi yang telah

disediakan pemerintah dibarengi dengan cita-cita pemerintah tentang ketahanan pangan

(Undang-Undang nomor 17 tahun 2007 dan Undang-undang nomor 18 tahun 2012) akan

timbul suatu continjent liabilities yang mana kewajiban tersebut dapat membahayakan

keuangan negara jika risiko terjadi dalam skala besar dan tidak didukung pondasi yang kuat

di dalam anggaran pemerintah.

Kewajiban kontinjensi yang timbul akibat stabilisasi harga pangan dalam rangka

ketahanan pangan nasional telah dimitigasi oleh pemerintah dan telah dituangkan dalam

Neraca Keuangan dan RAPBN 2016. Namun, pemerintah harus serius dalam mengelola

risiko ini dikarenakan efeknya yang berdampak masif terutama terkait kesejahteraan dan

keberlangsungan hidup rakyat Indonesia. Pemerintah harus sanggup mengatasi risiko ini

dengan menjalankan strategi-strategi yang mensasar poin-poin tertentu pada pasar dan

aktornya. Dikarenakan pemerintah telah memegang senjata, yaitu memiliki wewenang

sebagai policy maker, maka strategi tersebut dapat diwujudkan dalam bentuk aturan-aturan

untuk mengontrol stabilitas harga pangan di Indonesia.

(16)

DAFTAR PUSTAKA

Brook, E., Grilli, E. & Waelbroeck, J. (1978). Commodity Price Stabilization and The Developing Country. World Bank Reprint Series, (66): 79-99.

Dorosh, P., Dradri, S. & Haggblade, S. (2009). Regional Trade, Government Policy and Food Security: Resent Evidence from Zambia. Food Policy, 34: 350-366.

Dufour, C., Kauffmann, D. & Marsland, N. (2014, Mei). Strengthening The Links Between Resilience and Nutrition: A Proposed Approach. Paper disajikan pada The 2020 Conference

“Building Resilience for Food and Nutrition Security, Addis Ababa, Ethiopia.

Galtier, F. & Vindel, B. (2013). Managing food price instability in developing countries, A critical analysis of strategies and instruments. À Savoir, 17.

Gouel, C. & Jean, S. (2012). Optimal Food Price Stabilization in a Small Open Developing Country. Policy Research Working Paper 5943, World Bank.

Gouel, C. (2013). Food Price Volatility and Domestic Stabilization Policies in Developing Country. Policy Research Working Paper 6393, World Bank.

Gouel, C. (2014, Januari). Stock for TheStabilization of Food Markets, Lessons from Rational Expectations Models. Paper disajikan pada FAO Expert Meeting on Stock, Markets and Stability, Roma, Italia.

Immanullah, M. N. (2014). Politik Hukum Ketahanan Pangan Nasional. Kajian Sinkronisasi Politik Hukum Undang-undang Hak PVT dan Undang-undang Pangan.

Johnson, D. G. (1956). Stabilization of International Commodity Price. Policies to Combat Depression, p. 357-376

Kementerian Keuangan Republik Indonesia, DJA. (2015). RAPBN 2016.

Kementerian Keuangan Republik Indonesia. (2015). Buku II Nota Keuangan beserta RAPBN 2016.

Kementerian Keuangan Republik Indonesia. (2015). Nota Keuangan dan APBN 2015.

Murphy, G., Hartell, J., Cárdenas, V. & Skees, J. (2012). Risk Management Instruments for Food Price Volatility and Weather Risk in Latin America and the Caribbean The Use of Risk Management Instruments. IFD Discussion Paper No. IDB-DP-220. Inter-American Development Bank.

Nainggolan, K. (2008). Ketahanan dan Stabilitas Pasokan, Permintaan, dan Harga Komoditas Pangan. Analisis Kebijakan Pertanian, 6 (2): 144-139.

(17)

Ngare, L., Simtowe, F. & Massingue, J. ( 2014). Analysis of Price Volatility and Implications for Price Stabilization Policies in Mozambique. European Journal of Business and Management, 6 (22): 160-173.

Nurhemi, Soekro, S. R. I., Suryani R, G. (2014). Pemetaan Ketahanan Pangan di Indonesia: Pendekatan TFP dan Indeks Ketahanan Pangan. Working Paper, Bank Indonesia.

Pinstrup-Andersen, P. (2009). Food Security: Definition and Measurement. Food Security, 1 (1): 5-7.

Rashid, S. (2007). Food Price Stabilization Policies in a Globalizing World. Case Study No. 6-8. Ithaca, New York: Cornell University.

Skees, J., Hazell, P. & Miranda, M. (1999). New Approaches to Corp Yield Insurance in Developing Countries. EPTD Discussion Paper No. 55. Washington, D. C.: International Food Policy Research Institute.

United Nations, Food and Agriculture Organization. (2006). Economic Controversies over Food Aid. The State of Foodand Agriculture: Food Aid for Food Security?. p. 32-46.

United Nations, Food and Agriculture Organization. (2006). Food Security (Policy Brief

June 2006 Issued 2). FAO’s Agriculture and Development Economics Division.

Aturan

Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005-2025.

Gambar

Tabel I Anggaran Kedaulatan Pangan, 2015-2016 (triliun rupiah)

Referensi

Dokumen terkait

Dengan mengetahui secara lebih mendalam terutama mengenai validasi instrumen non tes, diharapkan dalam kegiatan penelitian khususnya bidang pendidikan matematika, instrumen

Bahagian B pula mengandungi item-item yang berkaitan dengan tahap hubungan etnik di kalangan pelajar kursus SPH yang dilihat dari segi 3 aspek iaitu kehidupan seharian

Pengaruh Karaktristik Dewan Komisaris, Risiko Pelaporan Keuangan dan Karakteristik Perusahaan Terhadap Pembentukan Komite Manajemen Risiko Yang Terpisah Dengan Komite Audit

Di FKIP khususnya, dan lebih luas lagi di Universitas Ahmad Dahlan, sistem layanan legalisasi ijazah dan tanskrip akademik masih bersifat konvensional, yaitu

1 16 1 Program Peningkatan Iklim Investasi dan Realisasi Investasi 4.058 5.202 4.410 4.790 Peningkatan jumlah kelembagaan baru koperasi yang terbentuk Jumlah koperasi kelompok

terdapat perselisihan antara masyarakat, perorangan, dan badan hukum (Perusahaan, KUD, dll). 13) Permasalahan lahan murni masyarakat (Genuine Masyarakat) adalah lahan

Tujuan pemberian makanan pada bayi dan anak..  Memberikan nutrien yg cukup

[r]