• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN URAIAN TEORITIS - Representasi Citra Perempuan Dalam Iklan Televisi (Analisis Semiotika Representasi Citra Perempuan Dalam Iklan Wrp Diet To Go Di Televisi Swasta) Medan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN URAIAN TEORITIS - Representasi Citra Perempuan Dalam Iklan Televisi (Analisis Semiotika Representasi Citra Perempuan Dalam Iklan Wrp Diet To Go Di Televisi Swasta) Medan"

Copied!
28
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA DAN URAIAN TEORITIS

II.1 Komunikasi Massa

II.1.1 Pengertian Komunikasi Massa

Komunikasi massa dapat didefinisikan sebagai proses penggunaan sebuah media massa untuk mengirim pesan kepada audiens yang luas untuk tujuan memberi informasi menghibur atau membujuk (Vivian, 2008: 450). Menurut Tan dan Wright, komunikasi massa merupakan komunikasi yang menggunakan saluran (media) dalam menghubungkan komunikator dan komunikan secara massal, berjumlah banyak, bertempat tinggal yang jauh (terpencar), sangat heterogen dan menimbulkan efek tertentu (Ardianto, 2004: 3).

Massa dalam media massa lebih menunjuk pada penerima pesan yang berkaitan dengan media massa. Dengan kata lain massa yang dalam sikap dan perilakunya berkaitan dengan peran media massa seperti televisi atau koran, maka massa di sini dimaksudkan kepada khalayak, audience atau pemirsa.

Definisi komunikasi massa yang lebih rinci dikemukakan oleh Gerbner. Gerbner mengemukakan bahwa komunikasi massa itu menghasilkan suatu produk berupa pesan-pesan komunikasi. Produk tersebut disebarkan, didistribusikan kepada khalayak luas secara terus menerus dalam jarak waktu yang tetap, misalnya harian, mingguan atau bulanan (Ardianto, 2004: 4).

(2)

cetak atau elektronik sehingga pesan yang sama dapat diterima secara serentak dan sesaat (Rakhmat dalam Ardianto, 2004: 7).

II.1.2 Karakteristik Komunikasi Massa

Definisi-definisi komunikasi massa secara prinsip mengandung suatu makna yang sama, bahkan antara satu definisi dengan definisi lainnya dapat saling melengkapi. Melalui definisi-definisi tersebut, dapat diketahui karakteristik komunikasi massa sebagai berikut (Ardianto, 2004: 7)

1. Komunikator Terlembagakan

Ciri komunikasi massa yang pertama adalah komunikatornya. Kita sudah memahami bahwa komunikasi massa itu menggunakan media massa, baik media cetak maupun elektronik.

2. Pesan Bersifat Umum

Komunikasi massa itu bersifat terbuka, artinya komunikasi massa itu ditujukan untuk semua orang dan tidak ditujukan untuk sekelompok orang tertentu. Oleh karenanya, pesan komunikasi massa bersifat umum.

3. Komunikannya Anonim dan Heterogen

Dalam komunikasi massa, komunikator tidak mengenal komunikan (anonim), karena komunikasinya menggunakan media dan tidak berlangsung tatap muka. Di samping anonim, komunikan komunikasi massa adalah heterogen, karena terdiri dari berbagai lapisan masyarakat yang berbeda.

4. Media Massa Menimbulkan Keserempakan

(3)

banyak dan tidak terbatas. Komunikan yang banyak tersebut secara serempak pada waktu yang bersamaan memperoleh pesan yang sama pula.

5. Komunikasi Mengutamakan Isi Ketimbang Hubungan

Pada komunikasi massa, yang penting adalah unsur isi. Dalam komunikasi massa, pesan harus disusun sedemikian rupa berdasarkan sistem tertentu dan disesuaikan dengan karakteristik media massa yang akan digunakan.

6. Komunikasi Massa Bersifat Satu Arah

Komunikasi massa adalah komunikasi dengan menggunakan atau melalui media massa. Karena melalui media massa maka komunikator dan komunikannya tidak dapat melakukan kontak langsung. Komunikator aktif menyampaikan pesan, dan komunikan aktif menerima pesan, namun di antara keduanya tidak dapat melakukan dialog. Dengan demikian, komunikasi massa itu bersifat satu arah.

7. Stimulasi Alat Indra Terbatas

Pada komunikasi massa, stimulasi alat indra bergantung pada jenis media massa yang digunakan. Pada surat kabar dan majalah, pembaca hanya melihat. Pada radio siaran dan rekaman auditif, khalayak hanya mendengar, sedangkan pada media televisi dan film, menggunakan indra penglihatan dan pendengaran.

8. Umpan Balik Tertunda

(4)

komunikasi massa tidak terjadi secara langsung karena komunikator tidak dapat melihat reaksi atau tanggapan dari komunikan secara langsung.

II.1.3 Fungsi Komunikasi Massa

Komunikasi massa memiliki fungsi-fungsi penting terhadap masyarakat. Dominick (2001) membagi fungsi komunikasi massa sebagai berikut (Ardianto, 2004: 15):

1. Surveillance (Pengawasan)

Fungsi pengawasan komunikasi massa dibagi dalam bentuk utama, yaitu: a. Fungsi pengawasan peringatan yaitu jenis pengawasan yang dilakukan

oleh media massa untuk menginformasikan berbagai hal terutama tentang ancaman kepada khalayak.

b. Fungsi pengawasan instrumental yaitu penyampaian atau penyebaran informasi yang memiliki kegunaan atau dapat membantu khalayak dalam kehidupan sehari-hari.

2. Interpretation (Penafsiran)

Media massa tidak hanya memasok fakta dan data, tetapi juga memberikan penafsiran terhadap kejadian-kejadian penting. Organisasi atau industri media memilih dan memutuskan peristiwa-peristiwa yang dimuat atau ditayangkan.

3. Linkage (Pertalian)

(5)

4. Transmission of values (Penyebaran nilai-nilai)

Media massa yang mewakili gambaran masyarakat dengan model peran yang diamati dan harapan untuk menirunya. Dalam hal ini, media massa memberikan nilai-nilai kepada masyarakat dan nilai-nilai ini yang suatu saat bisa diadopsi oleh masyarakat.

5. Entertainment (Hiburan)

Hampir semua media massa menjalankan fungsi hiburan. Walaupun ada beberapa media yang tidak memberikan fungsi tersebut tetapi memberikan fungsi informasi kepada masyarakat seperti majalah Tempo, Gatra dan lainnya. Fungsi dari media massa sebagai fungsi menghibur adalah untuk mengurangi ketegangan pikiran khalayak.

II.2 Semiotika

Secara etimologis, istilah semiotik berasal dari kata Yunani semeion yang berarti “tanda”. Tanda itu sendiri didefinisikan sebagai sesuatu yang atas dasar konvensi sosial yang terbangun sebelumnya, dapat dianggap mewakili sesuatu yang lain. Tanda bermakna sesuatu hal yang menunjuk adanya hal lain (Bungin, 2010: 164).

(6)

Barthes dalam Sobur (2004: 15) menyebutkan bahwa semiotika merupakan suatu ilmu atau metode analisis untuk mengkaji tanda. Semiotika pada dasarnya hendak mempelajari bagaimana kemanusiaan (humanity) memaknai hal-hal (things). Memaknai berarti bahwa objek-objek tidak hanya membawa informasi, dalam hal mana objek-objek itu hendak berkomunikasi, tetapi juga mengkonstitusi sistem terstruktur dari tanda.

Secara historis, semiotika menjadi disiplin yang dikenal luas oleh pengaruh dari dua tokoh utama: Charles Sanders Peirce mewakili tradisi Amerika dan Ferdinand de Saussure mewakili tradisi Eropa. Sekalipun keduanya tidak pernah bertemu sama sekali, pemikiran kedua orang tokoh tersebut memiliki kemiripan satu sama lain. Istilah semiotika yang sekarang dikenal luas mula-mula diperkenalkan oleh Peirce, sedangkan Saussure memilih istilah semiologi untuk pemikirannya.

Sebuah tanda menurut Peirce adalah sesuatu yang bagi seseorang mewakili sesuatu yang lain dalam beberapa hal atau kapasitas. Sesuatu yang lain itu, dinamakan sebagai interpretan dari tanda yang pertama, pada gilirannya akan mengacu pada objek tertentu. Berdasarkan objeknya, Peirce membagi tanda atas icon (ikon), index (indeks) dan symbol (simbol) (Wibowo, 2011: 14):

1. Ikon adalah tanda yang mengandung kemiripan ‘rupa’ sehingga tanda itu mudah dikenali oleh pemakainya.

2. Indeks adalah tanda yang memiliki keterkaitan fenomenal atau eksistensial di antara representamen dan objeknya.

(7)

Kategori tipe tanda menurut Peirce digambarkan sebagai berikut:

Gambar 1.

Kategori Tipe Tanda dari Peirce Ikon

Indeks Simbol

Sumber dari Burhan Bungin, Penelitian Kualitatif (Jakarta: Kencana, 2010), hal: 168

Teori dari Peirce menjadi grand theory dalam semiotik. Gagasannya bersifat menyeluruh, deskripsi struktural dari semua sistem penandaan. Peirce ingin mengidentifikasi partikel dasar dari tanda dan menggabungkan kembali semua komponen dalam struktur tunggal. Semiotik ingin membongkar bahasa secara keseluruhan (Sobur, 2004: 97).

Dalam kajian komunikasi, pusat perhatian semiotika adalah menggali makna-makna tersembunyi di balik penggunaan simbol-simbol yang lantas dianalogikan sebagai teks atau bahasa. Berbeda dengan Peirce, Saussure mengemukakan tanda adalah kesatuan dari suatu bentuk penanda (signifier) dan petanda (signified). Penanda mewakili elemen bentuk isi, sementara petanda mewakili elemen konsep atau makna. Pengaturan makna atas sebuah tanda dimungkinkan oleh adanya konvensi sosial di kalangan komunitas bahasa. Suatu kata mempunyai makna tertentu karena adanya kesepakatan bersama dalam komunitas bahasa (Hermawan, 2011: 236).

(8)

Gambar 2.

Elemen-Elemen Makna dari Saussure

Sign

Composed of

Signification

Signifier plus Signified external reality

(physical (mental of meaning

existence concept) of the sign

Sumber dari Alex Sobur, Analisis Teks Media (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004), hal: 125

Saussure menyebut signifier sebagai bunyi atau coretan bermakna, sedangkan signified adalah gambaran mental atau konsep sesuatu dari signifier. Hubungan antara keberadaan fisik tanda dan konsep mental tersebut dinamakan signification. Dengan kata lain, signification adalah upaya dalam memberi makna terhadap dunia (Fiske dalam Sobur, 2004: 125).

(9)

Fokus perhatian Barthes tertuju kepada gagasan tentang signifikasi dua tahap (two order of signification). Signifikasi tahap pertama merupakan hubungan antara signifier dan signified di dalam sebuah tanda terhadap realitas external. Barthes menyebut ini sebagai denotasi yaitu makna paling nyata dari tanda. Sgnifikasi tahap kedua merupakan gambaran interaksi yang terjadi ketika tanda bertemu dengan nilai-nilai kebudayaan dan ini disebut dengan istilah konotasi.

Charles Morris memudahkan dalam memahami ruang lingkup kajian semiotika. Menurut Morris, kajian semiotika pada dasarnya dapat dibedakan ke dalam tiga cabang penyelidikan (branches of inquiry) yakni sintaktik, semantik dan pragmatik (Wibowo, 2011: 4).

1. Sintaktik

Sintaktik adalah suatu cabang penyelidikan semiotika yang mengkaji hubungan formal di antara suatu tanda dengan tanda-tanda yang lain. Dengan begitu hubungan-hubungan formal ini merupakan kaidah-kaidah yang mengendalikan tuturan dan interpretasi. Dalam hal ini, tanda tidak pernah mewakili dirinya, tanda selalu menjadi bagian dari sistem tanda yang lebih besar atau kelompok yang diorganisir melalui cara tertentu.

2. Semantik

Semantik adalah suatu cabang penyelidikan semiotika yang mempelajari hubungan di antara tanda-tanda dengan designata atau objek-objek yang diacunya. Yang dimaksud designata adalah tanda-tanda sebelum digunakan dalam tuturan tertentu.

(10)

selalu diperantarai atau dimediasi oleh kesadaran interpretasi seorang individu, dan setiap interpretasi atau makna dari suatu tanda akan berubah dari suatu situasi ke situasi lainnya (Morrisan, 2009: 29).

3. Pragmatik

Pragmatik merupakan suatu cabang penyelidikan semiotika yang mempelajari hubungan di antara tanda-tanda dengan interpreter-interpreter atau para pemakai-pemakai tanda. Tanda tidak dapat dilepaskan dari pemakainya, atau keberadaan suatu tanda dapat dipahami hanya dengan mengembalikan tanda itu ke dalam masyarakat pemakainya. Aspek pragmatik dari tanda memiliki peran penting dalam komunikasi, khususnya untuk mempelajari mengapa terjadi kepahaman dan kesalahpahaman dalam berkomunikasi.

II.3 Semiotika Iklan

Pada mula iklan dikenal masyarakat, iklan masih berbentuk relief, iklan koran atau iklan papan nama. Hal ini disebabkan karena media informasi saat itu sangat terbatas, sebagai akibat keterbatasan masyarakat. Demikian pula perkembangan iklan mengikuti perkembangan media massa pada saat itu. Karenanya iklan pertama berupa relief, kemudian menjadi iklan koran dan papan nama, kemudian berkembang menjadi iklan radio dan saat ini iklan ditayangkan di televisi, internet atau komputer di samping iklan-iklan luar yang muncul dan bertebaran di mana-mana dengan berbagai bentuk.

(11)

terpendam di balik penciptanya. Prinsip semiotika iklan adalah bahwa iklan melibatkan tanda dan kode. Setiap bagian iklan menjadi tanda, yang secara mendasar berarti sesuatu yang memproduksi makna. Dalam iklan kode-kode yang secara jelas dapat dibaca adalah bahasa berupa narasi atau unsur tekstual, audio dan audiovisual. Ketiganya masih dapat dipecah lagi ke dalam anasir-anasir yang lebih kecil dan lebih subtle.

Iklan juga merupakan konstruksi realitas dalam media. Giacardi berpendapat bahwa iklan adalah acuan, artinya iklan adalah diskursus tentang realitas yang menggambarkan, memproyeksikan dan menstimulasi suatu dunia mimpi yang hiperrealistik. Menurutnya iklan berusaha menciptakan suatu realitas namun realitas iklan sendiri selalu berbeda dari realitas nyata yang ada di masyarakat. Suharko mengatakan iklan berusaha merepresentasikan kenyataan yang hidup dalam masyarakat melalui simbol-simbol tertentu, sehingga mampu menimbulkan impresi dalam benak konsumen bahwa citra produk yang ditampilkan adalah juga bagian dari kesadaran budayanya (Wibowo, 2011: 128).

(12)

sistem dalam realitas simbolik berupa teks iklan sehingga terjawab bagaimana sistem representasi yang terdapat dalam konstruksi iklan tersebut (Wibowo, 2011: 129).

Untuk mengkaji iklan dalam perspektif semiotika, kita bisa mengkajinya lewat sistem tanda dalam iklan. Iklan menggunakan sistem tanda yang terdiri atas lambang, baik tanda verbal yang mencakup bahasa yang kita kenal maupun tanda non verbal yaitu bentuk dan warna yang disajikan dalam iklan. Iklan juga menggunakan tiruan indeks, terutama dalam iklan radio, televisi, dan film (Sobur, 2004: 116).

Membedah iklan sebagai objek semiotika mengedepankan perlakuan terhadap keseluruhan tanda-tanda di dalamnya seperti layaknya teks tertulis. John Fiske (1991) mengajukan tiga level kode yang dapat dimaknai dalam menggali makna-makna tersembunyi dalam iklan televisi. Level pertama adalah “realitas”, meliputi tampilan visual semacam penampilan, pakaian, make up, perilaku, pembicaraan, gesture, ekspresi, suara dan lain-lain. Level yang bersifat permukaan ini merupakan level kode yang bersifat teknis. Level kedua adalah “representasi” dimana penggunaan kamera, pencahayaan, editing, musik dan suara. Anasir-anasir tersebut dapat merepresentasikan makna tentang situasi yang dibangun seperti konflik, karakter, setting dan sebagainya. Level ketiga adalah “ideologi”. Sebagai level terdalam, level ini merepresentasikan sejauh mana ideologi yang dibangun dalam sebuah tayangan iklan (Hermawan, 2011: 248).

(13)

proses interpretan. Dalam mengkaji iklan, ada berbagai elemen desain grafis yang meliputi gambar (ilustrasi) huruf dan tipografi, warna, teknik serta pengambilan gambar. Hal ini dilakukan guna menyampaikan pesan secara visual, audio dan/atau audio visual kepada target sasaran yang dituju.

1. Tipografi

Tipografi merupakan seni menata huruf di mana dalam hal ini huruf merupakan salah satu elemen yang digunakan dalam menyampaikan pesan komunikasi secara verbal dan visual kepada seseorang, sekumpulan orang, ataupun masyarakat luas yang menjadi tujuan akhir pesan tersebut. Huruf yang ditampilkan dalam iklan, memberikan sebuah kesan tertentu yang semakin menegaskan maksud iklan tersebut. Keberadaan tipografi dalam rancangan karya desain komunikasi visual sangat penting, sebab pemakaian tipografi yang tepat diyakini mampu menguatkan isi pesan verbal desain komunikasi visual tersebut.

2. Komposisi Warna

Warna merupakan salah satu komposisi yang memegang peranan penting dalam visualisasi sebuah iklan. Warna dapat memperkuat dan mempertegas kesan pada iklan tersebut. Barker (1954) dalam Mulyana mendeskripsikan karakter warna, sebagaimana dijelaskan berikut ini:

a. Merah

(14)

Menunjukkan kedamaian, permohonan maaf, pencapaian diri, spiritualitas, kedewaan, keperawanan dan kesucian, kesederhanaan, kesempurnaan, kebersihan, cahaya, tak bersalah, keamanan, persatuan. c. Hitam

Melambangkan perlindungan, pengusiran, sesuatu yang negatif, mengikat, kekuatan, formalitas, misteri, kekayaan, ketakutan, kejahatan, ketidakbahagiaan, perasaan yang dalam, kesedihan, kemarahan, sesuatu yang melanggar, modern music, harga diri, anti kemapanan. Hitam memberikan kesan misteri.

d. Biru

Melambangkan kesan komunikasi, peruntungan yang baik, kebijakan, perlindungan, inspirasi spiritual, tenang, kelembutan, dinamis, air, laut, kreativitas, cinta, kedamaian, kepercayaan, loyalitas, kepandaian, panutan, kekuatan daridalam, kesedihan, kestabilan, kepercayaan diri, kesadaran, pesan, ide, berbagi, idealisme, persahabatan dan harmoni, kasih sayang.

e. Hijau

Menunjukkan warna bumi, penyembuhan fisik, kelimpahan, keajaiban, tanaman dan pohon, kesuburan, pertumbuhan, muda, kesuksesan materi, pembaharuan, daya tahan, keseimbangan, ketergantungan dan persahabatan.

f. Kuning

(15)

mental, persepsi, pemahaman, kebijaksanaan, penghianatan, kecemburuan, penipuan, kelemahan, penakut, aksi, idealisme, optimisme, imajinasi, harapan, filosofi, resah dan curiga.

g. Merah Muda

Merah muda menunjukkan simbol kasih sayang dan cinta, persahabatn, feminin, kepercayaan, niat baik, damai, perasaan yang halus, perasaan yang manis dan indah.

h. Ungu

Menunjukkan pengaruh, pandangan ketiga, kekuatan spiritual, pengetahuan yang tersembunyi, aspirasi yang tinggi, kebangsawanan, upacara, misteri, pencerahan, telepati, empati, arogan, intuisi, kepercayaan yang dalam, ambisi, keajaiban, harga diri.

i. Orange

Menunjukkan kehangatan, antusiasme, persahabatan, pencapaian bisnis, karakter, kesuksesan, kesehatan pikiran, keadilan, daya tahan, kegembiraan, gerak cepat, ketertarikan, independensi.

j. Coklat

Menunjukkan persahabatan, kejadian yang khusus, bumi, pemikiran yang materialis, reliabilitas, kedamaian, produktivitas, praktis, kerja keras.

k. Abu-Abu

(16)

l. Emas

Mencerminkan prestis (kedudukan), kesehatan, keamanan, kegembiraan, kebijakan, arti, tujuan, pencarian ke dalam hati, kekuatan mistis, ilmu pengetahuan, perasaan kagum, konsentrasi.

3. Teknik Pengambilan Gambar

Gambar merupakan hal yang penting dalam pembuatan iklan. Teknik pengambilan suatu gambar akan memberikan suatu kesan tersendiri dan dapat menginformasikan kepada para penerima pesan mengenai aspek yang ingin disampaikan melalui iklan tersebut. Berikut merupakan tabel yang memaparkan teknik dalam pengambilan gambar:

Tabel 1

Teknik Dalam Pengambilan Gambar

PENANDA (SIGNIFIER) PETANDA (SIGNIFIED) PENGAMBILAN GAMBAR

Extreme Long Shot Kesan luas dan keluarbiasaan

Full Shot Hubungan sosial

Big Close Up Emosi, dramatik, moment penting

Close Up Intim atau dekat

Medium Shot Hubungan personal dengan subjek

Long Shot Konteks perbedaan dengan publik

SUDUT PANDANG (Angle) Pengambilan Gambar:

High Dominasi, kekuasaan dan otoritas

Eye-Level Kesejajaran, keamanan dan sederajat

Low Didominasi, dikuasai, dan kurang otoritas

TIPE LENSA

Wide Angle Dramatis

Normal Normalitas dan keseharian

Telephoto Tidak personal, voyeuristik

FOKUS

Selective Focus Meminta perhatian (tertuju pada satu

(17)

Soft Focus Romantis serta nostalgia

Deep Focus Semua unsur adalah penting (melihat

secara keseluruhan objek)

PENCAHAYAAN

High Key Riang dan cerah

Low Key Suram dan muram

High Contrast Dramatikan dan teatrikal

Low Contrast Realistik serta terkesan seperti dokumenter

Pewarnaan

Warm (kuning, orang, merah, abu-abu) Optimisme, harapan, hasrat, dan agitasi

Cool (biru dan hijau) Pesimisme, tidak ada harapan

Black and White (Hitam dan Putih) Realisme, aktualisme dan faktual

Sumber: Selby, Keith, dan Codery, Ron, How to Study Television, London, Mc Millisan, 1995(dalam Muhammad Reza, 2011, Representasi Citra Budaya Dalam Iklan).

Saat ini telah banyak produksi-produksi iklan yang menerapkan konsep semiotika. Iklan televisi seringkali dijadikan obyek analisis dengan perangkat semiotika. Iklan acapkali tidak terkait dengan sekadar tawaran produk belaka, melainkan juga seperangkat nilai ideologis, sehingga semiotika dapat dipakai sebagai pisau analisis. Hampir semua produk yang ditawarkan dalam iklan televisi menerapkan semiotika, seperti iklan rokok, iklan rumah tangga, hingga iklan perawatan tubuh wanita seperti pada iklan WRP versi Diet To Go. Iklan-iklan tersebut banyak menggambarkan citra yang menjadi realitas dalam iklan tersebut. Berbagai cara dilakukan untuk menentukan citra, mulai dari pilihan kata atau frase beserta asosiasi yang dilekatkan.

II.4 Semiotika Roland Barthes

(18)

Semiotika, atau dalam istilah Barthes disebut semiologi pada dasarnya hendak mempelajari bagaimana kemanusiaan (humanity) memaknai hal-hal (things). Memaknai berarti bahwa objek-objek tidak hanya membawa informasi, dalam hal mana objek-objek itu hendak berkomunikasi, tetapi juga mengkonstitusi sistem terstruktur dari tanda.

Barthes merupakan orang terpenting dalam tradisi semiotika Eropa pasca Saussure. Pemikirannya bukan saja melanjutkan pemikiran Saussure tentang hubungan bahasa dan makna, namun ia justru melampaui Saussure terutama ketika ia menggambarkan tentang makna ideologis dari representasi jenis lain yang ia sebut sebagai mitos.

Barthes melakukan terobosan penting dalam tradisi semiotika konvensional yang dahulu pernah berhenti pada kajian tentang bahasa. Semiotika model Barthes memungkinkan kajian yang mampu menjangkau wilayah kebudayaan lain yang terkait dengan popular culture dan media massa. Bahkan dalam pandangan George Ritzer (2003: 53), Barthes adalah pengembang utama ide-ide Saussure pada semua area kehidupan sosial (Hermawan, 2011: 251).

(19)

tanda terhadap sebuah objek, sedangkan makna konotasi adalah bagaimana cara menggambarkannya (Wibowo, 2011: 17).

Salah satu area penting yang dirambah Barthes dalam studinya tentang tanda adalah peran pembaca (the reader). Konotasi, walaupun merupakan sifat asli tanda, membutuhkan keaktifan pembaca agar dapat berfungsi. Barthes memperjelas sistem signifikasi dua tahap dalam peta berikut ini:

Gambar 3

Peta Tanda Roland Barthes

Sumber: Alex Sobur, Semiotika Komunikasi (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004), hal: 69

Dari peta Barthes di atas terlihat bahwa tanda denotatif (3) terdiri atas penanda (1) dan petanda (2). Penanda merupakan tanda yang kita persepsi yang dapat ditunjukkan dengan warna atau rangkaian gambar yang ada dalam objek yang diteliti. Akan tetapi, pada saat bersamaan, tanda denotatif adalah juga penanda konotatif (4). Sementara itu petanda konotatif (5) menurut Barthes adalah mitos atau operasi ideologi.

1. Signifier (Penanda)

2. Signified (Petanda)

3. denotative sign (tanda denotatif)

5. CONNOTATIVE SIGNIFIED (PETANDA KONOTATIF) 4. CONNOTATIVE SIGNIFIER

(PENANDA KONOTATIF)

(20)

Bagi Barthes, semiotika bertujuan untuk memahami sistem tanda, apapun substansi dan limitnya, sehingga seluruh fenomena sosial yang ada dapat ditafsirkan sebagai tanda alias layak dianggap sebagai lingkaran linguistik. Dalam kerangka Barthes, konotasi identik dengan operasi ideologi, yang disebut sebagai mitos. Ada banyak mitos yang diciptakan media di sekitar kita, misalnya mitos tentang kepahlawanan, tokoh, kecantikan, kejantanan dan aneka macam mitos yang bertebaran di dunia kita sehari-hari.

Menurut Barthes pada saat media membagi pesan, maka pesan-pesan yang berdimensi konotatif itulah yang menciptakan mitos. Pengertian mitos di sini tidak senantiasa menunjuk pada mitologi dalam pengertian sehari-hari, seperti halnya cerita-cerita tradisional, legenda dan sebagainya. Bagi Barthes, mitos adalah sebuah cara pemaknaan dan ia menyatakan mitos secara lebih spesifik sebagai jenis pewacanaan atau tipe wacana.

Saussure cenderung mengatakan makna sebagai apa yang didenotasikan oleh tanda. Sementara bagi Barthes, terdapat makna lain yang justru bermain pada level yang lebih mendalam, yakni pada level konotasi. Pada tingkat inilah warisan pemikiran Saussure dikembangkan oleh Barthes dengan membongkar praktik pertandaan di tingkat konotasi tanda. Konotasi bagi Barthes justru mendenotasikan sesuatu hal yang ia nyatakan sebagai mitos, dan mitos ini mempunyai konotasi terhadap ideologi tertentu.

(21)

kelas sosial yang sudah mempunyai suatu dominasi (Fiske, dalam Sobur, 2004: 128).

Barthes menyatakan bahwa mitos merupakan sistem komunikasi juga, karena mitos ini pada akhirnya berfungsi sebagai penanda sebuah pesan tersendiri. Mitos tidaklah dapat digambarkan melalui obyek pesannya, melainkan melalui cara pesan tersebut disampaikan. Apapun dapat menjadi mitos, tergantung dari caranya ditekstualisasikan. Sering dikatakan bahwa ideologi bersembunyi di balik mitos. Suatu mitos menyajikan serangkaian kepercayaan mendasar yang terpendam dalam ketidaksadaran representator. Terdapat beragam pengertian ideologi, meski secara singkat dapat dimengerti bahwa ideologi menunjuk pada serangkaian ide yang menyusun realitas kelompok, sebuah sistem representasi atau kode yang menentukan bagaimana manusia menggambarkan dunia atau lingkungannya (Hermawan, 2011: 253).

II.5 Representasi

Representasi berarti menggunakan bahasa untuk menyatakan sesuatu secara bermakna atau mempresentasikan kepada orang lain. Representasi dapat berwujud kata, gambar, sekuen, cerita, dan sebagainya yang mewakili ide, emosi, fakta dan sebagainya. Representasi bergantung pada tanda dan citra yang sudah ada dan dipahami secara kultural, dalam pembelajaran bahasa dan penandaan yang bermacam-macam atau sistem tekstual secara timbal balik.

(22)

234). Suatu makna diproduksi dari konsep-konsep dalam pikiran seorang pemberi makna melalui bahasa.

David Croteau dan William Hoynes (dalam Wibowo, 2011: 123) menyatakan bahwa representasi merupakan hasil dari suatu proses penyeleksian yang menggarisbawahi hal-hal tertentu dan hal lain diabaikan. Dalam representasi media, tanda yang akan digunakan untuk melakukan representasi tentang sesuatu mengalami proses seleksi. Mana yang sesuai dengan kepentingan dan pencapaian tujuan komunikasi, ideologisnya itu yang digunakan sementara tanda-tanda lain diabaikan.

Stuart Hall memetakan sistem representasi ke dalam dua bagian utama, yakni mental representations dan bahasa. Mental representations menandai keniscayaan subyektif alias pengakuan makna yang bergantung kemampuan individu; masing-masing orang memiliki perbedaan dalam mengorganisasikan dan mengklasifikasikan konsep-konsep sekaligus menetapkan hubungan di antara semua itu. Konsep ini masih ada dalam pikiran masing-masing individu tersebut, representasi mental masih merupakan sesuatu yang abstrak. Sedangkan bahasa menjadi bagian sistem representasi karena pertukaran makna tidak mungkin terjadi ketika tidak ada akses terhadap bahasa bersama. Istilah umum yang seringkali digunakan untuk kata, suara atau kesan yang membawa makna adalah tanda (Hermawan, 2011: 234).

(23)

Isi media bukan hanya pemberitaan tetapi juga iklan dan hal-hal lain di luar pemberitaan. Intinya bahwa sama dengan berita, iklan juga merepresentasikan orang-orang, kelompok atau gagasan tertentu. John Fiske merumuskan tiga proses yang terjadi dalam representasi melalui tabel berikut:

Tabel 2

Tabel Proses Representasi Fiske

PERTAMA REALITAS

(Dalam bahasa tulis, seperti dokumen wawancara transkrip dan

sebagainya. Dalam televisi seperti perilaku, make up, pakaian,

ucapan, gerak-gerik dan sebagainya

KEDUA REPRESENTASI

Elemen tadi ditandakan secara teknis. Dalam bahasa tulis seperti

kata, proposis, kalimat, foto, caption, grafik dan sebagainya. Dalam

TV seperti kamera, musik, tata cahaya dan lain-lain).

Elemen-elemen tersebut ditransmisikan ke dalam kode

representasional yang memasukkan di antaranya bagaimana objek

digambarkan (karakter, narasi setting, dialog dan lain-lain)

KETIGA IDEOLOGI

Semua elemen diorganisasikan dalam koherensi dan kode-kode

ideologi, seperti individualisme, liberalisme, sosialisme, patriarki,

ras, kelas, materialisme, dan sebagainya.

Sumber: Wibowo, Semiotika Komunikasi aplikasi praktis bagi penelitian dan skripsi komunikasi (Jakarta: Mitra Wacana Media, 2011), hal: 123

(24)

dengan aspek seperti pakaian, lingkungan, ucapan ekspresi dan lain-lain. Di sini realitas selalu siap ditandakan.

Kedua, representasi, dalam proses ini realitas digambarkan dalam perangkat perangkat teknis, seperti bahasa tulis, gambar, grafik, animasi dan lain-lain. Ketiga, tahap ideologis, dalam proses ini peristiwa-peristiwa dihubungkan dan diorganisasikan ke dalam konvensi-konvensi yang diterima secara ideologis. Bagaimana kode-kode representasi dihubungkan dan diorganisasikan ke dalam koherensi sosial atau kepercayaan dominan yang ada dalam masyarakat.

Konsep representasi digunakan untuk menggambarkan ekspresi hubungan antara teks iklan (media) dengan realitas. Representasi merupakan proses dimana para anggota sebuah budaya menggunakan bahasa untuk memproduksi makna. Bahasa dalam hal ini didefinisikan secara lebih luas, yaitu sebagai sistem apapun yang menggunakan tanda-tanda. Tanda di sini dapat berbentuk verbal maupun non verbal.

(25)

II.6 Feminisme

Feminitas adalah stereotype yang didasarkan atas perbedaan biologis yang tidak melekat sejak lahir tetapi dibuat oleh masyarakat. Feminitas menunjuk pada perbedaan gender, bukan seks, yaitu keadaan di mana individu yang lahir secara biologis sebagai laki-laki atau perempuan yang mendapat pencirian psikologis sebagai laki-laki atau perempuan.

Feminisme sebagai gerakan pada mulanya berangkat dari asumsi bahwa kaum perempuan pada dasarnya ditindas dan dieksploitasi, serta usaha untuk mengakhiri penindasan dan eksploitasi tersebut. Dalam Sugihastuti (2000: 37) terdapat dua penjelasan mengenai feminisme. Pertama adalah penjelasan dari Moeliono, yang menjelaskan bahwa feminisme ialah gerakan wanita yang menuntut persamaan hak sepenuhnya antara kaum wanita dan pria. Yang kedua, Goefe mendefinisikan feminisme sbagai teori tentang persamaan antara laki-laki dan wanita di bidang politik, ekonomi, sosial atau kegiatan terorganisasi yang memperjuangkan hak-hak serta kepentingan wanita.

Dalam media massa, sering dijumpai iklan produk yang menampilkan perempuan dalam iklan tersebut. Perempuan dianggap mampu menampilkan citra yang tepat agar pesan yang ingin disampaikan oleh pembuat iklan, dapat sampai kepada para penonton.

(26)

digambarkan dalam iklan televisi seperti citra pigura, citra pilar, citra pinggan dan citra pergaulan.

Keindahan perempuan menjadi stereotip perempuan dan membawa pada sifat-sifat di sekitar keindahan itu, seperti perempuan harus tampil menawan, pandai mengurus rumah tangga, memasak, tampil prima untuk menyenangkan suami dan pantas diajak ke berbagai acara. Stereotip perempuan tersebut menjadi wacana dalam rancangan iklan televisi, sekaligus menempatkan stereotip itu dalam konteks sentral iklan televisi serta pula menempatkan posisi perempuan dalam iklan televisi. Beberapa iklan yang ditampilkan dalam iklan televisi tersebut dianggap mengeksploitasi perempuan.

Kasiyan (dalam Sugihastuti, 2007: 96) berpendapat feminisme sebagai gerakan perempuan muncul dalam karakteristik yang berbeda-beda yang disebabkan perbedaan asumsi dasar yang memandang persoalan-persoalan yang menyebabkan ketimpangan gender. Ada empat aliran utama dalam gerakan feminisme, antara lain adalah (Fakih, 2004: 81):

1. Feminisme Liberal

Aliran ini muncul sebagai kritik terhadap teori politik liberal yang pada umumnya menjunjung tinggi nilai otonomi, persamaan dan nilai moral serta kebebasan individu, namun pada saat yang sama dianggap mendiskriminasi kaum perempuan. Asumsi dasar feminisme liberal berakar pada pandangan bahwa kebebasan dan kesamaan berakar pada rasionalitas dan pemisahan antara dunia privat dan publik.

(27)

individu, termasuk di dalamnya kesempatan dan hak perempuan. Feminisme liberal tidak pernah mempertanyakan diskriminasi akibat ideologi patriarki, sebagaimana dipersoalkan oleh feminisme radikal maupun analisis atas struktur kelas, politik, ekonomi serta gender.

2. Feminisme Radikal

Feminisme radikal muncul sebagai reaksi atas kultur sexism atau diskriminasi sosial berdasarkan jenis kelamin di Barat tahun 60-an. Para penganut feminisme radikal tidak melihat adanya perbedaan antara tujuan personal dan politik, unsur-unsur seksual atau biologis. Sehingga, dalam melakukan analisis tentang penyebab penindasan terhadap kaum perempuan oleh laki-laki, mereka menganggapnya berakar pada jenis kelamin laki-laki itu sendiri beserta ideologi patriarkinya.

3. Feminisme Marxis

Kelompok feminisme marxis menolak keyakinan kaum feminis radikal yang menyatakan biologi sebagai dasar pembedaan gender. Bagi mereka penindasan perempuan adalah bagian dari penindasan kelas dalam hubungan produksi. Penganut feminisme marxis tidak menganggap patriarki ataupun kaum laki-laki sebagai permasalahan, akan tetapi sistem kapitalisme yang sesungguhnya merupakan penyebab masalahnya.

4. Feminisme Sosialis

(28)

penilaian dan anggapan terhadap perbedaan itu. Oleh karena itu, yang diperangi dalam gerakan feminisme sosialis adalah konstruksi visi dan ideologi masyarakat serta struktur dan sistem yang tidak adil yang dibangun atas bias gender.

Gambar

Gambar 1. Kategori Tipe Tanda dari Peirce
Gambar 2.
Gambar merupakan hal yang penting dalam pembuatan iklan. Teknik
Gambar 3
+2

Referensi

Dokumen terkait

Melalui apa yang diucapkannya, “al-lisan mizan al-insan” (lisan adalah ukuran seorang manusia), begitu ungkapan Ali bin Abi Thalib. Tubb dan sylvia Moss, Humman communication,

Laporan skripsi dengan judul “Sistem Informasi Pakir Pada Rumah Sakit Islam Kudus” telah dilaksanakan dengan tujuan untuk menghasilkan sebuah sistem informasi

Analysis of sensitivity on the fattening beef cattle with coffee bran is required to see the extent of fattening cattle sensitivity to changes (deductions

Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis pengaruh kesadaran wajib pajak, sosialisasi perpajakan, dan pengetahuan perpajakan terhadap kemauan wajib pajak orang

signifikan terhadap variabel dependen pada drajat keyakinan tertentu. Sedangkan jika atau signifikan kurang dari 0.05 maka. Ho ditolak yang berarti variabel independen

BPRS Saka Dana Mulia Ini merupakan salah satu lembaga keuangan alternatif yang bernafaskan Islam yang sesuai dengan visinya yakni menjadi BPRS yang sehat dan

pembelajaran pair check dan peningkatan kemandirian belajar siswa. Berkenaan dengan bagaimana proses dari penerapan metode pembelajaran. pair check dalam meningkatkan

aspek kehidupan manusia khususnya dalam bidang pelayanan jasa.. pengiriman paket barang atau