BAB III
TINJAUAN UMUM MENGENAI JAMINAN KREDIT
A. Pengertian Jaminan
Dalam Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 mengenai Perbankan, tidak disebutkan secara
tegas mengenai kewajiban atau keharusan tersedianya jaminan atas kredit yang
dimohonkan oleh calon debitur atau debitur, seperti yang diatur dalam Undang –
Undang Perbankan sebelumnya.
Selengkapnya dibandingkan bunyi Pasal dalam Undang-Undang
Perbankan yang mengatur mengenai masalah jaminan tersebut, yaitu :
1. Bunyi Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang No. 14 Tahun 1967 : “Bank
umum tidak memberi kredit tanpa jaminan kepada siapapun juga”.
2. Bunyi Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 : “Dalam
memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah,
Bank Umum wajib mempunyai keyakinan berdasarkan analisis yang
mendalam atas itikad dan kemampuan serta kesanggupan nasabah
debitur untuk melunasi utangnya atau mengembalikan pembiayaan
dimaksud sesuai dengan yang diperjanjikan”.
Dalam Undang-Undang No. 14 Tahun 1967, secara tersirat jelas
ditekankan keharusan adanya jaminan atas setiap pemberian kredit kepada
siapapun. Sedangkan dalam Undang-Undang No. 10 Tahun 1998, keharusan
kemampuan dan kesanggupan debitur…” dan sekaligus mencerminkan apa yang
disebut dengan jaminan yang harus disediakan oleh debitur.46
1. Jaminan yang diberikan kepada kreditur tersebut, baik berupa hak
kebendaanmaupun hak perorangan.
Untuk memperoleh keyakinan tersebut, sebelum memberikan kredit bank
harus melakukan penilaian yang seksama terhadap watak, kemampuan, modal,
agunan dan prospek usaha dari debitur.
Mengingat bahwa agunan menjadi salah satu unsure jaminan pemberian
kredit, maka apabila berdasarkan unsure-unsur lain telah dapat diperoleh
keyakinan atas kemampuan debitur mengembalikan utangnya, agunan hanya
dapat berupa barang, proyek atau hak tagih yang dibiayai dengan kredityang
bersangkutan.
Apalagi apabila kita melihat ketentuan Pasal 1131 KUH Perdata yang
menentukan bahwa segala kebendaan siberutang, baik yang bergerak maupun
yang tidak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada dikemudian
hari, menjadi tanggungan untuk segala perikatan perseorangan.
Yang dimaksud dengan jaminan itu sendiri adalah tanggungan yang
diberikan oleh debitur dan atau pihak ketiga kepada kreditur karena pihak kreditur
mempunyai suatu kepentingan bahwa debitur harus memenuhi kewajibannya
dalam suatu perikatan.
Dari pengertian tersebut lebih lanjut dapat dikemukakan bahwa :
19
2. Jaminan yang diberikan kepada kreditur tersebut, dapat diberikan oleh
debitur sendiri maupun pihak ketiga yang disebut juga penjamin atau
penanggung.
3. Jaminan yang diberikan kepada kreditur tersebut ialah untuk keamanan
dan kepentingan kreditur yang harus diadakan dengan suatu perjanjian
khusus, perikatan mana bersifat acesoir dari perjanjian kredit atau
pengakuan utang yang diadakan antara kreditur dengan debitur.
Mengenai pentingnya suatu jaminan oleh kreditur atas suatu pemberian
kredit, tidak lain adalah salah satu upaya untuk mengantisipasi risiko yang
mungkin timbul dalam tenggang waktu antara pelepasan dan pelunasan kredit
tersebut.
B. Prinsip-Prinsip Hukum Jaminan
Beberapa prinsip hukum jaminan sebagaimana yang diatur oleh
ketentuan-ketentuan KUH Perdata adalah sebagai berikut ;47
1. Kedudukan harta para pihak peminjam
Pasal 1131 KUH Perdata mengatur tentang kedudukan harta pihak
peminjam, yaitu bahwa harta para pihak peminjam adalah sepenuhnya
merupakan jaminan atas utangnya. Pasal 1131 KUH Perdata
menetapkan bahwa semua harta pihak peminjam, baik yang berupa
harta bergerak, baik yang sudah ada maupu yang akan ada di kemudian
hari merupakan jaminan atas perikatan utang pihak peminjam.
47
Ketentuan Pasal 1131 KUH Perdata merupakan salah satu
ketentuan pokok dalam hukum jaminan, yaitu mengtur tentang
kedudukan harta pihak yang berutang (pihak peminjam) atas perikatan
utangnya. Berdasarkan ketentuan Pasal 1131 KUH Perdata pihak
pemberi pinjaman akan dapat menuntut pelunasan utang pihak
peminjam dari semua harta yang bersangkutan, Termasuk senua harta
yang akan dimilikinya dikemudian hari. Pihak pemberi pinjaman
mempunyai hak untuk menuntut pelunasan utang dari harta yang akan
diperoleh oleh pihak peminjam dikemudian hari.
Ketentuan Pasal 1131 KUH Perdata sering pula dicantumkan
sebagai salah satu klausul dalam perjanjian kredit perbankan.
Ketentuan Pasal 1131 KUH Perdata yang dicantumkan sebagai klausul
dalam perjanjian kredit bila ditinjau dari isi (materi) perjanjian, disebut
sebagai isi naturalia.
Klausul perjanjian yang tergolong sebagai isi naturalia merupakan
klausul fakultatif, artinya bila dicantumkan sebagai isi perjanjian akan
lebih baik, tetapi bila tidak dicantumkan, tidak menjadi masalah
kecacatan perjanjian karena hal (klausul) yang seperti demikian sudah
diatur oleh ketentuan hukum yang berlaku.
Dengan memperhatikan kedudukan ketentuan Pasal 1131 KUH
Perdata Bila dikaitkan dengan suatu perjanjian pinjaman uang, akan
lebih baik ketentuan tersebut dimasukkan sebagai klausul dalam
2. Kedudukan pihak pemberi pinjaman
Berdasarkan ketentuan Pasal 1132 KUH Perdata dapat disimpulkan
bahwa kedudukan pihak pemberi pinjaman dapat dibedakan atas dua
golongan, yaitu :
a. Yang mempunyai kedudukan berimbang sesuai dengan piutang
masing-masing.
b. Yang mempunyai kedudukan didahulukan dari pihak peberi
pinjaman yang lain berdasarkan suatu peraturan
perundang-undangan.
Pasal 1132 KUH Perdata menetapkan bahwa harta pihak peminjam
menjadi jaminan bersama bagi semua pihak pemberi pinjaman, hasil
penjualan harta tersebut dibagi-bagi menurut keseimbangan, yaitu
menurut besar kecilnya piutang masing-masing, kecuali apabila
diantara pihak pemberi pinjaman itu mempunyai alasan yang sah untuk
didahulukan.
3. Larangan memperjanjikan pemilikan objek jaminan utang oleh pihak pemberi pinjaman
Pihak pemberi pinjaman dilarang memperjanjikan akan memiliki
objek jaminan utang bila pihak peminjam ingkar janji atau
wanperstasi. Larangan bagi pihak pemberi pinjaman utnuk
memperjanjikan akan memiliki objek jaminan utang sebagaimana yang
ditetapkan dalam ketentuan-ketentuan lembaga jaminan tersebut
pemberi pinjaman lainnya, terutama bila nilai objek jaminan melebihi
besarnya utang yang dijamin.
Pihak pemberi pinjaman yang mempunyai hak berdasarkan
ketentuan lembaga jaminan dilarang serta-merta menjadi pemilik objek
jaminan utang bila pihak peminjam ingkar janji. Ketentuan-ketentuan
seperti tersebut di atas tentunya akan dapat mencegah tidakan
sewenang-wenang pihak pemberi pinjaman yang akan merugikan
pihak peminjam.
C. Jenis-Jenis Jaminan
Oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, pada
dasarnya jenis-jenis jaminan kredit adalah sebagai berikut :
1. Jaminan Perorangan
Jaminan perorangan adalah jaminan berupa pernyataan kesanggupan
yang diberikan oleh seseorang pihak ketiga, guna menjamin pemenuhan
kewajiban-kewajiban debitur kepada pihak kreditur, apabila debitur yang
bersangkutan wanprestasi.48
Jaminan kebendaan adalah jaminan berupa harta kekayaan, baik benda
maupun hak kebendaan, yang diberikan dengan cara pemisahan bagian Jaminan semacam ini pada dasarnya adalah penanggungan utang yang
diatur dalam KUH Perdata Pasal 1820 sampai dengan Pasal 1850
(termasuk Pasal 1316).
2. Jaminan Kebendaan
48
dari harta kekayaan baik dari sidebitur maupun dari pihak ketiga, guna
menjamin pemenuhan kewajiban-kewajiban debitur kepada pihak kreditur,
apabila debitur yang bersangkutan wanprestasi.49
a. Jaminan dengan benda berwujud (material)
Menurut sifatnya, jaminan kebendaan ini terbagi 2, yaitu :
Dapat berupa benda atau barang bergerak dan barang tidak bergerak.
Sedangkan benda tak berwujud yang lazim diterima oleh bank sebagai
jaminan kredit adalah berupa hak tagih.
Barang bergerak yang lazim diterima sebagai jaminan kredit oleh bank,
antara lain dapat berupa :
1. Kendaraan Bermotor.
Yang dimaksud dengan kendaraan bermotor disini adalah mobil
dengan berbagai jenis, tipe dan merek serta sepeda motor dan skuter.
Hal ini sesuai dengan definisi yang diberikan oleh Undang-Undang No. 14
Tahun 1992 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Raya, yaitu pada
Pasal 1 ayat (7) disebutkan bahwa “kendaraan bermotor adalah setiap
kendaraan yang digerakkan, oleh peralatan teknik yang berada di atas atau
pada kendaraan itu”.
Untuk kepentingan pengikatan jaminan, maka yang harus diminta oleh
bank adalah buku Bukti Pemilikan Kendaraan Bermotor (BPKB).
2. Stok Barang.
49
Yang dimaksud dengan stok barang disini adalah barang dagangan,
baik yang sudah ada maupun yang akan ada yang dapat dinilai baik secara
kuantitatif maupun kualitatif.
3. Deposito.
Apabila deposito akan dijadikan jaminan kredit, maka yang harus
diminta dan disimpan oleh bank adalah bilyet deposito tersebut, baik untuk
deposito berjangka maupun untuk sertifikat deposito.
Kemudian atas deposito ini, harus diperiksa keaslian, legalitasnya serta
kebenaran daripada isi bilyet tersebut. Ada beberapa cara untuk
mengetahui dan mengamankan suatu deposito yang akan dijadikan
jaminan, antara lain adalah :50
a. Apabila bank penerbit deposito tersebut berbeda dengan bank pemberi
kredit, maka :
1. Pemilik deposito memberikan surat kuasa kepada bank pemberi
kredit untuk memblokirkan atau mencairkan deposito pada
bank penerbit deposito tersebut.
2. Atas dasar surat kuasa tersebut bank pemberi kredit memebuat
surat permintaan pemblokiran atas deposito yang bersangkutan,
dimana sebagai tanda sepengetahuan dan pesetujuannya, maka
bank penerbit deposito tersebut membubuhkan tanda tangannya
pada surat permintaan pemblokiran deposito tadi.
50
b. Apabila bank penerbit deposito tersebut dan bank pemberi kredit
adalah bank yang sama, maka :
1. Pemilik deposito memberikan surat kuasa kepada bank pemberi
kredit untuk memblokirkan atau mencairkan deposito yang
dijaminkan tersebut.
2. Atas dasar surat kuasa tersebut bank yang bersangkutan
melakukan pengecekan keaslian dan kebenaran serta
pemblokiran atas deposito tersebut.
Sedangkan barang tidak bergerak yang lazim diterima sebagai jaminan
kredit oleh bank, dapat berupa ;
1. Tanah dan Bangunan.
Sehubungan dengan kenyataan yang ada saat ini bahwa tanah-tanah
dan benda-benda khususnya bangunan yang ada di atasnya merupakan
satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan, maka apabila bank bank akan
menerima tanah sebagai jaminan kredit, maka benda-benda yang berada di
atas tanah tersebut harus diminta pula sebagai jaminan atas kredit tersebut.
2. Kapal
Untuk kepentingan pembebanan hak tanggungan atau perikatan
jaminan kapal, maka secara umum dapat dibagi menjadi 2 bagian, yaitu :
a. Kapal yang berukuran kurang dari 20 meter kubik.
b. Kapal yang berukuran 20 meter kubik atau lebih.
Sebagaimana telah dikemukakan pemberian kredit adalah salah satu
bentuk pinjaman uang. Dalam suatu pinjaman uang sering dipersyaratkan adanya
jaminan utang yang dapat terdiri dari berbagai bentuk dan jenisnya. Mengenai
penjaminan utang, dalam hukum positif di Indonesia terdapat berbagai peraturan
perundang-undangan yang mengatur atau berkaitan dengan jaminan utang yang
sering disebut dengan sebutan hukum jaminan. Ketentuan-ketentuan hukum
jaminan yang berlaku memberikan pengaturan yang akan melindungi pihak-pihak
yang berkepentingan dengan pinjaman uang dan jaminan utang tersebut.
Dari uraian di atas terlihat bahwa jaminan yang diberikan debitur kepada
kreditur mempunyai fungsi sebagai berikut :
1. Jaminan kredit sebagai pengamanan pelunasan kredit
Bank sebagai badan usaha yang memberikan kredit kepada debitur
wajib melaksanakan upaya pengamanan agar kredit tersebut dapat dilunasi
debitur yang bersangkutan. Kredit yang tidak dilunasi oleh debitur baik
sebagian maupun seluruhnya akan merupakan kerugian bagi bank.
Kerugian yang menunjukkan jumlah yang relatif besar akan
mempengaruhi tingkat kesehatan bank dan kelanjutan usaha bank.
Oleh karena itu, sekecil apapun nilai uang dari kredit yang telah
diberikan kepada debitur harus tetap diamankan sesuai dengan prinsip
kehati-hatian. Secara umum pengamanan kredit dapat dilakukan melalui
tahap analisis kredit dan melalui penerapan ketentuan hukum yang
ditemukan baik pada tahap analisis kredit maupun melalui penerapan
ketentuan hukum.
Keterkaitan jaminan kredit dengan pengamanan kredit dapat
disimpulkan dari ketentuan Pasal 1131 KUH Perdata sehingga merupakan
upaya lain atau alternatif yang dapat digunakan bank untuk memperoleh
pelunasan kredit pada waktu debitur ingkar janji pada bank.
Bila di kemudian hari debitur ingkar janji, yaitu tidak melunasi
utangnya kepada bank sesuai dengan ketentuan perjanjian kredit, akan
dilakukan pencairan (penjualan) atas objek jaminan kredit yang
bersangkutan. Hasil pencairan kredit tersebut selanjutnya akan
diperhitungkan oleh bank untuk pelunasan kredit debitur yang telah
dinyatakan sebagai kredit macet.
Fungsi jaminan kredit untuk mengamankan pelunasan kredit baru akan
muncul pada saat kredit dinyatakan sebagai kredit macet. Selama kredit
telah dilunasi oleh debitur, tidak akan terjadi pencairan jaminan kreditnya.
Dalam hal ini jaminan kredit akan dikembalikan kepada debitur yang
bersangkutan sesuai dengan ketentuan hukum dan perjanjian kredit.
Fungsi jaminan kredit untuk mengamankan pelunasan kredit sangat
berkaitan dengan kepentingan bank yang menyalurkan dananya kepada
debitur yang sering dikatakan mengandung risiko. Dengan adanya jaminan
berlaku, pelaksanaan fungsi tersebut akan terlaksana pada saat debitur
ingkar janji atau wanprestasi.51
2. Jaminan kredit sebagai pendorong motivasi debitur
Pengikatan jaminan kredit yang berupa harta milik debitur yang
dilakukan oleh pihak bank, tentunya debitur yang bersangkutan takut akan
kehilangan harta tersebut. Hal ini akan mendorong debitur berupaya untuk
melunasi kreditnya kepada bank agar hartanya yang dijadikan jaminan
kredit tersebut tidak hilang karena harus dicairkan oleh bank.
Umumnya sesuai dengan ketentuan peraturan internal masing-masing
bank, nilai jaminan kredit yang diserahkan debitur kepada bank lebih besar
bila dibandingkan dengan nilai kredit yang diberikan bank kepada debitur
yang bersangkutan.
Hal ini memberikan motivasi kepada debitur untuk menggunakan
kredit sebaik-baiknya, melakukan kegiatan usahanya secara baik,
mengelola kondisi keuangan secara hati-hati sehingga dapat segera
melunasi kreditnya agar dapat menguasai kembali hartanya. Tidak dapat
dipungkiri siapapun juga pasti tidak ingin kehilangan hartanya karena
merupakan sesuatu yang dibutuhkan, mempunyai nilai-nilai tertentu, atau
disayangi.52
3. Motivasi pemenuhan perjanjian
Dengan adanya jaminan yang diberikan debitur kepada kreditur, maka
debitur akan merasa termotivasi untuk memenuhi isi perjanjian. Ini
51
M. Bahsan, op.cit., hlm 102.
52
disebabkan karena jaminan yang diberikan kepada kreditur lebih besar
nilainya dari jumlah uang yang dipinjam debitur. Dengan pengertian lain,
secara sepintas adanya kewajiban bagi debitur untuk melunasi utangnya
disebabkan karena keinginan menebus benda yang dijadikan jaminan.53
Sehubungan dengan adanya persyaratan administrative yang ditetapkan
dalam peraturan internal bank, untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan
hendaknya bank tidak menyetujui permohonan penarikan kredit yang diajukan
debitur sebelum seluruh persyaratan administratif diselesaikan oleh debitur,
termasuk mengenai pengikatan dan penguasaan jaminan kreditnya.
E. Pengikatan Atas Jaminan Kredit
Terhadap setiap objek jaminan kredit yang diserahkan debitur dan
disetujui bank, harus segera diikat sebagai jaminan utang. Bank seharusnya
mengikat objek jaminan kredit secara sempurna, yaitu dengan mengikut i
ketentuan perundang-undangan yang mengatur tentang jaminan utang.
Pengikatan atau penguasaan jaminan kredit seharusnya dilakukan sebelum
diizinkannya dibitur menarik dana kredit. Keharusan pengikatan dan penguasaan
jaminan kredit merupakan bagian dari persyaratan adminstratif yang sudah
diselesaikan sebelum kredit disalurkan dananya kepada debitur.
54
53
T. Darwini, op.cit., hlm. 55.
54
BAB IV
DEPOSITO SEBAGAI JAMINAN KREDIT PADA BANK SUMUT CABANG BINJAI A. Hubungan Antara Pihak Bank Dengan Nasabah
Hubungan antara pihak bank dengan nasabah adalah suatu perjanjian yang
berarti para pihak dalam hal ini bank dengan nasabah mempunyai hak dan
kewajiban. Apabila diperhatikan secara seksama UUP, tidak ditemui ketentuan
yang mengatur secara tegas perihal hubungan hukum antara pihak bank dengan
nasabahnya.
Namun dari beberapa ketentuan dapat disimpulkan, bahwa hubungan antara bank dengan nasabah diatur oleh suatu perjanjian. Hal ini disimpulkan dari ayat 1 ayat (5) UUP, “ Simpanan adalah dana yang dipercayakan oleh masyarakat kepada bank berdasarkan perjanjian penyimpanandan dalam bentuk giro, deposito, sertifikat deposito, tabungan dan/atau untuk lainnya yang dipersamakan dengan itu “.55
Hal ini berarti bahwa pasal-pasal itu boleh dikesampingkan apabila
dikehendaki oleh para pihak yang membuat perjanjian, mereka diperbolehkan
membuat ketentuan sendiri yang menyimpang dari pasal-pasal hukum
perjanjian.
Masalah hukum perjanjian, ketentuan umumnya dapat dilihat dalam buku
KUH Perdata yang menganut sistem terbuka dalam arti hukum perjanjian
memberikan kebebasan yang seluas-luasnya kepada masyarakat untuk
mengadakan perjanjian asal tidak melanggar ketertiban umum dan kesusilaan.
56
55
Sentosa Sembiring, 2000, Hukum Perbankan, Mandar Maju, Bandung, hlm. 60.
56
Akibat hukum ditandatanganinya suatu perjanjian ialah perjanjian tersebut
mengikat para pihak. Asas ini dalam hukum perjanjian dikenal dengan asas
kebebasan berkontrak. Asas ini tersimpul dari pasa 1338 ayat (1) KUH Perdata
yang mengemukakan, bahwa semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku
sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Sedangkan persyaratan
sahnya suatu perjanjian dapat dilihat dala pasal 1320 KUH Perdatayang dikenal
dengan asasnya yaitu asas konsensualitas atau asas kesepakatan.
Kedua asas di atas dapat diterapkan apabila posisi tawar menawar para
pihak adalah setara dalam arti para pihak dapat saling mengemukakan apa yang
dikehendaki masing-masing. Dalam praktik, pada umumnya bank telah membuat
formulir tersendiri. Dalam formulir tersebut, telah tertera segala persyaratan yang
harus ditentukan oleh bank. Disebut demikian, karena persyaratan antara satu
bank dengan bank lainnya berbeda satu sama lain. Tampaknya jenis simpanan
yang cukup berkembang pesat adalah simpanan dalam bentuk deposito.
Namun demikian sebagai gambaran umum kiranya dapat diungkap di sini,
bahwa bank mempunyai kewajiban untuk :
1. Menjamin kerahasiaan identitas nasabah beserta dengan dana yang
disimpan pada bank, kecuali jika peraturan perundang-undangan
menentukan lain.
2. Menyerahkan dana kepada nasabah sesuai dengan perjanjian yang
telah disepakati.
4. Mengganti kedudukan debitur dalam hal nasabah tidak mampu
melaksanakan kewajibannya kepada pihak ketiga.
5. Melakukan pembayaran kepada eksportir dalam hal digunakan fasilitas
L/C, sepanjang persyaratan untuk itu telah dipenuhi.
6. Memberikan laporan kepada nasabah terhadap perkembangan
simpanan dananya di bank.
7. Mengembalikan agunan dalam hal kredit telah lunas.
Sebaliknya bank berhak untuk :
1. Mendapatkan provisi terhadap layanan jasa yang diberikan kepada
nasabah.
2. Menolak pembayaran apabila tidak memenuhi persyaratan yang telah
disepakati bersama.
3. Melelang agunan dalam hal nasabah tidak mampu melunasi kredit
yang diberikan kepadanya sesuai dengan perjanjian kredit yang telah
ditandatangani kedua belah pihak.
4. Pemutusan rekening nasabah.
5. Mendapatkan buku cek, bilyet giro, buku tabungan, kartu kredit dalam
hal terjadi penutupan rekening.
Kewajiban nasabah :
1. Mengisi dan menandatangani formulir yang telah disediakan oleh
bank, sesuai dengan layanan jasa yang diinginkan oleh calon nasabah.
3. Menyetor dana awal yang ditentukan oleh bank ( dalam hal ini dana
awal tersebut cukup bervariasi tergantung dari jenis layanan jasa yang
diinginkan).
4. Membayar provisi yang ditentukan oleh bank.
5. Menyerahkan buku cek/giro bilyet tabungan.
Nasabah berhak untuk :
1. Mendapatkan layanan jasa yang diberikan oleh bank, seperti fasilitas
kartu ATM.
2. Mendapatkan laporan atas transaksi yang dilakukan melalui bank.
3. Menuntut bank dalam hal terjadi pembocoran rahasia bank.
4. Mendapatkan agunan kembali, bila kredit yang dipinjam telah lunas.
5. Mendapat sisa uang pelengkap dalam hal agunan dijual untuk melunasi
kredit yang tidak terbayar.
B. Wanprestasi Dalam Perjanjian Kredit Dengan Jaminan Deposito
Pengertian yang umum tentang wanprestasi adalah pelaksanaan kewajiban yang tidak tepat pada waktunya atau dilakukan tidak menurut selayaknya. Dengan demikian seorang debitur disebutkan dan berada dalam keadaan wanprestasi, apabila dia dalam melakukan pelaksanaan prestasi perjanjian telah lalai sehingga terlambat dari jangka waktu yang telah ditentukan atau dalam melaksanakan prestasi tidak menurut yang sepatutnya atau selayaknya.57
Banyak perikatan yang tidak dengan ketentuan waktu pemenuhan
prestasinya memang dapat segera ditagih, tetapi debitur juga tidak dapat menuntut
pengganti kerugian apabila kreditur tidak segera mengirim barangnya ke rumah
debitur. Hal ini diperlukan tenggang waktu yang layak dan ini diperbolehkan
57
dalam praktik. Tenggang waktu dapat beberapa jam, dapat pula satu hari, bahkan
lebih.58
Maka dari itu perjanjian-perjanjian yang tidak ditentukan waktunya
wanprestasi tidak terjadi demi hukum, karena tidak ada kepastian kapan
betul-betul wanprestasi. Kalau perikatan itu dengan ketentuan waktu, kadang-kadang
ketentuan waktu mempunyai arti yang lain yaitu : “bahwa debitur tidak boleh
berprestasi sebelum waktu itu tiba”.59
Adapun bentuk wanprestasi adalah sebagai berikut :60
1. Debitur tidak memenuhi perikatan atau sama sekali tidak
melaksanakan prestasi.
2. Debitur terlambat memenuhi prestasi atau perikatan.
3. Debitur melaksanakan prestasi tetapi tidak baik atau debitur keliru atau
tidak pantas dalam memenuhi perikatan.
Wanprestasi itu tidak terjadi dengan sendirinya maka untuk menentukan
seseorang itu wanprestasi tergantung pada waktu yang diperjanjikan. Yang mudah
untuk menentukan saat debitur wanprestasi yaitu mulai saat orang itu melakukan
perbuatan yang dilarang dalam perjanjian atau dikatakan tidak lagi memenuhi
perikatan, maka ia dikatakan wanprestasi.
Oleh karenanya, akibat yang timbul dari wanprestasi adalah keharusan
debitur untuk membayar ganti rugi atau dengan adanya wanprestasi oleh salah
satu pihak, pihak yang lainnya dapat menuntut pembatalan perjanjian. Kerugian
58
Ibid.
59
Ibid.
60
tersebut oleh kreditur dapat menimbulkan salah satu dari 5 kemungkinan yang
terjadi, yaitu sebagai berikut :61
1. Dapat menuntut pembatalan atau pemutusan perjanjian.
2. Dapat menuntut pemenuhan perjanjian.
3. Dapat menuntut pengganti kerugian.
4. Dapat menuntut pembatalan dan pengganti kerugian.
5. Dapat menuntut pemenuhan dan pengganti kerugian.
Dengan demikian, dalam hal wanprestasi yang terjadi pada perjanjian
kredit dengan jaminan deposito ialah sama halnya dengan wanprestasi pada
umumnya hanya saja objek yang dijadikan dalam perjanjian kredit ini ialah
simpanan deposito dimana pihak debitur tidak melaksanakan prestasinya sesuai
dengan waktu yang ditentukan atas kesepakatan kedua belah pihak yakni pihak
kreditur dan pihak debitur berkenaan dengan perjanjian yang telah dibuat atau
pihak debitur terlambat memenuhi prestasinya.
C. Penyelesaian Kredit Bermasalah Melalui Jalur Hukum
Penyelesaian terhadap kredit yang sudah pada tahap kualitas macet maka
penanganannya lebih banyak ditekankan melalui beberapa upaya yang lebih
bersifat pemakaian lembaga hukum, diantaranya :62
2. Melalui badan peradilan.
1. Melalui Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN) dan Badan Urusan
Piutang Negara (BUPN).
3. Melalui arbitrase atau Badan Alternative Penyelesaian Sengketa.
61
T. Darwini. op.cit., hlm. 23.
62
4. Melalui Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN).
Selain melalui lembaga sebagaimana tersebut di atas, penanganan kredit
macet dalam kondisi penyehatan perbankan, yaitu pada saat ini masih ada Badan
Penyehatan Perbankan Nasional. Demikian juga halnya dengan penanganan kredit
macet yang dimiliki oleh bank dalam penyehatan ditangani langsung oleh
lembaga Badan Penyehatan Perbankan Nasional.
Penanganan kredit macet oleh Badan Penyehatan Perbankan Nasional,
diantaranya, melalui penyertaan modal sementara, sebagaimana ditetapkan dalam
Pasal 15 Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 tentang Badan Penyehatan
Perbankan Nasional, yaitu bahwa dalam rangka penyehatan perbankan dan/atau
pengelolaan kekayaan yang berbentuk portofolio kredit, Badan Penyehatan
Perbankan Nasional dapat melakukan penyertaan modal sementara. Penyertaan
modal sementara dilakukan secara langsung atau melalui pengonversian tagihan
Badan Penyehatan Perbankan Nasional menjadi penyertaan modal.
Badan Penyehatan Perbankan Nasional dalam menangani kredit bank
dalam penyehatan sesuai dengan ketentuan Pasal 53 Peraturan Pemerintah Nomor
27 Tahun 1999 dilakukan melalui, antara lain, tindakan pemantauan kredit;
peninjauan ulang, pengubahan, pembatalan, pengakhiran, dan/atau
penyempurnaan dokumen kredit dan jaminan; resrukturisasi kredit; penagihan
piutang; penyertaan modal pada debitur; memberikan jaminan atau
penanggungan; pemberian atau penambahan fasilitas pembiayaan; dan/atau
Adapun tata cara dalam penanganan melalui tindakan seperti di atas begitu
pula dengan syarat-syaratnya, terlebih dahulu harus ditetapkan oleh Badan
Penyehatan Perbankan Nasional dengan persetujuan Menteri Keuangan.63
1. Penyelesaian kredit bermasalah melalui PUPN/BUPN
Kredit bernasalah terutamanya golongan kredit macet pada bank milik
Negara merupakan salah satu bentuk yang dikategorikan sebagai
piutang negara karena bank milik negara merupakan salah satu badan
yang secara langsung atau tidak langsung dikuasai negara.
Dengan demikian, sesuai dengan ketentuan Pasal 12 Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 49 Tahun 1960 tentang
Panitia Urusan Piutang Negara, penyelesaian kredit bank milik negara
dapat diusahakan melalui Panitia Urusan Piutang Negara. Panitia ini
merupakan suatu panitia interdepartemental, yang anggotanya terdiri
atas wakil Departemen Keuangan; Departemen Hankam; Kejaksaan
Agung; dan dari Bank Indonesia. Sedangkan struktur organisasinya
terdiri atas PUPN pusat, wilayah, dan cabang.
Dalam menjalankan tugasnya, Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN)
berpedomanpada ketentuan Pasal 2 Keputusan Presiden Nomor 11
Tahun 1976 tentang Panitia Urusan Piutang Negara dan Badan Urusan
Piutang Negara. Di dalam ketentuan tersebut disebutkan bahwa PUPN
mempunyai tugas :64
63
Ibid., hlm.562.
64
a. Membahas pengurusan piutang Negara, yaitu utang kepada
negara yang harus dibayar kepada negara, yakni
instansi-instansi pemerintah atau badan-badan usaha negara yang modal
atau kekayaannya sebagian atau seluruhnya milik negara, baik
di pusat maupun di daerah.
b. Melakukan pengawasan terhadap piutang-piutang, kredit-kredit
yang telah dikeluarkan oleh instansi-instansi pemerintah atau
badan-badan usaha negara baik di pusat maupun di daerah.
Pengurusan piutang negara oleh PUPN dimaksudkan untuk
menyelamatkan keuangan negara secara cepat, efektif, dan efesien.
Mekanisme penanganan piutang negara oleh PUPN, yaitu apabila
piutang negara tersebut telah diserahkan pengurusannya kepada
pemerintah atau bank milik negara tersebut.
Piutang yang diserahkan adalah piutang yang adanya dan besarnya
telah pasti menurut hukum, tetapi yang penanggung utangnya tidak
melunasi sebagaimana mestinya. Apabila kita mengacu pada
mekanisme penyelesaian pengurusan piutang negara secara khusus,
pada dasarnya pengurusan piutang negara dari kredit macet tersebut
juga tidak jauh berbeda, yaitu paling tidak melalui tahapan :65
1. Setelah dirundingkan oleh panitia dengan penanggung utang
dan diperoleh kata sepakat tentang jumlah utangnya yang
masih harus dibayar, termasuk bunga uang, denda, serta
biaya-65
biaya yang bersangkutan dengan piutang ini, oleh ketua panitia
dan penanggung utang/penjamin utang dibuat pernyataan
bersama yang memuat jumlah dan kewajiban penanggung
utang untuk melunasinya.
2. Pernyataan bersama ini mempunyai kekuatan pelaksanaan,
seperti suatu putusan hakim yang telah berkekuatan hukum
pasti. Dengan demikian, PUPN mempunyai kewenangan
parate executie.
3. Pelaksanaannya dilakukan oleh ketua panitia dengan suatu
surat paksa melalui cara penyitaan, pelelangan barang-barang
kekayaan penanggung utang/penjamin utang dan penyanderaan
terhadap penanggung utang/penjamin utang, dan pernyataan
lunas piutang negara.
Dalam hal penyitaan khususnya terhadap kekayaan yang tersimpan di
lembaga perbankan, maka sesuai dengan ketentuan Pasal 4 Keputusan
Menteri Keuangan Nomor 376/KMK.09/1995, maka PUPN dapat
melakukannya tanpa memerlukan izin terlebih dahulu dari Menteri
Keuangan.
Adapun hasil dari penyitaan tersebut untuk digunakan pembayaran
atau pelunasan utang penanggung utang/penjamin utang. Meskipun
PUPN tidak memerlukan izin untuk penyitaan tersebut, PUPN tetap
harus memperhatikan ketentuan mengenai rahasia bank sebagaimana
Dalam penyelesaian piutang bank yang sudah diserahkan kepada
PUPN, maka kerahasiaan bank tersebut dikecualikan. Maksudnya,
bahwa untuk penyelesaian piutang bank yang sudah diserahkan kepada
PUPN, pimpinan Bank Indonesia memberikan izin kepada pejabat
PUPN untuk memperoleh keterangan dari bank mengenai simpanan
nasabah debitur.
Izin tersebut diberikan secara tertulis berdasarkan permintaan tertulis
dari ketua PUPN. Pelaksanaan pemberian izin atas permohonan
pembukaan kerahasiaan bank menyangkut PUPN telah diatur dalam
Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 31/82/KEP/DIR
tanggal 31 Desember 1998 tentang Persyaratan dan Tata cara
Pemberian Izin atau Perintah Membuka Rahasia Bank.
Dalam masalah piutang negara ini selain penanganan secara
interdepartemental oleh PUPN, juga dilakukan oleh suatu badan yang
khusus di bawah Departemen Keuangan, yaitu Badan Urusan Piutang
dan Lelang Negara (BUPLN) sebagaimana diatur dalam Keputusan
Presiden Nomor 21 Tahun 1991 tentang Badan Urusan Piutang dan
Lelang Negara.
Adapun tugasnya adalah sebagai pelaksana teknis, operasianal dari
keputusan-keputusan yang diambil oleh PUPN sebagaimana
ditentukan oleh Pasal 2 ayat (5) Keputusan Menteri Keuangan Nomor
sebagai badan yang dipimpin oleh seorang kepala yang mempunyai
kedudukan setingkat dengan Direktur Jenderal.
Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara menurut Pasal 2 Keputusan
Presiden Nomor 21 Tahun 1991, suatu badan yang mempunyai tugas
penyelenggaran pengurusan piutang negara dan lelang, baik yang
berasal dari penyelenggaraan pelaksanaan tugas Panitia Urusan
Piutang Negara maupun pelaksanaan kebijakan yang ditetapkan oleh
Menteri Keuangan dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dengan tugas pokoknya sebagaimana disebutkan dalam Pasal 2 di atas,
maka BUPLN mempunyai fungsi sebagai berikut :66
a. Perumusan kebijaksanaan teknis dan pembinaan di bidang
pengurusan piutang negara dan lelang sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
b. Perumusan rencana dan pelaksanaan registrasi, verifikasi,
pembukuan, penetapan, penagihan, dan/atau eksekusi terhadap
pengurusan piutang negara.
c. Perumusan rencana dan pelaksanaan pelelangan serta
penggalian potensi lelang.
d. Memberikan pertimbangan mengenai usul penghapusan
piutang negara berdasarkan kebijaksanaan yang ditetapkan oleh
Menteri Keuangan.
66
e. Pengamanan teknis yuridis dan operasional atas pelaksanaan
tugas Badan Piutang dan Lelang Negara sesuai dengan
kebijaksanaan yang telah ditetapkan Menteri Keuangan dan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Fungsi tersebut di atas tidaklah jauh berbeda dengan ketentuan
sebelumnya yang tercantum dalam Keputusan Presiden Nomor 11
Tahun 1976. Pelimpahan pengurusan penyelesaian kredit macet
kepada BUPLN selambat-lambatnya tiga bulan setelah jatuh tempo
yang tercantum dalam dokumen-dokumen perpanjangan jangka waktu
pelunasan kredit.
Pengurusan penyelesaian kredit ini dapat juga karena inisiatif BUPLN
sendiri, jadi tidak menunggu pelimpahan dari pemerintah dan Badan
Usaha Milik Negara saja. Pengurusan atas inisiatif sendiri tersebut atas
dasar pemikiran bahwa sifat pengurusan dan penagihan piutang macet
adalah untuk maksud mengamankan keuangan atau kekayaan negara,
maka BUPLN wajar untuk mengurus dan menagih piutang tersebut.
Setalah pengurusan kredit ditangan BUPLN, bukan lagi pemerintah
(Bank atau Badan Usaha Milik Negara) yang menjadi pihak yang
berpiutang, melainkan negaralah yang menjadi pihak yang berpiutang.
Sebagai akibat dari pola pemikiran tersebut, maka dalam menghadapi
debitur, BUPLN bertindak sebagai penguasa yang melaksanakan
debitur dan BUPLN tidak dalam posisi yang sejajar serta tidak bersifat
hukum perdata.
Dalam hal si penanggung utang mempunyai kekayaan yang tersimpan
pada bank, maka BUPLN berwenang untuk melakukan pemblokiran
atas kekayaan tersebut. Dalam pelaksanaan pemblokiran BUPLN harus
membuat berita acara pemblokiran yang disaksikan oleh pimpinan
bank atau pejabat bank yang berwenang dan tindakan dari berita acara
dimaksud disampaikan pula kepada pimpinan bank yang bersangkutan.
Pemblokiran dapat dicabut dan untuk itu perlu dituangkan pula dalam
berita acara.
BUPLN dalam menjalankan kewenangan untuk pemblokiran ini tetap
harus memperhatikan kerahasiaan bank. Namun, untuk pelaksanaan
kewenangannya diberikan pengecualian, yaitu bahwa untuk
penyelesaian piutang bank yang sudah diserahkan kepada BUPLN,
kerahasiaan bank tersebut dikecualikan. Maksudnya, bahwa untuk
penyelesaian piutang bank yang sudah diserahkan kepada BUPLN,
pimpinan Bank Indonesia memberikan izin kepada pejabat BUPLN
untuk memperoleh keterangan dari bank mengenai simpanan nasabah
debitur. Izin tersebut diberikan secara tertulis berdasarkan permintaan
tertulis dari kepala BUPLN.
2. Penyelesaian kredit bermasalah melalui badan peradilan
Dalam hal debitur tidak memenuhi kewajibannya, setiap kreditur dapat
Peradilan yang dapat menyelesaikan dan menangani kredit bermasalah,
yaitu peradilan umum melalui gugatan perdata dan peradilan niaga
melalui gugatan kepailitan.
Penyelesaian melalui gugatan perdata biasa telah sering dilakukan
sejak dahulu. Namun, untuk penyelesaian melalui gugatan kepailitan,
baru dikembangkan kembali setelah dibentuknya peradilan khusus
yang disebut peradilan niaga.
Apabila sudah ditetapkan keputusan pengadilan yang kemudian
mempunyai kekuatan hukum untuk dilaksanakan, tetapi debitur tetap
tidak melunasi utangnya, pelaksanaan keputusan tersebut dilaksanakan
atas dasar perintah dan dengan pimpinan ketua pengadilan negeri yang
memeriksa gugatannya pada tingkat pertama, menurut
ketentuan-ketentuan HIR Pasal 195, dan selanjutnya. Atas perintah ketua
pengadilan tersebut dilakukanlah penyitaan harta kekayaan debitur,
untuk kemudian dilelang dengan perantaraan kantor lelang. Dari hasil
pelelangan itu kreditur memperoleh pelunasan piutangnya.
Prosedur ini memakan waktu yang relatif lama karena debitur yang
dikalahkan biasanya mengulur waktu dengan memepergunakan upaya
banding dan kasasi. Selain itu, jika pengadilan tetap memenangkan
gugatan kreditur, terkadang eksekusinya belum tentu membawa hasil
yang memuaskan.
Dalam hal gugatan perdata bagi bank milik Negara, selain bias
juga dimungkinkan melalui penggunaan jasa kejaksaan. Penggunaan
jasa ini pada dasarnya terbatas hanya dapat digunakan oleh bank-bank
pemerintah, tetapi bank swasta lain yang sebagian sahamnya dimiliki
pemerintah juga dapat menggunakan jasa kejaksaan tersebut.
Hal ini tidaklah bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1991 tentang Kejaksaan, terutama Pasal 27. Ketentuan Pasal 27 ayat
(2), mengatur bahwa kejaksaan dapat bertindak dibidang perdata dan
tata usaha negara atau pemerintah.Membela kepentingan negara inilah
yang merupakan kekuatan dapatnya kejaksaan untuk membela
kepentingan perusahaan negara atau perusahaan yang sebagian
sahamnya dimiliki perusahaan negara.
Peran kejaksaan dalam menangani kredit macet dari bank pemerintah
ini adalah sebagai konsultan hukum atau pengacara pemerintah dalam
hubungan kasus keperdataan. Dalam penggunaan jasa kejaksaan ini,
bank tersebut tidak perlu meminta izin siapapun.67
67
Ibid., hlm. 567.
Dari uraian di atas dilihat segi ekonomi maka penyelesaian melalui
peradilan ini mengandung suatu kelemahan. Kelemahan tersebut
terjadi karena beberapa hal, seperti ketidakefesienan sistem peradilan
yang ada sebab harus mengikuti sistem yang formal dan teknis sekali
sehingga penyelesaian tersebut kurang efektif karena memerlukan
Penyelesaian seperti itu dipandang dari segi kegiatan usaha yang selalu
berpedoman cepat dan berbiaya murah kondisinya bertentangan
dengan kedua asas tersebut. Dengan demikian, dikembangkan suatu
penyelesaian yang bersifat informal dengan memenuhi kecepatan yang
diharapkan serta berbiaya murah. Atas tuntutan seperti itu maka
dikembangkanlah penyelesaian melalui arbitrase.
3. Penyelesaian kredit bermasalah melalui arbitrase
Dasar penyelesaian sengketa melalui arbitrase sekarang telah
mempunyai landasan yang kuat, yaitu berupa peraturan
perundang-undangan mengenai arbitrase, sebagaimana dimuat dalam
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa.
Pengertian arbitrase menurut Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor
30 Tahun 1999, yaitu cara penyelesaian suatu sengketa perdata diluar
peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat
secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa.
Penyelesaian melalui arbitrase ini dapat dijalankan apabila dalam
perjanjian kredit sebelum timbul sengketa (sebelum timbulnya kredit
bermasalah) telah dimuat klausul arbitrase atau suatu perjanjian
arbitrase tersendiri yang dibuat para pihak setelah timbulnya kredit
bermasalah tersebut.
Cara penyelesaian melalui lembaga arbitrase ini dilakukan melalui
bersengketa untuk memberikan putusan mengenai sengketa tertentu.
Penggunaan lembaga arbitrase dalam penyelesaian sengketa
perdagangan termasuk dalam menyelesaikan sengketa perkreditan
didasarkan pada beberapa keuntungan tertentu yang tidak diperoleh
dari penyelesaian selain arbitrase.
Diantara keuntungan tersebut, yaitu penyelesaiannya relatif tidak
memerlukan waktu yang lama dan dengan sifatnya yang tertutup
(ketentuan Pasal 27 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999) maka
diharapkan nama baik para pihak terjaga.
Di dalam penjelasan umum Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999,
disebutkan beberapa kelebihan dari penyelesaian sengketa melalui
arbitrase, yaitu para pihak dapat memilih arbiter yang menurut
keyakinannya mempunyai pengetahuan, pengalaman, serta latar
belakang yang cukup mengenai masalah yang disengketakan, jujur dan
adil; para pihak dapat menetukan pilihan hukum untuk menyelesaikan
masalahnya serta proses dan tempat penyelenggaraan arbitrase; serta
putusan arbitrase merupakan putusan yang mengikat para pihak dan
dengan melalui tata cara (prosedur) para pihak dan dengan melalui tata
cara (prosedur) sederhana saja ataupun langsung dapat dilaksanakan.
Namun, penyelesaian melalui arbitrase ini pun ada kelemahannya,
yaitu tidak adanya kemungkinan untuk meminta sita jaminan
Hal-hal yang berkaitan dengan cara penyelesaian sengketa arbitrase,
menurut Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan
Alternatif Penyelesaian Sengketa, diantaranya :68
a. Penyelesaian sengketa melalui arbitrase dapat dilakukan
dengan menggunakan lembaga arbitrase nasional atau
internasional berdasarkan kesepakatan para pihak dan
dilakukan menurut peraturan dan acara dari lembaga tersebut,
kecuali ditetapkan lain oleh para pihak (Pasal 34).
b. Pemeriksaan sengketa dalam arbitrase harus diajukan secara
tertulis, tetapi dapat juga secara lisan apabila disetujui para
pihak atau dianggap perlu oleh arbiter atau majelis arbitrase
(Pasal 36).
c. Arbiter atau majelis arbitrase terlebih dahulu mengusahakan
perdamaian antara pihak yang bersengketa (Pasal 45 ayat (1) ).
d. Pemeriksaan atas sengketa harus diselesaikan dalam waktu
paling lama 180 hari sejak arbiter atau majelis abitrase
terbentuk, tetapi dapat diperpanjang apabila diperlukan dan
disetujui para pihak (Pasal 48).
e. Putusan arbitrase harus memuat kepala putusan yang berbunyi
“ DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN
YANG MAHA ESA “; nama singkat sengketa; uraian singkat
sengketa; pendirian para pihak; nama lengkap dan alamat
68
arbiter; pertimbangan dan kesimpulan arbiter atau majelis
arbitrase mengenai keseluruhan sengketa; pendapat tiap-tiap
arbitrase dalam hal terdapat perbedaan pendapat dalam majelis
arbitrase; amar putusan; tempat dan tanggal putusan; dan tanda
tangan arbitrase atau majelis arbitrase (Pasal 54 ayat (1) ).
f. Dalam putusan ditetapkan suatu jangka waktu putusan tersebut
harus dilaksanakan (Pasal 54 ayat (4) ).
g. Apabila pemeriksaan sengketa telah selesai, pemeriksaan
segera ditutup dan ditetapkan hari sidang untuk mengucapkan
putusan arbitrase (Pasal 55) dan diucapkan dalam waktu paling
lama tiga puluh hari setelah pemeriksaan ditutup (Pasal 57).
h. Dalam waktu paling lama empat belas hari setelah putusan
diterima, para pihak dapat mengajukan permohonan kepada
arbiter atau majelis arbitrase untuk melakukan koreksi terhadap
kekeliruan administratif dan/atau menambah dan/atau
mengurangi sesuatu tuntutan putusan (Pasal 58).
Ketentuan-ketentuan prosedur di atas dimaksudkan untuk menjaga
agar jangan sampai penyelesaian sengketa melalui arbitrase menjadi
berlarut-larut sehingga dalam arbitrase tidak terbuka upaya hukum
banding, kasasi, ataupun peninjauan kembali.
4. Penyelesaian kredit bermasalah melalui BPPN69
69
Penanganan piutang negara oleh Badan Penyehatan Perbankan
Nasional terbatas pada piutang yang terjadi karena proses penyehatan
perbankan. Hal demikian karena Badan Penyehatan Perbankan
Nasional itu sendiri sebagai lembaga yang bersifat sementara didirikan
untuk penyehatan perbankan. Dengan demikian, piutang negara yang
ditanganinya hanya menyangkut piutang negara yang berasal dari
kredit yang ada pada bank dalam penyehatan.
Badan Penyehatan Perbankan Nasional dalam menangani piutang
negara dapat melakukan penagihan piutang yang sudah pasti berasal
dari bank dalam penyehatan. Yang dimaksud piutang bank dalam
penyehatan termasuk juga piutang yang sudah dialihkan kepada Badan
Penyehatan Perbankan Nasional.
Pelaksanaan penagihan melalui cara-cara sebagai berikut :70
Penerbitan surat paksa dilakukan apabila debitur melalaikan
kewajiban membayar atau kewajiban lainnya berdasarkan a. Penerbitan surat paksa
Penerbitan surat paksa secara formal sekurang-kurangnya harus
mengikuti ketentuan yang diatur dalam Pasal 56 ayat (1) Peraturan
Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999. Dengan memenuhi formalitas
yang ada, maka surat paksa tersebut mempunyai kekuatan
eksekutorial dan kedudukan hukum yang sama dengan putusan
pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap.
70
dokumen kredit, dokumen pemberian hak jaminan, pernyataan
yang telah dibuat sebelumnya, dan/atau dokumen lainnya; dan
kepada debitur dan/atau penanggung utang telah disampaikan surat
pemberitahuan atau peringatan melalui surat tercatat untuk
membayar atau dokumen lain yang dipersamakn dengan itu oleh
Badan Penyehatan Perbankan Nasional.
b. Penyitaan
Dalam waktu satu hari setelah diterimanya surat paksa, Badan
Penyehatan Perbankan Nasional berwenang melakukan eksekusi
atas kekayan milik debitur. Penyitaan dapat dilakukan terhadap
seluruh kekayaan milik debitur termasuk kekayaan milik debitur
yang berada dalam penguasaan pihak ketiga dan dikecualikan
kekayaan milik debitur yang berupa barang-barang bergerak yang
diperlukan untuk kelangsungan hidupnya.
Surat penyitaan harus memenuhi ketentuan formal yang ditentukan
pada Pasal 58 ayat (3) dan dilakukan oleh juru sita dengan dibantu
dua orang saksi dan dituangkan dalam Berita Acara Penyitaan yang
ditandatangani oleh juru sita dan dua orang saksi tersebut.
Berita Acara Penyitaan tersebut harus didaftarkan pada kantor
pendaftaran untuk dicatat oleh pejabat kantor pendaftaran yang
berwenang pada buku pendaftaran yang terkait tentang adanya
penyitaan tersebut.
Penjualan kekayaan milik debitur yang telah disita dilakukan
melalui pelelangan. Pembagian hasil penjualan dilaksanakan
berdasarkan ketentuan hak memperoleh pemenuhan pembayaran
lebih dahulu yang berlaku atas piutang negara, sesuai
prundang-undangan yang berlaku.
Badan Penyehatan Perbankan Nasional mempunyai kewenangan
yang besar karena upaya hukum apapun yang belum mempunyai
kekuatan hukum yang tetap tidak mencegah atau menunda
pelaksanaan tindakan hukum yang dilakukan Badan Penyehatan
Perbankan Nasional.
Badan Penyehatan Perbankan Nasional dapat menerbitkan surat
pencabutan sita atas barang yang dilakukan penyitaan, dalam hal
utang debitur telah dibayar lunas yang dibuktikan dengan surat
tanda lunas yang dikeluarkan oleh Badan Penyehatan Perbankan
Nasional atau dalam hal telah tercapai kesepakatan lain dengan
Badan Penyehatan Perbankan Nasional.
Selanjutnya, kantor pendaftaran mencatat pencabutan blokir
dan/atau pengangkatan sita eksekusi atas permintaan debitur yang
disertai dengan surat pencabutan sitanya.
Kewenangan yang dimiliki oleh Badan Penyehatan Perbankan
Nasional seperti dalam penanganan kredit bermasalah ini
merupakan sesuatu yang bersifat lex specialis derogat lex generalis
penerapannya perlu dilandasi dengan kehati-hatian serta
menjunjung asas keterbukaan. Pemberian kewenangan khusus
demikian karena besarnya jumlah uang negara yang harus
dipulhkan.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Dari uraian bab-bab terdahulu dalam penulisan skripsi ini dapat
disimpulkan sebagai berikut :
1. Yang menyebabkan terjadinya hubungan antara pihak bank dengan
nasabah ialah suatu perjanjian yang berarti para pihak dalam hal ini
bank dan nasabah mempunyai hak dan kewajiban. Dengan
demikian akibat dari suatu perjanjian tersebut ialah mengikat bagi
para pihak yang membuatnya, yang dalam hal ini terkandung asas
kebebasan berkontrak dimana semua persetujuan yang dibuat
secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang
membuatnya.
2. Wanprestasi yang terjadi dalam perjanjian kredit dengan jaminan
deposito ialah suatu bentuk pelaksanaan kewajiban yang tidak tepat
pada waktunya atau dilakukan tidak menurut selayaknya. Dalam
hal ini wanprestasi itu terjadi ketika pihak debitur melakukan
perbuatan yang dilarang dalam perjanjian atau dikatakan tidak lagi
memenuhi perikatan, maka ia dikatakan wanprestasi. Berkenaan
dengan itu perbedaannya terletak terhadap apa yang menjadi objek
dari jaminan yang diberikan pada perjanjian kredit, dalam hal ini
3. Dalam hal penyelesaian kredit bermasalah melalui jalur hukum
dilalui beberapa upaya yang lebih bersifat pemakaian kelembagaan
hukum, diantaranya ialah :
a. Melalui Panitia Urusan Piutang Negara dan Badan
Urusan Piutang Negara.
b. Melalui badan peradilan.
c. Melalui arbitrase atau Badan Alternatif Penyelesaian
Sengketa.
d. Melalui Badan Penyehatan Perbankan Nasional
(Penyelesaian melalui BPPN hanya berlangsung saat
lembaga tersebut masih ada, yaitu sampai tahun 2004.
Kini perjalanannya merupakan bagian sejarah perbankan
Indonesia).
B. Saran
Dari fakta-fakta yang diuraikan dalam bab-bab terdahulu dan kesimpulan
seperti disebut di atas, penulis memberikan saran-saran sebagai berikut :
1. Dalam membuat perjanjian kredit dengan jaminan deposito,
sebelumnya pihak debitur haruslah memiliki kemampuan yang
cukup untuk mengembalikan pinjaman kredit kepada pihak
kreditur agar tidak mengakibatkan terjadinya wanprestasi.
2. Terhadap pihak bank atas deposito yang dijadikan sebagai jaminan
dalam pemberian kredit, haruslah diperiksa keasliannya,