• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

1

BAB I

PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang

Pada beberapa dekade terakhir, terjadi peningkatan jumlah cemaran logam berat yang masuk ke lingkungan dan ekosistem akibat aktivitas manusia, terutama di bidang industri. Akumulasi cemaran logam berat ke dalam jaringan makhluk hidup melalui rantai makanan dapat mengakibatkan masalah kesehatan yang serius (Bayramoǧlu dan Arica, 2008). Salah satu cemaran logam berat yang menarik perhatian adalah kromium (Cr). Kromium merupakan salah satu logam berat yang sangat toksik dan bersifat non–biodegradabel sehingga dapat menimbulkan dampak yang serius terhadap lingkungan dan kesehatan manusia (Deep dkk., 2014). Penggunaan Cr secara luas pada proses industri elektroplating, penyamakan kulit, pewarnaan dan pelapisan logam, menjadi sumber utama masuknya cemaran ion logam Cr ke dalam ekosistem (Bayramoǧlu dan Arica, 2008). Hal ini menyebabkan terjadinya peningkatan konsentrasi Cr di lingkungan.

Pada umumnya, Cr berada di alam dalam bentuk Cr(III) dan Cr(VI). Kedua spesies Cr tersebut memiliki toksisitas dan mobilitas yang berbeda signifikan. Kromium(III) merupakan mikronutrien esensial yang penting dan diperlukan oleh tubuh untuk meningkatkan efisiensi insulin, serta dapat mengendap pada permukaan mineral sehingga bersifat immobile di lingkungan, sedangkan Cr(VI) bersifat toksik dengan efek karsinogenik dengan toksisitas 100× lebih tinggi daripada Cr(III) (Li dkk., 2011; Güell dkk., 2007). Paparan Cr(VI) baik secara inhalasi maupun oral, dapat menyebabkan toksisitas akut dan kronis, dan mengakibatkan mual–mual, epigastria hingga kanker pada saluran cerna dan paru–paru. Cr(VI) memiliki kelarutan yang sangat tinggi dalam air dan lebih mudah bergerak sehingga dapat meningkatkan resiko toksisitasnya (Li dkk., 2011; Ravindran dkk., 2012).

Tingginya toksisitas dan potensi paparan Cr terhadap makhluk hidup dan lingkungan menyebabkan adanya regulasi yang cukup ketat di beberapa negara. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 82 Tahun 2001 menetapkan

(2)

ambang batas konsentrasi Cr(VI) untuk air golongan A, B dan C adalah sebesar 0,05 mg L–1, sedangkan untuk air golongan D adalah sebesar 0,1 mg L–1. Kementerian Lingkungan Hidup, melalui Peraturan Menteri Lingkungan Hidup No. 5 Tahun 2014 menetapkan ambang batas Cr untuk limbah cair industri penyamakan kulit sebesar 0,6 mg L–1. The United State Environmental Protection

Agency (US EPA) menetapkan konsentrasi maksimal Cr total dan Cr(VI) dalam

air minum dan air tanah adalah sebesar 100 dan 50 µg L–1 (Güell dkk., 2007) sedangkan Brazilian Legislation (CONAMA) menetapkan konsentrasi maksimum Cr(VI) pada efluen industri sebesar 0,5 mg L–1 (Bergamini dkk., 2007).

Tingginya perhatian terhadap resiko dan bahaya Cr(VI) menyebabkan berkembangnya berbagai teknik dan metode analisis untuk monitoring kontinyu terhadap keberadaan Cr(VI) di lingkungan. Beberapa metode analisis telah digunakan untuk penentuan Cr, antara lain spektrometri emisi inductively coupled

plasma (ICP–AES), spektroskopi serapan atom (AAS), fluoresensi sinar–X, dan

kromatografi cair (Güell dkk., 2007). Metode–metode tersebut mempunyai sensitivitas dan akurasi yang cukup tinggi, namun memiliki beberapa kelemahan antara lain mahal, memerlukan keahlian khusus, instrumen yang canggih, preparasi sampel yang rumit serta tidak bisa digunakan untuk deteksi in situ. Selain itu, metode–metode tersebut tidak dapat digunakan untuk analisis spesies Cr(VI) karena hanya mengukur konsentrasi Cr total (Ravindran dkk., 2012).

Metode standar yang digunakan untuk penentuan spesies Cr(VI) adalah metode DPC secara spektrofotometri. Metode ini didasarkan pada terbentuknya senyawa kompleks berwarna ungu ketika Cr(VI) direaksikan dengan 1,5–difenilkarbazida (DPC) pada suasana asam. Metode ini sangat sensitif dan selektif untuk analisis Cr(VI) (Clesceri dkk., 1998). Meskipun memiliki sensitivitas dan selektivitas yang tinggi, metode ini tidak dapat digunakan untuk deteksi Cr(VI) secara in situ, karena memerlukan proses preparasi sampel dan instrumen pengukuran yang tidak portable. Oleh karena itu modifikasi metode DPC untuk memperoleh teknik analisis Cr(VI) yang lebih sederhana, murah, cepat, dan dapat digunakan untuk deteksi in situ masih terus dikembangkan.

(3)

Sensor optik kimia merupakan metode yang menjanjikan untuk analisis secara in situ. Sebagian besar metode ini didasarkan pada imobilisasi reagen warna dalam material yang sesuai. Penggunaan reagen warna yang spesifik terhadap ion logam tertentu dapat meningkatkan selektivitas sensor. Dalam publikasinya, Malcik dkk. (1998) menyatakan bahwa sensor optik ion logam berat Co2+, Cu2+, Ni2+, Fe3+, Cd2+, Zn2+, Pb2+ dan Hg2+ dapat dikembangkan dengan mengimobilisasi ligan 1–nitroso–2–naftol (NN),4–(2–piridilazo)resorsinol (PAR), 2,4–dinitrosoresorsinol (DNR) dan 1–(2–piridilazo)–2–naftol (PAN) pada material polimer seperti XAD–4, XAD–7 dan resin penukar ion Dowex secara adsorpsi fisik kemudian dilanjutkan dengan pengukuran reflektansi.

Pengembangan metode DPC sebagai sensor untuk deteksi Cr(VI) dengan mengimobilisasi DPC pada suatu matriks padat sangat menarik untuk dikembangkan. Imobilisasi DPC ke dalam suatu matriks padat akan menghasilkan alat deteksi yang sederhana dan mudah untuk monitoring keberadaan Cr(VI) di lingkungan. Beberapa penelitian tentang sensor Cr(VI) berbasis imobilisasi reagen warna DPC telah dilakukan. Sensor ion kromat berbasis sensor optik telah dikembangkan menggunakan teknik sol–gel dengan cara mendeposisikan film tetrametoksisilan (TMOS) yang mengandung reagen warna DPC pada plat kaca, namun sensor optik ini memiliki kekurangan karena waktu respon yang relatif lama (Zevin dkk., 1997). Reagen warna DPC yang terimobilisasi dalam membran selulosa triasetat dengan penambahan penukar anion telah digunakan sebagai sensor optik yang selektif terhadap Cr(VI). Sensor ini memiliki kekurangan karena biaya produksi yang mahal dan waktu respon yang relatif lama, yaitu 60 menit (Scindia dkk., 2004). Kong dan Ni (2009) berhasil mengembangkan sensor berbasis kertas strip yang cukup selektif dan akurat untuk deteksi Cr(VI) dalam limbah buatan dengan cara mengimobilisasi DPC dan amonium kuarterner dalam kertas selulosa.

Matriks padat lain yang banyak dikembangkan sebagai media imobilisasi reagen, enzim, dan bakteri adalah beads polivinil alkohol (PVA)–natrium alginat. Pemanfaatan PVA sebagai matriks untuk media imobilisasi telah dimulai sejak puluhan tahun yang lalu. Polimer ini bersifat non–toksik, murah, mudah

(4)

diperoleh, awet dan stabil sehingga telah digunakan secara luas untuk aplikasi di berbagai bidang, terutama di bidang farmasi dan biomedik. Polivinil alkohol memiliki kemampuan untuk menghasilkan hidrogel yang cukup elastis, namun tingginya hidrofilisitas PVA sering membatasi aplikasinya lebih lanjut. Untuk meningkatkan sifat fisik dan mengurangi kelarutannya dalam air, PVA dimodifikasi dengan penambahan agen taut silang dan polimer alam (Tarun dan Gobi, 2012). Metode taut silang yang paling sederhana dan ekonomis adalah metode taut silang PVA–asam borat. Metode taut silang ini dapat menghasilkan

beads elastis yang kuat dan tahan lama, namun memiliki kelemahan karena reaksi

taut silang yang berjalan lambat sehingga menyebabkan terjadinya penggumpalan

beads PVA yang telah dihasilkan. Hal ini dapat diatasi dengan menambahkan

sejumlah kecil natrium alginat ke dalam beads PVA (Takei dkk., 2011). Natrium alginat adalah polimer alam yang paling banyak digunakan bersama PVA, baik sebagai komponen utama maupun komponen tambahan. Natrium alginat dapat membentuk gel dengan struktur yang lebih kuat dan tidak larut dalam air dengan penambahan ion kalsium (Tarun dan Gobi, 2012).

Zain dkk. (2011) berhasil mengimobilisasi enzim invertase ke dalam beads PVA–natrium alginat. Penambahan asam borat dan natrium sulfat sebagai agen taut silang PVA dapat menghasilkan beads yang tidak larut dalam air, sehingga dapat meningkatkan stabilitas dan aktivitas enzim invertase. Reduksi fotokatalitik Cr(VI) telah dikembangkan dengan menggunakan γFe2O3 yang dienkapsulasi dalam beads PVA–natrium alginat. Struktur beads PVA–natrium alginat yang kasar dan berpori memungkinkan terjadinya transfer massa Cr(VI) menuju situs aktif fotokatalis yang berada di dalam beads. Morfologi penampang melintang

beads PVA–natrium alginat menunjukkan bahwa konsentrasi Cr(VI) di dalam beads lebih tinggi dibandingkan dengan konsentrasi Cr(VI) di permukaan beads

(Idris dkk., 2012).

Pengembangan sensor yang sederhana berbasis imobilisasi reagen warna dalam matriks padat beads belum pernah dilakukan. Polivinil alkohol dan natrium alginat merupakan polimer yang potensial untuk dikembangkan sebagai media imobilisasi reagen warna untuk sensor. Polivinil alkohol memiliki gugus hidroksi

(5)

di sepanjang rantainya, sedangkan natrium alginat memiliki gugus karboksil pada setiap monomernya. Gugus hidroksi maupun karboksil merupakan gugus yang dapat membentuk ikatan hidrogen. Reagen warna DPC memiliki muatan parsial positif (δ+) pada atom H dan muatan parsial negatif (δ-) pada atom O dan N sehingga dapat berinteraksi dengan PVA maupun natrium alginat melalui ikatan hidrogen. Interaksi inilah yang digunakan sebagai dasar imobilisasi DPC dalam matriks beads PVA–natrium alginat.

Beads PVA–natrium alginat merupakan hidrogel yang memiliki

kemampuan melembung (swelling) dalam air tetapi tidak larut. Struktur beads yang kasar dan berpori serta sifat hidrofilnya akan mempermudah Cr(VI) dari larutan berdifusi masuk ke dalam beads dan berinteraksi dengan DPC yang telah diimobilisasi di dalam beads. Hal ini akan menyebabkan terjadinya perubahan warna dalam beads, sehingga adanya Cr(VI) dapat diamati secara visual. Oleh karena itu pada penelitian ini akan dipelajari pengembangan beads PVA–natrium alginat sebagai matriks imobilisasi DPC untuk sensor Cr(VI). Pada penelitian ini juga akan dipelajari kondisi optimum sensing, parameter validasi sensing dan pengaruh ion logam lain dalam proses sensing serta kemampuan sensing beads terhadap Cr(VI) dalam sampel air limbah penyamakan kulit.

I.2 Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang yang telah dijabarkan diatas, maka penelitian ini bertujuan untuk:

1. Melakukan sintesis dan karakterisasi beads PVA–natrium alginat sebagai matriks imobilisasi DPC untuk deteksi Cr(VI).

2. Mempelajari kondisi optimum kinerja beads PVA–natrium alginat–DPC untuk deteksi Cr(VI) yang meliputi panjang gelombang, konsentrasi DPC, pH dan waktu sensing.

3. Mempelajari pengaruh ion logam lain seperti Cu(II), Co(II), Pb(II), Mn(II), Zn(II), Ni(II), Cr(III), Fe(III) dan Hg(II) terhadap kinerja beads sensing.

4. Menentukan parameter validasi deteksi Cr(VI) dengan menggunakan beads PVA–natrium alginat–DPC.

(6)

5. Melakukan deteksi Cr(VI) pada sampel air limbah industri penyamakan kulit dengan beads PVA–natrium alginat–DPC.

I.3 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut: 1. Memberikan informasi baru mengenai pemanfaatan beads PVA–natrium alginat sebagai matriks imobilisasi dalam pengembangan metode sensor untuk monitoring kontinyu terhadap Cr(VI) yang praktis dan sederhana.

2. Memberikan kontribusi dalam pengembangan ilmu pengetahuan khususnya di bidang lingkungan.

(7)

Referensi

Dokumen terkait

Tinea pedis adalah infeksi dermatofita pada kaki terutama mengenai sela jari kaki dan telapak kaki, dengan lesi terdiri dari beberapa tipe, bervariasi dari ringan, kronis

Aktor memilih menu untuk lihat waiting list atau melihat registrasi member dan tambah masjid yang menungggu untuk mendapat persetujuan dari admin, kemudian

Penulisan karya ilmiah tertulis (skripsi) yang berjudul “Analisis Nilai Tambah Dan Prospek Agroindustri Suwar-Suwir di Kabupaten Jember“ ini diajukan sebagai salah satu

[r]

In terms of faculty driven by different motivations be- fore and after receiving tenure, our results indicate that, for pretenured faculty, research productivity is dominated by

Kegiatan pengabdian pada masyarakat ini bertujuan untuk menyebarluaskan pengetahuan dan ketrampilan kepada para penjual umbi- umbian di Pasar Telo Karangkajen

[r]

- SAHAM SEBAGAIMANA DIMAKSUD HARUS DIMILIKI OLEH PALING SEDIKIT 300 PIHAK & MASING2 PIHAK HANYA BOLEH MEMILIKI SAHAM KURANG DARI 5% DARI SAHAM DISETOR SERTA HARUS DIPENUHI