1 A. Latar Belakang
Banyak kendala yang sering dijumpai dalam menentukan diagnosis peradangan sinus paranasal. Gejala dan tandanya sangat mirip dengan gejala dan tanda akibat infeksi saluran pernafasan atas. Hampir semua gejala dan tanda-tanda yang muncul membingungkan (Axelsson et al., 1978). Kebingungan ini tampaknya berasal dari kurangnya penentuan yang tepat untuk konsep sinusitis yang membutuhkan terapi. Jika setiap perubahan mukosa sinus paranasal pada suatu inflamasi menjadi penentu diagnosis, frekuensi sinusitis akan sangat meningkat dan akan mengakibatkan terapi yang berlebihan (Shopfner & Rossi, 1973, Uhari et al., 1977).
Terminologi sinusitis telah digunakan untuk menerangkan suatu kondisi infeksi bakterial pada sinus. Namun, karena gangguan pada sinus hampir menyerupai pada common cold maka istilah rhinosinusitis lebih tepat digunakan untuk menerangkan sinusitis tersebut. Meskipun, tidak terdapat klasifikasi rhinosinusistis yang dapat diterima secara universal namun gambaran patofisiologis dan durasi infeksi sinus harus dipertimbangkan. Kemungkinan inflamasi sinus paranasal dapat sembuh secara spontan telah mengajak para penulis untuk menekankan tentang kerusakan fungsional pada sinusitis paranasal (Desrosiers et
al., 2002). Dari sudut pandang klinis kerusakan transportasi dan retensi sekresi
tampaknya berkorelasi dengan kebutuhan akan terapi. Dengan demikian, hal yang berhubungan dengan sekret di sinus tetap dipertahankan sebagai kriteria diagnostik
terutama dalam mendiagnosis sinusitis maksilaris dan frontalis (Kortekangas, 1968; Axelsson et al., 1970).
Sinusitis dianggap akut bila durasi gejalanya kurang dari 4 minggu dan bila tanda-tanda peradangannya menghilang baik secara spontan maupun dengan penanganan medis. Subakut sinusitis adalah bila gejala berlangsung antara 4-12 minggu dan diperkirakan merupakan perkembangan alamiah dari sinusitis akut. Istilah sinusitis akut berulang digunakan bila gejala sinusitis terjadi 3 atau 4 kali pertahun dengan resolusi lengkap diantara periode sakit tersebut. Diterima secara umum bahwa untuk dapat didiagnosis sinusitis akut berulang harus terdapat periode bebas penyakit sedikitnya 8 minggu (Desrosiers et al., 2002).
Sinusitis kronis didefenisikan sebagai sinusitis yang berlangsung > 12 minggu disertai perubahan inflamatori yang terdokumentasi melalui pencitraan sedikitnya 4 minggu setelah dimulainya terapi medis yang sesuai. Sinusitis akut juga dapat terjadi pada kondisi yang kronis (sinusitis kronis eksaserbasi akut). Beberapa komplikasi yang sering ditemukan adalah osteomyelitis, abses intrakranial dan selulitis orbita (Desrosiers et al., 2002). Sinusitis maksilaris dan sinusitis frontalis merupakan masalah yang paling banyak di antara inflamasi sinus paranasal (Revonta, 1980).
Sinusitis maksilaris merupakan masalah utama kesehatan masyarakat yang mengenai lebih dari 31 juta pasien di Amerika Serikat dengan perkiraan biaya lebih dari 100 juta per tahunnya (Zinreich, 1990). Untuk Indonesia sendiri, khususnya Yogyakarta, peneliti tidak menemukan adanya referensi yang membahas tentang angka kejadian sinusitis maksilaris.
Foto sinus paranasal terbukti tidak handal khususnya bila sinus mengalami opasifikasi secara keseluruhan. Sinusitis akut dapat memberikan gejala yang mirip dengan common cold dan tidak dianggap sebagai indikasi dilakukannya pemeriksaan foto sinus paranasal maupun CT Scan. Sering kali foto sinus paranasal tidak bermanfaat. Banyak dokter memilih terapi medikamentosa untuk kecurigaan sinusitis akut, dan bila terdapat infeksi berulang dilakukan operasi. Namun terapi medikamentosa memerlukan biaya yang besar dan komplikasi dari sinusitis akut dapat sangat berat. Oleh karena itu, penegakan diagnosis awal yang akurat merupakan hal yang sangat penting (Karantanas & Sandris, 1997).
Ide untuk menggunakan energi pantulan gelombang ultrasonik dalam mendiagnosa sinusitis paranasal, pertama kali dikemukakan oleh Keidel (1947). Uji klinis pertama pada kehandalan USG dalam mendiagnosis sinusitis maksilaris dibandingkan dengan pungsi dan irigasi telah dipublikasikan oleh Mann et al., (1977). Keunggulan terbesar USG adalah tidak adanya paparan radiasi dan ketersediaan alat luas.
USG sinus maksilaris merupakan pemeriksaan yang aman, cepat, bebas nyeri serta non invasif untuk mendeteksi sekret di sinus maksilaris. Pemeriksaan ini berdasarkan sifat fisika gelombang ultrasound yang mudah menembus cairan namun susah menembus udara. Oleh karenanya cairan pada sinus maksilaris memungkinkan gelombang ultrasound menembusnya sehingga menghasilkan ekho pada dinding posterior dan kembali ke transduser. Pada sinus yang berisi udara tidak terbentuk ekho pada dinding posterior (Karantanas, 1997).
CT Scan sinus paranasal merupakan pemeriksaan pilihan untuk menentukan derajat dan luasnya keterlibatan sinus paranasal dan CT Scan sinus paranasal juga dapat memberikan gambaran anatomi bagi para ahli bedah sebelum dilakukannya operasi (Chavda & Olliff, 2008).
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut :
1. Sinusitis merupakan salah satu masalah utama kesehatan masyarakat yang dengan kecurigaan saja sudah langsung diterapi medikamentosa yang membutuhkan biaya cukup besar. Sinusitis maksilaris merupakan masalah yang paling banyak di antara inflamasi sinus paranasal.
2. Komplikasi dari sinusitis sendiri dapat menjadi sangat besar.
3. Foto sinus paranasal kurang dalam memberikan informasi tentang sinusitis selain juga memberikan beban radiasi terhadap pasien.
4. USG sinus diharapkan dapat memberikan informasi yang lebih terhadap penentuan sinusitis maksilaris melalui pendeteksian cairan. Keunggulan terbesar USG adalah tidak adanya paparan radiasi dan ketersediaan alat luas, aman, cepat, bebas nyeri serta non invasif untuk mendeteksi sekret di sinus maksilaris.
5. CT Scan sinus paranasal merupakan modalitas pemeriksaan referensi untuk menegakkan diagnosis sinusitis maksilaris.
B. Pertanyaan Penelitian
Seberapa besar akurasi, sensitivitas dan spesifitas pemeriksaan ultrasonografi untuk deteksi cairan pada penderita sinusitis maksilaris?
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui akurasi, sensitivitas dan spesifitas pemeriksaan ultrasonografi untuk deteksi cairan pada penderita sinusitis maksilaris.
D. Manfaat Penelitian
1. Bermanfaat secara teoritis untuk mengetahui akurasi, sensitivitas dan spesifitas pemeriksaan ultrasonografi untuk deteksi cairan pada penderita sinusitis maksilaris.
2. Secara medis menunjukkan dengan pemeriksaan ultrasonografi sinus maksilaris dapat mengurangi beban radiasi terhadap pasien dalam deteksi cairan pada penderita sinusitis maksilaris dan evaluasi kemajuan terapi. 3. Bermanfaat bagi pendidikan, melatih cara berpikir dan melakukan penelitian,
serta menambah khasanah ilmu pengetahuan.
4. Bermanfaat bagi penelitian selanjutnya, sebagai dasar teori atau sumber pustaka
E. Keaslian Penelitian
Tabel.1. Penelitian ultrasound sinus maksilaris, CT Scan SPN, foto polos SPN dan sinusitis maksilaris.
Tahun/
Peneliti Subyek Topik Hasil
Dobson et al., 1996 Prospektif 62 sinus maksilaris Perbandingan ultrasound dengan foto polos dalam mendiagnosis sinusitis maksilaris
USG menunjukkan 100% kesesuaian dengan foto polos SPN dalam menunjukkan opasitas antral sinus maksilaris atau airfluid level.
Karantanas et al., 1997
Prospektif 55 pasien
Peradangan sinus maksilaris: USG dibandingkan dengan CT Scan Sensitivitas USG 66,7% Spesifisitas USG 96,8 % Laine et al., 1998 Prospektif 39 pasien
Diagnosis sinusitis akut di fasilitas kesehatan primer: Perbandingan antara USG, pemeriksaan klinis dan foto polos SPN
Sensitivitas dan spesifitas USG yang dilakukan oleh dokter umum adalah 61 % dan 53 %. Tidak ada peningkatan akurasi pemeriksaan walaupun telah dikombinasikan dengan pemeriksaan klinis.Sensitivitas dan spesifitas USG yang dilakukan oleh ahli radiologi adalah 61 % dan 98 %. Hartog, et al., 1996 Retrospektif 100 sinus maksilaris
Nilai foto polos sinus dalam mendiagnosis sinusitis maksilaris: kesesuaian interobserver dalam menilai foto polos sinus antara otolaryngologist dengan ahli radiologi
Variabilitas interobserver berada dalam batas yang dapat diterima dan menyatakan bahwa penggunaan pemeriksaan foto polos sinus radiografi untuk konfirmasi penyakit sinus maksilaris dapat terus dilakukan. Teppo et al., 2011 Prospektif 59 pasien Bagaimana cara menyingkirkan adanya cairan dalam sinus maksilaris pada rhinosinusitis akut menggunakan USG. Sensitivitas 87%, spesifisitas 72%, NPV 85 % dan PPV 75% Mann et al., 1977 Prospektif 406 pasien
Keandalan USG dalam mendiagnosis sinusitis maksilaris
USG adalah alat diagnostik yang cepat dan handal dalam mendiagnosis sinusitis maksilaris dan frontalis. Keandalannya dalam mendiagnosis sinus normal, penebalan mukosa dan sekret berkisar 90%. USG mampu membedakan penebalan mukosa, tumor dan sekret. Rencana penelitian Prospekstif 48 sinus maksilaris Akurasi Pemeriksaan Utrasonografi Untuk Mendeteksi Cairan Pada Penderita Sinusitis Maksilaris
-Akurasi, sensitivitas dan spesifitas USG deteksi cairan pada penderita sinusitis maksilaris.
-Sensitivitas USG deteksi cairan yang volumenya ≤ 50 % dan > 50 %
Dari penelusuran kepustakaan yang peneliti lakukan, di Instalasi Radiologi RSUP Dr. Sardjito belum ditemukan penelitian yang sama dengan penelitian ini.
8
A. Anatomi dan Fisiologi Sinus Paranasal
Sinus paranasalis adalah rongga-rongga yang terdapat di dalam os maksila,
os frontale, os sphenoidale dan os ethmoidale. Sinus-sinus ini dilapisi oleh
mucoperiosteum dan berisi udara, berhubungan dengan cavum nasi melalui
aperture yang relatif kecil. Nama sinus-sinus ini adalah sesuai dengan nama
tulang-tulang yang ditempatinya. Sinus maksilaris dan sphenoidalis pada waktu lahir terdapat dalam bentuk yang rudimenter, setelah usia delapan tahun menjadi cukup besar, dan pada masa remaja telah terbentuk sempurna (Snell, 2006).
Gambar 1. Anatomi Sinus Paranasal
(http://www.aboutcancer.com/paranasal_sinus_cancer.htm)
Sinus frontalis ada dua buah yang terdapat di dalam os frontale, dan dipisahkan antara satu dengan yang lainnya oleh septum tulang. Setiap sinus