• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Di bumi terdapat sekitar 1,3-1,4 milyar km3 air dengan komposisi 97,5% adalah air laut, 1,75% berbentuk es, 0,73% berada di daratan sebagai air sungai, air danau, airtanah dan sebagainya, serta 0,001% berbentuk uap di udara (Sosrodarsono & Takeda, 2006). Air di bumi ini terus-menerus mengalami sirkulasi proses penguapan, presipitasi dan pengaliran keluar (outflow). Air menguap ke udara dari permukaan tanah dan laut, berubah menjadi awan sesudah mengalami beberapa proses dan kemudian jatuh sebagai hujan atau salju ke permukaan laut atau daratan. Sebelum tiba ke permukaan bumi sebagian akan langsung menguap ke udara dan sebagian tiba ke permukaan bumi. Tidak semua hujan yang jatuh ke permukaan bumi mencapai permukaan tanah. Sebagian akan tertahan oleh tumbuh-tumbuhan, dimana sebagian akan menguap dan sebagian lagi akan jatuh atau mengalir melalui dahan-dahan ke permukaan tanah.

Sebagian air hujan yang jatuh di permukaan tanah akan masuk ke dalam tanah. Bagian lain yang merupakan kelebihan akan mengisi lekuk-lekuk permukaan tanah kemudian mengalir ke daerah-daerah yang rendah, masuk ke sungai-sungai dan akhirnya ke laut. Dalam perjalanan ke laut sebagian akan menguap dan kembali ke udara, sebagian masuk ke sungai-sungai dan sebagian besar akan tersimpan sebagai airtanah.

Air permukaan dan airtanah yang dibutuhkan untuk kehidupan adalah air yang terdapat dalam proses sirkulasi ini. Jadi apabila sirkulasi ini tidak merata, maka akan terjadi bermacam-macam kesulitan. Berdasarkan hal-hal tersebut, maka berkembanglah ilmu Hidrologi, yakni ilmu yang mempelajari sirkulasi air itu (Sosrodarsono & Takeda, 2006).

Manajemen air yang baik akan menunjang adanya kehidupan yang lestari antar makhluk hidup. Dalam hal ini yang menjalankan manajemen air

(2)

2 tersebut adalah manusia. Manajemen air diperlukan untuk mengendalikan kualitas dan kuantitas air, oleh karena itu manusia harus mampu mengatasi masalah-masalah yang berkaitan dengan sumberdaya air.

Mengingat pentingnya air bagi kehidupan manusia, maka air harus dijaga kelestariannya. Namun, permasalahan yang terjadi serta sistemnya perlu menjadi perhatian dalam kehidupan perkotaan, terutama pada sistem drainase perkotaan. Perkembangan kota saat ini telah mengalami kemajuan yang sangat pesat, hal ini tentu berdampak pada tata air di wilayah kota. Perkerasan lahan berupa penutupan lahan dengan pendirian perumahan baru, tempat parkir, sarana pendidikan, pusat perbelanjaan, daerah komersial dan lain-lain semakin meningkatkan jumlah air hujan yang menjadi limpasan permukaan. Di lain pihak, jumlah penduduk kota semakin meningkat dengan pesat. Dengan bertambahnya jumlah penduduk tersebut akan mempengaruhi kinerja tata kota, dalam hal ini tata saluran air juga meningkat karena berkurangnya daerah resapan air. Hal tersebut merupakan salah satu hal yang menyebabkan terjadinya banjir atau genangan air di perkotaan pada waktu hujan.

Diperlukan suatu usaha dalam mengurangi kemungkinan terjadinya bencana banjir. Salah satu usaha untuk mengurangi kemungkinan terjadinya banjir adalah dengan pembuatan sumur resapan air hujan.

1.2 Perumusan Masalah

Sebagian wilayah Kota Semarang berada di bagian hilir DAS Garang. Banjir bukan merupakan fenomena yang baru karena kota ini sering dilanda banjir. Pembuatan Banjir Kanal Barat dan Banjir Kanal Timur oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda pada abad ke-19 merupakan salah satu usaha yang telah dilakukan agar Kota Semarang dapat terhindar dari banjir. Akan tetapi pada tahun-tahun terakhir frekuensi banjir yang terjadi di Kota Semarang semakin meningkat dan daerah yang terkena dampaknya pun semakin luas (Suripin, 2004).

(3)

3 DAS Garang terdiri dari 4 sub DAS, yaitu sub DAS Garang Hulu, sub DAS Garang hilir, sub DAS Kreo dan sub DAS yang memanjang dari Gunungapi Ungaran hingga Pantai Utara Jawa. DAS Garang melintasi wilayah dengan elemen resiko yang tinggi seperti permukiman padat di Kota Semarang sehingga memiliki resiko banjir bandang yang tinggi. DAS Garang merupakan DAS yang sering mengalami banjir bandang, tercatat rata-rata kejadian banjir bandang 2 kali dalam setahun (Suhandini, 2012).

Jumlah penduduk Kota Semarang yang terus bertambah meningkatkan kebutuhan lahan untuk permukiman yang juga terus meningkat. Padahal luas wilayah kota tidak bertambah. Akibatnya terjadi perubahan penggunaan lahan dari lahan non-permukiman menjadi lahan permukiman (Kodoatie, 2002), dan hal ini akan berpengaruh terhadap peningkatan aliran langsung, yang selanjutnya akan berpengaruh terhadap debit puncak.

Purwadi Suhandini (2012) mengatakan bahwa banjir di DAS Garang terutama disebabkan oleh curah hujan. Faktor kondisi fisik DAS, termasuk perubahan penggunaan lahan, secara individual tidak berpengaruh secara signifikan terhadap terjadinya banjir, hal ini dikarenakan nilai infiltrasi yang lebih rendah dari curah hujan. Untuk itu, diperlukan langkah lebih lanjut dalam mengatasi bencana banjir pada kawasan tersebut.

Berdasarkan latar belakang tersebut, maka dirumuskan permasalahan penelitian sebagai berikut :

1. Berapa nilai intensitas hujan periode ulang tertentu di daerah penelitian?

2. Berapa nilai dan sebaran koefisien permeabilitas tanah di daerah penelitian?

3. Daerah mana yang layak dibuat sumur resapan air hujan yang aman dan efisien?

4. Bagaimana desain sumur resapan untuk meresapkan air hujan di daerah penelitian?

(4)

4 Berdasarkan perumusan diatas, maka maka diadakan penelitian mengenai imbuhan airtanah buatan dengan judul: “Rancangan Sumur Resapan di Sub DAS Garang Hilir, Semarang, Jawa Tengah”.

I.3 Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah :

1. Mengetahui nilai intensitas hujan periode ulang tertentu di daerah penelitian.

2. Mengetahui nilai dan sebaran koefisien permeabilitas tanah di daerah penelitian.

3. Menentukan daerah yang layak untuk dibuat sumur resapan di daerah penelitian.

4. Mendesain sumur resapan untuk meresapkan air hujan pada daerah penelitian.

I.4 Kegunaan Penelitian

Kegunaan penelitian ini adalah :

1. Dapat menerapkan ilmu Geografi khususnya cabang ilmu Hidrologi dalam hal pemecahan permasalahan lingkungan berupa banjir pada daerah penelitian.

2. Membantu dalam hal masukan data dan pertimbangan bagi instansi terkait untuk perencanaan pembangunan bangunan air (sumur resapan) untuk mengatasi permasalahan banjir yang terjadi di daerah penelitian. I.5 Telaah Pustaka dan Penelitian Sebelumnya

Hidrologi adalah ilmu yang berkaitan dengan air bumi, terjadinya, peredarannya dan persebarannya, sifat-siat kimia dan fisikanya, serta reaksi dengan lingkungannya, termasuk hubungannya dengan makhluk hidup (International Glossary of Hydrology, 1974). Karena perkembangannya yang begitu cepat, hidrologi telah menjadi ilmu dasar dari pengelolaan sumberdaya air secara terencana (Seyhan, 1990).

(5)

5 Daur Hidrologi

Daur hidrologi menurut International Glossary of Hydrology (1974) diberi batasan sebagai :

Suksesi tahapan-tahapan yang dilalui air dari atmosfer ke bumi dan kembali lagi ke atmosfer, meliputi evaporasi dari tanah atau laut maupun air pedalaman, kondensasi untuk membentuk awan, presipitasi, akumulasi di dalam tanah maupun dalam tubuh air dan evaporasi-kembali.

Air menguap dari permukaan samudera akibat energi panas matahari dengan laju dan jumlah penguapan yang bervariasi. Uap air ini dibawa oleh udara yang bergerak lalu mengalami kondensasi dan membentuk butir-butir air, yang pada gilirannya akan jatuh kembali sebagai presipitasi. Presipitasi yang jatuh di permukaan bumi menyebar dengan berbagai cara, sebagian akan tertahan sementara di permukaan bumi, sebagian mengalir ke saluran atau sungai, sebagian meresap ke dalam tanah melalui proses infiltrasi dan sebagian lainnya akan kembali ke atmosfer melalui penguapan dan

transpirasi oleh tanaman. Air yang tergenang di permukaan, yang mengalir

sebagai aliran permukaan maupun yang mengalir sebagai airtanah akan menuju ke lautan yang kemudian menguap dan kembali lagi ke atmosfer (Suripin, 2002).

Berdasarkan pada uraian tersebut, dapat digambarkan suatu daur hidrologi sebagai berikut :

(6)

6 Hujan (presipitasi)

Semua air yang bergerak di dalam bagian lahan dari daur hidrologi secara langsung maupun tidak langsung berasal dari presipitasi (Seyhan, 1990). Udara membawa air yang diuapkan dari samudera dan bergerak hingga air tersebut dingin sampai di bawah titik embun dan jatuh ke bumi sebagai hujan ataupun dalam bentuk presipitasi yang lain seperti embun, salju, kabut dan lain sebagainya.

Data hujan merupakan data yang mempunyai sifat fundamental dan sangat diperlukan untuk keperluan perencanaan maupun pekerjaan yang terkait dengan hidrologi seperti pengendalian banjir, irigasi dan ketersediaan air. Subarkah (1980) mengatakan bahwa untuk mengevaluasi besarnya banjir yang akan terjadi di masa mendatang dengan peluang kejadian tertentu yang nantinya dapat dimanfaatkan untuk kepentingan perencanaan bangunan air, maka data hujan yang dibutuhkan adalah hujan rata-rata harian maksimum pada suatu wilayah selama beberapa tahun yang kemudian dianalisis secara statistik dengan menggunakan teori peluang sehingga dihasilkan hujan maksimum rancangan dengan periode ulang tertentu. Analisis ini menunjukkan bahwa hujan yang besarnya tertentu mempunyai periode ulang tertentu pula.

Seyhan (1990) mengatakan terdapat empat unsur hujan yang digunakan untuk mencirikan hujan yang jatuh pada suatu titik, yaitu:

1. Intensitas : jumlah hujan yang jatuh pada saat tertentu (mm/menit, cm/jam, dan lain-lain)

2. Lama hujan : periode hujan jatuh (menit, jam, dan lain-lain)

3. Frekuensi : mengacu pada harapan bahwa suatu hujan tertentu akan jatuh pada suatu saat tertentu

4. Luas areal : luas areal tertentu dengan suatu curah hujan yang dapat dianggap sama

Hujan memiliki berbagai faktor yang akan menentukan besarnya aliran yang harus dibuang/dialirkan dan nantinya dengan besar debit aliran tersebut dapat direncanakan desain bangunan air (saluran drainase, sumur

(7)

7 resapan dan lain-lain) atau untuk mengetahui besarnya kapasitas bangunan air tersebut.

Beberapa faktor hujan yang perlu diperhatikan adalah sebagai berikut: a. Intensitas curah hujan

Intensitas curah hujan adalah ketinggian curah hujan yang terjadi pada suatu kurun waktu dimana air tersebut terkonsentrasi (Lubis, 1987). Intensitas curah hujan didefinisikan sebagai curah hujan rata-rata yang diasumsikan jatuh seragam di atas daerah tangkapan hujan untuk menentukan durasi dan frekuensi (interval rata-rata periode ulang). Satuan yang biasa digunakan untuk menyatakan intensitas hujan adalah mm/jam.

Pada daerah tangkapan hujan yang kecil, besarnya durasi tergantung pada waktu konsentrasi atau lamanya aliran dari daerah tangkapan hujan ke saluran keluar (outlet). Sedangkan untuk daerah tangkapan hujan yang lebih besar digunakan pola aliran sementara agar intensitas curah hujan berubah-ubah selama periode yang berbeda dari durasi hujan. Untuk daerah tangkapan hujan terbesar, unsur-unsur di area digunakan untuk mendapat batas intensitas curah hujan agar diperoleh curah hujan aktual yang tidak seragam di atas daerah tangkapan. Besarnya intensitas hujan berbeda-beda tergantung lamanya hujan dan frekuensi terjadinya.

Pengaruh intensitas hujan terhadap limpasan permukaan sangat tergantung laju infiltrasi. Jika intensitas hujan melebihi laju infiltrasi, maka akan terjadi limpasan permukaan sesuai dengan peningkatan intensitas curah hujan. Peningkatan limpasan permukaan tidak akan selalu sesuai dengan peningkatan intensitas hujan karena ada penggenangan di permukaan tanah. Intensitas hujan berpengaruh pada debit maupun volume limpasan.

b. Durasi hujan

Durasi hujan adalah lama kejadian hujan (menitan, jam-jaman, harian), yang diperoleh dari hasil pencatatan alat pengukur hujan

(8)

8 otomatis. Dalam perencanaan bangunan air, durasi hujan sering dikaitkan dengan waktu konsentrasi. Khususnya pada perencanaan bangunan air di daerah perkotaan, diperlukan durasi yang relatif singkat/pendek mengingat akan toleransi terhadap lamanya genangan. Intensitas hujan yang tinggi pada umumnya berlangsung dengan durasi pendek dan meliputi daerah yang tidak sangat luas (Sudjarwadi, 1987). Hujan yang meliputi daerah luas jarang sekali dengan intensitas tinggi, tetapi biasanya berlangsung dengan durasi yang cukup panjang. Kombinasi dari intensitas hujan yang tinggi dan durasi yang panjang sangat jarang terjadi. Hubungan antara intensitas dan waktu adalah semakin besar intensitas hujan umumnya semain singkat pula kejadian hujannya. c. Lengkung intensitas (Kurva Basis)

Lengkung intensitas adalah grafik yang menyatakan hubungan antara intensitas hujan dengan durasi hujan, hubungan tersebut dinyatakan dalam bentuk intensitas hujan dengan kala ulang hujan tertentu.

Analisis Data Hujan

Hujan harian maksimum rancangan adalah hujan yang ditentukan dengan periode ulang terenu. Pentingnya menentukan hujan rancangan adalah untuk rancangan drainase perkotaan, rancangan drainase landasan terbang dan rancangan drainase jalan raya (Chow & Maidment, 1988). Hujan rancangan dapat dijadikan data utama untuk menentukan banjir rancangan bila tidak tersedia data debit yang memadai (Subarkah, 1980). Hujan rancangan yang penting bagi rancangan drainase, perancangan bangunan-bangunan air maupun untuk prediksi faktor-faktor bahaya adalah hujan harian maksimum rancangan. Penghitungan hujan harian maksimum rancangan erat kaitannya dengan perhitungan tebal dan intensitas hujan untuk periode ulang tertentu, namun waktu dan saat yang tepat terjadinya peristiwa hujan tersebut tidak dapat ditetukan (Subarkah, 1980).

(9)

9 Subarkah (1980) dalam bukunya Hidrologi untuk Perencanaan Bangunan Air menjelaskan beberapa metode analisis frekuensi hujan, yaitu distribusi teoritis log-normal, distribusi log-Pearson type III, distribusi

Gumbel type I dan distribusi Frechet. Tujuan dari analisa frekuensi hujan

biasanya memperkirakan variasi curah hujan untuk masa ulang yang panjang, maka data hujan dianggap sebagai parameter statistik dengan merubah garis lengkung frekuensi hujan menjadi garis lurus untuk memudahkan ekstrapolasi data untuk menunjang analisis.

Dalam analisis intensitas hujan, hubungan antara intensitas hujan, lama hujan dan frekuensi hujan dinyatakan dalam Kurva Intensitas-Durasi-Frekuensi atau pada istilah lain disebut Intensity-Duration-Frequency Curve (IDF Curve). Diperlukan data hujan jangka pendek, misalnya 5 menit, 10 menit, 30 menit, 60 menit atau per jam untuk membentuk lengkung IDF. Data hujan jenis ini hanya dapat diperoleh dari stasiun penakar hujan otomatis. Berdasarkan data hujan jangka pendek tersebut dapat dibuat lengkung IDF dengan persamaan Talbot atau Sherman. Apabila data hujan jangka pendek tidak tersedia dan hanya terdapat data hujan harian maka intensitas hujan dapat dihitung dengan rumus Mononobe.

Permeabilitas Tanah

Permeabilitas menyatakan suatu sifat bahwa zat cair dapat mengalir melalui bahan berpori. Tanah termasuk bahan yang permeabel sehingga air dapat mengalur melalui pori-pori tanah. Purnama (2000) mendefinisikan permeabilitas suatu batuan atau tanah sebagai kemampuan batuan atau tanah untuk meloloskan cairan. Derajat permeabilitas tanah ditentukan oleh:

 Ukuran pori

 Jenis tanah

 Kepadatan tanah yang dinyatakan dalam k (cm/s atau m/s)

Todd (1980) menyatakan nilai koefisien permeabilitas beberapa macam variasi batuan sebagai berikut:

(10)

10 Tabel 1.1 Klas Koefisien Permeabilitas Berbagai Material menurut Bureau of

Reclamation

Sumber : Todd (1980)

Pengukuran koefisien permeabilitas (hydraulic conductivity) dapat dilakukan dengan pengukuran langsung di lapangan dengan menggunakan beberapa metode seperti Auger Hole dan pumping test. Nilai representatif koefisien permeabilitas berbagai jenis batuan disajikan dalam Tabel 1.2.

Tabel 1.2 Nilai Representatif Hydraulic Conductivity Menurut Morris dan Johnson

(11)

11 Limpasan

Jika intensitas hujan melebihi laju infiltrasi, maka kelebihan air mulai berakumulasi sebagai cadangan permukaan. Bila kapasitas cadangan permukaan dilampaui (merupakan fungsi depresi permukaan dan gaya tegang muka), limpasan permukaan mulai sebagai suatu aliran lapisan yang tipis. Pada akhirnya, lapisan aliran ini berkumpul ke dalam saluran sungai yang diskrit (Seyhan, 1990). Dalam artian yang umum, air yang mengalir pada saluran-saluran kecil, parit-parit, sungai-sungai dan aliran-aliran merupakan kelebihan curah hujan terhadap evapotranspirasi, cadangan permukaan dan air bawah tanah.

Limpasan adalah semua air yang bergerak keluar dari pelepasan (outlet) daerah pengaliran ke dalam sungai melalui alur, baik di atas permukaan maupun di bawah permukaan sebelum mencapai sungai tersebut (Soemarto, 1987). Limpasan permukaan terjadi ketika curah hujan melampaui laju infiltrasi air ke dalam tanah dan muncul sebagai aliran permukaan dalam bentuk banjir atau genangan.

Faktor-faktor yang mempengaruhi limpasan dibagi menjadi dua kelompok, yaitu faktor meteorologis dan faktor karakteristik daerah tangkapan air atau Daerah Aliran Sungai (DAS). Faktor meteorologi yang berpengaruh terhadap limpasan antara lain :

 Intensitas hujan

Pengaruh intensitas hujan pada limpasan permukaan tergantung dari kapasitas infiltrasi. Jika intensitas hujan melampaui kapasitas infiltrasi, maka besarnya limpasan permukaan akan segera meningkat sesuai dengan peningkatan intensitas curah hujan.

 Durasi hujan

Setiap daerah aliran memiliki suatu durasi hujan yang kritis. Jika lamanya curah hujan itu kurang dari durasi hujan kritis, maka lamanya limpasan tersebut akan sama dan tidak tergantung dari intensitas hujan. Jika lama curah hujan lebih panjang maka lama limpasan permukaan akan menjadi lebih panjang. Durasi hujan menyebabkan penurunan

(12)

12 kapasitas infiltrasi. Untuk curah hujan dalam waktu panjang, limpasan permukaan akan menjadi lebih besar meskipun intensitasnya adalah relatif sedang.

 Distribusi curah hujan

Banjir yang terjadi di daerah pengaliran yang besar terkadang terjadi oleh curah hujan yang lebat dengan distribusi merata, dan sering kali terjadi oleh curah hujan biasa yang mencakup daerah yang luas meskipun intensitasnya kecil. Sebaliknya, di daerah pengaliran yang kecil debit puncak maksimum dapat terjadi oleh curah hujan dengan daerah hujan yang sempit.

Faktor karakteristik daerah tangkapan saluran atau daerah aliran sungai yang berpengaruh terhadap limpasan antara lain:

 Penggunaan lahan

Besar kecilnya limpasan sangat dipengaruhi oleh penggunaan lahan. Daerah hutan yang lebat akan meningkatkan kapasitas infiltrasi, sebaliknya jika daerah hutan itu kosong atau berubah fungsi menjadi area kedap air maka akan menyebabkan kapasitas infiltrasi berkurang dan air hujan akan lebih mudah mengalir di permukaan serta lebih cepat terkumpul di sungai maupun saluran drainase.

 Bentuk dan luas daerah pengaliran

Jika semua faktor curah hujan itu tetap maka air limpasan tersebut selalu sama dan tidak bergantung pada daerah pengaliran. Hal ini berdasarkan asumsi bahwa aliran per satuan luas itu tetap. Dengan demikian maka hidrograf aliran akan sebanding dengan luas daerah pengaliran. Semakin luas daerah pengaliran maka semakin lama air limpasan mencapai outlet.

 Topografi

Elevasi, gradien arah dan lain-lain dari daerah pengaliran akan sangat mempengaruhi air limpasan. Elevasi mempengaruhi suhu dan curah hujan sedangkan kemiringan mempengaruhi lamanya waktu tempuh aliran.

(13)

13 Koefisien limpasan

Koefisien limpasan (C) didefinisikan sebagai perbandingan antara laju puncak airan permukaan terhadap intensitas hujan. Suripin (2004) menyebutkan bahwa faktor utama yang mempengaruhi nilai C adalah laju infiltrasi tanah, kemiringan lahan, tanaman penutup lahan dan intensitas hujan. Koefisien ini juga bergantung pada sifat dan kondisi tanah, laju infiltrasi turun pada hujan yang terus-menerus dan dipengaruhi juga oleh kondisi kejenuhan air sebelumnya. Faktor lain yang juga mempengaruhi nilai C adalah airtanah, derajat kepadatan tanah, porositas tanah dan simpanan depresi. Nilai C tergantung pada beberapa karakteristik dari daerah tangkapan hujan, yaitu :

 relief atau kemiringan daerah tangkapan air;

 karakteristik daerah seperti perlindungan vegetasi, tipe tanah dan daerah kedap air.

Airtanah

Airtanah adalah air yang terdapat dalam lapisan tanah atau bebatuan di bawah permukaan tanah. Airtanah merupakan salah satu sumber daya air yang keberadaannya terbatas dan kerusakannya dapat mengakibatkan dampak yang luas serta pemulihannya sulit dilakukan.

Kadar kandungan airtanah di suatu daerah ditentukan oleh: 1. Iklim/musim atau banyaknya curah hujan.

2. Banyak sedikitnya tumbuh-tumbuhan; misalnya hutan, padang, dsb. 3. Topografi, misalnya lereng, datar, cekungan.

4. Derajat kesarangan/derajat celah atau pori-pori batuan

Airtanah merupakan sumber air tawar terbesar di planet bumi, mencakup kira-kira 30% dari total air tawar atau 10,5 juta km3. Akhir-akhir ini pemanfaatan air meningkat dengan cepat, bahkan di beberapa tempat nilai eksploitasinya sampai tingkat yang membahayakan. Menurut Suripin (2002), kecenderungan memilih airtanah sebagai sumber air bersih dibandingkan air permukaan mempunyai keuntungan sebagai berikut:

(14)

14 1. Tersedia dekat dengan tempat yang memerlukan, sehingga kebutuhan

bangunan pembawa/distribusi lebih murah 2. Debit (produksi) sumur biasanya lebih stabil

3. Lebih bersih dari bahan pencemar (polutan) permukaan 4. Kualitasnya lebih seragam

5. Bersih dari kekeruhan, bakteri, lumut atau tumbuhan dan binatang air. Kerusakan sumberdaya air tidak dapat dipisahkan dari kerusakan lingkungan di sekitarnya seperti kerusakan lahan, vegetasi dan tekanan penduduk. Ketiga hal tersebut saling berkaitan dalam mempengaruhi ketersediaan sumber air. Beberapa faktor yang menyebabkan timbulnya permasalahan adalah:

1. Pertumbuhan industri yang pesat di suatu kawasan disertai dengan pertumbuhan permukiman penduduk akan cenderung meningkatkan permintaan airtanah.

2. Pemakaian air beragam sehingga berbeda dalam kepentingan, maksud serta cara memperoleh air.

3. Perlu perubahan sikap sebagian besar masyarakat yang cenderung boros dalam penggunaan air serta melalaikan unsur konservasi.

Sumur Resapan

Konstruksi Sumur Resapan Air (SRA) merupakan alternatif pilihan dalam mengatasi banjir dan menurunnya permukaan air tanah pada kawasan perumahan, karena dengan pertimbangan:

1. Pembuatan konstruksi SRA tidak memerlukan biaya besar 2. Tidak memerlukan lahan yang luas

3. Bentuk konstruksi SRA sederhana

Sumur resapan air merupakan rekayasa teknik konservasi air yang berupa bangunan yang dibuat sedemikian rupa sehingga menyerupai bentuk sumur gali dengan kedalaman tertentu yang berfungsi sebagai tempat menampung air hujan di atas permukaan rumah dan meresapkannya ke dalam tanah.

(15)

15 Konsep dasar sumur resapan pada hakekatnya adalah suatu sistem drainase dimana air hujan yang jatuh di atap atau lahan kedap air ditampung pada suatu sistem resapan air (Suripin, 2002). Berbeda dengan cara konvensional dimana air hujan dibuang atau dialirkan ke sungai kemudian ke laut, cara ini mengalirkan air hujan ke dalam sumur kosong dengan maksud kapasitas tampungannya cukup besar sebelum air meresap ke dalam tanah. Dengan adanya tampungan, maka air hujan mempunyai cukup waktu untuk meresap ke dalam tanah sehingga pengisian tanah menjadi optimal.

Kedalaman efektif sumur resapan dihitung dari tinggi muka airtanah bila dasar sumur berada di bawah permukaan airtanah tersebut, dan diukur dari dasar sumur bila muka airtanah berada di bawah dasar sumur. Sebaiknya dasar sumur berada pada lapisan tanah dengan permeabilitas tinggi.

Menurut Suripin (2002), Faktor-faktor yang mempengaruhi dimensi sumur resapan meliputi:

 Luas permukaan penutupan, yaitu lahan yang airnya akan ditampung dalam sumur resapan, meliputi luas atap dan perkerasan-perkerasan lain;

 Karakteristik hujan, meliputi intensitas hujan, lama hujan dan selang waktu hujan. Secara umum dapat dikatakan bahwa semakin tinggi intensitas hujan dan semakin lama berlangsungnya hujan memerlukan volume sumur resapan yang semakin besar, sementara selang waktu hujan yang lama akan dapat mengurangi volume sumur resapan yang diperlukan;

 Koefisien permeabilitas tanah, yaitu kemampuan tanah dalam meloloskan air per satuan waktu. Tanah berpasir memiliki koefisien permeabilitas yang lebih tinggi dibandingkan tanah berlempung;

 Tinggi muka airtanah. Pada kondisi muka airtanah yang dalam, sumur resapan perlu dibuat secara besar-besaran karena tanah benar-benar memerlukan pengisian air melalui sumur-sumur resapan. Sebaliknya, pada lahan yang muka airtanahnya dangkal pembuatan sumur resapan

(16)

16 kurang efektif, terutama untuk daerah pasang surut atau daerah rawa, dimana airtanahnya sangat dangkal.

Manfaat yang dapat diperoleh dengan pembuatan sumur resapan air antara lain:

 Mengurangi aliran permukaan dan mencegah terjadinya genangan air, sehingga memperkecil kemungkinan terjadinya banjir dan erosi;

 Mempertahankan tinggi muka airtanah dan menambah persediaan airtanah;

 Mengurangi atau menahan terjadinya intrusi air laut bagi daerah yang berdekatan dengan wilayah pantai;

 Mencegah penurunan atau amblasan lahan sebagai akibat pengambilan airtanah yang berlebihan;

 Mengurangi konsentrasi pencemaran airtanah. Penelitian sebelumnya

Sunjoto (1991) mengadakan penelitian mengenai imbuhan buatan yang dalam hal ini adalah sumur resapan. Dalam perhitungan dimensi sumur resapan, Ia menggunakan parameter kedalaman sumur (H), permeabilitas tanah (K), durasi/waktu pengaliran (t) dan luas atap bangunan serta faktor geometrik sumur dalam perhitungan kemampuan sumur dalam meresapkan air hujan. Hasil yang didapatnya adalah terjadi perbedaan volume sumur resapan yang sangat bergantung dari luasan atap bangunan dan nilai permeabilitas tanah. Penelitian ini memberikan gambaran mengenai alternatif pemecahan masalah sumberdaya air dengan sistem drainase berwawasan lingkungan.

Sutanto (1992) melakukan penelitian dengan judul “Disain Sumur Peresapan Air Hujan” di daerah Perumnas Minomartani, Kecamatan Ngaglik, Kabupaten Sleman. Dalam penelitian ini telah didapatkan suatu formula untuk perhitungan volume sumur resapan air hujan. Formula tersebut telah diuji di daerah penelitian. Parameter-parameter penting dari

(17)

17 rumus yang dikemukakan Sutanto adalah hujan rencana, permeabilitas, luas atap bangunan dan koefisien perjalanan aliran.

Hidayatullah (1999) mengadakan penelitian tentang perencanaan pembuatan sumur resapan di Kota Srandakan, Bantul. Tujuan dari penelitian tersebut adalah membandingkan perhitungan volume sumur resapan antara metode Sutanto dan metode Sunjoto. Hasil penelitiannya adalah metode Sunjoto lebih efektif diterapkan pada daerah penelitian, hal ini dikarenakan perhitungan dimensi sumur resapan metode Sutanto melebihi kedalaman muka airtanah di daerah penelitian. Namun ada sebagian daerah penelitian yang dapat diterapkan sumur resapan metode Sutanto, yaitu pada daerah yang memiliki koefisien permeabilitas tanah tinggi (lebih dari 6 mm/hari).

Ridzal Fahrozi (2009) melakukan penelitian dengan judul “Rancangan Sumur Resapan di DAS Celeng”. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan daerah yang layak untuk dibuat sumur resapan, mengetahui nilai dan sebaran koefisien permeabilitas, mengetahui nilai dan sebaran intensitas curah hujan pada periode ulang tertentu, serta mendesain sumur resapan. Penentuan lokasi sumur resapan didasarkan pada tiga aspek, yaitu kemiringan lahan, penggunaan lahan dan bentuklahan.

Suherman Setiawan (2010) melakukan penelitian di Kecamatan Cangkringan Kabupaten Sleman yang bertujuan untuk menentukan daerah yang cocok untuk menjadi prioritas pembuatan sumur resapan, menentukan nilai koefisien permeabilitas dan curah hujan, serta menentukan desain sumur resapan yang cocok diterapkan di daerah penelitian. Hasil penelitiannya adalah wilayah Kecamatan Cangkringan bagian selatan cocok sebagai daerah pengembangan sumur resapan dengan ukuran kedalaman sumur resapan rencana yang efektif diterapkan adalah 0,85-2,64 meter, tergantung kepada luas atap.

I.6 Kerangka Penelitian

Konsep dasar sumur resapan pada hakekatnya adalah suatu sistem drainase dimana air hujan yang jatuh di atap atau lahan kedap air ditampung

(18)

18 pada suatu sistem resapan air (Suripin, 2002). Sederhananya bahwa teknik sumur resapan dengan memanfaatkan luas atap bangunan ini bertujuan untuk mempercepat laju infiltrasi sehingga air hujan yang turun akan lebih cepat menuju permukaan air tanah kemudian masuk ke aliran Sungai Garang dan tersalurkan melalui sistem aliran sungai menuju ke laut. Rancangan sumur resapan pada penelitian ini berupa rancangan lokasi dan desain sumur resapan pada daerah penelitian.

Faktor-faktor yang dibutuhkan untuk menentukan lokasi pembuatan sumur resapan dalam penelitian ini meliputi:

1. Kemiringan lahan

Data kemiringan lahan ini diperlukan untuk memilih lokasi sumur resapan agar tidak terjadi longsor lahan pada daerah penelitian. Data kemiringan lahan diperoleh dari analisis data atribut kontur topografi daerah penelitian, yang kemudian dianalisis di studio untuk mendapatkan kelas kemiringan lahannya.

2. Penggunaan lahan

Pada penelitian ini, pemilihan lokasi sumur resapan diutamakan pada area permukiman dimana sumur resapan yang akan didesain mendasarkan pada volume air hujan yang tertangkap oleh atap bangunan. Untuk mengetahui sebaran area permukiman digunakan Peta Penggunaan Lahan Daerah Penelitian.

3. Geomorfologi (bentuklahan)

Suatu lahan terbentuk akibat beberapa proses alami, baik yang masih berjalan maupun yang sudah selesai dan berganti proses yang lain. Keterangan bentuklahan daerah penelitian diperoleh dari interpretasi data digital yang kemudian dicek di lapangan.

Parameter yang dibutuhkan untuk merancang dimensi sumur resapan dalam penelitian ini meliputi :

1. Intensitas hujan pada periode ulang tertentu

Intensitas hujan dihitung dengan menggunakan rumus Mononobe. Data intensitas hujan ini akan digunakan untuk menghitung debit masuk

(19)

19 rencana. Debit masuk rencana dihitung dengan Metode Rasional. Data yang dibutuhkan adalah curah hujan maksimum rencana pada periode ulang tertentu (Ptr) dan lama hujan turun (T).

2. Luas dan koefisien aliran atap bangunan

Besarnya aliran yang masuk ke sumur resapan sangat ditentukan dengan area tangkapannya, dalam hal ini atap bangunan merupakan area tangkapan air hujan. Dalam penelitian ini atap bangunan diasumsikan rata jika dilihat dari atas. Luas atap bangunan digunakan untuk menghitung debit masukan dalam rumus rasional. Asumsi yang digunakan untuk jenis atap pada daerah penelitian adalah sama, sehingga nilai koefisiennya juga akan sama.

3. Koefisien permeabilitas tanah

Data ini digunakan untuk menghitung debit peresapan air dalam tanah. Metode yang digunakan untuk mengukur nilai permeabilitas tanah adalah Inverse Auger Hole.

4. Kedalaman muka airtanah

Data ini digunakan untuk menentukan kedalaman maksimum sumur resapan. Kedalaman efektif sumur resapan dihitung dari tinggi muka airtanah bila dasar sumur berada di bawah permukaan airtanah tersebut, dan diukur dari dasar sumur bila muka airtanah berada di bawah dasar sumur.

Keempat parameter untuk merancang dimensi sumur resapan diukur dan dianalisis hanya pada lokasi yang cocok untuk sumur resapan saja. Dimensi sumur resapan pada penelitian ini menggunakan model sumur resapan dengan menampilkan grafik korelasi antara parameter-parameter penentu rancangan sumur resapan. Berdasarkan data yang diperoleh, akan dihasilkan grafik korelasi antara kedalaman sumur dengan luas atap dan koefisien permeabilitasnya masing-masing.

(20)

20 Gambar 1.2. Kerangka Pemikiran Penelitian

I.7 Batasan Operasional

Daerah Aliran Sungai (DAS) adalah suatu wilayah kesatuan ekosistem yang dibatasi oleh pemisah topografi dan berfungsi sebagai pengumpul, penyimpan dan penyalur air beserta sedimen dan unsur hara dalam sistem sungai dan keluar melalui outlet tunggal (Seyhan, 1990).

Airtanah (groundwater) adalah air yang berada di bawah permukaan tanah dan digambarkan sebagai air yang terdapat pada bahan yang jenuh di bawah muka airtanah (Seyhan, 1990).

Hujan Rancangan adalah suatu pola hujan tertentu yang dirancang untuk dapat digunakan pada suatu sistem hidrologi (Chow & Maidment, 1988).

(21)

21 Periode Ulang adalah banyaknya tahun dimana suatu kejadian hujan disamai atau dilampaui tetapi tidak berlaku secara teratur (Sosrodarsono & Takeda, 2006).

Imbuhan Buatan (Artificial Recharge) adalah penambahan aliran alami air permukaan ke dalam formasi bawah tanah dengan beberapa cara konstruksi, dengan menyebarkan/mendistribusikan air atau dengan mengubah kondisi alami (Bouwer dalam Todd, 1980).

Infiltrasi adalah perpindahan air dari atas ke dalam permukaan tanah (Soemarto, 1987) .

Koefisien permeabilitas (Hydraulic Conductivity) adalah suatu konstanta yang menunjuk pada sebuah ukuran permeabilitas media porus (Todd, 1980).

Sumur Resapan (Recharge Well) adalah sumur yang mengalirkan air dari permukaan menuju air yang berada di akuifer (Bouwer dalam Todd, 1980).

Gambar

Gambar 1.1 Siklus Hidrologi (Sumber : Evans, ga.water.usgs.gov)
Tabel 1.2 Nilai Representatif Hydraulic Conductivity Menurut Morris dan Johnson

Referensi

Dokumen terkait

Segala puji bagi Allah Tuhan Semesta Alam, sumber segala kebenaran, sang kekasih tercinta yang tidak terbatas pencahayaan cinta-Nya bagi hamba-Nya, Allah Subhana Wata‟ala

Melalui kegiatan observasi di kelas, mahasiswa praktikan dapat. a) Mengetahui situasi pembelajaran yang sedang berlangsung. b) Mengetahui kesiapan dan kemampuan siswa dalam

Pemodelan penyelesaian permasalahan penjadwalan ujian Program Studi S1 Sistem Mayor-Minor IPB menggunakan ASP efektif dan efisien untuk data per fakultas dengan mata

Komposisi tari yang demikian biasanya apabila garapan cengkok kendangnya lemah, maka terinya dirasakan sangat lemah, (coba menarilah gambyong atau ngremo tanpa kendang

Pendekatan dapat diartikan sebagai metode ilmiah yang memberikan tekanan utama pada penjelasan konsep dasar yang kemudian dipergunakan sebagai sarana

Audit, Bonus Audit, Pengalaman Audit, Kualitas Audit. Persaingan dalam bisnis jasa akuntan publik yang semakin ketat, keinginan menghimpun klien sebanyak mungkin dan harapan agar

Perbandingan distribusi severitas antara yang menggunakan KDE dengan yang menggunakan suatu model distribusi tertentu dilakukan untuk melihat secara visual, manakah dari

61 Dari pernyataan-pernyataan di atas, dapat dilihat bahwa dilema yang Jepang alami pada saat pengambilan keputusan untuk berkomitmen pada Protokol Kyoto adalah karena