• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGALAMAN BELAJAR LAPANGAN LIMFOMA NON HODGKINS

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENGALAMAN BELAJAR LAPANGAN LIMFOMA NON HODGKINS"

Copied!
44
0
0

Teks penuh

(1)

PENGALAMAN BELAJAR LAPANGAN

LIMFOMA NON HODGKINS

Disusun Oleh:

Putu Dinary Chandrapatni (1702612200) Ni Made Suartiningsih (1702612105)

Pembimbing:

dr. Ni Made Renny Anggreni Rena, Sp.PD., K-HOM

DALAM RANGKA MENJALANI KEPANITERAAN KLINIK MADYA DI BAGIAN/KSM ILMU PENYAKIT DALAM

RSUP SANGLAH DENPASAR TAHUN 2019

(2)

Puji syukur penulis panjatkan ke hadapan Tuhan Yang Maha Esa karena atas karunia-Nya, case based discussion yang berjudul “Limfoma Non Hodgkins” ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Case based discussion ini disusun dalam rangka mengikuti Kepaniteraan Klinik Madya di Bagian/KSM Ilmu Penyakit Dalam divisi Hematologi FK UNUD/RSUP Sanglah Denpasar.

Dalam penyusunan case based discussion ini, penulis banyak memperoleh bimbingan, petunjuk serta bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Melalui kesempatan ini, penulis menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada yang terhormat:

- Dr. dr. Ketut Suega, Sp.PD-KHOM selaku Kepala Bagian/KSM Ilmu Penyakit Dalam FK UNUD/RSUP Sanglah Denpasar,

- dr. Made Susila Utama, Sp.PD-KPTI selaku Koordinator Pendidikan Bagian/KSM Ilmu Penyakit Dalam FK UNUD/RSUP Sanglah Denpasar, - dr. Ni Made Renny Anggreni Rena, Sp.PD., K-HOM selaku dokter

pembimbing yang senantiasa memberikan informasi dan masukan dalam penyusunan laporan ini,

- Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu atas dukungan dan bantuan yang telah diberikan dalam penyelesaian laporan ini.

Penulis menyadari bahwa laporan ini jauh dari sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang bersifat membangun sangat penulis harapkan. Semoga laporan ini dapat memberikan sumbangan ilmiah dalam masalah kesehatan.

Denpasar, 27 Februari 2019

Penulis

(3)

BAB I

PENDAHULUAN

Limfoma adalah sekumpulan keganasan primer pada kelenjar getah bening dan jaringan limfoid. Berdasarkan tipe histologinya, limfoma dapat dibagi menjadi dua kelompok besar, yaitu Limfoma Non Hodgkin dan Hodgkin. Limfoma Non Hodgkin (LNH) merupakan sekumpulan besar keganasan primer kelenjar getah bening dan jaringan limfoid ekstra nodal, yang dapat berasal dari limfosit B, limfosit T, dan sel natural killer. Pada LNH sel limfosit akan mengalami proliferasi secara tak terkendali yang menyebabkan terbentuknya tumor. Semua sel dalam tumor pasien LNH memiliki imunoglobulin yang sama pada permukaannya,oleh karena seluruh sel LNH berasal dari satu sel limfosit 1.

Angka kejadian LNH terus mengalami peningkatan . Lebih dari 45.000 pasien didiagnosis sebagai limfoma non Hodgkin (LNH) setiap tahun di Amerika Serikat.2 Limfoma maligna menempati 3,37% dari seluruh keganasan di seluruh dunia. Insiden Limfoma maligna di dunia mengalami peningkatan dengan rata-rata 3 - 4% dalam 4 dekade terakhir. Kenaikan insiden Limfoma Non Hodgkin pada pria 6% dan wanita 4,1%. Limfoma Hodgkin 1,1% pada pria dan 0,7% pada wanita. Data dari Kementrian Kesehatan Indonesia pada tahun 2013, angka kejadian Limfoma di Indonesia sebesar 0,06% dengan estimasi 14.905 pasien.1

Manifestasi Klinis dari Limfoma non-hodgkin yaitu pembesaran kelenjar getah bening tanpa adanya rasa sakit, demam, keringat malam, rasa lelah yang dirasakan terus menerus, gangguan pencernaan dan nyeri perut, hilangnya nafsu makan, nyeri tulang, bengkak pada wajah dan leher dan daerah-daerah nodus limfe yang terkena, dan limfadenopati. 1

Etiologi sebagian besar LNH tidak diketahui. Namun terdapat beberapa faktor risiko yang menyebabkan terjadinya LNH, yaitu onkogen, infeksi virus Ebstein Barr, Human T-leukemia Virus-I (HTLV-I), penyakit autoimun dan defisiensi imun1,3.

(4)

Diagnosis LNH ditegakkan dari hasil pemeriksaan histologi biopsi eksisi (excisional biopsy) kelenjar getah bening atau jaringan ekstranodal3. Stadium LNH didasarkan atas kriteria Ann Arbor, yang dibagi menjadi 4 stadium berdasarkan luasnya keterlibatan KGB yang terkena. Pengobatan dengan menggunakan kombinasi kemoterapi (multiagent) dapat mempengaruhi prognosis dari penyakit. Prognosis limfoma tergantung pada tipe histologi dan staging4.

(5)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Limfoma Non Hodgkin (LNH) merupakan sekumpulan besar keganasan primer kelenjar getah bening dan jaringan limfoid ekstra nodal, yang dapat berasal dari limfosit B, limfosit T, dan sel natural killer 1. Limfoma non-Hodgkin (LNH) atau

non-Hodgkin Lymphomas merupakan penyakit yang sangat heterogen dilihat dari segi patologi dan klinisnya. Penyebarannya juga tidak seteratur penyakit Hodgkin serta bentuk ekstra-nodal jauh lebih sering dijumpai4.

2.2 Epidemiologi

Limfoma non Hodgkin merupakan penyakit terbanyak ke 7 dalam kanker kasus baru, dengan 4.3% merupakan kasus baru dan 3.3% kematian akibat kanker. National Cancer Institute memperkirakan pada tahun 2018 sebanyak 4.3% dari seluruh kasus kanker baru, yakni 74.680 kasus merupakan limfoma non Hodgkin, dimana umur terdiagnosa kasus baru paling sering pada usia 65 – 74 tahun, dan jumlah kematian akibat penyakit ini sebanyak 19.910 orang, dengan rentang usia terbanyak adalah 75 – 84 tahun.2 Di Indonesia, LNH menduduki peringat ke-6 kanker terbanyak, bahkan Badan Koordinasi Nasional Hematologi Onkologi Medik Penyakit Dalam Indonesia (BAKORNAS HOMPEDIN) menyatakan, insiden Limfoma lebih tinggi dari leukemia dan menduduki peringkat ketiga kanker yang tumbuh paling cepat setelah melanoma dan paru3.

2.3 Etiologi dan Faktor Risiko

Etiologi terjadinya sebagian besar LNH sampai saat ini belum diketahui. Ada beberapa faktor risiko terjadinya LNH yaitu2, 5:

a. Usia: sebagian besar kasus limfoma terjadi pada penderita berusia 60 tahun ke atas. Namun pada beberapa jenis kasus limfoma juga terjadi pada usia muda.

(6)

b. Jenis Kelamin: risiko menderita limfona non Hodgkin meningkat pada jenis kelamin laki-laki dibanding perempuan, tidak diketahui penyebab dari kejadian ini.

c. Ras, etnis, dan geografi: di Amerika Serikat, orang kulit putih lebih banyak menderita linfoma non Hodgkin dibanding keturunan Afrika dan Asia. Di dunia, limfoma non Hodgkin lebih banyak diderita pada negara-negara maju, dengan Amerika dan Eropa memiliki angka tertinggi. Beberapa jenis limfoma berhubungan dengan kejadian infeksi yang hanya ada di wilayah tertentu. d. Paparan terhadap bahan kimia dan obat tertentu: beberapa studi

mengungkapkan bahan-bahan seperti benzene dan herbisida serta insektisida berhubungan dengan meningkatnya risiko limfoma non Hodgkin. Obat kemoterapi yang digunakan dalam mengobati kanker dapat meningkatkan risiko berkembangnya limfoma non Hodgkin beberapa tahun setelah penggunaan, namun belum jelas diketahui apakah kejadian ini berhubungan dengan penyakit kankernya sendiri ataupun efek dari pengobatannya. Beberapa studi juga mengungkapkan obat tertentu yang digunakan untuk mengobati rematoid artitis seperti methotrexate dan tumor nekrosis faktor (TNF) inhibitor dapat meningkatkan risiko limfoma non Hodgkin. Hal ini juga meliputi keadaan rematoid arthritis itu sendiri merupakan suatu penyakit autoimun yang juga sudah meningkatkan risiko terjadinya limfoma non Hodgkin.

e. Kondisi penurunan fungsi imun: beberapa contoh penderita dengan penurunan fungsi imun memiliki risiko tinggi menderita limfoma non Hodgkin, pasien penerima transplantasi organ yang mengkonsumsi imunosupresan, human immunodeficiency virus (HIV), pada penyakit genetik seperti ataxia-telangiectasia (AT) dan Wiskott-Aldrich syndrome, anak lahir degan defisiensi sistem imun.

f. Penyakit autoimun: beberapa kondisi penyakit autoimun seperti rheumatoid arthritis, systemic lupus erythematosus (SLE), Sjogren disease, Celiac disease (gluten sensitive enteropathy) meningkatkan risiko menderita limfoma non

(7)

Hodgkin. Sistem imun yang meningkat pada penyakit autoimun menyebabkan aktivitas limfosit membelah lebih tinggi dari normal dan meningkatkan risiko berkembang menjadi sel-sel limfoma.

g. Infeksi: beberapa tipe infeksi dapat meningkatkan risiko limfoma non Hodgkin melalui jalur yang berbeda.

 Infeksi yang menstransformasi limfosit secara langsung

Virus dapat secara langsung mempengaruhi DNA dari limfosit, mengubah limfosit menjadi sel kanker :

- Infeksi human T-cell lymphotropic virus (HTLV-1) menyebabkan kejadian angka limfoma < 1%. HTLV-1 menular melalui hubungan seksual dan darah yang terkontaminasi, dapat menular pada bayi lewat air susu dari ibu yang terinfeksi.

- Infeksi Eipstein-Barr virus : EBV DNA ditemukan pada 95% limfoma Burkit endemik, dan lebih jarang ditemukan pada limfoma Burkit sporadik. Karena tidak pada semua kasus limfoma Burkit ditemukan EBV, hubungan dan mekanisme EBV terhadap terjadinya limfoma Burkit belum diketahui. Sebuah hipotesis menyatakan bahwa infeksi awal EBV dan faktor lingkungan dapat meningkatkan jumlah prekursor yang terinfeksi EBV dan meningkatkan risiko terjadinya kerusakan genetik. EBV juga dihubungkan dengan posttranspIant lymphoproIifer ative disorders (PTLDs) dan AIDS-associat ed lymphomas.

- Human herpes virus 8 (HHV-8) juga menginfeksi limfosit, menyebabkan kejadian limfoma yang langka yang disebut dengan primary effusion lymphoma. Limfoma ini lebih sering ditemukan pada pasien yang terinfeksi HIV. HHV 8 juga berhubungan dengan kanker lainnya yaitu Kaposi sarcoma (Kaposi sarcoma-associated herpes virus).

 Infeksi yang melemahkan sistem imun

- Infeksi HIV/AIDS menurunkan sistem imun yang berisiko meningkatkan kejadian limfoma non Hodgkin tipe tertentu, seperti

(8)

primary CNS lymphoma, Burkitt lymphoma, dan diffuse large B-cell lymphoma.

 Infeksi yang menyebabkan stimulasi imun kronik

- Beberapa infeksi kronis meningkatkan riiko terjadinya limfoma non Hodgkin dengan mendorong sistem imun aktif secara konstan. Semakin banyak limfosit diproduksi untuk melawan infeksi yang terjadi, semakin tinggi kesempatan terjadinya mutasi gen, menyebabkan terjadinya limfoma. Beberapa jenis limfoma yang berhubungan dengan infeksi ini seringkali menjadi lebih baik ketika infeksinya tertangani. Helicobater pylori, bakteri penyebab ulkus gaster berhubungan dengan mucosa-associated lymphoid tissue (MALT) lymphoma pada gaster. Chlamydophila psittaci, bakteri penyebab infeksi paru yang disebut psittacosis, berhubungan dengan MALT lymphoma pada jaringan sekitar mata yang disebut ocular anexal marginal zone lymphoma. Infeksi Campylobacter jejuni berhubungan dengan MALT lymphoma yang disebut immunoproliferative small intestine disease. Infeksi kronis virus hepatitis C (HCV) menjadi risiko splenic marginal zone lymphoma. h. Berat badan dan diet : studi menunjukkan keadaan obesitas meningkatkan

risiko terjadinya limfoma non Hodgkin. Studi lain juga menunjukkan diet berupa makanan tinggi lemak dan daging juga meningkatkan risiko.

i. Implan payudara : walaupun jarang, pada beberapa wanita dengan implan berkembang tipe anaplastic large cell lymphoma (ALCL) pada payudara. Lebih sering ditemukan pada implan yang bertekstur pada permukaannya dibanding implan dengan permukaan halus.

2.4 Patogenesis Limfoma Non Hodgkin

Prekursor limfosit dalam sumsum tulang adalah limfoblas. Perkembangan limfosit terbagi dalam dua tahap, yaitu tahap yang tidak tergantung antigen (antigent independent) dan tahap yang tergantung antigen (antigent dependent). Pada tahap I, sel induk limfoid berkembang menjadi sel pre-B, kemudian menjadi sel B imatur dan

(9)

sel B matur, yang beredar dalam sirkulasi, dikenal sebagai naive B-cell. Apabila sel B terkena rangsangan antigen, maka proses perkembangan akan masuk tahap 2 yang terjadi dalam berbagai kopartemen folikel kelenjar getah bening, dimana terjadi immunoglobuline gene rearrangement. Pada tahap akhir menghasilkan sel plasma yang akan pulang kembali ke sumsum tulang4.

Normalnya, ketika tubuh terpajan oleh zat asing, sistem kekebalan tubuh seperti sel limfosit T dan B yang matur akan berproliferasi menjadi suatu sel yang disebut imunoblas T atau imunoblas B. Pada LNH, proses proliferasi ini berlangsung secara berlebihan dan tidak terkendali. Hal ini disebabkan akibat terjadinya mutasi pada gen limfosit tersebut. Proliferasi berlebihan ini menyebabkan ukuran dari sel limfosit itu tidak lagi normal, ukurannya membesar, kromatinnya menjadi lebih halus, nukleolinya terlihat, dan protein permukaan selnya mengalami perubahan4.

Terdapat bukti bahwa pada respons imun awal sebagian naive B cell dapat langsung mengalami transformasi menjadi immunoblast kemudian menjadi sel plasma. Sebagian besar naive B cell dapat langsung mengalami transformasi menjadi immunoblast kemudian menjadi sel plasma. Sebagian besar naive B cell mengalami transformasi melalui mantle cell, follicular B-blast, centroblast, centrocyte, monocyte B cell dan sel plasma4.

Perubahan sel limfosit normal menjadi sel limfoma merupakan akibat terjadinya mutasi gen pada salah satu sel dari sekelompok sel limfosit tua yang tengah berada dalam proses transformasi menjadi imunoblas (terjadi akibat adanya rangsangan imunogen). Proses ini terjadi di dalam kelenjar getah bening, dimana sel limfosit tua berada dlluar "centrum germinativum" sedangkan imunoblast berada di bagian paling sentral dari "centrum germinativum" Beberapa perubahan yang terjadi pada limfosit tua antara lain: 1). Ukurannya makin besar; 2). Kromatin inti menjadi lebih halus; 3). Nukleolinya terlihat; 4). Protein permukaan sel mengalami perubahan reseptor4.

(10)

2.5 Klasifikasi Limfoma Non-Hodgkin

Secara umum klasifikasi LNH dibuat berdasarkan kemiripan sel-sel pada suatu tipe LNH dengan limfosit normal dalam berbagai kompartemen diferensiasi. Klasifikasi histopatologik harus disesuaikan dengan kemampuan patologis serta fasilitas yang tersedia. Dua jenis klasifikasi yang paling umum dipakai adalah klasifikasi Kiel dan Working formulation. Dibawah ini di uraikan klasifikasi Rappaport yang merupakan awal klasifikasi LNH modern, Working formulation, serta klasifikasi terbaru REAL10,11.

Tabel 2. Klasifikasi Rappaport 1. Lymphocytic, poorly differentiated

a. Nodular (NLPD) b. Diffuse (DLPD)

2. Lymphocytic, well differentiated a. Diffuse (DLWD)

3. Mixed lymphocytic histiocytic a. Nodular (NMLH)

b. Diffuse (DMLH) 4. Undifferentiated

a. Diffuse (DU) Burkitt type

Non-Burkitt (lymphoblastic) type

Klasifikasi Rappaport memakai dasar bentuk morfologik, makin mendekati bentuk limfosit kecil dianggap sel yang berdiferensiasi baik, sedangkan sel yang lebih besar dianggap berdiferensiasi tidak baik. Sehubungan dengan itu, dilihat susunan sel, apakah noduler, atau difus.

(11)

Klasifikasi Kiel

Klasifikasi Kiel membagi LNH menjadi 2 golongan besar, yaitu: a. LNH dengan derajat keganasan rendah

b. LNH dengan derajat keganasan tinggi

Klasifikasi Kiel sudah menyesuaikan dengan kompartemen dari kelenjar getah bening, serta membedakan asal sel, apakah dari limfosit B atau limfosit T10.

Tabel 3. Klasifikasi Kiel Sel B

Low grade malignancy Lymphocytic Lymphoplasmacytic Plasmacytic Centroblastic/centrocytic Follicular Diffuse Centrocytic

High grade malignancy Centroblastic

Immunoblastic

Large cell anaplastic (Ki-1+) Burkitt’s lymphoma

Lymphoblastic Rare types

Sel T

High grade malignancy Lymphocytic

Small cerebriform cell Mycosis funguides Sezary’s syndrome

Lymphoepitheloid (Lenner’s lymphomas) Angioimmunoblastic T zone

Pleomorphic small cell High grade malignancy

Pleomorphic medium and large cell Immunoblastic

Large cell anaplastic (Ki-1+) Lymphoblastic

Rare types

Klasifikasi Revisied American European Lymphoma (REAL)

Pada tahun 1994 telah dikeluarkan klasifikasi Revisied American European Lymphoma (REAL) dan diterapkan secara luas. Klasifikasi REAL/WHO mencakup semua keganasan limfoid dan limfoma dan lebih berdasarkan klinis dibandingkan dengan skema-skema klasifikasi sebelumnya. Secara umum terjadi pergeseran pembagian limfoma yang awalnya hanya berdasarkan penampilan histologik menjadi

(12)

lebih ke arah sindrom dengan gambaran morfologik, imunofenotipe, genetik, dan klinis yang khas. Klasifikasi ini juga berguna untuk mempertimbangkan kemungkinan asal keganasan masing-masing limfoid berdasarkan fenotipe dan status penataan ulang imunoglobulinnya6.

Tabel 1. Klasifikasi Revisied American European Lymphoma (REAL) untuk neoplasma limfoid

Sel B (85%) Sel T dan sel NK (15%)

Neoplasma prekursor sel B

 Limfoma/leukimia limfoblastik prekursor B (ALL-B/LBL)

Neoplasma prekursor sel T

 Limfoma/leukimia limfoblastik prekursor T (ALL-T/LBL)

Neoplasma sel B matur (perifer)  Leukimia limfositik kronik sel

B/ Limfoma limfositik kecil  Leukimia prolimfositik sel B  Limfoma limfoplasmasitik  Limfoma sel B zona marginal

limpa (limfosit vilosa)  Leukimia sel berambut  Myeloma sel plasma/

plasmasitoma

 Limfoma sel B zona marginal ekstranodal tipe MALT

 Limfoma sel mantel  Limfoma folikular

 Limfoma sel B zona marginal nodal

 Limfoma sel B besar difus

Neoplasma sel T matur (perifer)  Leukimia prolimfositik sel T  Leukimia limfositik granular sel T  Leukimia sel NK agresif

 Leukimia/Limfoma sel T dewasa (HTLV-1)

 Limfoma sel T/NK ekstranodal, tipe nasal

 Limfoma sel T jenis enteropati  Mycosis fungoides/ sindrom

Sezary

 Limfoma sel besar anaplastik, tipe kutaneus primer

 Limfoma sel T perifer, tidak dispesifikasi

(13)

 Limfoma Burkitt  Limfoma sel besar anaplastik, tipe sistemik primer

Perumusan Praktis untuk Penggunaan Klinis

Perumusan praktis untuk penggunaan klinik (working formulation for clinical usage) merupakan klasifikasi yang banyak dipakai. Sebetulnya klasifikasi ini merupakan jembatan antar berbagai klasifikasi yang ada4.

Klasifikasi yang baru dibuat berdasarkan perkembangan limfosit yang dengan demikian dapat dihubungkan dengan letak sel pada kompartemen kelenjar getah bening normal. Maka secara umum klasifikasi limfoma berasal dari sel B adalah:

1. Precursor B-cell lymphoma

Limfoma dianggap berasal dari limfoblast. Dapat terjadi dalam bentuk leukemia ataupun limfoma, yang keduanya identik atau disebut lymphoblastic leukemia/lymphoma.

2. LNH yang berasal dari naive B-cell

LNH ini disebut sebagai small lymphocytic lymphoma (SLL) yang identik dengan bentuk chronic lymphocytic leukemia (CLL).

3. LNH berasal dari germinal center dari suatu folikel limfoid. LNH dari germinal center dibagi menjadi 2 golongan besar, yaitu:

a. Follicular lymphoma: terdiri dari sel yang sangat mirip dengan sel dari germinal center normal. LNH jenis ini biasanya bersifat indolen, tetapi incurable. Follicular lympoma sering disertai translokasi kromosom 14 dan 18 {t(14;18)} yang menyebabkan juxtaposisi bcl-2 gene yang mengatur apoptosis dengan Ig heavy chain gene.

b. Large cell lymphoma: terdiri dari sel-sel besar yang terdapat dalam folikel normal (centroblast). Jenis ini sering bersifat difus karena itu disebut sebagai diffuse large cell lymphoma. LNH jenis ini bersifat agresif, tetapi sangat responsif terhadap kemoterapi.

(14)

LNH jenis ini disebut sebagai mantle zone lymphoma. Secara imunofenotipe mirip dengan SLL, tetapi menunjukkan CD5 positif. Perjalanan klinis slowly progressive dan incurable dengan standard chemotherapy.

5. LNH yang berasal dari marginal zone atau parafollicular

Termasuk dalam golongan ini adalah: B-cell monocytoid lymphoma, low-grade mucosa-associated lymphoid tissue (MALT) lymphoma dan splenic marginal zone lymphoma. Terdiri dari sel-sel limfosit kecil yang menempati zone marginal atau prafolikuler dari folikel limfoid normal4.

2.6 Stadium Penyakit

Penentuan stadium didasarkan pada jenis patologi dan tingkat keterlibatan. Jenis patologi (tingkat rendah, sedang atau tinggi) didasarkan pada formulasi kerja yang baru. Tingkat keterlibatan ditentukan sesuai dengan klasifikasi Ann Arbor.1,4

b. Tingkat keterlibatan ditentukan sesuai dengan klasifikasi Ann Arbor Stadium I:

Pembesaran kelenjar getah bening hanya pada satu regio Stadium II:

Pembesaran kelenjar getah bening pada 2 regio atau lebih, tetapi masih dalam satu sisi diafragma :

 II 2 : pembesaran 2 regio KGB dalam 1 sisi diafragma  II 3 : pembesaran 3 regio KGB pada 1 sisi diafragma

 II E : Pembesaran 1 regio atau lebih KGB dalam satu sisi diafragma dan 1 organ ekstra limfatik tidak difus/batas tegas.

Stadium III:

Keterlibatan daerah kelenjar getah bening pada kedua sisi diafragma Stadium IV:

Jika mengenai 1 organ ekstra limfatik atau lebih tetapi secara difus. Keterangan:

 A : Tanpa Gejala Konstutional  B: Dengan Gejala Konstutional

(15)

 C : Keterlibatan Ekstranodal

2.7 Diagnosis 2.7.1 Anamnesis

Pada anamnesis secara umum didapatkan:1,12

- Limfadenopati superfisial. Sebagian besar pasien datang dengan pembesaran kelenjar getah bening asimetris yang tidak nyeri pada satu atau lebih regio kelenjar getah bening perifer.

- Gejala konstutisional, seperti malaise umum, demam tinggi 380C 1 minggu

tanpa sebab, keringat pada malam hari, dan penurunan berat badan 10% dalam waktu 6 bulan lebih jarang terjadi pada penyakit Hodgkin. Dapat terjadi anemia dan infeksi dengan jenis yang ditemukan pada penyakit Hodgkin - Gangguan orofaring. Pada 5-10% pasein, terdapat penyakit di struktur

orofaringeal (cincin Waldeyer) yang dapat menyebabkan timbulnya keluhan sakit tenggorok atau nafas berbunyi atau tersumbat.

- Anemia, netropenia dengan infeksi, atau trombositopeni dengan purpura merupakan gambaran pada penderita penyakit sumsum tulang difus. Sitopenia juga dapat disebabkan oleh autoimun.

- Penyakit abdomen. Hati dan limpa seringkali membesar dan kelenjar getah bening retroperitonela atau mesentrika sering terkena. Saluran gastrointestinal adalah lokasi ekstranodal yang paling sering terkena setelah sumsum tulang, dan pasien bisa datang gejala nyeri abdomen akut.

- Gejala pada organ lain. kulit, otak, testis, atau tiroid sering terkena. Kulit juga secara primer terkena pada dua jenis limfoma sel T yang tidak umum dan terkait erat: mikosis fungoides dan sindrom Sezary.

- Keluhan anemia, seperti lemas, pusing, jantung berdebar. - Keluhan organ (misalnya lambung, nasofaring)

- Penggunaan obat (Diphantoine)

Anamnesis yang dapat digali lainnya, meliputi:1,12

(16)

- Kelainan darah

- Penyakit infeksi (toksoplasma, mononukleosis, tuberkulosis) - Keadaan defisiensi imun.

2.7.2 Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik dapat dilihat dari pembesaran kelenjar getah bening, yang biasanya terjadi pada leher, ketiak dan lipat paha, serta kelainan/pembesaran organ.1,7

2.7.3 Pemeriksaan Penunjang

Pendekatan evaluasi diagnostik untuk pasien dengan LNH, meliputi:1,4 a. Laboratorium

 Rutin

Hematologi:

- Darah perifer lengkap

Pada pemeriksaan darah lengkap seorang LNH dapat dijumpai kondisi sebagai berikut:

 Biasanya ditemukan anemia normositik normokrom, tetapi hemolitik autoimun juga dapat terjadi3.

 Pada penyakit lanjut yang disertai dengan keterlibatan sumsum tulang, mungkin terdapat netropenia, trombositopenia (khususnya jika limpa membesar), atau gambaran leukoeritroblastik.

- Gambaran darah tepi

Dapat dijumpa sel sel limfoma (misalnya sel zona selubung, sel limfoma folikuler berbelah, atau blast) dengan kelainan inti yang bervariasi, dapat ditemukan dalam darah tepi beberapa pasien.

- Urinalisa: pemeriksaan urin lengkap Kimia klinik:

Dapat terjadi peningkatan asam urat serum. Uji fungsi hati yang abnormal mengesankan adanya penyakit diseminata. Kadar LDH serum

(17)

meningkat pada penyakit yang lebih cepat berproliferasi dan kuas serta dapat digunakan sebagai suatu petanda prognostik.

 Khusus

- Gamma GT

- Cholinesterase (CHE) - LDH/fraksi

- Serum Protein Elektroforesis (SPE) - Imuno Elektroforese (IEP)

- Tes coombs - B2 Mikroglobulin

b. Biopsi eksisional atau core biopsy

 Biopsi KGB dilakukan cukup pada 1 kelenjar yang paling representatif, superfisial, dan perifer. Jika terdapat kelenjar perifer/superfisial yang representatif, maka tidak perlu biopsi intraabdominal atau intratorakal. Kelenjar getah bening yang diperiksa disarankan dari leher dan supraclavicular, pilihan kedua adalah axilla dan terakhir inguinal. Spesimen kelenjar rutin diperiksa berupa histopatologi yang sesuai klasifikasi WHO terbaru, yaitu REAL-WHO dan Working Formulation. Pemeriksaan khusus dapat dilakukan immunohistokimia.8

 Diagnosis ditegakkan berdasarkan histopatologi dan tidak cukup hanya dengan sitologi. Pada kondisi tertentu dimana KGB sulit di biopsi, maka kombinasi core biopsy FNAB bersama-sama dengan teknik lain seperti flowcytometri dapat mencukupi untuk diagnosis.9

c. Aspirasi sumsum tulang (BMP) dan biopsi sumsum tulang dari 2 sisi spina iliaca dengan hasil spesimen sepanjang 2 cm. Biopsi trephin sumsum tulang menunjukkan lesi fokal pada 20% kasus. Keterlibatan sumsum tulang lebih sering ditemukan pada limfoma maligna derajat rendah.9

d. Radiologi

 Untuk pemeriksaan rutin dapat dilakukan foto toraks dan CT scan toraks/abdomen

(18)

 Untuk pemeriksaan khusus dilakukan USG Abdomen, limfografi, dan limfosintigrafi

e. Cairan tubuh lain: cairan pleura, asites, cairan serebrospinal jika dilakukan punksi/aspirasi diperiksa sitologi dengan cara cytospin, di samping pemeriksaan rutin lainnya

f. Immunophenotyping

Pemeriksaan petanda imunologik (immunological marker) untuk melihat ekspresi antigen pada permukaan sel sangat penting untuk menentukan jenis sel (sel B atau sel T) serta tingkat perkembangannya. Antigen diferensiasi kelompok yang berguna dalam penegakan diagnosis limfoma dapat dilihat pada tabel.8

Tabel 4. Antigen diferensiasi kelompok (cluster differentiation, CD) Sel T Sel B Petanda aktivasi Antigen umum leokosit

CD2 CD3 CD5 CD7 Subset sel T CD4 CD8 CD19 CD20 CD22 CD24 Sel B langka CD5 CD23 CD25 CD30 CD45

Berbagai subtipe limfoma non-hodgkin dikaitkan dengan translokasi kromosom khas yang mempunyai nilai diagnostik dan prognostik. Kalainan yang sangat khas adalah t(8;4) pada limfoma Butkitt, t(14;18) pada limfoma folikular, t(11;14) pada limfoma sel selubung, t(2;5) pada sel besar anaplastik.9

Diagnosis LNH harus ditegakkan dari pemeriksaan histologi biopsi eksisi kelenjar getah bening atau jaringan ekstranodal. Pemeriksaan dari hasil aspirasi jarum tidak memadai untuk diagnosis komfirmatif. Dilakukan klasifikasi histopatologik menurut klasifikasi yang umum dipakai (di Indonesia umumnya gabungan working formulation dan Kiel). Kemudian

(19)

dilakukan prosedur penilaian derajat penyakit sehingga derajat penyakit dapat ditentukan.4

2.8 Penatalaksanaan

Terapi untuk LNH terdiri atas terapi spesifik untuk membasmi sel limfoma dan terapi suportif untuk meningkatkan keadaan umum penderita atau untuk menanggulangi efek samping kemoterapi atau radioterapi. Terapi spesifik untuk LNH dapat diberikan dalam bentuk berikut6:

1. Radioterapi

a. Untuk penyakit yang terlokalisir (derajat I) b. Untuk ajuvan pada bulky disease

c. Untuk tujuan paliatif pada stadium lanjut 2. Kemoterapi

a. Kemoterapi tunggal (singel agent)

Chlorambucil atau siklofosfamid untuk LNH derajat keganasan rendah b. Kemoterapi kombinasi dibagi menjadi 3, yaitu:

i. Kemoterapi kombinasi generasi I terdiri atas:

CHOP (cyclophosphamide, doxorubicine, vincristine, prednison) CHOP-Bleo/Bacop (CHOP + bleomycine)

COMLA (cyclophosphamide, vincristine, methotrexate with leucovorin rescue)

CVP/COP (cyclophosphamide, vincristine, prednison)

C-MOPP (cyclophosphamide, mechlorethamine, vincristine, prednison, procarbazine)

ii. Kemoterapi kombinasi generasi II terdiri atas:

COP-Blam (cyclophosphamide, mechlorethamine, vincristine, prednison, bleomycin, doxorubicine, procarbazine).

Pro-MACE-MOPP (prednison, methotrexate with leucovorin rescue, doxorubicine, cyclophosphamide, etoposide, mechlorethamine, vincristine, procarbazine).

(20)

M-BACOD (methotrexate with leucovorin rescue, bleomycin, doxorubicine, cyclophosphamide, vincristine, dexamethasone). iii. Kemoterapi kombinasi generasi II terdiri atas:

COPBLAM III (cyclophosphamide, infusional vincristine, prednison, infusional bleomycin, doxorubicine, procarbazine). ProMACE-CytaBOM (prednison, methotrexate with leucovorin

rescue, doxorubicine, doxorubicine, cyclophosphamide, etoposide, cytarabine, bleomycin, vincristine, methotrexate with leucovorin rescue).

MACOP-B (methotrexate with leucovorin rescue, doxorubicine, cyclophosphamide, vincristine, prednison, bleomycin).

Dari perkembangan terapi sampai saat ini ternyata kemoterapi kombinasi CHOP terbukti paling efektif dibandingkan kemoterapi kombinasi lain. Penambahan jenis kemoterapi ataupun lama pemberian tidak menambah angka kesembuhan. Oleh karena itu, kemoterapi generasi kedua dan ketiga jarang digunakan.6

3. Transplantasi sumsum tulang dan transplantasi sel induk merupakan terapi baru dengan memberikan harapan kesembuhan jangka panjang.

4. Kemoterapi dosis tinggi dengan rescue memakai peripheral blood stem cell transplantasi.

5. Terapi dengan imunomodulator

Terapi dengan interferon diberikan untuk indolent lymphoma, dikombinasikan dengan kemoterpai atau diberikan setelah kemoterapi untuk memperpanjang masa remisi. Tetapi hasilnya sampai sekarang masih kontroversial.

6. Targeted therapy

Antibodi monoklonal: rituximab suatu chimeric monoclonal antibody ditujukan untuk antigen CD20 yang diekspresikan oleh semua sel limfosit B. Pemberian rituximab intravena setiap minggu selama 4 minggu memberikan remisi parsial pada 50% LNH indolen. Sekaran gcenderung digabung dengan kemoterapi (CHOP) dan juga dicobakan pada LNH agresif.6

(21)

Regimen kemoterapi yang paling umum dipakai adalah CHOP: 1. Cyclophosphamide 750 mg/m2 i.v. hari 1

2. Hydroxydaunomycine (adriamycine) 50 mg/m2 i.v. hari 1 3. Oncovin (vincristine) 2 mg/m2 i.v. hari 1 dan 5

Siklus diulangi setiap 3 minggu, sampai terjadi remisi komplit, kemudian ditambah 2 siklus lagi. Jika sampai siklus ke-6 tidak terjadi remisi komplit, sebaiknya diganti regimen lain. Data terbaru menunjukkan bahwa penambahan anti-CD20 (Rituximab) pada terapi CHOP memperbaiki tingkat remisi DLCL.6

2.9 Komplikasi

Komplikasi yang terjadi akibat langsung penyakitnya:

 Penekanan terhadap organ khususnya jalan napas, usus, dan saraf  Mudah terjadi infeksi, bisa fatal

Komplikasi akibat terapi:  Radioterapi

Dapat menimbulkan nausea, disfagia, esofagitis, dan hipotiroid.  Kemoterapi

Dapat menimbulkan mielosupresi, sterilitas dan timbulnya keganasan hematologik sekunder.11,13

2.10 Prognosis

LNH dapat dibagi kedalam 2 kelompok prognostik yaitu Indolent Lymphoma dan Agresif Lymphoma. LNH Indolen memiliki prognosis yang relatif baik, dengan median survival 10 tahun, tetapi biasanya tidak dapat disembuhkan pada stadium lanjut. Sebagian besar tipe Indolen adalah noduler atau folikuler. Tipe limfoma agresif memiliki perjalanan alamiah yang lebih pendek, namun lebih dapat disembuhkan secara signifikan dengan kemoterapi kombinasi intensif. Risiko kambuh lebih tinggi pada pasien dengan gambaran histologis "divergen" baik pada kelompok Indolen maupun Agresif.10

(22)

International Prognostik Index (IPI) digunakan untuk memprediksi outcome pasien dengan LNH Agresif Difus yang mendapatkan kemoterapi regimen kombinasi yang mengandung Antrasiklin, namun dapat pula digunakan pada hampir semua subtipe LNH. Terdapat 5 faktor yang mempengaruhi prognosis, yaitu usia, serum LDH, status performans, stadium anatomis, dan jumlah lokasi ekstra nodal.1

Setiap faktor memiliki efek yang sama terhadap outcome, sehingga abnormalitas dijumlahkan untuk mendapatkan indeks prognostik. Skor yang didapat arfiara 0-5. Pada pasien usia <60 “ (age adjusted IPI), indeks yang digunakan lebih sederhana yaitu hanya meliputi faktor stadium anatomis, serum LDH, dan status “performance”, tanpa status ekstra nodal.1

(23)

BAB III LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS PASIEN

Nama : I Wayan Sisi

Jenis Kelamin : Laki-laki

Umur : 56 tahun

Alamat : Br. Kelabang Moding, Tegalalang, Gianyar

Bangsa : Indonesia

Suku : Bali

Agama : Hindu

Pekerjaan : Buruh Bangunan Status Pernikahan : Kawin

Tanggal MRS : 12 Februari 2019 Tanggal Pemeriksaan : 17 Februari 2019 II. ANAMNESIS

Keluhan utama: Benjolan di leher kanan. Riwayat Penyakit Sekarang:

Pasien datang ke UGD RSUP Sanglah diantar oleh paramedis dan keluarganya pada tanggal 12 Februari 2019 dengan keluhan benjolan di leher kanan. Benjolan dikatakan muncul 4 bulan sebelum MRS dan muncul mendadak. Awalnya benjolan dikeluhkan kecil namun lama kelamaan bertambah besar hingga mencapai ukuran 15cm dalam waktu kurang lebih 3 bulan. Benjolan dikatakan bertekstur kenyal saat

(24)

diraba, tidak terasa nyeri saat ditekan, dan keluhan yang dirasakan membuat pasien kesulitan menelan makanan. Keluhan ini merupakan keluhan yang pertama kali dialami oleh pasien. Pasien sempat mengeluh kesulitan BAB pada 5 hari sebelum MRS. Keluhan membaik setelah diberikan obat pencahar di RSUP Sanglah. Pasien mengalami demam satu setengah bulan. Demam muncul mendadak. Demam dikatakan naik turun dan membaik dengan obat penurun panas namun muncul kembali. Pasien juga mengeluhkan nyeri kepala sejak 1 bulan sebelum MRS. Nyeri kepala dirasakan pada seluruh bagian kepala dan seperti tertusuk-tusuk. Nyeri membaik dengan obat penghilang rasa nyeri namun kemudian muncul kembali. Selain itu, pasien juga mengalami hidung tersumbat sejak 1 bulan sebelum MRS disertai dengan cairan berwarna bening, dirasakan hilang timbul, memberat pada malam hari atau cuaca dingin, dan membaik ketika pasien beristirahat.

Riwayat Penyakit Dahulu dan Pengobatan

Pasien sebelumnya berobat ke dokter spesialis THT kemudian diberikan obat untuk keluhan benjolan di lehernya namun kemudian disarankan berobat ke RSUD Sanjiwani dan kemudian dirujuk ke RSUP Sanglah untuk pengobatan lebih lanjut. Pasien sudah menjalani pengobatan kemoterapi sebanyak 10 kali di RSUP Sanglah. Riwayat tumor atau kanker, asma, penyakit jantung, Diabetes Melitus, dan penyakit sistemik lainnya disangkal.

Riwayat Keluarga

Tidak ada anggota keluarga yang pernah menderita keluhan yang sama sebelumnya. Riwayat tumor atau kanker , penyakit ginjal, Diabetes Melitus, penyakit, jantung, asma, dan hipertensi dalam keluarga disangkal.

Riwayat Sosial dan Pribadi

Pasien adalah seorang bapak dari dua anak perempuan yang kini salah satunya tinggal bersamanya di rumah. Pasien bekerja sebagai buruh bangunan selama kurang lebih 28 tahun dan berhenti sejak pasien sakit. Pasien tidak memiliki kebiasaan

(25)

merokok dan minum alkohol namun menantu pasien memiliki kebiasaan merokok di rumah dan terkadang terpapar. Tidak ada orang di lingkungan sekitar pasien yang pernah menderita keluhan yang sama.

III. PEMERIKSAAN FISIK 3.1 Tanda-tanda Vital

Keadaan Umum : Sakit Sedang

Kesadaran/GCS : Compos mentis / E4V5M6

Tekanan Darah : 120/80 mmHg

Nadi : 84x /menit

Laju Pernafasan : 20x/menit Suhu Aksila : 36,5oC Skor Nyeri : 1/10 Saturasi Oksigen : 98 % Berat Badan : 58 kg Tinggi Badan : 160 cm  Pemeriksaan Umum Kepala : Normocephali

Mata : Konjungtiva anemis (-/-), ikterik (-/-), refleks pupil (+/+) isokor 2mm/2mm Leher : JVP + 0 cmH2O, PKGB (-)

(26)

Telinga : Daun telinga N/N, sekret (-/-) Hidung : Sekret (-/-)

Tenggorokan : T1/T1, hiperemis (-) Lidah : Normal

Bibir : Sianosis (-)

Thoraks : Simetris saat statis dan dinamis Cor

Inspeksi : Iktus kordis tidak tampak

Palpasi : Iktus kordis teraba di ICS V MCL Sinistra , thrill(-) Perkusi : Batas kanan jantung : ICS IV PSL Dextra

Batas kiri jantung : ICS IV MCL Sinistra Batas atas jantung : ICS II PSL Dextra Batas bawah jantung : ICS V MCL Sinistra Auskultasi : S1S2 tunggal, regular, murmur (-)

Pulmo

Inspeksi : Simetris saat statis dan dinamis, retraksi (-) Palpasi : Vokal fremitus N/N, pergerakan simetris Perkusi : Sonor Sonor

Sonor Sonor Sonor Sonor

(27)

Auskultasi : Vesikuler + + Rhonki - - Wheezing - - + + - - - -

+ + - - - -

Abdomen

Inspeksi : Distensi (-)

Auskultasi : Bising usus (+) normal

Palpasi : Hepar dan lien tidak teraba, nyeri tekan (-) Perkusi : Timpani (+)

Ekstremitas : Hangat + + Edema - - + + - -  Pemeriksaan Fisik Neurologis

- GCS E4V5M6 - Meningeal sign (-) - Paresis N. VII & XII (-) - Hemiparesis (-)

- Refleks Babinski (-)

III. Pemeriksaan Penunjang

Darah Lengkap di RSUP Sanglah (01/02/2019)

PARAMETER HASIL SATUAN NILAI RUJUKAN REMARKS

WBC 3,04 103/µL 4.1 – 11.0

(28)

LY % 21,59 % 13 – 40 BA % 9,38 % 0.0 – 2.0 ↑ RBC 3,82 103/µL 4.5 – 5.9 ↓ HGB 10,37 g/dL 13.5 – 17.5 ↓ HCT 34,53 % 41.0 – 53.0 ↓ MCV 90,36 fL 80.0 –100.0 MCH 27,12 Pg 26.0 – 34.0 MCHC 30,02 g/dL 31 – 36 ↓ PLT 538,90 10µ/µL 150 – 440 ↑ SGOT 19,4 U/L 11-33 SGPT 29,00 U/L 11-50 BUN 18,00 mg/dL 8-23 SC 0,82 mg/dL 0,7-1,2 Foto Thoraks AP (27/10/2018)

 Cor : besar dan bentuk kesan normal

Pulmo : tak tampak infiltrat/nodul. Corakan bronchovaskuler normal Sinus pleura kanan kiri tajam

Diaphragma kanan kiri normal  Tulang-tulang : tidak tampak kelainan

 Kesan:

(29)

CT Scan (21/09/2018)

Tampak pemadatan pada nasofaring yang menyebabkan obliterasi fossa rossenmuller dan torus tubarius kanan kiri yang pada pemberian kontras tampak heterogenous abnormal contrast enhancement. Tampak perluasan massa ke parafaring bilateral sampai retrofaring kanan, konka nasi inferior kanan, dan sinus sphenoidalis kanan. Tak tampak perluasan massa ke intrakranial.

 Tampak pembesaran KGB susentimeter pada regio colli kanan kiri

 Tampak perselubungan berdensitas cairan kental pada sinus maksilaris kanan dan ethmoidalis bilateral

 Tampak perselubungan pada os mastoid kanan kiri  Orbita kanan kiri tampak normal

 Parenkim otak tidak tampak kelainan

 Tulang calvaria tampak normal ,tak tampak destruksi tulang  Sinunusitis maksilaris kanan dan ethmoidalis bilateral Kesan:

Massa nasofaring kanan yang meluas ke parafaring bilateral sampai retrofaring kanan, konka nasi inferior kanan, dan sinus sphenoidalis kanandisertai multiple limfadenopati pada region colli kanan kiri.

(30)

Hasil Biopsi Hematoxylin and Eosin (24/10/2018) 1. Makroskopis

Diterima dalam kontainer plastik kecil berisi potongan - potongan jaringan ukuran keseluruhan 1,5x1,,50,5 cm, bentuk tidak teratur. Diproses semua dalam 1 kaset.

2. Mikroskopis

Sediaan potongan jaringan kavum nasi yang sebagian dilapisi epitel respiratorius mengandung massa tumor terdiri dari proliferasi sel neoplastik tersebar difus infiltratif di antara stroma jaringan ikat. Morfologi sel - sel tersebut bentuk bulat, sitoplasma sempit, inti bulat sebagian berlekuk, ukuran sedang - besar, anak inti prominent tunggal - multiple, sebagian di tengah sebagian ditepi. Mitosis 12/10 LPB. Tampak sebaran sel - sel radang limfoplasmasitik diantaranya.

3. Kesimpulan :

Orofaring (LNH Post kemoterapi) dan kavum nasi (cenderung LNH) ; Biopsi Kavum Nasi :

- Masih tampak sel - sel ganas viable pada sediaan ini. IV. Diagnosis Diagnosis Kerja LNH Orofaring T3N1Mx (H1) V. Terapi - IVFD R 20 tpm 1. Premedikasi -O2 NRM 15 lpm -Paracetamol tab 1000 mg IO 2. Kemoterapi - Dipenhidramine 20mg IV

(31)

- Rifoximab 375 mg/m2 (525 mg) dalam 500 cc NS

- Cyclofosfamide 750mg (1050 mg) dalam 250 cc NS habis 10 menit (D1) - Vincristin 1,4 mg/m2 (2 mg) dalam 20 cc NS habis dalam 1-2 menit (D1) - Prednison 20 mg tab tiap 8 jam IO

VI. KIE

- Menggunakan masker dan kacamata pelindung saat bekerja - Diet tinggi kalori dan protein

- Rutin kontrol Poli Interna

VII. Monitoring - Vital sign - Keluhan

(32)

BAB IV

KUNJUNGAN LAPANGAN

4.1 Alur Kunjungan Lapangan

Praktek Pengalaman Belajar Lapangan (PBL) dilakukan pada tanggal 17 Februari 2019 bertempat di Rumah Bapak I Wayan Sisi, Br. Kelabang Moding, Tegalalang, Gianyar. Saat melakukan kunjungan kami mendapat sambutan hangat dari pasien dan keluarga. Tujuan diadakannya kunjungan ini adalah untuk mengenal lebih dekat kehidupan pasien sehari-hari, mengidentifikasi permasalahan terkait dengan penyakit pasien dan faktor resiko apa saja yang terdapat pada pasien terkait dengan penyakit pasien. Kunjungan ini juga bertujuan untuk memberikan edukasi kepada pasien dan keluarga mengenai kondisi penyakit yang dialami pasien.

4.2 Identifikasi Masalah

Permasalahan yang masih menjadi kendala bagi pasien dalam menghadapi penyakitnya antara lain sebagai berikut.

1. Pasien tinggal di sebuah lingkungan rumah layaknya rumah orang Bali bersama orangtua, istri, satu anaknya dan menantunya, dan cucu-cucunya. Pasien tidur bersama istri dalam satu kamar berukuran 3 meter x 4 meter, sementara anaknya tidur bersama suami dan anak-anaknya dalam satu kamar. Orangtua pasien tidur di kamar berbeda yang berukuran 3 meter x 4 meter yang letaknya di sebelah kamar pasien.

2. Pasien merasa mudah lemas semenjak sakit, pasien tidak bisa bekerja seperti biasanya, sehingga membuatnya tidak mampu bekerja untuk mencari nafkah dan menjadi beban tersendiri bagi pasien karena banyak menghabiskan biaya untuk

(33)

menjalani pengobatannya. Namun pasien tetap semangat berjuang supaya sembuh dari penyakitnya.

3. Pekerjaan pasien sebagai buruh bangunan yang kesehariannya banyak terpapar debu dan sinar matahari terlebih lagi pasien bekerja selalu menggunakan sepeda motor yang beresiko terpapar polusi udara juga.

4. Pasien tidak begitu paham mengenai penyakitnya namun pasien taat peraturan pengobatan dari dokter supaya segera pulih.

4.3 Analisis Kebutuhan Pasien 1. Kebutuhan Fisik-Biomedis

a. Kecukupan Gizi

Pasien sehari-hari dirumah mengonsumsi makanan yang dimasak oleh istrinya dan kadang anaknya. Istri pasien cukup memahami kebutuhan setiap makanan yang harus dikonsumsi pasien sesuai dengan kebutuhannya. Diet yang disarankan yaitu diet tinggi kalori dan tinggi protein untuk mempercepat proses penyembuhan. Konsumsi buah-buahan dan air yang diminum oleh pasien juga diatur oleh istri pasien.

Perhitungan kebutuhan kalori pada pasien :

BMR (pria) = 66 + (13,7 x BB) + (5 x TB) – (6,8 x Umur) = 66 + (13,7 x 58) + (5 x 160) – (6,8 x 56) = 66+ 794,6+800-380,8

= 1279,8

Jumlah kebutuhan kalori per hari

o Kebutuhan kalori basal = BMR x koefisien aktifitas (sedang) = 1279,8 x 1,375 = 1759,72 kkal Jadi total kebutuhan kalori perhari untuk penderita 1759,72 kilokalori. Distribusi makanan:

1. Karbohidrat 60% = 60% x 1759,72 kilokalori = 1055,83 kkal dari karbohidrat.

(34)

Karbohidrat dibutuhkan sebesar 1055,83 kkal setara dengan 263,95 gram karbohidrat (1055,83 kalori : 4 kalori/gram karbohidrat).

2. Protein 20% = 20% x 1759,72 kkal = 351,94 kkal dari protein. Protein dibutuhkan sebesar 351,94 kkal setara dengan 87,98 gram protein (351,94 kalori : 4 kalori/gram protein).

3. Lemak 20% = 20% x 1759,72 kkal = 351,94 kkal dari lemak.

Lemak dibutuhkan sebesar 351,94 kkal setara dengan 39,10 gram lemak (351,94 kalori : 9 kalori/gram lemak).

Nutrisi harian pasien yang disarankan untuk kebutuhan kalori sejumlah 1759,72 kkal adalah:

Waktu Jumlah Jenis

Makan Pagi ± 20% dari total asupan harian (351,94 kalori)

- Nasi putih (100 gr) - Sayuran (100gr) - Tempe (50 gr) Selingan Pagi ± 10% dari total

asupan harian (175,97 kalori)

- Pepaya (100gr)

Makan Siang ± 30% dari total asupan harian (527,91 kalori)

- Nasi putih (120 gr) - Telur ayam rebus (60 gr) - Tempe 2 potong (10 gr) - Sop (100 gr)

Selingan Siang ± 15% dari total asupan harian (263,95 kalori)

- Pepaya / buah (100 gr) - Roti/kue (100 gr)

Makan malam ± 25% dari total asupan harian (439,93 kalori)

- Nasi putih (100 gr) - Sayur (100 gr)

(35)

b. Kegiatan Fisik

Pasien merupakan seorang buruh bangunan. Pada pagi hari sekitar jam 09.00 WITA pasien biasanya memulai pekerjaanya kadang hingga larut malam tergantung jumlah proyek yang harus diselesaikan dan lokasi bekerjanya dimana. Jam makan pasien tidak menentu dan pasien beberapa kali mengeluhkan telat makan sehingga menderita sakit maag. Sehari – hari pasien sering bergerak dikarenakan pekerjaan buruh banyak berpindah-pindah dan jarang berolahraga. Jika pasien tidak ada jadwal proyek, biasanya pasien mencari nafkah dengan menjadi supir tamu untuk guest house yang dijalankannya bersama keluarganya saat ini.

c. Akses ke Tempat Pelayanan Kesehatan

Pasien tinggal di Br. Kelabang Moding, Tegalalang, Gianyar. Sekitar 4,6 km dari rumah pasien terdapat Puskesmas Tegalalang I. Kemudian sekitar 14,6 km dari rumah pasien terdapat RSU Sanjiwani Gianyar, tempat pasien biasanya datang berobat. Jarak tempuh dari rumah pasien ke RSUD Sanjiwani Gianyar ± 27 menit jika menggunakan motor. Rumah pasien berjarak ± 31,3 km dari RSUP Sanglah Denpasar. Pasien disarankan melakukan kontrol ke poli bulan depan untuk pemeriksaan klinis dan pemeriksaan laboratorium untuk memantau keberhasilan pengobatan, mencegah perburukan penyakit dan timbulnya komplikasi. Pasien mampu mengendarai kendaraan secara mandiri ke tempat pelayanan kesehatan untuk melakukan pemeriksaan namun selalu ditemani anaknya.

d. Lingkungan

Pasien berasal dari Gianyar, saat ini pasien tinggal bersama orangtua, istri, satu anaknya dan menantunya, dan cucu-cucunya. Pasien dan keluarganya tinggal disatu pekarangan rumah yang sama. Lingkungan tempat tinggal pasien cukup padat karena terdiri dari beberapa bangunan rumah dan beberapa vila dan guest house. Tempat tinggal pasien terletak di jalan kecil dekat sawah di Desa

(36)

Tegalalang, Gianyar. Bangunan tempat tinggal pasien merupakan bangunan permanen. Tempat tinggal pasien terdiri dari dua kamar tidur pribadi, satu kamar tidur tamu yang memanjang ke belakang, satu balai untuk beristirahat, dua buah dapur, satu tempat ibadah. Terdapat 1 kamar mandi, dimana 1 terletak di dalam rumah yang sama dan 1 terletak di halaman gerbang masuk. Di depan bangunan rumah tempat tinggal pasien terdapat beberapa bangunan lain seperti bangunan balai yang letaknya diluar rumah untuk melihat pemandangan sawah, pelinggih (tempat suci) dan halaman yang beratap seng untuk tempat pasien memarkir kendaraannya. Secara keseluruhan tempat tinggal pasien sudah rapi. Ventilasi udara tempat tinggal pasien cukup baik. Pasien menggunakan sumber air PAM untuk mandi, mencuci baju, air minum, dan keperluan memasak. 2. Kebutuhan Bio-Psikososial

a. Lingkungan Biologis

Keluhan pasien didasarkan karena adanya penyakit Tumor Orofaring. Oleh sebab itu, sangat perlu diperhatikan pola hidup bersih dan sehat serta pengobatan terhadap kondisi pasien untuk mencegah terjadinya komplikasi yang lebih berat.

b. Faktor Psikologis

Dalam keadaan sakit dan selama menjalani perawatan pasien membutuhkan dukungan dari keluarga. Istri dan anak pasien selalu mengingatkan pasien untuk mengonsumsi obat – obatan, menjaga asupan makan dan minum pasien, serta menemani pasien untuk melakukan kontrol ke rumah sakit. Istri dan anak pasien sangat memerhatikan kondisi kesehatan pasien. Anak dan menantu pasien juga membantu dalam mencari nafkah, sehingga pasien tidak merasa terbebani karena tidak mampu bekerja selama sakit.

(37)

Lingkungan sekitar tempat tinggal pasien memahami keadaan yang dialami pasien saat ini. Pasien mendapatkan dukungan dari keluarga, teman dan lingkungan sekitar pasien.

d. Faktor Spiritual

Keluarga pasien selalu mengingatkan dan mengajak pasien untuk terus beribadah mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena dengan begitu dapat menjauhkan pasien dari pikiran – pikiran negatif tentang penyakit serta tetap bersemangat dalam menjalani kehidupan kedepannya.

4.4 Penyelesaian Masalah

Terkait beberapa permasalahan pasien yang telah dijelaskan sebelumnya, maka kami mengusulkan penyelesaian untuk masalah pasien yaitu:

1. Edukasi pasien dan keluarga secara lebih lengkap mengenai penyakit Limfoma Non Hodgkins, tentang penyebab munculnya penyakit serta pencegahan kambuhnya penyakit kepada keluarga pasien dan penatalaksanaan yang dilakukan terkait penyakit yang dialami pasien.

2. Memberikan motivasi dan semangat kepada pasien dan keluarga mengenai hal-hal positif dan memberikan penjelasan kepada keluarga bahwa pasien membutuhkan dukungan dari keluarga, baik dukungan secara psikis maupun yang lain.

3. Memberikan penjelasan mengenai komplikasi-komplikasi yang dapat terjadi akibat penyakit pasien dan tindakan yang dilakukan untuk mencegah terjadinya komplikasi tersebut. Contohnya seperti pada pasien Limfoma Non Hodgkins sangat rentan terjadinya komplikasi karena pertumbuhan kanker itu sendiri dan komplikasi karena penggunaan kemoterapi. Komplikasi karena pertumbuhan kanker itu sendiri dapat berupa pansitopenia, perdarahan, infeksi, kelainan pada jantung, kelainan pada paru-paru, sindrom vena cava superior, kompresi pada spinal cord, kelainan neurologis, obstruksi hingga perdarahan

(38)

pada traktus gastrointestinal nyeri, dan leukositosis jika penyakit sudah memasuki tahap leukemia. Komplikasi akibat penggunaan kemoterapi dapat berupa pansitopenia, mual dan muntah, infeksi, kelelahan, neuropati, dehidrasi setelah diare atau muntah, toksisitas jantung akibat penggunaan doksorubisin, kanker sekunder, dan sindrom lisis tumor. Limfoma Non Hodgkins yang belum sembuh secara total sehingga perlu menyarankan pasien untuk rutin melakukan kontrol ke poli.

4. Edukasi dan mengajak pasien untuk memulai melakukan olahraga yang ringan ketika sedang libur bekerja. Olahraga yang dapat dilakukan seperti berjalan kaki, bersepeda, atau senam. Memberikan edukasi kepada istri, dan keluarga pasien untuk memperhatikan dan mengingatkan pasien mengenai pola makan yang sehat dan tinggi serat.

5. Pasien diingatkan untuk mengonsumsi obat yang diberikan dan rutin melakukan kontrol ke rumah sakit.

4.5 Denah Rumah Bale Dangin Ruang Makan Kandang Ayam Dapur Kamar Merajan Bangunan Rumah Utama Kamar Mandi

dan Cuci Baju

Pintu Masuk Rumah

Teras Depan

U

Garasi Dapur

Kamar Tamu yang Menginap

(39)

4.6 Foto Kunjungan

Foto Pasien dengan Pemeriksa

(40)

Kamar Mandi Pasien

(41)

Teras Bangunan Utama Rumah Pasien

(42)

BAB V KESIMPULAN

Pasien laki-laki, 56 tahun, datang ke UGD RSUP Sanglah diantar oleh paramedis dan keluarganya pada tanggal 12 Februari 2019 dengan keluhan benjolan di leher kanan. Benjolan dikatakan muncul 4 bulan sebelum MRS dan muncul mendadak. Pasien adalah seorang bapak dari dua anak perempuan yang kini salah satunya tinggal bersamanya di rumah. Pasien bekerja sebagai buruh bangunan selama kurang lebih 28 tahun dan berhenti sejak pasien sakit. Pasien tidak memiliki kebiasaan merokok dan minum alkohol namun menantu pasien memiliki kebiasaan merokok di rumah dan terkadang terpapar.

Dari hasil pemeriksaan fisik tidak ditemukan kelainan. Dari hasil pemeriksaan laboratorium darah didapatkan penurunan WBC, RBC, dan peningkatan PLT. Dari hasil pemeriksaan thoraks AP tidak didapatkan kelainan. Dari hasil pemeriksaan CT Scan didapatkan massa nasofaring kanan yang meluas ke parafaring bilateral sampai retrofaring kanan, konka nasi inferior kanan, dan sinus sphenoidalis kanandisertai multiple limfadenopati pada region colli kanan kiri. Pada pemeriksaan biopsi Orofaring (LNH Post kemoterapi) dan kavum nasi (cenderung LNH) masih tampak sel - sel ganas viable. Terapi yang diberikan berupa premedikasi yaitu pemberian infus NaCL dan kemoterapi. Edukasi yang diberikan yaitu pasien menggunakan masker dan kacamata pelindung saat bekerja, diet tinggi kalori dan protein, dan rutin kontrol Poli Interna.

(43)

DAFTAR PUSTAKA

1. Komite Penanggulangan Kanker Nasional. 2016. Panduan Penatalaksanaan Limfoma Non-Hodgkin. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.

2. SEER Cancer Stat Facts: Non-Hodgkin Lymphoma. National Cancer Institute. Bethesda, MD, https://seer.cancer.gov/statfacts/html/nhl.html

3. Sutrisno, H. 2010. Gambaran Kualitas Hidup Pasien Kanker Limfoma Non-Hodgkin Yang Dirawat Di Rsup Sanglah Denpasar. Jurnal Penyakit Dalam volume 2; 96-102

4. Roschewski MJ, Wilson WH. Chapter 106: Non-Hodgkin Lymphoma. In: Niederhuber JE, Armitage JO, Doroshow JH, Kastan MB, Tepper JE, eds. Abeloff’s Clinical Oncology. 5th ed. Philadelphia, Pa: Elsevier; 2014.

5. American Cancer Society. 2016. About Non-Hodgkin Lymphoma; 1-96.

6. John Walter. Non-Hodgkin Lymphoma. Leukemia and Lyphoma Society. 2013. P 1-56.

7. Karlin L, Coiffier B. Improving survival and preventing recurrence of diffuse large B-cell lymphoma in younger patients: current strategies and future directions. OncoTargets and Therapy. 2013:6;289-296.

8. National Comprehensive Cancer Network. Practice Guidelines in Oncology—

v.1.2013. Non-Hodgkin Lymphoma. Available at:

www.nccn.org/professionals/physician_gls/pdf/ nhl.pdf. Accessed November 22, 2013.

(44)

9. Pasqualucci, at al. 2003. Molecular Pathogenesis of Non-Hodgkin's Lymphoma: the Role of Bcl-6. Institute for Cancer Genetics, Columbia University. Vol 44 (S3) S5-S12.

10. Swerdlow SH, Campo E, Pileri SA, et al. The 2016 revision of the World Health Organization classification of lymphoid neoplasms. Blood 2016; 127: 2375e90 11. Bakta IM. 2007. Limfoma maligna. Hematologi klinik ringkas. Cetakan I.

Jakarta: EGC;.p.192- 219.

12. Shankland KR, Armitage JO, Hancock BW. Non-Hodgkin lymphoma. Lancet. 2012; 380: 848–857.

13. Patmore R, Roman E, Smith A, Apleton S, Bagguley T, Blas_e J. Patient’s age and treatment for haematological malignancy: a report from the Haematological Malignancy Research Network. York: Leukaemia and Lymphoma Research & Association of the British Pharmaceutical Industry, 2014.

Gambar

Tabel 2. Klasifikasi Rappaport  1.  Lymphocytic, poorly differentiated
Tabel 3. Klasifikasi Kiel  Sel B
Tabel 1. Klasifikasi Revisied American European Lymphoma (REAL) untuk  neoplasma limfoid
Tabel 4. Antigen diferensiasi kelompok (cluster differentiation, CD)  Sel T  Sel B  Petanda aktivasi  Antigen umum leokosit
+3

Referensi

Dokumen terkait

Gagne memberikan ketegori mengenai hasil belajar kedalam 5 (lima) macam adalah: (1) Informasi verbal yaitu adalah kemampuan yang dimiliki seseorang guna

Daya tarik dari Monkasel adalah monumen kapal selam ini sendiri kemudian memberikan kontribusi yang berarti banyak bagi masyarakat Surabaya, dengan adanya pendirian monumen

Sebagai salah satu pelaku ekonomi dalam sistem per- ekonomian Indonesia, koperasi mempunyai tanggung jawab untuk mengembangkan perekonomian nasional bersama-sama dengan

Oleh karena itu, pemakalah menyusun makalah yang berjudul “Strategi Dan Perencanaan Pengembangan Moral Dan Nilai Agama Anak Usia Dini” yang membahas tentang

Ancak MK ve diğer kanunlar, malikin maddi (fiili) tasarruf yetkisini sınırlayan çeşitli farklı hükümler de içermektedir. Malikin maddi tasarruf yetkisini sınırlayan

Bahwa Termohon (KPU) telah mengumumkan Penetapan Hasil Penghitungan Perolehan Suara pada tanggal 9 Mei 2014, dimana untuk hasil Pemilu anggota DPD RI Daerah pemilihan Kabupaten

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana pengaruh laba bersih terhadap harga saham secara langsung dan tidak langsung melalui variabel dividen pada

Standar minimal yang ditetapkan adalah didasarkan pada skala yang digunakan untuk pengolah data, hasil pengolahan data kuisoner untuk prespektif proses bisnis