• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA. A. Interaksi Sosial Asosiatif. menyangkut hubungan antara orang perorang, antar kelompok manusia, serta antara orang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II KAJIAN PUSTAKA. A. Interaksi Sosial Asosiatif. menyangkut hubungan antara orang perorang, antar kelompok manusia, serta antara orang"

Copied!
28
0
0

Teks penuh

(1)

10

KAJIAN PUSTAKA

A. Interaksi Sosial Asosiatif 1. Definisi interaksi sosial

Interaksi sosial merupakan hubungan-hubungan sosial yang dinamis, yang menyangkut hubungan antara orang perorang, antar kelompok manusia, serta antara orang peroarang dan kelompok manusia (Soekanto, 2012). Proses sosial pada hakikatnya adalah pengaruh timbal balik antara berbagai bidang kehidupan bersama. Lebih lanjut menurut Soekanto, hakikat hidup bermasyarakat adalah terdiri dari relasi-relasi yang mempertemukan remaja dalam usaha-usaha bersama dalam aksi dan tindakan yang berbalas-balasan. Menurut Bonner dalam Gunawan (2010), interaksi sosial adalah suatu hubungan antara dua orang atau lebih, sehingga kelakuan individu yang satu memengaruhi, mengubah, atau memperbaiki kelakuan individu yang lain, atau sebaliknya. Sedangkan Kimball Young dan Raymond W. Mack dalam Soekanto (2012) menyatakan interaksi sosial sebagai kunci dari semua kehidupan sosial, oleh karena tanpa interaksi sosial tidak akan mungkin ada kehidupan bersama.

Definisi interaksi sosial adalah hubungan sosial yang dinamis antara orang perorangan, antar kelompok manusia, atau antara perorangan dengan kelompok manusia yang saling memengaruhi, mengubah, atau memperbaiki kelakuan individu yang lain dan merupakan kunci dari semua kehidupan sosial.

2. Interaksi sosial asosiatif

Interaksi sosial asosiatif adalah sebuah proses sosial yang dalam realitas sosial anggota-anggota masyarakatnya dalam keadaan harmoni yang mengarah pada pola-pola

(2)

kerja sama. Harmoni sosial akan menciptakan kondisi sosial yang teratur (Setiadi & Kolip, 2011). Berikut dijabarkan pengertian serta masing-masing bagiannya:

a. Proses-proses yang Asosiatif 1. Kerja Sama (Cooperation)

Suatu usaha bersama antara orang perorangan atau kelompok manusia untuk mencapai suatu atau beberapa tujuan bersama. Bentuk kerja sama tersebut berkembang apabila orang dapat digerakan untuk mencapai suatu tujuan bersama dan harus ada kesadaran bahwa tujuan tersebut di kemudian hari mempunyai manfaat bagi semua. Juga harus ada iklim yang menyenangkan dalam pembagian kerja serta balas jasa yang akan diterima. Dalam perkembangan selanjutnya, keahlian-keahlian tertentu diperlukan bagi remaja yang bekerja sama supaya rencana kerja samanya dapat terlaksana dengan baik.

Kerja sama timbul karena orientasi orang-perorangan terhadap kelompoknya (yaitu in-group-nya) dan kelompok lainya (yang merupakan out-group-nya). Kerja sama akan bertambah kuat jika ada hal-hal yang menyinggung anggota/perorangan lainnya. Bentuk kerjasama :

a. Kerukunan yang mencakup gotong-royong dan tolong menolong

b. Bargaining, Yaitu pelaksana perjanjian mengenai pertukaran barang-barang dan jasa-jasa antara 2 organisasi atau lebih

c. Kooptasi (cooptation), yakni suatu proses penerimaan unsur-unsur baru dalam kepemimpinan atau pelaksanaan politik dalam suatu organisasi sebagai salah satu cara untuk menghindari terjadinya kegoncangan dalam stabilitas organisasi yang bersangkutan

d. Koalisi (coalition), yakni kombinasi antara dua organisasi atau lebih yang mempunyai tujuan-tujuan yang sama. Koalisi dapat menghasilkan keadaan yang tidak stabil untuk sementara waktu karena dua organisasi atau lebih

(3)

tersebut kemungkinan mempunyai struktut yang tidak sama antara satu dengan lainnya. Akan tetapi, karenamaksud utama adalah untuk mencapat satu atau beberapa tujuan bersama, maka sifatnnya adalah kooperatif. 2. Akomodasi (Accomodation)

Akomodasi menunjuk pada keadaan, adanya suatu keseimbangan dalam interaksi antara orang-perorangan atau kelompok-kelompok manusia dalam kaitannya dengan norma-norma sosial dan nilai-nilai sosial yang berlaku dalam masyarakat. Sebagai suatu proses akomodasi menunjuk pada usaha-usaha manusia untuk meredakan suatu pertentangan yaitu usaha-usaha manusia untuk mencapai kestabilan (Setiadi & Kolip, 2011).

Menurut Gillin dan Gillin dalam Soekanto (2012), akomodasi menggambarkan suatu proses dalam hubungan-hubungan sosial yang sama artinya dengan adaptasi dalam biologi. Proses dimana orang atau kelompok manusia yang mulanya saling bertentangan, mengadakan penyesuaian diri untuk mengatasi ketegangan-ketegangan. Akomodasi merupakan suatu cara untuk menyelesaikan pertentangan tanpa menghancurkan pihak lawan sehingga lawan tidak kehilangan kepribadiannya (Setadi & Kolip,2011). Bentuk-bentuk Akomodasi antara lain:

a. Corecion, suatu bentuk akomodasi yang prosesnya dilaksanakan karena adanya paksaan

b. Compromise, bentuk akomodasi dimana pihak-pihak yang terlibat saling mengurangi tuntutannya agar tercapai suatu penyelesaian terhadap perselisihan yang ada.

c. Arbitration, Suatu cara untuk mencapai compromise apabila pihak-pihak yang berhadapan tidak sanggup mencapainya sendiri

(4)

d. Conciliation, suatu usaha untuk mempertemukan keinginan-keinginan dari pihak-pihak yang berselisih demi tercapainya suatu persetujuan bersama. e. Toleration, merupakan bentuk akomodasi tanpa persetujuan yang formal

bentuknya.

f. Stalemate, suatu akomodasi dimana pihak-pihak yang bertentangan karena mempunyai kekuatan yang seimbang berhenti pada satu titik tertentu dalam melakukan pertentangannya.

g. Adjudication, Penyelesaian perkara atau sengketa di pengadilan 3. Asimilasi (Assimilation)

Asimilasi merupakan proses sosial dalam taraf lanjut, ditandai dengan adanya usaha-usaha mengurangi perbedaan-perbedaan yang terdapat antara orang-perorangan atau kelompok-kelompok manusia dan juga meliputi usaha-usaha untuk mempertinggi kesatuan tindak, sikap, dan proses-proses mental dengan memerhatikan kepentingan dan tujuan bersama (Setiadi & Kolip, 2011). Proses Asimilasi timbul bila ada :

a. Kelompok-kelompok manusia yang berbeda kebudayaannya

b. orang-perorangan sebagai warga kelompok tadi saling bergaul secara langsung dan intensif untuk waktu yang lama sehingga

c. kebudayaan-kebudayaan dari kelompok-kelompok manusia tersebut masing-masing berubah dan saling menyesuaikan diri

Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa interaksi sosial adalah sebuah proses harmonisasi untuk menciptakan kondisi sosial yang teratur. Interaksi sosial asosiatif terdiri dari tiga proses yaitu proses kerja sama, proses akomodasi dan proses asimilasi. Ketiga proses tersebut mengupayakan terjadinya penyatuan antara orang-perorangan atau kelompok-kelompok dengan cara bekerja sama guna mengurangi atau menghindari konflik.

(5)

3. Syarat-syarat terjadinya interaksi sosial

Suatu interaksi sosial tidak akan mungkin terjadi apabila tidak memenuhi syarat. Interaksi sosial dapat terjadi bila memenuhi dua syarat yaitu adanya kontak sosial dan komunikasi. Soekanto (2012) menyebutkan syarat terjadinya interaksi sosial, yaitu:

a. Adanya kontak sosial (social contact)

Kontak sosial merupakan hubungan antara satu pihak dengan pihak lain yang merupakan awal terjadinya interaksi sosial, dan masing-masing pihak saling bereaksi antara satu dengan yang lain meski tidak harus bersentuhan secara fisik. Kontak sosial dapat terjadi antara individu satu dengan individu yang lain secara langsung yaitu secara tatap muka maupun melalui alat bantu media komunikasi maupun secara tidak langsung yaitu dengan adanya perantaraan pihak ketiga.

b. Adanya komunikasi.

Komunikasi sosial menyebutkan bahwa tidak selamanya kontak sosial akan menghasilkan interaksi sosial yang baik apabila proses komunikasinya tidak berlangsungnya secara komunikatif. Komunikasi artinya berhubungan atau bergaul dengan orang lain. Contoh: Pesan yang disampaikan tidak jelas, berbelit–belit, bahkan mungkin sama sekali tidak dapat dipahami.

Pemaparan diatas menunjukkan bahwa syarat-syarat terjadinya interaksi sosial adalah adanya kontak sosial serta adanya komunikasi. Kontak sosial ini tidak hanya berupa sentuhan fisik seperti bersalaman atau menyapa dengan mengangguk tersenyum, tetapi juga bisa lewat media komunikasi yang disebut kontak tidak langsung. Berikutnya adalah adanya komunikasi, yang artinya berhubungan. Kontak sosial yang baik sangat tergantung oleh adanya komunikasi, karena dengan komunikasi pihak pertama akan menyampaikan informasi atau pesan untuk pihak kedua dengan tujuan untuk menggugah partisipasi agar pesan menjadi milik bersama

(6)

4. Faktor-faktor yang memengaruhi interaksi sosial

Interaksi sosial tidak muncul begitu saja. Interaksi sosial adalah hubungan antara individu satu dengan individu yang lain, individu satu dapat memengaruhi individu yang lain atau sebaliknya, jadi terdapat adanya hubungan yang saling timbal balik (Walgito, 2003). Terjadinya interaksi sosial pada individu dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu faktor imitasi, faktor sugesti, faktor identifikasi, dan faktor simpati. Berikut penjelasannya:

a. Faktor imitasi

Gabriel Tarde dalam (Ahmadi, 2007) beranggapan bahwa seluruh kehidupan sosial itu sebenarnya berdasarkan pada faktor imitasi saja. Peranan faktor imitasi dalam interaksi sosial seperti digambarkan di atas juga mempunyai segi-segi yang negatif, yaitu :

1. Imitasi yang salah, sehingga menimbulkan kesalahan kolektif yang meliputi jumlah manusia yang besar.

2. Imitasi tanpa kritik, sehingga dapat menghambat perkembangan kebiasaan berpikir kritis

b. Faktor sugesti

Menurut Ahmadi (2007) yang dimaksud sugesti adalah pengaruh psikis, baik yang datang dari dirinya sendiri maupun orang lain, yang pada umumnya diterima tanpa adanya daya kritik. Sedangkan Gerungan (2009) mendefinisikan sugesti sebagai suatu proses di mana seorang individu menerima suatu cara penglihatan atau pedoman-pedoman tingkah laku dari orang lain tanpa kritik terlebih dahulu. Dari beberapa pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa sugesti adalah pengaruh psikis yang diterima individu tanpa adanya kritik.

(7)

c. Faktor Identifikasi

Identifikasi dalam psikologi berarti dorongan untuk menjadi identik (sama) dengan orang lain, baik secara lahiriah maupun secara batiniah. Proses identifikasi berlangsung secara tidak sadar (secara dengan sendirinya) kemudian irrasional, yaitu berdasarkan perasaan-perasaan atau kecenderungan-kecenderungan dirinya yang tidak diperhitungkan secara rasional, dan identifikasi berguna untuk melengkapi sistem norma-norma, cita-cita, dan pedoman-pedoman tingkah laku orang yang mengidentifikasi itu (Walgito, 2003).

d. Faktor Simpati

Merupakan perasaan tertariknya orang yang satu terhadap orang yang lain. Simpati timbul tidak atas dasar logis rasional, melainkan berdasarkan penilaian perasaan seperti juga pada proses identifikasi. Hubungan antara individu yang berinteraksi merupakan hubungan saling pengaruh yang timbal balik (Walgito, 2003).

Interaksi sosial dalam bentuknya yang sederhana, adalah merupakan proses yang kompleks. Ada beberapa faktor yang mendasarinya, yaitu faktor imitasi, faktor sugesti, faktor identifikasi, dan faktor simpati. Dengan cara imitasi, pandangan dan tingkah laku seseorang mewujudkan sikap, ide, dan adat istiadat dalam kelompok masyarakat serta dapat memperluas hubungan sosialnya dengan orang lain.

Selain faktor imitasi, terdapat faktor lain yaitu sugesti. Sugesti dapat dirumuskan sebagai suatu proses di mana seorang individu menerima suatu cara penglihatan atau pedoman-pedoman tingkah laku dari orang lain tanpa kritik terlebih dahulu. Sedangkan identifikasi adalah dorongan untuk menjadi identik dengan orang lain, baik secara lahiriah maupun secara batiniah. Berikutnya simpati adalah perasaan tertariknya orang yang satu terhadap orang yang lain.

(8)

B. Keberagamaan

1. Definisi keberagamaan

Keberagamaan merupakan salah satu aspek penting yang dapat memengaruhi kehidupan manusia. Keberagamaan kerap dikaitkan dengan spritualitas. Tidak mudah mendefinisikan keberagamaan, tanpa mengatahui perbedaannya dengan spritualitas. Menurut kamus Webster (dalam Hasan,2006) kata “spirit” berasal dari kata benda bahasa Latin “spiritus” yang berarti napas dan kata kerja “spipare” yang berarti untuk bernapas. Melihat asal katanya, hidup adalah untuk bernafas, dan memiliki napas artinya memiliki spirit. Spiritualitas merupakan pencerahan diri dalam mencapai tujuan dan makna hidup. Spiritualitas merupakan bagian esensial dari keseluruhan kesehatan dan kesejahteraan seseorang.

Zohar (2001) mengatakan bahwa spiritualitas tidak harus berhubungan dengan kedekatan seseorang dengan aspek ketuhanan, sebab menurutnya seorang humanis ataupun atheis pun dapat memiliki spiritualitas. Zohar (2001) menyebutkan bahwa agama formal adalah seperangkat aturan dan kepercayaan yang dibebankan secara eksternal. Agama formal bersifat top-down, diwarisi dari para pendeta, nabi dan kitab suci, sedangkan spiritualitas adalah kemampuan internal bawaan otak dan jiwa manusia, yang sumber terdalamnya adalah inti alam semesta sendiri.

Keberagamaan berasal dari kata dasar “agama” yang mempunyai arti kepercayaan kepada Tuhan, ajaran kebaikan yang bertalian dengan kepercayaan (Baharta, 1995). Pengertian agama sendiri berasal dari bahasa Sansekerta yang artinya “tidak kacau”. Agama diambil dari dua akar suku kata, yaitu “a” yang berarti tidak, dan “gama” yang berarti “kacau”. Apabila ditelusuri, maka didapati arti dari agama yang sesungguhnya yaitu aturan atau tatanan untuk mencegah kekacauan dalam kehidupan manusia (Nasution,

(9)

1979). Istilah keberagamaan mempunyai makna yang berbeda dengan agama. Agama menunjuk pada aspek formal yang berkaitan dengan aturan-aturan dan kewajiban-kewajiban, sedangkan keberagamaan menunjuk pada aspek penghayatan agama oleh individu yang terjadi di dalam hati (Mangunwijaya, 1982).

Glock & Stark (1965) memahami keberagamaan sebagai kepercayaan individu tentang ajaran-ajaran agama tertentu yang dianut dan dampak dari ajaran agama dalam kehidupan sehari-hari. Hawari (1996) menyebutkan bahwa keberagamaan merupakan penghayatan agama dan kedalaman kepercayaan yang diekspresikan dengan melakukan ibadah sehari-hari, berdoa, dan membaca kitab suci.

Simpulan dari penjelasan diatas bahwa terdapat perbedaan makna antara spiritual, agama dan keberagamaan. Spiritual lebih mengarah pada pengalaman dalam hati seseorang, agama berkaitan dengan aturan atau kaidah-kaidah formal untuk mengatur moral manusia. Dari pemaparan tersebut maka dapat disimpulkan definsi keberagamaan adalah seberapa jauh pengetahuan, seberapa kokoh keyakinan, seberapa pelaksanaan ibadah dan kaidah, serta seberapa dalam penghayatan atas agama yang dianutnya yang diekspresikan melalui ibadah sehari-hari, berdoa dan membaca kitab suci.

2. Dimensi keberagamaan

Keberagamaan merupakan tingkat keimanan agama seseorang yang dicerminkan dalam keyakinan, pengalaman dan tingkah laku yang menunjuk kepada aspek kualitas dari manusia yang beragama untuk menjalani kehidupan sehari-hari dengan baik. Stark dan Glock (dalam Rakhmat, 2014) berpendapat bahwa terdapat lima dimensi keberagamaan yang merupakan komitmen religius, tekad dan itikad yang berkaitan dengan hidup keagamaan. Berikut dijelaskan Rakhmat (2014) pemaparan mengenai lima dimensi keberagamaan tersebut, yaitu:

(10)

a. Religious belief (dimensi idelologis) atau disebut juga dimensi keyakinan adalah tingkatan sejauh mana seseorang menerima hal-hal yang dogmatik dalam agamanya, misalnya kepercayaan kepada Tuhan, malaikat, surga dan neraka. Meskipun harus diakui setiap agama tentu memiliki seperangkat kepercayaan yang secara doktriner berbeda dengan agama lainnya, bahkan untuk agamanya saja terkadang muncul pahamyang berbeda dan tidak jarang berlawanan. Pada dasarnya setiap agama juga minginginkan adanya unsur ketaatan bagi setiap bhaktanya. Dalam begitu adapun agama yang dianut oleh seseorang, makna yang terpenting adalah kemauan untuk mematuhi aturan yang berlaku dalam ajaran agama yang dianutnya. Jadi dimensi keyakinan lebih bersifat doktriner yang harus ditaati oleh penganut agama.

b. Religios Practice (dimensi praktis keagamaan), yaitu tingkatan sejauh mana seseorang mengerjakan kewajiban-kewajiban ritual dalam agamanya yang mencakup ibadat (rituals) dan persembahan, yang menjadi kewajiban yang harus dipenuhi oleh setiap penganut agama. Unsur yang ada dalam dimensi ini mencakup pemujaan, kultur serta hal-hal yang lebih menunjukkan komitmen seseorang dalam agama yang dianutnya. Wujud dari dimensi ini adalah prilaku masyarakat bhakta agama tertentu dalam menjalankan ritus-ritus yang berkaitan dengan agama.

c. The experience dimension or religious experience (dimensi pengalaman keagamaan), yaitu tingkatan sejauh mana seseorang mengerjakan kewajiban-kewajiban ritual dalam agamanya. yang mencakup kenyataan bahwa semua agama punya harapan yang standard (umum) namun setiap pribadi penganutnya bisa memperoleh suatu pengalaman langsung dan pribadi (subjektif) dalam berkomunikasi dengan realitas supranatural itu. Misalnya merasa dekat dengan

(11)

Tuhan, merasa takut berbuat dosa, merasa doanya dikabulkan, diselamatkan oleh Tuhan, dan sebagainya.

d. The knowledge dimension (dimensi pengetahuan) adalah dimensi yang menerangkan seberapa jauh seseorang mengetahui tentang ajaran-ajaran agamanya, terutama yang ada di dalam kitab suci manapun yang lainnya. yang merujuk pada ekspektasi bahwa penganut agama tertentu hendaknya memiliki pengetahuan minimum mengenai hal-hal pokok dalam agama: iman, ritus, Kitab Suci dan tradisi. Dimensi iman dan pengetahuan memiliki hubungan timbal balik, yang memengaruhi sikap hidup dalam penghayatan agamanya setiap hari paling tidak seseorang yang beragama harus mengetahui hal-hal pokok mengenai dasar-dasar keyakinan, ritus-ritus, kitab suci dan tradisi-tradisi.

e. The consequences dimension (dimensi konsekuensi) yaitu dimensi yang mengukur sejauh mana prilaku seseorang dimotivasi oleh ajaran-ajaran agamanya dalam kehidupan sosial dan pribadi. Sebagai contoh, apakah ia mengunjungi tetangganya sakit, menolong orang yang kesulitan, mendermakan hartanya, dan sebagainya. Dimensi ini mengidentifikasi konsekwensi dari keempat dimensi diatas dalam praktek, pengalaman pribadi serta kehidupan sehari-hari.

Lima dimensi yang akan digunakan sebagai tolak ukur keberagamaan ini cukup relevan dan mewakili keterlibatan keagamaan pada setiap orang dan bisa diterapkan dalam sistem ajaran Hare Krishna dalam rangka menyoroti lebih jauh tingkat keberagamaan remaja Hare Krishna. Kelima dimensi ini merupakan satu kesatuan yang saling terkait satu sama lain dalam memahami keberagamaan.

Dimensi pertama yakni dimensi keyakinan dalam ajaran Hare Krishna menunjukkan tingkat keimanan seorang terhadap kebenaran Tuhan Sri Krishna, serta itihasa atau kitab suci yang digunakan sebagai acuan dalam berkeyakinan, terutama mengenai pokok-pokok

(12)

keimanan yang menyangkut keyakinan terhadap Krishna sebagai manifestasi Tuhan yang maha Esa seperti dalam kutipan Bhagavad Gita bab IX sloka 3 yang berbunyi :

“asraddadhanah purusha dharmasyasya parantapa aprapya mam nivartante mrityu-samsara-vartmani”

“Orang yang tidak memiliki keyakinan dengan cara ini tak akan mencapai Aku, wahai Paramtapa (Arjuna), dan akan kembali ke dunia kehidupan fana (samsara)”

(Bhagavad Gita, bab IX, sloka 3)

Tingkat keimanan yang tinggi sangat penting dimiliki oleh pengikut Hare Krishna, dengan adanya keimanan yang tinggi, niscaya manusia akan mencapai moksa atau terlepas dari siklus kelahiran dan kematian di dunia ini.

Dimensi kedua adalah dimensi praktik, Hare Krishna memiliki dimensi praktek yang dibagi menjadi empat kegiatan pokok yang di dalamnya meliputi: membaca dan mendengarkan ajaran kitab suci (kirtanam dan sravanam), berjapa (kirtanam, sravanam dan smaranam), pergaulan dengan sesama pengikut untuk meningkatkan bhakti (sadhu sanga), dan kedisiplinan dalam mengikuti empat prinsip yang telah ditentukan, empat prinsip tersebut adalah: vegetarian dan tidak melakukan pembunuhan, tidak minum dan makan yang dapat menimbulkan ketagihan, tidak berjudi dan tidak berzinah.

Dimensi ketiga adalah dimensi pengalaman yang berhubungan dengan perasaan-perasaan, persepsi-persepsi dan sensasi-sensasi yang dialami seseorang, atau pengalaman religius sebagai suatu komunikasi dengan Tuhan. Pengikut Hare Krishna kerap merasakan transendensi melalui tarian dan nyanyian (kirtanam).

Dimensi keempat adalah dimensi pengetahuan keagamaan (religious knowledge) sebagai dimensi intelektual. Dimensi ini mengacu pada sejauh mana pengetahuan dan

(13)

pemahaman pengikut Hare Krishna mengenai ajaran, sastra dan purana. Sebagaimana disebutkan dalam Bhagavad Gita bab IV sloka 36:

“api ced asi papebhyah sarvebhyah papa-krt-tamah

sarvam jnana-plavenaiva vrjinam santarisyasi”

“Walaupun engkau dianggap sebagai orang yang paling berdosa di antara semua orang yang berdosa, namun apabila engkau berada di dalam kapal pengetahuan rohani,

engkau akan dapat menyeberangi lautan kesengsaraan.” (Bhagavad Gita, bab IV sloka 36)

Pengetahuan atas agama yang dianut adalah dasar dari setiap langkah dan perbuatan yang dilakukan oleh seseorang. Pengetahuan rohani adalah penting sebagai dasar agar manusia tidak ragu dalam bertindak sesuai dengan ajaran agama dan tidak mudah tertipu dengan mitos atau kesesatan lainnya yang dapat menyengsarakan hidup.

Dimensi kelima adalah dimensi konsekwensi yang dimana merupakan ukuran sejauh mana perilaku seseorang dimotivasi oleh ajaran agamanya di dalam menjalani kehidupan. Misalnya berdonasi ke tempat suci, menyebarkan buku, memberikan prasadam (makanan yang telah dipersembahkan kepada Krishna) dan sebagainya. Hare Krishna mengenal istilah Sidhanta-veda yang mengajarkan tercapainya pembebasan (bebas dari siklus kelahiran dan kematian) apabila pengikut melakukan pengamalan sesuai dengan perintah atau ajaran kitab suci dipercaya akan memutus siklus kelahiran dan kematian.

Simpulan dari penjelasan diatas adalah, lima dimensi keberagamaan menurut Glock dan Stark dalam Rakhmat (2014), adalah relevan digunakan untuk mengukur tingkat keberagamaan remaja Hare Krishna. Masing-masing dimensi memiliki kesesuaian dengan ajaran Hare Krishna. Dimensi ideologis mencakup keyakinan kebenaran Tuhan Sri Krishna, serta itihasa atau kitab suci, dimensi praktik dalam Hare Krishna meliputi: membaca dan mendengarkan ajaran kitab suci, berjapa, serta pergaulan dengan sesama

(14)

pengikut untuk meningkatkan. Dimensi pengalaman yang berhubungan dengan transendensi melalui tarian dan nyanyian (kirtanam), dimensi pengetahuan mengacu pada sejauh mana pemahaman pengikut Hare Krishna mengenai ajaran, sastra dan purana, dimensi konsekwensi yang dimana merupakan ukuran sejauh mana perilaku seseorang dimotivasi oleh ajaran agamanya di dalam menjalani kehidupan. Misalnya berdonasi ke tempat suci, menyebarkan buku, dan memberikan prasadam (makanan yang telah dipersembahkan kepada Krishna)

C. Remaja 1. Definisi remaja

Remaja berasal dari kata latin adolensence yang berarti tumbuh atau tumbuh menjadi dewasa. Istilah adolensence mempunyai arti yang lebih luas lagi yang mencakup kematangan mental, emosional sosial dan fisik (Hurlock, 1992). Calon (dalam Monks, dkk 1994) bahwa masa remaja menunjukkan dengan jelas sifat transisi atau peralihan karena remaja belum memperoleh status dewasa dan tidak lagi memiliki status anak. Menurut Rumini dan Sundari (2004) masa remaja adalah peralihan dari masa anak dengan masa dewasa yang mengalami perkembangan semua aspek untuk memasuki masa dewasa.

Erikson dalam Gunarsa (1989), menggolongkan usia 12-20 tahun ke dalam tahapan perkembangan remaja.WHO sebuah badan kesehatan dunia dibawah naungan PBB menetapkan batas usia remaja antara 10-20, dan terbagi menjadi dua kurun usia dalam dua bagian yaitu remaja awal 10-14 tahun dan remaja akhir 15-20 tahun.

Simpulan definisi remaja yang dapat ditarik dari pemaparan diatas adalah remaja merupakan individu yang berusia 12-20 tahun, individu pada masa ini mengalami transisi atau peralihan dari status anak-anak menuju dewasa, dimana pada masa remaja terjadi perubahan pada semua aspek, baik fisik maupun psikologis

(15)

2. Perkembangan psikososial remaja

Erikson dalam Gunarsa (1989), menyatakan bahwa masa remaja merupakan masa yang mempunyai peranan penting karena melalui tahap ini orang harus mencapai tingkat identitas ego, dalam pengertiannya identitas pribadi berarti mengetahui siapa dirinya dan bagaimana cara seseorang terjun ke tengah masyarakat. Lingkungan dalam tahap ini semakin luas, tidak hanya berada dalam area keluarga, sekolah, namun juga dengan masyarakat. Lebih lanjut dalam teori perkembangan Erikson, identity confusion atau kekacauan identitas dapat terjadi apabila tahap-tahap sebelumnya berjalan kurang lancar atau tidak berlangsung secara baik, disebabkan karena remaja tidak mengetahui dan memahami siapa dirinya yang sebenarnya ditengah-tengah pergaulan dan struktur sosialnya (Gunarsa, 1989).

James Marcia dkk (1993), memaparkan bahwa terdapat empat alternatif identitas untuk remaja, yaitu : pertama, difusi identitas, terjadi bila indvidu tidak mengeksplorasi opsi apapun atau tidak berkomitmen terhadap tindakan apapun. Kedua, penutupan identitas, adalah komitmen tanpa eksplorasi. Remaja-remaja yang identitasnya tertutup cenderung kaku, tidak toleran, dogmatis, dan defensif (Frank, 1990). Ketiga, moratorium atau krisis identitas, menunda pilihan karena pertentangan. Keempat, pencapaian identitas, berarti bahwa setelah mengeksplorasi opsi-opsi yang realistis, individu memilih dan berkomitmen untuk mencapainya.

Pemaparan diatas dapat disimpulkan bahwa remaja adalah masa yang memiliki peranan penting untuk mengembangkan identitas diri. kekacauan identitas dapat terjadi apabila tahap-tahap sebelumnya berjalan kurang lancar atau tidak berlangsung secara baik, disebabkan karena remaja tidak mengetahui dan memahami siapa dirinya yang sebenarnya ditengah-tengah pergaulan dan struktur sosialnya. James Marcia (1999), memaparkan

(16)

bahwa terdapat empat alternatif identitas untuk remaja yaitu: difusi identitas, penutupan identitas,krisis identitas dan pencapaian identitas.

3. Keberagamaan remaja

Santrock (2006) mengatakan bahwa masa remaja merupakan titik balik perkembangan keberagamaan, meskipun ketika masa kanak-kanak remaja telah banyak didoktrin oleh orang tua. Perubahan perkembangan kognitif remaja telah membuat remaja mulai mempertanyakan mengenai keyakinan remaja yang sebenarnya. Bagi remaja, agama memiliki arti yang sama pentingya dengan moral sebagaimana dijelaskan oleh Adams dan Gullota (dalam Desmita, 2008), agama memberikan sebuah kerangka moral sehingga membuat seseorang mampu membandingkan tingkah lakunya. Agama dapat menstabilkan tingkah laku dan bisa memberikan penjelasan mengapa dan untuk apa seseorang berada didunia ini. Agama memberikan perlindungan dan rasa aman bagi remaja yang tengah mencari eksistensinya.

Fowler (1995) mengajukan teori mengenai perkembangan keberagamaan yang berfokus pada motivasi untuk menelusuri makna kehidupan. Fowler mengusulkan enam tahap perkembangan yang terkait dengan teori perkembangan Erikson, Piaget, dan Kohlberg (Purta, 1993). Fowler menempatkan remaja pada tahap keempat, dimana tahap ini dinamakan dengan tahap kepercayaan sintetis-konvensional (Synthetic-Conventional Faith). Tahap kepercayaan sintetis-konvensional muncul pada masa adolescent (umur 12-20 tahun). Sekitar umur 12 tahun, remaja biasanya mengalami suatu perubahan radikal dalam caranya sendiri memberi makana.

Erikson dalam Gunarsa (1989) menyatakan bahwa pokok pada masa remaja adalah antara identitas dan kekacauan peran (krisis identitas tercipta oleh runtuhnya dunia kanak-kanak). Pencapaian identitas itu terjadi di tengah-tengah krisis yang hebat. Karena munculnya operasi-operasi logis, remaja sanggup merefleksikan secara kritis riwayat

(17)

hidupnya dan menggali arti sejarah hidupnya bagi dirinya sendiri. Upaya menciptakan operasi-operasi formal ini menyebabkan remaja sangat tertarik pada ideologi dan agama. Agamalah yang menciptakan kerangka makna eksistensial yang terdalam dan terakhir.

Lebih lanjut Erikson dalam Gunarsa (1989), menjelaskan bahwa remaja berjuang menciptakan suatu sintesis dari berbagai keyakinan dan nilai religius yang dapat mendukung proses pembentukan identitas diri dan memungkinkan munculnya rasa kesetiakawanan, kesetiaan dan kepercayaan kepada orang lain. pola kepercayaan ini disebut dengan Fowler sebagai konvensional. Tetapi pembentukan identitas diri ini, menjadi krisis yang paling utama pada tahap kepercayaan sintesis-konvensional. Remaja akan bingung dan sulit menemukan jati dirinya karena gambaran-gambaran dari luar disatukan dengan dirinya dengan gambaran yang heterogen, baik itu dari masyarakat, keluarga, sahabat (psikososial).

Pada tahap ini remaja akan menyusun gambaran yang personal mengenai lingkungan akhir. Artinya, Tuhan tidak lagi dibayangkan menurut model antromorf semata-mata seperti pada tahap sebelumnya yaitu tahap kepercayaan mistis-harafiah. Akan tetapi akan disusun menurut paradigma “hubungan antar pribadi mutual” yaitu Tuhan yang “personal” merupakan seorang pribadi yang mengenal diri saya secara lebih baik daripada pengenalan diri saya sendiri. Sehingga remaja dapat mengandalkan Tuhan sebagai sahabat karib, penyelamat, dan Tuhan sebagai Pribadi yang mengenal dan memahami remaja. Selaku sahabat unggul yang paling akrab, Tuhan juga dipandang sebagai kepribadian ulung yang secara istimewa memilki kedalaman hidup batin yang kaya, berlimpah ruah dan penuh misteri yang tidak ada batasnya (Erikson dalam Gunarsa, 1989).

4. Sikap remaja terhadap agama.

Sikap remaja terhadap agama menurut Zakiah Daradjat (2009) adalah sebagai berikut:

(18)

a. Percaya ikut-ikutan

Kebanyakan remaja percaya kepada Tuhan dan menjalankan ajaran agama karena terdidik dalam lingkungan beragama, karena ibu bapaknya beragama, teman-teman dan masyarakat sekelilingnya yang beribadah, maka remaja ikut percaya dan melaksanakan ibadah dan ajaran-ajaran agama sekedar mengikuti suasana lingkungan hidup.Percaya ikut-ikutan ini biasanya dihasilkan oleh didikan secara sederhana yang didapat dari keluarga dan lingkungannya. Hal ini biasanya terjadi pada masa remaja awal (13-16 tahun). Setelah itu biasanya berkembang dengan cara yang lebih kritisdan sadar, sesuai dengan perkembangan psikisnya (Sururin, dalam Dradjat 2009).

b. Percaya dengan kesadaran

Kesadaran beragama atau semangat agama pada masa remaja dimulai dengan cendrungnya remaja meninjau dan meneliti kembali cara ia beragama pada masa kecil dulu. Biasanya semangat agama pada masa remaja ini terjadi pada usia 17 tahun atau 18 tahun. Adapun semangat ini di bagi jadi 2, diantaranya yaitu:

1. Semangat positif

Semangat agama yang positif yaitu berusaha melihat agama dengan pandangan kritis, tidak mau lagi menerima hal-hal yang tidak masuk akal. Remaja ingin mengembangkan dan meningkatkan agama sesuai dengan perkembangan pribadinya.

2. Semangat negatif

Semangat agama yang negatif ini yaitu kecendrungan remaja untuk mengambil pengaruhdari luar ke dalam masalah-masalah keagamaan (Sururin dalam Daradjat, 2009).

(19)

c. Kebimbangan beragama

Sesungguhnya kebimbangan beragama itu masih bersangkut paut dengan semangat agama. Kebimbangan agama itu menimbulkan rasa dosa pada remaja,dia ingin tetap pada dalam kepercayaannya, akan tetapi di lain pihak timbul peranyaan-pertanyaan disekitarnya yang tidak dapat ia jawab. Kebimbangan terhadap ajaran agama yang pernah diterimanya tanpa kritik waktu kecilnya itu merupakan tanda bahwa kesadaran beragama telah terasa oleh remaja. Biasanya kebimbangan itu mulai menyerang remaja, setelah pertumbuhan kecerdasan mencapai kematangannya, sehingga ia dapat mengeritik, menerima atau menolak apa saja yang diterangkan kepadanya. Kebimbangan remaja terhadap agama itu tidak sama, berbeda antara satu dengan yang lainnya sesuia dengan kepribadiannya masing-masing. Ada yang mengalami kebimbangan ringan dan kebimbingan berat (Daradjat, 2009).

d. Tidak percaya kepada Tuhan

Salah satu perkembangan yang mungkin terjadi pada akhir masa remaja adalah tidak percaya adanya Tuhan dan menggantinya dengan keyakinan lain. Perkembangan remaja padaarah tidak mempercayai adanya Tuhan itu, sebenarnya mempunyai akar atau sumber. Apabila seorang anak merasa tertekan oleh kekuasaaan orang tua kepadanya, maka ia telah memendam suatu tantangan terhadap kekuasaaan orangtua serta kekuasaan siapapun (Daradjat, 2009).

Sikap remaja terhadap agama menurut Zakiah Daradjat (2009) berkembang kearah kedewasaan sesuai dengan usia remaja. Usia 13-16 (remaja awal) masih dalam tahap percaya ikut-ikutan dimana remaja mempercayai agama atas dasar popularitas agama tersebut atau masih mengikuti kepercayaan orang tua remaja, kemudian di usia remaja

(20)

tengah 17 atauh 18 tahun, baru muncul kepercayaan atas dasar kesadaran sendiri, hal ini terjadi karena kognisi remaja yang sudah mulai berkembang kearah yang lebih kompleks, dimana remaja akan mengkritik dan mempertanyakan agamanya, ini dapat membuat remaja memiliki semangat positif yang akan mengkritisi mitos-mitos dalam agama, atau justru semangat negatif yang memasukkan pengaruh luar kedalam ajaran agama.

Tahapan berikutnya adalah tahapan yang dialami oleh remaja akhir hingga dewasa awal. Tahap ini disebut dengan tahap kebimbangan beragama. Kebimbangan muncul karena kritik dan pertanyaan tentang apa yang dapat diterima atau apa yang harus ditolak oleh remaja ketika mulai meyakini suatu agama. Kecerdasan remaja pada usia ini semakin matang, oleh karena itu banyak remaja justru meninggalkan agamanya di usia dewasa, hal ini karena remaja tidak menemukan jawaban dari pertanyaan dalam agama remaja sebelumnya.

D. Gambaran umum Gerakan Kesadaran Krishna (Hare Krishna). 1. Sejarah singkat berdirinya Gerakan Kesadaran Krishna (Hare Krishna)

Ajaran Hare Krishna merupakan gerakan spritual bagi seluruh manusia. Gerakan ini datang dari India dan memiliki sentuhan Hindu. Hare Krishna pernah dilarang pada zaman orde baru karena menimbulkan keresahan dan perpecahan di kalangan umat Hindu. Ajaran Hare Krishna ini didirikan di Amerika Serikat pada tahun 1965 oleh Sri Simad A.C. Bhaktivedanta Swami Prabhupada (1896-1977) atau lebih dikenal Acarya-Pendiri International Society for Krishna Cousciousness (ISKCON), yang kemudian ajaran tersebut lebih dikenal dengan nama “Hare Krishna” yang artinya kemenangan untuk Krishna (Wijaya, 2007).

Perkembangan ajaran Hare Krishna di indonesia terjadi pada tahun 1973. Ketika itu di Indonesia baru memiliki 2 pusat tempat perkumpulan yakni di Jakarta (di jalan Rawamangun MukaTimur 80, Jakarta Timur) dan di Bali (jalanSagamona, Renon,

(21)

Denpasar). Tahun 2001 Parisada Hindu Dharma Indonesia mengadakan Mahasabha dan menghasilkan keputusan bahwa semua kelompok spiritual (sampradaya) mendapat perlindungan dari Parisada. Dengan demikian para pegikut Hare Krishna berinisiatif untuk membentuk organisasi Hare Krishna sebagai wadah formal yang legal sehingga para pengikut dapat secara leluasa untuk mengadakan peribadatan (Yanthi, 2016).

Tujuan Hare Krishna adalah untuk membimbing manusia, yang hidup dalam kaliyuga (demonic age) untuk mencapai pembebasan dalam bentuk kesadaran-Krishna yang abadi melalui Bhakti Yoga, yang merupakan puncak dari Jnana Yoga dan Karma Yoga. Setiap keprihatinan atau penderitaan, apakah itu kelaparan atau penyakit, ditundukkan kepada tujuan akhir yaitu kesadaran-Krishna (Yanthi, 2016).

2. Konsep ketuhanan dan ajaran dalam Hare Krishna

Ajaran Hare Krishna tidaklah berbentuk sinkritisme (peleburan), melainkan merujuk kepada Veda. Dan ajaran ini sarat dengan filosofi relativisme, sebagai contoh; penggunaan pulpen bisa saja bersifat duniawi dan bisa bersifat spiritual, sangat tergantung dari keinginan pengguna menggunakan pulpen tersebut. Jika digunakan untuk melayani Tuhan, maka bersifat spiritual dan sebaliknya (Wijaya, 2007).

Konsep ketuhanan dalam ajaran Hare Krishna adalah Krishna disebut juga sebagai Bhagavān. Bhaga berarti kemewahan dan vān berarti Dia yang memiliki. Kata Bhagavān memiliki segala kemewahan, keseluruhan pengetahuan, kekayaan, kekuatan, kerupawanan, kemasyuran, dan ketidakterikatan. Konsep ketuhanan dalam ajaran Hare Krishna adalah meyakini Krishna sebagai wujud asli Tuhan (Wijaya, 2007).

Ajaran Hare Krishna membentuk komunitas yang paling asketik (hidup sangat sederhana, seperti pertapa) dan ritualistik. Bahkan, beberapa pengikut yang didatangi peneliti cenderung meninggalkan aspek keduniawian, bersih, dan vegetarian. Banyak pengikut yang telah mendedikasikan hidupnya untuk melayani Tuhan Krishna dan tinggal

(22)

di kuil. Ajaran Hare Krishna menyebut diri mereka sebagai pelayan Tuhan. Untuk memuaskan Tuhan diperlukan berbagai ritual pelayanan seperti persembahan makanan, melakukan sembahyang pagi, siang dan malam. Berikut akan dijelaskan ajaran dan peraturan penting dalam ajaran Hare Krishna (Wijaya, 2007).

a. Guru dan Diksa (Penerimaan Murid)

Para pengikut yang sudah mantap dalam mengikuti ajaran Hare Krishna akan melakukan diksa atau inisiasi dengan menjadi murid dari guru kerohanian, mereka akan melakukan sumpah empat prinsip, mengikuti perintah guru kerohanian dan mengganti nama. Menjadi murid dari guru kerohanian sangat penting dalam ajaran Hare Krishna karena dalam kehidupan, melepaskan diri dari cengkraman maya atau khayalan palsu tidaklah mudah, ujian dan kesulitan harus dihadapi, maka dari itu perlu guru kerohanian untuk menuntun jalan kehidupan menuju pembebasan. Inisiasi tidak hanya dilakukan oleh orang dewasa, tapi juga dilakukan oleh remaja yang sudah mantap melakukan pertapaan. Tujuan dilakukannya inisiasi ini adalah untuk lebih memantapkan diri dalam melayaniGuru kerohanian dan Tuhan Sri Krishna. Inisiasi dapat diibaratkan sebagai kelahiran kembali karena pengikut beranggapan bahwa dosa yang telah dilakukan sebelum inisiasi akan dihapus (Wijaya, 2007).

b. Empat Pantangan

Sebelum melakukan inisiasi atau ketika mulai memutuskan untuk bergabung dan mengikuti ajaran Hare Krishna, para pengikut harus mengikuti prinsip dan aturan pola hidup vaishnava, salah satunya adalah mengikuti empat pantangan, dikutip dari buku pedoman dan etika pola hidup Vaishnava, oleh Wijaya (2007), berikut pemaparannya:

(23)

1. Tidak makan daging termasuk ikan dan telor (dan bahan-bahan seperti bawang merah, bawang putih, dan jamur).

2. Tidak mengkonsumsi bahan yang memabukkan meliputi minuman keras, the, kopi, tembakau, dalam bentuk apapun, buah pinang (paan), dan sebagainya. 3. Tidak berzinah (tidak melakukan hubungan seks diluar nikah dan idealnya

tidak melakukan hubungan seks kalau tidak untuk memperoleh keturunan. 4. Tidak berjudi termasuk berspekulasi dibursa saham, atau dalam hubungan

bisnis, lotre dan permainan lotto dan sebagainya. c. Japa

Japa merupakan salah satu kewajiban yang harus dipenuhi oleh pengikut Hare Krishna. Japa adalah kegiatan mengucapkan nama suci Tuhan secara berulang kali. Setiap pengikut Hare Krishna harus meluangkan waktu untuk berjapa setiap hari sekurang-kurangnya 1 putaran setiap hari. Japa dihitung dengan tasbih khusus yang terbuat dari kayu pohon tulasi, kayu neem, atau biji bunga teratai. Bagi yang sudah melakukan pengikut yang sudah diksa (inisiasi) diharuskan berjapa sebanyak 16 putaran dan 108 kali pengucapan nama suci, namun bagi yang pengikut yang baru mulai belajar atau belum mengambil inisiasi, berjapa diperbolehkan kurang dari 16 putaran. Melakukan Japa sebaiknya dengan konsentrasi,mantra yang diucapkan hendaknya dengan bersuara agar dapat didengar oleh diri sendiri maupun orang lain.Menurut Srimad Bhagavatam, siapapun yangberjapa dan juga siapapun yangkebetulan mendengar mantranya akan diberkatioleh Tuhan Sri Krishna (Wijaya, 2007).

(24)

E. Hubungan antara Tingkat Keberagamaan dengan Interaksi Sosial pada Remaja yang mengikuti Gerakan Kesadaran Krishna (Hare Krishna) di Bali

Soekanto (2012) menyatakan bahwa, proses sosial diartikan sebagai cara-cara berhubungan yang dapat dilihat jika individu dan kelompok-kelompok sosial saling bertemu serta menentukan sistem dan bentuk hubungan sosial.Apabila ditinjau dari sudut perkembangan manusia, kebutuhan untuk berinteraksi sosial terjadi sejak manusia dilahirkan hingga menjelang kematian. Soekanto (2012) mengklasifikasikan Interaksi sosial menjadi dua proses, yaitu proses asosiatif (mendekat) dan disosiatif (menjauh).

Interaksi sosial asosiatif merupakan interaksi yang mengarah pada proses keharmonisan dalam suatu hubungan, dengan bentuk kerjasama, upaya penyelesaian konflik, dan upaya mengurangi perbedaan. Interaksi sosial asosiatif akan membawa individu menuju arah hubungan yang positif dengan lingkungan masyarakat.

Erikson (dalam Gunarsa, 2006) menyebutkan bahwa masa remaja merupakan masa yang mempunyai peranan penting terutama dalam hubungan sosial, remaja dituntut untuk mengetahui siapa dirinya dan belajar bagaimana terjun ke tengah masyarakat. Selama perjalanan hidupnya, remaja berhadapan dengan berbagai macam situasi. Bila remaja memiliki kemampuan berinteraksi yang positif, remaja akan mudah menyesuaikan diri dan mudah mengantisipasi setiap kondisi dan situasi (Gunarsa, 2006). Interaksi sosial asosiatif penting dikembangkan pada masa remaja, mengingat remaja membutuhkan stimulasi sosial yang positif untuk memenuhi tugas perkembangannya.

Interaksi sosial asosiatif dapat dipengaruhi oleh berbagai hal, salah satunya adalah aspek keberagamaan. Keberagamaan cenderung memberikan batasan antara in group dan out group sehingga terjadi ketidak harmonisan dalam hubungan antar masyarakat. Secara umum in group dapat diartikan sebagai suatu kelompok dimana seseorang mempunyai

(25)

perasaan “memiliki” sedangkan out group diartikan sebagai suatu kelompok yang dipersepsikan berbeda dengan in group (Jackson & Smith, 1999).

Remaja merupakan individu yang belum bisa dikatakan matang, namun sedang dalam proses pematangan diri untuk menjadi individu dewasa. Hal tersebut juga berlaku pada proses keberagamaan remaja. Pertanyaan mengenai idientitas diri dan eksistensi Tuhan menjadi topik utama dalam pikiran remaja (Desmita, 2008). Guna memenuhi hasrat keingintahuan remaja mengenai eksistensi Tuhan, banyak remaja mengikuti forum-forum keagamaan, komunitas keagamaan, sekte agama tertentu hingga melakukan konversi agama.

Salah satu komunitas keagamaan yang populer di kalangan remaja adalah Gerakan Kesadaran Krishna, masyarakat biasa menyebutnya dengan istilah Hare Krishna. Hare Krishna merupakan salah satu komunitas keagamaan yang berbasis agama Hindu. Hare Krishna memiliki perbedaan yang signifikan dengan agama Hindu yang ada di Bali ditinjau dari segi ritual, ideologi, dan budaya, hal ini dikarenakan Hare Krishna banyak mengadopsi kebudayaan dari India atau Hindustan, seperti ritual yang dilakukan, pakaian yang digunakan saat melakukan pemujaan, dan makanan yang dipersembahkan (Yanthi, 2016).

Hasil preliminary study mengungkapkan bahwa banyak remaja yang mengikuti Hare Krishna atas kehendak sendiri dengan alasan ingin menemukan kedamaian, tertarik dengan kebudayaan, gaya hidup yang diajarkan dan ketidak puasan dengan ajaran agama sebelumnya. Perbedaan budaya, ideologi dalam agama, serta tujuan antara Hindu Bali dengan Hindu Hare Krishna, membuat para anggota, khususnya remaja yang sedang dalam proses pembentukan idientitas diri dan indentitas sosial, mengkategorikan komunitas Hare Krishna sebagai in group dan lingkungan luar yang tidak tergabung dalam komunitas sebagai out group, hal tersebut tampak dari cara pengikut Hare Krishna

(26)

menyebut orang-orang di luar komunitasnya sebagai orang karmi yang berarti orang yang hidup untuk memuaskan fisik semata (Yanthi, 2016).

Sebagaimana telah dipaparkan sebelumnya, interaksi sosial yang asosiatif adalah proses interaksi yang bertujuan untuk menciptakan harmonisasi antar masyarakat yang heterogen, dengan melakukan upaya kerjasama, mengurangi konflik dan menghindari perbedaan. Agama Hindu dalam Hare Krishna memiliki banyak perbedaan dengan agama Hindu Bali, baik dari segi ideologi, ritual maupun kebudayaannya. Remaja yang mengikuti Hare Krishna diharapkan untuk dapat membentuk interaksi sosial yang asosiatif dengan out group, mengingat salah satu tugas perkembangan remaja adalah membangun hubungan sosial yang positif dengan masyarakat.

Berdasarkan pemaparan diatas, penelitian ini tertarik untuk mengetahui apakah ada hubungan antara tingkat keberagamaan dengan interaksi sosial asosiatif pada remaja yang mengikuti Gerakan Kesadaran Krishna (Hare Krishna) di Bali. Untuk itulah penelitian ini mengambil judul, hubungan antara tingkat keberagamaan dengan interaksi sosial asosiatif pada remaja yang mengikuti Gerakan Kesadaran Krishna (Hare Krishna) di Bali.

Gambar 1.

Dinamika antar Variabel Penelitian

Ideologi Praktik Pengalaman Pengetahuan Konsekwensi Kerjasama Akomodasi Asimilasi

Keberagamaan Interaksi sosial

(27)

Keterangan:

: berhubungan : terdiri dari

: variabel yang diteliti

: Aspek dari variabel yang diteliti

F. Hipotetesis Penelitian Adapun hipotesis dari penelitian ini adalah:

Hipotesis alternatif (Ha) :

ada hubungan antara tingkat keberagamaan dengan interaksi sosial asosiatif pada remaja yang mengikuti gerakan kesadaran Krishna (Hare Krishna) di Bali.

Hipotesis nol (H0) :

Tidak ada hubungan antara tingkat keberagamaan dengan interaksi sosial asosiatif pada remaja yang mengikuti gerakan kesadaran Krishna (Hare Krishna) di Bali.

(28)

Referensi

Dokumen terkait

terdapat hubungan bermakna antara lepas drain dini dengan skala gejala pasien kanker payudara pasca operasi MRM, dimana pasien lepas drain hari I memiliki

Mencabut dan menyatakan trdak berlaku lagi Keputusan Ketua Pengadilan Tata Usaha Negara Manado Nomor W4-TUN2/540/HK.06/V/2015 tanggal 02 Mei 2016 Tentang Perincian Panjar Biaya

Gambar 10 merupakan proses bisnis usulan menangani pengiriman produk melibatkan logistik yang dimulai dari melakukan cek data order konsumen melalui

• Bagi memori internal (memori utama), satuan transfer merupakan jumlah bit yang dibaca atau yang dituliskan ke dalam memori pada suatu saat.. • Bagi memori eksternal, data

Kelompok unsur logam tanah jarang pertama kali ditemukan pada tahun 1787 oleh seorang letnan angkatan bersenjata Swedia bernama Karl Axel Arrhenius, yang

115 teripang untuk memanipulasi kelamin udang galah adalah, pemberian hormon steroid (testosteron) dari ekstrak jeroan teripang melalui metode injeksi dan dipping,

Dalam kaitan beban kerja pada penelitian ini, dilakukan analisis mengenai beban kerja seluruh pegawai menggunakan metode NASA-TLX dimana diketahui tingkat beban kerja