• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

37

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

A.

KARAKTERISTIK RESPONDEN

1.

Profil Responden

Profil responden dideskripsikan berdasarkan aspek sosiodemografi meliputi usia, jenis kelamin, pendidikan terakhir, pendapatan perkapita perbulan, besar keluarga dan status responden dalam keluarga, serta pekerjaan. Data aspek sosiodemografi responden diolah dari Lampiran 9.

a.

Usia dan jenis kelamin

Dalam penelitian ini terdapat sebanyak 75 responden berusia antara 2 hingga 65 tahun dengan rata-rata usia adalah 30,7 tahun. Responden terbanyak berkisar antara usia 25 hingga 40 tahun dengan jumlah 35 orang (46,7%), responden tersebut sebagian besar adalah kaum ibu. Kisaran usia responden dapat dilihat pada Gambar 7.

Di dalam analisis demografi, struktur usia dibedakan menjadi tiga kelompok yaitu 1) kelompok usia muda, dibawah 15 tahun, 2) kelompok usia produktif 15-64 tahun, dan 3) kelompok usia tua, usia 65 tahun keatas (Tjiptoherijanto 2001). Berdasarkan penggolongan usia tersebut, hampir semua responden diklasifikasikan dalam golongan usia produktif. Terdapat sebanyak 55 orang (73,33%) responden pada usia tersebut. Responden kelompok usia muda berjumlah 11 orang yaitu 6 orang berjenis kelamin laki-laki dan 5 orang berjenis kelamin perempuan. Responden dengan golongan usia tua hanya terdapat 1 orang berjenis kelamin perempuan. Mengingat banyaknya responden pada kisaran usia produktif menunjukkan bahwa mereka adalah orang-orang yang masih mampu mencari pengetahuan dan memungkinkan untuk diberi pengetahuan baru (Waysima 2011).

Gambar 7.Sebaran responden berdasarkan usia dan jenis kelamin (n=75) 6,67 12 46,7 24 2,7 8 0 0 0 0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 0<x<5 15<=x<25 25<=x<40 40<=x<55 >=55 P r o se n tas e (% )

Usia dan Jenis Kelamin

Perempuan Laki-laki

(2)

38 Hampir semua responden yang digunakan dalam penelitian adalah responden perempuan yaitu 92% (69 orang) dan sisanya adalah laki-laki. Pemilihan responden perempuan dalam jumlah yang lebih banyak berkaitan dengan penentu makanan di rumah masih didominasi oleh kaum ibu/wanita. Nutritional gate-keeper yang menggambarkan seseorang di dalam rumah tangga sebagai pembuat keputusan membeli hingga menyiapkan makanan untuk keluarga, bisa orang tua, nenek atau pembantu (Zakaria et al. 2011). Di Indonesia sebagian besar yang berlaku sebagai gate keeper bagi keluarganya adalah para ibu, walaupun sebagian dari mereka adalah perempuan bekerja (Waysima 2011). Dengan demikian sebagai produk pangan baru, cara pengenalan ke rumah yang lebih tepat adalah melalui ibu.

b.

Pendidikan terakhir

Sebanyak 46% responden memiliki pendidikan terakhir pada tingkat sekolah dasar dan diikuti oleh responden dengan pendidikan terakhir sekolah menengah atas sebanyak 16%. Responden yang belum mengenyam pendidikan formal adalah responden balita. Dalam penelitian Juherman (2008), ayah dan dan ibu dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi memiliki pengetahuan tentang ASI yang lebih baik jika dibandingkan dengan ayah dan ibu dengan tingkat pendidikan yang lebih rendah. Orang tua dengan pengetahuan ASI yang lebih tinggi memiliki sikap yang lebih baik terhadap pemberian ASI eksklusif kepada anak-anaknya. Tingkat pendidikan orang tua berhubungan secara positif dengan kesadaran akan kesehatan dalam melakukan pemilihan pangan, terutama pendidikan ibu merupakan faktor yang mempengaruhi pemilihan pangan (North & Emmet 2000). Meskipun sebagian besar responden hanya memiliki tingkat pendidikan SD namun mereka memiliki kemampuan dasar untuk menerima dan menyerap informasi yang diberikan oleh peneliti. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 21, dimana responden mengalami peningkatan pengetahuan mengenai minyak sawit setelah dilakukan beberapa kali sosialisasi selama dua bulan. Penelitian Alibas (2002) menunjukkan bahwa responden dengan pendidikan yang lebih tinggi memiliki penerimaan informasi yang lebih baik tentang garam beryodium dan GAKI jika dibandingkan dengan penerimaan informasi oleh responden dengan tingkat pendidikan lebih rendah. Pengetahuan tentang garam beryodium dan GAKI berhubungan secara bermakna terhadap pendidikan yang dimiliki responden. Sumarwan (2003) menyatakan bahwa tingkat pendidikan akan mempengaruhi nilai-nilai yang dianut, cara berpikir, cara pandang bahkan persepsinya terhadap suatu masalah. Konsumen yang memiliki tingkat pendidikan lebih baik akan responsif terhadap informasi. Seseorang yang memiliki tingkat pendidikan lebih tinggi umumnya lebih menyadari kebutuhan akan informasi dan lebih terbuka terhadap media massa. Penyebaran pendidikan terakhir responden dapat dilihat pada Gambar 8.

(3)

39 Gambar 8. Sebaran responden berdasarkan pendidikan terakhir (n=75)

c.

Pendapatan per kapita per bulan

Rata-rata pendapatan per kapita per bulan responden adalah sebesar Rp.175.615,00 dengan pendapatan terbesar yaitu Rp.600.000,00 dan terkecil yaitu Rp.33.333,00. Sebagian besar pendapatan per kapita responden (89,1%) berkisar kurang dari Rp. 233.470,00 setiap bulannya. Responden dengan pendapatan per kapita lebih dari Rp. 233.740,00 adalah sebesar 10,9%. Berdasarkan pedoman pada indikator garis kemiskinan BPS (2011) yang diterapkan yaitu dengan pendapatan perkapita perbulan di bawah Rp. 233.740,00 maka terdapat 89,1% responden termasuk dalam keluarga prasejahtera. Hal tersebut sesuai dengan responden yang diinginkan dalam penelitian yaitu responden dari keluarga tidak mampu. Adapun kisaran pendapatan per kapita keluarga responden dapat dilihat pada Tabel 21.

Tabel 21. Sebaran responden berdasarkan pendapatan per kapita per bulan Kategori pendapatan

(Rp/kapita/bulan) Jumlah Responden Prosentase (%)

< 233.740,00 67 89,1

≥ 233.740,00 8 10,9

Total 75 100,00

Rata-rata Rp.175.615,00

Maksimum-minimum Rp.600.000,00 - Rp.33.333,00

Pendapatan per kapita merupakan penentu penting pada pola makan dalam keluarga. Keluarga dengan pendapatan tinggi akan mempunyai banyak alternatif atau pilihan pangan dibandingkan dengan keluarga yang berpendapatan rendah. Penelitian Alibas (2002) menunjukkan bahwa responden yang memiliki pendapatan per kapita yang lebih tinggi akan cenderung membeli garam beryodium dengan kualitas baik, meskipun harganya relatif tinggi, jika dibandingkan dengan responden dengan pendapatan per kapita yang lebih rendah. Jumlah pendapatan akan menggambarkan besarnya daya beli dari seorang konsumen. Daya beli akan menggambarkan banyaknya barang dan jasa yang bisa dibeli dan dikonsumsi oleh seorang konsumen dan anggota keluarganya. (Solomon et al. 2006).

d.

Besar keluarga dan status responden dalam keluarga

Setiap keluarga responden memiliki besar keluarga yang bervariasi mulai dari keluarga dengan anggota keluarga ≤ 4 orang hingga dengan anggota keluarga ≥ 7 orang. Berdasarkan besar keluarga (Tabel 22), sebagian besar responden berkisar pada ≤ 4 orang yaitu 50,9%. Jumlah anggota keluarga

14,7 16 44 8 16 1,3 0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 Tidak sekolah Belum sekolah SD SMP SMA SMEA P r o se n tas e (% ) Pendidikan terakhir

(4)

40 terkecil adalah dua orang yaitu 2,7% dari total kepala keluarga dan jumlah anggota keluarga terbesar adalah 8 orang sebanyak dua kepala keluarga, sementara rata-rata jumlah anggota keluarga adalah 5 orang.

Jumlah anggota keluarga akan menentukan jumlah dan pola konsumsi keluarga. Rumah tangga dengan jumlah anggota lebih banyak akan mengkonsumsi bahan pangan lebih banyak. Jumlah anggota keluarga menggambarkan potensi permintaan terhadap suatu barang dari sebuah rumah tangga (Sumarwan 2003).

Tabel 22. Sebaran besar keluarga responden

Kategori besar keluarga Jumlah Keluarga Responden Prosentase (%)

≤ 4 orang 28 50,9

5-6 orang 22 40,0

≥ 7 orang 5 9,1

Total 55 100,00

Rataan± SD = 4,55±1,45

Menurut Waysima (2011), keluarga yang sering melakukan kegiatan makan bersama, diperkirakan akan memberi pengaruh positif pada perilaku makan anggota keluarga. Terutama anak-anak, kegiatan makan bersama keluarga merupakan lingkungan awal tentang makanan, yaitu melalui makanan yang yang diperbolehkan atau dilarang orangtuanya, waktu makan, jumlah makanan dan konteks sosial di mana perilaku makan terjadi. Orang tua memiliki pengaruh yang kuat terhadap perilaku makan anak. Dalam penelitian Klesges et al. (1991), peneliti menyediakan makanan dengan kategori nutrisi rendah, nutrisi sedang-netral, dan nutrisi tinggi bagi anak-anak obesitas. Pemilihan makanan oleh anak akan sangat berbeda ketika mereka bebas memilih dibandingkan dengan di bawah kontrol orang tua. Ketika bebas memilih, anak-anak dalam penelitian tersebut memilih makanan dengan jumlah relatif banyak dengan kandungan gula tinggi. Namun ketika pemilihan makanan melibatkan orang tua, jumlah makanan menjadi sedikit berkurang dengan pemilihan makanan nutrisi rendah.

Tabel 23. Status responden dalam keluarga Kategori Responden Dalam

keluarga Jumlah Keluarga Responden Prosentase (%) Anak (A) 14 18,7 Istri (I) 54 72,0 Kepala keluarga (KK) 1 1,3 Menantu (M) 1 1,3

Orang tua (OT) 4 5,3

Saudara (S) 1 1,3

Total 75 100,00

Berdasarkan Tabel 23 diatas dapat dilihat bahwa sebagian besar status responden dalam keluarga adalah sebagai istri yaitu sebanyak 54 orang (72%), yang selanjutnya adalah responden anak (18,7%). Responden anak tersebut meliputi balita dan wanita dewasa yang belum menikah. Responden kepala keluarga berupa seorang ibu yang telah menjadi janda karena suaminya meninggal dunia, sementara responden saudara adalah seorang balita laki-laki yang diasuh oleh responden lain karena orang tuanya telah meninggal dunia.

e.

Pekerjaan

Pekerjaan responden dikelompokkan ke dalam ibu rumah tangga (IRT), buruh, pegawai swasta, pedagang, dan tidak bekerja. Berdasarkan Gambar 9, sebagian besar responden memiliki pekerjaan sebagai ibu rumah tangga (IRT) yaitu sebanyak 73,3%, kemudian diikuti oleh golongan tidak bekerja yaitu 20%. Golongan yang tidak bekerja termasuk responden calon ibu dan balita. Responden yang bekerja sebagai buruh sebagian besar dari pekerjaan mereka adalah pemetik sayuran dengan penghasilan rata-rata Rp. 15.000,00 setiap harinya. Hanya terdapat 1,3% responden yang memiliki pekerjaan sebagai pegawai swasta yaitu bekerja sebagai pegawai toko swalayan. Jenis

(5)

41 pekerjaan responden memperlihatkan produktifitasnya sehari-hari dan menentukan jumlah penghasilan untuk memenuhi kebutuhannya (Zakaria et al. 2011). Jenis pekerjaan seseorang juga menggambarkan kelas sosial seseorang di lingkungan masyarakat, disamping pendapatan dan pendidikan. Pekerjaan seseorang secara kuat menghubungkan penggunaan waktu luang, alokasi sumber daya keluarga, dan orientasi politik (Solomon et al. 2006).

Gambar 9. Sebaran responden berdasarkan pekerjaan (n=75)

2.

Pengetahuan Responden Tentang Minyak Sawit dan Produknya

Pengetahuan responden mengenai minyak sawit dan produknya ditanyakan dua kali, yaitu sebelum dan setelah dilakukan sosialisasi yang berjarak selama dua bulan. Untuk mengetahui pengetahuan responden mengenai kelapa sawit dan produknya, digunakan lima pertanyaan, yang ditanyakan kepada responden secara langsung oleh peneliti.

Berdasarkan Tabel 24 dapat dilihat bahwa pada awal sosialisasi, responden kurang mengenal minyak sawit dan produknya dengan baik. Rata-rata hanya 25,2% responden yang mengetahui dan mengenal minyak sawit dan produknya. Paling banyak (46%) responden sudah mengenal kelapa sawit, yang digambarkan seperti pohon kelapa, memiliki duri pada pelepah daun serta memiliki biji berwarna merah, dan bulat kecil. Beberapa responden mengaku sudah pernah melihat pohon kelapa sawit tersebut secara langsung. Sangat sedikit responden yang mengetahui minyak sawit merah dan manfaatnya. Hal ini disebabkan kurangnya informasi yang diterima responden mengenai minyak sawit merah, baik di lingkungan tempat tinggal maupun dari media massa seperti televisi. Setelah sosialisasi responden yang mengetahui tentang minyak sawit merah dan manfaatnya meningkat menjadi 20,3% dan 66,8%. Pengetahuan yang rendah mengenai minyak sawit merah meskipun telah dilakukan sosialisasi diduga disebabkan sedikitnya informasi mengenai minyak sawit merah yang sampai ke responden. Sementara pengetahuan minyak sawit dan produknya yang lain mengalami peningkatan. Hal ini menunjukkan bahwa mereka telah menerima informasi yang diberikan oleh peneliti selama sosialisasi. Responden mengenal dan mengetahui kelapa sawit dan produknya meningkat dari rata-rata 25,2% pada sebelum sosialisasi menjadi 66,8% setelah sosialisasi.

2,7 1,3 73,3 2,7 20 0 10 20 30 40 50 60 70 80

Buruh Pegawai swasta IRT Pedagang Tidak bekerja

P r o se n tas e (% ) Pekerjaan responden

(6)

42 Tabel 24. Pengetahuan responden mengenai minyak sawit dan produknya (n=63)

3.

Jenis Masakan

Tabel 25 menjelaskan jenis masakan yang biasanya dihidangkan dalam keluarga responden. Jenis masakan meliputi sumber karbohidrat selain nasi misalnya adalah singkong, lauk-pauk seperti telur, sayuran, lalapan, camilan serta masakan yang lebih sering disajikan dalam keluarga tersebut. Adapun perlakuan terhadap masakan dapat berupa ditumis, digoreng, direbus, dikukus atau dimakan mentah.

Tabel 25. Olahan makanan yang lebih disukai keluarga responden (n = 55 keluarga)

Jenis Olahan (%)

Tumis Goreng Rebus Kukus Mentah

Sumber Karbohidrat - 45,4 18,2 36,4 -

Lauk-pauk 14,3 76,8 8,9 - -

Sayuran 70,9 - 27,3 - 1,8

Lalapan - - 20 1,8 76,4

Camilan - 90,9 1,8 3,6 -

Berdasarkan Tabel 25, jenis masakan yang paling banyak disukai keluarga responden adalah digoreng, yaitu sumber karbohidrat seperti ubi dan singkong oleh 45,4% responden, lauk pauk oleh 76,8% responden, dan camilan oleh 90,9% responden. Sayuran lebih banyak yang mengkonsumsi dengan cara ditumis (70,9%) dan lalapan dikonsumsi mentah (76,4%). Lauk pauk yang paling banyak dikonsumsi adalah telur dan ikan asin. Sedangkan sayuran yang paling banyak dikonsumsi adalah kangkung.

Dengan melihat bahwa makanan yang ditumis untuk jenis sayuran, maka Produk SawitA yang disosialisasikan memiliki peluang baik untuk digunakan dan diterima oleh responden. Penggunaan Produk SawitA dalam menu makanan keluarga responden tidak memberikan pengaruh yang besar terhadap penggunaan minyak dalam keluarga responden. Sebagian besar penggunaan minyak setelah diberikan Produk SawitA adalah tetap yaitu oleh 85,45% (47 keluarga). Hanya sebagian kecil keluarga responden yang mengalami penurunan penggunaan minyak setelah diberi Produk SawitA yaitu 14,54% (8 keluarga). Hal ini disebabkan penggunaan Produk SawitA yang diberikan adalah untuk menumis, sehingga tidak menggantikan fungsi minyak untuk menggoreng yang kebanyakan

dilakukan responden.

B.

PENERIMAAN

DAN

PERILAKU

MENGKONSUMSI

PRODUK

SAWITA

a.

Penerimaan Produk

Menurut Pilgrim (1956), penerimaan pangan (food acceptance) menunjukkan perilaku makan yang disertai dengan kesenangan. Batasan tersebut menekankan adanya komponen perilaku dan komponen sikap, dimana kesenangan termasuk di dalamnya (Waysima 2011). Sementara food preference merupakan penilaian afektif pada pangan yang belum atau sudah dimakan, penerimaan

Pengetahuan tentang minyak sawit dan produknya

Sebelum sosialisasi Sesudah sosialisasi

Tahu (%) (Tahu (%)

Kelapa sawit 46,0 93,8

Crude Palm oil (CPO) 39,7 64,1

Produk sawit 39,7 90,6

Minyak sawit merah 1,6 20,3

Manfaat minyak sawit merah 1,6 66,8

(7)

43 pangan digambarkan untuk penilaian afektif pada pangan yang secara aktual telah dimakan (Cardello & Schuutz 2000).

Uji penggunaan di rumah (HUTs) merupakan salah satu metode uji afektif yaitu uji untuk mengetahui tingkat kesukaan responden terhadap produk yang diuji atau mengetahui produk yang lebih disukai dari yang lain. Bila dibandingkan dengan metode penilaian sensori lainnya, HUTs memiliki kelebihan yaitu ada pada kondisi pengujian yang aktual di rumah responden sehingga penerimaan atau preferensi terhadap produk yang didapatkan cenderung lebih dipercaya karena hasil penerimaan atau preferensi tersebut merupakan respon dari penggunaan produk yang berulang-ulang, bukan hanya mencicip produk 1-2 kali.

Penerimaan terhadap makanan baru tidak terjadi begitu saja, diperlukan pengulangan berkali-kali untuk mengkonsumsi makanan tersebut, barulah terjadi peningkatan kesukaan. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa diperlukan serangkaian pengulangan 15 kali makan makanan baru bagi bayi untuk meningkatkan konsumsi lebih dari 2 kali (Sulivan & Birch dalam Zakaria et al. 2011), 10 kali lebih mengkonsumsi makanan baru tertentu baru menghasilkan peningkatan konsumsi anak usia 2 tahun, serta 8-15 kali pengulangan makan pada anak usia 4-5 tahun untuk meningkatkan penerimaan pangan anak. Untuk mengetahui penerimaan Produk SawitA dilakukan analisis terhadap atribut rasa, aroma, warna dan karakteristik produk secara keseluruhan. Penerimaan terhadap semua

atribut tersebut berdasarkan hasil pengujian penerimaan dengan HUTs.

1.

Respon awal penerimaan produk

Sebagai produk pangan baru yang diperkenalkan kepada responden, perlu diketahui respon awal responden sehingga dapat diketahui seberapa besar penerimaan produk tersebut. Respon awal tersebut diperoleh setelah responden mengkonsumsi Produk SawitA selama 2-4 hari. Tabel 27 menjelaskan respon yang timbul dari responden yang meliputi atribut rasa, aroma dan warna. Berdasarkan tabel tersebut dapat dilihat bahwa sebagian besar respon atau kesan yang timbul baik atribut rasa, aroma dan warna adalah biasa saja (97,3%-98,7%). Bentuk gangguan rasa yang timbul berupa rasa getir. Gangguan terhadap aroma berupa bau yang masih dirasakan asing bagi responden, mereka mengaku aroma yang timbul berupa bau menyengat. Zakaria et al. (2011) menyatakan hanya 12-14% dari 2142 responden yang merasa terganggu terhadap warna, rasa dan aroma Produk SawitA. Sebagian besar gangguan yang timbul adalah pada atribut aroma, berupa bau menyengat, bau aneh atau bau asam yang dirasakan oleh beberapa responden. Aroma ini timbul sebagai aroma alami minyak sawit yang belum mengalami proses lebih lanjut.

Tabel 26. Respon awal responden terhadap Produk SawitA (n=75)

Atribut Biasa saja Terganggu

Rasa 74 (98,7%) 1 (1,3%)

Aroma 72 (97,3%) 2 (2,7%)

Warna 72 (97,3%) 2 (2,7%)

2.

Penerimaan atribut rasa, aroma, warna, dan overall

Rasa merupakan adanya tanggapan rangsangan kimiawi berupa asin, manis, asam atau pahit oleh indera pencicip (lidah), yang disebabkan oleh adanya zat terlarut di dalam mulut (Meilgaard et al. 1999). Karekteristik makanan, khususnya rasa dan flavor memiliki pengaruh yang spesifik terhadap pemilihan makanan. Konsumen akan menyebutkan atribut rasa dan aroma sebagai faktor utama ketika mereka menyukai atau tidak menyukai makanan (Clark 1998). Dalam penelitian ini penerimaan atribut rasa dinilai dari penerimaan setelah dua minggu mengkonsumsi hingga dua bulan mengkonsumsi. Berdasarkan tabel penerimaan Produk SawitA atribut rasa (Tabel 27) dapat dilihat bahwa pada penerimaan setelah dua minggu konsumsi, hampir semua responden ibu (98,44%) dan semua responden anak (100%) mengaku suka terhadap atribut rasa Produk SawitA. Hal tersebut sejalan dengan penerimaan atribut rasa yang dinyatakan oleh Zakaria et al. (2011) yaitu sebanyak

(8)

44 1813 responden menyatakan suka terhadap Produk SawitA. Namun tidak dapat dipungkiri terdapat responden ibu yang menyatakan agak tidak suka terhadap atribut rasa yaitu sebesar 1,56% dari jumlah responden ibu. Responden menyatakan atribut rasa yang mengganggu berupa rasa getir yang ditimbulkan ketika mengkonsumsi makanan yang telah diberi Produk SawitA, selain itu ada juga responden yang merasa mual setelah mengkonsumsi produk.

Penerimaan terhadap atribut rasa setelah 1 bulan dan 2 bulan konsumsi mengalami peningkatan. Setelah konsumsi 1 bulan hingga akhir semua responden ibu dan responden anak menyatakan suka terhadap atribut rasa. Peningkatan penerimaan terhadap atribut rasa diduga karena responden sudah mulai terbiasa dengan rasa produk sebagai akibat pengulangan konsumsi berkali-kali (Zakaria et al. 2011). Responden mengaku rasa yang ditimbulkan produk pada makanan adalah rasa gurih sehingga mereka tidak perlu menambahkan penyedap rasa. Hal ini disebabkan Produk SawitA merupakan minyak yang dapat dikatakan juga sebagai lemak yang berbentuk semi padat sehingga dapat memberikan rasa gurih pada makanan (Ketaren 2005). Selain itu Produk SawitA tumis adalah minyak sawit yang belum mengalami proses fraksinasi. Proses fraksinasi memisahkan bagian olein yang berbentuk cair dan bagian stearin yang berbentuk padat. Adanya kandungan stearin pada produk menyebabkan rasanya menjadi gurih karena fraksi stearin memberikan rasa gurih pada makanan. Menurut Ketaren (2008), minyak atau lemak berfungsi sebagai media panas, menambah rasa gurih dan menambah nilai kalori pada bahan pangan.

Penerimaan responden terhadap atribut rasa Produk SawitA juga didukung oleh hasil penelitian Ria (2011). Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 103 responden yang digunakan, sebanyak 94,20% menyatakan suka terhadap rasa masakan setelah ditambahkan Produk SawitA. Responden tersebut menyatakan makanan yang ditambahkan Produk SawitA menjadi lebih gurih dan enak rasanya.

Aroma adalah bau produk pangan yang terjadi saat zat volatil melewati rongga hidung dan diterima oleh sistem syaraf olfactory. Jumlah senyawa volatil yang keluar dari produk dipengaruhi oleh suhu, kondisi permukaan, sifat produk, dan komposisi produk. Kondisi permukaan yang lebih halus, berpori, dan lembab akan menghasilkan senyawa volatil lebih banyak jika dibandingkankan dengan permukaan yang kasar, mulus, dan kering (Meilgaard et al. 1999).

Tabel 27. Penerimaan atribut rasa, aroma, warna, dan overall setelah mengkonsumsi Produk SawitA ( jumlah ibu = 64, anak = 11)

Atribut Responden

Setelah konsumsi selama/ tingkat penerimaan (%)

2 minggu (%) 1 bulan (%) 2 bulan (%)

S AS ATS S AS ATS S AS AS Rasa Ibu 98,44 1,56 - 100 - - 100 - - Anak 100 - - 100 - - 100 - - Aroma Ibu 89,06 9,38 1,56 95,31 4,69 - 95,31 4,69 - Anak 81,82 18,8 - 100 - - 100 - - Warna Ibu 96,88 1,56 1,56 100 - - 100 - - Anak 100 - - 100 - - 100 - - Overall Ibu 100 - - 100 - - 100 - - Anak 100 - - 100 - - 100 - -

Keterangan S : Suka AS : Agak Suka ATS : Agak Tidak Suka

Produk SawitA yang digunakan dalam penelitian ini adalah minyak sawit mentah (MSMn) yang belum mengalami proses pengolahan lebih lanjut, kecuali proses pada saat pengambilan (ekstraksi) minyak dari buah yang sebelumnya telah mengalami proses pengukusan, pemipilan dan pelumatan. MSMn terdiri dari gliserida yang tersusun rangkaian asam lemak. Asam lemak penyusun dalam MSMn bervariasi dari panjang rantai karbon 12 hingga 20. Dari asam lemak tersebut sekitar 50% asam lemak jenuh dan 50% tidak jenuh (Basiron 2005). Sebagian besar komponen asam lemak tersebut dalam bentuk trigliserida dengan sebagian kecil digliserida dan monogliserida. MSMn juga mengandung komponen lainnya seperti asam lemak bebas dan nongtrigliserida. Komponen nontrigliserida pada MSMn menyebabkan bau dan rasa tidak enak pada minyak, berpengaruh terhadap rasa pada minyak, dan mempercepat ketengikan pada minyak. Oleh karena itu, kandungan komponen nontrigliserida yang terlalu tinggi pada minyak dapat mempersingkat umur simpan minyak (Choo et al. 1994). Aroma yang timbul terutama disebabkan oleh kandungan asam lemak yang masih relatif tinggi pada MSMn.

(9)

45 Dari Tabel 27 dapat dilihat penerimaan atribut aroma Produk SawitA Penerimaan terhadap atribut aroma setelah 2 minggu konsumsi, bervariasi dari “agak tidak suka” hingga “suka”. Sebagian besar responden ibu (89,06) dan sebagian besar responden anak (81,82%) menyatakan “suka” terhadap atribut aroma. Penerimaan terhadap atribut aroma setelah konsumsi 1 bulan dan 2 bulan menunjukkan peningkatan yaitu yang menyatakan “suka” meningkat menjadi 95,31% untuk responden ibu dan meningkat menjadi 100% untuk responden anak. Kemudian yang menyatakan “agak suka” menurun menjadi 4,69% dan 0% berturut-turut untuk responden ibu dan anak. Secara umum penerimaan terhadap atribut aroma mengalami peningkatan seiring dengan penggunaan produk yang semakin lama. Hal ini sejalan dengan Zakaria et al. (2011), dimana terjadi peningkatan penerimaan responden pada kategori “suka” pada konsumsi 2 minggu sebanyak 1720 responden (88,52%) meningkat menjadi 1825 responden (89,46%) setelah mengkonsumsi 1 bulan. Konsumsi produk yang dilakukan berulang-ulang semakin membuat atribut aroma produk semakin diterima responden. Hal ini dapat dilihat dari prosentase penolakan terhadap atribut aroma yang semakin berkurang dari 10,7% hingga menjadi 4% pada penerimaan setelah konsumsi 1 bulan dan 2 bulan.

Warna adalah atribut sensori yang pertama dilihat oleh konsumen. Warna harus menarik dan menyenangkan konsumen serta dapat mewakili cita rasa yang ditambahkan (Buckle 1987). Warna Produk SawitA adalah kuning kemerahan hingga jingga. Warna ini sebagian besar berasal dari komponen karotenoid yang tinggi pada MSMn. Dalam MSMn terkandung 500-700 ppm karotenoid (Choo et al. 1994).

Sebagaimana penerimaan terhadap atribut aroma, penerimaan terhadap atribut warna juga mengalami peningkatan (Tabel 27). Setelah mengkonsumsi Produk SawitA 1-2 bulan, seluruh responden (ibu dan anak) menyatakan suka terhadap atribut warna. Pada kegiatan sosialisasi, responden diajarkan cara penggunaan produk misalnya dapat diterapkan pada makanan apa saja dan juga pentingnya komponen warna produk tersebut sehingga responden menjadi semakin percaya. Dengan demikian penggunaan Produk SawitA pada makanan responden menjadi lebih bervariasi sehingga lama-kelamaan responden menjadi terbiasa dengan warna yang dihasilkan Produk SawitA. Responden tidak terganggu oleh atribut warna masakan yang menggunakan Produk SawitA MSM. Responden beranggapan bahwa warna masakan menjadi lebih menarik dan dapat menghemat bumbu seperti kunyit dan cabai. Menurut Zakaria et al. (2011) hanya terdapat 0,67% dari 2142 responden setelah mengkonsumsi produk selama 2 minggu dan 0,15% dari 2142 responden setelah mengkonsumsi produk selama 1 bulan, menolak terhadap atribut warna.

Penerimaan atribut overall adalah penerimaan responden pada semua atribut yang melekat pada Produk SawitA. Penerimaan responden terhadap atribut overall setelah 2 minggu konsumsi hingga setelah 2 bulan konsumsi menunjukkan 100% responden (ibu dan anak) menyatakan suka (Tabel 27). Beberapa responden menyatakan bahwa meskipun ada sedikit gangguan pada aroma yang ditimbulkan produk, namun ketika produk tersebut dimasak bersamaan dengan bahan makanan lain, aroma tersebut akan hilang atau tidak tercium lagi. Dengan demikian mereka merasa tidak terganggu, sehingga ketika ditanyakan penerimaan produk secara overall semua responden menjawab “suka”. Selain itu beberapa responden juga mengaku meskipun ada aroma tidak enak pada Produk SawitA, hal tersebut tidak menjadi masalah karena mereka percaya produk tersebut sebagai sumber vitamin A dan sumber vitamin lain yang baik untuk kesehatan. Kesadaran responden tersebut tidak lepas dari hasil sosialisasi yang dilakukan, dimana dalam sosialisasi tersebut responden juga diberi edukasi bahwa Produk SawitA memiliki aroma yang kurang sedap disebabkan kandungan vitamin yang tinggi. Pengulangan konsumsi produk juga semakin membuat mereka terbiasa terhadap keberadaan Produk SawitA sehingga respon penerimaan overall juga baik.

b.

Perilaku Mengkonsumsi Produk SawitA

Perilaku mengkonsumsi pangan dipengaruhi oleh banyak faktor, di antaranya pendapatan, pengetahuan gizi, keadaan kesehatan, ketersediaan makan dan kebiasaan makan. Kebiasaan makan merupakan suatu pola yang berulang atau merupakan bagian rangkaian panjang kebiasaan hidup secara keseluruhan yang dapat diukur dengan pola konsumsi pangan. Kebiasaan makan adalah cara-cara seseorang atau sekelompok orang yang memilih dan memakannya sebagai reaksi terhadap pengaruh psikologis, fisiologis, budaya dan sosial (Harper, Deaton & Driskel 1986).

(10)

46 Mengingat penilaian terhadap penerimaan produk dilakukan dengan cara HUTs yang berarti bahwa penerimaan yang didapat merupakan konsumsi produk dalam waktu yang lama dan dalam kondisi konsumsi yang aktual, hasil penerimaan responden yang menunjukkan penerimaan yang baik, maka dapat diartikan bahwa penerimaan responden terhadap mengkonsumsi Produk SawitA akan terkait erat dengan perilaku mengkonsumsi produk.

Dalam penelitian ini, perilaku konsumsi Produk SawitA digambarkan ke dalam dua parameter yaitu frekuensi makan Produk SawitA dalam seminggu, cara penggunaan produk, dan variasi makanan yang dibuat.

1.

Frekuensi penggunaan produk

Frekuensi mengkonsumsi produk menggambarkan seberapa sering responden menggunakan Produk SawitA. Produk diharapkan akan digunakan setiap hari oleh responden dalam mengolah makanannya, namun berdasarkan fakta di lapangan masih ada responden yang tidak mengkonsumsi Produk SawitA setiap hari. Adapun frekuensi konsumsi Produk SawitA dapat dilihat pada Gambar 10.

Gambar 10. Frekuensi konsumsi Produk SawitA (n=75)

Sebagian besar responden sudah menggunakan Produk SawitA setiap hari (62,7%). Hal ini menunjukkan bahwa penerimaan responden yang baik terhadap atribut produk berakibat pada perilaku konsumsi produk yang dilakukan setiap hari. Zakaria et al. (2011) juga menyebutkan konsumsi Produk SawitA setiap hari dilakukan oleh 67% dari seluruh responden. Hal ini juga sejalan dengan penelitian Ria (2011) dimana sebanyak 67% (69 orang) responden sudah mengkonsumsi Produk SawitA setiap hari. Gambar 11 juga menjelaskan bahwa sebagian responden tidak mengkonsumsi produk setiap hari. Hal tersebut disebabkan oleh mereka tidak memasak setiap hari, yang dinyatakan oleh 60,71% responden yang tidak mengkonsumsi Produk SawitA setiap hari. Alasan lain responden tidak mengkonsumsi Produk SawitA setiap dapat dilihat pada Tabel 28.

Tabel 28. Alasan responden tidak mengkonsumsi Produk SawitA setiap hari (n=28)

Alasan Prosentase (%)

Tidak memasak 60,71

Jarang memasak 10,71

Lupa menggunakan 10,71

Kerja 3,57

Tidak menumis sayur 14,30

62,7 37,4 0 10 20 30 40 50 60 70

Konsumsi tiap hari Dalam seminggu pernah tidak konsumsi

P r o se n tas e (% ) Frekuensi konsumsi

(11)

47

2.

Cara mengkonsumsi produk

Gambar 11 menggambarkan cara penggunaan Produk SawitA pada awal sosialisasi (dua minggu setelah konsumsi). Sebagian besar responden (78,7%) menggunakan Produk SawitA untuk menumis. Penggunaan produk tersebut sesuai dengan edukasi yang dilakukan pada awal sosialisasi mengenai cara penggunaan produk. Kepada responden disampaikan bahwa Produk SawitA dapat digunakan secara langsung ke dalam makanan misalnya dicampurkan langsung bersamaan dengan sambal, dikecrotkan ke dalam makanan seperti pencampuran produk ke dalam bahan makanan, misalnya pencampuran ke dalam telur sebelum telur digoreng, atau digunakan untuk menumis berbagai bahan makanan seperti sayur. Setelah mengkonsumsi produk selama dua minggu, ternyata responden lebih banyak menggunakan Produk SawitA sebagai bahan untuk menumis.

Gambar 11. Cara konsumsi Produk SawitA pada awal sosialisasi

Konsumsi pangan dipengaruhi oleh banyak faktor, diantaranya pendapatan, pengetahuan gizi, keadaan kesehatan, ketersediaan bahan pangan, dan kebiasaan makan. Konsumsi pangan adalah jenis dan jumlah pangan, baik tunggal maupun beragam yang dimakan oleh seseorang atau sekelompok orang dengan tujuan dan waktu tertentu (Hardinsyah & Martianto 1992). Perilaku konsumsi pangan dapat dirumuskan sebagai cara-cara atau tindakan yang dilakukan oleh individu, keluarga, atau masyarakat di dalam pemilihan makanan yang dilandasi oleh pengetahuan dan sikap terhadap makanan tersebut (Susanto 1997).

Cara mengkonsumsi Produk SawitA mengalami peningkatan variasi setelah produk dikonsumsi selama dua bulan. Variasi cara konsumsi Produk SawitA dijelaskan pada Tabel 30. Setengah lebih responden menggunakan Produk SawitA untuk menumis sayur (84%) dan menggoreng nasi (78,7%). Cara lain yang dilakukan yaitu mencampur Produk SawitA dengan bumbu pepes ikan, bumbu opor ayam dan masih banyak lainnya. Banyaknya variasi cara lain yang dilakukan responden dalam menggunakan produk, menunjukkan bahwa Produk SawitA cocok untuk berbagai olahan masakan, Produk SawitA dapat memperluas fungsinya sebagai bahan tambahan makanan yang sehat. Peningkatan variasi penggunaan produk yang terjadi dapat dikatakan disebabkan oleh penerimaan responden yang baik terhadap konsumsi Produk SawitA.

1,3 20 78,7 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90

Langsung Dikecrotkan menumis

Ju m la h res p o n d e n (% ) Cara Konsumsi

(12)

48 Tabel 29. Cara mengkonsumsi Produk SawitA setelah sosialisasi 2 bulan (n=75)

Cara Konsumsi Produk Jumlah Responden

Langsung dimakan 1 (1,3%)

Dikecrotkan ke makanan 18 (24%)

Untuk menumis sayur 63 (84%)

Untuk nasi goreng 59 (78,7%)

Untuk nasi uduk 3 (4%)

Untuk nasi kuning 3 (4%)

Untuk campuran kue 11 (14,7%)

Lainnya 37 (49,7%)

C.

KAPASITAS ANTIOKSIDAN RESPONDEN

1.

Kapasitas Antioksidan Plasma

Studi tentang interaksi antara makanan, ekspresi gen, variasi genetik, kesehatan, dan penyakit saat ini telah banyak dikembangkan oleh berbagai kalangan. Hal ini dikenal sebagai nutrigenomik, dimana salah satu fokus disiplin tersebut yaitu melihat interaksi antara makanan dengan variasi genetik yang pada akhirnya berdampak pada kesehatan.

Timbulnya penyakit degeneratif salah satunya disebabkan oleh stres oksidatif. Pada kondisi ini terjadi ketidakseimbangan antara komponen antioksidan dan senyawa radikal bebas di dalam tubuh. Senyawa radikal bebas di satu sisi memiliki dampak yang menguntungkan misalnya terlibat dalam aktivasi fagosit dan dalam regulasi pertumbuhan sel serta sinyal intraseluler apabila diproduksi pada tempat dan waktu yang tepat. Di sisi lain senyawa ini sangat berbahaya karena bersifat sangat reaktif dan menyerang molekul terdekat seperti lipid, protein, dan DNA yang pada akhirnya menimbulkan kerusakan molekul tersebut (Papas 1999 a).

Stres oksidatif dapat timbul sebagai akibat tingginya produksi senyawa radikal bebas atau reactive oxygen species dan atau lemahnya sistem pertahanan antioksidan tubuh yang disebabkan oleh rendahnya asupan antioksidan eksogenus atau lemahnya produksi antioksidan endogenus (Papas 1999 a). Dengan melihat hal tersebut, asupan makanan yang kaya akan antioksidan sangat diperlukan oleh tubuh.

Produk SawitA adalah bahan makanan yang kaya akan antioksidan karena kandungan karotenoid dan vitamin E yang tinggi. Untuk melihat pengaruh pemberian Produk SawitA terhadap antioksidan responden, maka dilakukan analisis antioksidan total pada plasma darah 35 responden dari tiga desa yang menjadi sasaran program Produk SawitA yaitu desa Babakan, Sukadamai, dan Dramaga.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa terjadi kenaikan total antioksidan plasma pada responden setelah mengkonsumsi Produk SawitA selama kurang lebih dua bulan. Rata-rata konsumsi Produk SawitA oleh responden adalah 4 ml/orang/hari. Jumlah tersebut sudah mampu meningkatkan total antioksidan plasma. Adapun profil antioksidan plasma pada ketiga desa sebagai berikut.

a.

Antioksidan total Desa Babakan

Responden dalam analisis total antioksidan plasma dari Desa Babakan berjumlah 11 orang. Semua responden merupakan perempuan. Gambar 12 menjelaskan bahwa total antioksidan plasma responden sebelum dilakukan pemberian Produk SawitA memiliki konsentrasi dengan range 0,199-0,305 mM sampel plasma dan rata-rata konsentrasi total antioksidan adalah 0,247 mM. Dengan melihat gambar tersebut dapat dilihat bahwa total antioksidan responden sebelum diberi Produk

(13)

49 SawitA sangat bervariasi. Variasi total antioksidan responden disebabkan oleh banyak faktor, di antaranya jenis makanan yang dikonsumsi, keadaan psikologi dan emosional, lingkungan tempat tinggal dan kebiasaan hidup, serta faktor lainnya (Papas 1999 a).

Total antioksidan plasma responden mengalami peningkatan setelah mengkonsumsi Produk SawitA. Total antioksidan plasma terendah pada responden setelah mengkonsumsi produk meningkat dari konsentrasi 0,199 mM menjadi 0,275 mM, sementara total antioksidan maksimum meningkat dari konsentrasi 0,305 mM menjadi 0,373 mM dengan rata-rata 0,315 mM setelah konsumsi. Bila dibandingkan dengan kedua desa lainnya total antioksidan Desa Babakan menduduki urutan pertama berdasarkan rata-rata total konsentrasi antioksidan terbesar. Berdasarkan hasil uji-t terdapat perbedaan signifikan terhadap konsentrasi antioksidan sebelum konsumsi dan setelah konsumsi (P = 0,000) pada taraf kepercayaan 95%.

Sebelum mM Sesudah mM

Rataan±SD 0,247±0,046 0,315±0,033

Minimum-maximum 0,199-0,305 0,275-0,373

Gambar 12. Antioksidan total responden Desa Babakan

b.

Antioksidan total Desa Sukadamai

Responden dari Desa Sukadamai berjumlah 13 orang. Hasil penelitian total antioksidan plasma desa tersebut tertera pada Gambar 13. Pada gambar dapat dilihat bahwa sebagian besar total antioksidan total responden mengalami peningkatan setelah mengkonsumsi Produk SawitA. Antioksidan total sebelum mengkonsumsi produk memiliki konsentrasi terkecil 0,112 mM dan terbesar 0,285 mM dengan rata-rata 0,218 mM. Setelah mengkonsumsi Produk SawitA terjadi peningkatan total antioksidan plasma responden. Peningkatan total antioksidan berkisar dari 0,112 mM menjadi 0,268 mM. Sementara total antioksidan plasma maksimum meningkat dari 0,285 mM menjadi 0,338 mM setelah mengkonsumsi, dengan rata-rata total antioksidan adalah 0,298 mM. Jika dibandingkan dengan kedua desa lainnya, rata-rata peningkatan total antioksidan desa sukadamai menduduki urutan terkecil setelah Desa Dramaga. Hal ini dapat dipengaruhi oleh banyak faktor, diantaranya kondisi psikologi, penyakit, serta jenis makanan lainnya yang dikonsumsi responden pada ketiga desa tersebut. Berdasarkan uji-t dapat dilihat bahwa terdapat perbedaan yang signifikan total antioksidan plasma responden sebelum dan sesudah konsumsi Produk SawitA (P=0,001) pada taraf kepercayaan 95%. 0,000 0,050 0,100 0,150 0,200 0,250 0,300 0,350 0,400

P1A P1B P1C P1D P1E PIF P1G P1H P1I P1J P1K

To ta l a n ti o ks id an P la sm a (m M ) Responden

(14)

50

Sebelum (mM) Sesudah (mM)

Rataan±SD 0,218±0,0607 0,298±0,024

Minimum-maksimum 0,112-0,286 0,268-0,338

Gambar 13. Antioksidan total responden Desa Sukadamai

c.

Antioksidan total Desa Dramaga

Responden dari Desa Dramaga berjumlah 11 orang. Gambar 14 menjelaskan bahwa terjadi peningkatan total antioksidan plasma responden setelah mengkonsumsi Produk SawitA. Sebelum mengkonsumsi produk, total antioksidan plasma responden memiliki konsentrasi dengan kisaran antara 0,023 mM hingga 0,305 mM, dengan rata-rata konsentrasi 0,223 mM. Setelah mengkonsumsi Produk SawitA terjadi peningkatan konsentrasi antioksidan total. Konsentrasi minimum meningkat dari 0,023 mM menjadi 0,234 mM. Sementara konsentrasi maksimum meningkat menjadi 0,373 mM, dengan rata-rata konsentrasi antioksidan total adalah 0,313 mM.

Sebelum (mM) Sesudah (mM)

Rataan±SD 0,223±0,084 0,313±0,038

Minimum-maksimum 0,023-0,305 0,234-0,373

Gambar 14. Antioksidan total responden Desa Dramaga

Bila diperhatikan responden ke-8 (P2H) pada gambar diatas menunjukkan peningkatan konsentrasi antioksidan total yang sangat tinggi, bila dibandingkan dengan awal sebelum mengkonsumsi Produk SawitA. Sebelum mengkonsumsi Produk SawitA, responden tersebut memiliki konsentrasi antioksidan total 0,023 mM, namun setelah mengkonsumsi Produk SawitA meningkat

0,000 0,050 0,100 0,150 0,200 0,250 0,300 0,350 0,400 MS1 MS2 MS3 MS4 MS5 MS6 MS7 MS8 MS9 NS1 NS2 NS3 NS4 To tal A n ti o si d an P las m a (m M ) Responden

Sebelum intervensi Setelah intervensi

0,000 0,050 0,100 0,150 0,200 0,250 0,300 0,350 0,400

P2A P2B P2C P2D P2E P2F P2G P2H P2I P2J P2K

To tal A n ti o k si d an P las m a (m M ) Responden

(15)

51 menjadi 0,287 mM. Hal ini diduga pada kondisi awal, responden tersebut memiliki pola makan kurang baik, dimana suplai makanan dengan kandungan antioksidan sangat rendah. Peningkatan antioksidan total setelah mengkonsumsi diduga sebagai akibat perbaikan pola makan dengan konsumsi Produk SawitA yang kaya akan antioksidan. Berdasarkan uji-t terdapat perbedaan yang signifikan konsentrasi antioksidan responden sebelum dan sesudah konsumsi Produk SawitA (P = 0,002) pada taraf kepercayaan 95%.

d.

Keterkaitan mengkonsumsi Produk SawitA terhadap peningkatan

antioksidan

Berdasarkan profil konsentrasi antioksidan total dari ketiga desa yang telah dibahas sebelumnya, dapat dilihat bahwa sebagian besar responden mengalami peningkatan konsentrasi antioksidan total bila dibandingkan dengan kondisi awal. Secara keseluruhan konsentrasi antioksidan total sebelum intervensi atau pemberian Produk SawitA memiliki kisaran antar 0,023 mM hingga 0,321 mM, dengan rata-rata 0,229±0,064 mM. Sementara setelah intervensi terjadi peningkatan konsentrasi antioksidan total dengan kisaran antara 0,234 mM hingga 0,373 mM, dengan rata-rata 0,308±0,032 mM. Berdasarkan uji-t total antioksidan dari ketiga desa, terdapat perbedaan yang signifikan sebelum dan sesudah konsumsi Produk SawitA (P = 0,000) pada taraf kepercayaan 95%.

Antioksidan total plasma menggambarkan seluruh komponen yang terdapat pada plasma yang memiliki aktivitas sebagai antioksidan. Antioksidan tersebut dapat berasal dari dalam tubuh (antioksidan endogenus), atau antioksidan yang berasal dari luar/eksogenus yang dapat disuplai dari makanan atau suplemen (Papas 1999 a). Antioksidan ini terlibat dalam sistem pertahanan untuk mencegah terjadinya kerusakan yang disebabkan oleh radikal bebas dan ROS.

Produk SawitA yang digunakan dalam penelitian ini adalah minyak sawit mentah (MSMn) atau lebih sering dikenal sebagai crude palm oil (CPO). Peningkatan konsentrasi antioksidan total plasma responden diduga berasal dari konsumsi produk Produk SawitA, dimana pada produk terdapat komponen menguntungkan yang befungsi sebagai antioksidan. Komponen yang dimaksud adalah senyawa karotenoid dan komponen tokoferol/tokotrienol pada produk. Pemberian minyak sawit mentah sebesar 7,35 gram/kg pada ransum tikus mampu meningkatkan enzim katalase pada plasma tikus paling tinggi dan berbeda secara signifikan bila dibandingkan dengan perlakuan lainnya . Hal tersebut menunjukkan minyak sawit mentah sangat efektif dalam menangkal efek toksik malathion. Hasil proliferasi limfosit hampir sama dengan perlakuan lainnya yang menandakan bahwa minyak sawit kasar hampir sama kekuatannya dengan gabungan vitamin A, E, dan C (Subekti 1997).

Minyak sawit mentah adalah bahan pangan yang banyak mengandung senyawa karotenoid. Di dalam MSMn terkandung 500-700 ppm senyawa karotenoid (Choo et al. 1994). Beberapa senyawa karotenoid tersebut memiliki aktivitas sebagai antioksidan. Karotenoid yang memiliki aktivitas sebagai antioksidan misalnya β-karoten, α-karoten, dan likopen. Βeta karoten dan alfa karoten merupakan sumber vitamin A yang juga berfungsi sebagai antioksidan. Beta karoten merupakan provitamin A yang paling banyak tersebar luas di alam. Konversi β-karoten menjadi senyawa vitamin A terjadi pada permukaan usus halus (Gross 1991). Minyak sawit telah dikonsumsi manusia lebih dari 5000 tahun. Laju pencernaan dan penyerapan minyak sawit oleh tubuh manusia adalah lebih dari 97%, seperti halnya pada minyak dan lemak lainnya (Basiron 2005). Bioavailabiliti karotenoid dipengaruhi oleh banyak faktor di antaranya adalah komposisi karotenoid pangan, lemak pangan dan serat, sifat matriks pangan, preparasi pangan sebelum di konsumsi, ukuran partikel, interaksi karotenoid selama penyerapan, metabolisme, dan transportasi (Olson 1999, Parker et al. 1999, Hof et al. 2000). Bioavailabilitas (prosentase Penyerapan) karotenoid sangat bervariasi mulai dari 1% hingga 99%. Karotenoid dalam larutan minyak memiliki bioavailabilitas tertinggi jika dibandingkan degan karotenoid yang masih tersimpan dalam matrik pangan (Parker et al. 1999). Tingginya kandungan β-karoten di dalam plasma menggambarkan bahwa kebutuhan vitamin A sudah cukup (Zakaria et al. 2011). Enzim yang berperan dalam konversi senyawa karotenoid menjadi vitamin A adalah β-karotene 15,15’-dioksigenase. Konversi β-karoten menjadi vitamin A dikontrol oleh hormon tiroid dan androgen. Kedua hormon ini akan menstimulasi penyerapan β-karoten sebaliknya tiroid inhibitor thiouracil akan menghambat penyerapannya. Asupan protein pada makanan juga mempengaruhi pada perubahan karoten menjadi vitamin A yaitu secara langsung berpengaruh pada produksi enzim oksigenase (Goodwin 1994). Thurnham (2009) menambahkan defisiensi mineral zink juga menekan aktivitas enzim tersebut. Kehadiran senyawa karotenoid lain seperti lutein juga menghambat konversi β-karoten menjadi retinol dengan perbandingan lutein dan β-karoten lebih besar 3:1.

(16)

52 Di dalam tubuh, untuk melawan kerusakan akibat senyawa radikal bebas dan ROS, terdapat empat mekanisme pertahanan antioksidan. Senyawa karotenoid bekerja pada sistem pertahanan utama atau preventive antioxidant dimana senyawa karotenoid akan meredam (quenching) singlet oksigen, sekaligus sebagai sistem pertahanan kedua atau radical scavenging antioxidant dimana senyawa karotenoid menangkap radikal bebas sehingga menghambat inisiasi dari proses oksidasi (Noguchi & Niki 1999). Radikal bebas dan ROS diketahui menyebabkan berbagai penyakit degeneratif dan kerusakan berbagai molekul penting seperti protein dan DNA, sehingga diharapkan dengan adanya asupan antioksidan dari luar dapat melindungi dari kerusakan tersebut.

Efesiensi senyawa karotenoid dalam meredam singlet oksigen berhubungan dengan struktur senyawa kimianya. Hal ini disebabkan kemampuan meredam singlet oksigen berhubungan langsung dengan panjang rantai polyene. Likopen merupakan peredam singlet oksigen terbaik diantara karotenoid lainnya karena memiliki ikatan ganda terisolasi, rantai terbuka, serta sedikitnya substitusi senyawa oksigen pada struktur molekulnya. Dalam tubuh manusia yang sehat dan secara in vitro, likopen diketahui melindungi lipid, protein, dan DNA dari oksidasi. Selain itu likopen menginaktivasi hidrogen peroksida dan nitrogen oksida, sehingga melindungi limfosit dari nitrogen oksida yang menginduksi kerusakan membran dua kali lebih efektif dibandingkan karoten. Astaxanthin, β-karoten, dan likopen diketahui melindungi dari singlet oksigen dalam menginduksi kerusakan membran sel limfa. Interaksi antara karotenoid dan singlet oksigen salah satunya melalui mekanisme physical quenching dimana energi dari singlet oksigen ditransfer ke karotenoid dan membebaskannya ke lingkungan sebagai panas. Selain itu juga dapat melalui mekanisme chemical quenching dimana karotenoid dihancurkan melalui proses penambahan oksigen ke dalam ikatan ganda karotenoid (Boeliau et al. 1999; Martin 2005). Contoh berikut menggambarkan kedua mekanisme peredaman radikal tersebut.

1

O2o + lycopene O2 + 3lycopeneo O2 + lycopene + heat

1

O2o + lycopene lycopene-O2

Pada serum manusia sebagian besar β-karoten ditemukan dalam bentuk trans. Beta karoten diserap secara difusi pasif kemudian diangkut bersamaan dengan kilimikron (Boeliau et al. 1999). Aktivitas antioksidan β-karoten tergantung tekanan parsial oksigen. Pada kondisi tekanan parsial oksigen lebih rendah jika dibandingkan dengan tekanan oksigen pada keadaan normal, β-karoten memiliki aktivitas antioksidan tertinggi, sementara pada tekanan parsial oksigen yang lebih tinggi dari keadaan normal senyawa ini justru bertindak sebagai prooksidan dan memiliki aktivitas antioksidan terkecil (Yamanushi et al. 2009).

Sebagai senyawa antioksidan yang baik, antioksidan harus mampu membentuk radikal stabil dengan mendonorkan hidrogen ke radikal perusak yang tidak stabil. Reaksi antara β-karoten dan radikal lipid menghasilkan terbentuknya senyawa radikal intermediet. Struktur radikal intermediet ini memiliki dua aspek yaitu dapat bertindak sebagai prooksidan yang bereaksi dengan molekul oksigen atau dapat bereaksi dengan radikal lipid lainnya membentuk produk yang stabil. Pada lingkungan dengan tekanan oksigen tinggi seperti pada jaringan paru-paru, β-karoten beraksi pada mekanisme pertama, namun pada jaringan dengan tekanan oksigen rendah β-karoten lebih suka bertindak sebagai antioksidan untuk menghentikan oksidasi lipid (Boeliau et al. 1999).

Beta karoten dan senyawa karotenoid lain, dapat menurunkan risiko perkembangan kanker termasuk kemampuan dalam meredam singlet oksigen dan senyawa reaktif lainnya. Selain itu juga meregulasi komunikasi gap junction antar sel, meningkatkan sistem imun, dan menginduksi enzim detoksifikasi. Aspek lain karotenoid dalam sistem imun adalah meningkatkan aktivitas natural killer cell, meningkatkan respon limfosit terhadap mitogen, serta melindungi sel imun terhadap kerusakan dari senyawa radikal bebas dan ROS (Boeliau et al. 1999).

Sumber antioksidan lain pada Produk SawitA berasal dari vitamin E yang tinggi pada produk tersebut. Menurut Sambanthamurthi et al. (2000) pada CPO terkandung vitamin E sebesar 600-1000 ppm, terdiri atas campuran tokoferol (18-22%) dan tokotrienol (78-82%). Tokotrienol utama dalam minyak meliputi α–tokotrienol (22%),γ–tokotrienol (46%),δ–tokotrienol (12%). Vitamin E diserap dengan jalur yang sama dengan senyawa non polar lain. Tokoferol diserap dari usus halus secara difusi pasif dan disekresi ke dalam limfa dengan kilomikron. Di dalam plasma dan jaringan terdapat 2-3 kali lebih banyak α-tokoferol dibandingkan dengan γ-tokoferol meskipun pada makanan mengandung lebih banyak γ-tokoferol dibandingkan dengan α-tokoferol (Papas 1999c).

Sebagian besar studi aktivitas antioksidan vitamin E dilakukan terhadap α-tokoferol dalam menghambat oksidasi lipid. Oksidasi lipid secara umum ditemukan dalam membran sel dan membran

(17)

53 organel sel, lipoprotein, jaringan lemak, otak, dan jaringan lainnya. Alfa tokoferol terdapat dalam membran dengan perbandingan 1:1000 dibandingkan senyawa lipid. Ekor phytil dari vitamin E menentukan posisi senyawa tersebut dalam membran dimana cincin chroman tertanam dalam membran. Hal tersebut menentukan efisiensi vitamin E sebagai antioksidan selain penting dalam regenerasi radikal tokoferol oleh vitamin C. Alfa tokoferol diketahui berperan utama dalam mencegah terjadinya reaksi oksidasi lipid LDL dan merupakan penangkap radikal peroksil terbaik. Dalam studi in vitro diketahui tokotrienol lebih efektif menghambat proses oksidasi LDL dibandingkan dengan tokoferol. Namun secara in vivo pada tikus, α-tokotrienol dan α-tokoferol, tokoferol dan γ-tokotrienol, memiliki aktivitas yang hampir sama meskipun lebih rendah sedikit dibandingkan bentuk alfa (Papas2 1999c).

Dalam sistem pertahanan antioksidan tubuh, vitamin E bertindak sebagai pertahanan pertama atau preventive antioxidant dan juga sebagai pertahanan kedua atau radical scavenging antioxidant. Dalam pertahanan pertama vitamin E bekerja dengan cara meredam (quenching) singlet oksigen, sementara pada pertahanan kedua senyawa ini berperan dalam mencegah oksidasi lipid (Noguchi & Niki 1999). Papas (1999c) menambahkan selain memerangkap singlet oksigen, tokoferol dan tokotrienol memerangkap radikal bebas dan spesies reaktif lainnya seperti senyawa nitrogen reaktif (RNS). Di dalam tubuh RNS tebentuk akibat reaksi antara nitrogen oksida (NO) dengan

oksigen. Reaksi α-tokoferol dan NO2 menghasilkan agen nitrosating namun hal serupa tidak terjadi

pada γ-tokoferol. Senyawa γ-tokoferol akan mereduksi NO2 menjadi NO atau bereaksi dengan NO2 tanpa terbentuknya agen nitrosating. Kemampuan unik dari γ-tokoferol ini mungkin disebabkan oleh jumlah dan letak dari gugus metil pada cincin chroman yang penting dalam mencegah karsinogenesis, arthritis,dan penyakit syaraf karena agen nitrosating dapat menyebabkan deaminasi basa DNA. Deaminasi ini menyebabkan mutasi atau mengganggu fungsi fisiologi dan sistem imun.

Sisi aktif vitamin E, baik tokoferol maupun tokotrienol adalah grup 6-hidroksil pada cincin chroman. Jika teresterifikasi grup tersebut tidak aktif. Dengan alasan inilah dalam makanan penggunaan vitamin E sebagai antioksidan harus dalam keadaan tidak teresterifikasi. Di dalam sistem pencernaan, ester pada cincin chroman dihidrolisis oleh lipase dan diserap dalam bentuk tokoferol bebas, sehingga tokoferol dan tokotrienol di dalam darah berbentuk bebas/tidak teresterifikasi (Papas 1999). Rota et al. (2005) menambahkan aktivitas antioksidan vitamin E didapatkan melalui grup hidroksil fenolik, yang siap mendonorkan hidrogen ke radikal peroksil menjadi radikal bebas yang tidak reaktif karena elektron yang tidak berpasangan distabilkan melalui delokalisasi pada cincin aromatik. Efisiensi dari perlindungan ini tergantung dari dua hal. Pertama adalah mobilitas molekul di dalam membran yang ditentukan oleh cincin alifatik. Kedua adalah jumlah dari gugus metil dalam cincin chroman, dimana setiap gugus metil menambah kapasitas antioksidan. Gugus metil adalah faktor yang penting untuk grup hidroksil. suatu α-homolog yang memiliki jumlah gugus metil yang besar dan mengapit gugus hidroksil lebih efektif dibandingkan dengan homolog lainnya.

Selain komponen yang telah disebutkan di atas, peningkatan antioksidan plasma juga dapat berasal dari komponen makanan lain yang dikonsumsi responden. Makanan dapat membawa senyawa yang memiliki aktivitas sebagai antioksidan seperti vitamin C, Flavonoid, komponen fenol dan komponen lainnya.

Faktor lain yang menyebabkan peningkatan konsentrasi antioksidan total plasma responden diduga adalah meningkatnya produksi antioksidan endogenus. Garrison et al. (2005) menyebutkan di dalam plasma juga terdapat antioksidan endogenus seperti copper, zinc superoxide dismutase atau lebih dikenal SOD3 yang merupakan enzim antioksidan utama dalam dinding pembuluh darah. Subjek yang sehat memiliki kandungan SOD3 10 hingga 15 kali lebih banyak. Kandungan SOD3 dipengaruhi oleh banyak faktor diantara adalah gaya hidup seperti merokok. Selanjutnya antioksidan endogenus dalam plasma adalah GSTM1 atau glutathione-S-transferase suatu enzim antioksidan yang penting dalam detoksifikasi DNA adduct. Selain kedua enzim antioksidan tersebut juga terdapat endothelial nitric oxide synthase atau eNOS/NOS3. NOS3 memainkan peranan yang penting dalam kesehatan pembuluh darah karena menekan terbentuknya platelet.

Antioksidan di dalam tubuh berfungsi tidak terpisah antara satu dan lainnya, tetapi merupakan bagian dari suatu sistem yang saling bebas, menambahkan atau bekerja sama dengan komponen antioksidan lain. Setiap komponen antioksidan berinteraksi untuk menjaga status antioksidan. Sebagai contoh ketika terjadi oksidasi pada membran lipid maka akan menghasilkan vitamin E yang teroksidasi. Vitamin E yang teroksidasi diperbaiki kembali oleh asam askorbat menghasilkan dehidroaskorbat yang teroksidasi. Selanjutnya asam askorbat yang teroksidasi diperbaiki ole glutation, yang ada akhirnya glutation teroksidasi diperbaiki oleh glutation reduktase (Grimble 2005; Papas 1999b).

(18)

54

2. Kapasitas Antioksidan Eritrosit

Sel darah merah atau eritrosit merupakan bagian penting dari sistem sirkulasi atau peredaran. Sel ini memiliki tanggung jawab utama sebagai pengangkut molekul oksigen dan karbon dioksida, kemudian mengedarkannya ke jaringan tubuh atau membuangnya keluar tubuh. Seperti sel lainnya eritrosit diselubungi oleh membran fosfolipid bilayer yang tersusun atas lipid dan protein.

Eritrosit mudah mengalami oksidasi disebabkan oleh kandungan asam lemak tak jenuh yang tinggi. Senyawa oksigen reaktif yang terdapat pada plasma, sitosol, dan membrane sel dapat bereaksi dengan membrane eritrosit. Hal tersebut mempengaruhi integritas membran dan menyebabkan terjadinya oksidasi lipid dan protein, yang pada akhirnya menyebabkan terjadinya hemolisis (Delmas-Beauvieux et al. 1995). Kerusakan oksidatif pada eritrosit dapat dicegah oleh enzim seperti superoksida dismutase, katalase, dan glutation peroksidase yang terdapat pada eritrosit. Selain itu tersedianya vitamin E dan dan senyawa antioksidan lainnya di dalam plasma mengurangi terjadinya kerusakan oksidatif pada eritrosit (Kelle et al. 1999). Mengingat hal tersebut maka konsumsi bahan makanan kaya antioksidan diperlukan dalam menjaga stabilitas eritrosit terhadap kerusakan akibat radikal bebas.

Untuk mengetahui pengaruh Produk SawitA terhadap kapasitas antioksidan eritrosit maka dilakukan analisis kapasitas eritrosit dari 33 responden dari Desa Babakan, Sukadamai, dan Dramaga.

a.

Kapasitas antikosidan eritrosit Desa Babakan

Responden dari Desa Babakan berjumlah 11 orang. Kapasitas antioksidan sel darah merah responden Desa Babakan dapat dilihat pada Gambar 15. Berdasarkan gambar tersebut dapat dilihat bahwa terjadi peningkatan kapasitas antioksidan sel darah merah responden. Pada dasarnya kapasitas antioksidan responden sebelum mengkonsumsi Produk SawitA sudah tinggi. Sebelum mengkonsumsi Produk SawitA rata-rata kapasitas antioksidan sel darah merah adalah 39,09% dengan range 31,29-55,16%. Setelah mengkonsumsi Produk SawitA selama 2 bulan, rata-rata kapasitas antioksidan responden meningkat menjadi 52,10% dengan kapasitas antioksidan terkecil 43,23% dan terbesar 62,90%. Untuk melihat perbedaan kapasitas antioksidan sel darah responden sebelum dan sesudah mengkonsumsi Produk SawitA, maka dilakukan uji-t. Hasil uji-t menunjukkan bahwa peningkatan kapasitas antioksidan setelah mengkonsumsi Produk SawitA berbeda secara signifikan bila dibandingkan dengan kapasitas antioksidan sebelum konsumsi Produk SawitA (P= 0,000) pada taraf kepercayaan 95%. Hal ini menunjukkan bahwa konsumsi Produk SawitA memberikan pengaruh positif terhadap kapasitas antioksidan sel darah merah.

Sebelum Sesudah

Rataan±SD 39,09±7,60 52,90±6,89

Minimum-maksimum 31,29-55,16 43,23-62,90

Gambar 15. Kapasitas antioksidan eritrosit responden Desa Babakan

b.

Kapasitas antikosidan eritrosit Desa Sukadamai

0,00 10,00 20,00 30,00 40,00 50,00 60,00 70,00 P 1A P1B P 1C P 1D P1E PIF P 1G P 1H P1I P1J P 1K K ap as itas an ti o k si d an (% ) Responden sebelum intervensi setelah intervensi

(19)

55 Gambar 16 menggambarkan kapasitas antioksidan sel darah merah responden Desa Sukadamai yang berjumlah 11 orang. Gambar tersebut menunjukkan bahwa terjadi peningktan kapasitas antioksidan sel darah merah sebelum mengkonsumsi Produk SawitA. Sebelum mengkonsumsi Produk SawitA, rata-rata kapasitas antioksidan responden adalah 31,64%. Setelah mengkonsumsi Produk SawitA, rata-rata kapasitas antioksidan tersebut meningkat menjadi 39,03%. Peningkatan juga terjadi pada kapasitas antioksidan minimum responden dari 27,42% sebelum mengkonsumsi Produk SawitA, menjadi 32,26% setelah mengkonsumsi Produk SawitA. Begitupun dengan kapasitas antioksidan responden meningkat dari 37,10 % menjadi 46,13%. Untuk melihat tingkat signifikansi kapasitas antioksidan sebelum dan sesudah mengkonsumsi Produk SawitA, maka dilakukan uji-t. Hasil uji-t menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan kapasitas antioksidan sebelum dan sesudah mengkonsumsi Produk SawitA (P = 0,000) pada α=5%. Hasil tersebut menunjukkan bahwa konsumsi Produk SawitA memberikan pengaruh positif terhadap kapasitas antioksidan sel darah merah responden Desa Sukadamai. Bila dibandingkan dengan kedua desa lainnya, rata-rata kapasitas antioksidan setelah konsumsi Produk SawitA di Desa Sukadamai menduduki urutan terkecil setelah Desa Dramaga. Hal tersebut dipengaruhi oleh banyak faktor seperti jenis makanan yang berbeda dan perbedaan jumlah konsumsi Produk SawitA harian responden.

Sebelum Sesudah

Rataan±SD 31,64±3,52 39,03±4,21

Minimum-maksimum 27,42-37,10 32,26-46,13

Gambar 16. Kapasitas antioksidan eritrosit responden Desa Sukadamai

c.

Kapasitas antikosidan eritrosit Desa Dramaga

Kapasitas antioksidan sel darah merah responden Desa Dramaga tertera pada Gambar 17. Gambar tersebut menunjukkan bahwa terjadi peningkatan kapasitas antioksidan sel darah merah setelah mengkonsumsi Produk SawitA. Sebelum mengkonsumsi Produk SawitA kapasitas antioksidan terendah yaitu 28,39%, sementara kapasitas antioksidan tertinggi adalah 44,19% dengan rata-rata 34,75%. Setelah mengkonsumsi Produk SawitA terjadi peningkatan rata-rata kapasitas antioksidan menjadi 47,15%. Berdasarkan uji-t diperoleh bahwa terdapat perbedaan yang signifikan kapasitas antioksidan responden desa Dramaga sebelum dan sesudah konsumsi Produk SawitA (P = 0,000) pada taraf kepercayaan 95%. Hal ini menunjukkan bahwa konsumsi Produk SawitA memberikan pengaruh yang positif terhadap kapasitas antioksidan sel darah merah responden Desa Dramaga.

0,00 5,00 10,00 15,00 20,00 25,00 30,00 35,00 40,00 45,00 50,00 MS1 MS3 MS4 MS5 MS7 MS8 MS9 NS1 NS2 NS3 NS4 K ap as itas an ti o k si d an (% ) Responden sebelum intervensi setelah intervensi

(20)

56

Sebelum Sesudah

Rataan±SD 34,75±5,48 47,15±9,57

Minimum-maksimum 28,39-44,19 30,00-58,39

Gambar 17. Kapasitas antioksidan eritrosit responden Desa Dramaga

d.

Keterkaitan mengkonsumsi Produk SawitA terhadap peningkatan

kapasitas antioksidan eritrosit

Berdasarkan hasil penelitian pengukuran kapasitas antioksidan sel darah merah responden dari tiga desa yang telah disebutkan sebelumnya, maka dapat dilihat bahwa terjadi kenaikan kapasitas antioksidan sel darah merah responden sesudah mengkonsumsi Produk SawitA. Secara kesuruhan rata-rata kapasitas antioksidan eritrosit responden meningkat dari 35,16% sebelum mengkonsumsi Produk SawitA menjadi 46,36% setelah mengkonsumsi Produk SawitAA. Hasil uji-t menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan kapasitas antioksidan sel darah marah merah responden sebelum dan sesudah mengkonsumsi sawtA pada taraf kepercayaan 95% (P =0,000). Hal ini menunjukkan bahwa mengkonsumsi Produk SawitA memberikan pengaruh positif terhadap kapasitas antioksidan eritrosit responden.

Peningkatan kapasitas antioksidan eritrosit responden setelah mengkonsumsi Produk SawitA diduga karena pengaruh aktivitas antioksidan Produk SawitA. Aktivitas antioksidan tersebut berasal dari tingginya kandungan komponen antioksidan Produk SawitA yang telah dijelaskan sebelumnya. Komponen antioksidan yang dimaksud adalah senyawa karotenoid seperti likopen, β-karoten dan vitamin E yang tinggi pada Produk SawitA. Vitamin E dan β-karoten merupakan antioksidan yang tertanam di dalam membran sel yang berfungsi untuk mencegah oksidasi lipid membran (Noguchi & Niki 1999).

Selain dari Produk SawitA kapasitas antioksidan eritrosit responden juga mungkin berasal dari makanan lain yang dikonsumsi sehari-hari. Ardiansyah (2007) mengemukakan bahwa antioksidan di dalam makanan dapat berasal dari senyawa antioksidan yang sudah ada dari satu atau lebih komponen makanan, senyawa antioksidan yang terbentuk selama pengolahan, dan senyawa antioksidan yang berasal dari bahan tambahan pangan. Hasil penelitian Amri (2007) menunjukkan bahwa responden yang mendapatkan kakao bebas lemak dapat meningkatkan aktivitas antioksidan eritrosit bila dibandingkan dengan sebelum konsumsi.

Selanjutnya kapasitas antioksidan eritrosit diduga berasal dari antioksidan endogenus. Eritrosit mengandung asam lemak tak jenuh dengan konsentrasi yang tinggi, oksigen molekuler, dan ion besi sebagai ligan, oleh sebab itu sangat mudah terjadi stres oksidatif pada sel eritrosit (Zhu et al. 2005). Hal tersebut mempengaruhi integritas membran dan menyebabkan oksidasi lipid dan protein, yang pada akhirnya menyebabkan hemolisis (Delmas-Beauviuex et al. 1995). Namun sel ini memiliki sistem antioksidan efisien yang menyumbangkan ketahanan yang luar biasa terhadap peroksidasi ketika radikal diproduksi di dalam sel. Kerusakan sel eritrosit dapat dicegah oleh antioksidan superoksida dismutase, katalase, dan glutation peroksidase yang terpadap pada eritrosit seperti yang dikemukan oleh Kelle et al. (1999). Hal tersebut juga diperkuat oleh Garrison (2005) yang menambahkan selain terdapat CuZn SOD, di dalam eritrosit juga terdapat glutathione-S-transferase theta atau GSTT1 dan juga katalase atau CAT.

0,00 10,00 20,00 30,00 40,00 50,00 60,00 70,00 P 2A P2B P 2C P 2D P2E P 2F P 2G P 2H P2I P2J P2K K ap as itas an ti o k si d an (% ) Responden sebelum intervensi setelah intervensi

Gambar

Tabel 21. Sebaran responden berdasarkan pendapatan per kapita per bulan  Kategori pendapatan
Tabel 22. Sebaran besar keluarga responden
Tabel  25  menjelaskan  jenis  masakan  yang  biasanya  dihidangkan  dalam  keluarga  responden
Tabel 27. Penerimaan atribut rasa, aroma, warna, dan overall  setelah mengkonsumsi Produk SawitA   ( jumlah ibu = 64, anak = 11)
+3

Referensi

Dokumen terkait

47 Tahun 1997 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional dapat menjadi dasar kebijaksanaan dalam upaya menjaga pemanfaatan dan pengelolaan danau dan waduk yang tetap

Pengertian aktiva tetap Standar Akuntansi Keuangan adalah: aktiva berwujud yang diperoleh dalam bentuk siap pakai atau dengan dibangun lebih dahulu, yang digunakan dalam

Yuda Permana selaku residen bagian Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin untuk pemeriksaan klinis penelitian ini serta dukungan yang berarti kepada saya selama penyusunan Karya Tulis

(Contoh materi ajar terlampir). Metode pembelajaran tidak sesuai dengan materi yang akan diajarkan. Pada rencana pelaksanaan pembelajaran yang dibuat oleh guru, metode yang

Puji syukur kehadirat Allah SWT penulis panjatkan karena atas rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan laporan Tugas Akhir yang berjudul “Rancang

Adapun tujuan penelitian ialah: untuk merancang purwarupa Trash Skimmer Boat, untuk mendapatkan ukuran utama dari Trash Skimmer Boat yang handal dalam pembersihan sampah

Jika digabungkan dengan hasil uji statistika paired-t untuk utilitas maka diperoleh kesimpulan bahwa sistem alternatif kedua yang terbaik dikarenakan sistem alternatif pertama

Kotler dan Keller (2009: 5) menyatakan bahwa manajemen pemasaran sebagai ilmu dan seni memilih pasar sasaran dan meraih, mempertahankan, serta menumbuhkan