KEBUTUHAN BURUH/PEKERJA DI INDONESIA DALAM MEMENUHI UPAH MINIMUM
Ade Iskandar, SIP, M.Si
Abstract
ABSTRAK
Living Needs (KHL) is a standard requirement that must be met by a worker / laborer can live decentsingle for both physical and non physical andsocial, to the needs of 1 (one) month. Living Needs(KHL) as the basis in setting the minimum wage is also an increase of the minimum living needs
Keywords : minimum wages, decent living needs, the standardneeds
1. Pendahuluan
Spektrum persoalan ketenagakerjaan, yakni persoalan yang berkaitan dengan upah dan derivatnya bukanlah merupakan persoalan yang ringan, fakta di lapangan selama ini menunjukkan, isu upah buruh mendominasi polemik ketenagakerjaan.
Isyu upah buruh tidak hanya berkembang sejak orde reformasi berkuasa; dimana segala akses informasi terbuka, segala ketidakpuasan bisa dilontarkan lewat aksi jalanan, akan tetapi sudah sejak dekade 1980 an, di era rezim orde baru, sebuah penolakan yang dipertontonkan secara terbuka, apalagi sampai turun ke jalan merupakan aib bagi pemerintah yang pada waktu itu mencanangkan stabilitas, sehingga layak untuk ditumpas; sebab dapat merusak tatanan ekonomi dan memperlambat pertumbuhan ekonomi.
Kondisi kehidupan minim yang terus menerus dialami buruh, tidak terlepas dari politik pengupahan yang diberlakukan sejak orde baru. Tingkat upah buruh ditentukan bukan oleh hukum permintaan-penawaran tenaga kerja di pasar, melain oleh sebuah lembaga yang bernama Dewan Penelitian
Pengupahan Nasional (DPPN), dan selanjutnya dibentuk pula Dewan Penelitian Pengupahan Daerah (DPPD) sejak tahun 1969. Keanggotaan Dewan meliputi sebagian besar dari pemerintah (Depnakertran), Perguruan Tinggi, unsur Serikat Buruh dan unsur APINDO (Asosiasi Pengusaha Indonesia). Dewan Penelitian Pengupahan Nasional (DPPN) berkedudukan dibawah Depnaker, sedangkan Dewan Penelitian Pengupahan Daerah (DPPD) dibawah Gubernur kepala daerah.
Upah minimum adalah wujud politik pengupahan, patokan upah buruh sangat signifikan untuk ditetapkan, mengingat negara menjadikan tingkat upah buruh rendah sebagai keunggulan komparatif (Comparative Advantage) dalam menarik investasi asing.
Masih banyak perusahaan yang beranggapan bahwa pelaksanaan upah pekerja hanya sebatas kewajiban normatif, walaupun sebenarnya perusahaan mampu membayar lebih. Kebijaksanaan yang bersifat ambivalen antara kepentingan meningkatkan kesejahteraan pekerja dan menarik investasi untuk pembangunan ekonomi merupakan dilema yang seringkali mengorbankan kepentingan pekerja demi kelangsungan pembangunan. (Rudiono, 1992 : 61).
Masalah lain dalam Upah Minimum adalah kriteria untuk menetapkan besarnya upah minimum, ditetapkan berdasarkan pertimbangan, yaitu :
1. Kebutuhan dasar pekerja dengan keluarga.
2. Tingkat upah pada sektor-sektor industri dan usaha-usaha lainnya. 3. Keadaan perekonomian umumnya dan perusahaan, khususnya yang
dikaitkan dengan pembangunan daerah dan pembangunan nasional. 4. Kemampuan perusahaan di sektor yang bersangkutan (Muryati, 1994 :
216-217; Tjiptohariyanto, 1994 : 226-227).
2. Pembahasan
Upah mempunyai kedudukan yang strategis, baik bagi pemerintah, pengusaha dan diri pekerja dengan keluarganya serta kepentingan nasional secara luas (Murwati, 1994:213).
Bagi pemerintah, upah merupakan sarana pemerataan pendapatan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Oleh karena itu, keseimbangan
upah untuk pemenuhan kebutuhan hidup minimum pekerja dengan kemajuan perusahaan menjadi hal penting. Sebab upaya untuk pemerataan pendapatan dan kesejahteraan melalui peningkatan produktivitas kerja dan kemajuan perusahaan merupakan salah satu kegiatan untuk menanggulangi kemiskinan.
Bagi penguasa upah mempengaruhi biaya produksi dan tingkat harga yang pada gilirannya berakibat pada pertumbuhan produksi serta perluasan dan pemerataan kesempatan kerja. Semakin tinggi upah yang dikeluarkan semakin tinggi pula biaya produksi. Dengan demikian akan meningkatkan pula harga jual produk yang dihasilkan yang akhirnya mempengaruhi daya saing perusahaan di pasar serta pertumbuhan produktivitas. Rendahnya daya saing maupun rendahnya produktivitas perusahaan akan kembali menentukan besar kecilnya kesempatan kerja yang dapat disediakan oleh pasar kerja.
Bagi pekerja, upah merupakan salah satu instrumen yang langsung dapat meningkatkan kesejahteraan diri dan keluarganya. Tinggi rendahnya upah yang diterima pekerja, berpengaruh langsung terhadap perubahan kesejahteraan hidup yang dialami oleh pekerja. Apa yang mendorong mereka bergairah dan bekerja secara efektif. Sudah sejak lama diutarakan oleh Sukiyat (1997) yaitu adanya upah yang sesuai dengan keadaan dan diukur dari kecakapan dan keterampilan tenaga kerja.
Melihat kepentingan yang berbeda di antara mereka yang terlibat dalam kebijakan upah, maka tidaklah mengherankan bahwa kebijakan pengupahan merupakan hasil tawar menawar kepentingan dari pemerintah, pengusaha dan pekerja yang menerima langsung kenaikan upah.
Menurut Peraturan Pemerintah No.8/1981 pasal 1, yang dimaksud upah adalah penerimaan sebagai imbalan dari pengusaha kepada karyawan untuk suatu pekerjaan atau jasa yang telah atau akan dilakukan, dan dinyatakan atau dinilai dalam bentuk uang yang ditetapkan atas dasar suatu persetujuan atau peraturan perundang-undangan, serta dibayarkan atas dasar suatu perjanjian kerja antara pengusaha dengan karyawan, termasuk tunjangan, baik untuk karyawan itu sendiri maupun untuk keluarganya.
Secara ekonomi upah adalah harga atau balas jasa atas prestasi tenaga kerja. Pekerja merupakan salah satu faktor produksi dan seperti juga
dalam teori tentang harga, maka harga pekerja antara lain dalam bentuk upah. Hal ini merupakan interaksi dari kekuatan-kekuatan permintaan dan penawaran. Permintaan tenaga kerja oleh pengusaha dimaksudkan untuk meningkatkan keuntungan. Adanya peningkatan upah disebabkan oleh permintaan hasil produksi bersamaan dengan naikknya permintaan akan tenaga kerja.
Menurut Karta Saputra dkk (1986 : 34) :
Upah itu merupakan pembelian jasa yang dikerahkan tenaga kerja untuk kepentingan pengusaha, mulai dari waktu yang ditentukan oleh pengusaha untuk adanya pekerja itu pada suatu tempat kerja sampai waktu yang ditentukan untuk berakhirnya pekerjaan tersebut.
Hal tersebut dinamakan pembelian jasa, karena memang dari kenyataan yang terlibat, seperti : (1) sebelum terjadinya perjanjian kerja, seakan-akan dilakukan tawar-menawar samai terwujud kesepakatan dimana pekerja mau menjalankan suatu pekerjaan dengan jumlah upah yang disepakati. (2) Kemungkinan akan diperhitungkan oleh pengusaha, beberapa hari pekerja itu mangkir, sejumlah hari itu pula akan dilakukan pemotongan upah. (3) Tidak ada upah yang dibayar untuk waktu pekerja yang tidak melakukan pekerjaan yang dijanjikan, kecuali kalau benar-benar pekerja itu sakit (pasal 1602-b KUHS). (4) Dalam hal pekerja dirugikan, misalnya upah tidak diberikan pada waktu yang telah dijanjikan/ ditetapkan, atau upah tidak sesuai dengan perjanjian maka pekerja yang bersangkutan dapat melakukan tuntutan (Peraturan Pemerintah No.8 Tahun 1981, pasal 31, 32 tentang perlindungan upah).
Dalam menentukan besarnya upah minimum pada setiap negara berbeda-beda formulanya. Namun demikian menurut International Labor Organization (ILO, 1970 : 65-70), ada tiga komponen yang harus diperhatikan, yaitu : (1) kebutuhan dasar hidup pekerja dan sekeluarganya, (2) kemampuan membayar pengusaha, (3) upah yang dibayar untuk kerja sebanding pada sektor ekonomi dan tempat berlainan. Di samping ketiga faktor tersebut, adanya perubahan biaya hidup dan perubahan produktivitas akan mempengaruhi upah minimum.
Perspektif dari KHL selalu menunjukkan bahwa peningkatan upah tidak menggambarkan dengan kemampuan daya belinya, maka metode GPID mungkin dapat dijadikan alternatif upah minimum. Hal ini tentunya berdasarkan atas tujuan utama dalam menentukan upah minimal yaitu :
a. Menonjolkan arti dan peranan yang penting dari tenaga kerja sebagai sub-sistem yang kreatif dalam suatu sistem kerja.
b. Melindungi para pekerja agar tidak terjadi pengupahan yang sangat rendah dan secara material keadaanya kurang memuaskan.
c. Mendorong kemungkinan diberikan upah yang sesuai dengan nilai pekerjaan yang dilakukan oleh para pekerja.
d. Mengusahakan agar dalam organisasi kerja atau perusahaan terjamin adanya ketenangan atau kedamaian, tidak terjadi kemacetan karena adanya gangguan yang diperbuat oleh tenaga kerja sehubungan dengan tuntutan perbaikan upah.
e. Mengusahakan adanya dorongan bagi peningkatan dalam standar hidup secara normal. (Kartasaputra, dkk, 1986 : 40-41). Masalah perupahan merupakan masalah yang paling rawan dalam hubungan kerja, karena masalah upah bukan sekedar berapa besar upah yang harus diberikan, tetapi masalah hak dan kewajiban seseorang. Apabila sebuah sistem perupahan telah ditetapkan dalam sebuah perusahaan, maka sistem tersebut harus menjamin dua kepentingan yaitu kepentingan perusahaan dan kepentingan pekerja. Disatu pihak perusahaan harus menjamin kelancaran operasi-operasinya, kelangsungan hidupnya, bahkan kelangsungan perkembangan perusahaan. Upah menurut pengusaha adalah biaya yang harus dikeluarkan/dibayarkan kepada pekerja dan diperhitungkan dalam penentuan biaya total. Disisi lain pekerja harus dipenuhi hak-haknya agar mereka bergairah dalam melakukan pekerjaan, sehingga dapat meningkatkan produktivitasnya kerjanya.
Banyak sistem upah yang dapat digunakan oleh perusahaan dalam memberikan upah kerja, tetapi secara garis besar ada dua sistem pengupahan yang lazim digunakan oleh Catter dan Marshall (1967 : 226) perlu menetapkan hal-hal sebagai berikut :
2. Base rate per unit of output
In the former case, time spent of the job is determinant of labour's earning, in the latter case the number of unit produced during a given period of time determines earnings.
Dalam sistem upah waktu (time rate wage) pada dasarnya penghargaan diberikan sesuai jumlah waktu yang digunakan. Jadi pekerja tidak dibayar atas dasar output fisik produk yang dihasilkan. Ronald dan Smith (1994 : 150) menjelaskan "... if worker are paid on a time basis the employer accept the risk of variation in their productivity ". Secara matematis upah atas dasar waktu dapat dirumuskan sebagai berikut:
y = yo + W (H) H, dimana y = penghasilan tenaga kerja pada periode tertentu.
y = penghasilan minimal tenaga kerja pada saat pekerjaan tidak dilakukan. W (H) H = besarnya upah per satuan waktu secara grafis dapat digambarkan sebagai berikut :
Upah Y1= Yo1+ W1 (H) H Y = Yo + W1 (H) H
Waktu (jam kerja)
Gambar 1 : Hubungan antara waktu dan besarnya upah yang diterima menurut Sistem Time Rate Wage
Sumber : Ling Yu (1992), The Economic of Works Effort and Alternative Wage Payment System
Dalam sistem upah atas dasar waktu, apabila perusahaan tidak melakukan operasi atau produksi terhenti, misalnya akibat kelangkaan
bahan baku, maka pekerja tetap mendapat upah besar Yo yang disebut sebagai Guaranteed Minimum Wage (Jaminan Upah Minimal), sehingga terhindar dari resiko tidak menerima upah. Menurut Kartasaputra (1986 : 60 - 61) sistem tersebut paling banyak digunakan, karena :
a. Mudahnya upah yang dibayarkan, karena sejak semula telah ditentukan
b. Memberi jaminan kepada pekerja, karena upah tidak tergantung pada faktor efisiensi kerja.
c. Keterampilan pekerja relatif mudah ditingkatkan, ditinjau dari segi waktu kerja yang tidak terlalu diburu waktu.
Namun demikian sistem ini mengandung kelemahan/ kerugian akibat hal-hal sebagai berikut:
a. Kemungkinan kerugian karena upah tidak dikaitkan dengan hasil nyata
produksi.
b. Diperlukan pengawasan yang intensif untuk menjaga stabilitas produksi.
c. Sistem ini cenderung meningkatkan inputs (biaya-biaya prosuksi).
d. Penerapan sistem ini pada pekerja yang santai/ malas akan merugikan perusahaan.
e. Secara psikologis penerapan sistem ini dapat mempengaruhi pekerja yang giat menjadi kurang termotivasi bila bekerja dengan pekerja yang malas. (Kartasaputra, 1986 : 60 - 61)
Upah borongan (piece rate wage) adalah sistem upah yang dilakukan oleh perusahaan kepada pekerjanya menurut jumlah output fisik yang dihasilkan oleh setiap pekerjanya. Dalam sistem ini pengusaha akan terhindar dari resiko pembayaran upah yang lebih tinggi dari tingkat produktivitas pekerjanya. Dalam praktek upah borongan biasanya memberikan insentif atau rangsangan bagi pekerja untuk bekerja lebih giat, risiko bagi pengusaha adalah bahwa akibat mengejar target jumlah output fisik maka pekerja akan bekerja atas dasar kuantitas sehingga dapat menurunkan kualitas produknya. Secara matematis sistem upah borongan dapat dirumuskan sebagai berikut:
Y = Yo + B (Z) Z Dimana :
Y = penghasilan pekerja
Yo = upah minimal tenaga kerja
B (Z) Z = upah yang diterima sesuai dengan output yang dihasilkan. Secara grafis dapat disajikan sebagai gambar berikut:
Upah
Y = Yo + B (Z) Z
Output
Gambar 2 : Hubungan antara output yang dihasilkan dengan besarnya upah yang diterima menurut sistem borongan
Sumber : Ling Yu (1992), The Economic of Works Effort and Alternative Wage Payment System
Para pekerja dengan sifat pekerjaan yang berulang-ulang lebih mengharapkan diberlakukannya sistem ini karena dapat memberikan kesempatan kepada mereka untuk meningkatkan pendapatan melalui akumulasi dan pengetahuan tentang pekerjaan.
Ada beberapa alasan sistem tarif borongan ini diterapkan :
a. Mudah dalam pelaksanaannya dan pekerjaan serta perhitungan upahnya.
b. Para pekerja dapat dirangsang untuk meningkatkan produksi, sehingga dengan demikian dapat mengurangi overhead per unit produksi dan disamping itu keuntungan lainnya kemungkinan penurunan harga sehingga dapat lebih banyak meningkatkan daya beli.
c. Dapat memberikan jaminan hubungan kerja yang baik antara pekerja dan pengusaha.
d. Memungkinkan dengan mudah mengetahui biaya pekerjaan setiap unit pekerjaan.
e. Pekerja terjamin dengan pembayaran upahnya sesuai dengan jasa yang telah dikeluarkan.
f. Waktu kerja dapat dimanfaatkan secara maksimal, sehingga tidak ada waktu terbuang seperti dalam time day rate.
g. Tidak diperlukan pengawasan yang ketat, karena pekerja dapat berpedoman kepada kemampuan individu secara bertanggung jawab.
h. Dengan sistem borongan ini produksi dapat meningkat dan dikembangkan, para pekerja akan selalu berusaha untuk menghindarkan terjadinya kerusakan atau cacat baik pada bahan maupun sarana produksi, mislanya terhadap mesin sehingga dapat diciptakan kondisi kerja yang optimal. (Kartasaputra, dan Setiadi, 1986 : 63-64).
3. Penutup
Upah mempunyai peran yang strategis, karena upah merupakan salah unsur kesejahteraan disamping jaminan sosial, fasilitas dan pemberian lainnya. Sejalan dengan komitmen Pemerintah dalam upaya pengentasan kemiskinan dan pengurangan pengangguran, maka kebijakan penetapan Upah Minimum merupakan jaring pengaman sosial sebagai upaya perlindungan agar upah tidak merosot sampai tingkat yang membahayakan gizi dan kesehatan pekerja.
Sebagai perintah dari pasal 89 ayat (4) Undang-Undang No. 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan, maka telah ditetapkan Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. PER-17/MEN/VIII/2005
tanggal 26 Agustus 2005 tentang Komponen dan Pelaksanaan Tahapan Pencapaian Kebutuhan Hidup Layak (KHL) yang merupakan salah satu pertimbangan dalam penetapan upah minimum yang dimukai tahun 2006, yaitu :
1. Beras
Kualitas beras sedang adalah jenis beras yang biasa di konsumsi oleh masyarakat setempat.
2. Sumber protein :
(a). Daging yang dipilih adalah daging sapi atau daging kerbau atau daging kambing atau daging ayam dengan kualitas di atas daging tetelan.
(b). Ikan segar adalah ikan air tawar atau ikan laut yang biasa dikonsumsi masyarakat yang mudah didapat dan banyak dijual di pasar tradisional, misalnya mujair, mas, lele, bandeng, kembung, selar, tongkol dan lain-lain sebagainya.
(c). Telor ayam adalah telor ayam ras. 3. Kacang-kacangan
Kacang-kacangan adalah sejenis kacang yang biasa dikonsumsi oleh masyarakat setempat termasuk hasil olahan, seperti tahu dan tempe. Satuan harga dapat berupa harga per potong, perbungkus, per satuan berat (gram), liter.
4. Susu Bubuk
Susu bubuk adalah yang biasa di konsumsi oleh masyarakat pada umumnya. Jika di daerah setempat jarang ditemukan susu bubuk, dapat diganti dengan susu cair yang setara.
5. Gula
Gula adalah gula pasir yang biasa dikonsumsi oleh masyarakat setempat.
6. Minyak goreng
Minyak goreng adalah minyak curah yang biasa dikonsumsi oleh masyarakat setempat. Harga satuan dapat dalam bentuk kg atau liter. 7. Sayur-sayuran
Sayuran yang mudah didapat dan biasa dikonsumsi oleh masyarakat setempat, seperti bayam, kangkung, kol, kacang panjang, sawi dan lain-lain. Penetapan satuan dapat per kg atau per ikat.
8. Buah-buahan
Buah-buahan setara pisang dan pepaya adalah buah-buahan yang biasa dikonsumsi dan mudah didapat oleh masyarakat setempat seperti jeruk lokal, semangka, dll, dengan satuan per kg, per sisir atau per buah. 9. Sumber Karbohidrat
Sumber karbohidrat yang biasa dikonsumsi oleh masyarakat setempat dapat berupa mie instan atau mie kering, tepung terigu atau tepung beras dengan satuan per bungkus atau per kg.
10. Teh atau Kopi
Teh celup yang biasa dikonsumsi oleh masyarakat setempat. Dalam hal di suatu daerah tidak terdapat teh celup, dapat diganti dengan teh yang biasa digunakan di daerah setempat dengan jumlah kebutuhan yang setara atau kopi bubuk yang dijual dalam bentuk sachet yang biasa dikonsumsi oleh masyarakat setempat.
11. Bumbu-bumbuan
Harga bumbu-bumbuan tidak perlu disurvei, cukup mengacu pada total nilai komponen pangan, yaitu sebesar 15% dari nilai komponen pangan. 12. Celana panjang/ rok
Bahan setara katun yang biasa digunakan oleh masyarakat setempat. 13. Kemeja lengan pendek / Blus
Kemeja lengan pendek untuk pria dan blus untuk wanita, bahan yang biasa digunakan oleh masyarakat setempat.
14. Kaos Oblong /BH
Kaos oblong untuk kebutuhan pekerja pria, dan BH untuk pekerja wanita. Dipilih merek BH/ kaos oblong yang biasa digunakan dalam masyarakat setempat.
15. Celana Dalam
Terdiri dari celana dalam pria atau wanita dengan kualitas sedang yang biasa digunakan oleh masyarakat setempat.
16. Sarung / Kain Panjang
17. Sepatu
Sepatu dari bahan kulit sintetis untuk pria atau wanita yang biasa digunakan oleh masyarakat setempat.
18. Sandal Jepit
Sandal jepit yang terbuat dari bahan karet yang biasa digunakan oleh masyarakat setempat.
19. HandukMandi
Ukuran 100 cm x 60 cm yang biasa digunakan oleh masyarakat setempat.
20. Perlengkapan Ibadah
Harga satu set perlengkapan ibadah setara dengan mukena dan sajadah kualitas sedang yang biasa digunakan oleh masyarakat setempat.
21. SewaKamar
Harga sewa kamar sederhana yang biasa ditempati oleh satu orang pekerja/ buruh untuk satu bulan.
22. Dipan / Tempat tidur
Dipan ukuran No. 3 (90 cm x 200 cm) polos dan diplitur, terbuat dari bahan kayu yang biasa digunakan oleh masyarakat setempat.
23. Kasur dan Bantal
Kasur dan bantal terbuat dari bahan busa yang biasa digunakan oleh masyarakat setempat.
24. Seprei dan Sarung bantal
Seprei dan sarung bantal yang terbuat dari bahan katun yang biasa digunakan oleh masyarakat setempat.
25. Meja danKursi
Satu meja 4 kursi, terbuat dari bahan plastik atau bahan kayu yang biasa digunakan oleh masyarakat setempat.
26. Lemari pakaian
Terbuat dari kayu dengan kualitas sedang yang biasa digunakan oleh masyarakat setempat.
27. Sapu
Sapu adalah sapu ijuk atau bahan lain yang biasa digunakan oleh masyarakat setempat.
28. Perlengkapan makan :
(a). Piring makan
Piring makan polos terbuat dari kaca yang biasa digunakan oleh masyarakat setempat.
(b). Gelas minum
Gelas minum putih polos yang biasa digunakan oleh masyarakat setempat.
(c). Sendok dan Garpu
Dari bahan stainless yang biasa digunakan oleh masyarakat setempat.
29. Ceret Alumunium
Ceret alumunium ukuran diameter 25 cm yang biasa digunakan oleh masyarakat setempat.
30. Wajan Alumunium
Wajan alumunium ukuran diameter 32 yang biasa digunakan oleh masyarakat setempat.
31. Panci alumunium
Panci alumunium ukuran diameter 32 cm yang biasa digunakan masyarakat setempat.
32. Sendok masak
Sendok dari bahan alumunium yang biasa digunakan masyarakat setempat.
33. Kompor minyak
Kompor sumbu 16 yang biasa digunakan oleh masyarakat setempat. 34. Minyak tanah
Minyak tanah yang dijual secara eceran. 35. Ember plastik
Ember plastik dengan ukuran 20 liter yang biasa digunakan oleh masyarakat setempat.
36. Listrik
Listrik dengan daya 450 watt dengan 2 titik. 37. Bola lampu pijar / neon
Bola lampu pijar 25 watt atau Neon 15 watt. 38. AirBersih
Standar PAM, buaya rekening PAM untuk pemakaian 2 m kubik air. 39. Sabun cuci
Sabun cream atau deterjen yang pada umumnya dipakai di daerah setempat.
40. Bacaan/ Radio
Harga tabloid mingguan yang banyak beredar di daerah setempat atau harga radio 4 band dan yang biasa digunakan oleh masyarakat setempat. 41. Sarana
kesehatan (a). Pasta gigi
Produk lokal (tube 80 gram) yang biasa digunakan digunakan oleh masyarakat setempat.
(b). Sabun Mandi
Produk lokal (ukuran 80 gram) yang biasa digunakan digunakan oleh masyarakat setempat.
(c). Sikat gigi
Produk lokal yang biasa digunakan digunakan oleh masyarakat setempat.
(d). Shampo (ukuran 100 ml)
Produk lokal yang biasa digunakan digunakan oleh masyarakat setempat.
(e). Pembalut atau alat cukur
Pembalut dengan ukuran bungkus isi 10 atau satus et alat cukur yang biasa
digunakan oleh masyarakat setempat. 42. Obat anti nyamuk
Obat anti nyamuk bakar yang dijual dalam satuan dus dan yang biasa digunakan oleh masyarakat setempat.
43. Potongrambut
Untuk pria di tempat tukang cukur, dan untuk wanita di salon yang sederhana/kecil.
44. Transpor
Angkutan umum yang biasa digunakan di daerah setempat, dengan tarif satu kali jalan.
45. Rekreasi
Nilai rekreasi diukur dengan harga tiket satu kali masuk (bukan tiket terusan) ke arena tempat rekreasi/ hiburan.
46. Tabungan
Dihitung 2% dari total nilai jenis kebutuhan nomor 1 sampai dengan nomor 45.
.
Daftar Pustaka
Ardnt, H.W. 1989. Economic Development : The History of an Idea. Chichago The University of Chicago Press.
Baswir, Revrisond. 1995. Ekonomi Politik Kesenjangan, Konglomerasi dan Korupsi di Indonesia, Jogjakarta. PAAU. FE. UGM.
Bell, Daniel. 1973. The Coming Age of Post Industrial Society. New York. Basic Books.
Bellante, Don dan Mark Jackson. 1990. Ekonomi Ketenagakerjaan. Alih Bahasa WImanjaya K. Liotohe. Jakarta Lembaga Penerbitan U.I.
Catter, Allan M. & F. Ray Marshall. 1967. Labor Economic : Wages Employment and Trade Union. Illionis Richard D. Irwin Inc. Home wood.
Effendi, Tadjudin Noer. 1995. Sumber Daya Manusia Peluang Kerja Dan Kemiskinan. Jogyakarta. Tiara Wacana.
Hasibuan, Sayuti. 1996. Ekonomi Sumber Daya Manusia. Teori dan Kebijakan. Jakarta. LP3ES.
Kartasaputra, A. G. & Setiadi. 1986. Manajemen Perupahan Pada Perusahaan. Jakarta. Media Aksara.
Ling Yu. 1992. The Economic of Works Effort and Alternative Wage Payment System. Dalam H.M. Sidik Priadana : Faktor-faktor yang Mempengaruhi Produktivitas Tenaga Kerja Sebagai Dasar Dalam Penetapan Upah Pada Industri Tekstil. (Disertasi. Unpad. 1997).
Noer Effendi. Tadjudin. 1995. Sumber Daya Manusia Peluang Kerja Dan Kemiskinan. Jogya. Tiara Wacana.
Rahardja, M. Dawam. 1988. Esei Esei Ekonomi Politik. Jakarta. LP3ES. Rahardjo, Murwati B. 1994. "Upah Dan Kebutuhan Pekerja". Jakarta.
Analisa CSIS No. 3 Juni 1994.
Rudiono, Danu. 1992. "Kebijakan Perburhan Pasca Boom Minyak. Jakarta Prisma No. 1 Tahun XXI Januari 1992, LP3ES.
Sukiyat, 1997. Perburuhan Pancasila Mengangkat Nilai Kemanusiaan. Jakarta. Pustaka Cidesinalo.
Tjiptoheriyanto, Priyono. 1994. "Perkembangan Upah Minimum Dan Pasar Tenaga Kerja" Jakarta. Analisa CSIS. No. 3 Juni. 1994. CSIS. World Bank. 1996. Indonesian Dimensions of Growth. Report.
---,1997. UU Ketenagakerjaaan No. 13 Tahun 2003. Jakarta Sinar Grafika.
*) Penulis adalah Dosen Tetap STISIP Tasikmalaya Kopertis Wilayah IV Jawa Barat dan Banten.