• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Budaya Organisasi

2.2.1.1 Pengertian Budaya

Secara etimologis budaya atau culture berasal dari kata budi, yang diambil dari bahasa sangsekerta, artinya kekuatan budi atau akal, sehingga budaya diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan akal. Sedangkan Culture, bahasa Inggris, yang asalnya diambil dari bahasa latin, colere yang berarti mengolah dan mengerjakan tanah pertanian. Dari sini pengertian culture berkembang menjadi, segala upaya serta tindakan manusia untuk mengolah tanah dan merubah alam. (Razak, 2008: 152).

Secara terminologis, budaya berarti suatu hasil dari budi dan atau daya, cipta, karya, karsa, pikiran dan adat istiadat manusia yang secara sadar maupun tidak, dapat diterima sebagai suatu perilaku yang beradab. Budaya merupakan nilai- nilai dan kebiasaan yang diterima sebagai acuan bersama yang diikuti dan dihormati. Menurut Taylor seperti yang dikutip Achmad Sobirin (2007: 52), budaya adalah kompleksitas menyeluruh yang terdiri dari pengetahuan, keyakinan, seni, moral, hukum, adat kebiasaan dan berbagai kapabilitas lainnya serta kebiasaan apa saja yang diperoleh manusia sebagai bagian dari sebuah masyarakat. Menurut Stoner dalam Moeldjono (2003:16), budaya adalah gabungan kompleks asumsi, tingkah laku, cerita, mitos, metafora, dan berbagai ide lain yang menjadi satu untuk menentukan apa arti menjadi anggota masyarakat tertentu.

Pace dan Faules (2000: 90) menjabarkan tiga perspektif budaya secara luas mengenai budaya, yaitu:

(2)

mengenai berpikir, menggunakan perasaan dan berkreasi; 2. Perspektif variabel, yaitu terpusat pada pengekspresian budaya;

3. Perspektif kognitif, yaitu memberi penekanan pada gagasan konsep, cetak biru, keyakinan, nilai-nilai, dan norma-norma, “pengetahuan yang diorganisasikan” yang ada dalam pikiran orang-orang untuk memahami realitas.

2.2.1.2 Pengertian Organisasi

Secara etimologis kata organisasi berasal dari bahasa Yunani organon yang berarti alat. Kata ini masuk ke bahasa Latin, menjadi organization dan kemudian ke bahasa Prancis (abad ke-14) menjadi organisation. Organon terdiri dari bagian- bagian yang tersusun dan terkoordinasi hingga mampu menjalankan fungsi tertentu secara dinamis. Karakteristik utama organisasi dapat diringkas sebagai 3-P, yaitu Purpose, People, dan Plan. Sesuatu tidak disebut organisasi bila tidak memiliki tujuan (purpose), anggota (People), dan rencana (Plan). Dalam aspek rencana terkandung semua cirri lainnya, seperti sistem, struktur, desain, strategi, dan proses, yang seluruhnya dirancang untuk menggerakkan unsure manusia (people) dalam mencapai berbagai tujuan yang telah ditetapkan (Kusdi, 2009: 4). Jadi, organisasi adalah kesatuan (Entity) sosial yang dikoordinasikan secara sadar dengan sebuah batasan yang relatif dapat diidentifikasikan, yang bekerja atas dasar yang relatif terus-menerus untuk mencapai suatu tujuan bersama atau sekelompok tujuan.

Organisasi sering dipahami sebagai sekelompok orang yang berkumpul dan bekerja sama dengan cara yang terstruktur untuk mencapai tujuan atau sejumlah sasaran tertentu yang telah ditetapkan bersama (Poerwanto, 2008:10). Menurut Schmerhorn, organisasi adalah kumpulan orang yang bekerja sama untuk mencapai tujuan bersama. Menurut Chester J. Bernerd, organisasi adalah kerjasama dua orang

(3)

atau lebih, suatu sistem dari aktivitas-aktivitas dan kekuatan-kekuatan perorangan yang dikoordinasikan secara sadar (Tika, 2006: 3). Sondang P. Siagian berpendapat bahwa organisasi adalah setiap bentuk perserikatan antara dua orang atau lebih yang bekerja sama untuk tujuan bersama dan terikat secara formal dalam persekutuan mana selalu terdapat hubungan antara seorang atau sekelompok orang yang disebut pemimpin dan seorang atau sekelompok orang lain yang disebut bawahan. Sementara menurut Prajudi Atmosudirjo seperti yang dikutip Hasibuan (2003: 26) Organisasi adalah struktur tata pembagian kerja dan struktur tata hubungan kerja antara sekelompok orang pemegang posisi yang bekerja sama secara tertentu untuk bersama-sama mencapai suatu tujuan tertentu.

2.2.1.3 Pengertian Budaya Organisasi

Budaya organisasi adalah suatu nilai-nilai yang dipercayai sehingga menjadi karakteristik yang diberikan anggota kepada suatu organisasi. Budaya organisasi merupakan lingkungan internal suatu organisasi karena keragaman budaya yang ada dalam suatu organisasi sama banyaknya dengan jumlah individu yang ada dalam organisasi tersebut sehingga budaya organisasi sebagai pemersatu budaya-budaya yang ada pada diri individu untuk menciptakan tindakan yang dapat diterima dalam organisasi. Budaya organisasi berarti suatu sistem nilai yang unik, keyakinan, dan norma-norma yang dimiliki secara bersama oleh anggota suatu organisasi. Budaya dapat menjadi suatu penyebab penting bagi keefektifan (Donnelly, Gibson, Ivancevich, 1996:41).

Menurut Martin, budaya organisasi merupakan gambaran perspektif dari budaya dalam organisasi. Sedangkan menurut Wagner dan Hollenbeck, budaya organisasi adalah suatu pola dari dasar asumsi untuk bertindak, menentukan, atau mengembangkan anggota organisasi dalam mengatasi persoalan dengan mengadaptasinya dari luar dan mengintegrasikan ke dalam organisasi, di mana

(4)

karyawan dapat bekerja dengan tenang serta teliti, serta juga bermanfaat bagi karyawan baru sebagai dasar koreksi atas persepsi mereka, pikiran, dan perasaan dalam hubungan mengatasi persoalan. (Tampubolon, 2004: 188-189).

Schein mengatakan pengertian budaya organisasi sebagai sebuah corak dari asumsi-asumsi dasar, yang ditemukan atau dikembangkan oleh sebuah kelompok tertentu untuk belajar mengatasi problem-problem kelompok dari adaptasi eksternal dan integrasi internal, yang telah bekerja dengan baik (Muchlas: 2005: 531). Mangkunegara menyimpulkan bahwa budaya organisasi adalah seperangkat asumsi atau sistem keyakinan, nilai-nilai dan norma yang dikembangkan dalam organisasi yang dijadikan pedoman tingkah laku bagi anggota-anggotanya untuk mengatasi masalah adaptasi eksternal dan integrasi internal (2005: 113).

Tujuan keberadaan budaya suatu organisasi adalah melengkapi para anggota dengan rasa (identitas) organisasi dan menimbulkan komitmen terhadap nilai-nilai yang dianut organisasi (Kasali, 2006: 285).

Budaya organisasi terdiri atas dua lapisan. lapisan pertama adalah lapisan yang umumnya mudah dilihat dan sering dianggap mewakili budaya perusahaan secara menyeluruh. Lapisan pertama ini disebut Visible Artifacts. Lapisan yang dapat dilihat secara kasatmata ini terdiri dari cara orang berperilaku, berbicara, berdandan, serta simbol-simbol seperti logo perusahaan, lambang merek, slogan, ritual, figur dan bahasa serta cerita-cerita yang sering dibicarakan oleh para anggota. Lapisan kedua yang lebih dalam itulah yang sesungguhnya disebut budaya. Ini terdiri atas nilai-nilai pokok, filosofi, asumsi, kepercayaan, sejarah korporat, dan proses berpikir dalam organisasi. (Kasali, 2006: 286).

Sementara itu menurut Schein menyederhanakan budaya organisasi menjadi tiga lapisan berdasarkan tingkat kedalamannya, yaitu artifak yang meliputi elemen- elemen yang paling kasat mata dan berada pada lapisan terluat; nilai-nilai yang sifatnya lebih abstrak, tetapi masih berada dalam ruang lingkup kesadaran pelaku;

(5)

dan asumsi-asumsi atau basic assumptions yang bersifat kelaziman atau taken for granted dan sering kali berada di luar kesadaran pelaku (Kusdi, 2011: 52).

2.2.1.4 Peran dan Fungsi Budaya Organisasi

Di dalam suatu organisasi peran budaya dalam mempengaruhi perilaku karyawan tampaknya semakin penting. Budaya organisasi dapat tercermin diantaranya dari sistem yang meliputi besar kecilnya kesempatan berinovasi dan berkreasi bagi karyawan, pembentukan tim-tim kerja, kepemimpinan yang transparan dan tidak terlalu birokratis. Karakteristik tersebut yang dipersepsi oleh karyawan sebagai budaya organisasi, diharapkan dapat berfungsi dalam memberikan kepuasan kerja dan kinerja yang optimal dalam upaya mencapai tujuan organisasi.

Menurut Robbins (Riani, 2011: 8) peran atau fungsi budaya di dalam suatu organisasi adalah:

1. Budaya menciptakan pembedaan yang jelas antara satu organisasi dan yang lain,

2. Budaya membawa suatu rasa identitas bagi anggota-anggota organisasi. 3. Budaya mempermudah timbulnya komitmen pada sesuatu yang lebih luas

daripada kepentingan diri individual seseorang.

4. Budaya merupakan perekat sosial yang membantu mempersatukan organisasi itu dengan memberikan standar-standar yang tepat untuk dilakukan oleh karyawan.

5. Budaya sebagai mekanisme pembuat makna dan kendali yang memanu dan membentuk sikap serta perilaku karyawan.

Sedangkan menurut Chatab (2007 : 226), budaya organisasi dapat berfungsi sebagai:

(6)

1. Identitas, yang merupakan cirri atau karakter organisasi;

2. Pengikat/pemersatu (social cohesion), seperti orang berbahasa Sunda yang bergaul dengan orang Sunda, atau orang dengan hobi olahraga yang sama; 3. Sumber (sources), misalnya inspirasi;

4. Sumber penggerak dan pola perilaku.

2.2.1.5 Karakteristik Budaya Organisasi

Menurut Robbins (1994:480) ada sepuluh karakteristik utama yang dapat menjadi ciri budaya organisasi, yaitu:

1. Inisiatif individual, yaitu tingkat tanggung jawab, kebebasan dan interdepedensi yang dipunyai individu.

2. Toleransi terhadap tindakan yang beresiko, yaitu sejauh mana para anggota organisasi dianjurkan untuk bertindak aktif, inovatif, dan mengambil resiko. 3. Arah, yaitu sejauh mana organisasi tersebut menetapkan dengan jelas sasaran

dan harapan mengenai prestasi.

4. Integrasi, yaitu sejauh mana unit-unit dalam organisasi didorong untuk bekerja dengan cara yang terkordinasi.

5. Dukungan dari manajemen, yaitu sejauh mana para pemimpin memberi komunikasi yang jelas, bantuan serta dukungan terhadap bawahan mereka. 6. Kontrol, yaitu jumlah peraturan dan pengawasan langsung yang digunakan

untuk mengawasi dan mengendal ikan perilaku anggota organisasi.

7. Identitas, yaitu tingkat sejauh mana para anggota mengidentifikasikan dirinya secara keseluruhan dengan organisasinya daripada dengan kelompok kerja tertentu atau dengan keahlian profesional.

8. Sistem imbalan, yaitu sejauh mana alokasi imbalan (kenaikan gaji atau promosi jabatan) didasarkan atas kriteria prestasi sebagai kebalikan dari

(7)

senioritas, sikap pilih kasih dan sebagainya.

9. Toleransi terhadap konflik, yaitu tingkat sejauh mana para anggota organisasi didorong untuk mengemukakan konflik dan kritik secara terbuka.

10. Pola-pola komunikasi, yaitu tingkat sejauh mana komunikasi organisasi dibatasi oleh heararki kewenangan yang formal.

2.3.4 Jenis-Jenis Budaya Organisasi

Menurut Roe dan Byars (2003:328), mengemukakan terdapat empat jenis budaya organisasi yaitu: (1) The though person, macho culture, (2) Work-hard/play hard culture, (3) Bet your company culture dan (4) Process culture. Adapun pengertian keempat jenis budaya tersebut, yaitu:

1. The tough person, macho culture

Budaya organisasi ini ditandai oleh individu-individu yang terbiasa mengambil resiko tinggi dalam rangka mengharapkan keuntungan yang cepat tanpa memikirkan mereka salah atau benar. Dalam budaya organisasi tipe ini kerja tim tidaklah penting, artinya nilai kerjasama tidak menjadi sesuatu yang dianggap penting dan tidak ada kesempatan untuk belajar dari kesalahan.

2. Work-hard/play hard culture

Budaya organisasi ini memotivasi karyawan untuk mengambil resiko rendah dan mengharapkan pengembalian yang cepat. Budaya organisasi ini lebih mengutamakan penjualan.

3. Bet-your company culture

Budaya organisasi ini ada di lingkungan dimana resiko tinggi dan keputusan diambil sebelum hasil diketahui.

4. Process culture

Budaya resiko rendah dengan pengembalian rendah; karyawan hanya fokus kepada bagaimana sesuatu dilakukan daripada hasil.

(8)

2.2 Solidaritas Sosial Pegawai

2.2.1.Pengertian Solidaritas Sosial

Solidaritas sosial adalah sifat (perasaan) solider, sifat satu rasa (senasip), perasaan setia kawan yang pada suatu kelompok anggota wajib memilikinya (Depdiknas, 2007:1082). Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia arti kata sosial adalah berkenaan dengan masyarakat, perlu adanya komunikasi dalam usaha menunjang pembangunan, suka memperhatikan kepentingan umum (Depdiknas, 2007:1085).

Pembagian kerja memiliki implikasi yang sangat besar terhadap struktur masyarakat. Durkheim sangat tertarik dengan perubahan cara di mana solidaritas sosial terbentuk, dengan kata lain perubahan cara-cara masyarakat bertahan dan bagaimana anggotanya melihat diri mereka sebagai bagian yang utuh. Untuk menyimpulkan perbedaan ini, Durkheim membagi dua tipe solidaritas mekanis dan organis. Masyarakat yang ditandai oleh solidaritas mekanis menjadi satu dan padu karena seluruh orang adalah generalis. Ikatan dalam masyarakat ini terjadi karena mereka terlibat aktivitas dan juga tipe pekerjaan yang sama dan memiliki tanggung jawab yang sama. Sebaliknya, masyarakat yang ditandai oleh solidaritas organis bertahan bersama justru karena adanya perbedaan yang ada didalamnya, dengan fakta bahwa semua orang memiliki pekerjaan dan tanggung jawab yang berbeda-beda (George Ritzer dan Douglas J. Goodman, 2008: 90-91).

Durkheim berpendapat bahwa masyarakat primitif memiliki kesadaran kolektif yang lebih kuat yaitu pemahaman norma dan kepercayaan bersama. Peningkatan pembagian kerja menyebabkan menyusutnya kesadaran kolektif. Kesadaran kolektif lebih terlihat dalam masyarakat yang ditopang oleh solidaritas mekanik daripada masyarakat yang ditopang oleh solidaritas organik. Masyarakat modern lebih mungkin

(9)

bertahan dengan pembagian kerja dan membutuhkan fungsi-fungsi yang yang dimiliki orang lain daripada bertahan pada kesadaran kolektif. Oleh karena itu meskipun masyarakat organik memiliki kesadaran kolektif, namun dia adalah bentuk lemah yang tidak memungkinkan terjadinya perubahan individual (George Ritzer dan Douglas J. Goodman, 2008: 92).

Masyarakat yang dibentuk oleh solidaritas mekanik, kesadaran kolektif melingkupi seluruh masyarakat dan seluruh anggotanya, dia sangat diyakini, sangat mendarah daging, dan isinya sangat bersifat religious. Sementara dalam masyarakat yang memiliki solidaritas organik, kesadaran kolektif dibatasi pada sebagian kelompok, tidak dirasakan terlalu mengikat, kurang mendarah daging, dan isinya hanya kepentingan individu yang lebih tinggi dari pedoman moral (George Ritzer dan Douglas J. Goodman, 2008: 91-92). Masyarakat yang menganut solidaritas mekanik, yang diutamakan adalah perilaku dan sikap. Perbedaan tidak dibenarkan. Menurut Durkheim, seluruh anggota masyarakat diikat oleh kesadaran kolektif, hati nurani kolektif yaitu suatu kesadaran bersama yang mencakup keseluruhan kepercayaan dan perasaan kelompok, dan bersifat ekstrim serta memaksa (Kamanto Sunarto, 2004: 128).

Solidaritas organik merupakan bentuk solidaritas yang mengikat masyarakat kompleks, yaitu masyarakat yang mengenal pembagian kerja yang rinci dan dipersatukan oleh saling ketergantungan antar bagian. Setiap anggota menjalankan peran yang berbeda, dan saling ketergantungan seperti pada hubungan antara organisme biologis. Bisa dikatakan bahwa pada solidaritas organik ini menyebabkan masyarakat yang ketergantungan antara yang satu dengan yang lainnya, karena adanya saling ketergantungan ini maka ketidakhadiran pemegang peran tertentu akan mengakibatkan gangguan pada sistem kerja dan kelangsungan hidup masyarakat. Keadaan masyarakat dengan solidaritas organik ini, ikatan utama yang

(10)

mempersatukan masyarakat bukan lagi kesadaran kolektif melainkan kesepakatan yang terjalin diantara berbagai kelompok profesi (Kamanto Sunarto, 2004: 128).

Uraian diatas menggambarkan tentang konsep solidaritas dari sosiolog Emile Durkheim. Secara garis besar peneliti akan menggunakan konsep yang telah dirumuskan oleh Durkheim ini sebagai dasar pemikiran dalam melakukan penelitian tentang bentuk solidaritas pegawai di dua lembaga ini. Peneliti dapat menyimpulkan bahwa solidaritas sosial menunjuk pada satu keadaan hubungan antara individu dengan individu, individu dengan kelompok, atau kelompok dengan kelompok di masyarakat berdasarkan pada kuatnya ikatan perasaan dan kepercayaan yang dianut bersama yang diperkuat oleh pengalaman emosional bersama. Solidaritas menunjuk pada kekompakan untuk berbagi dan saling meringankan beban pekerjaan satu sama lain. Peneliti juga menyimpulkan bahwa bentuk solidaritas sosial terbagi menjadi dua, yaitu solidaritas mekanik dan organik. Solidaritas mekanik mempunyai ciri pokok yaitu: Sifat individualitas yang rendah, belum ada pembagian kerja yang jelas, dan hanya ada di dalam masyarakat pedesaan. Sementara solidaritas organik mempunyai ciri pokok yaitu: Kesadaran kolektif lemah, sudah ada pembagian kerja yang jelas, dan dapat terlihat di dalam masyarakat modern atau komplek. Secara khusus peneliti menggunakan konsep solidaritas organik untuk meneliti bentuk solidaritas sosial yang ada pada pegawai PT. Bank Mandiri (Persero) Tbk Prioritas dan Non Prioritas Medan Perintis Kemerdekaan.

2.4.2 Bentuk-Bentuk Solidaritas Sosial

a. Gotong-Royong

Bentuk solidaritas yang banyak kita temui di masyarakat misalnya adalah `gotong-royong. Gotong-royong adalah rasa dan pertalian kesosialan yang sangat teguh dan terpelihara (Hasan Shadily, 1993: 205). Gotong-royong lebih banyak

(11)

dilakukan di desa daripada di kota di antara anggota-anggota golongan itu sendiri. Kolektivitas terlihat dalam ikatan gotong-royong yang menjadi adat masyarakat desa. Gotong-royong menjadi bentuk solidaritas yang sangat umum dan eksistensinya di masyarakat juga masih sangat terlihat hingga sekarang, bahkan Negara Indonesia ini di kenal sebagai bangsa yang mempunyai jiwa gotong-royong yang tinggi. Gotong-royong masih sangat dirasakan manfaatnya, walaupun kita telah mengalami perkembangan jaman, yang memaksa mengubah pola pikir manusia menjadi pola pikir yang lebih egois, namun pada kenyataanya manusia memang tidak akan pernah bisa untuk hidup sendiri dan selalu membutuhkan bantuan dari orang lain untuk kelangsungan hidupnya di masyarakat.

b. Kerjasama

Selain gotong-royong yang merupakan bentuk dari solidaritas sosial adalah kerjasama. Kerjasama adalah proses terakhir dalam penggabungan (Hasan Shadily, 1993: 143-145). Proses ini menunjukan suatu golongan kelompok dalam hidup dan geraknya sebagai suatu badan dengan golongan kelompok yang lain yang digabungkan itu. Kerjasama merupakan penggabungan antara individu dengan individu lain, atau kelompok dengan kelompok lain sehingga bisa mewujudkan suatu hasil yang dapat dinikmati bersama. Setelah tercapainya penggabungan itu barulah kelompok itu dapat bergerak sebagai suatu badan sosial. Sehingga kerjasama itu diharapkan memberikan suatu manfaat bagi anggota kelompok yang mengikutinya dan tujuan utama dari bekerjasama bisa dirasakan oleh anggota kelompok yang mengikutinya.

Kerjasama timbul karena adanya orientasi orang-perseorangan terhadap kelompoknya (yaitu in-group-nya) dan kelompok lainnya (yang merupakan out-group-nya). Kerjasama mungkin akan bertambah kuat apabila ada bahaya dari luar yang mengancam atau ada tindakan-tindakan yang menyingung secara tradisional atau

(12)

institusional yang telah tertanam didalam kelompok (Soerjono Soekanto, 2006: 66). Ada lima bentuk kerjasama yaitu sebagai berikut:

1) Kerukunan yang mencakup gotong-royong dan tolong-menolong.

2) Bergaining, yaitu pelaksanaan perjanjian mengenai pertukaran barang dan jasa antara dua organisasi atau lebih.

3) Kooptasi, yaitu proses suatu proses penerimaan unsur-unsur baru dalam kepemimpinan dalam suatu organisasi.

4) Koalisi, yaitu kombinasi antara dua organisasi atau lebih yang mempunyai tujuan yang sama.

5) Joint venture, yaitu kerjasama dalam pengusahaan proyek tertentu (Soerjono Soekanto, 2006: 68).

2.5. Penelitian Terdahulu

Penelitian-penelitian terdahulu sangat penting sebagai dasar pijakan dalam rangka penyusunan penelitian ini. Kegunaannya untuk mengetahui hasil yang dilaksanakan oleh peneliti terdahulu yang terkait mengenai analisis pengaruh budaya organisasi dan kepemimpinan terhadap solidaritas sosial pegawai adalah sebagai berikut:

1. Pengaruh budaya organisasi terhadap kinerja pegawai pada kantor Kecamatan Nanggung Kabupaten Bogor yang disusun oleh Yoga Pratama (2012) Program Ekstensi FISIP Universitas Indonesia. Hasil dari penelitian ini mengemukakan bahwa budaya organisasi mempengaruhi kinerja pegawai.

2. Analisis Pengaruh Motivasi Kerja, Kepemimpinan dan Budaya Organisasi melalui Kepuasan Kerja terhadap Kinerja Karyawan pada CV. Kharisma Jaya Surabaya yang disusun oleh Ika Nurayati (2013) Universitas Katholik Widya Mandala Surabaya. Hasil dari penelitian ini mengemukakan bahwa Motivasi Kerja, Kepemimpinan dan Budaya Organisasi melalui Kepuasan Kerja mempengaruhi Kinerja Karyawan. 3. Analisis Pengaruh Budaya Organisasi dan Gaya Kepemimpinan terhadap Kepuasan

(13)

Semarang) yang disusun oleh Ratna Kusumua Dewi (2008). Hasil dari penelitian ini mengemukakan bahwa budaya organisasi dan gaya kepemimpinan sama-sama berpengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja.

4. Analisis Pengaruh Budaya Organisasi Terhadap Kinerja Karyawan Depok Sports Center yang disusun oleh Aput Ivan Alindra (2015) Universitas Negri Yogyakarta. Hasil dari penelitian ini Budaya Organisasi berpengaruh positif Terhadap Kinerja Karyawan Depok Sports Center.

5. Pengaruh Budaya Organisasi dan Gaya Kepemimpinan terhadap Kerjasama Tim (Studi Pada Karyawan Pabrik Gondorukem dan Terpentin Sukun Perum Perhutani dan Terpentin II, Ponorogo) yang disusun oleh Raksi Ulfa Wisyaswari, Hamidah Nayati Utami dan Ika Ruhana (2016) Universitas Brawijaya Malang. Hasil dari penelitian ini yaitu budaya organiasai dan gaya kepemimpinan berpengaruh terhadap kerjasama tim.

2.6 Hubungan antara budaya organisasi dengan Solidaritas

Suatu organisasi biasanya dibentuk untuk mencapai suatu tujuan tertentu melalui kinerja segenap sumber daya manusia yang ada dalam organisasi. Namun, kinerja sumber daya manusia sangat ditentukan oleh kondisi lingkungan internal maupun eksternal organisasi, termasuk budaya organisasi. Karenanya, kemampuan menciptakan suatu organisasi dengan budaya yang mampu mendorong kinerja adalah suatu kebutuhan (Wibowo, 2010: 363).

Noe dan Mondy melihat bahwa budaya organisasi merupakan bagian integral dari seperangkat proses atau peranti untuk mencapai misi dan tujuan organisasi. Dengan demikian, pembentukan budaya organisasi yang ampuh, adaptif, dan transformative merupakan suatu langkah manajemen yang strategic dan taktis

(14)

untuk membangun organisasi secara berkelanjutan. Budaya organisasi yang demikian memungkinkan individu-individu untuk saling berinteraksi dan berintegrasi. Interaksi dan integrasi ini selain mencipatakan rasa saling memiliki dan core competence, juga akan memungkinkan organisasi selalu belajar beradaptasi dan berinteraksi dengan perkembangan lingkungannya (Moeljono, Sudjatmiko, 2007: 135).

Dengan adanya budaya organisasi akan memudahkan pegawai untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan organisasi, dan membantu pegawai untuk mengetahui tindakan apa yang seharusnya dilakukan sesuai dengan nilai-nilai yang ada di dalam organisasi dan menjunjung tinggi nilai-nilai tersebut sebagai pedoman karyawan untuk berperilaku yang dapat dijalankan dalam melaksanakan tugas dan pekerjaannya (Riani, 2011: 109). Hartman menyatakan bahwa budaya organisasi memainkan peranan yang penting dalam memotivasi perilaku inovatif pegawai, karena budaya organisasi menciptakan komitmen antara anggota dalam arti percaya kepada inovasi dan nilai-nilai organisasi dan menerima norma-norma yang terkait pada inovasi yang berlaku dalam organisasi. Sementara itu Robbins (1996:293) mengatakan suatu budaya yang kuat akan mempunyai pengaruh yang besar pada perilaku anggota-anggotanya karena tingginya tingkat kebersamaan (sharedness) dan intensitas menciptakan iklim internal dari kendali perilaku yang tinggi.

Pegawai yang sudah memahami keseluruhan nilai-nilai organisasi akan menjadikan nilai-nilai tersebut sebagai suatu kepribadian organisasi. Nilai dan keyakinan tersebut akan diwujudkan menjadi perilaku keseharian mereka dalam bekerja, sehingga akan menjadi budaya bersama. Didukung dengan sumber daya manusia yang ada, sistem dan teknologi, strategi perusahaan dan logistik, masing- masing individu yang baik akan menimbulkan suatu suasana dimana pegawai memiliki satu rasa dan kepedulian yang tinggi sehingga terciptanya solidaritas sosial di antara pegawai.

(15)

2.7 Paradigma penelitian

Keterangan:

H = Pengaruh budaya organisasi terhadap solidaritas sosial pegawai

2.8 Hipotesis

Hipotesis merupakan kesimpulan penelitian yang belum sempurna, sehingga perlu disempurnakan dengan membuktikan kebenaran hipotesis itu melalui penelitian. Pembuktian itu hanya dapat dilakukan dengan menguji hipotesis dimaksud dengan data di lapangan. Hipotesis yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari hipotesis dua arah yaitu Hipotesis Alternatif (Ha) dan Hipotesis Nol (Ho). Hipotesis nol dirumuskan

sebagai hubungan kosong dalam arti korelasi ata perbedaan atara populasi variabel-variabel itu tidak ada atau sama dengan nol. Hipotesis alternatif adalah sebuah pernyataan yang menjelaskan adanya korelasi atau perbedaan atara populasi dari dua variabel atau lebih.

Dari uraian paradigma penelitian, makan hipotesis yang dapat diambil dari penelitian ini adalah ada pengaruh yang signifikan antara budaya organisasi dengan Solidaritas Sosial Pegawai PT. Bank Mandiri Prioritas Outlet Perintis Kemerdekaan dan non prioritas Cabang Medan Perintis Kemerdekaan.

Budaya Organisasi (X) Solidaritas Sosial

Pegawai (Y) H

Referensi

Dokumen terkait

Achievement towards the Use of Team-Games-Tournament (TGT) Technique and Flashcards Teaching Technique in Learning Grammar” to Widya Mandala Catholic University

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis tentang Peranan Pengadilan Tata Usaha Negara Yogyakarta dalam menyelesaikan sengketa perangkat Desa Bantul dengan perkara

Pada proses perencanaan Pengelolaan Alokasi Dana Desa dalam Pembangunan Fisik di Desa Sukomulyo Kecamatan Sepaku Kabupaten Penajam Paser Utara yaitu kepala desa sukomulyo

Dari pendapat diatas keuntungan yang diperoleh dengan menggunakan sistem layanan tertutup adalah terjaganya kondisi buku dirak dan kehilangan buku dapat dikendalikan, ruangan

menu Reservasi Hotel yang berfungsi untuk melakukan pengelolaan transaksi reservasi dihotel yang meliputi data booking kamar, check in dan pembayaran biaya hotel dan

[r]

Keperluan kepentingan pekerja sosial antarabangsa adalah dengan memainkan peranan penting dalam memastikan setiap pelajar antarabangsa memahami struktur silang budaya bagi memastikan

Perkembangan teori keagenan memberikan pengakuan bahwa struktur kepemilikan perusahaan dapat mempengaruhi kinerja perusahaan dengan menyederhanakan konflik antara