HASIL DAN PEMBAHASAN
Isolasi C. gloeosporioides dari Buah Avokad
Isolasi C. gloeosporioides diambil dari bagian buah yang menunjukkan gejala antraknosa (Gambar 8). Hasil isolasi cendawan dari buah avokad pada media PDA, diperoleh kultur cendawan C. gloeosporioides dengan ciri-ciri morfologi miselium berwarna putih hingga putih keabu-abuan, massa konidia kebasah-basahan berwarna seperti warna ikan salmon (Gambar 9).
Gambar 8 Gejala awal serangan antraknosa pada buah avokad
Gambar 9 Morfologi C. gloeosporioides pada media PDA: biakan C. gloeosporioides (a), massa konidia (b dan c)
Selain itu, ujung konidia membulat, hialin, bersel satu, memiliki seta pendek dan konidiofor yang tegak. Menurut CAB Internasional (2007), ukuran konidia C. gloeosporioides dalam media buatan sangat bervariasi. Dalam media PDA, konidia berukuran 6–9 x 1–4 µm (Gambar 10). Ukuran ini lebih kecil apabila
b
c a
dibandingkan dengan ukuran konidia C. gloeosporioides yang diambil langsung dari buah avokad yang terserang antraknosa dari lapangan yang dapat mencapai 10–15 x 5–7 µm. Hal ini mungkin terjadi karena perbedaan nutrisi yang tersedia secara alami pada inang dan ketersediaan nutrisi yang ada pada media buatan. Seta berwarna coklat tua dan berada di tepi aservulus.
Gambar 10 Konidia C. gloeosporioides Isolasi Khamir dari Buah Avokad
Hasil isolasi khamir dari tiga sampel buah avokad dengan menggunakan media YGC diperoleh 23 isolat khamir yang memiliki koloni berbeda pada media YGCA. Seluruh isolat khamir ini selanjutnya diuji kemampuannya dalam menekan kejadian penyakit antraknosa pada buah avokad dan menunjukkan tingkat hambatan relatif tinggi terhadap perkembangan C. gloeosporioides pada buah avokad. Penggunaan media YGC dilakukan untuk pengkayaan khamir yang ada dalam buahsehingga lebih banyak khamir yang dapat diisolasi dari buah avokad.
Strategi yang efektif untuk mencegah penyakit pascapanen yang disebabkan oleh keberadaan cendawan patogen di lingkungan tersebut dilakukan dengan memilih dan menggunakan mikroorganisme antagonis yang diisolasi dari lingkungan yang sama dimana buah disimpan. Hal ini disebabkan karena adanya keterbatasan kemampuan suatu agens pengendali hayati untuk pascapanen untuk beradaptasi dengan kondisi buah dan lingkungan penyimpanan (Robiglio et al.
2011). Berdasarkan hal tersebut, maka khamir diisolasi secara langsung dari buah avokad untuk mendapatkan khamir antagonis sudah beradaptasi dengan kondisi buah dan lingkungan sehingga diperoleh khamir yang efektif mengendalikan penyakit antraknosa pada buah avokad.
Beberapa strain khamir menunjukkan aktivitas antagonis yang kuat terhadap cendawan di lapangan dan penyimpanan. Khamir memiliki potensi besar untuk digunakan sebagai agen pengendali hayati terhadap cendawan penyebab penyakit tumbuhan, khususnya dalam menghambat cendawan penyebab busuk buah pascapanen, karena khamir adalah kompetitor yang baik dalam mendapatkan ruang dan nutrisi. Saat ini, terdapat tantangan untuk mengetahui bagaimana khamir bekerja di lingkungan pertanian, atau menemukan bagaimana mikroorganisme ini dapat membantu dalam proses produksi, serta mengetahui perannya menjaga keseimbangan ekosistem dalam mengurangi penggunaan fungisida (Rosa-Magri et al. 2011). Khamir memiliki sifat untuk dapat digunakan sebagai alternatif fungisida sintetik. Selain tidak memproduksi mikotoksin atau spora alergik, pada umumnya khamir tidak bersifat patogenik terhadap manusia dan binatang dan beberapa spesies khamir mampu hidup dengan jumlah air dan oksigen yang rendah (Coda et al. 2011).
Sampai saat ini kerugian hasil akibat penyakit antraknosa diatasi dengan menggunakan fungisida sintetik sebagai cara perlindungan tanaman yang paling umum dijumpai, baik sebagai tindakan preventif maupun kuratif. Akibat intensifnya penggunaaan fungisida dilaporkan beberapa jenis patogen telah resisten tehadap benomil, kuintozen, dan blastisidins, serta terdapatnya residu bahan kimia pada hasil pertanian (Indratmi 2008). Kecenderungan dunia saat ini mulai beralih terhadap pengurangan residu pestisida pada buah dan sayuran. Dengan adanya kecenderungan ini, maka upaya pengendalian secara fisik dan biologi diteliti sebagai suatu alternatif pengendalian yang lebih aman daripada menggunakan fungisida. Penggunaan mikroorganisme antagonis untuk pengendalian penyakit pascapanen mendapatkan perhatian khusus dan diteliti lebih jauh (Droby 2006) serta telah berhasil digunakan untuk mengendalian penyakit baik sebelum panen maupun pascapanen (Janisiewicz & Korsten 2002).
Pengujian in Vivo Khamir terhadap Penyakit Antraknosa pada Buah Avokad
Pengujian in vivo dilakukan untuk mengetahui kemampuan khamir hasil isolasi dari buah avokad dalam menekan kejadian penyakit antraknosa pada buah avokad yang diinokulasi dengan C. gloeosporioides. Selain itu, pengujian in vivo dilakukan untuk mengetahui tingkat hambatan relatif khamir terhadap perkembangan C. gloeosporioides pada buah avokad.
Tabel 2 Kejadian penyakit antraknosa pada buah avokad yang diinokulasi C. gloeosporioides dan diberi perlakuan dengan khamir
Isolat Khamir
Kejadian Penyakit (KP) Antraknosa pada Konsentrasi Khamir **) 106 sel/ml *) 107 sel/ml *) A11 100.00 a 100.00 a A12 100.00 a 100.00 a A13 100.00 a 100.00 a A14 100.00 a 100.00 a A15 100.00 a 100.00 a A16 100.00 a 89.00 ab A17 100.00 a 100.00 a A21 89.00 ab 89.00 ab A22 33.33 cd 55.33 abc A23 22.33 cd 43.33 bcd A24 78.00 abc 22.00 cd A25 0.00 d 66.67 abc A26 11.00 d 89.00 ab A27 44.33 bcd 33.33 cd A28 22.33 cd 22.33 cd A31 44.33 bcd 66.67 abc A32 0.00 d 33.33 cd A33 0.00 d 0.00 d A34 11.00 d 0.00 d A35 33.33 cd 0.00 d A36 33.33 cd 0.00 d A37 22.33 cd 0.00 d A38 11.00 d 33.33 cd Fungisida Benomil 0.00 d 0.00 d *)
Nilai yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata; **) Kejadian penyakit (KP) ditentukan pada 7 HSI
Tabel 2 menunjukkan bahwa pada konsentrasi sel khamir 106 sel/ml, terdapat 14 isolat khamir yang efektif mengurangi kejadian penyakit antraknosa pada buah avokad yang diinokulasi C. gloeosporioides, yaitu isolat A22, A23, A25, A26. A27, A28, A31, A32, A33, A34, A35, A36, A37, A38. Hasil pengamatan kejadian penyakit antraknosa pada buah yang dicelupkan dalam suspensi khamir 107 sel/ml menunjukkan terdapat 11 isolat khamir yang efektif mengurangi kejadian penyakit antraknosa pada buah avokad yang diinokulasi C. gloeosporioides, yaitu isolat A23, A24, A27, A28, A32, A33, A34, A35, A36, A37, A38.
Tabel 3 Hasil uji in vivo terhadap diameter (Ø) bercak inokulasi C. gloeosporioides dan tingkat hambatan relatif (THR) khamir dalam
menghambat perkembangan penyakit antraknosa pada buah avokad Konsentrasi Khamir
Perlakuan 106 sel/ml 107 sel/ml
Ø bercak (cm) THR (%) Ø bercak (cm) THR (%) A11 2.05 abc 13.45 ef 1.80 abcd 14.29 defg A12 1.51 bcd 21.36 def 1.74 abcd 19.03 defg A13 1.97 abc 5.32 ef 1.71 abcde 3.94 fg
A14 2.51 a 0.00 f 2.40 a 0.00 g
A15 2.21 ab 5.60 ef 1.78 abcd 8.82 efg A16 1.82 bc 12.46 ef 1.35 bcdef 29.63 defg
A17 2.08 abc 9.24 ef 1.09 ab 0.00 g
A21 1.57 bc 24.28 cdef 1.87 abc 14.78 defg A22 0.54 ef 77.17 ab 0.84 efghij 51.35 bcd A23 0.39 ef 83.47 ab 1.17 cdefg 44.54 bcdef
A24 1.21 cde 24.42 cdef 0.09 ij 94.41 a
A25 0.00 f 100.00 a 1.08 cdefgh 35.43 defg
A26 0.02 f 95.76 ab 0.75 fghij 48.29 bcde
A27 0.65 def 49.80 bcde 0.00 j 100.00 a
A28 0.38 ef 66.67 abcd 0.11 ij 94.20 a A31 0.52 ef 73.07 ab 0.97 defghi 39.78 cdefg
A32 0.00 f 100.00 a 0.44 ghij 81.51 ab A33 0.00 f 100.00 a 0.44 ghij 81.51 ab A34 0.13 f 92.75 ab 0.00 j 100.00 a A35 0.48 ef 66.67 abcd 0.00 j 83.51 ab A36 0.34 ef 69.40 abc 0.00 j 100.00 a A37 0.13 f 75.76 ab 0.00 j 100.00 a
A38 0.08 f 95.83 ab 0.26 hij 80.02 abc
Tanpa perlakuan 1.50 bc 0.00 f 1.71 abcde 0.00 g Fungisida Benomil 0.00 f 100.00 a 0.00 j 100.00 a Nilai yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata
Hasil pengukuran terhadap THR khamir terhadap perkembangan penyakit antraknosa pada uji in vivo diketahui bahwa pada konsentrasi sel khamir 106 sel/ml, terdapat 13 isolat khamir yang memiliki THR tidak berbeda nyata dengan fungisida yaitu A33, A32, A25, A38, A26, A34, A23, A22, A37, A31, A36, A35, dan A28 dengan nilai THR sebesar 66.67 % sampai 100%. Hasil pengukuran THR terhadap isolat khamir pada konsentrasi 107 sel/ml, terdapat 10 isolat khamir yang memiliki THR tidak berbeda nyata dengan fungisida yaitu isolat A37, A36, A34, A27, A24, A28, A35, A33, A32, dan A38 dengan nilai THR sebesar 80.02% sampai 100% (Tabel 3).
Tabel 2 dan Tabel 3 menunjukkan bahwa 8 (delapan) isolat khamir hasil isolasi dari buah avokad efektif dalam menekan kejadian penyakit antraknosa pada buah avokad dan memberikan tingkat hambatan relatif yang tidak berbeda nyata dengan fungisida benomil. Delapan isolat khamir yang berpotensi untuk dapat digunakan sebagai agens pengendali hayati C. gloeosporioides di penyimpanan adalah isolat A28, A32, A33, A34, A35, A36, A37 dan A38. Namun, hanya 4 isolat yang dikarakterisasi lebih lanjut yaitu isolat A33, A35, A36 dan A37.
Khamir sesuai digunakan sebagai agens pengendali hayati penyakit pascapanen pada buah dan sayuran karena cepat mengkolonisasi dan bertahan pada permukaan buah dalam waktu yang cukup lama pada berbagai kondisi, mampu berkompetisi penggunaan nutrisi dengan patogen (Jones & Prusky 2002). Selain itu, kebutuhan nutrisi khamir sederhana, dapat tumbuh cepat dengan menghasilkan sel dalam jumlah besar (Druvefors 2004), tidak menghasilkan spora alergik atau mikotoksin, serta menghasilkan vitamin, mineral, dan asam nukleat penting yang digunakan dalam makanan (Hashem & Alamri 2009). Aspek psikososial juga merupakan salah satu pertimbangan pemilihan khamir sebagai agens pengendali hayati pada komoditas pascapanen. Pada umumnya masyarakat yang merasa lebih aman apabila suatu komoditas diberi perlakuan dengan khamir daripada dengan menggunakan bakteri atau virus. Selain itu, khamir juga memiliki kemampuan hidup yang sangat baik dalam lingkungan penyimpanan karena khamir menghasilkan spora sebagai struktur tahan.
Salah satu faktor yang menentukan daya saing suatu produk dalam perdagangan bebas yaitu adanya jaminan mutu dan keamanan (safety) pangan bagi konsumen dalam mengkonsumsi/menggunakan produk yang bersangkutan (Mentan 2008). Selain itu, dengan ditetapkannya batas maksimum residu produk pertanian khususnya benomil pada avokad sebesar 0.5 mg/kg (Menkes & Mentan 1996) serta peningkatan kesehatan dan perhatian lingkungan mengenai limbah pestisida dan residunya pada produk segar mendorong pengembangan metode pengendalian yang lebih efektif dan aman terhadap manusia dan lingkungan (Droby 2006).
Keberadaan mikroba filoplan memberikan peranan terhadap besarnya kejadian timbulnya infeksi oleh patogen tanaman. Tanaman dengan populasi mikroba filosfer yang rendah diduga lebih rentan terhadap serangan patogen. Tanaman dengan komplek populasi mikroba filosfer yang tinggi diduga dapat lebih tahan atau terlindungi dari serangan patogen. Hal ini disebabkan karena mikroba filosfer epifit maupun endofit memberikan barier alami terhadap serangan patogen. Selain itu diantara mikroba tersebut sangat mungkin bertindak sebagai kompetitor ataupun bersifat antagonis terhadap patogen sehingga menguntungkan tanaman (Indratmi 2008). Jeffries dan Koomen (1992) menyatakan bahwa metode pengendalian dengan mikroorganisme antagonis terhadap Colletotrichum sp. bertujuan untuk mengurangi sejumlah infeksi awal.
Gambar 11 Hasil inokulasi C. gloeosporioides pada buah avokad (4 hari setelah inokulasi: perlakuan benomil (a), tanpa perlakuan (b), perlakuan khamir isolat A12(c), perlakuan khamir isolat A31(d), perlakuan khamir isolat A33 (e), isolat A35 (f), isolat A36 (g), isolat A37 (h)
a b c d
Gambar 12 Hasil inokulasi C. gloeosporioides pada buah avokad (5 hari setelah inokulasi: perlakuan benomil (a), tanpa perlakuan (b), perlakuan khamir isolat A12(c), perlakuan khamir isolat A31(d), perlakuan khamir isolat A33 (e), isolat A35 (f), isolat A36 (g), isolat A37 (h) Gambar 11 dan 12 menunjukkan perkembangan penyakit antraknosa pada buah avokad yang diinokulasi C. gloeosporioides pada konsentrasi 107 konidia/ml. Perkembangan bercak antraknosa pada buah avokad yang diberi perlakuan dengan fungisida benomil tidak terlihat pada titik inokulasi C. gloeosporioides, sedangkan pada buah avokad yang tidak diberi perlakuan terlihat muncul bercak yang menandai perkembangan penyakit antraknosa pada buah avokad pada titik inokulasi. Bercak antraknosa juga tidak terlihat pada buah avokad yang diberi perlakuan dengan khamir A33, A35, A36, dan A37, sedangkan pada buah avokad yang diberi perlakuan dengan khamir lainnya tampak bergejala dan ditumbuhi konidia cendawan C. gloeosporioides pada titik inokulasi. Hal ini menunjukkan bahwa keempat isolat khamir tersebut efektif dalam menghambat perkembangan penyakit antraknosa pada buah avokad.
Uji Antibiosis in Vitro Khamir terhadap C. gloeosporioides
Pengamatan hasil uji antibiosis secara in vitro menunjukkan bahwa hingga hari ke-15 tidak terjadi aktivitas antibiosis khamir terhadap C. gloeosporioides. Hal ini ditunjukkan dengan tidak adanya zona hambatan khamir terhadap perkembangan C. gloeosporioides pada media PDA (Gambar 13). Keadaan ini membuktikan bahwa mekanisme kerja dari keempat isolat khamir dalam menekan pertumbuhan cendawan C. gloeosporioides bukan merupakan antibiosis.
a b c d
Gambar 13 Uji antibiosis in vitro khamir (a) terhadap C. gloeosporioides (b) pada media PDA
Sebagian potensi pengendalian yang dikembangkan mengarah pada penentuan mekanisme antagonisme antara agens pengendali hayati dengan patogen target. Mekanisme penghambatan ini penting diketahui karena berkaitan dengan efektivitas dan efisiensi penerapan agens pengendali hayati selanjutnya. Kejadian antagonisme dapat terjadi karena adanya kontak langsung antara agens pengendali biologi dengan patogen, maupun antara zat/senyawa yang dihasilkan oleh agens pengendali hayati berupa metabolit sekunder antimikroba dengan patogen (Indratmi 2008). Tingginya efisiensi khamir sebagai agens pengendali hayati karena daya adaptasi khamir yang tinggi pada berbagai lingkungan serta kondisi nutrisi yang berbeda, kemampuannya tumbuh pada suhu yang rendah, dan kemampuannya untuk menutup luka (Robiglio et al. 2011).
Uji Kemampuan Kitinolitik
Hasil uji kemampuan kitinolitik khamir selama tujuh hari pengamatan menunjukkan bahwa seluruh isolat khamir hasil isolasi dari buah avokad tidak melakukan aktivitas kitinolitik. Hal ini ditunjukkan dengan tidak adanya zona bening di sekitar isolat khamir yang digoreskan secara tegak lurus pada media kitin agar 0.2% sebagai tanda terjadinya aktivitas khamir menguraikan kitin (Gambar 14).
a
Kitin merupakan unsur penting penyusun dinding sel cendawan. Pemanfaatan mikroba kitinolitik sebagai agens pengendali hayati merupakan salah satu cara pengendalian hayati yang efektif untuk cendawan patogen tanaman karena mekanisme pengendaliannya tidak tergantung pada ras patogen dan tidak merangsang timbulnya resistensi. Kitinase yang terdapat pada bakteri, serangga, virus, tumbuhan, dan hewan memainkan peran penting dalam fisiologi dan ekologi (Ohno et al. 2001).
Gambar 14 Zona bening sebagai tanda aktivitas kitinolitik khamir tidak terlihat di sekitar khamir yang digoreskan pada bagian tengah media kitin agar 0.2%
Kitinase yang diproduksi mikrob dapat menghidrolisis struktur kitin yang merupakan senyawa utama penyusun dinding sel tabung kecambah konidia dan miselia, sehingga cendawan tidak mampu melakukan infeksi. Oleh karena itu, salah satu penyakit yang berpotensi untuk dikendalikan dengan mikrob kitinolitik adalah penyakit antraknosa yang disebabkan oleh C. gloeosporioides (El-Katany et al. 2000).
Ujung hifa merupakan bagian yang rentan terhadap aktivitas litik mikroba kitinolitik. Enzim kitinase mampu menghidrolisis kitin menjadi derivate kitin. Pengendalian hayati cendawan dengan menggunakan mikroorganisme kitinolitik didasarkan pada kemampuannya menghasilkan kitinase dan β-1,3-glucanase yang dapat melisis sel cendawan (El-Katany et al. 2000).
Hasil uji antibiosis secara in vitro dan kemampuan kitinolitik menunjukkan bahwa antibiosis dan produksi enzim kitinase bukan merupakan mekanisme kerja
khamir dalam mengendalikan penyakit antraknosa pada buah avokad selama penyimpanan. Selain produksi kitinase, terdapat beberapa mekanisme khamir dalam menghambat patogen (El Gaouth et al. 2003) yaitu dengan menghasilkan sekresi yang menghambat patogen (Guetsky et al. 2002), mampu melekat pada dinding sel cendawan, aktivitas peroksidase (El Gaouth et al. 2003), kompetisi ruang dan nutrisi serta induksi ketahanan (Guetsky et al. 2002; El Gaouth et al. 2003). Mekanisme penghambatan cendawan sangat bervariasi tergantung pada spesies khamir, sifat cendawan target, dan parameter fisik sistem pengendali hayati (Coda et al. 2011).
Candida guilliermondii (strain US 7 dan strain 101) serta Candida oleophila (strain I-182) pada uji in vitro dengan menggunakan media PDA diketahui dapat menghambat pertumbuhan hifa Botrytis cinerea dengan menempel kuat pada hifa cendawan. Selain itu, C. guilliermondii strain US 7 juga dilaporkan memiliki mekanisme kompetisi nutrisi dalam mengendalikan green mold pada jeruk (Saligkarias et al. 2002).
Zhang et al. (2011) menyatakan bahwa Pichia guilliermondii strain M8 dengan konsentrasi 108 sel/ml dan 109 sel/ml diketahui dapat menghambat perkecambahan spora B. cinerea dan menghambat perkembangan penyakit grey mold secara in vitro pada media jus apel dan secara in vivo pada buah apel. Sel P. guilliermondii strain M8 diketahui menempel kuat pada hifa dan spora B. cinerea, memproduksi enzim hidrolisis, termasuk β-1,3-glukanase dan kitinase. Perlakuan dengan P. guilliermondii strain M8 pada konsentrasi 108 sel/ml secara signifikan dapat mengurangi grey mold dan menginduksi ketahanan inang serta mampu berkompetisi dengan B. cinerea dalam menggunakan nitrogen dan sumber karbon.
Identifikasi Khamir
Identifikasi khamir dilakukan dengan melihat morfologi khamir dan secara molekuler. Identifikasi secara morfologi dapat dilakukan dengan melihat bentuk tepi koloni khamir, permukaan koloni, elevasi koloni, dan warna koloni pada media PDA (Tabel 4 dan Gambar 15) serta melihat bentuk sel khamir (Gambar 16).
Tabel 4 Morfologi koloni dan bentuk sel khamir pada media PDA Biakan khamir Bentuk tepi koloni Elevasi koloni
Bentuk sel Warna koloni
Permukaan koloni
A33 Halus Cembung Bulat Putih Licin
A35 Halus Datar Bulat Putih Licin
A36 Halus Datar Bulat Putih Licin
A37 Halus Cembung Bulat Putih Licin
Gambar 15 Morfologi koloni 4 isolat khamir pada media PDA: khamir isolat A33 (a), isolat A35 (b), isolat A36 (c), dan A37 (d)
a b
Gambar 16 Morfologi sel 4 isolat khamir: isolat A33 (a), isolat A35 (b), isolat A36 (c), dan A37 (d)
Gambar 17 Hasil PCR khamir isolat A33, A35, A36, dan A37 menggunakan primer ITS1 dan ITS4
Hasil elektroforesis produk PCR yang dilanjutkan dengan visualisasi menggunakan Gel Doc menunjukkan bahwa dengan primer umum untuk cendawan, keempat DNA khamir isolat A33, A35, A36 dan A37 dapat teramplifikasi dan tervisualisasi (Gambar 17). Hasil analisis BLAST terhadap isolat A33 dan A37 menunjukkan tingkat kesamaan sikuen nukleotida dengan Wickerhamomyces anomalus (Pichia anomala), sedangkan hasil analisis BLAST
a b
terhadap isolat A35 dan A36 menunjukkan tingkat kesamaan sikuen nukleotida dengan Candida intermedia (Tabel 5).
Tabel 5 Isolat khamir pada GenBank yang dibandingkan dengan empat isolat khamir yang diisolasi dari avokad
No Isolat Kode Aksesi Deskripsi Identitas Maks.
Aksesor** 1 A33 EU380207.1 Pichia anomala 99% Wang et al.
(2009)* 2 A35 HQ693784.1 Candida intermedia 100% Jensen dan
Arendrup (2011)* 3 A36 HQ693784.1 Candida intermedia 100% Jensen dan
Arendrup (2011)* 4 A37 EU380207.1 Pichia anomala 99% Wang et al.
(2009)*
**Aksesor merupakan peneliti yang mendaftarkan sikuen isolat khamir hasil penelitiannya pada GenBank; * dipublikasikan pada jurnal.
Pichia anomala (sinonim Wickerhamomyces anomalus) termasuk dalam kelompok Ascomycetes, bersifat heterotalik, membentuk satu sampai empat askospora berbentuk hatshaped. Khamir ini pada umumnya ditemukan berasosiasi dengan makanan, pakan, buah dan bahan tanaman yang mulai membusuk (Druvefors 2004). P. anomala dapat tumbuh pada kondisi anaerob pada suhu antara 3 ºC sampai 37 ºC, dengan pH antara 2.0 sampai 12.4 (Fredlund et al. 2004)
Beberapa studi mengindikasikan bahwa beberapa spesies khamir, termasuk P. anomala merupakan agens pengendali hayati yang efektif untuk mengendalikan berbagai macam cendawan patogen dengan berbagai mekanisme (Tabel 6). Beberapa patogen yang dilaporkan dapat dikendalikan oleh P. anomala antara lain Botrytis cinerea, Aspergillus candidus, Penicillium roqueforti dan cendawan patogen lain serta cendawan penyebab pembusukan kayu (Druvefors et al. 2005), cendawan penyebab penyakit pascapanen pada buah, sayuran dan biji-biji sereal (Petersson & Schnürer 1995). P. anomala adalah khamir yang termasuk dalam kelompok Ascomycetes yang ditemukan secara alami berada pada makanan, biji-biji sereal dan memiliki kemampuan menghambat beberapa cendawan (Fredlund 2004) pada berbagai kondisi lingkungan. Aktivitas
antifungal P. anomala dipengaruhi oleh kecepatan respon terhadap perubahan kondisi lingkungan (ketersediaan oksigen dan gula) dan pelepasan metabolit antifungal, misalnya etanol dan etil asetat (Fredlund et al. 2004). P. anomala juga dikenal sebagai agens pengendali hayati terhadap kapang pada biji-bijian yang disimpan pada kondisi kedap (Druvefors et al. 2002).
Pada tahun 1993, Björnberg dan Schnürer menyatakan bahwa P.anomala pada dosis tertentu secara in vivo dapat menghambat Aspergillus candidus dan Penicillium roqueforti. Baik panjang hifa maupun jumlah koloni per unitnya dapat dikurangi. Selanjutnya Petersson dan Schnürer (1995) menemukan bahwa P.anomala dapat menghambat pertumbuhan P. roqueforti pada biji gandum yang disimpan pada tabung semi kedap. Selain itu, khamir diketahui efektif mengendalikan beberapa cendawan target pada lingkungan yang berbeda-beda.
P. anomala diklasifikasikan sebagai organisme yang aman dan belum ada laporan yang menyatakan bahwa khamir ini menghasilkan mikotoksin yang berbahaya atau memproduksi spora alergik. P. anomala mampu hidup pada kondisi anaerobik pada berbagai nutrisi dan hanya sedikit yang menginduksi fermentasi alkohol meskipun jumlah glukosanya tinggi. Namun, mekanisme kerja P. anomala dalam menghambat patogen tanaman belum diketahui (Fredlund 2004). Spesies yang termasuk dalam genus Pichia (P. guilliermondii, P. angusta, dan P. anomala) dikenal sangat baik dalam mengendalikan cendawan patogen pascapanen dengan menurunkan sporulasi cendawan patogen serta memproduksi mikotoksin (Coda et al. 2011).
Wang et al. (2009) menyatakan bahwa P. anomala strain 0732-1 merupakan agens yang potensial untuk digunakan sebagai pengendali hayati bacterial fruit blotch yang disebabkan oleh Acidovorax avenae subsp. citrulli pada melon hami. Penelitian sebelumnya juga menemukan bahwa P. anomala juga dapat menekan pertumbuhan miselium dan sporulasi Penicillium spp. dan Aspergillus spp. pada biji-biji sereal yang disimpan dalam kondisi kedap (Petersson & Schnürer 1995). Friel et al. (2007) melaporkan bahwa produksi β-1,3-glukanase oleh P. anomala strain K memainkan peran penting dalam menekan Botrytis cinerea penyebab grey mold disease dan dilaporkan dapat mendegradasi dinding sel cendawan (Jijakli & Lepoivre 1998). Hasil penelitian lain menyebutkan bahwa P. anomala
strain DBVPG 3003 menghasilkan sekresi toksin yang disebut sebagai Pikt, yang memiliki aktivitas anticendawan untuk melawan khamir penyebab busuk Brettanomyces sp. dan Dekkera sp. (De Ingeniis et al. 2008). P. anomala strain 0732-1 dapat memproduksi substansi anti bakteri (anti bacterial substances/ABS) yang efektif menekan pertumbuhan A. avenae subsp. citrulli pada media King’s B. Produksi ABS oleh khamir strain 0732-1 dapat digunakan untuk mengendalikan hawar bibit pada melon hami yang disebabkan A. avenae subsp. citrulli serta sebagai perlakuan benih untuk mengurangi kejadian dan keparahan penyakit (Wang et al. 2009). Penambahan gula dalam formulasi P. anomala yang dikomersialkan dilaporkan dapat meningkatkan viabilitas dan kinerja khamir sebagai agen pengendali hayati (Druvefors et al. 2005).
Tabel 6 Mekanisme kerja P. anomala pada uji in vitro
Cendawan Target Mekanisme Kerja Referensi Aspergillus flavus dan Toksin/racun
pembunuh
Polonelli et al. (1987); Petersson dan Schnürer (1995)
A. fumigatus Toksin/racun
pembunuh
Polonelli et al. (1987); Petersson dan Schnürer (1995) A. nidulans Toksin/racun pembunuh Polonelli et al. (1987) A. niger Toksin/racun pembunuh Polonelli et al. (1987); Björnberg dan Schnürer (1993)
A. parasiticus Toksin/racun
pembunuh
Polonelli et al. (1987) Aurebasidium pullulans Toksin/racun
pembunuh
Polonelli et al. (1987)
Botrytis cinerea Enzim penghancur
dinding sel*)
Petersson dan Schnürer (1995)
Penicillium camembertii Toksin/racun pembunuh
Polonelli et al. (1987) Penicillium notatum Toksin/racun
pembunuh
Polonelli dan Morace (1986)
Rhizopus solani Toksin/racun
pembunuh
Walker et al. (1995)
*)
Candida intermedia diketahui dapat menghambat pertumbuhan Colletotrichum graminicola dan Colletotrichum sublineolum penyebab penyakit antraknosa pada sorghum dan jagung. Hasil uji antagonis C. intermedia yang diisolasi dari rizosfer tanaman tebu terhadap C. graminicola menunjukkan bahwa C. intermedia mampu menekan pertumbuhan cendawan patogen dengan memberikan reaksi antagonisme sebesar 45.9% sampai 48.9% sedangkan hasil uji antagonis C. intermedia terhadap C. sublineolum menunjukkan bahwa C. intermedia mampu menekan pertumbuhan cendawan patogen dengan memberikan reaksi antagonisme sebesar 47.7% sampai 48.9%. Namun, sampai saat ini belum ada informasi mekanisme kerja C. intermedia dalam menekan pertumbuhan cendawan patogen (Rosa-Magri et al. 2011).