• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II FAKTOR PENYEBAB TERJADINYA PERCERAIAN DAN AKIBATNYA TERHADAP HAK PEMELIHARAAN ANAK

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II FAKTOR PENYEBAB TERJADINYA PERCERAIAN DAN AKIBATNYA TERHADAP HAK PEMELIHARAAN ANAK"

Copied!
50
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

FAKTOR PENYEBAB TERJADINYA PERCERAIAN DAN AKIBATNYA TERHADAP HAK PEMELIHARAAN ANAK

A. Pengertian Perkawinan dan Pengaturannya

Perkawinan sebagai perbuatan hukum menimbulkan tanggung jawab antara suami istri, oleh karena itu perlu adanya peraturan hukum yang mengatur tentang hak dan kewajiban dalam suatu perkawinan. Perkawinan ini sudah merupakan kodratnya manusia mempunyai naluri untuk tetap mempertahankan generasi atau keturunannya. Dalam hal ini tentunya hal yang tepat untuk mewujudkannya adalah dengan melangsungkan perkawinan. Perkawinan merupakan satu-satunya cara untuk membentuk keluarga, karena perkawinan ini mutlak diperlukan sebagai syarat terbentuknya sebuah keluarga.

Perkawinan bukan untuk keperluan sesaat tetapi jika mungkin hanya sekali seumur hidup karena perkawinan mengandung nilai luhur, dengan adanya ikatan lahir batin antara pria dan wanita yang dibangun di atas nilai-nilai sakral karena berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa yang merupakan sila pertama Pancasila. Maksudnya adalah bahwa “perkawinan tidak cukup hanya dengan ikatan lahir saja

(2)

atau ikatan bathin saja tetapi harus kedua-duanya, terjalinnya ikatan lahir bathin merupakan fondasi dalam membentuk keluarga bahagia dan kekal”.23

Ikatan lahir dalam suatu perkawinan, yaitu hubungan formal yang dapat dilihat karena dibentuk menurut Undang-Undang, hubungan mana mengikat kedua pihak, dan pihak lain dalam masyarakat, sedangkan ikatan batin yaitu hubungan tidak formal yang dibentuk dengan kemauan bersama yang sungguh-sungguh, yang mengikat kedua pihak saja.

Antara seorang pria dan wanita artinya dalam satu masa ikatan lahir batin itu hanya terjadi antara seorang pria dan seorang wanita saja, sedangkan seorang pria itu sendiri adalah seorang yang berjenis kelamin pria, dan seorang wanita adalah seorang yang berjenis kelamin wanita. Jenis kelamin ini, adalah kodrat (karunia Tuhan), bukan bentukan manusia. “Suami isteri adalah fungsi masing-masing pihak sebagai akibat dari adanya ikatan lahir batin. Tidak ada ikatan lahir batin berarti tidak pula ada fungsi sebagai suami-isteri”. 24

R

.

Soetojo Prawirohamidjijo yang mengutip pendapat Asser, Scholten, Wiarda, Pitlo, Petit dan Melis, yang menyatakan bahwa perkawinan adalah “persekutuan antara seorang pria dan seorang wanita yang diakui oleh Negara untuk

23

K Wantjik Saleh, Hukum Perkawinan Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1996, hal. 15.

24

Achmad Samsudin dalam Yani Trizakia, Latar Belakang dan Dampak Perceraian, UNS, Semarang, 2005,hal 74.

(3)

hidup bersama/bersekutu yang kekal”.25 Artinya bahwa perkawinan sebagai lembaga hukum baik karena apa yang ada di dalamnya, maupun karena apa yang terdapat di dalamnya.26

Secara etimologi perkawinan dalam bahasa Indonesia, berasal dari kata kawin, yang kemudian diberi imbuhan awalan “per” dan akhiran “an”. Istilah sama dengan kata kawin ialah nikah, apabila diberi imbuhan awalan “per” dan akhiran “an” menjadi pernikahan. Perkawinan atau pernikahan diartikan sebagai perjanjian antara laki-laki dan perempuan bersuami isteri.27

Menurut bahasa Arab kawin disebut dengan al-nikah.28 Al-nikah yang bermakna wathi’ dan dammu wa tadakhul, terkadang juga disebut dengan

al-dammu wa al-jam’u atau ibarat ‘an al-wath wa al-‘aqd yang bermakna bersetubuh,

berkumpul dan akad.29 Istilah nikah yang sering digunakan dalam bahasa Indonesia, sebenarnya berasal dari bahasa Arab yang secara etimologi berarti kata nikah mempunyai dua makna, yaitu perjanjian/akad dan bersetubuh/berkumpul.

25

R. Soetojo Prawirohamidjijo, hal.35, dalam Sudikno Mertokusumo, Pengantar

Hukum Perdata Tertulis (BW). Sinar Grafika, Jakarta, 2002, hal 61. 26

Sudikno Mertokusumo, Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW). Sinar Grafika, Jakarta, 2001. hal 61.

27

W. J. S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1994, hal. 453.

28

Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia, Yayasan Penyelenggara Penterjemah/ pentafsiran Al-Qur’an, Jakarta, 1973, hal. 468.

29

Amiur Nuruddin & Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia,

Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dan Fikih, UU No. 1/1974 Sampai KHI, Prenada Media, Jakarta, 2004, hal. 38.

(4)

Perkawinan merupakan perjanjian yang setia mensetiai, dan sama-sama bertanggung jawab dalam menunaikan tugasnya sebagai suami-isteri atas keselamatan dan kebahagiaan rumah tangga. Perjanjian tersebut harus sesuai dengan syarat sahnya perjanjian sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1320 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUH Perdata).

Menurut Soedaryono Soemin syarat sahnya perjanjian yang diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata, terdiri dari :

1. Kesepakatan

Adanya rasa ikhlas atau saling memberi dan menerima atau sukarela diantara pihak-pihak yang membuat perjanjian tersebut. Jadi tidak ada kesepakatan apabila dibuat atas dasar paksaan, penipuan, atau kekhilafan.

2. Kecakapan

Para pihak yang membuat perjanjian haruslah orang-orang yang oleh hukum dinyatakan sebagai subyek hukum yang cakap (dewasa). Tidak cakap adalah orang-orang yang ditentukan hukum, yaitu anak-anak, orang-orang dewasa yang ditempatkan dalam pengawasan (curatele), dan orang sakit jiwa. Mereka yang belum dewasa menurut UU Perkawinan adalah anak-anak karena belum berumur 18 (delapan belas) tahun. Meskipun belum berumur 18 (delapan belas) tahun, apabila seseorang telah atau pernah kawin dianggap sudah dewasa, berarti cakap untuk membuat perjanjian.

3. Hal tertentu

Obyek yang diatur dalam perjanjian harus jelas, tidak samar. Hal ini penting untuk memberikan jaminan atau kepastian kepada pihak-pihak dan mencegah timbulnya fiktif, misal: orang jelas, anak siapa.

4. Sebab yang dibolehkan

Isi perjanjian tidak boleh bertentangan dengan perundang-undangan yang bersifat memaksa, ketertiban umum, dan atau kesusilaan. Misal: adanya paksaan dalam menikah.30

30

(5)

Jadi, “perkawinan adalah perjanjian yang diadakan oleh dua orang yaitu antara seorang pria dan seorang wanita dengan tujuan material, yakni membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia, dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.31

Perkawinan merupakan akad atau perjanjian, namun demikian bukan berarti bahwa perjanjian pada perkawinan ini sama artinya dengan perjanjian biasa yang diatur dalam Buku III KUH Perdata. Perbedaannya bahwa pada perjanjian biasa, para pihak yang berjanji bebas untuk menentukan isi dan bentuk perjanjiannya, sebaliknya dalam perkawinan, para pihak tidak bisa menentukan isi dan bentuk perjanjiannya selain yang sudah ditetapkan oleh hukum yang berlaku.

Perbedaan lain yang dapat dilihat adalah dalam hal berakhirnya perjanjian, bahwa pada perjanjian biasa, berakhirnya perjanjian ditetapkan oleh kedua belah pihak, misalnya karena telah tercapainya apa yang menjadi pokok perjanjian atau karena batas waktu yang ditetapkan telah berakhir, jadi tidak berlangsung terus menerus. Sebaliknya perkawinan tidak mengenal batasan waktu, perkawinan harus kekal, kecuali karena suatu hal di luar kehendak para pihak, barulah perkawinan dapat diputuskan, misalnya karena pembatalan perkawinan.

Soemiyati mengatakan bahwa

Pemutusan perkawinan tidaklah sesederhana seperti dalam pemutusan perjanjian biasa, yang ditetapkan lebih awal dalam isi perjanjiannya. Bagaimana sebab putusnya ikatan perkawinan, prosedurnya maupun akibatnya pemutusannya, tidak ditetapkan oleh para pihak, melainkan hukumlah yang menentukannya. Perjanjian dalam perkawinan mempunyai

31

(6)

karakter khusus, antara lain bahwa kedua belah pihak (laki-laki dan perempuan) yang mengikat persetujuan perkawinan itu saling mempunyai hak untuk memutuskan perjanjian berdasarkan ketentuan yang sudah ada hukum-hukumnya.32

Penyelenggaraan perkawinan di beberapa komunitas masyarakat, ada kalanya tidak menghiraukan kehendak sebenarnya dari calon yang akan kawin, bahkan dalam banyak kasus, si pria atau si wanita baru mengetahui dengan siapa dia akan dikawinkan pada saat perkawinannya akan dilangsungkan. Sering pula terdengar kasus bahwa perkawinan telah berlangsung sesuai dengan kehendak yang melangsungkan perkawinan, tetapi berten-tangan dengan kehendak pihak lain, misalnya dari pihak keluarga, baik dari keluarga pria atau dari keluarga wanita. Konsekuensi dari keadaan yang demikian ini menyebabkan tidak adanya kebahagiaan dalam rumah tangga dan akhirnya dengan terpaksa ikatan perkawinan tersebut diputuskan.

Mengingat berbagai macam persoalan yang terjadi di masyarakat, maka diperlukan adanya keseragaman hukum perkawinan di Indonesia. Pada tahun 1974 pemerintah telah mengeluarkan ketentuan hukum yang berlaku secara nasional, yakni dengan diundangkannya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan) pada tanggal 2 Januari 1974.

32

Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-undang Perkawinan, Liberty, Yogyakarta, 1982, hal. 10.

(7)

Pasal 1 UU Perkawinan menyebutkan bahwa ”Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.

Jika diperhatikan ketentuan Pasal 1 UU Perkawinan, maka yang menjadi inti pengertian dalam perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita, dimana diantara mereka terjalin hubungan yang erat dan mulia sebagai suami istri untuk hidup bersama untuk membentuk dan membina suatu keluarga yang bahagia, sejahtera dan kekal karena didasarkan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa. Dalam ketentuan tersebut juga dijelaskan mengenai tujuan perkawinan yang juga tercantum pada pengertian perkawinan tersebut yaitu :”...dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.”

Di dalam penjelasan umum UU Perkawinan disebutkan bahwa karena tujuan dari perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal, maka untuk itu suami istri perlu saling membantu dan melengkapi agar masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya dalam mencapai kesejahteraan materiil dan spritual.

Membentuk keluarga adalah membentuk kesatuan masyarakat terkecil yang terdiri dari suami, isteri, dan anak, sedangkan membentuk rumah tangga yaitu

(8)

membentuk kesatuan hubungan suami-isteri dalam satu wadah yang disebut rumah kediaman bersama. Dalam hal ini bahagia diartikan sebagai adanya kerukunan antara suami-isteri, dan anak-anak dalam rumah tangga. Dalam rumah tangga mereka mendambakan kehidupan yang kekal artinya berlangsung terus menerus seumur hidup, dan tidak boleh diputuskan begitu saja, atau dibubarkan menurut pihak-pihak.

“Perkawinan berdasarkan KeTuhanan Yang Maha Esa, artinya perkawinan tidak terjadi begitu saja menurut pihak-pihak, melainkan sebagai karunia Tuhan kepada manusia sebagai makhluk beradab. Karena itu, perkawinan dilakukan secara beradab pula, sesuai dangan ajaran agama yang diturunkan Tuhan kepada manusia”.33

Tujuan perkawinan menurut UU Perkawinan adalah: membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Ini berarti bahwa perkawinan itu: (1) berlangsung seumur hidup, (2) cerai dibutuhkan syarat-syarat yang ketat dan merupakan jalan terakhir, dan (3) suami-isteri membantu untuk mengembangkan diri. Sedangkan suatu keluarga dikatakan bahagia apabila memenuhi dua kebutuhan pokok, yaitu kebutuhan jasmaniah dan rohaniah.

“Kebutuhan jasmaniah, seperti: papan, sandang, pangan, pendidikan, dan

kesehatan, sedangkan esensi kebutuhan rohaniah, seperti: adanya seorang anak yang berasal dari darah dagingnya sendiri”.34 “Tujuan perkawinan menurut

33

Achmad Samsudin, Op. Cit, hal. 74. 34

(9)

Hukum Islam adalah untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah”.35 Artinya tujuan perkawinan itu adalah:

a. Untuk hidup dalam pergaulan yang sempurna.

b. Satu jalan yang amat mulia untuk mengatur rumah tangga dan turunan. c. Sebagai satu tali yang amat teguh guna memperoleh tali persaudaraan antara

kaum kerabat laki-laki (suami) dengan kaum kerabat perempuan (isteri), yang mana pertalian itu akan menjadi satu jalan yang membawa kepada

bertolongtolongan, antara satu kaum (golongan) dengan yang lain.36

Dalam hal ini Yani Trizakia yang mengutip pendapat Abdullah Kelib yang mengatakan bahwa :

Al-Qur’an sebagaimana sumber pokok tidak memberikan pedoman bahwa kaum pria atau suami menjadi “qowwamun” atas kaum wanita yang menjadi istrinya. Kandungan qowwamun inilah yang menjadi sifat responsive dalam membina rumah tangga yang bahagia. Kehidupan rumah tangga yang baik menjadi wajib hukumnya menurut syari’at Islam.37

Selanjutnya untuk sahnya perkawinan menurut UU Perkawinan diatur dalam Pasal 2 ayat (1) yang menyatakan ”Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”. Hal ini berarti Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut tata tertib aturan hukum yang berlaku dalam agama Islam, Katolik, Protestan, Hindu dan Budha. Kata ”hukum masing-masing agamanya”, berarti hukum dari salah satu agama itu masing-masing

35

Departemen Agama RI, Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama. Kompilasi

Hukum Islam di Indonesia.Jakarta: Direktorat Jendral Pembinaan Kelembagaan Agama.2000, hal 14.

36

Sulaiman Rasjid.H. Fiqh Islam. Attahiriyah, Jakarta, 2004, 37

(10)

bukan berarti ”hukum agamanya masing-masing” yaitu hukum agama yang dianut kedua mempelai atau keluarganya.

Hilma Hadi Kusuma mengatakan bahwa :

Apabila terjadi perkawinan antar agama baru dikatakan sah apabila perkawinan yang dilaksanakan menurut tata tertib aturan salah satu agama, agama calon suami atau agama calon isteri, bukan perkawinan yang dilaksanakan oleh setiap agama yang dianut kedua calon suami isteri dan atau keluarganya. Jika perkawinan telah dilaksanakan menurut hukum Budha kemudian dilakukan lagi perkawinan menurut hukum Protestan atau Hindu maka perkawinan itu menjadi tidak sah demikian pula sebaliknya.38

Keabsahan suatu perkawinan dalam Pasal 2 ayat (1) tersebut, dipertegas lagi dengan ketentuan Pasal 2 ayat (2) bahwa “Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”. Sedangkan yang dimaksud dengan hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu termasuk ketentuan perundang-undangan yang berlaku bagi golongan agamanya dan kepercayaannya itu sepanjang tidak bertentangan atau tidak ditentukan lain dalam UU Perkawinan”.

Dengan demikian, bagi penganut agama atau kepercayaan suatu agama, maka sahnya suatu perkawinan mereka oleh Undang-undang perkawinan ini telah diserahkan kepada hukum agamanya dan kepercayaannya itu. Artinya bagi orang-orang yang menganut agama dan kepercayaan suatu agama, tidak dapat melakukan perkawinan, kecuali apabila dilakukan menurut hukum agamanya dan kepercayaannya itu.

38

Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundangan,

(11)

Menurut UU No.1 tahun 1974. Syarat-syarat dalam UUP yang harus dipenuhi oleh orang yang hendak melangsungkan perkawinan adalah:

a. Syarat materiil

Dalam hal mengenai orang yang hendak kawin dan izin-izin yang harus diberikan oleh pihak-pihak ketiga, maka menurut Pasal 6 UU Perkawinan, adapun syarat-syarat (Syarat Materil) adalah sebagai berikut :

1. Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai.

2. Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orang tua.

3. Dalam hal salah seorang dari kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka izin cukup diperoleh dari orang tua yang masih hidup atau dari orang tua yang mampu manyatakan kehendaknya.

4. Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya, maka izin diperolah dari wali, orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke atas selama mereka masih hidup dan dalam keadaan dapat menyatakan kehendaknya.

5. Dalam hal perbedaan pendapat atau salah seorang atau lebih diantara mereka tidak menyatakan pendapatnya, maka Pengadilan dalam daerah hukum tempat tinggal orang yang akan melangsungkan pekawinan atas permintaan orang tersebut dapat memberikan izin setelah terlebih dahulu mendenganr orang-orang tersebut yang memberikan izin.

6. Ketentuan tersebut berlaku sepanjang hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain.

Syarat materiil ini dibedakan menjadi 2 (dua) macam, yaitu:

1) Syarat materiil mutlak ialah syarat yang harus dipenuhi oleh setiap orang yang hendak kawin dan tidak memandang dengan siapa ia hendak kawin serta

(12)

syarat-syarat ini berlaku umum. Jika syarat-syarat ini tidak dipenuhi maka orang tidak dapat melangsungkan perkawinan.

Syarat materiil mutlak terdiri dari:

a) kedua pihak tidak terikat dengan tali perkawinan yang lain; b) persetujuan bebas dari kedua pihak;

c) setiap pihak harus mencapai umur yang ditentukan oleh UU; d) izin dari pihak ketiga;

e) waktu tunggu bagi seorang perempuan yang pernah kawin dan ingin kawin lagi. Bagi wanita yang putus perkawinan karena perceraian, masa iddahnya 90 (sembilan puluh) hari dan karena kematian 130 (seratus tiga puluh) hari.39 2) Syarat materiil relatif, yaitu syarat untuk orang yang hendak dikawini. Jadi,

seseorang yang telah memenuhi syarat materiil mutlak (syarat untuk dirinya sendiri) tidak dapat melangsungkan perkawinan dengan orang yang tidak memenuhi syarat materiil relatif. Misalnya: mengawini orang yang masih ada hubungan dengan keluarga terlalu dekat.40

Syarat materiil relatif ini diatur dalam Pasal 8 dan 10 UU Perkawinan. Pasal 8 mengatur bahwa perkawinan dilarang antara 2 (dua) orang yang:

a) Berhubungan darah dengan garis keturunan lurus ke bawah atau keatas.

b) Berhubungan darah dengan garis keturunan menyamping yaitu antara saudara, antara seorang dengan saudara orang tua, dan antara seorang dengan saudara neneknya.

c) Berhubungan semenda yaitu mertua, anak tiri, menantu, dan ibu/ bapak tiri.

39

Wahyuni Setiyowati, Hukum Perdata I (Hukum Keluarga). F.H. Universitas 17 Agustus (UNTAG). Semarang 1997, hal 28.

40

(13)

d) Berhubungan dengan susuan yaitu orang tua susuan, saudara susuan, dan bibi/ paman susuan.

e) Berhubungan saudara dengan isteri atau sebagai bibi atau kemenakan dari isteri, dalam hal seorang suami beristeri lebih dari seorang.

Sedangkan Pasal 10 UUP mengatur mengenai larangan kawin kepada mereka yang telah putus perkawinannya karena cerai 2 (dua) kali dengan pasangan yang sama. Jadi, setelah cerai yang kedua kalinya mereka tidak dapat kawin lagi untuk yang ketiga pada orang yang sama. Hal ini dimaksudkan agar suami dan isteri dapat membentuk keluarga yang kekal, maka suatu tindakan yang mengakibatkan putusnya perkawinan harus benar-benar dapat dipertimbangkan dan dipikirkan masak-masak. Ketentuan ini dimaksudkan untuk mencegah tindakan kawin-cerai berulang kali, sehingga suami maupun isteri benar-benar saling menghargai satu sama lain.

b. Syarat formil

Selain syarat materil tersebut di atas, untuk melangsungkan perkawinan juga harus memenuhi syarat formil, adapun syarat-syarat formil tersebut adalah :

1. Pemberitahuan kehendak akan melangsungkan perkawinan pada Pegawai Pencatat Perkawinan;

2. Pengumuman oleh Pegawai Pencatat Perkawinan;

3. Pelaksanaan perkawinan menurut agamanya dan kepercayaannya masing-masing; 4. Pencatatan perkawinan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan.

(14)

Mengenai pemberitahuan kehendak akan melangsungkan perkawinan harus dilakukan sekurang-kurangnya 10 hari kerja sebelum perkawinan dilangsungkan. Dilakukan secara lisan oleh calon mempelai atau orang tua atau wakilnya yang memuat nama, agama/kepercayaan, pekerjaan, tempat kediaman calon mempelai dan nama isteri/suami terdahulu bila salah seorang atau keduanya pernah kawin.

Syarat untuk melaksanakan perkawinan diatur dalam Pasal 3, 4, 8, dan 10 Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975, yaitu tentang :

1) Pemberitahuan

Tentang pemberitahuan diatur dalam Pasal 3 dan 4 PP No. 9 Tahun 1975. Pasal 3 dan 4 PP No. 9 tahun 1975 mengatur :

a) Setiap orang yang akan melangsungkan perkawinan memberitahukan kehendaknya itu kepada pegawai pencatat di tempat perkawinan akan dilangsungkan.

b) Pemberitahuan tersebut dalam ayat 1 dilakukan sekurang-kurangnya 10 (sepuluh) hari kerja sebelum perkawinan dilangsungkan.

c) Pengecualian terhadap jangka waktu tersebut dalam ayat 2 (dua) disebabkan sesuatu alasan yang penting, diberikan oleh Camat atas nama Bupati Kepala Daerah.

d) Pasal 4 mengatur bahwa pemberitahuan dilakukan secara lisan atau tertulis oleh calon mempelai atau orang tua atau wakilnya kepada pegawai pencatat perkawinan.

(15)

2) Pengumuman

Setelah semua persyaratan terpenuhi maka pegawai pencatat menyelenggarakan pengumuman yang ditempel dipapan pengumuman kantor pencatat perkawinan. Ketentuan ini diatur di dalam Pasal 8 PP No. 9 Tahun 1975. 3) Pelaksanaan

“Setelah hari ke-10 (sepuluh) tidak ada yang mengajukan keberatan atas rencana perkawinan tersebut maka perkawinan dapat dilangsungkan oleh pegawai pencatat perkawinan. Khusus yang beragama Islam pegawai pencatat perkawinan hanya sebagai pengawas saja”.41

Di samping itu, perkawinan sah apabila dilaksanakan menurut hokum masing-masing agama dan kepercayaannya itu (Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan). Ahmad Djumairi mengatakan bahwa :

Yang dimaksud dengan hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu termasuk ketentuan perundang-undangan yang berlaku bagi golongan agama dan kepercayaannya sepanjang tidak bertentangan atau tidak ditentukan lain oleh Undang-Undang itu. Jadi bagi orang Islam tidak ada kemungkinan untuk kawin dengan melanggar hukum agamanya sendiri. Demikian juga bagi orang Kristen dan bagi Hindu maupun Budha.42

41

Setiyowati Wahyuni, Op.Cit., hal 39. 42

Achmad Djumairi. Hukum Perdata II. Dosen Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo. Semarang, 1990. hal 24.

(16)

Adapun syarat-syarat perkawinan menurut UU Perkawinan adalah:

a) Adanya persetujuan kedua calon mempelai. Kesepakatan kedua belah pihak untuk melangsungkan perkawinan, tanpa adanya paksaan dari pihak

manapun juga. Hal ini sesuai dengan hak asasi manusia atas perkawinan, dan sesuai dengan tujuan perkawinan yaitu membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

b) Bagi seorang yang belum mencapai usia 21 tahun, untuk melangsungkan perkawinan harus ada izin dari kedua orang tua. Menurut ketentuan Pasal 7 UUP, perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 tahun. Batas umur ini ditetapkan maksudnya untuk menjaga kesehatan suami-isteri dan keturunannya, yang berarti bahwa seorang yang belum mencapai umur 21 tahun harus mendapat izin kedua orang tua, karena mereka dianggap belum dewasa.

c) Bila salah seorang dari kedua orang tua telah meninggal atau tak mampu menyatakan kehendaknya, maka izin dapat diperoleh dari orang tua yang masih hidup atau orang tua yang mampu menyatakan kehendaknya.

d) Bila kedua orang tuanya telah meninggal dunia atau tak mampu menyatakan kehendaknya maka izin dapat diperoleh dari wali.

(17)

e) Bila ayat 2, 3, dan 4 pasal 6 ini tidak dapat dipenuhi, maka calon mempelai dapat mengajukan izin pada Pengadilan setempat.

f) Penyimpangan tentang Pasal 7 ayat (1) dapat minta dispensasi kepada Pengadilan. Kemudian di dalam KUH Perdata, syarat untuk melangsungkan perkawinan juga dibagi dua macam adalah: (1) syarat materiil dan (2) syarat formal. Syarat materiil, yaitu syarat yang berkaitan dengan inti atau pokok dalam melangsungkan perkawinan. Syarat ini dibagi dua macam, yaitu:

a) Syarat materiil mutlak, merupakan syarat yang berkaitan dengan pribadi seseorang yang harus diindahkan untuk melangsungkan perkawinan pada umumnya. Syarat itu meliputi:

1) Monogami, bahwa seorang pria hanya boleh mempunyai seorang isteri, seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami (Pasal 27 KUH Perdata).

2) Persetujuan antara suami-isteri (Pasal 28 KUH Perdata).

3) Terpenuhinya batas umur minimal, bagi laki-laki minimal berumur 18 (delapan belas) tahun dan bagi wanita berumur 15 (lima belas) tahun (Pasal 29 KUH Perdata).

4) Seorang wanita yang pernah kawin dan hendak kawin lagi harus mengindahkan waktu 300 (tiga ratus) hari setelah perkawinan terdahulu dibubarkan (Pasal 34 KUH Perdata).

(18)

5) Harus ada izin sementara dari orang tuanya atau walinya bagi anak-anak yang belum dewasa dan belum pernah kawin (Pasal 35 sampai dengan Pasal 49 KUH Perdata).

b) Syarat materiil relatif, ketentuan yang merupakan larangan bagi seseorang untuk kawin dengan orang tertentu. Larangan tersebut ada 2 (dua) macam, yaitu:

1) Larangan kawin dengan orang yang sangat dekat dalam kekeluargaan sedarah dan karena perkawinan.

2) Larangan kawin karena zina,

3) Larangan kawin untuk memperbarui perkawinan setelah adanya perceraian, jika belum lewat 1 (satu) tahun.

Syarat formal adalah syarat yang berkaitan dengan formalitas-formalitas dalam pelaksanaan perkawinan. Syarat ini dibagi dua tahapan, yaitu:

a. Pemberitahuan tentang maksud kawin dan pengumuman tentang maksud kawin (Pasal 50 sampai Pasal 51 KUH Perdata). Pemberitahuan tentang maksud kawin diajukan kepada Catatan Sipil. Pengumuman untuk maksud kawin dilakukan sebelum dilangsungkannya perkawinan, dengan jalan menempelkan pada pintu utama dari gedung dimana register-register Catatan Sipil diselenggarakan, dan jangka waktunya 10 (sepuluh) hari.

b. Syarat-syarat yang harus dipenuhi bersamaan dengan dilangsungkannya perkawinan. Apabila kedua syarat diatas, baik syarat materiil dan formal sudah dipenuhi maka perkawinan itu dapat dilangsungkan.43

43

(19)

Selain menurut UU Perkawinan dan KUH Perdata, dalam praktek juga dikenal syarat perkawinan menurut Kompilasi Hukum Islam. Syarat sah perkawinan/pernikahan harus memenuhi rukun nikah, yaitu:

a. Calon suami. b. Calon isteri. c. Wali.

d. Dua orang saksi. e. Ijab dan Kabul.

Syarat calon suami: 1) Harus beragama Islam. 2) Harus laki-laki (bukan banci). 3) Harus lelaki yang tertentu.

4) Harus yang boleh kawin dengan isteri itu.

5) Sudah tahu atau pernah melihat kepada calon isteri. 6) Harus suka dan ridla.

7) Harus tidak sedang mengerjakan Haji/ Umrah. 8) Harus perempuan yang halal dikawini.

9) Dan jika sudah beristeri, belum ada empat orang isteri. Syarat calon isteri:

1) Harus beragama Islam. 2) Harus wanita (bukan banci). 3) Harus perempuan yang tertentu.

(20)

4) Harus yang boleh dikawin. 5) Harus sudah luar iddah. 6) Harus suka dan ridha.

7) Tidak sedang mengerjakan Haji/ Umrah.

Perkawinan tanpa wali, tidak dapat diawasi oleh Pejabat Pencatat Nikah (PPN) dan tidak dapat perlindungan hukum. Oleh karena itu, wali adalah masalah pokok dalam perkawinan. Ijab yaitu ucapan dari wali/ orang tua atau wakilnya pihak perempuan sebagai penyerahan kepada pihak laki-laki. Sedangkan Kabul yaitu ucapan dari pengantin laki-laki atau wakilnya sebagai tanda penerimaan. Upacara Ijab dan Kabul ini, dilakukan dimuka PPN (pejabat pencatat nikah) yaitu di Masjid, boleh di rumah dengan memanggil PPN/ harus ada di bawah pengawasan PPN.

Berdasarkan uraian di atas, perkawinan sebagai suatu perbuatan hukum antara suami istri, bukan saja bermakna untuk merealisasikan ibadah kepada Tuhan tetapi untuk mewujudkan perkawinan yang begitu mulia, yaitu membina keluarga bahagia, kekal, berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, membina rumah tangga yang penuh dengan sakinah, mawaddah dan rahmah. Akibat hukum lain adalah terjaminnya hak-hak dan kewajiban suami istri serta anak-anak yang lahir dari perkawinan tersebut. Bila syarat perkawinan tak terpenuhi, maka perkawinan tersebut tidak sah atau batal demi hukum. Sedangkan rukun perkawinan adalah adanya calon suami, adanya calon isteri, adanya wali, adanya saksi dan ijab kabul.

Dalam setiap perkawinan pasti menimbulkan akibat hukum, antara lain timbulnya hak dan kewajiban suami dan isteri, hak dan kewajiban orang tua serta

(21)

kekuasaannya dan di samping itu timbulnya hak perwalian. Seorang anak yang dilahirkan sebagai akibat dari suatu perkawinan, disebut dengan anak sah. Anak sah sampai dia berusia dewasa, berada di bawah kekuasaan orang tuanya, selama kedua orang tuanya itu masih terikat tali perkawinan.

Ada pula kemungkinan menurut Pasal 229 KUH Perdata “selama perkawinan bapak dan ibunya, setiap anak sampai mereka itu dewasa tetap bernaung di bawah kekuasaan mereka, sejauh mereka itu tidak dibebaskan atau dipecat dari kekuasaannya itu”.

Menurut Subekti yang mengatakan bahwa :

Perwalian (Voogdij) adalah pengawasan terhadap anak yang di bawah umur,

yang tidak berada di bawah kekuasaan orang tua serta pengurusan benda atau kekayaan anak tersebut diatas oleh undang–undang. Anak yang

berada di bawah perwalian, adalah (1) Anak sah yang kedua orang tuanya telah dicabut kekuasaannya sebagai orang tua, (2) Anak sah yang orang

tuanya telah bercerai dan (3) Anak yang lahir di luar perkawinan (naturlijk kind).44

B. Putusnya Perkawinan dan Prosedur Pelaksanaannya

Menurut Pasal 38 UU Perkawinan, perkawinan dapat putus dikarenakan tiga hal, yaitu (1) Kematian, (2) Perceraian, dan (3) Atas Keputusan Pengadilan. Kematian merupakan penyebab putusnya perkawinan yang tidak dapat dihindari oleh pasangan suami isteri karena merupakan kehendak yang maha kuasa dan tidak dipengaruhi oleh kehendak manusia.

44

(22)

Kematian suami/istri tentunya akan mengakibatkan perkawinan putus sejak terjadinya kematian. Apabila perkawinan putus disebabkan meninggalnya salah satu pihak maka harta benda yang diperoleh selama perkawinan akan beralih kepada keluarga yang ditinggalkan dengan cara diwariskan. Demikian pula halnya dengan anak yang lahir dari perkawinan tersebut akan menjadi tanggung jawab dari pihak yang hidup lebih lama. Sedangkan putus perkawinan akibat perceraian dan atas keputusan pengadilan biasanya terjadi akibat adanya campur tangan manusia atau kehendak dari para pihak yang bersangkutan dengan perkawinan tersebut.

Pada dasarnya dilakukannya suatu perkawinan adalah bertujuan untuk selama-lamanya. Tetapi ada sebab-sebab tertentu yang mengakibatkan perkawinan tidak dapat diteruskan. Akan tetapi, dalam kenyataannya prinsip-prinsip berumah tangga kerapkali tidak dilaksanakan, sehingga suami dan isteri tidak lagi merasa tenang dan tenteram serta hilang rasa kasih sayang dan tidak lagi saling cinta mencintai satu sama lain, yang akibat lebih jauh adalah terjadinya perceraian. Kepada mereka yang mengakhiri perkawinannya akan diberikan akta perceraian sebagai bukti berakhirnya perkawinan mereka.

Pasal 221 KUH Perdata yang menetukan setiap salinan putusan perceraian yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap harus didaftarkan pada instansi berwenang guna dicatatkan oleh Pejabat Pencatat pada buku register perceraian. Pentingnya pencatatan ini adalah untuk memenuhi Pasal 34 ayat (2) Peraturan

(23)

Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 yang menentukan bahwa perceraian dianggap terjadi beserta segala akibat-akibat hukumnya terhitung sejak pendaftaran, kecuali bagi mereka yang beragama Islam terhitung sejak jatuhnya putusan Pengadilan Agama yang telah berkekuatan hukum tetap.

Ny Soemiyati mengatakan bahwa :

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan tidak memberikan batasan mengenai istilah perceraian. Pengertian perceraian dalam istilah figh disebut “talak” atau “furqah”. Adapun arti dari talak membuka ikatan membatalkan perjanjian, sementara furqah artinya bercerai yaitu lawan dari berkumpul. Selanjutnya kedua kata ini dipakai oleh para ahli figh sebagai satu istilah yang berarti perceraian antara suami isteri.45

Ketentuan mengenai perceraian diatur dalam Bab VIII Pasal 38 sampai dengan Pasal 41 Undang-undang Perkawinan mengenai putusnya perkawinan serta akibatnya. Pasal 39 ayat (1) Undang-undang Perkawinan ditentukan bahwa Perceraian hanya dapat dilakukan di depan Sidang Pengadilan setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak yang mana untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan bahwa antara suami istri itu tidak akan dapat rukun lagi sebagai suami isteri.

Menurut Penjelasan Pasal 39 ayat (2) Undang-undang Perkawinan terdapat beberapa hal yang dapat dijadikan sebagai alasan untuk mengajukan perceraian, yaitu:

45

Ny. Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan, Liberty, Yogyakarta, 2004, hal. 103

(24)

a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan;

b. Salah satu pihak meninggalkan yang lain selama dua tahun beturut-turut.tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemampuannya.

c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat selama perkawinan berlangsung;

d. salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit yang mengakibatkan tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami atau isteri;

e. salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan terhadap pihak lain;

f. antara suami dan isteri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun dalam rumah tangga.46

Selanjutnya dalam Pasal 41 Undang-Undang Perkawinan disebutkan beberapa hal akibat hukum putusnya perkawinan yang dikarenakan oleh perceraian :

a. Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak, bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, Pengadilan memberi keputusan.

b. Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu, bilamana bapak dalam kenyataannya tidak dapat memberi kewajiban tersebut, maka pengadilan dapat menentukan siapa yang ikut memikul biaya tersebut.

c. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas isteri.

Ketentuan Pasal 41 UU Perkawinan sebagaimana disebutkan di atas memberikan pengertian bahwa :

a. Mantan suami atau isteri berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak, bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak , Pengadilan memberikan keputusan.

46

(25)

b. Mantan suami bertanggungjawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu, bilamana dalam kenyataan suami tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut, Pengadilan dapat menentukan bahwa isteri ikut memikul biaya tersebut;

c. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/ atau menentukan kewajiban bagi bekas isteri.

Sementara menurut KUH Perdata mengenai putusnya perkawinan diatur dalam Pasal 199, 200-206b, 207-232a dan 233-249. Pasal 199 menerangkan putusnya perkawinan disebabkan:

a. karena meninggal dunia

b. karena keadaan tidak hadirnya salah seorang suami isteri selama sepuluh tahun diikuti dengan perkawinan baru isterinya / suaminya sesuai dengan ketentuan-ketentuan dalam bagian ke lima bab delapan belas;

c. karena putusan hakim setelah adanya perpisahan meja dan tempat tidur dan pendaftaran putusnya perkawinan itu dalam register catatan sipil, sesuai dengan ketentuan-ketentuan bagian kedua bab ini;

d. karena perceraian sesuai dengan ketentuan-ketentuan dalam bagian ketiga bab ini. Kemudian dalam Pasal 209 KUH Perdata menyebutkan beberapa alasan yang mengakibatkan terjadinya perceraian, yaitu:

a. zinah,

b. meninggalkan tempat tinggal bersama dengan itikad jahat

c. penghukuman dengan hukuman penjara lima tahun lamanya atau dengan hukuman yang lebih berat, yang diucapkan setelah perkawinan.

d. melukai berat atau menganiaya, dilakukan oleh si suami atau si isteri terhadap isteri atau suaminya, yang demikian sehingga membahayakan jiwa pihak yang dilukai atau dianiaya, atau sehingga mengakibatkan luka-luka yang membahayakan.

(26)

Kemudian dalam ajaran agama Islam perceraian hanya diperbolehkan apabila dipandang sebagai sesuatu yang bertentangan dengan asas-asas hukum Islam atau sebagai jalan keluar dari perselisihan keluarga yang sudah tidak mungkin lagi ada penyelesaiannya.

Perceraian dapat terjadi karena talak dan gugatan perceraian. Mengenai Talak telah diatur dalam Pasal 117-122 KHI yang menentukan talak adalah ikrar suami di hadapan sidang Pengadilan Agama yang menjadi salah satu sebab putusnya perkawinan.

Cerai talak diajukan oleh pihak suami yang petitumnya memohon untuk diizinkan menjatuhkan talak terhadap istrinya. Cerai talak yang diajukan oleh suami yang telah keluar dari agama Islam (riddah), produk putusannya bukan memberikan izin kepada suami untuk mengikrarkan talak, akan tetapi talak dijatuhkan oleh Pengadilan Agama.

Cerai gugat diajukan oleh istri yang petitumnya memohon agar Pengadilan Agama memutuskan perkawinan Penggugat dengan Tergugat. Gugatan hadhanah, nafkah anak, nafkah istri, mut'ah, nafkah iddah dan harta bersama suami istri, dapat diajukan bersama-sama dengan cerai gugat. Selama proses pemeriksaan cerai gugat sebelum sidang pembuktian, suami dapat mengajukan rekonvensi mengenai penguasaan anak dan harta bersama (Pasal 156 KHI).

(27)

Dalam perkara cerai gugat, istri dalam gugatannya dapat mengajukan gugatan provisi, begitu pula suami yang mengajukan rekonvensi dapat pula mengajukan gugatan provisi tentang hal-hal yang diatur dalam Pasal 24 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975.

Dalam suatu proses persidangan termasuk dalam hal ini proses sidang pengadilan yang menyangkut perceraian juga, melalui beberapa tahapan. Mengenai tahapan persidangan ini pengaturannya terdapat pada Pasal 15 sampai dengan Pasal 18 PP No. 9 Tahun 1975, yaitu:

a. Setelah Pengadilan menerima surat pemberitahuan itu, Pengadilan mempelajari surat tersebut.

b. Selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah menerima surat itu, Pengadilan memaggil suami dan isteri yang akan bercerai itu, untuk meminta penjelasan. c. Setelah Pengadilan mendapat penjelasan dari suami-isteri, ternyata memang

terdapat alasan-alasan untuk bercerai dan Pengadilan berpendapat pula bahwa antara suami-isteri yang bersangkutan tidak mungkin lagi didamaikan untuk hidup rukun lagi dalam rumah tangganya, maka Pengadilan memutuskan untuk mengadakan sidang untuk menyaksikan perceraian itu.

d. Sidang Pengadilan tersebut, setelah meneliti dan berpendapat adanya alasan-alasan untuk perceraian dan setelah berusaha untuk mendamaikan kedua belah pihak dan tidak berhasil, kemudian menyaksikan perceraian yang dilakukan oleh suami itu dalam sidang tersebut.

e. Sesaat setelah menyaksikan perceraian itu, Ketua Pengadilan memberi surat keterangan tentang terjadinya perceraian tersebut.

f. Surat keterangan tersebut dikirimkan kepada Pegawai Pencatat di tempat perceraian itu terjadi untuk diadakan pencatatan perceraian.

g. Perceraian itu terjadi terhitung pada saat perceraian itu dinyatakan di depan sidang.47

47

(28)

Untuk lebih jelasnya mengenai tahapan Sidang Pemeriksaan Perkara dapat dilihat pada uraian berikut.

a. Memasukkan gugatan

1) Agar gugatan dapat disidangkan, maka gugatan harus diajukan kepada Pengadilan yang berwenang.

2) Dalam pengajuan gugatan, pihak Penggugat harus mendaftarkannya dan gugatan itu baru dapat didaftar apabila biaya perkara sudah dilunasi.

3) Setelah terdaftar, gugatan diberi nomor perkara dan kemudian diajukan kepada Ketua Pengadilan.

b. Persiapan Sidang

1) Setelah Ketua Pengadilan menerima gugatan maka ia menunjuk hakim yang ditugaskan untuk menangani perkara tersebut. Pada prinsipnya pemeriksaan dalam persidangan dilakukan oleh Majelis Hakim.

2) Hakim yang bersangkutan dengan surat ketetapan menentukan hari sidang dan memanggil para pihak agar menghadap pada sidang Pengadilan pada hari yang telah ditetapkan dengan membawa saksi-saksi serta bukti-bukti yang diperlukan (HIR Pasal 121 ayat (1), Rbg pasal 145 ayat (1)).

3) Pemanggilan dilakukan oleh Jurusita. Surat panggilan tersebut itu dinamakan exploit. Exploit beserta salinan surat gugat diserahkan kepada tergugat pribadi di tempat tinggalnya.

4) Apabila Tergugat tidak diketemukan, surat panggilaan tersebut diserahkan kepada Kepala Desa yang bersangkutan untuk diteruskan kepada Tergugat (HIR Pasal 390 ayat (1), Rbg Pasal 718 ayat (1)).

5) Kalau Tergugat sudah meninggal maka surat panggilan disampaikan kepada ahli warisnya dan apabila ahli warisnya tidak diketahui maka disampaikan kepada Kepala Desa di tempat tinggal terakhir.

6) Apabila tempat tinggal tidak diketahui maka surat panggilan diserahkan kepada Bupati dan untuk selanjutnya surat panggilan tersebut ditempelkan pada papan pengumuman di Pengadilan Negeri yang bersangkutan.

7) Pasal 126 HIR, Rbg pasal 150 memberi kemungkinan untuk memanggil sekali lagi tergugat sebelum perkaranya diputus hakim.

8) Setelah melakukan panggilan, Jurusita harus menyerahkan relaas (risalah) panggilan kepada hakim yang akan memeriksa perkara yang bersangkutan. Relaas itu merupakan bukti bahwa Tergugat telah

(29)

9) Kemudian pada hari yang telah ditentukan sidang pemeriksaan perkara dimulai. 48

Pada saat proses jalannya sidang kegiatan yang dilaksanakan dapat dijelaskan sebagai berikut.

a. Susunan Persidangan Terdiri dari:

1) Hakim tunggal atau Hakim Majlis terdiri dari satu Hakim Ketua dan dua Hakim Anggota, yang dilengkapi oleh Panitera sebagai pencatat jalannya persidangan.

2) Pihak Penggugat dan Tergugat duduk berhadapan dengan Hakim dan posisi Tergugat di sebelah kanan dan Penggugat di sebelah kiri Hakim.

Apabila persidangan berjalan lancar maka jumlah persidangan kurang lebih 8 (delapan) kali yang terdiri dari sidang pertama sampai dengan putusan hakim. b. Sidang Pertama

Setelah Hakim Ketua membuka sidang dengan menyatakan “sidang dibuka untuk umum” dengan mengetuk palu, Hakim memulai dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan kepada Penggugat dan Tergugat.

1) Identitas Penggugat. 2) Identitas Tergugat.

3) Apa sudah mengerti maksud didatangkannya para pihak di muka sidang Pengadilan.

4) Hakim menghimbau agar dilakukan perdamaian.

Dalam hal ini meskipun para pihak menjawab tidak mungkin damai karena usaha penyelesaian perdamaian sudah dilakukan berkali-kali, hakim tetap meminta agar dicoba lagi. Jadi pada sidang pertama ini sifatnya merupakan cecking identitas para pihak dan apakah para pihak sudah mengerti mengapa mereka dipanggil untuk menghadiri sidang.

Sebagai bukti identitasnya, para pihak menunjukkan KTP masing-masing. Apabila yang datang Kuasa Penggugat dan Tergugat, maka Hakim mempersilahkan para pihak untuk meneliti khusus surat kuasa pihak lawan. Apabila tidak ditemukan kekurangan atau cacat maka sidang dilanjutkan. Setelah para pihak dianggap sudah mengerti maka hakim menghimbau agar kedua belah pihak mengadakan perdamaian, kemudian sidang ditangguhkan.

48

Soeroso, Tata Cara dan Proses Persidangan, Praktek Hukum Acara Perdata. Sinar Grafika, Jakarta, 1996, hal 39-40.

(30)

c. Sidang Kedua (Jawaban Tergugat)

1) Apabila para pihak dapat berdamai maka ada dua kemungkinan. a) Gugatan dicabut.

b) Mereka mengadakan perdamaian diluar atau dimuka sidang.

2) Apabila perdamaian dilakukan diluar sidang, maka Hakim tidak ikut campur. Kedua belah pihak berdamai sendiri. Ciri dari pada perdamaian diluar

Pengadilan ialah:

a) Dilakukan para pihak sendiri tanpa ikut campurnya Hakim.

b) Apabila salah satu pihak ingkar janji, permasalahannya dapat diajukan lagi kepada Pengadilan.

3) Apabila perdamaian dilakukan di muka Hakim, maka ciri-cirinya ialah: a) Kekuatan Perdamaian sama dengan putusan Pengadilan.

b) Apabila salah satu pihak melakukan ingkar janji, perkara tidak dapat diajukan.

4) Apabila tidak tercapai suatu perdamaian, maka sidang dilanjutkan dengan penyerahan jawaban dari pihak Tergugat. Jawaban ini dibuat rangkap tiga. Lembar pertama untuk Penggugat, Lembar kedua untuk Hakim, Lembar ketiga untuk arsip Tergugat sendiri.

d. Sidang Ketiga (Replik)

Pada sidang ini Penggugat menyerahkan replik, satu untuk Hakim, satu untuk Tergugat, dan satu untuk simpanan Penggugat sendiri. Replik adalah taggapan Penggugat terhadap jawaban Tergugat.

e. Sidang Keempat (Duplik)

Dalam sidang, Tergugat menyerahkan duplik yaitu tanggapan Tergugat terhadap duplik Penggugat.

f. Sidang Kelima (Pembuktian dari Penggugat)

Sidang kelima dapat disebut sebagai sidang pembuktian oleh Penggugat. Disini Penggugat mengajukan bukti-bukti yang memperkuat dalil-dalil Tergugat. Bukti-bukti yang dimaksud terdiri dari surat-surat dan saksi-saksi. Bukti-Bukti-bukti surat (foto copy) harus di nazegelen lebih dulu dan pada waktu sidang dicocokkan dengan aslinya oleh Hakim maupun pihak Tergugat. Hakim mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang dilanjutkaan oleh Tergugat sedangkan pihak Penggugat memberi jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut.

Terhadap saksi-saksi Hakim mempersilahkan Penggugat mengajukan pertanyaan lebih dahulu, kemudian Hakim sendiri juga mengajukan pertanyaan-pertanyaan dalam rangka mendapat keyakinan. Dalam sidang perdata justru dalam pembuktian ini ada tanya jawab dan perdebatan-perdebatan di bawah pimpinan

(31)

hakim. Apabila pembuktian ini belum selesai maka dilanjutkan pada sidang berikutnya.

Sidang pembuktian ini dapat cukup sehari, tetapi biasanya dua tiga kali atau lebih tergantung kepada kelancaran pembuktian. Perlu dicatat disini bahwa sebelum dinyatakan serta member keterangan saksi harus disumpah terlebih dahulu dan tidak boleh masuk dalam ruang sidang bila belum dipanggil.

g. Sidang Keenam (Pembuktian dari Tergugat)

Kalau sidang kelima merupakan sidang pembuktian Penggugat, maka sidang keenam ini adalah sidang pembuktian dari pihak Tergugat. Jalannya sidang sama dengan sidang kelima dengan catatan bahwa yang mengajukan bukti-bukti dan saksi-saksi adalah Tergugat, sidang tanya jawabnya kebalikan dari pada sidang kelima.

h. Sidang Ketujuh

Sidang ketujuh adalah sidang penyerahan kesimpulan. Disini kedua belah pihak membuat kesimpulan dari hasil-hasil sidang tersebut. Isi pokok kesimpulan sudah barang tentu yang menguntungkan para pihak sendiri.

g. Sidang Kedelapan

Sidang kedelapan dinamakan sidang putusan hakim. Dalam sidang ini hakim membacakan putusan yang seharusnya dihadiri oleh para pihak. Setelah selesai membaca putusan maka hakim mengetukkan palu tiga kali dan para pihak diberi kesempatan untuk mengajukan banding apabila tidak puas dengan keputusan hakim. Pernyataan banding ini harus dilakukan dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari terhitung mulai sehari sehabis dijatuhkan putusan.49

C. Akibat Hukum dari Perceraian

Akibat hukum adalah akibat yang ditimbulkan oleh peristiwa hukum.50 Sedangkan pengertian peristiwa hukum adalah peristiwa kemasyarakatan yang membawa akibat yang diatur oleh hukum.51 Adapun akibat hukum dalam kaitannya dengan akibat perceraian ini diatur di dalam Pasal 41 UU Perkawinan yang telah dijelaskan sebelumnya.

49

Ibid, hal 39 - 44. 50

J.B. Daliyo, Pengantar Ilmu Hukum, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1992, hal. 104. 51

(32)

Akibat putusnya perkawinan karena perceraian diatur dalam Pasal 156 Inpres Nomor 1 tahun 1991. Ada tiga akibat putusnya perkawinan karena perceraian yaitu: 1. Terhadap anak-anaknya,

2. Terhadap harta bersama (harta yang diperoleh selama dalam perkawinan).

3. Terhadap mut’ah (pemberian bekas suami kepada bekas isterinya yang dijatuhi talak berupa benda atau uang dan lainnya).

Untuk lebih jelasnya dapat dilihat uraian berikut.

1. Akibat terhadap anak

Keluarga yang pecah ialah keluarga dimana terdapat ketiadaan salah satu dari orang tua karena kematian, perceraian, hidup berpisah, untuk masa yang tak terbatas ataupun suami meninggalkan keluarga tanpa memberitahukan kemana ia pergi.52 Hal ini menyebabkan :

1. Anak kurang mendapatkan perhatian, kasih sayang, dan tuntutan pendidikan orang tua, terutama bimbingan ayah, karena ayah dan ibunya masing-masing sibuk mengurusi permasalahan mereka.

2. Kebutuhan fisik maupun psikis anak remaja menjadi tidak terpenuhi, keinginan harapan anak-anak tidak tersalur dengan memuaskan, atau tidak mendapatkan kompensasinya.

52

(33)

3. Anak-anak tidak mendapatkan latihan fisik dan mental yang sangat diperlukan untuk hidup susila. Mereka tidak dibiasakan untuk disiplin dan kontrol diri yang baik.

Jadi akibat yang timbul dari perceraian menyebabkan anak merasa terabaikan. Oleh karena itu, Kartini Kartono mengatkan bahwa :

Sebagai akibat bentuk pengabaian tersebut, anak menjadi bingung, resah, risau, malu, sedih, sering diliputi perasaan dendam, benci, sehingga anak menjadi kacau dan liar. Dikemudian hari mereka mencari kompensasi bagi kerisauan batin sendiri diluar lingkungan keluarga, yaitu menjadi anggota dari suatu gang kriminal; lalu melakukan banyak perbuatan brandalan dan kriminal. Pelanggaran kesetiaan loyalitas terhadap patner hidup, pemutusan tali perkawinan, keberantakan kohesi dalam keluarga. Semua ini juga memunculkan kecenderungan menjadi delinkuen pada anak-anak dan remaja. Setiap perubahan dalam relasi personal antara suami-istri menjurus pada arah konflik dan perceraian. Maka perceraian merupakan faktor penentu bagi pemunculan kasus-kasus neurotik, tingkah laku a-susila, dan kebiasaan delinkuen.53

Lebih lanjut Kartini kartono juga mengatakan bahwa :

Penolakan oleh orang tua atau ditinggalkan oleh salah seorang dari kedua orang tuanya, jelas menimbulkan emosi, dendam, rasa tidak percaya karena merasa dikhianati, kemarahan dan kebencian, sentimen hebat itu menghambat perkembangan relasi manusiawi anak. Muncullah kemudian disharmonis social dan lenyapnya kontrol diri, sehingga anak dengan mudah dapat dibawa ke arus yang buruk, lalu menjadi kriminal. Anak ini memang sadar, tetapi mengembangkan kesadaran yang salah. Fakta menunjukkan bahwa tingkah laku yang jahat tidak terbatas pada strata sosial bawah, dan strata ekonomi rendah saja tetapi juga muncul pada semua kelas, khususnya dikalangan

53

Kartini Kartono.Patologi Sosial 2 Kenakalan Remaja. Grafindo Persada, Jakarta, 2002, hal 17.

(34)

keluarga yang berantakan. Memang perceraian suami-istri dan perpisahan tidak selalu mengakibatkan kasus delinkuen dan karakter pada diri anak.54 Akan tetapi, “semua bentuk ketegangan batin dan konflik familiar itu mengakibatkan bentuk ketidakseimbangan kehidupan psikis anak. Di samping itu juga tidak berkembangnya tokoh ayah sebagai sumber otoritas bagi anak laki-laki”.55 “Sehingga anak berkembang menjadi kasar, liar, brutal, tidak terkendali, sangat agresif dan criminal”.56

2. Akibat terhadap harta

Menurut Pasal 35 UU Perkawinan harta perkawinan ada yang disebut harta bersama yakni harta benda yang diperoleh selama perkawinan berlangsung. Disamping ini ada yang disebut harta bawaan dari masing-masing suami dan istri serta harta yang diperoleh dari masing-masing sebagai hadiah atau warisan sepanjang para pihak tidak menentukan lain. Karena itu Pasal 36 UUP menentukan bahwa mengenai harta bersama, suami atau istri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak, sedang mengenai harta bawaan dan harta diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, suami dan istri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya.

“Suatu perceraian akan membawa akibat hukum yaitu adanya pembagian harta bersama bagi para pihak yang ditinggalkannnya. Pembagian tersebut perlu

54

Ibid., hal 18 55

Yani Trizakia, Op.Cit, hal 57.

56

(35)

dilakukan guna menentukan hak-hak para pihak yang ditinggalkannya. Dari segi bahasa harta yaitu barang-barang (uang dan sebagainya) yang menjadi kekayaan”.57 “Sedangkan yang dimaksud dengan harta bersama yaitu harta kekayaan yang diperoleh selama perkawinan di luar hadiah atau warisan”.58 Maksudnya adalah harta yang didapat atas usaha mereka atau sendiri-sendiri selama masa ikatan perkawinan.

Sedangkan yang dimaksud harta benda perkawinan adalah “semua harta yang dikuasai suami isteri selama mereka terikat dalam ikatan perkawinan, baik harta kerabat yang dikuasai, maupun harta perorangan yang berasal dari harta warisan, harta penghasilan sendiri, harta hibah, harta pencarian bersama suami isteri dan barang-barang hadiah”.59

Menurut Mukti Arto dalam suatu perkawinan terdapat tiga macam harta kekayaan, yaitu:

a. Harta pribadi suami ialah:

1) Harta bawaan suami, yaitu yang dibawa sejak sebelum perkawinan, 2) Harta yang diperolehnya sebagai hadiah atau warisan

b. Harta pribadi isteri ialah:

1) Harta bawaan isteri, yaitu yang dibawanya sejak sebelum perkawinan, 2) Harta yang diperolehnya sebagai hadiah atau warisan.

c. Harta bersama suami isteri atau syirkah ialah harta yang diperoleh baik sendiri-sendiri atau bersama suami-isteri selama dalam ikatan perkawinan, tanpa mempersoalkan terdaftar atas nama siapapun.60

57 Kamus Besar Bahasa Indonesia

, Depdikbud, Balai Pustaka, Tahun 1989, cet.2, hal. 199 58

Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1995, hal. 200

59

Hilman Hadi Kusuma, Hukum Perkawinan Adat, Citra Aditya Bakti, Bandung, cet. IV, Tahun 1999, hal. 156

60

Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata pada Pengadilan Agama, Pustaka Pelajar, Yogyakarta Tahun 1998, hal. 70

(36)

Ketentuan mengenai harta dalam perkawinan menurut Pasal 35 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan menyebutkan :

1. Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama.

2. Harta bawaan dari masing-masing suami dan isteri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah di bawah

penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain.

Dari ketentuan Pasal 35 Undang-Undang Perkawinan itu pula Satrio menyimpulkan bahwa harta dalam perkawinan mungkin berupa :

1. Harta bersama

2. Harta Pribadi, dapat berupa: a. Harta bawaan suami b. Harta bawaan isteri

c. Harta hibahan/ warisan suami d. Harta hibahan/ warisan isteri.

Dengan demikian harta yang telah dipunyai pada saat (dibawa masuk ke dalam) perkawinan terletak diluar harta bersama. Menurut Pasal 37 jo penjelasan

Pasal 35 UU Perkawinan, apabila perkawinan putus, maka harta bersama itu diatur menurut hukumnya masing-masing. Hal ini tidak dijelaskan perkawinan putus karena apa. Oleh karena itu perkawinan putus mungkin karena salah satu pihak meninggal, mungkin pula karena perceraian.

Dengan demikian penyelesaian harta bersama adalah sebagai berikut:

1. Bagi mereka yang kawin menurut agama Islam, hukum Islam tidak mengenal harta bersama, karena istri diberi nafkah oleh suami, yang ada

(37)

ialah harta milik masing-masing suami dan istri. Harta ini adalah hak mereka masing-masing.

2. Bagi mereka yang kawin menurut agama Islam dan agama-agama lainnya, tetapi tunduk kepada hukum adat yang mengenal harta bersama (gono-gini atau harta guna kaya), jika terjadi perceraian bekas suami dan bekas istri masing-masing mendapat separoh (Yurisprudensi Mahkamah Agung No.387k/ Sip/ 1958 tanggal 11-2-1959 dan No.392k/ Sip/ 1969 tanggal 30-8-1969).

3. Bagi mereka yang kawin menurut agama Kristen, tetap tunduk kepada KUH Perdata yang mengenal harta bersama (persatuan harta sejak terjadi perkawinan). Jika terjadi perceraian, harta bersama dibagi dua antara bekas suami dan bekas istri, Pasal 128 KUH Perdata

Pasal 37 UUP belum memberikan penyelesaian tuntas mengenai harta bersama dalam hal terjadi perceraian, malah masih menghidupkan dualisme hukum. Padahal hukum adat sudah memberikan penyelesaian yang adil yaitu separoh bagi bekas suami dan separoh bagi bekas istri. Demikian juga KUH Perdata memberikan penyelesaian bahwa harta bersama dibagi dua antara bekas suami dan bekas istri.

Rumusan Pasal 37 UU Perkawinan juga dibagi dua, separoh untuk bekas suami dan separoh untuk bekas istri. Rumusan itu adalah sesuai dengan asas “hak dan kedudukan yang seimbang antara suami dan istri”. Akan tetapi, dalam hukum Islam Kekayaan Suami-Isteri terpisah masing-masing satu sama lainnya. Harta milik

(38)

masing-masing pada waktu pernikahan dimulai, tetap menjadi miliknya sendiri-sendiri. Demikian juga harta yang mereka peroleh masing-masing selama berlangsung pernikahan tidak bercampur menjadi kekayaan bersama, tetapi tetap terpisah satu sama lain. “Terhadap milik suami, si-isteri tidak berhak begitu saja, dan sebaliknya. Tetapi suami-isteri walaupun bukan sebagai pemiliknya tetap boleh memakai harta itu berdasarkan perjanjian antara suami-isteri yang biasanya berlaku secara diam-diam”.61

Menurut hukum Islam apabila bercerai dua orang suami-isteri, sedang keduanya sudah mempunyai anak yang belum mumayiz (belum mengerti kemaslahatan dirinya), maka isterilah yang berhak untuk mendidik dan merawat anaknya itu, sehingga sampai ia mengerti akan kemaslahatan dirinya.

Dalam waktu itu hendaklah si-anak tinggal bersama ibunya, selama ibunya belum kawin dengan orang lain. Meskipun si-anak ditinggalkan bersama ibunya, tetapi belanjanya tetap wajib dipikul oleh bapaknya. Sabda Rasulullah SAW: Artinya: Seorang perempuan telah datang mengadukan halnya kepada Rasulullah SAW perempuan itu berkata: “ saya telah diceraikan oleh suami saya, dan anak saya akan diceraikannya dari pada saya”. Kata Rasulullah kepada perempuan itu: “ Engkaulah yang lebih berhak untuk mendidik anaknya selama engkau belum kawin dengan orang lain”(Riwayat Abu Daud dan Hakim).

61

(39)

Apabila si-anak sudah mengerti, hendaklah diselidiki oleh yang berwajib, siapakah diantara keduanya (ibu atau bapak) yang lebih baik dan lebih pandai, untuk mendidik anak itu, maka hendaklah si-anak diserahkan kepada yang lebih cakap untuk mengatur kemaslahatan anak itu. Akan tetapi, kalau keduanya sama saja, anak itu harus disuruh memilih kepada siapa diantara keduanya dia lebih suka. Sabda Rasulullah SAW yang artinya: “ Bahwasannya Nabi besar SAW telah menyuruh pilih kepada seorang anak yang sudah sedikit mengerti untuk tinggal bersama bapaknya atau bersama ibunya” Riwayat Ibnu Majah dan Tirmidzi.62.

Berdasakan uraian di atas, jelaslah bahwa kewajiban orang tua terhadap anaknya adalah memberi nafkah, seorang ayah berkewajiban untuk memberikan jaminan nafkah terhadap anaknya, baik pakaian, tempat tinggal maupun kebutuhan lainnya, meskipun hubungan perkawinan orang tua si anak putus. Suatu perceraian tidak berakibat hilangnya kewajiban orang tua untuk tetap memberi nafkah kepada anak-anaknya sampai dewasa atau dapat berdiri sendiri.

D. Hak Pemeliharaan Anak setelah Perceraian dalam Putusan Pengadian Negeri Medan No. 101/Pdt.G/2009/PN/MDN

Peristiwa perceraian, apapun alasannya, merupakan malapetaka bagi anak, anak tidak akan dapat lagi menikmati kasih sayang orang tua secara bersamaan yang sangat penting bagi pertumbuhan mentalnya, tidak jarang pecahnya rumah tangga mengakibatkan terlantarnya pengasuhan anak. Itulah sebabnya dalam ajaran Islam

62

(40)

perceraian harus dihindarkan sedapat mungkin bahkan merupakan perbuatan yang paling dibenci Allah SWT. “Bagi anak-anak yang dilahirkan, perceraian orang tuanya merupakan hal yang akan mengguncang kehidupannya dan akan berdampak buruk bagi pertumbuhan dan perkembangannya, sehingga biasanya anak-anak adalah pihak yang paling menderita dengan terjadinya perceraian orang tuanya”.63

Setelah terjadinya perceraian, Pengadilan memutuskan siapa di antara ayah dan ibu yang berhak menjalankan kuasa orang tua demi kelangsungan pemeliharaan dan pengasuhan anak, tidak jarang terjadi perebutan mengenai hak asuh anak, masing-masing bekas suami isteri merasa paling berhak dan paling layak untuk menjalankan hak asuh.

Dalam ajaran Islam, ada dua periode perkembangan anak dalam hubungannya dengan hak asuh orang tua, yaitu periode sebelum mumayyiz atau anak belum bisa membedakan antara yang bermanfaat dan yang berbahaya bagi dirinya, dari lahir sampai berumur tujuh atau delapan tahun, menurut Kompilasi Hukum Islam sampai berusia 12 tahun, dan sesudah mumayyiz (Pasal 106 KHI).

Sebelum anak mumayyiz, ibu lebih berhak menjalankan hak asuh anak karena ibu lebih mengerti kebutuhan anak dengan kasih sayangnya apalagi anak pada usia tersebut sangat membutuhkan hidup di dekat ibunya. Masa mumayyiz dimulai sejak

63

Satria Effendi, Makna, Urgensi dan Kedudukan Nasab dalam Perspektif Hukum

Keluarga Islam, (Artikel Jurnal Mimbar Hukum, Jakarta, Al-Hikmah dan DITBINBAPERA Islam No. 42 Tahun X 1999), hal. 166-7.

(41)

anak secara sederhana sudah mampu membedakan mana yang berbahaya dan bermanfaat bagi dirinya, ini dimulai sejak umur tujuh tahun sampai menjelang dewasa (balig berakal).

“Pada masa ini anak sudah dapat memilih dan memutuskan apakah akan memilih ikut ibu atau ayahnya. Tetapi dalam kondisi tertentu ketika pilihan anak tidak menguntungkan bagi anak, demi kepentingan anak hakim boleh mengubah putusan itu dan menentukan mana yang maslahat bagi anak”.64

Sengketa hak asuh anak berbeda dengan sengketa harta, dalam sengketa harta putusan hakim bersifat menafikan hak milik pihak yang kalah, tetapi putusan hak asuh sama sekali tidak menafikan hubungan pihak yang kalah dengan anak yang disengketakan, sehingga tidak sepatutnya sengketa hak asuh dipertajam ketika sudah diputuskan oleh Pengadilan. Sehingga lazimnya walaupun putusan memenangkan pihak ibu dan mengalahkan pihak ayah, biasanya putusan juga menyatakan ayah tetap berkewajiban membelanjai kebutuhan anaknya dan ibu tidak boleh menghalang-halangi ayah berhubungan dengan anaknya demikian juga sebaliknya, meskipun orang tuanya sudah bercerai anak tetap bebas berhubungan dan mendapatkan kasih sayang dari kedua orang tuanya.65

Dengan terjadinya perceraian, pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas isteri. Sebagai ibu atau bapak mereka tetap

64 Ibid

., Hal 181. 65

(42)

berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anak dan jika ada perselisihan mengenai penguasaan anak pengadilan memberi putusan dengan semata-mata mendasarkan kepada kepentingan anak. Seorang bapak bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak dan jika bapak ternyata tidak dapat memenuhi kewajibannya pengadilan dapat menentukan ibu ikut memikulnya (Pasal 41 UU Perkawinan).

Semua biaya hadlanah dan nafkah anak menjadi tanggungan ayah menurut kemampuannya, sekurang-kurangnya sampai anak tersebut dewasa dan dapat mengurus diri sendiri atau sampai usia 21 tahun. Bilamana terjadi perselisihan mengenai hadlanah dan nafkah anak maka pengadilanlah yang memutuskannya (Pasal 156 d dan e KHI).

Kewajiban orang tua untuk memelihara dan mendidik anak tetap melekat meskipun hubungan perkawinan orang tua putus (Pasal 45 UU Perkawinan). Apabila pemegang hadlanah tidak dapat menjamin keselamatan jasmani dan rohani anak, pengadilan dapat memindahkan hak hadlanah. Semua biaya hadlanah dan nafkah anak menjadi tanggungan ayah sesuai kemampuannya sampai anak dewasa dan dapat mengurus diri sendiri (21 tahun) (Pasal 156 KHI).

“Sehubungan dengan kewajiban nafkah dan hadlanah, pihak bapak atau ibu yang merasa dirugikan, sebagai akibat adanya pelanggaran kewajiban hadlanah, dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Agama agar pihak yang lalai memenuhi kewajibannya”.66 Karena orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk mengasuh, memelihara, mendidik dan melindungi anak. Menumbuh kembangkan

66

(43)

anak sesuai dengan kemampuan, bakat dan minatnya. Mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak-anak (Pasal 26 UU No. 3 Tahun 2006 tentang Pengadilan Agama). Orang tua adalah yang pertama-tama bertanggung jawab atas kesejahteraan anak, kewajiban memelihara dan mendidik anak sedemikian rupa, sehingga anak dapat tumbuh dan berkembang menjadi orang yang cerdas, sehat, berbakti kepada orang tua, berbudi pekerti luhur, bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berkemauan serta berkemampuan meneruskan cita-cita bangsa berdasarkan Pancasila. Orang tua yang terbukti melalaikan tanggung jawabnya, dapat dicabut kuasa asuhnya dengan putusan Hakim. Pencabutan kuasa asuh tidak menghapuskan kewajiban orang tua untuk membiayai penghidupan, pemeliharaan dan pendidikan anak sesuai kemampuan penghidupannya (Pasal 9 dan Pasal 40 UUPA).

Selagi anak belum berusia 18 tahun atau belum menikah ia berada di bawah kekuasaan orang tuanya yang akan mewakilinya mengenai perbuatan hukum di dalam dan di luar pengadilan (Pasal 47 UU Perkawinan). Meskipun memegang kuasa, orang tua tidak boleh memindahkan hak atau menggadaikan barang-barang tetap milik anaknya kecuali kepentingan anak menghendaki (Pasal 48 UU Perkawinan). Jika orang tua melalaikan kewajibannya atau berkelakuan yang sangat buruk, kekuasaannya terhadap anak dapat dicabut untuk waktu tertentu, pencabutan kekuasaan orang tua dapat dimintakan ke pengadilan oleh salah satu orang tua, keluarga anak dalam garis lurus ke atas, saudara

(44)

kandung yang telah dewasa atau oleh pejabat berwenang, kekuasaan orang tua yang dicabut tidak menghilangkan kewajibannya untuk tetap memberi biaya pemeliharaan kepada anak (Pasal 49 UU Perkawinan).

Dengan demikian jelas bahwa kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak sebaik-baiknya sampai anaknya kawin atau dapat berdiri sendiri. Kewajiban orang tua untuk memelihara dan mendidi anak tetap melekat meskipun hubungan perkawinan orang tua putus. Orang tua dan keluarga serta pemerintah bertanggung jawab menjaga kesehatan anak dan merawat anak sejak dalam kandungan. Wajib mengusahakan agar anak yang lahir terhindar dari penyakit yang mengancam kelangsungan hidup dan atau menimbulkan kecacatan. Melindungi anak dari upaya transplantasi, pengambilan atau jual beli organ atau jaringan tubuh, dijadikan obyek dalam penelitian kesehatan tanpa izin orang tua dan yang bukan mengutamakan kepentingan terbaik anak.

Anak mempunyai hak tertentu yang harus dipenuhi orang tua, sebaliknya orang tua juga memiliki hak yang harus dipenuhi anaknya. Hak anak untuk mendapatkan penghidupan yang layak meliputi sandang, pangan, pendidikan dan kesehatan merupakan nafkah anak (alimentasi) yang harus dipenuhi orang tua, terutama ayah, baik dalam masa perkawinan atau pun setelah terjadi perceraian.

Namun nafkah anak seringkali dilalaikan ayah setelah terjadinya perceraian, sebenarnya nafkah anak yang dilalaikan dapat dimintakan eksekusi oleh ibu atau

Referensi

Dokumen terkait

5-9 Tabel 5.3 Identifikasi Indikasi Program RTRW Kabupaten Sumbawa Barat Terkait Pembangunan Infratsruktur Bidang Cipta Karya

Hal ini dapat dilakukan dengan memanipulasi media kultur tersebut sedemikian rupa sehingga sel-sel tersebut dapat bereproduksi in vitro dan mengalami perkembangan

Berdasarkan uraian di atas maka penelitian ini akan menguji kembali pengaruh tax planning, tunneling incentive, intangible assets, leverage, dan profitabilitas terhadap keputusan

Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa sebesar 44,5% manajemen laba yang diproksikan dengan nilai discretionary accruals dipengaruhi oleh variabel independen

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara jumlah leukosit di cairan semen dengan morfologi spermatozoa pada pria yang melakukan pemeriksaan analisis semen di

PEKERJAAN : GEDUNG KANTOR DINAS PERHUBUNGAN.. LOKASI :

Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat diketahui pada hari atau minggu keberapa setelah vaksinasi timbul kekebalan yang lengkap serta pengaruh vaksinasi terhadap viremia,

Di dalam kurung tulis bulan penerbitan jurnal dan tahun diakhiri dengan tanda koma dan tulis “hal.” atau “p.” sesuai dengan bahasa tulisan diikuti nomor halaman..