• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II KAJIAN PUSTAKA"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

8

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

Penelitian terdahulu di ambil dengan fokus dan lingkungan yang sama. Penelitian tentang pola asuh anak menjadi dasar yang di ambil oleh peneliti saat menentukan penelitian terdahulu..

1. Penelitian terdahulu yang pertama adalah penelitian dari Indriani Kurnia Putri tahun 2010 yang berjudul “Pola Pengasuhan Anak pada Keluarga Nelayan Pandhiga”. Penelitian ini membahas tentang kehidupan keluarga nelayan yang berpengaruh dalam pola asuh terhadap anak mereka. Hasil dari penelitian ini terdapat pola pengasuhan yang dominan seperti pola pengasuhan demokratis. Anak diberikan kebebasan dan anak tersebut harus dapat mempertanggungjawabkannya. Pada saat tertentu diterapkan juga pola otoriter dan pola permisif.

Perbedaan antara penelitian terdahulu dengan penelitian ini adalah di penelitian terdahulu ini anak di berikan kebebasan untuk melakukan segala sesuatunya dan anak tersebut harus dapat mempertanggungjawabkan apa yang sudah lakukanya. Serta lingkungan yang ada disitu juga tidak buruk untuk pertumbuhan anak. Berbeda dengan penelitian ini, penelitian ini berfokus pada pola asuh orangtua, dimana orangtua dapat memberikan didikan atau pola asuh yang tepat untuk anak mereka agar dapat tumbuh dan berkembang dengan baik di lingkungan lokalisasi tersebut.

2. Penelitian terdahulu yang kedua adalah dari Nuning Fajariyanti tahun 2016 dengan judul “Pola Asuh Orangtua terhadap Anak di Lokalisasi Gambilangu Kota Semarang”. Penelitian ini menceritakan pola asuh yang dilakukan orangtua dalam lingkungan lokalisasi. Hasil dari penelitian ini yaitu keberadaan tempat lokalisasi Gambilangu Semarang membawa dua pandangan berbeda dari masyarakat, yaitu positif dan pandangan netral. Masyarakat yang mempunyai pandangan positif seperti masyarakat yang diuntungkan dari segi perekonomiannya, sedangkan pandangan netral yaitu

(2)

9

dari masyarakat yang hidup di Gambilangu mempunyai jalinan komunikasi baik dengan masyarakat sekitar termasuk dengan mucikari. Dalam penelitian ini tidak terdapat masyarakat yang mempunyai pandangan negatif.

Perbedaan penelitian terdahulu dengan penelitian ini adalah, penelitian terdahulu ini berfokus pada pendapat dari masyarakat dengan adanya lokalisasi ini. Sedangakan penelitian ini, tentu pendapat masyarakat penting untuk penelitian ini, tetapi peran orangtua dalam memberikan pola asuh yang tepat untuk anak mereka adalah yang utama dalam penelitian ini.

3. Penelitian terdahulu ketiga adalah dari Ardhiansyah Firdaus tahun 2007 dengan judul “ Pola Asuh Anak di Kawasan Dolly”. Hasil penelitian adalah keluarga mempunyai kendala dalam mendidik anak sering kali di kaitkan dengan lingkungan lokalisasi Dolly dan terkait fakor keluarga dengan ditemukan beberapa orang tua yang tidak memberikan tauladan kepada anaknya. Pengawasan anak cenderung over protektif yang bertujuan melindungi anak dari pengaruh buruk dari lingkunganya. Masih di temukan orangtua yang melakukan tindak kekerasan fisik terhadap anak.

Perbedaan penelitian terdahulu dengan penelitian ini adalah tidak adanya keharmonisan dalam mendidik anak, karena orang tua yang tidak memberikan contoh yang baik kepada anaknya, sehingga pola asuh orangtua kepada anak sedikit terhambat. Sedangkan dalam penelitian ini, orangtua masih sangat ingin anaknya lebih baik daripada orangtuanya, meskipun berada di lingkungan yang tidak baik, orang tua tetap memberikan perhatian untuk masa depan anak.

4. Penelitian terdahulu keempat adalah dari Kurnia Ristanti pada tahun 2016 yang berjudul “Pola Asuh Anak Dalam Keluarga di Lingkungan Lokalisasi Padang Bulan Banyuwangi”. Hasil dari penelitian tersebut adalah Dalam kesehariannya orang tua menanamkan nilai-nilai, yang pertama adalah nilai moralitas. Nilai moralitas terdiri dari larangan menyakiti wanita bagi anak laki-laki. Hal tersebut mengingat latar belakang para PSK yang mempunyai masa lalu yang buruk dengan para pria yang akhirnya lari ke pelacuran.

(3)

10

Selanjutnya adalah larangan kepada anak untuk berpenampilan tidak senonoh. Hal ini ditujukan untuk anak-anak perempuan agar anak-anak mereka tidak meniru cara berpakaian yang digunakan oleh para PSK di sekitar rumahnya. Nilai kedua yang ditanamkan adalah nilai agama, nilai ini meliputi ajaran untuk taqwa kepada Allah swt, bagaimana menghormati orang tua serta larangan untuk berzina. Nilai yang ketiga adalah nilai keutamaan dalam memilih lingkungan pergaulan. Dalam hal ini orang tua sangat selektif menjaga pergaulan anak agar tidak terpengaruh dengan lingkungan yang negatif dan akhirnya akan memberikan dampak negatif pada anak.

Perbedaan penelitian terdahulu dengan penelitian ini adalah dalam penelitian terdahulu ini, orang tua sangat berhati hati agar anaknya tidak terjerumus di dunia yang seperti yang ada pada lingkunganya, dengan memberikan nilai nilai yang sangat penting untuk masa depan anak. Sedangkan dengan penelitian ini, saya berharap orangtua meniru cara yang sudah di terapkan dengan penelitian terdahulu tersebut, meskipun cara mereka berbeda, tapi keseriusan mereka atau kepedulian mereka untuk anak sangat di perlukan untuk perkembengan anak.

5. Penelitian terdahulu yang kelima adalah dari Nanda Ramadhini Satriana tahun 2017 yang berjudul “ Pola Asuh Anak Pada Pernikahan Usia Dini”. Hasil dari penelitian tersebut adalah para pasangan yang melakukan pernikahan usia dini masih belum siap untuk membangun rumah tangga yang dikarenakan berbagai faktor seperti faktor budaya, pendidikan, ekonomi dan keinginan diri sendiri. Namun dalam hal memilih pola asuh anak mereka telah mampu menerapkan pola asuh yang baik yaitu jenis pola asuh demokratis dan pola asuh campuran. Hal ini dikarenakan pasangan pernikahan usia dini tersebut berkembang dengan memperoleh informasi dari orang tua, sanak saudara, lingkungan, media massa dan lain sebagainya.

Perbedaan penelitian terdahulu dengan penilitan ini adalah, dalam penelitian terdahulu ini orangtua tidak ingin anaknya terjerumus ke hal hal yang tidak di

(4)

11

inginkan, dengan begitu memberikan edukasi yang baik untuk segera menikah untuk menghindari hal tersebut, kurangnya disini adalah dalam faktor kesiapan anak untuk membangun rumah tangga. Sedangkan dalam penelitian ini, bagamimana orang tua memberikan peran penting dalam masa depan anak, melindungi anak dari lingkungan yang di tempati sekarang, dan memberikan perhatian untuk perkembangan anak terutama mental anak.

(5)

12

KONSEP TEORI

1. Keluarga

Orangtua merupakan kunci motivasi dan keberhasilan studi untuk anak remaja. Tidak ada pihak lain yang menggantikan peran orangtua dengan seutuhnya. Keberhasilan orangtua dalam menunjang motivasi dan keberhasilan studi terletak pada eratnya hubungan antara orangtua dengan anak-anaknya (Soerjono, 1982). Keluarga merupakan lingkungan pertama saat seorang anak mendapatkan didikan dan bimbingan. Keluarga merupakan lingkungan yang utama karena sebagian besar dari kehidupan anak berada dalam keluarga, sehingga pendidikan yang paling banyak diterima oleh anak berada dalam keluarga. Keluarga merupakan institusi sosial yang bersifat universal dan multi fungsional. Keluarga juga mempunyai fungsi pengawasan, sosial, ekonomi, pendidikan, keagamaan, perlindungan dan rekreasi terhadap anggota dalam keluarga.

Keluarga dilihat dalam perspektif pendidikan merupakan pusat pendidikan informal dan sekaligus lembaga pertama dan utama untuk pendidikan anak. Orangtua diibaratkan sebagai seorang guru yang berperan mendidik anak-anaknya serta bertanggung jawab terhadap kebutuhan hidup anak maupun anggota keluarga lainnya (Yigibalom, 2013).

Jika dikaitkan ke dalam penelitian di lokalisasi Suko, berdasarkan penjelasan di atas, rumah tangga di lokalisasi Suko yang dimaksud merupakan orang-orang yang bertempat tinggal bersama di sana seperti suami, istri, anak, saudara dan para pekerja seks komersial yang selanjutnya akan disingkat sebagai PSK. Para PSK tidak termasuk dalam keluarga walaupun tinggal satu rumah yang sama. Para PSK hanya termasuk kedalam rumah tangga tetapi tidak menjadi keluarga, karena anggota-anggotanya tidak dihubungkan oleh darah, perkawinan atau adopsi.

Keluarga mempunyai peran penting dalam pendidikan seorang manusia. Keluarga membentuk karakter anggotanya, khususnya anak-anak.

(6)

Masing-13

masing anggota keluarga mempunyai perannya masing-masing dalam membangun keluarga yang harmonis. Keluarga juga mempunyai fungsi sosial dalam proses sosialisasi (Pratiwi & Handayani, 2013). Keluarga sebagai institusi merupakan pola-pola tingkah laku yang berhubungan dengan fungsi untuk melahirkan, meneruskan keturunan dan sebagai kelengkapan masyarakat dalam membentuk warga yang mencerminkan identitas setempat (Leibo, 1995).

Keluarga memiliki berbagai fungsi diantaranya adalah: (1) Fungsi sosialisasi dan edukasi yang memberikan peran dan arahan kepada keluarganya dalam mendidik keturunan sehingga dapat menyesuaikan dengan kehidupan di masa mendatang. (2) Fungsi ekonomi, untuk memenuhi kebutuhan ekonomi sehari-hari seperti sandang, pangan, papan keluarga mereka. (3) Fungsi afeksi merupakan fungsi yang memberikan kasih sayang, menilai tingkat kepuasan anggota keluarga, serta interaksi emosional yang terjalin dalam keluarga. (4) Fungsi reproduksi merupakan fungsi untuk meneruskan garis keturunan yang sudah menjadi fitrah manusia sehingga dapat menunjang kesejahteraan manusia secara universal.

Di dalam proses interaksi yang melibatkan anak dan remaja, terjadi proses sosialisasi. Sosialisasi tersebut merupakan suatu kegiatan yang bertujuan agar pihak yang dididik kemudian mematuhi kaidah-kaidah dan nilai-nilai yang berlaku dan dianut oleh masyarakat (Soerjono, 1982). Pola asuh dalam keluarga mempengaruhi proses sosial anak, seperti saat anak yang diberi penghargaan saat berprestasi dalam sekolahnya membuat anak lebih giat belajar. Keluarga sebagai suatu unsur dalam struktur sosial. Pola dalam keluarga merupakan bentuk jawaban atas tuntutan kehidupan yang nyata. Pola-pola itu dapat menjawab proses sosial secara umum. Keluarga memiliki tanggung jawab untuk mempertahankan kelangsungan organisme biologis menjadi manusia. Proses sosialisasi dari generasi ke generasi nantinya akan diarahkan menuju norma sosial yang berlaku. Keluarga mengadakan kontrol dan pengawasan terhadap perilaku menyimpang dari kebiasaan sosial,

(7)

14

sehingga manusia menjadi tergantung pada kebudayaan dan bukan pada nalurinya saja. Masyarakat menjadi tergantung dengan efektivitas sosialisasi. Keluarga bukan hanya suatu wadah hubungan antar anggota-anggotanya melainkan sudah bergeser menuju jaringan sosial yang lebih luas lagi yaitu masyarakat. Perkawinan merupakan sebuah kepentingan umum di dalam masyarakat, karena masyarakat secara umum berkepentingan atas akibatnya. Interaksi dalam keluarga sangat mempengaruhi eratnya hubungan sosial antara anggota-anggota kelompok sanak-saudara. Keturunan hanya merupakan salah satu bentuk pengelompokan turunan yang terorganisir. Kekacauan keluarga disebabkan oleh retaknya struktur peran atau kegagalan dalam menjalankan kewajiban peran setiap anggotanya. Keluarga memiliki peran penting sebagai suatu unit dalam sistem mobilitas sosial. Keluarga menjadi unsur yang memudahkan dalam perubahan sosial.

Jika dikaitkan ke dalam penelitian di lokalisasi Suko, berdasar definisi di atas, fungsi keluarga menjadi wadah untuk menjamin kehidupan mereka. Selain untuk memenuhi kebutuhan ekonomi, kehidupan anak-anak di sana juga didasari oleh fungsi sebuah keluarga. Bagaimana nantinya anak-anak menemui lingkungan mereka yang nantinya diarahkan oleh keluarga mereka.

2. Anak

Menurut UU No. 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak, batas usia seseorang belum dewasa yaitu di bawah 18 tahun. Namun menurut UU No. 4 tahun 1979 tentang kesejahteraan anak, batas usia seseorang belum dewasa bila umurnya kurang dari 21 tahun (Hadisuprapto, 2004).

Secara psikologis, Singgih Gunarso (1990:2) mengelompokkan tingkatan usia dikaitkan dengan kondisi kejiwaan seseorang sebagai berikut: (1) Anak adalah seseorang yang berumur di bawah 12 tahun; (2) Remaja dini adalah seseorang yang berumur antara 12 – 15 tahun; (3) Remaja penuh adalah seseorang yang berumur antara 15- 17 tahun; (4) Dewasa muda adalah seseorang yang

(8)

15

sberumur antara 17-21 tahun; (5) Dewasa peneuh adalah seseorang yang berumur diatas 21 tahun (Hadisuprapto, 2004).

Pada masa ini anak dihadapkan pada tuntutan sosial dan emosi baru. Bila orangtua memberi kebebasan dan kesempatan untuk melakukan kegiatan, mereka akan menjawab pertanyaan anak dan tidak menghambat fantasi dan kreasi dalam bermain dan dalam diri anak berkembang inisiatif (Gunarsa & Gunarsa, 2008). Pada saat remaja mulai bermasyarakat serta mengembangkan keterampilan sosial dan kematangan emosional, keluarga tetap menjadi ruang lingkup normal untuk proses sosialisasi (Drost, 1998).

Pertama-tama remaja akan berpaling pada lingkungan yang terdekat dengannya yakni orangtua, saudara-saudaranya dan mungkin kerabat dekatnya. Apabila idealismenya tidak terpenuhi oleh lingkungan terdekatnya, maka dia akan berpaling ke lingkungan lain yang belum tentu benar dan baik. Oleh karena itu lingkungan terdekat harus senantiasa siap untuk membantu sang remaja (Soerjono, 1982). Penyesuaian diri pada remaja meliputi penyesuaian dengan perkembangan intelegensi, peran sosial, seksual, moral dan religi. Remaja lebih banyak memerlukan pengertian dari pada sekedar pengetahuan saja dan harus mengerti mengapa manusia tidak boleh terlalu bebas dan juga tidak boleh terlalu terikat (Soerjono, 1982).

Tahap pertama yang dialami manusia sejak manusia dilahirkan yaitu

preparatory stage, ditandai saat seorang anak mulai bisa meniru walaupun

belum sempurna, juga saat seorang anak mempersiapkan diri untuk mengenal dunia sosialnya. Saat anak dianggap sebagai calon anggota masyarakat, mereka dipersiapkan dengan dibekali nilai-nilai dan norma-norma yang menjadi pedoman bergaul dalam masyarakat oleh lingkungan yang terdekat, yaitu keluarga. Tahap meniru play stage, ditandai saat seorang anak menirukan peran-peran yang dilakukan oleh orang dewasa. Kesadaran yang mulai terbentuk tentang nama, siapa nama orangtuanya, kakaknya, dan sebagainya. Anak mulai menyadari tentang apa saja yang dilakukan oleh seorang ibu dan yang diharapkan seorang ibu dari dirinya. Tahap untuk siap

(9)

16

bertindak atau game stage, peniruan yang dilakukan sudah mulai berkurang dan digantikan peran yang secara langsung serta dimainkan sendiri dengan penuh kesadaran. Kemampuannya menempatkan diri pada posisi orang lain akan meningkat, sehingga memungkinkan adanya kemampuan bermain secara bersama-sama. Pada tahap ini individu mulai berhubungan dengan teman sebaya di luar rumah. Tahap penerimaan norma kolektif atau generalizing

stage adalah tahap seseorang telah dianggap dewasa. Dia sudah dapat

menempatkan dirinya pada posisi masyarakat secara luas. Tidak hanya dengan orang-orang yang berinteraksi dengannya, tetapi juga dengan masyarakat secara luas.

Proses terbentuknya self yaitu dari orangtua mengekspresikan dirinya lalu diidentifikasi peran dan sikapnya oleh anak yang akhirnya terbentuk self si anak. Melalui itu anak mengabstraksikan semua peran dan sikap dari

significant other (semua dari orang lain yang berarti) serta

menggenerelesasikan untuk semua orang, termasuk dirinya sendiri disebut

generalized other.

Masa remaja disebut masa kehausan sosial yakni adanya keinginan untuk bergaul dan diterima di lingkungan kelompok sebayanya (peer group), jadi kebanyakan remaja berpikir untuk dapat diterima di dalam kelompok mainya ia harus menyesuaikan diri dengan kelompok tersebut, termasuk dalam segi penampilan, dan gaya hidup, jika seorang remaja tidak diterima di dalam kelompok sebayanya maka ia akan merasa terasingkan, dan lebih memilih untuk menyendiri (Amalina, 2015).

Secara sosiologis, kepribadian seseorang dilihat dari bagaimana mereka berperilaku, berinteraksi dengan orang lain, bagaimana seseorang menjalani kehidupannya dalam lingkungan mereka sehari-hari. Jika dikaitkan kedalam penelitian di lokalisasi Suko, berdasar definisi diatas, proses sosialisasi anak di sana juga dipengaruhi institusi lain selain keluarga seperti sekolah, tempat mengaji.

(10)

17

3. Pola Asuh

Pola asuh merupakan cara yang digunakan orangtua dalam mencoba berbagai strategi untuk mendorong anak mencapai tujuan yang diinginkan (Rizki et al., 2017). Model pengasuhan merupakan perlakuan keluarga yang dilakukan terus menerus sehingga membentuk pola pengasuhan keluarga (Setiawan, 2014). Konsep ini dapat melihat bagaimana pola interaksi anak, pola asuh orangtua terhadap anak-anak mereka dan bagaimana cara mereka mendidik anak-anak mereka. Melalui konsep ini peneliti ingin meneliti bagaimana strategi dan cara orangtua mendidik anak-anak mereka di lingkungan lokalisasi.

Pola asuh adalah tata cara mendidik dan memelihara serta membimbing keluarga sebagai pengasuh dan pembimbing dalam keluarga. Orangtua akan meletakan dasar-dasar moral, etika dan perilaku yang baik pada anak-anaknya sehingga tercipta sesuatu yang bermanfaat bagi diri mereka sendiri, keluarga maupun masyarakat (Juhardin et al., 2007).

Dalam penelitian ini pola asuh yang dimaksud adalah strategi atau cara yang digunakan para orangtua di lokalisasi Suko untuk mendidik, membimbing, membina anak mereka agar anak mereka mencapai tujuan yang mereka inginkan dan tidak terpengaruh lingkungan mereka. Hal yang menarik adalah bagaimana penerapan pola asuh orangtua terhadap anak-anak mereka saat dihadapkan pada lingkungan lokalisasi

Webster’s mengemukakan bahwa istilah asuh dalam bahasa Inggris diartikan dengan nurtureyang memiliki pengertian: “ The sum of the influences modifying the expression of the genetic potentialities of organism” artinya sejumlah perubahan ekspresi yang dapat mempengaruhi potensi genetic yang melekat pada diri individu. (1980:781). Sementara dalam Depdikbud (1990:54) istilah asuh diartikan membimbing atau membantu.

Dari beberapa pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa istilah pola asuh merupakan sejumlah model atau bentuk perubahan ekspresi dari orang tua

(11)

18

yang dapat mempengaruhi potensi genetic yang melekat pada diri individu dalam upaya memelihara, merawat, membimbing, membina dan mendidik ana-anaknya baik yang masih kecil ataupun yang belum dewasa agar menjadi manusia dewasa yang mandiri dikemudian hari.

Beberapa bentuk ekspresi (pola asuh) orang tua dalam mengasuh atau memelihara anak-anaknya bisa dalam bentuk sikap atau tindakan verbal maupun non verbal secara substansial sangat berpengaruh terhadap potensi diri anak dalam aspek intelektual, emosional maupun kepribadian, perkembangan social dan aspek psikis lainnya.Semua orang tua pasti menghendaki anak-anaknya sesuai dengan kehendak orang tuanya, untuk itulah sejumlah ekspresi atau sejumlah bentuk asuhan, didikan dan bimbingan dilakukan orang tua semaksimal mungkin agar anak kelak sesuai dengan harapan mereka.Sadar atau tidak, dalam praksisnya berbagai ekspresi (pola asuh) itu sering terjadi penyimpangan atau bahkan terjadi kontradiksi antara harapan dan kenyataan sehingga bisa berdampak pada perkembangan kepribadian anak yang positif maupun negative.

Seperti diungkapkan Hurlock (1978) yang diterjemahkan Tjandrasa (1992:202): “Sikap orang tua mempengaruhi cara mereka memperlakukan anak, perlakuan mereka terhadap anak sebaliknya mempengaruhi sikap anak terhadap mereka dan prilaku mereka. Jika sikap orang tua menguntungkan, hubungan orang tua dan anak jauh lebih baik ketimbang bila sikap orang tua tidak positif”

Dari ungkapan Hurlock tersebut sangat tegas menjelaskan bahwa sikap orang tua dalam mengasuh anak-anaknya memiliki kecenderungan yang lebih dominan kepada pola sikap pola asuh tertentu, apakah berdampak kepada perkembangan anak yang positif atau negative. Dalam hal ini Singgih (2000:82) mengemukakan “Acapkalli orang tua tidak sengaja, tanpa disadari mengambil suatu sikap tertentu. Anak melihat dan menerima sikap orang tuanya dan memperlihatkan suatu reaksi dalam tingkah laku yang dibiasakan sehingga menjadi suatu pola kepribadian”

(12)

19

Keribadian akan berkembang menjadi karakter ketika seseorang mempelajari kelemahan dan kelebihan dirinya. Dari kepribadian inilah akan membentuk karakter. Pola asuh yang dilakukan setiap oang tua secara alami akan membentuk kepribadian seseorang, sehingga terjadi suatu perkembangan psikis pada diri individu untuk membentuk kepribadian yang berkarakter. Karena karakter bukan genetic seperti kepribadian, tetapi karakter perlu dibina, di bangun dan dikembangkan secara sadar melalui suatu proses yang tidak instan sehingga muncul konsep character buildingatau pendidikan karakter dalam upaya menyempurnakan pola asuh yang dilakukan setiap orang tua.

Berdasarkan hasil penelitian tentang pola asuh yang dilakukan oleh Diana Baumrind pada tahun 1967, 1971,1977,1979:Baumrind & Black, 1967) bahwa hasil penelitian tersebut mengusulkan untuk mengklasifikasikan pengasuhan atau pemeliharaan yang diberikan orang tua, didasarkan pada pertemuan dua dimensi, yaitu demandingness (tuntutan) dan responsiveness (tanggapan atau penerimaan) yang dia yakini keduanya sebagai dasar dari pola asuh orang tua.

Dengan demikian Baumrind mengidentifikasi dan memberikan labelpada bentuk-bentuk pola asuh orang tua sebagai berikut:

“Three of the most prominent caregiving style are described in the next section, including the behavior of the parent and the behavior of the child experiencing this type of cergiving”

Ketiga pola asuh itu adalah Authoritarian style (gaya otoriter), Permisive style (gaya membolehkan), dan Authoritative style (gaya memerintah).

Pola asuh Authoritarian (otoriter) adalahtipe pola asuh dimana orang tua terlalu banyak menuntut dan sangat kurang merespon dan menanggapi keinginan anak. Dalam buku Santrock (1995) yang diterjemahkan Chusairi (2002:257) Baumrind mengemukakan bahwa “Pengasuhan otoriter ialah suatu gaya yang membatasi, menghukum dan menuntut anak untuk mengikuti

(13)

20

perintah-perintah orang dan tidak memberi peluang kepada anak untuk berbicara”. Ciri-ciri pola asuh tersebut sebagai berikut:

1) Orang tua berupaya untuk membentuk, mengontrol dan mengevaluasi sikap dan tingkah laku anaknya secara mutlak sesuai dengan aturan orang tua.

2) Orang tua menerapkan kepatuhan/ketaatan kepada nilai-nila yang terbaik menuntut perintah, bekerja dan menjaga tradisi.

3) Orang tua senang memberi tekanan secara verbal dan kurang memperhatikan masalah saling menerima dan memberi dianatara orang tua dan anak.

4) Orang tua menekan kebebasan (independent) atau kemandirian (otonomi) secara individual kepada anak.

Dalam kaitannya dengan ciri-ciri tersebut, menurut Baumrind pola asuh otoriter sepertinya berpengaruh negative terhadap kemampuan social dan kognitif anak. Sehingga efeknya anak tidak mampu bergaul dengan teman sebaya, selalu menyendiri, merasa cemas dan gelisah serta khaawatir ktika bergaul dengan teman sebaya dan lebih dikhawatirkan lagi akan memiliki hati nurani yang rendah.

Pola asuh otoriter ini berdampak panjang terhadap kelangsungan perkembangan psikis anak dalam bersosialisasi, memiliki hati nurani yang rendah akan berakibat pada kepribadian anak dewasa kelak.

Kedua, pola asuh Permisif, menurut Santrock (1995:258) yaitu suatu gaya dimana orang tua sangat tidak terlibat dalam kehidupan anak. Adapun ciri-cirinya adalah:

1) Orang tua membolehkan atau mengijinkan anaknya untuk mengatur tingkah laku yang mereka kehendaki dan membuat keputusan sendiri kapan saja.

(14)

21

3) Orang tua sedikit menuntut kematangan tingkah laku, seperti menunjukkan kelakuan/tatakrama yang baik atau untuk menyelesaikan tugas-tugas.

4) Orang tua menghindar dari suatu control atau pembatasan kapan saja dan sedikit menerapkan hukuman

5) Orang tua toleran, sikapnya menerima terhadap keinginan dan dorongan yang dikehendaki anak

Pola asuh tersebut menurut Baumrind akan ditemukan adanya kehangatan dibanding dengan pola asuh otoriter. Orang tua dengan pola asuh permisif juga bersikap dingin, tidak banyak terlibat dalam kegiatan anak dan acuh. Dalam perkembangannya, pola asuh permisif berkembang menjadi dua pola, Menurut Sears, Macoby dan Levin (1957) dalam Marion (1991: 8) pola asuh permisif yang pertama adalah orang tua menganggap dan merasa yakin bahwa anak mereka memiliki hak untuk tidak diinterfensi oleh orang tua. Apabila orang tua tidak terlalu banyak menuntut dari anak, orang tua memelihara kehangatan dan mau menanggapi anak (responsive). Pola asuh permisif yang kedua, orang tua tidak memiliki pendirian atau keyakinan (conviction) tentang hak anak, tetapi lebih didasarkan karena mereka tidak dapat menguasai secara efektif tingkah laku anak.Sehingga orang tua acuh atau tidak tertarik dan kurang memperhatikan terhadap tingkah laku anak-anaknya sehingga bersikap permisif.

Ketiga, pola asuh otoritatif, yaitu pola asuh yang mendorong anak agar mandiri tetapi masih menetapkan batasan-batasan dan pengendalian atas tindakan mereka.Adanya musyawarah, memperlihatkan kehangatan atau kasih sayang (Santrock, 1995:258)..

4. Lokalisasi

Pelacuran berasal dari bahasa latin, yaitu pro-stituere atau pro-stauree yang berarti membiarkan diri berbuat zinah, melakukan persundalan, percabulan,

(15)

22

pergendakan. Ditinjau dari sudut psycopathologic,pprostitusi adalah suatu kelakuan yang menyimpang dari norma-norma susila, dalam arti kata tidak sesuai dengan norma-norma susila (Sitepu, 2004).jTempat yang digunakan untuk kegiatan prostitusi ini disebut lokalisasi. Lokalisasi atau yang biasa dikenal di kalangan masyarakat sebagai rumah bordil merupakan sebuah kata yang memiliki makna yang tabu apabila kita dengarkanatau kita baca.

Lokalisasi adalah tempat dimana terpusatnya praktik transaksi jual beli antara PSK (Pekerja Seks Komersial) dan orang orang yang membutuhkan jasa dari psk tersebut. Tempat ini merupakan sebuah pilihan bagi para laki-laki yang biasanya memiliki hasrat seksual yang begitu tinggi yang belum tersalurkan dengan baik.

Menurut dr. G. Sihombing, MPH, mengatakan bahwa, “Prostitusi pada hakekatnya adalah perilaku seksual berganti-ganti pasangan, dapat dilakukan oleh pria maupun wanita. Di Indonesia praktek prostitusi lebih banyak dilakukan oleh wanita meskipun tidak dapat dipungkiri bahwa praktek prostitusi oleh kaum pria mulai banyak dilakukan khususnya di daerah-daerah tujuan wisata di Jawa dan Bali. Alasan utama dari terjunnya seseorang pada praktek prostitusi adalah masalah ekonomi.”

Di lokalisasi Sukospara PSK hidup bersama dalam masyarakat. Mereka menyewa satu kamar di salah satu rumah dan bekerja pada pemilik rumah. Mereka menjalani hidup di sana seperti anggota keluarga walaupun tidak ada ikatan darah. Pada penelitian ini yang menarik yaitu pemaparanatentang interaksi antara para pelaku-pelaku di lokalisasi khususnya para PSK dengan anak-anak yang berada di sana.

Referensi

Dokumen terkait

Faktor kesehatan ibu adalah faktor yang berhubungan dengan kondisi ibu yang menyebabkan ibu memberikan makanan tambahan pada bayi usia kurang dari enam bulan, misalnya

sebagai Anggota Komisi Pembimbing.Penelitian ini bertujuan Untuk mengetahui respon pertumbuhan dan produksi tanaman Bawang merah ( Allium cepa var. Hasil penelitian

Pemilihan pola asuh yang tepat dari orangtua dapat membantu membentuk karakter remaja menjadi lebih baik, sebaliknya jika salah dalam memilih bentuk pola asuh pada remaja dengan

Suyanto berpendapat mengenai makna dari kata karakter tersebut, beliau mengatakan bahwa karakter adalah pola seseorang dalam berfikir dan cara dalam berperilaku yang mana

Pribadi, (2011 : 132) menjelaskan tujuh komponen penting yang perlu diperhatikan dalam implementasi konstruktivisme dalam kegiatan pembelajaran yaitu 1) belajar

Selain faktor intake makanan dan faktor genetik di atas, infeksi Helicobacter pylori saat ini diyakini juga berkaitan dengan karsinoma gaster (Abdi

Percobaan dilakukandengan menggunakan data dari broker instaforex.Parameter yang digunakan berupa lot, perbedaan pips dan maksimal trading untuk metode martingale,

Model Stimulasi Kecerdasan Visual Spasial Dan Kecerdasan Kinestetik Anak Usia Dini Melalui Metode Kindergarten Watching Siaga Bencana Gempa Bumi Di Paud