Tanggung Jawab Sosial Dan Lingkungan Pada Perusahaan Perkebunan Sawit Untuk
Meningkatkan Tarap Hidup Masyarakat Di Provinsi Kalimantan Selatan
Ketua
Syahrida, S.H., M.H.
Prof. Dr. Abdul Halim Barkatullah, S.H., M.Hum Dr. Ifrani, S.H. M.H.
Editor
Dr. Ifrani, S.H. M.H.
UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT Desember 2019
KATA PENGANTAR
Dengan mengucapkan syukur Alhamdulillah kami panjatkan kehadirat Allah SWT, tas karunia-Nya Buku yang berjudul “Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Pada
Perusahaan Perkebunan Sawit“ akhirnya dapat
terselesaikan juga. Buku Ajar ini merupakan hasil luaran Penelitian Unggulan Perguruan Tinggi Tahun 2016 yang dibiayai oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi.
Buku ini sangat membantu membantu mahasiswa dalam mempelajari Hukum Perusahaan dan Hukum Investasi. Perkembangan investasi di Indonesia sangat lah pesat, khususnya di bidang agrobisnis perkebunan Kelapa Sawit. Dengan perkembangannya investasi perkebunan kelapa sawit, menimbulkan kewajiban oleh peraturan perundang-undangan, bagi perusahaan kelapa sawit untuk melakukan tanggung jawab sosial dan lingkungan untuk masyarakat sekitar perusahaan perkebunan kelapa sawit, berdasarkan Pasal 15 poin b Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, “setiap penanaman modal
berkewajiban melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan” dan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, pada Pasal 74 ayat (1) “Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan Tanggung Jawab, Sosial dan Lingkungan”. Berdasarkan itulah Penulis meneliti seberapa besar pengaruh tanggung jawab sosial dan lingkungan perkebunan kelapa sawit di daerah, khususnya Kalimantan Selatan membawa kesejahteraan bagi masyarakat sekitar perusahaan perkebunan kelapa sawit.
Akhir kata, semoga Buku ini bermanfaat bagi banyak pihak, tidak hanya untuk mahasiswa tetapi bagi praktisi hukum serta pengambil kebijakan di pemerintah daerah Kabupaten, Kota dan Provinsi Kalimantan Selatan dalam pengembangan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Perusahaan, agar dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar. Terimakasih kami ucapkan kepada semua pihak sehingga buku ini terwujud kehadapan pembaca, terutama kepada Rektor Universitas Lambung Mangkurat dan Ketua Lembanga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat
ULM, dan pihak-pihak lain yang tidak dapat disebutkan satu per satu, sehingga buku ini dapat terselesaikan.
Banjarmasin, Desember 2019
Penulis,
Hj.Syahrida, S.H., M.H.
Prof. Abdul Halim B, S.H., M.Hum Dr. Ifrani, S.H., M.H.
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ... i
DAFTAR ISI ... i
BAB I PENDAHULUAN... 1
1.1. Latar Belakang Masalah... 1
1.2. Rumusan Masalah ... 9
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 10
2.1. Sejarah Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Perseroan ... 10
2.2. Makna dan Ruang Lingkup Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Perseroan Dewasa Ini17 2.3. Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Perseroan dalam Undang-Undang di Indonesia. ... 30
BAB III METODE PENELITIAN ... 34
3.1. Tipe Penelitian ... 34
3.2. Wilayah Studi ... 34
3.3. Teknik Tengumpulan Data... 37
3.4. Analisis data ... 40
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 44
4.1. Bentuk Pelaksanaan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan (TJSL) Perseroan Terhadap Peningkatan Taraf Hidup Masyarakat Sekitar Perusahaan Perkebunan Sawit yang Ada di Provinsi Kalimantan Selatan. ... 44
4.2. Bentuk Kebijakan Yang Diterapkan Pemerintah Daerah Provinsi Kalimantan Selatan Terkait Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Perseroan Dalam Meningkatkat Taraf Hidup Masyarakat Sekitar Perusahaan Sawit. ... 90
BAB V KESIMPULAN... 111
5.1. Kesimpulan ... 111
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Setiap negara dalam perkembangannya akan selalu berusaha meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran masyarakatnya melalui pembangunan di berbagai bidang. Bidang Ekonomi sebagai salah satu bidang yang sangat penting dalam proses pembangunan sebuah negara menjadi bidang yang sangat menentukan. Salah satu usaha yang selalu dilakukan oleh negara adalah menarik sebanyak mungkin investasi, khususnya asing masuk ke negaranya.1 Bagi Indonesia, masuknya modal asing bagi perekonomian Indonesia merupakan tuntutan keadaan baik ekonomi maupun politik Indonesia. Alternatif penghimpunan dana pembangunan perekonomian Indonesia melalui investasi modal secara langsung sangat baik dibandingkan dengan
1Ahmad Yulianto, “Peran Multilateral Investment Guarantee
Agency (MIGA) dalam Kegiatan Investasi”, Jurnal Hukum Bisnis, Vol
penarikan dana internasional lainnya seperti pinjaman dari luar negeri.2
Kegiatan investasi khususnya perkebunan kelapa sawit, baik di daerah maupun di pusat harus diakui mempunyai dampak positif dan negatif. Satu sisi kegiatan investasi memberikan pemasukan bagi negara serta membuka lowongan pekerjaan bagi masyarakat sekitar, di sisi lain kegiatan investasi menimbulkan lahan perkebunan rakyat menjadi lahan perkebunan perusahaan, tanah ulayat masyarakat hukum adat menjadi lahan perkebunan perusahaan sehingga rentan menimbulkan sengketa antara pemilik penduduk setempat dengan perusahaan perkebunan kelapa sawit, berkurangnya kesuburan tanah dan pencemaran lingkungan. Inilah yang kemudian melahirkan ide bahwa sebuah korporasi tidak hanya mengambil keuntungan untuk dirinya sendiri tetapi juga harus memberikan manfaat bagi masyarakat serta lingkungan sekitar. Ide ini dikenal dengan tangggung jawab sosial dan lingkungan (disingkat TJSL)
2Yulianto Syahyu, “Pertumbuhan Investasi Asing Di Kepulauan
Batam: Antara Dualisme Kepemimpinan dan Ketidakpastian Hukum”, Jurnal Hukum Bisnis, Vol 22, No. 5, Tahun 2003, hlm. 46.
perusahaan atau lebih dikenal dengan corporate social
responsibility (CSR).
Namun pendapat berbeda diungkapkan Milton Friedman, tujuan korporasi, menurutnya, hanyalah menghasilkan keuntungan ekonomi bagi pemegang sahamnya. Jika korporasi memberikan sebagian keuntungannya bagi masyarakat dan lingkungan, maka korporasi telah menyalahi kodratnya.3 Joel Bahkan dalam bukunya, The Corporation, apapun cara akan dipakai korporasi untuk mencari laba setinggi-tingginya.4
Friedman menyimpulkan bahwa doktrin tanggung jawab sosial dari bisnis merusak sistem ekonomi pasar bebas. Doktrin ini juga bersifat ancaman terhadap masyarakat yang bebas dan demokratis. Kemudian Friedman menyatakan,
3
Milton Friedman adalah profesor emeritus dari Universitas Chicago dan pemenang hadiah Nobel bagian ekonomi pada tahun 1976. Milton Friedman adalah pelopor utama dari neoliberalisme, aliran dalam ekonomi yang ingin sedapat mungkin menerapkan pemikiran liberalisme klasik (Adam Smith) pada abad ke - 20. Milton Friedman telah merumuskan pandangannya tentang tanggung jawab sosial perusahaan dalam bukunya, Capitalism and Freedom (1962), tetapi yang menjadi terkenal dalam konteks ini adalah tulisannya yang dimuat dalam New York Times Magazine, 13 September 1970, dengan judul The
social responsibility of is to increase its profits.
4
Siti Maemunah, Negara Lemah, CSR Menguat, Forum Keadilan No. 22, tanggal 23 September 2007, hlm. 46.
yang dikutip dari bukunya Capitalism and Freedom, bahwa dalam masyarakat bebas : “terdapat hanya satu tanggung jawab sosial untuk bisnis, yakni memanfaatkan sumber daya alam dan melibatkan diri dalam kegiatan - kegiatan yang bertujuan meningkatkan keuntungannya, selama hal itu sebatas aturan-aturan main, artinya, melibatkan diri dalam kompetisi yang terbuka dan bebas tanpa penipuan dan kecurangan.”5
bisnis dari bisnis hanyalah bisnis (the business
of business is business). Tanggung jawab sosial hanya ada
pada individu dan tidak melekat pada perusahaan sebab tanggung jawab perusahaan adalah menghasilkan keuntungan yang sebesar - besarnya bagi pemegang saham.6
Namun jika dipandang dari segi moral hakikat manusia maupun hakikat kegiatan bisnis itu sendiri, diyakini bahwa tidak benar kalau para manajer perusahaan hanya memiliki tanggung jawab dan kewajiban moral kepada pemegang saham shareholders (pemegang saham) tetapi juga kepada
5
K. Bertens. Pengantar Etika Bisnis, Seri Filsafat Atmajaya. Kanisius : Yogyakarta, 2000, hlm.294.
6
Sri Hartati Samhadi, Etika Sosial Perusahaan
stakeholders pada umumnya.7 Perusahaan sesungguhnya tidak hanya memiliki sisi tanggung jawab ekonomis kepada para shareholders seperti bagaimana memperoleh profit dan menaikkan harga saham atau tanggung jawab
legal kepada pemerintah, seperti membayar pajak,
memenuhi persyaratan AMDAL (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan), dan ketentuan lainnya. Namun, jika perusahaan ingin eksis dan akseptabel, harus disertakan pula tanggung jawab yang bersifat sosial.8
Di Indonesia, awalnya wacana tanggung jawab sosial perusahaan ini masih bersifat sukarela dan belum ada pengaturannya melalui produk perundang-undangan atau hukum perusahaan. Bahkan Undang - Undang Perseroan Terbatas yang lama yaitu UU Nomor 1 tahun 1995 sebagai payung Hukum Perseroan belum mengatur tanggung jawab sosial dan lingkungan perusahaan. Namun setelah tanggal 16 Agustus 2007, tanggung jawab sosial perusahaan di Indonesia telah diatur dalam UU Nomor 40
7
Erni R. Ernawan, Business Ethics : Etika Bisnis, CV. Alfabeta, Bandung, 2007, hlm. 28.
8
Yusuf Wibisono, Membedah Konsep dan Aplikasi CSR, Fascho Publishing, Gresik, 2007, hlm. xxiii.
Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas yang menggantikan UU Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas bahwa tanggung jawab sosial perusahaan yang dikenal dalam Undang - undang ini sebagaimana yang termuat dalam Pasal 1 ayat (3) yang berbunyi : ”Tanggung jawab Sosial dan Lingkungan adalah komitmen Perseroan untuk berperan serta dalam pembangunan ekonomi berkelanjutan guna meningkatkan kualitas kehidupan dan lingkungan yang bermanfaat, baik bagi perseroan sendiri, komunitas setempat, maupun masyarakat pada umumnya.”
Bahkan tanggung jawab sosial perusahaan dan lingkungan (TJSL) ini merupakan suatu kewajiban yang harus dilaksanakan bagi perseroan yang kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam karena telah disertai dengan sanksi sebagaimana yang diatur dalam Pasal 74 Undang - undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.
Selain diatur dalam UU Nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, tanggung jawab sosial perusahaan juga diatur dalam UU Nomor 25 tahun 2007 Tentang Penanaman Modal Asing dan Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun
2012 tentang Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Perseroan Terbatas. Namun perlu diakui bahwa pengaturan tanggung jawab sosial perusahaan yang terdapat dalam uu tersebut belum mampu mendorong pelaksanaan TJSL Perseroan dilapangan. Apalagi dalam UU tersebut hal yang diatur masih terbatas. Hanya berkaitan dengan hal tertentu saja. Padahal CSR tidak saja berkaitan dengan tanggung jawab perusahaan tehadap lingkungan dalam arti sempit, namun juga dalam arti luas seperti tanggung jawab perusahaan terhadap pendidikan, perekonomian, dan kesejahteraan rakyat sekitar. Hal ini di atas tentunya menjadi sebuah pelajaran yang berharga untuk segera dicari jalan keluarnya. Oleh karena itu membuat regulasi mengenai tanggung jawab sosial perusahaan merupakan jalan terbaik. Regulasi yang dimaksud adalah dengan membuat produk hukum (UU) yang akan mengatur secara tegas, jelas, dan komprehensif mengenai tanggung jawab sosial perusahaan. UU ini dibutuhkan agar tanggung jawab sosial perusahaan dilaksanakan oleh semua perusahaan dan memberikan manfaat nyata bagi semua stakeholder yang ada.
Pelaksanaan tanggung jawab sosial perusahaan selama ini hanya didasarkan kepada kesadaran dan komitmen perusahaan. Padahal komitmen dan kesadaran setiap perusahaan tidak sama dan sangat tergantung sekali kepada kebijakan perusahaan masing-masing. Menggantungkan pelaksanaan tanggung jawab sosial perusahaan kepada kesadaran dan komiteman perusahaan mempunyai beberapa kelemahan. Kelemahan paling mendasar adalah tidak adanya sanksi yang tegas bagi perusahaan yang tidak melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan. Kondisi ini tidak akan mendorong pelaksanaan tanggung jawab sosial perusahaan di Indonesia. Selama ini juga, bagi perusahaan yang melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan tidak memilki arah yang jelas. Padahal ada banyak sekali manfaat yang diperoleh apabila tanggung jawab sosial perusahaan dilaksanakan dengan aturan dan arahan yang jelas.
Di Kalimantan Selatan, terdapat banyak perusahaan perkebunan kelapa sawit yang berdiri dan beroperasi. Hal ini tentu menjadi salah satu nilai tambah bagi daerah khususnya terhadap perkembangan ekonomi daerah. Namun harus juga diakui bahwa keberadaan perusahaan-perusahaan tersebut
seharusnya bukan hanya memberikan keuntungan secara finansial bagi daerah tetapi juga memberikan kemajuan bagi masyarakat sekitar melalui kegiatan tanggung jawab sosial perusahaannya. Selama ini perusahaan-perusahaan tersebut belum memaksimalkan pelaksanaan tanggung jawab sosial perusahaan sebagai bagian dari nilai moral perusahaan terhadap masyarakat. Hal ini tentu perlu mendapat perhatian lebih dari daerah karena daerah mempunyai kewenangan untuk membuat aturan sesuai dengan kewenangan otonominya.
1.2. Rumusan Masalah
Berangkat dari kenyataan tersebut, maka Peneliti mengidentifikasikan permasalahan sebagai berikut:
1. Bagaimana bentuk pelaksanaan tanggung jawab sosial dan lingkungan perusahaan terhadap peningkatan taraf hidup masyarakat sekitar perusahaan perkebunan sawit yang ada di Kalimantan Selatan?
2. Bagaimana bentuk kebijakan yang harus diterapkan pemerintah daerah Kalimantan Selatan terkait tanggung jawab sosial dan lingkungan perusahaan dalam
meningkatkan taraf hidup masyarakat sekitar perusahaan perkebunan sawit di Kalimantan Selatan ?
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Sejarah Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Perseroan
Struktur TJSL Perseroan dalam sebuah korporasi dipengaruhi oleh berbagai faktor terutama teori korporasi yang dianut, budaya, dan sistem hukum yang berlaku. Beberapa teori mengenai korporasi telah dikembangkan selama ini, di antaranya yang paling terkemuka adalah
agency theory dan stewardship theory. Teori-teori ini
merupakan turunan dari beberapa teori di atasnya, yang berkembang sejalan dengan perkembangan korporasi dari waktu ke waktu. Teori-teori ini dapat membantu untuk memahami berbagai model dan karakter interaksi antara
fungsi pengawasan, pengelolaan, dan kepemilikan dalam suatu korporasi.9
Teori yang merupakan induk teori dari teori korporasi yang berkembang dari waktu ke waktu adalah equity theory. Teori ini merupakan teori korporasi yang menjadi landasan dari berbagai teori korporasi yang ada. Teori ini pada intinya menjelaskan tentang model hubungan antara perusahaan dan pemilik. Teori ini lahir pada saat timbulnya revolusi industri di Inggris. Sejak timbulnya revolusi industri pada awal abad ke-19, perkembangan dunia industri melaju sangat pesat baik dalam hal teknologi maupun sistem manajemennya. Pada awalnya, bisnis hanya melibatkan individu tertentu sebagai pengelola sekaligus pemilik bisnis. Pada tahap yang masih sangat sederhana ini, belum banyak benturan kepentingan. Hubungan yang ada baru sebatas hubungan antara karyawan (employees) dengan pemilik (owners), yaitu pemilik yang sekaligus bertindak sebagai pengelola. Pemilik menguasai
9
Antonius Alijoyo dan Subarto Zaini. 2004. Komisaris
Independen, Penggerak Praktik GCG di Perusahaan. Jakarta : Penerbit
dan memiliki perusahaan serta bertanggung jawab terhadap keseluruhan aktivitas perusahaan.10
Konsep-konsep tentang hak kepemilikan (equalities) terus tumbuh dan berubah seiring laju pertumbuhan industri barang dan jasa serta perkembangan aspek-aspek sosial budaya yang semakin kompleks hingga melahirkan turunan teori-teori kepemilikan yang ada saat ini. Salah satu turunan teori adalah entity theory dan agency theory:11
Entity theory ini mengasumsikan terjadinya pemisahan
antara kepentingan pribadi pemilik ekuitas (owners) dengan entitas bisnisnya (perusahaan). Pendekatan ini kemudian yang paling banyak dirujuk oleh praktik-praktik bisnis secara umum.
Dalam teori ini, sebuah entitas bisnis menjadi suatu bentuk personifikasi yang memiliki karakter tersendiri dan sama sekali tidak identik dengan pemilik. Bahkan suatu perusahaan dianggap memiliki eksistensi tersendiri yang lepas dari interaksi langsung dengan pemiliknya. Pemilik ekuitas, kreditur dan pemegang saham memiliki hak yang
10
Ibid
11
berbeda berkaitan dengan penghasilan, risiko, kendali, dan likuidasi. Pendapatan yang diperoleh adalah hak entitas yang kemudian didistribusikan ke shareholders sebagai deviden. Profit yang tidak didistribusikan dianggap sebagai hak entitas bisnis.
Agency theory merupakan teori yang menjelaskan
tentang hubungan kontraktual antara pihak yang mendelegasikan pengambilan keputusan tertentu (principal/ pemilik/pemegang saham) dengan pihak yang menerima pendelegasian tersebut (agent/ direksi/manajemen). Agency
theory memfokuskan pada penentuan kontrak yang paling
efisien yang mempengaruhi hubungan prinsipal dan agen.12 Teori agensi memberikan pandangan yang terbaru terhadap good corporate governance (GCG), yaitu para pendiri perseroan dapat membuat perjanjian yang seimbang antara principal (pemegang saham) dengan agen (direksi). Teori agensi menekankan pentingnya pemilik perusahaan (pemegang saham) menyerahkan pengelolaan perusahaan kepada tenaga-tenaga profesional (disebut agents) yang lebih mengerti dalam menjalankan bisnis sehari-hari. Teori ini
12
muncul setelah fenomena terpisahnya kepemilikan perusahaan dengan pengelolaan, terutama pada perusahaan-perusahaan besar yang modern.13
Tujuan dipisahkannya pengelolaan dari kepemilikan perusahaan yaitu agar pemilik perusahaan memperoleh keuntungan yang semaksimal mungkin dengan biaya yang seefisien mungkin dengan dikelolanya perusahaan oleh tenaga-tenaga profesional.
Para profesional atau agen menjalankan tugasnya demi kepentingan perusahaan dan mereka memiliki keleluasaan dalam menjalankan manajemen perusahaan. Semakin besar perusahaan memperoleh laba, semakin besar pula keuntungan yang didapatkan agen. Sementara pemilik perusahaan (pemegang saham) hanya bertugas untuk mengawasi dan memonitor jalannya perusahaan yang dikelola oleh manajemen untuk memastikan bahwa mereka bekerja hanya demi kepentingan perusahaan semata.
Para profesional, dalam hal ini direksi dan manajer dalam teori klasik di atas memiliki fiduciary duty dan duty of
13
Misahardi Wilamarta. 2002. Hak Pemegang Saham Minoritas
dalam Rangka Good Corporate Governance. Tesis. Jakarta : Program
care dan bertanggungjawab kepada perusahaan dan para
pemegang saham.14 Dalam pandangan teori korporasi yang klasik di Amerika Serikat, CSR dimaknai sebagai tanggung para manajer dan direksi kepada pemegang saham. Pandangan tradisional ini tidak mencakup kewajiban manajemen untuk memperhatikan kepentingan konstituen perusahaan yang lain. Hal ini membatasi penerapan CSR dalam perusahaan di mana perusahaan seolah-olah hanya mementingkan kepentingan dirinya sendiri.15
Belakangan terjadi perluasan terhadap ruang lingkup tanggung korporasi dari hanya tanggung jawab korporasi kepada pemegang saham tetapi juga kepada stakeholder.
Perubahan ini seiring dengan adanya pembaruan
corporate governance. Pembaharuan corporate governance
bermula sebuah buku yang berjudul “The Modern
Corporation and Private Property. Buku ini dibuat oleh
Adolf Berle and Gardiner Means dan dipublikasikan pertama
14
Cynthia A. William. 2002. ”Corporate Social Responsibility in an Era of Economic Globalization”, 35 University of California Davis
Law Review, hlm. 707.
15
Gary von Stange, “Corporate Social Responsibility through Constituency Statutes: Legend or Lie ?”, 11 Hofstra Labour Law Journal, 1994, hlm. 465.
kali tahun 1932. Isi buku ini secara garis besar memuat tentang pemisahan kepemilikan dan pengendalian perusahaan. Dengan demikian, pemegang saham yang memiliki perusahaan dan juga memiliki kekayaan yang sangat besar dalam perusahaan tidak lagi mengendalikan dan mengelola kekayaan mereka yang ada dalam perusahaan.
Kekayaan tersebut telah menjadi asset perusahaan dan dikendalikan oleh seseorang yang dipercaya untuk mengelolanya demi kepentingan mereka. Keadaan demikian dikenal dengan nama “separation ownership from control.” Dalam pembaharuan corporate governance memuat tentang prinsip keterbukaan kepada publik dan kewajiban bagi perusahaan untuk menjalankan perusahaannya dengan tidak merugikan publik. Jadi secara tidak langsung konsep CSR juga sebenarnya telah termuat dalam pembaharuan corporate
governance.16
Konsep CSR itu sendiri juga telah mengalami perubahan. Konsep CSR yang lama menyatakan bahwa perusahaan hanya mempunyai tanggung jawab kepada pemegang saham perusahaan saja. Sedangkan konsep CSR
16
yang baru menyatakan bahwa perusahaan juga harus mempunyai tanggung jawab kepada pekerja, pemasok, masyarakat, dan lingkungan di mana perusahaan itu menjalankan kegiatannya.
2.2. Makna dan Ruang Lingkup Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Perseroan Dewasa Ini
Walaupun konsep telah diterima dan dipercaya sudah jelas maknanya, tetapi menurut Charles Chatterjee dalam kenyataan tidak sama sekali. Kesulitan pertama yang timbul dari CRS tersebut adalah konsep CSR itu sendiri. Istilah
corporate tidak selalu berkaitan dengan istilah social; corporate responsibility, social responsibility, dan corporate responsibility memiliki konotasi yang berbeda. Kemudian
muncul pertanyaan yang lebih penting, yakni apakah semua bentuk korporasi diwajibkan untuk menunjukkan tanggung jawab sosialnya. Pertanyaan penting lainnya yaitu pada bagian mana korporasi menjalankan korporasinya dan tanggung jawab sosialnya.17
17
Istilah social responsibility berasal dunia Anglo Saxon (Common Law). Istilah ini tidak diidentifikasikan dengan teori civil responsibility yang ada dalam tradisi
Roman-Germanic Law.18
Istilah CSR hanya diterapkan pada korporasi. Karena korporasi merupakan institusi yang dominan di bumi ini di mana korporasi pasti berhadapan dengan persoalan lingkungan dan sosial yang mempengaruhi kehidupan manusia.
World Bank Group menyebut definisi CSR sebagai
komitmen bisnis untuk memberikan kontribusi bagi pembangunan ekonomi berkelanjutan, melalui kerjasama dengan para karyawan serta perwakilan mereka, keluarga mereka, komunitas setempat, dan masyarakat umum untuk meningkatkan kualitas hidup dengan cara-cara yang bermanfaat, baik bagi bisnis itu sendiri maupun untuk pembangunan. Sehingga, dapat dikatakan bahwa CSR adalah suatu keharusan dan bukan saja sebagai kewajiban. CSR itu
18
Raul Anibal Etcheverry. 2005. “Corporate Social Responsibility – SCR”. 23 Peen State International Law Review, hlm. 498 – 499.
sendiri bukanlah gimmick marketing, melainkan bagian yang menyatu dengan misi dan nilai perusahaan.19
Menurut Soeharto Prawirokusumo,20 tanggung jawab sosial adalah sebuah konsep yang luas yang berhubungan dengan kewajiban perusahaan atau organisasi dalam memaksimumkan impact positif terhadap masyarakatnya. Tanggung jawab sosial para pelaku usaha dalam suatu perusahaan terdiri atas empat dimensi tanggung jawab yaitu; ekonomi, hukum, etika dan philanthropies. Dari perspektif ekonomi, semua perusahaan harus bertanggung jawab kepada para pemegang saham, karyawan, dan masyarakat sekelilingnya dalam hal pendapatan karyawan dan tersedianya pekerjaan. Kedua tanggung jawab tersebut di atas merupakan tanggung jawab pokok perusahaan yang memperkokoh terjadinya tanggung jawab etika dan kegiatan
philanthropies.
Doktrin CSR yang diciptakan sebagai suatu etika atau moral dalam perilaku perusahaan telah diterima ke dalam
19
Ibid.
20
Soeharto Prawirokusumo. 2003. “Perilaku Bisnis Modern – Tinjauan pada Etika Bisnis dan Tanggung Jawab Sosial”. Jurnal Hukum
aturan hukum, undang-undang, regulasi yang ada dalam
Code-Code dan European System. Namun demikian, istilah
CSR memiliki makna yang berbeda dengan etika, moral,
philanthropies, dan hukum.
CSR mewakili kompromi antara etika dan perilaku-perilaku tertentu. CSR muncul untuk meningkatkan image perusahaan di dalam masyarakat di mana perusahaan itu menjalankan kegiatan usahanya. Ide untuk menjadikan kepedulian sosial perusahaan sebagai unsur pemasaran. Perencanaan sosial harus selalu masuk dalam rencana strategik perusahaan. Kegiatan sosial tersebut bukan suatu biaya, tetapi merupakan suatu investasi.21
Dilihat dari sudut pandang hukum bisnis, setidaknya ada dua tanggung jawab yang harus diajarkan dalam etika bisnis, yaitu tanggung jawab hukum (legal responsibility) yang meliputi aspek perdata (civil liability) dan aspek pidana (crime liability), dan aspek tanggung jawab sosial (social
responsibility) yang dibangun di atas landasan norma moral
yang berlaku di dalam masyarakat. Artinya, sekalipun suatu kegiatan bisnis secara hukum (perdata dan pidana) tidak
21
melanggar undang-undang atau peraturan, tetapi bisnis tersebut dilakukan dengan melanggar moral masyarakat atau merugikan masyarakat, maka bisnis tersebut dianggap sebagai perbuatan tidak etis (unethical conduct).
Penerapan CSR oleh perusahaan berarti bahwa perusahaan bukan hanya merupakan entitas bisnis yang hanya berusaha mencari keuntungan semata, tetapi perusahaan itu merupakan satu kesatuan dengan keadaan ekonomi, sosial, dan lingkungan di mana perusahaan beroperasi. Direksi dan pegawai perusahaan seharusnya lebih menyadari pentingnya CSR karena CSR dapat memberikan perlindungan hak asasi manusia bagi buruh dan perlindungan lingkungan bagi masyarakat sekitar dan juga para pekerjanya.22 Kehadiran CSR dalam bisnis perusahaan menjadi lebih jelas dengan adanya perkembangan globalisasi. Hal ini dapat dilihat dari adanya :23
1. Pengelolaan risiko
2. Perlindungan dan meningkatkan reputasi dan image perusahaan
22
Kristina K. Hermann. 2004. “Corporate Social Responsibility and Sustainable Development: The European Union Initiative as a Case Study”, 11 Indiana Journal of Global Legal Studies, hlm. 206.
23
3. Membangun kepercayaan dan license to operate bagi perusahaan
4. Meningkatkan efisiensi sumber daya yang ada dan meningkatkan akses terhadap modal
5. Merespon atau mematuhi peraturan yang berlaku 6. Membina hubungan baik dengan stakeholder seperti
pekerja, konsumen, partner bisnis, investor yang mempunyai tanggung jawab secara sosial, regulator, dan komunitas di mana perusahaan itu beroperasi. 7. Mendorong pemikiran yang inovatif
8. Membangun kesempatan untuk mengikuti pasar masa depan.
Kebijakan CSR dapat memberikan nilai dalam rencana strategis kegiatan perusahaan sehari-hari. Berdasarkan strategi ini yang mengintegrasikan praktik-praktik berusaha yang bertanggungjawab secara sosial, analisa keuntungan perusahaan, return on investment (ROI) atau return on equity (ROE) sebagai bottom-line digantikan menjadi triple bottom-line yang mencakup faktor ekonomi, sosial, dan lingkungan. Sebuah perusahaan yang mengabaikan persoalan sosial dan ekonomi dalam kegiatan usahanya memang masih tetap dapat memperoleh keuntungan pada saat ini, tetapi di kemudian hari perusahaan itu akan memberikan dampak negatif kepada sosial dan
lingkungan sehingga sulit bagi perusahaan tersebut untuk mempertahankan eksistensinya. Hal ini akan menghilangkan keuntungan yang dapat diperoleh perusahaan pada masa depan.24
Sony Keraf membagi isi tanggung jawab sosial perusahaan ke dalam dua kategori, yakni:25
1. Terhadap relasi primer, misalnya memenuhi kontrak yang sudah dilakukan dengan perusahaan lain, memenuhi janji, membayar utang, memberi pelayanan kepada konsumen dan pelanggan secara memuaskan, bertanggung jawab dalam menawarkan barang dan jasa kepada masyarakat dengan mutu yang baik, memperhatikan hak karyawan, kesejahteraan karyawan dan keluarganya, meningkatkan keterampilan dan pendidikan karyawan, dan sebagainya.
2. Terhadap relasi sekunder, bertanggung jawab atas operasi dan dampak bisnis terhadap masyarakat pada umumnya, atas masalah-masalah sosial, seperti: lapangan kerja, pendidikan, prasarana sosial, dan pajak.
24
Ibid.
25
A. Sony Keraf – Robert Haryono Imam. 1993. Etika Bisnis, Cet. II. Pustaka Filsafat. Yogyakarta : Kanisius, hlm. 97 – 98.
Berdasarkan isi tanggung jawab sosial tersebut, maka tanggung jawab para pelaku usaha dalam bisnis adalah keterlibatan perusahaan mereka dalam mengusahakan kebaikan dan kesejahteraan sosial masyarakat, tanpa terlalu menghiraukan untung ruginya dari segi ekonomis. Dengan demikian, tanggung jawab sosial dapat dirumuskan dalam dua wujud yaitu:26
1. Positif: Melakukan kegiatan-kegiatan yang bukan didasarkan pada perhitungan untung rugi, melainkan didasarkan pada pertimbangan demi kesejahteraan sosial.
2. Negatif: Tidak melakukan kegiatan-kegiatan yang dari segi ekonomis menguntungkan, tetapi dari segi sosial merugikan kepentingan dan kesejahteraan sosial. Sehingga dalam kerangka prinsip etika bisnis, dapat dikatakan bahwa secara maksimum (positif) para pelaku usaha dituntut untuk aktif mengupayakan kepentingan dan kesejahteraan masyarakat (prinsip berbuat baik), paling kurang secara minimal (negatif) tidak melakukan tindakan yang merugikan masyarakat (prinsip tidak berbuat jahat).
26
Sejauh pelaku usaha atau suatu bisnis arti segi ekonomi mampu menjalankan tanggung jawab sosial dalam bentuknya yang positif, maka pelaku usaha tersebut wajib untuk menjalankan tanggung jawab sosial yang positif. Sejauh kemampuan finansialnya memadai, pelaku usaha wajib untuk mengusahakan kesejahteraan karyawan dan keluarganya, selain itu juga wajib untuk memelihara lingkungan sosial dan lingkungan hidup yang baik dalam masyarakat itu. Namun, kalau situasinya tidak memungkinkan, maka minimal pelaku usaha itu tidak melakukan kegiatan yang dari segi sosial tidak merugikan.27
Etika dibutuhkan dalam bisnis ketika manusia mulai menyadari bahwa kemajuan dalam bidang bisnis justru telah menyebabkan manusia semakin tersisih nilai-nilai kemanusiaannya (humanistic). Sehingga, di kalangan pelaku bisnis muncul mitos bahwa bisnis adalah bisnis. Bisnis hanyalah mengabdi pada keuntungan sebanyak-banyaknya
(profit oriented). Dalam kaitan ini Richard T De George
(1986) menyebutnya sebagai mitos bisnis amoral. Telah
27
bergulir suatu image, bahwa bisnis tidak boleh (jangan) dicampuradukkan dengan moral.28
Karena tuntutan publik dan hukum itulah, maka bisnis saat ini harus memberlakukan “being ethical and social
responsibility”. Dengan berlaku etis dan mempunyai
tanggung jawab sosial, bisnis akan langgeng dan akan terjadi hubungan jangka panjang dengan pelanggan, pemasok, dan pihak lainnya. Pelanggan akan membeli produk sebuah perusahaan yang mempunyai reputasi terbaik dalam tanggung jawab sosial bilamana kualitas, pelayanan, dan harga sama di antara para pesaing.29
Etika bisnis mempunyai pengaruh lebih luas daripada peraturan formal. Melanggar atau melupakan masalah etika akan menghancurkan kepercayaan. Kegiatan untuk mencari etika bisnis tersebut menyangkut empat macam kegiatan, yaitu:30
1. Menerapkan prinsip-prinsip etika umum pada khususnya atau praktek-praktek khusus dalam bisnis menyangkut apa yang dinamakan meta-etika.
28
Redi Panuju, Op.cit, hlm.7
29
Soeharto Prawirokusumo, loc.cit.
30
2. Menyoroti moralitas sistem ekonomi pada umumnya serta sistem ekonomi suatu negara pada khususnya. 3. Meluas melampaui bidang etika.
4. Menelaah teori ekonomi dan organisasi.
Dunia etika adalah dunia filsafat, nilai, dan moral. Dunia bisnis adalah dunia keputusan dan tindakan. Etika berkenaan dengan persoalan baik atau buruk, sedangkan bisnis adalah dunia konkrit dan harus mewujudkan apa yang telah diputuskan. Hakikat moral adalah tidak merugikan orang lain. Artinya moral senantiasa bersifat positif atau mencari kebaikan. Dengan demikian sikap dan perbuatan dalam konteks etika bisnis yang dilakukan oleh semua orang yang terlibat, akan menghasilkan sesuatu yang baik atau positif, bagi yang menjalankannya maupun bagi yang lain. Sikap dan perbuatan yang seperti itu tidak akan menghasilkan situasi lose”, tetapi akan menghasilkan situasi
“win-win”.
Apabila moral adalah nilai yang mendorong seseorang untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu, maka etika adalah rambu-rambu atau patokan yang ditentukan oleh pelaku atau kelompoknya. Karena moral bersumber pada
budaya masyarakat, maka moral dunia usaha nasional tidak bisa berbeda dengan moral bangsanya. Moral pembangunan haruslah juga menjadi moral bisnis pengusaha Indonesia.
Selain itu, etika bisnis juga membatasi keuntungan, sebatas tidak merugikan masyarakat. Kewajaran merupakan ukuran yang relatif, tetapi harus senantiasa diupayakan. Etika bisnis bisa mengatur bagaimana keuntungan digunakan. Meskipun keuntungan merupakan hak, tetapi penggunaannya harus pula memperhatikan kebutuhan dan keadaan masyarakat sekitar. Jadi etika bisnis yang didambakan bagi para pelaku usaha tidak akan dipraktikkan dengan sendirinya oleh kalangan dunia usaha tanpa adanya “aturan main” yang jelas bagi dunia usaha itu sendiri.
Jika tidak menjalankan etika bisnis, taruhannya adalah reputasi dan kepercayaan, sedangkan dalam berbisnis kedua hal tersebut merupakan faktor utama. Hal ini sejalan dengan tanggung jawab sosial perusahaan yang dapat menjaga kinerja perusahaan dalam jangka panjang. Karena Etika bisnis merupakan pola bisnis yang tidak hanya peduli pada profitabilitasnya saja, tapi juga memperhatikan kepentingan
personal, keberadaan mereka merupakan kesatuan yang tidak terpisahkan dan keberadaannya saling melengkapi.
Memahami teori etika pada dasarnya berguna untuk merumuskan dan mengambil nilai-nilai kebenaran, yang oleh individu ataupun masyarakat menjadi dasar bertindak. Tetapi, di sisi lain, pemahaman terhadap etika bisa juga berfungsi untuk menggeledah nilai-nilai kebenaran yang selama ini dianggap sudah mapan. Apapun fungsinya yang diambil, pasti akan menemukan kenyataan bahwa nilai-nilai kebenaran itu ternyata beragam. Oleh karena itu maka manusia diharapkan dapat bijaksana dalam menerapkan ragam kebenaran secara profesional.
Dalam dunia bisnis, otonomi, aspek kebebasan dan tanggung jawab menjadi titik pangkal dan landasan operasi bagi bisnis. Hal tersebut tentunya dilakukan prakteknya menggunakan etika dalam berbisnis sebagaimana mestinya, karena semua itu berhubungan dengan manusia baik secara individual maupun kelompok dalam hal ini terjadi interaksi antar manusia dalam berbisnis.
Atas dasar itu, etika dan tanggung jawab sosial sudah menjadi bagian dari proses perencanaan strategis perusahaan.
Bahkan beberapa perusahaan terkemuka sekarang ini sudah mempunyai Code of Conduct dan juga sudah mempunyai kode etika perusahaan yang dipatuhi oleh semua karyawan.
2.3. Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Perseroan dalam Undang-Undang di Indonesia.
Menurut Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, Pasal 1 Angka (3) menyebutkan bahwa: “Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan adalah komitmen Perseroan untuk berperan serta dalam pembangunan ekonomi berkelanjutan guna meningkatkan kualitas kehidupan dan lingkungan yang bermanfaat, baik bagi Perseroan sendiri, komunitas setempat, maupun masyarakat pada umumnya. Pasal 1 angka 3 Undang-undang Nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas ”Sedangkan Penjelasan Pasal 15 huruf b Undang-undang Nomor 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal menyatakan bahwa: “Yang dimaksud dengan tanggung jawab sosial perusahaan adalah tanggung jawab yang melekat pada setiap perusahaan penanaman modal untuk tetap menciptakan hubungan yang serasi, seimbang dan sesuai dengan
lingkungan, nilai, norma dan budaya masyarakat setempat”. Penjelasan Pasal 15 huruf b Undang-undang Nomor 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal. Perbedaan terminologi tersebut menjadi hambatan bagi setiap perusahaan untuk menerjemahkannya dalam teknis pelaksanaannya, karena: (1) Istilah yang digunakan dalam Undang-undang Nomor 25 tahun 2007 adalah Tanggung Jawab Sosial Perusahaan, sedangkan dalam Undang-undang Nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, (2) kata “komitmen perseroan” dan “tanggung jawab yang melekat” tidak dapat diartikan sama, (3) Undang-undang Nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas berorientasi pada peningkatan kualitas hidup masyarakat, sedangkan Undang-undang Nomor 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal lebih berorientasi menciptakan hubungan yang serasi. 31
Dalam Undang-undang Nomor 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal tidak ada pembatas terhadap bentuk perusahaan dan bidang usahanya. Di sisi lain, dalam Undang-undang Nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas hanya diperuntukkan bagi bentuk perusahaan Perseroan
31
Terbatas khusus yang bergerak di bidang Sumber Daya Alam dan yang terkait, seperti yang tersebut dalam Pasal 74 ayat (1) yaitu: “Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan atau berkaitan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan”. Pasal 74 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.
Klausula tersebut menimbulkan persoalan: (1) diskriminasi bagi perusahaan Perseroan Terbatas dan (2) diskriminasi hanya bagi perusahaan yang bergerak di bidang sumber daya alam dan atau terkait saja. Sedangkan perusahaan non Perseroan Terbatas dan tidak bergerak di bidang tersebut dianggap tidak dibebani kewajiban tanggung jawab sosial dan lingkungan.32
Selanjutnya, apabila tanggung jawab sosial dan lingkungan hanya dimaknai secara sempit, dalam bentuk memberikan sebagian kekayaan kepada masyarakat, seperti yang diatur dalam Pasal 74 ayat (2) Undangundang Nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, yaitu: “Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan sebagaimana dimaksud pada
32
ayat (1) merupakan kewajiban Perseroan yang dianggarkan dan diperhitungkan sebagai biaya Perseroan yang pelaksanaannya dilakukan dengan memperhatikan kepatutan dan kewajaran”. Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan sebagai bentuk kewajiban menyalurkan kekayaan dianggap melanggar hak kepemilikan privat (private property right) dari korporasi. Sebab korporasi sebagai institusi privat mempunyai hak kepemilikan yang dilindungi penuh secara hukum. Hak miliki pribadi (private property right) harus dijamin sepenuhnya oleh hukum negara sebagai sesuatu yang sakral (the sacred rights of private property).33 CSR sering disebut corporate philantrophy, yang dapat diartikan sebagai upaya menolong sesama, kegiatan berderma, atau kebiasaan beramal dari korporasi yang dengan ikhlas menyisihkan sebagian dari harta atau sumber daya yang dimilikinya untuk disumbangkan kepada orang lain yang memerlukan.34
33
Edwin Cannan. 1965. Adam Smith: An Inquiry Into The Nature
and Causes of The Wealth of Nation, The Modern Library, New York.
34
Im Ife & Frank Tesoriero. 2008. Community Development
Alternatif Pengembangan Masyarakat di Era Globalisasi (Penterjemah:
Sastrawan Manullang, Nurul Yakin, M. Nursyahid), Yogyakarta : Pustaka Pelajar, hlm. 493-545.
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1. Tipe Penelitian
Penelitian ini menggunakan tipe penelitian hukum normatif dengan didukung dengan penelitian lapangan dengan menggunakan pendekatan interdisipliner atau “hibrida”.
Konsekuensi dari penelitian hukum yang menggunakan paradigma socio-legal sebagai paradigma utama adalah menggunakan penggabungan metode yuridis normatif dengan analisis metode kualitatif. Sehingga dalam penelitian ini, terlebih dulu akan menganalisis beberapa permasalahan yang terkait dengan judul penelitian dengan peraturan nasional/daerah maupun keputusan instansi terkait atau kepala daerah (documentation studies).
3.2. Wilayah Studi
a. Gambaran Umum Wilayah Penelitian
Provinsi Kalimantan Selatan terletak diantara 1”21’-4”10’ lintang selatan dan 114”19’-116”33’ bujur timur. Provinsi Kalimantan Selatan merupakan wilayah
dataran yang di sebelah utara berbatasan dengan Provinsi Kalimantan Timur, di sebelah Timur dengan Selat Makasar, di bagian Selatan dengan Laut Jawa, dan di sebelah Barat dengan Provinsi Kalimantan Tengah. Daerah ini juga dikenal mempunyai potensi sumber daya alam yang berlimpah, seperti provinsi lainnya di Kalimantan.
Wilayah Kalimantan Selatan mencakup areal seluas 36.535 Km2, dengan tata guna lahan sebagai berikut: areal hutan seluas 17.427 km2 atau 47.7%, semak belukar 4.786 km2 atau 13.1%, padang rumput 5.992 km2 atau 16.4%, ladang 2.302 km2 atau 6.3%, sawah 4.128 km2 atau 11.3%, perkebunan 840 km2 atau 2.3%, perairan darat 256 km2 atau 0.7%, pemukiman 585 km2 atau 1.65%, selebihnya 183 km2 atau 0.5% untuk budi daya lainnya. Di lihat dari tata guna lahan tadi, sebagian besar daerah Kal-Sel dapat dikatakan berupa hutan atau sektor kehutanan.
Provinsi Kalimantan Selatan merupakan wilayah yang terdiri dari dataran rendah, daerah perbukitan, dan pegunungan. Di daerah ini tumbuh hutan primer, hutan
sekunder, dan padang alang-alang. Hamparan dataran rendah yang sebagian besar berada di bagian barat meliputi rawa-rawa dan padang ilalang. Vegetasi paling dominan di daerah ini berupa hutan rawa, hutan bakau, dan jenis-jenis rumput rawa. Di antara wilayah tersebut terdapat bentangan daratan alluvial seluas 200.000 hektar, yang sangat subur. Kalimantan Selatan juga dikenal dengan wilayah yang banyak terdapat sungai-sungai, baik besar ataupun yang kecil. Sungai-sungai besar di daerah ini berfungsi sebagai alat transportasi dan pertanian yang sangat penting bagi kehidupan sosial-ekonomi masyarakat Kalimantan Selatan. Sungai Barito yang panjangnya mencapai 900 kilometer merupakan sungai terbesar dan mempunyai beberapa anak sungai. Provinsi Kalimantan Selatan juga banyak memiliki sejumlah danau dan pulau-pulau yang tersebar di perairan Laut Jawa dan Selat Makasar yang mengitari wilayah ini.
Secara administrasi, Provinsi Kalimantan Selatan terdiri dari sebelas kabupaten yakni: Kabupaten Tanah Laut, Tabalong, Kotabaru, Banjar, Hulu Sungai Tengah, Hulu
Sungai Selatan, Hulu Sungai Utara, Barito Kuala, Tapin, Balangan, Tanah Bumbu dan ditambah dua Kota, yakni Kota Banjarmasin dan Kota Banjarbaru. Dalam wilayah Kalimantan Selatan ini terdapat 109 wilayah kecamatan dan 2.168 kelurahan (desa). Daerah Kalimantan Selatan memiliki kekayaan budaya yang beraneka ragam. Ini tercermin dalam keanekaragaman seni-budaya dan bahasa daerah, seperti Banjar, Bugis, dan Dayak. Mayoritas penduduk Kalimantan Selatan beragama Islam, yaitu sekitar 2.839.000 orang; beragama Protestan 29.184 orang; beragama Katolik 17.278 orang; beragama Hindu 11.049 orang; dan beragama Budha 22.912 orang.35
3.3. Teknik Tengumpulan Data
Diawali dengan melakukan inventarisasi terhadap bahan hukum primer yang berupa peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai usaha pengelolaan sumber daya alam sektor perkebunan di Indonesia. Sebagai
35
Center for Political Studies Soegeng Sarjadi Syndicated,
Otonomi Potensi Masa Depan Republik Indonesia, (Jakarta: Gramedia
negara hukum (state governed by law) maka bahan hukum primer pertama adalah Konstitusi Indonesia yakni Undang-Undang Dasar RI terutama pasal-pasal yang mengatur secara normatif tentang Sumber Daya Alam dan pemanfaatannya untuk kemakmuran dan kesejahteraan rakyat, dan diteruskan dengan beberapa undang-undang lain yang terkait seperti; Undang-undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah diubah menjadi Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal, Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Peraturan Pemerintah No. 47 Tahun 2012 tentang Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Perseroan Terbatas, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan tentang dan lain-lain.
Bahan hukum primer di atas kembali didukung oleh penelaahan terhadap bahan hukum sekunder yang berupa buku textbook, literatur nasional maupun luar negeri, tulisan atau pendapat pakar hukum yang memiliki kompetensi
mumpuni tentang aspek hukum pelaksanaan tanggung jawab sosial dan lingkungan perusahaan (TJSL) di Indonesia.
Tahap kedua dari penelitian ini adalah dengan cara mengumpulkan data empiris yang diambil dari wawancara semi-terstruktur (semi-structured interview) dengan
purposive sample, key actors (informan) dan focus group discussion.36
1. Wawancara semi-terstruktur yang merupakan penggabungan dari wawancara terstruktur dan tidak terstruktur akan fokus dalam pengambilan informasi yang detail dan mendalam yang didapat dari narasumber (purposive sample).
2. key actors (informan) akan dipilih secara hati-hati berdasarkan pengetahuan khusus mereka dan informasi yang mereka berikan harus dapat dipercaya (reliabilitas).
3. focus group discussion akan dilaksanakan dengan memakai pendekatan partisipatori untuk mencandra perspektif masyarakat terhadap isu hukum dan sosial.
36
Reza Banakar and Max Travers,“Structured Interviewing”.
Socio-Legal Research Methods. 2nd Ed, United Kingdom, Oxford: OUP,
3.4. Analisis data
Penelitian normatif yang didukung dengan penelitian lapangan yang menggunakan cara analisis kualitatif, yakni dengan menganalisis suatu data secara mendalam dan holistik sebagaimana dikemukakan oleh David M. Fetterman37 bahwa
“ this description might include the group’s history, religion, politics, economy andenvironment’, dengan kata lain socio-legal research merepresentasikan keterkaitan antara konteks
dimana hukum berada (an interface with a context within
which law exists)38. Hal ini untuk memenuhi kebutuhan akan penjelasan lebih rinci dan cermat terhadap persoalan hukum secara lebih bermakna dengan melakukan perbandingan antara law in book dengan law in action.39
Pada hakikatnya analisis data adalah sebuah kegiatan untuk mengatur, mengurutkan, mengelompokkan, memberi kode atau tanda, dan mengkategorikannya sehingga diperoleh suatu temuan berdasarkan fokus atau masalah yang ingin
37
David M. Fetterman, Ethnography Step by Step, London, Sage Publishing, 1998, hlm. 19.
38
Sulistyowati Irianto, Memperkenalkan Studi Sosio-Legal dan
Implikasi Metodologisnya, Jakarta, Makalah Seminar Nasional Antropologi Hukum, Fakultas Hukum UI, 22 April 2009. hlm. 75.
39
dijawab. Melalui serangkaian aktivitas tersebut, data kualitatif yang biasanya berserakan dan bertumpuk-tumpuk bisa disederhanakan untuk akhirnya bisa dipahami dengan mudah.
Analisis data kualitatif sesungguhnya sudah dimulai saat peneliti mulai mengumpulkan data, dengan cara memilah mana data yang sesungguhnya penting atau tidak. Ukuran penting dan tidaknya mengacu pada kontribusi data tersebut pada upaya menjawab fokus penelitian. Di dalam penelitian lapangan (field research) bisa saja terjadi karena memperoleh data yang sangat menarik, peneliti mengubah fokus penelitian. Ini bisa dilakukan karena perjalanan penelitian kualitatif bersifat siklus, sehingga fokus yang sudah didesain sejak awal bisa berubah di tengah jalan karena peneliti menemukan data yang sangat penting, yang sebelumnya tidak terbayangkan. Lewat data itu akan diperoleh informasi yang lebih bermakna. Untuk bisa menentukan kebermaknaan data atau informasi ini diperlukan pengertian mendalam, kecerdikan, kreativitas, kepekaan konseptual, pengalaman dan expertise peneliti. Kualitas hasil analisis data kualitatif sangat tergantung pada faktor-faktor tersebut.
Penggunaan analisis data kualitatif didasarkan pada pertimbangan, yaitu Pertama penelitian ini adalah penelitian hukum. Kedua, bahan hukum yang dikaji beraneka ragam, memiliki sifat dasar yang berbeda antara satu dengan yang lainnya. Ketiga, sifat dasar bahan hukum yang dikaji adalah menyeluruh (comprehensive). Hal ini ditandai dengan keanekaragaman bahannya serta memerlukan informasi yang mendalam.
3.5. Keabsahan Data
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi keabsahan data penelitian kualitatif, yaitu: nilai subyektivitas, metode pengumpulan dan sumber data penelitian. Banyak hasil penelitian kualitatif diragukan kebenarannya karena beberapa hal, yaitu subyektivitas peneliti merupakan hal yang dominan dalam penelitian kualitatif, alat penelitian yang diandalkan adalah wawancara dan observasi mengandung banyak kelemahan ketika dilakukan secara terbuka dan apalagi tanpa kontrol, dan sumber data kualitatif yang kurang credible akan mempengaruhi hasil akurasi penelitian.
Oleh karena itu, dibutuhkan beberapa cara untuk meningkatkan keabsahan data penelitian kualitatif, yaitu: kredibilitas, transferabilitas dan konfirmitas.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Bentuk Pelaksanaan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan (TJSL) Perseroan Terhadap
Peningkatan Taraf Hidup Masyarakat Sekitar
Perusahaan Perkebunan Sawit yang Ada di Provinsi Kalimantan Selatan.
Meningkatnya citra perusahaan akan memiliki implikasi strategis bagi peusahaan itu sendiri karena reputasi yang baik merupakan salah satu keunggulan yang kompetitif.
Corporate Social Responsibility (CSR) atau istilah
Undang-Undang Perseroan Terbatas adalah Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Perseroan (yang selanjutnya disebut TJSL Perseroan) merupakan suatu tindakan yang diambil pelaku bisnis atau pemangku kepentingan melalui perilaku yang secara sosial bertanggung jawab kepada masyarakat. Dalam menjalankan tanggung hal, yakni ekonomi, sosial, dan lingkungan, hal ini difokuskan sebagai kegiatan yang berkesinambungan jawab sosialnya, pelaku bisnis atau perusahaan memfokuskan perhatiannya kepada tiga dan salah
satu cara untuk mencegah krisis, yaitu dengan peningkatan reputasi atau image.
Penerapan TJSL Perseroan saat ini berkembang pesat termasuk di Indonesia, sebagai respon dunia usaha yang melihat aspek lingkungan dan sosial sebagai peluang untuk meningkatkan daya saing serta sebagai bagian dari pengelolaan risiko menuju sustainability kegiatan usahanya. Substansi TJSL Perseroan adalah dalam rangka kemampuan perusahaan untuk beradaptasi dengan lingkungannya, komunitas dan stakeholder yang terkait dengannya baik lokal, nasional maupun global. Secara singkat, TJSL Perseroan mengandung makna bahwa perusahaan memiliki tugas moral untuk berlaku jujur, mematuhi hukum, menjujung integritas (Ardianto, 2011: 35).
Mc Williams dan Siegel, 2001 juga meyakini bahwa : “CSR is conventionally defined as the social involvement,
responsiviness, and accountabilitty of companies apart from their core profit activities and beyond the requirements of the law and what is otherwise required by goverment. The World Business Council for Sustainable Development (Business Action for Sustainable Development”.
Dalam Solihin (2009: 28) mengungkapkan bahwa TJSL atau CSR adalah :“The continuing commitmen by
business to behave ethically and contribute to economic development while improving the quality of live of the workforce and their families as well as of the local community and society at large”. (TJSL atau CSR
diungkapkan sebagai komitmen berkelanjutan dari pelaku bisnis atau perusahaan untuk memberikan kontribusi bagi pembangunan ekonomi serta meningkatkan para pekerja, keluarga, demikian pula masyarakat lokal dan masyarakat luas).
Secara universal, dari kedua pemahaman tersebut mengungkapkan bahwa aktivitas TJSL Perseroan pada umumnya mempunyai tujuan sebagai keterlibatan sosial pelaku bisnis atau stakeholder dalam mencapai peningkatan kesejahteraan yang berkelanjutan dengan memperhatikan tanggung jawab sosial perusahaan pada kualitas hidup pekerja atau masyarakat sebagai penunjang triple bottom line perusahaan yakni ekonomi, sosial, dan lingkungan yang dirasa mampu mendongkrak citra perusahaan dan meningkatkan reputasi perusahaan dalam rentang waktu
panjang. Sebuah riset yang dikemukanan oleh Roper Search Worldwide menunjukkan 75% responden memberikan nilai lebih kepada produk dan jasa yang dipasarkan oleh perusahaan dalam memberikan kontribusi nyata kepada komunitas melalui program pengembangan. Sekitar 66% responden juga menunjukkan bahwa mereka siap berganti merek perusahaan yang memiliki citra sosial yang positif (Susanto, 1997: 213).
Kedua hal tersebut membuktikan terjadinya perluasan “minat” konsumen dari “produk” menuju korporat, yakni konsumen menaruh perhatiannya terhadap tanggung jawab sosial perusahaan yang lebih luas, dan menyangkut etika bisnis serta tanggung jawab sosial perusahaan. Disinilah salah satu manfaat yang dapat dipetik perusahaan dalam suatu kegiatan TJSL Perseroan menjadi suatu kewajiban yang digariskan oleh undang-undang.
Penerapan aktivitas TJSL Perseroan yang berkembang di Indonesia, sesuai regulasi pemerintah dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas terdapat pada Pasal 1 Angka 3, menyatakan “Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan adalah komitmen perseroan
untuk berperan serta dalam pembangunan ekonomi berkelanjutan guna meningkatkan kualitas kehidupan dan lingkungan yang bermanfaat, baik bagi perseroan sendiri, komunitas setempat, maupun masyarakat pada umumnya”. Dan Pasal 74 pada dasarnya mengatur sebagai berikut :
(1) Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam wajib melaksanakn Tanggung Jawab, Sosial dan Lingkungan.
(2) Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan kwajiban Perseroan yang dianggarkan dan diperhitungkan sebagai biaya Perseroan yang pelaksanaannya dilakukan dengan memperhatikan kepatutan dan kewajaran.
(3) Perseroan yang tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Bahwa kegiatan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Perseroan merupakan suatu kegiatan yang diwajibkan dan dilaksanakan berdasarkan pada kepatutan dan kewajaran sesuai dengan peraturan pemerintahan. Fokus utama dalam undang-undang terdapat pada Pasal 74 yakni, lebih mewajibkan pada suatu kegiatan usaha di bidang atau yang berkaitan dengan sumber daya alam untuk melakukan kegiatan tanggung jawab sosial perusahaan.
Penentuan kebijakan pada kegiatan TJSL Perseroan harus menjadikan bagian intergral dari program pembangunan masyarakat Indonesia seutuhnya. Sebaliknya, pihak perusahaan juga harus terlibat secara aktif dan memiliki pemikiran untuk menjadi bagian dari komunitas kegiatan TJSL Perseroan. Tidak bersifat tertutup atau eksklusif ditengah masyarakat namun perusahaan juga harus secara aktif dan komunikatif kepada komunitas mereka. Hal inilah menjadikan suatu komitmen perusahaan untuk meningkatkan pemberdayaan masyarakat yang berkelanjutan terhadap komunitas perusahaan. Dengan lebih banyak memberikan perhatian kepada lingkungan atau komunitas, hal ini mampu terpeliharanya kualitas kehidupan umat
manusia dalam jangka panjang dan juga keterlibatan komunitas dalam sebuah perusahaan.
Dalam Pasal 4 Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2012 dikatakan bahwa TJSL dilaksanakan oleh Direksi berdasarkan rencana kerja tahunan perseroan setelah mendapat persetujuan Dewan Komisaris atau Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) sesuai dengan anggaran dasar perseroan. Rencana Kerja tahunan perseroan tersebut memuat rencana kegiatan dan anggaran yang dibutuhakn untuk pelaksanaan TJSL. Pelaksanaan TJSL tersebut dimuat dalam laporan tahunan perseroan dan dipertanggungjawabkan kepada RUPS (Pasal 6 PP 47/2012).
Dalam Pasal 15 huruf b UU 25/2007 diatur bahwa setiap penanaman modal wajib melaksanakan TJSL. Yang dimaksud TJSL menurut Penjelasan Pasal 15 huruf b UU 25/2007 adalah tanggung jawab yang melekat pada setiap perusahaan penanaman modal untuk tetap menciptakan hubungan yang serasi, seimbang, dan sesuai dengan lingkungan, nilai, norma dan budaya masyarakat setempat. Sedangkan yang dimaksud dengan penanaman modal adalah perseorangan atau badan usaha yang melakukan penanaman
modal yang dapat berupa penanaman modal dalam negeridan penanaman modal asing (Pasal 1 angka 4 UU 25/2007). Selain itu dalam Pasal 16 UU 25/2007juga diaturbahwa setiap penanaman modal bertanggung jawab untuk menjaga kelestarian lingkungan hidup. Ini merupakan juga bagian dari TJSL.
Jika penanaman modal tidak melakukan kewajibannya untuk melaksanakan TJSL, maka berdasarkan Pasal 34 UU 25/2007, penanaman modal dikenai sanksi administrasi berupa : a. peringatan tertulis; b. Pembatasan kegiatan usaha; c. Pembekuan kegiatan usaha dan/atau fasilitas penanaman modal;atau d. Pencabutan kegiatan usaha dan/atau fasilitas penanaman modal.
Selain dikenai sanksi administratif, penanaman modal juga dapat dikenai sanksi lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan (Pasal 34 ayat (3) UU 25/2007).
Berdasarkan Pasal 68 UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan berkewajiban :
a. Memberikan informasi yang terkait dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup secara benar, akurat, terbuka, dan tepat waktu;
b. Menjaga berkelanjutan fungsi lingkungan hidup; dan c. Menaati ketentuan tentang baku mutu lingkungan hidup
dan/atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup. A.B. Susanto dalam bukunya “Reputation-Driven
Corporate Social Responsibility”, mengungkapkan bahwa
kompetensi perusahaan untuk meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat, diharapkan mampu memberikan manfaat yang besar dan menguntungkan, manfaat pertama implementasi kegiatan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Perseroan dapat berupa pengurangan risiko dan tuduhan terhadap perlakukan tidak pantas yang diterima perusahaan. Manfaat kedua implementasi TJSL Perseroan, berfungsi sebagai pelindung dan membantu perusahaan meminimalkan dampak buruk yang diakibatkan suatu krisis, adanya keterlibatan dan kebanggaan karyawan secara konsisten melalukan upaya-upaya untuk membantu meningkatkan kesejahteraan dan kualitas hidup masyarakat dan ligkungan sekitarnya, serta adanya konsisten akan mampu memperbaiki dan mempererat hubungan antara perusahaan dengan para stakeholdernya. Dengan adanya
manfaat inilah, kegiatan TJSL Perseroan dinilai mampu mendongkrak citra perusahaan yang dalam rentang waktu panjang akan meningkatkan reputasi perusahaan.
Salah satu sampel yang Peneliti ambil dalam penerapan TJSL Perseroan di Kabupaten Barito Kuala yang dilakukan perusahaan penanaman modal asing yang masih berinvestasi di Indonesia, yang bergerak di bidang usaha agribisnis Perkebunan Kelapa Sawit, yakni Julong Group – PT. Putra Bangun Bersama, telah mengembangkan pelaksanaan TJSL Perseroan terintergrasi sebagai penunjang strategi, aktivitas dan proses manajemen perusahaan antara perusahaan dan program pemberdayaan masyarakat. Di Kabupaten Barito Kuala ada 11 Perusahaan yang bergerak di bidang agribisnis Perkebunan Kelapa Sawit.
Perusahaan Komoditas Luas Total dari izin lokasi (Ha) Luas sesuai IUP (Ha) Tahun Izin Tahun operasio n a l 1 2 3 4 5 6 7
1. PT. Agri Bumi sentosa (ABS) Kelapa sawit 15.204,8 15.172 2006 2007
2. PT. Putra Bangun Bersama (PBB) Kelapa sawit 10.962 10.956 2007 2007
3. PT. Tasnida Agro Lestari (TAL) Kelapa Sawit 8.157,98 8.157,98 2007 2010
4. PT. Tiga Daun Kapuas (TDK) Kelapa sawit 9.000 6.294 2007 2011
5. PT. Barito Putera Plantation
(BPP) Kelapa sawit 15.017 13.005,80 2009 2010
6. PT. Anugerah Sawit Andalan (ASA) Kelapa sawit 2.635 2.437,97 2009 2013
7. PT. Anugerah Wattiendo (sawit) Kelapa sawit 1.440,63 1.440,63 2009 2014
8. PT. Anugerah Watiendo (Karet) Karet 8.164 7.862,50 2010 2014
9. KSU. MAS Kelapa Sawit 1.891 1000 2010 2013
10. PT. ASIH Kelapa Sawit 2.031,733 1.786,93 2014 2015
11. KUD. Manuntung Kelapa Sawit 2.150 2.150 2015 2015 Total 76.654,143 70.263,81
Daftar Perusahaan Perkebunan Industri Beserta Luas Lahan Perusahaan Dan Tahun Izin Di Kab. Barito Kuala
Sumber : Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kab. Batola Tahun 201
Perkembangan Kondisi Tanaman Perkebunan Industri Dan Inti Plasma di Kab. Barito Kuala Tahun 2015
0 2000 4000 6000 8000 10000 12000 Perkebunan Industri Inti Perkebunan Industri Plasma 17.377,06 7.342,11 5.910,42 1555,18 Tanaman Blm Menghasilkan (Ha)
Tanaman Menghasilkan (Ha)
Sumber : Dinas Kehutanan dan Perkebunan
Sumber : Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kab. Batola Tahun 2016
Sejak Julong Grup mengambil kepemilikan PT. Putra Bangun Bersama pada tahun 2009 hingga saat ini, manajemen dengan segala perangkatnya tidak pernah berhenti untuk selalu memperbaiki kinerja operasional PT. Putra Bangun Bersama dari segala aspek dan sisi serta menjadikan perusahaan perkebunan harapan bagi segenap stakeholder internal maupun eksternal.
Salah satunya adalah melalui penerapan prinsip-prinsip transparansi, akuntabilitas, tanggung jawab, kemandirian
serta kepatutan sebagaimana tertuang dalam beberapa prinsip ISPO / RSPO. ISPO ataupun RSPO tersebut kini telah menjadi salah satu pedoman pelaksanaan manajemen perkebunan kelapa sawit PT. Putra Bangun Bersama – Julong Grup secara umum, baik dari aspek pembangunan, pengembangan, operasional maupun dalam melakuan interaksi sosial, khususnya masyarakat sekitar daerah operasional perkebunan yaitu melalui kegiatan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Perseroan. Semangat yang terkandung dalam penerapan TJSL itu sendiri memandang masyarakat sebagai stakeholder penting bagi operasional perusahaan.40
PT. Putra Bangun Bersama sudah melaksanakan TJSL Perseroan sejak tahun 2012. Menurut Luqman Zakaria41 dari Social, Security dan Legal Departement PT. Putra Bangun Bersama-Julong Grup, bahwa Program TJSL Perseroan PT. Putra Bangun Bersama Kabupaten Barito Kuala
40
Li Wei. 2014. Sambutan Direktur PT. Putra Bangun Bersama dalam Laporan CSR Review Tahun 2014. Julong Grup : Barito Kuala, hlm. 5.
41
Luqman Zakaria dari Social, Security dan Legal Departement PT. Putra Bangun Bersama-Julong Grup Kabupaten Barito Kuala, Wawancara pada tanggal 23 Agustus 2016.