Jurnal Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Jawa_Universitas Muhammadiyah Purworejo 70
Analisis Gaya Bahasa dalam Antologi Geguritan Puser Bumi
karya Gampang Prawoto
Oleh: Evi NugraheniProgram Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Jawa evinugraheni47@gmail.com
Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan: (1) gaya bahasa dalam Antologi Geguritan “Puser Bumi” karya Gampang Prawoto, (2) makna geguritan dalam Antologi Geguritan “Puser Bumi” karya Gampang Prawoto. Jenis Penelitian ini termasuk jenis penelitian
deskriptif kualitatif. Sumber data dalam penelitian ini adalah Antologi Geguritan “Puser Bumi” karya Gampang Prawoto, dan data dalam penelitian ini berupa kutipan-kutipan dalam Antologi
Geguritan “Puser Bumi” karya Gampang Prawoto yang berupa bait-bait puisi yang di dalamya
terdapat penggunaan gaya bahasa. Selain itu, juga berupa kutipan-kutipan geguritan yang di dalamnya mengandung makna-makna tertentu. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan teknik pustaka dan teknik simak catat. Instrumen penelitian yang digunakan adalah human
instrument yang dibantu buku tentang sastra dan puisi serta kartu pencatat data. Teknik
keabsahan data yang digunakan adalah triangulasi. Teknik analisis data yang digunakan adalah
content analysis atau analisis isi. Dalam penyajian hasil analisis data digunakan teknik informal.
Hasil penelitian menunjukan bahwa Antologi Geguritan “Puser Bumi” karya Gampang Prawoto mengandung gaya bahasa dan makna-makna tertentu, gaya bahasa yang digunakan antara lain yaitu gaya bahasa berdasarkan struktur kalimat yang terdiri dari repetisi anafora (17), repetisi mesodiplosis (9), gaya berdasarkan langsung tidaknya makna yaitu gaya bahasa retoris yang terdiri dari asindenton (3) dan hiperbola (8), dan gaya bahasa kiasan yang terdiri dari persamaan/simile (8), metafora (3), personifikasi (15), metonimia (13), dan sinisme (5); dan makna geguritan yang terdapat dalam Antologi Geguritan “Puser Bumi” karya Gampang Prawoto adalah tentang pesan-pesan pengarang yang berhubungan dengan masalah kehidupan yang dialami oleh manusia, seperti masalah asmara, politik, ekonomi dan kehidupan orang perkotaan dengan orang pedesaan.
Kata Kunci : gaya bahasa, geguritan Puser Bumi Pendahuluan
Manusia merupakan makhluk sosial yang dalam kehidupan sehari-hari membutuhkan interaksi dengan orang lain. Salah satu bentuk interaksi tersebut adalah dengan berkomunikasi. Setiap orang tentu mempunyai gaya yang berbeda-beda dalam menggunakan bahasa sebagai sarana untuk berkomunikasi. Apalagi jika orang tersebut adalah seorang pengarang. Bagi seorang pengarang, pemilihan bahasa yang tepat dan sesuai tentu menjadi hal yang sangat penting dalam penulisan karya-karyanya, karena lewat karya-karyanya itulah yang akan dijadikan sebagai media untuk berkomunikasi dengan para pembaca. Lewat karya-karyanya itu lah pengarang akan menyampaikan pesan-pesan tertentu untuk orang-orang yang menikmati karyanya.
Jurnal Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Jawa_Universitas Muhammadiyah Purworejo 71 Berbicara mengenai bahasa dalam sebuah karya sastra tentu berbeda dengan bahasa yang digunakan dalam komunikasi sehari-hari. Bahasa sastra memiliki sifat yang sistematis yang membedakannya dengan bahasa sehari-hari. Bahasa khas itulah yang disebut gaya bahasa. Gaya bahasa adalah cara yang digunakan untuk mengungkapkan pikiran melalui bahasa secara khas yang memperlihatkan jiwa dan kepribadian penulis (Keraf, 2009: 113). Begitu pula dengan sastra Jawa, bahasa yang digunakan dalam sastra Jawa pun adalah bahasa yang khas dan sistematis. Salah satunya dapat dilihat pada pemilihan bahasa yang digunakan dalam puisi Jawa modern (geguritan).
Geguritan merupakan cipta sastra terbaru yang hidup hingga saat ini
menggunakan bahasa Jawa “masa kini” serta tidak memiliki kebakuan puitik yang ketat sehingga pemahamannya dianggap lebih mudah dibanding dengan jenis-jenis puisi yang lain (Saputra, 2001: 8). Setiap geguritan pasti mempunyai keindahan tersendiri karena masing-masing pengarang mempunyai ciri khas tersendiri dalam menggunakan gaya bahasa. Hal ini sesuai dengan sifat dan kegemaran masing-masing pengarang. Gaya merupakan cap seorang pengarang, gaya merupakan keistimewaan seorang pengarang. Gaya bahasa memiliki jenis yang sangat beragam, diantaranya adalah gaya bahasa berdasarkan pilihan kata, gaya bahasa berdasarkan nada, gaya bahasa berdasarkan struktur kalimat dan gaya bahasa berdasarkan langsung tidaknya makna. Pembagian gaya bahasa tersebut merupakan teori dari Gorys Keraf (2009: 117-145) di mana teorinya yang akan penulis jadikan sebagai acuan untuk mengkaji gaya bahasa yang terdapat dalam Antologi Geguritan “Puser Bumi” karya Gampang Prawoto. Sosok Gampang Prawoto adalah seorang guru Sekolah Dasar di Jawa Timur dan sekaligus sebagai anggota dari Sanggar Sastra PSJB atau Pamarsudi Sastra Jawi Bojonegoro.
Alasan penulis memilih untuk mengkaji gaya bahasa dalam sebuah geguritan adalah karena kurangnya perhatian masyarakat luas terhadap karya sastra Jawa, dalam hal ini khususnya geguritan. Masyarakat kurang memperhatikan keberadaan geguritan karena mereka kurang memahami penggunaan bahasa-bahasa tertentu yang digunakan oleh pengarang dalam penulisan karya-karyanya, sehingga kebanyakan masyarakat kurang memahami maksud dari penggunaan gaya bahasa yang terkandung
Jurnal Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Jawa_Universitas Muhammadiyah Purworejo 72 dalam sebuah geguritan. Dalam menciptakan sebuah geguritan seorang pengarang pasti juga menyelipkan pesan-pesan tertentu untuk para pembaca. Pesan-pesan yang disampaikan tidak hanya tertulis secara tersurat, akan tetapi kadang kala juga secara tersirat yang tidak setiap orang bisa memahaminya. Kurangnya pemahaman masyarakat terhadap geguritan yang didalamnya terdapat penggunaan gaya bahasa dan mengandung makna-makna tertentu disebabkan oleh berbagai hal, misalnya latar belakang pendidikan, tingkat kecerdasan, kurangnya pengetahuan dan lain-lain.
Analisis gaya bahasa dalam sebuah geguritan perlu dilakukan agar masyarakat bisa memahami maksud penggunaan gaya bahasa dalam geguritan sehingga mereka mampu menangkap pesan-pesan tertentu yang ingin disampaikan oleh pengarang kepada pembaca. Selain itu, juga untuk menambah pengetahuan tentang keberagaman penggunaan gaya bahasa dalam penulisan sebuah geguritan, karena dengan adanya penggunaan gaya bahasa dalam sebuah geguritan akan menambah keberagaman estetika geguritan dimana sebuah geguritan mengandung sebuah keritmisan sehingga menarik untuk dikaji. Semakin banyak orang yang memahami gaya bahasa dan makna dari sebuah geguritan maka akan membuat kelestarian geguritan sebagai salah satu warisan budaya Jawa akan tetap terjaga.
Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif. Metode kualitatif adalah prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan (Moleong, 2007: 11). Sumber data dalam penelitian ini adalah Antologi
Geguritan “Puser Bumi” karya Gampang Prawoto, dan data dalam penelitian ini berupa
kutipan-kutipan dalam Antologi Geguritan “Puser Bumi” karya Gampang Prawoto yang berupa bait-bait puisi yang di dalamya terdapat penggunaan gaya bahasa. Selain itu, juga berupa kutipan-kutipan geguritan yang di dalamnya mengandung makna-makna tertentu. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan teknik pustaka dan teknik simak catat. Instrumen penelitian yang digunakan adalah human instrument yang dibantu buku tentang sastra dan puisi serta kartu pencatat data. Teknik keabsahan data yang digunakan adalah triangulasi. Teknik analisis data yang digunakan adalah content
Jurnal Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Jawa_Universitas Muhammadiyah Purworejo 73
analysis atau analisis isi. Teknik penyajian hasil analisis data yang digunakan adalah
teknik informal.
Hasil Penelitian 1. Gaya Bahasa
a. Gaya Bahasa Berdasarkan Struktur Kalimat Salah satu contohnya:
Repetisi Anafora
a) saka anggonmu sregep makarya saka anggonmu sregep dedonga
Penggunaan gaya bahasa repetisi anafora dalam AGPB terdapat pada kutipan geguritan yang berjudul Ngungkal Pacul bait 4 berikut ini.
“Ki tani
saka anggonmu sregep makarya saka anggonmu sregep dedonga mula undhuh panemu kanti narima
minangka peparinging gusti kang maha kuwasa”
(‘’Ngungkal Pacul’’, bait 4 baris 2-3 AGPB: 3)
terjemahan: ‘Ki tani
dari ketekunanmu bekerja dari ketekunanmu berdoa
maka nikmatilah hasil panenmu dengan ikhlas sebagai rizki dari Allah yang Maha Kuasa’
Pada kutipan di atas repetisi anafora ditunjukkan dengan perulangan frasa pertama pada baris ke- 2 sampai baris ke-3 yaitu pada frasa “saka
anggonmu sregep”. Digambarkan ‘’saka anggomu sregep makarya’’, ‘dari
ketekunanmu bekerja’, ‘’saka anggonmu sregep dedonga”, ‘dari ketekunanmu berdoa’. Kutipan kalimat tersebut dapat dikategorikan sebagai gaya bahasa repetisi anafora karena frasa ’’saka anggonmu sregep’’ , ‘dari ketekunanmu’ diulang satu kali pada kalimat berikutnya untuk menegaskan maksud pengarang bahwa ketekunan memiliki peranan yang sangat penting dalam sebuah pekerjaan. Maksud penggambaran tersebut
Jurnal Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Jawa_Universitas Muhammadiyah Purworejo 74 adalah dalam melaksanakan pekerjaan sehari-hari tidak hanya membutuhkan ketekunan dalam bekerja saja tetapi juga ketekunan dalam berdoa karena keduanya harus berjalan seimbang agar mendapatkan hasil yang maksimal.
b. Gaya Bahasa Berdasarkan Langsung Tidaknya Makna 1) Gaya Bahasa Retoris
Salah satu contohnya: Hiperbola
a) kenya ndesa kang gawe rojah-rajeh suweking ati
Penggunaan gaya bahasa hiperbola dalam AGPB terdapat pada kutipan geguritan yang berjudul Prawan Jambon bait 4 berikut ini.
“Duh Gusti…..
mugi paringana margi nyawijining “ati lan ati”
kenya ndesa kang gawe rojah-rajeh suweking ati” (“Prawan Jambon’’, bait 4 baris 4 AGPB: 17)
terjemahan:
‘Tuhan…
semoga memberi jalan bersatunya hati dan hati
gadis desa yang membuat berantakan dan robeknya hati’
Pada kutipan di atas gaya bahasa hiperbola ditunjukkan pada kalimat di baris keempat. Digambarkan “kenya ndesa kang gawe rojah-rajeh
suweking ati”, ‘gadis desa yang membuat berantakan dan robeknya hati’.
Kutipan kalimat tersebut dapat dikategorikan sebagai gaya bahasa hiperbola karena pengarang dalam mengungkapkan rasa gundah gulananya saat sedang terjerat cinta diungkapkan secara berlebihan dengan kata-kata “suweking ati”, ‘robeknya hati’. Biasanya kata “suwek”, ‘robek’ digunakan untuk benda-benda yang mudah robek seperti kertas. Pemakaian gaya bahasa hiperbola dimaksudkan untuk menyatakan hal-hal yang dianggap berlebihan dan untuk menambah nilai estetika yang
Jurnal Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Jawa_Universitas Muhammadiyah Purworejo 75 ada pada sebuah geguritan. Maksud dari penggambaran tersebut adalah hati seorang lelaki yang sedang gundah gulana karena terjerat cinta seorang gadis desa, lelaki tersebut berharap agar Tuhan dapat menyatukan cintanya dengan gadis desa pujaannya.
2) Gaya Bahasa Kiasan Salah satu contohnya: Persamaan/Simile
a) Gumuruh kadya maruta
Penggunaan gaya bahasa simile dalam AGPB terdapat pada kutipan geguritan yang berjudul Asmaradana bait 2 berikut ini.
“Gumuruh kadya maruta
gumebyar kadya thathit ing angkasa gumulung kadya ombaking samudra nalika nandang branta”
(“Asmaradana’’, bait 2 baris 1 AGPB: 18)
terjemahan:
‘bergemuruh seperti angin
bersinar seperti kilat di angkasa
bergulung-gulung seperti ombak di samudera ketika terjerat asmara (cinta)’
Pada kutipan di atas gaya bahasa simile ditunjukkan dengan kalimat yang menggunakan kata pembanding pada kalimat di baris pertama. Digambarkan “gumuruh kadya maruta”, ‘bergemuruh seperti angin’. Kutipan kalimat tersebut dapat dikategorikan sebagai gaya bahasa simile karena pengarang membandingkan rasa cintanya yang bergemuruh seperti gemuruhnya suara angin. Penggunaan gaya bahasa simile dimaksudkan untuk membandingkan sesuatu dengan yang lain dianggap memiliki persamaan. Maksud dari penggambaran tersebut adalah rasa cinta yang sangat besar dirasakan oleh seseorang yang sedang terjerat asmara, rasa cintanya yang bergemuruh digambarkan seperti gemuruhnya suara angin.
Jurnal Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Jawa_Universitas Muhammadiyah Purworejo 76 2. Makna Geguritan
Berikut penulis sajikan salah satu contoh pembahasan data makna geguritan yang terdapat dalam antologi Geguritan “Puser Bumi” karya Gampang Prawoto.
Lemah Aking
Aku dilairake saka
sapecak lemah kang aking kesrakat tanduran-tanduran jati sing dijaga para mantra alas “iki dudu lemahe embahmu” “ora tandurane bapakmu” Sapecak lemah aking
nukulake tanduran kolang-kaling weteng kemruncung, daringan garing “golek rencek apa mblandhong” bakal kesrimpet alang-alang
apadene suket rawatan Sapecak lemah aking
karanta-ranta pindha tela mangsa ketiga mrebes mili netesake luh-luh
lintung “ iki dudu lemahe embahmu” “dudu icir-icirane bapakmu” Sapecak lemah aking
lemah sing dadi gonjang-ganjing “yen ketiga ora bisa cewok” “yen rendheng ora bisa ndhodhok” Mboyak !
ganjing dadi gonjang lemah aking dadi rebutan
papan ngebrok cewok karo ndhodhok investor asing
Lemah aking
nyandhung watang apa nyandhing weteng
Tanah Kering Aku dilahirkan dari
Jurnal Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Jawa_Universitas Muhammadiyah Purworejo 77 kekurangan tanaman-tanaman jati
yang dijaga para kepala pegawai
hutan “ini bukan tanah kakek-nenekmu” “ini bukan tanaman bapakmu”
setelapak kaki tanah kering
menumbuhkan tanaman kolang-kaling perut lapar, tempat menyimpan beras kering
“mencari kayu kecil atau menebang kayu” akan terjerat alang-alang
atau rumput-rumput peliharaan setelapak kaki tanah kering
terlunta-lunta seperti ketela dimusim kemarau berkaca-kaca meneteskan air mata
minyak mentah “ini bukan tanah kakek-nenekmu” “ bukan pemberian bapakmu”
setelapak kaki tanah kering tanah yang menjadi huru-hara
“jika kemarau tidak bisa cebok”
“jika musim penghujan tidak bisa jongkok” tidak !
hara jadi huru
tanah kering menjadi rebutan
tidak mau pulang, cebok dan jongkok investor asing
tanah kering
perkara penting yang tidak boleh dilanggar
Geguritan di atas menceritakan tentang setelapak kaki tanah kering yang
merupakan penggambaran masyarakat yang tinggal di daerah yang sumber daya alamnya melimpah tetapi tidak bisa ikut menikmati hasil sumber daya alam tersebut karena telah dikuasai oleh investor asing jadi masyarakat sekitar hanya mendapatkan imbas negatifnya saja.
Makna geguritan di atas adalah masyarakat yang hidup di daerah yang sumber daya alamnya melimpah bisa dipastikan rata-rata masyarakatnya tidak ikut menikmati kekayaan yang dipijaknya. Masyarakat yang hidup di tengah hutan jati tidak hidup mewah padahal sekelilingnya bergelimangan kayu, rumah-rumah
Jurnal Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Jawa_Universitas Muhammadiyah Purworejo 78 mereka bahkan beratap daun dan dinding-dindingnya dari sebetan kulit-kulit jati, nasi jagung menemani makan mereka. Seandainya mereka ikut merasakan hasil kekayaan itu maka sejahteralah hidup mereka. Sekali menebang pohon/blandhong (berarti: berstatus mencuri) dan penjara rumahnya. Masyarakat yang hidup di atas lumbung minyak apakah akan ikut merasakan hasilnya. Siapa yang punya, siapa yang mengerjakan, siapa yang menikmati hasilnya. Investor asing telah menguasainya dan masyarakat sekitar hanya mendapatkan imbas negatifnya saja.
Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian menunjukan bahwa Antologi Geguritan “Puser Bumi” karya Gampang Prawoto mengandung gaya bahasa dan makna-makna tertentu, diantaranya yaitu 1) gaya bahasa berdasarkan struktur kalimat yang terdiri dari repetisi anafora (17), repetisi mesodiplosis (9), gaya berdasarkan langsung tidaknya makna yaitu gaya bahasa retoris yang terdiri dari asindenton (3) dan hiperbola (8), dan gaya bahasa kiasan yang terdiri dari persamaan/simile (8), metafora (3), personifikasi (15), metonimia (13), dan sinisme (5) dan 2) makna geguritan yang terdapat dalam Antologi Geguritan “Puser Bumi” karya Gampang Prawoto adalah tentang pesan-pesan pengarang yang berhubungan dengan masalah kehidupan yang dialami oleh manusia, seperti masalah asmara, politik, ekonomi dan kehidupan orang perkotaan dengan orang pedesaan.
Daftar Pustaka
Keraf, Gorys. 2001. Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Moleong, Lexi J. 2007. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Saputra, H. Karsono. 2001. Puisi Jawa Struktur dan Estetika. Jakarta : Wedatama Widya Sastra.