5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Dalam melakukan perencanaan struktur gedung ini merujuk pada beberapa tata cara perencanaan bangunan dan beberapa referensi khusu yang lazim digunakan. Beberapa perturan tersebut adalah :
1. Beban Minimum untuk Perancangan Bangunan Gedung dan Struktur Lain (SNI 1727-2013);
2. Persyaratan Beton Struktural untuk Bangunan Gedung (SNI 2847-2013);
3. Tata Cara Desain Ketahanan Gempa untuk Struktur Bangunan Gedung dan Non Gedung (SNI 1726-2012).
2.1 Teori Dasar Gempa Bumi 2.1.1 Pengertian Umum Gempa Bumi
Gempa bumi adalah getaran atau guncangan yang terjadi akibat pelepasan energi di permukaan bumi. Gempa bumi yang paling banyak terjadi di Indonesia adalah gempa bumi tektonik yang sangat berpengaruh terhadap kerusakan komponen-komponen struktur bangunan.
Menurut Fauziah (2013), gempa bumi dapat terjadi karena fenomena getaran dengan kejutan pada kerak bumi. Faktor utamanya adalah benturan pergesekan kerak bumi yang mempengaruhi permukaan bumi. Gempa bumi ini menjalar dalam bentuk gelombang. Gelombang ini mempunyai suatu energi yang dapat menyebabkan permukaan bumi dan bangunan di atasnya menjadi bergetar. Getaran ini nantinya akan menimbukan gaya-gaya pada struktur bangunan karena struktur cenderung mempunyai gaya untuk mempertahankan dirinya dari gerakan. Pada saat terjadi gempa bumi bangunan mengalami gerakan vertikal dan gerakan horizontal yang menyebabkan kerusakan struktur bangunan. Letak geografis wilayah Indonesia yang berada di kawasan Pasific Ring Of Fire yang memiliki pertemuan antara tiga lempeng tektonik yang besar yaitu Lempeng Pasifik, Lempeng Eurasia dan Lempeng Indo Australia, menjadikan Negara dengan potensi aktivitas seismic yang cukup tinggi seperti gempa.
2.1.2 Peta Zonasi Gempa Bumi di Indonesia
Untuk wilayah gempa di Indonesia dipetakan berdasarkan tingkat resiko gempanya yang dapat dilihat pada SNI 1726-2012. Pada SNI 1726-2012, peta wilayah gempa ditentukan berdasarkan besarnya percepatan puncak batuan dasar (Peak Ground Acceleration,PGA), yang terdiri dari yaitu :
Ss (Percepatan batuan dasar periode pendek 0.2 detik) S1 (Percepatan batuan dasar periode 1 detik)
Peta gempa Indonesia di kembangkan oleh Pusat Studi Gempa Nasional, peta gempa terbaru yang mengalami revisi dari peta gempa sebelumnya dapat dilihat pada gambar 2.1 dan gambar 2.2
Sumber : (puskim.pu.go.id)
Sumber : (puskim.pu.go.id)
Gambar 2.1 Peta sumber dan bahaya gempa bumi Indonesia Tahun 2017 berdasarkan parameter Ss
2.2 Konsep Perencanaan Bangunan Tahan Gempa
(Budiono 2011 dalam Suhaimi 2014) menyatakan bahwa membangun bangunan yang dapat menahan bangunan tahan gempa adalah tidak ekonomis. Oleh karena itu prioritas utama dalam membangun bangunan tahan gempa adalah terciptanya suatu bangunan yang dapat mencegah terjadinya korban, serta memperkecil kerugian harta benda. Dari hal tersebut filosofi bangunan tahan gempa terbagi 3 macam, yaitu :
1) Pada saat terjadi gempa ringan, struktur bangunan dan fungsi bangunan harus dapat tetap berjalan (serviceable) sehingga struktur harus kuat dan tidak ada kerusakan baik pada elemen struktural dan elemen nonstruktural bangunan. 2) Pada saat terjadi gempa moderat atau medium, struktur diperbolehkan
mengalami kerusakan pada elemen nonstruktural, tetapi tidak diperbolehkan terjadi kerusakan pada elemen struktural.
3) Pada saat terjadi gempa besar, diperbolehkan terjadi kerusakan pada elemen struktural dan nonstruktural, namun tidak boleh sampai menyebabkan bangunan runtuh sehingga tidak ada korban jiwa atau dapat meminimalkan jumlah korban jiwa.
2.2.1 Konsep Performance Based Design
(Menurut Dewobroto 2005 dalam suhaimi 2014), umumnya bangunan tahan gempa direncanakan dengan prosedur yang ditulis dalam peraturan perencanaan bangunan (building codes).
Konsep performance based design merupakan kombinasi dari aspek tahanan dan aspek layan, sehingga bisa diketahui kemampuan dari suatu struktur dalam menerima beban gempa (capacity) dan besarnya beban gempa yang akan diterima oleh suatu struktur (demand), sasaran kinerja terdiri dari kejadian gempa rencana yang ditentukan (earthquake hazard), dan taraf kerusakan yang diizinkan atau level kinerja (performance level) dari bangunan terhadap suatu kejadian gempa. Mengacu pada FEMA-273 (1997) yang menjadi acuan klasik bagi perencanaan berbasis kinerja maka kategori level kinerja struktur, adalah : a. Segera dapat dipakai (IO = Immediate Occupancy), struktur masih aman
hampir sama dengan kondisi sebelum gempa, sistem pemikul gaya vertikal dan lateral masih mampu memikul gaya gempa yang terjadi.
b. Keselamatan penghuni terjamin (LS = Life-Safety), struktur mengalami kerusakan yang cukup signifikan tetapi belum mengalami keruntuhan, komponen struktur utama masih stabil dan mampu menahan kembali gempa. Namun, perlu dilakukan perbaikan dan masih dapat digunakan.
c. Terhindar dari keruntuhan total (CP = Collapse Prevention), struktur dalam kondisi batas kemampuan dimana struktural dan non-struktural sudah mengalami kerusakan parah, struktur sudah tidak dapat menahan gaya lateral lagi. Namun, struktur tetap berdiri dan tidak runtuh.
2.3 Beton Bertulang
Beton dalam konstruksi teknik didefinisikan sebagai batu buatan yang dicetak pada suatu wadah atau cetakan dalam keadaan cair kental, yang kemudian mampu untuk mengeras secara baik. Beton dihasilkan dari pencampuaran bahan-bahan agregat halus dan kasar yaitu pasir, batu pecah, atau bahan-bahan semacam lainnya, dengan menambahkan secukupnya bahan perekat semen, dan air sebagai bahan pembantu guna keperluan reaksi kimia selama proses pengerasan dan perawatan berlangsung.
Bahan pengikat yang dipakai umumnya adalah dari jenis semen portland (s.p.) atau disebut juga Portland Cement (P.C.). Agregat kasar yang dipakai pada umumnya adalah kerikil atau batu pecah kecil (kricak) dan pasir sebagai agregat halus yang biasa digunakan. Untuk mudahnya dapat disebutkan, beton terdiri dari campuran semen portland, pasir dan kerikil atau batu pecah ditambah dengan air untuk proses pembuatan beton (Wikana dan Widayat, 2007).
Beton bertulang mempunyai sifat sangat kuat terhadap beban tarik yang mampu ditahan oleh baja tulangan maupun terhadap beban tekan yang mampu ditahan oleh beton. Berdasarkan pasal 8.5.2 SNI 2847-2013 modulus elastisitas baja tulangan non prategang Es dapat diambil 200000 Mpa. Sedangkan pada pasal 8.5.1 SNI 2847-2013 modulus elastisitas beton normal ditentukan berdasarkan : Ec = 4700√𝑓′𝑐.
2.4 Sistem Rangka Pemikul Momen
Di Indonesia, sistem struktur gedung yang umum digunakan adalah Sistem Rangka Pemikul Momen. Struktur rangka pemikul momen adalah suatu sistem struktur berupa portal atau rangka yang terdiri dari komponen (subsistem) horizontal berupa balok dan komponen (subsistem) vertikal berupa kolom yang dihubungkan secara kaku dan bekerja secara bersamaan untuk menahan beban-beban yang terjadi pada bangunan melalui mekanisme lentur.
Berdasarkan SNI-1726-2012, tercantum 3 jenis Sistem Rangka Pemikul Momen, yaitu :
a. Sistem Rangka Pemikul Momen Biasa; b. Sistem Rangka Pemikul Momen Menengah; c. Sistem Rangka Pemikul Momen Khusus.
Masing-masing jenis SRPM dibedakan berdasarkan wilayah gempa. Pada saat gempa terjadi, rangka pemikul momen harus daktil supaya integritasnya tetap terjaga sehingga bangunan terhindar dari kemungkinan terjadinya keruntuhan pada struktur secara tiba-tiba. Perilaku daktil ini hanya dapat dicapai apabila pada saat terbentuknya sendi-sendi plastis pada pelat-balok-kolom mampu mentransfer efek beban lateral gempa tanpa kehilangan kekuatan dan kekakuannya.
2.5 Sistem Dinding Geser (Shear Wall)
Dinding geser membentang pada seluruh jarak vertikal antar lantai pada struktur bangunan. Dinding geser dapat digunakan untuk menahan gaya lateral secara lebih efisien jika ditempatkan secara tepat dan simetris dalam perencanaannya. Namun, dinding geser tidak dapat digunakan secara efisien apabila terdapat bukaan seperti jendela, pintu, dan saluran-saluran mekanikal dan elektrikal.
Menurut Nawy (2005), dinding struktural pada bangunan berbentuk rangka (frame building) harus dirancang sedemikian rupa sehingga memiliki kekakuan yang memadai yang diperlukan untuk mengurangi simpangan atar lantai yang disebabkan oleh gempa. Dinding seperti itu disebut dinding geser. Fungsi lainnya adalah untuk mengurangi kemungkinan kehancuran komponen nonstruktural yang ada pada gedung pada umumnya.
2.5.1 Klasifikasi Dinding Geser (Shear Wall)
Dinding geser merupakan struktur vertikal yang memiliki bentuk bermacam-macam dan fungsi yang berbeda tergantung pada kebutuhan dan desain bangunan, karena pada dasarnya dinding geser akan mengikuti bentuk bangunan. Dinding geser dibagi menjadi tiga bagian yang dibedakan berdasarkan letak dan fungsinya yaitu :
a. Bearing walls adalah dinding geser yang juga mendukung sebagian besar beban gravitasi. Tembok-tembok ini juga menggunakan dinding partisi antar partemen yang berdekatan.
b. Frame walls adalah dinding geser yang menahan beban lateral, dimana beban gravitasi berasal dari frame beton bertulang. Tembok-tembok ini dibangun diantara baris kolom.
c. Core walls adalah dinding geser yang terletak di dalam wilayah inti pusat dalam gedung, yang biasanya diisi tangga atau poros lift. Dinding yang terletak di kawasan inti pusat memiliki fungsi ganda dan dianggap menjadi pilihan ekonomis.
(Menurut Mufida 2008 dalam Sasmito 2017), dinding geser adalah komponen struktur untuk meningkatkan kekauan struktur dan menahan gaya-gaya lateral. Jenis dinding geser biasanya dikategorikan berdasarkan geometrinya yaitu:
a. Flexural wall (dinding langsing), dinding geser yang memiliki rasio hw/lw ≥ 2, dimana desain dikontrol oleh perilaku lentur sehingga memiliki rasio perbandingan M/V yang tertinggi.
b. Squat wall (dinding pendek), dinding geser yang memiliki rasio hw/lw ≤ 1 atau 2, dimana desain dikontrol oleh perilaku geser sehingga memiliki rasio perbandingan M/V yang rendah.
c. Coupled shear wall (dinding berangkai), dimana momen guling yang terjadi akibat gaya gempa ditahan oleh sepasang dinding yang dihubungkan oleh balok-balok perangkai sebagai gaya-gaya tarik dan tekan yang bekerja pada masing-masing dasar pasangan dinding tersebut.
Salah satu hal pokok yang harus dipertimbangkan dalam perencanaan dinding geser pada sistem ganda (dual system) adalah penempatan dinding geser (shear wall). Dibutuhkan sistem dinding struktur yang memiliki kapasitas mereduksi menahan gaya geser yang terjadi. Untuk itu, dinding harus ditempatkan sedemikian rupa untuk membatasi terjadi eksentrisitas yang berlebihan.
2.5.2 Susunan Dinding Geser (Shear Wall)
Dinding geser merupakan struktur vertikal yang memiliki perletakan yang berbeda-beda dalam denah bangunan sesuai dengan bentuk bangunannya. Dinding geser pada dasarnya dapat dibagi menjadi sistem terbuka dan sistem tertutup, yaitu :
a. Sistem terbuka : susunan dinding-dinding terdiri dari unsur linear tunggal atau gabungan unsur yang tidak lengkap melingkupi ruang geometrik.
b. Sistem tertutup : susunan dinding-dinding meliputi ruang simetris seperti persegi panjang, bujur sangkar, segitiga, bulat, membentuk inti (core).
Sumber : (Sasmito 2017)
2.5.3 Desain Dinding Geser (Shear Wall)
Menurut Sasmito (2017) Perletakan dinding geser dalam denah bangunan, antara lain :
a. Dinding geser harus diatur sedemikian rupa sehingga tidak terjadi torsi (puntir) yang berlebihan pada bangunan akibat gaya horizontal (angin atau gempa). Syarat-syarat yang harus dipenuhi adalah :
1) Minimal harus ada tiga dinding geser;
2) Garis-garis dari ketiga dinding terserbut tidak boleh berpotongan pada satu titik. Hal ini berkaitan dengan kekakuan torsi
3) Paling banyak dua dinding dari ketiga dinding geser terpasang secara paralel.
b. Dinding geser harus diatur sedemikian rupa sehingga tidak terjadi kekangan (restarin) pada plat lantai ketika mengalami susut atau perubahan temperatur
Sumber : (Sasmito 2017)
Dimana:
a. Titik hitam tebal yang terdapat pada tiap denah adalah CR (Center of Rigidity) atau pusat kekakuan.
b. Garis yang tebal menunjukan dinding geser. c. Garis yang tipis menunjukan garis denah gedung.
Contoh perhitungan CR atau kekakuan struktur itu sendiri terdiri dari dua yaitu:
a. Kekakuan penampang : E(Modulus Elastisitas) x I(inersia) b. Kekakuan batang, Balok atau kolom = 𝐸𝐼
𝐿 Dimana:
E = 200 x 103 Mpa (SNI 2847_2013 poin 5.8.2) dan I = 1/12 x b x h3
2.5.4 Perilaku Dinding Geser (Shear Wall) Akibat Gempa
Dinding Geser (shearwall) adalah unsur pengaku vertikal yang dirancang untuk menahan gaya lateral (gempa) yang bekerja pada bangunan (Wolfgang Schueller 1989 :105 ). Dinding geser dengan lebar yang besar akan menghasilkan daya tahan lentur dan geser yang sangat tinggi dan merupakan sistem struktur yang paling rasional dengan memanfaatkan sifat–sifat beton bertulang. Pada konstruksi pelat beton bertulang, lantai dapat dianggap tidak mengalami distorsi (puntir) karena ketegaran lantai sangat besar. Jadi gaya geser yang ditahan oleh sistem struktur disetiap tingkat bisa dihitung berdasarkan rasio ketegaran dengan memakai prinsip statis tak tentu. Berdasarkan konsep dasar ini, Dr. T. Naito menyebut proporsi yang ditahan oleh berbagai sistem sebagai koefisien distribusi gaya geser, dan menyatakannya dengan notasi D (nilai D).
Gambar diatas memperlihatkan deformasi portal terbuka dan dinding geser kantilever yang memikul gaya gempa secara terpisah, terlihat bahwa deformasi kedua sistem ini berlainan. Deformasi pada dinding kantilever menyerupai deformasi balok kantilever yang tegak lurus tanah dan selain deformasi lentur, dinding mengalami deformasi geser dan rotasi secara keseluruhan akibat deformasi tanah. Sebagai perbandingan, deformasi yang terjadi pada portal terbuka besarnya cenderung sama pada tingkat atas dan bawah, sedangkan deformasi pada dinding geser sangat kecil didasar dan besar dipuncak.
Gedung yang sesungguhnya tidak memiliki dinding geser yang berdiri sendiri karena dinding berhubungan dalam segala arah dengan balok atau batang lain ke kolom-kolom disekitarnya. Sehingga deformasi dinding akan dibatasi dan keadaan ini sebagai pengaruh pembatasan (boundary effect). Agar daya tahan dinding dapat berfungsi sebagaimana mestinya, maka syarat-syarat dibawah ini harus diperhatikan dalam perancangan dinding geser, antara lain :
a. Dinding geser Bila letak dinding geser berbeda antara satu tingkat dengan tingkat lainnya seperti pada gambar 2.7, gaya geser yang terpusat di dinding atas, W1 harus disalurkan ke dinding bawah W2. Dalam hal ini, balok atau pelat D akan memikul gaya tarik dan gaya tekan yang besar. Sebaliknya pada dinding geser seperti yang ditunjukan pada gambar, pondasi memikul gaya yang besar karena momen guling (overtuming moment) dan tarikan keatas bisa terjadi sehingga menyulitkan perencanaan, namun masalah ini bisa diatasi dengan melebarkan dinding ditingkat bawah, memperkuat dengan kerangka melintang yang tegak lurus pada kedua sisi dinding atau memperkuat balok.
b. Untuk memperoleh dinding geser yang kuat, balok keliling dan balok pondasi sebaiknya diperkuat. Untuk mengurangi deformasi lentur pada dinding, balok
disekitar dinding harus dibuat kuat dan tegar agar daya tahannya lebih baik dan momen lentur dinding harus diusahakan mendekati momen lentur portal terbuka.
c. Bila dinding atas dan bawah tidak menerus atau berseling gaya yang ditahan oleh dinding harus disalurkan melalui lantai.
Dinding geser pada gambar 2.8 yang memikul gaya gempa menurut kiyosi muto, memgalami 4 jenis deformasi yaitu:
Dimana:
δS = deformasi akibat geser
δB = deformasi akibat lentur
δR = deformasi akibat rotasi pondasi
δV = deformasi akibat pondasi bergeser secara horizontal 2.6 Sistem Struktur Ganda (Dual System)
Pada struktur bangunan tinggi sering digunakan gabungan antara potal penahan momen dengan dinding geser yang disebut sebagai sistem ganda (dual system). Sistem ganda (dual system) digunankan terutama pada bangunan tinggi yang dibangun di daerah yang terkena pengaruh gempa bumi. Struktur sistem ganda (dual system) memiliki kemampuan yang tinggi dalam memikul gaya geser.
Berdasarkan SNI 03-1726-2012 sistem ganda terdiri dari : a. Rangka ruang yang memikul seluruh beban gravitasi;
b. Pemikul beban lateral berupa dinding geser atau rangka bresing dengan rangka pemikul momen. Rangka pemikul momen harus direncanakan secara terpisah mampu memikul sekurang-kurangnya 25% dari seluruh beban lateral;
c. Kedua sistem harus direncanakan untuk memikul secara bersama-sama seluruh beban lateral dengan memperhatikan interaksi/sistem ganda.
(Sumber : Naveed Anwar)
Penggabungan antara portal penahan momen dan dinding geser dapat memberikan hasil yang baik untuk memperoleh kekenyalan/daktilitas (ductility) dan kekakuan sistem struktur. Dalam gedung tinggi seringkali terjadi eksentrisitas yang berlebihan terutama untuk gedung tinggi yang bentuknya tidak beraturan. Hal ini terjadi karena tidak berimpitnya pusat massa dan pusat kekauan gedung, sehingga bisa menyebabkan rotasi pada gedung. Dengan adanya interaksi antara portal dan dinding geser, dinding geser akan berperilaku flexural/bending mode, sedangkan frame akan berdeformasi dalam shear mode, gaya geser dipikul oleh frame pada bagian atas dan dinding geser (shearwall) memikul gaya geser pada bagian bawah, sehingga eksentrisitas yang terjadi tidak terlalu besar.
2.7 Pemilihan Sistem Struktur
Sistem penahan gaya gempa lateral dan vertikal harus memenuhi syarat – syarat yang diatur dalam tabel 9 SNI 03-1729-2012 tentang aturan bangunan tahan gempa. Di dalam tabel terdapat batasan ketinggian yang digunakan suatu sistem struktur, koefisien modifikasi respons yang sesuai (R), faktor kuat lebih sistem (Ω), dan koefisien amplifikasi defleksi (Cd). Dalam memilih suatu sistem struktur bangunan yang akan digunakan, bisa menggunakan kaidah batasan ketinggian pada tabel 9.
Pemilihan sistem struktur juga bisa dilihat dari kategori desain seismik bangunan tersebut. Kategori desain seismik dipengaruhi oleh situs tanah dimana
bangunan tersebut berada. Semakin lunak suatu tanah maka persayatan teknis sistem struktur semakin tinggi pula.
Pada metode dual system sistem rangka akan menerima sedikitnya 25% dari gaya lateral yang bekerja dan shear wall akan menerima paling banyak 75% dari gaya lateral yang bekerja, untuk dapat memenuhi syarat sesuai SNI 1726-2012 maka gaya akan terbagi sesuai dengan kekakuan masing-masing elemen. Struktur harus di desain agar dapat menerima gaya yang yang direncanakan maka perbandingan kekakuan antara sistem rangka pemikul momen dan shear wall tidak boleh lebih kecil dari 1:3 agar perilaku struktur dapat sesuai dengan yang direncakan.
2.8 Pembebanan Struktur
Dalam perencanaan suatu struktur tidak akan pernah lepas dari pembebanan yang bekerja pada struktur itu sendiri. Adapun beban-beban tersebut berupa beban gravitasi yang terdiri dari beban mati dan beban hidup, serta beban lateral yang terdiri dari beban gempa dan beban angin. Berikut ini uraian dari masing-masing pembebanan tersebut.
2.8.1 Beban Mati
Beban mati adalah berat seluruh bahan konstruksi bangunan gedung yang terpasang, termasuk dinding, lantai, atap, plafon, tangga, dinding pastisi tetap, finishing, klading gedung dan komponen arsitektural dan struktural lainnya serta peralatan layan terpasang lain termasuk berat keran (SNI 03-1727:2013).
Berat material bangunan tergantung dari jenis bahan bangunan yang dipakai. Contoh berat sendiri bahan bangunan dan komponen gedung berdasarkan Peraturan Pembebanan Indonesia Untuk Gedung (PPIUG 1983) tabel 2.1 adalah :
a. Baja = 7850 kg/m3
b. Batu alam = 2600 kg/m3 c. Beton berulang = 2400 kg/m3 d. Pasangan bata merah = 1700 kg/m3
Beban mati tambahan adalah beban yang berasal dari finishing lantai (keramik, plester), beban dinding dan beban tambahan lainnya. Contoh berat jenis
dari bahan tambahan berdasarkan Peraturan Pembebanan Indonesia Untuk Gedung (PPIUG 1983) adalah :
a. Beban finishing (keramik) = 24 kg/m3 b. Spesi 2,5 cm (2,5 x 21 kg/m2) = 53 kg/m3 c. Beban plafond dan penggantung = 18 kg/m3
d. Beban dinding = 250 kg/m3
2.8.2 Beban Hidup
Beban hidup adalah beban yang diakibatkan oleh pengguna dan penghuni bangunan gedung atau struktur lain yang tidak termasuk beban konstruksi dan beban lingkungan, seperti beban angin, beban air hujan, beban gempa, beban banjir, atau beban mati (SNI 03-1727:2013).
Contoh beban hidup berdasarkan fungsi ruangan menurut tabel 3.1 Peraturan Pembebanan Indonesia Untuk Gedung (PPIUG 1983) :
a. Parkir = 400 kg/m2 b. Parkir lantai bawah = 800 kg/m2 c. Lantai kantor = 250 kg/m2 d. Lantai sekolah = 250 kg/m2 e. Lantai rumah sakit = 250 kg/m2 f. Ruang pertemuan = 400 kg/m2 g. Ruang dansa = 500 kg/m2 h. Tangga dan bordes = 300 kg/m2
Khusus pada atap ke dalam beban hidup dapat termasuk beban berasal dari air hujan, baik akibat genangan dan diambil beban orang minimum sebesar 100 kg/m.
2.8.3 Beban Lateral
Dalam merencanakan sebuah bangunan, tentunya harus memperhatikan analisa perhitungan beban lateral. Beban lateral atau yang biasa disebut dengan beban horizontal yang terjadi pada sebuah bangunan dapat disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu sebagai berikut.
A. Tekanan Tanah Lateral
Metode yang umum digunakan untuk menghitung tekanan tanah lateral dengan sederhana adalah Metode Coulomb dan Metode Rankine.
(1) Metode Coulomb
Charles Augustin Coulomb (1776) menggunakan teori keseimbangan batas, yang menganggap blok tanah gagal sebagai freebody untuk menentukan batasan tekanan tanah horizontal. Teori Coulomb sering digunakan oleh National Concrete Masonry Association, seperti pada Design Manual for Segmental Retaining Walls-2nd Edition.
(2) Metode Rankine
Teori Rankine (1857) merupakan solusi medan tegangan yang memprediksi tekanan aktif dan pasif. Dengan mengasumsikan bahwa kegagalan terjadi bila tegangan utama maksimum pada setiap titik mencapai nilai sama dengan tegangan tarik. Teori Rankine baik diterapkan untuk bahan rapuh, dan tidak berlaku untuk bahan daktil.
“State of stress” Rankine digunakan oleh AASHTO dan FHWA dan dijelaskan dalam AASHTO Standard Spesifications for Highway Bridges. B. Beban Gempa
Besarnya simpangan horisontal (drift) bergantung pada kemampuan struktur dalam menahan gaya gempa yang terjadi. Apabila struktur memiliki kekakuan yang besar untuk melawan gaya gempa maka struktur akan mengalami simpangan horisontal yang lebih kecil dibandingkan dengan struktur yang tidak memiliki kekakuan yang cukup besar.
C. Beban Angin
Beban angin pada struktur terjadi karena adanya gesekan udara dengan permukaan struktur dan perbedaan tekanan di bagian depan dan belakang struktur. Beban angin tidak memberi kontribusi yang besar terhadap struktur dibandingkan dengan beban yang lainnya.
D. Beban Terfaktor
Beban terfaktor adalah beban yang telah dikalikan dengan faktor beban yang sesuai. Beban terfaktor menurut SNI 1726:2012 diuraikan sebagai berikut:
Keterangan : D = beban mati L = beban hidup Lr = beban hidup atap
R = beban hujan W = beban angin E = beban gempa
2.9 Analisa Beban Gempa Rencana
Gempa rencana ditetapkan sebagai gempa dengan kemungkinan terlewati besarannya selama umur struktur bangunan 50 tahun adalah sebesar 2 persen.
2.9.1 Kategori Risiko Bangunan
Untuk berbagai kategori risiko struktur bangunan gedung dan non gedung untuk beban gempa sesuai dengan Tabel 2.1.
(a) 1,4D (b) 1,2D + 1,6L + 0,5(Lr atau R) (c) 1,2D + 1,6(Lr atau R) + (L atau 0,5W) (d) 1,2D + 1,0W + L + 0,5(Lr atau R) (e) 1,2D +1,0E + L (f) 0,9D + 1,0W (g) 0,9 + 1,0E
Tabel 2.1 Kategori Risiko Bangunan Gedung dan Non Gedung untuk Beban Gempa
Jenis Pemanfaatan Kategori
Risiko Gedung dan non gedung yang memiliki resiko rendah terhadap
jiwa manusia pada saat terjadi kegagalan, termasuk, tapi tidak dibatasi untuk, anatara lain :
- Fasilitas pertanian, perkebunan, peternakan, dan perikanan
- Fasilitas sementara - Gudang penyimpanan
- Rumah jaga dan struktur kecil lainnya
I
Semua gedung dan struktur lain, kecuali yang termasuk dalam kategori I, III, IV, termasuk, tapi tidak dibatasi untuk :
- Perumahan
- Rumah toko dan rumah kantor - Pasar
- Gedung perkantoran
- Gedung apartemen/rumah susun - Pusat perbelajaan/mall
- Bangunan industri - Fasilitas manufaktur - Pabrik
II
Gedung dan non gedung yang memiliki resiko tinggi terhadap jiwa manusia pada saat terjadi kegagalan, termasuk, tapi tidak dibatasi untuk :
- Bioskop
- Gedung pertemuan - Stadion
- Fasilitas kesehatan yang tidak memiliki unit bedah dan unit gawat darurat
- Fasilitas penitipan anak - Penjara
- Bangunan untuk orang jompo
Gedung dan non gedung, tidak termasuk kedalam kategori risiko IV, yang memiliki potensi untuk menyebabkan dampak ekonomi yang besar dan/atau gangguan massal terhadap kehidupan masyarakat sehari-hari bila terjadi kegagalan, termasuk, tapi tidak dibatasi untuk :
- Pusat pembangkit listrik biasa - Fasilitas penanganan air - Fasilitas penanganan limbah - Pusat telekomunikasi
Gedung dan non gedung yang tidak termasuk dalam kategori risiko IV, (termasuk, tetapi tidak dibatasi untuk fasilitas manufaktur, proses, penanganan, penyimpanan, penggunaan atau tempat pembuangan bahan bakar berbahaya, bahan kimia berbahaya, limbah berbahaya, atau bahan yang mudah meledak) yang mengandung bahan beracun atau peledak dimana jumlah kandungan bahannya melebihi nilai batas yang diisyaratkan oleh instansi yang berwenang dan cukup menimbulkan bahaya bagi masyarakat jika terjadi kebocoran. Gedung dan non gedung yang ditunjukkan sebagai fasilitas yang penting, termasuk, tetapi tidak dibatasi untuk :
- Bangunan-bangunan monumental - Gedung sekolah dan fasilitas pendidikan
- Rumah sakit dan fasilitas kesehatan lainnya yang memiliki fasilitas bedah dan unit gawat darurat
Fasilitas pemadam kebakaran, ambulans, dan kantor polisi, serta garasi keadaan darurat
Tempat perlindungan terhadap gempa bumi, angin badai, dan tempat perlindungan darurat lainnya
Fasilitas kesiapan darurat, komunikasi, pusat operasi, dan fasilitas lainnya untuk tanggap darurat
Pusat pembangkit energi dan fasilitas publik lainnya yang dibutuhkan pada saat keadaan darurat
Struktur tambahan (termasuk menara telekomunikasi, tangki penyimpanan bahan bakar, menara pendingin, struktur stasiun listrik, tangki air pemadam kebakaran atau struktur rumah atau struktur oendukung air atau material atau peralatan pemadam kebakaran) yang disyaratkan untuk beroperasi pada saat keadaan darurat
Gedung dan non gedung yang dibutuhkan untuk mempertahankan fungsi struktur bangunan lain yang masuk ke dalam kategori risiko IV
Sumber : (SNI 1726 : 2012)
2.9.2 Periode Getar Fundamental Struktur (T)
Karena besarnya beban gempa belum diketahui, maka waktu getar dari struktur belum dapat ditentukan secara pasti. Untuk perencanaan awal, waktu getar dari bangunan gedung pada arah X (TX) dan arah Y (Ty) dihitung dengan
menggunan rumus empiris berikut :
Tx = Ty = 0,06 . H0,75 (dalam detik) ... (2.1)
2.9.3 Faktor Keutamaan Struktur (Ie)
Menurut SNI Gempa 2012, pengaruh gempa rencana harus dikalikan dengan suatu faktor keutamaan (Ie). Dimana faktor keutamaan gedung sesuai dengan kategori resiko dapat dilihat pada Tabel 2.2.
Tabel 2.2 Faktor Keutamaan Gempa
Kategori Risiko Faktor keuatamaan gempa, Ie
I atau II 1.0
III 1.25
IV 1.50
Sumber : (SNI 1726 : 2012)
2.9.4 Parameter Percepatan Gempa Terpetakan
Parameter percepatan gempa yang digunakan adalah percepatan batuan dasar pada perioda pendek (Ss) pada 0.2 detik dan percepatan batuan dasar pada
perioda 1 detik (S1) dengan redaman 5% di batuan dasar (SB) untuk probabilitas
Penggunaan percepatan 0.2 detik dan 1 detik dikarenakan pada interval 0,2 detik sampai 1 detik mengandung energi gempa terbesar. Nilai kedua parameter ini didapat dari Gambar 2.10 dan Gambar 2.11
Sumber : (puskim.pu.go.id)
Sumber : (puskim.pu.go.id)
2.9.5 Klasifikasi Situs
Klasifikasi situs dapat ditetapkan dengan tiga parameter, yaitu : a. Kecepatan rata-rata gelombang geser.
b. Tahanan penetrasi standar lapangan rata-rata, atau tahanan penetrasi standar rata-rata untuk lapisan tanah non kohesif.
Gambar 2.10 Peta sumber dan bahaya gempa bumi Indonesia Tahun 2017 berdasarkan parameter Ss
c. Kuat geser niralir rata-rata.
Ketentuan mengenai penggunaan parameter di atas dijelaskan dalam SNI pasal 5.3 dan 5.4. Dari parameter-parameter ini dapat diketahui kalsifikasi situs sesuai dengan Tabel 2.3.
Tabel 2.3 Klasifikasi Situs
Kelas Situs vs (m/dtk) N atau Neh Su (kPa)
SA (batuankeras) >1500 N/A N/A
SB (batuan) 750 sd 1500 N/A N/A
SC (tanah keras,
sangat padat, dan 350 sd 750 >50 ≥100
batuan lunak)
SD (tanah sedang) 175 sd 350 15 sd 50 50 sd 100
<175 <15 <50
SE (tanah lunak) Atau setiap profil tanah yang mengandung lebih dari 3 m tanah dengan
2.9.6 Koefisien Situs
Koefisien situs Fa dan Fv didapat dari Tabel 2.4 dan Tabel 2.5. karakteristik sebagai berikut :
Indeks plastisitas, PI > 20 Kadar air, w ≥ 40 %
Kuat geser niralir, su < 25 kPa
Setiap profil lapisan tanah yang memiliki salah satu atau lebih dari karakteristik berikut :
Rawan dan berpotensi gagal atau runtuh akibat beban gempa seperti mudah likuifaksi, lempung sangat sensitif, tanah tersementasi lemah
Lempung sangat organik dan/atau gambut (ketebalan H > 3 m) Lempung berplastisitas sangat tinggi (H > 7.5 m dengan Indeks
Plastisitas PI > 75)
Lapisan lempung lunak/setengah teguh dengan ketebalan H > 35 m dengan su < 50 kPa
SF (tanah khusus yang membutuhkan investigasi geoteknik
spesifik dan analisis respons spesifik situs)
Tabel 2.4 Koefisien Situs Fa (SNI Tabel 4)
Kelas Situs
Parameter respon spectral percepatan gempa (MCER)
terpetakan pada periode pendek, T=0,2 detik, SS
SS ≤ 0.25 SS = 0.50 SS = 0.75 SS = 1.00 SS ≥ 1.25 SA 0,8 0,8 0,8 0,8 0,8 SB 1,0 1,0 1,0 1,0 1,0 SC 1,2 1,2 1,1 1,0 1,0 SD 1,6 1,4 1,2 1,1 1,0 SE 2,5 1,7 1,2 0,9 0,9 SF SSb Sumber : (SNI 1726 : 2012) Keterangan :
a. Untuk nilai-nilai antara Ss dapat dilakukan interpolasi linier
b. Ss = situs yang memerlukan investigasi geoteknik spesifik dan analisis respons situs spesifik
Tabel 2.5 Koefisien Situs Fv (SNI Tabel 5)
Kelas Situs
Parameter respon spektral percepatan gempa (MCER)
terpetakan pada periode 1 detik, S1
S1 ≤ 0.1 S1 = 0.2 S1 = 0.3 S1 = 0.4 S1 ≥ 0.5 SA 0,8 0,8 0,8 0,8 0,8 SB 1,0 1,0 1,0 1,0 1,0 SC 1,7 1,6 1,5 1,4 1,3 SD 2,4 2 1,8 1,6 1,5 SE 3,5 3,2 2,8 2,4 2,4 SF SSb Sumber : (SNI 1726 : 2012) Keterangan :
a. Untuk nilai-nilai antara S1 dapat dilakukan interpolasi linier
b. Ss = situs yang memerlukan investigasi geoteknik spesifik dan analisis
respons situs spesifik
2.9.7 Respon Spektral Percepatan Gempa
Menurut SNI 03-1726-2012 pasal 6.2: Untuk penentuan respons spektra percepatan gempa MCER di permukaan tanah diperlukan suatu faktor amplifikasi
pasal 6.2, faktor amplifikasi meliputi faktor amplifikasi getaran terkait percepatan pada getaran periode pendek (Fa) dan faktor amplifikasi terkait percepatan yang mewakili getaran periode 1 detik (Fv). Parameter spektrum respons percepatan pada periode pendek (SMS) dan periode 1 detik (SM1) yang disesuaikan dengan
pengaruh klasifikasi situs harus ditentukan dengan perumusan sebagai berikut ini:
S
MS = Fa.SS ... (2.2)SML
= F
v.S
I ... (2.3)Keterangan :
SS = Parameter respons spektral percepatan gempa MCER terpetakan
untuk perioda pendek.
SI = Parameter respons spektral percepatan gempa MCER terpetakan
untuk perioda 1 detik.
2.9.8 Spektrum Respon Desain
Menurut SNI 03-1726-2012 pasal 6.4: Bila spektrum respon desain diperlukan oleh tata cara ini dan prosedur gerak tanah dari spesifik situs tidak digunakan, maka kurva spektrum respon desain harus dikembangkan dengan mengikuti ketentuan berikut ini:
1. Untuk periode yang lebih kecil dari T0, spektrum respons percepatan desain,
Sa harus diambil dari persamaan : Sa = SDS (0,4 + 0,6
𝑇
𝑇𝑜) ... (2.4)
2. Untuk periode yang lebih besar dari atau sama dengan T0 dan lebih kecil
atau sama dengan Ts, spektrum respons desain, Sa, sama dengan SDS.
3. Untuk periode lebih besar dari Ts, spektrum respons percepatan desain, Sa,
diambil berdasarkan persamaan:
S
a=
SD1
T ... (2.5) Keterangan:
SDS = parameter respon spektral percepatan desain pada periode pendek
T = periode getar fundamental struktur To = 0,2 SD1
SDS Ts = SD1
SDS
Sumber : (Konsep SNI Gempa 1726 : 201X, Seminar HAKI 2011)
Keterangan:
SDS = parameter percepatan spektrum respon desain dalam rentang periode
pendek
Sa = parameter percepatan spektrum respon desain pada periode sebesar 1 detik dibagi dengan periode fundamental struktur (T)
Ts = periode getar fundamental struktur dimana (SD1 SDS) T0 = periode getar fundamental struktur dimana (0,2
SD1
SDS)
SD1 = parameter percepatan spektrum respon desain pada periode sebesar 1 detik Gambar 2.12 Spektrum Respon Desain
2.9.9 Kategori Desain Seismik
Struktur dengan kategori resiko I, II, III yang berlokasi di mana parameter respon spektral percepatan terpetakan pada periode 1 detik S1)
lebih besar dari atau sama dengan 0,75 harus ditetapkan sebagai struktur dengan kategori desain seismik E. Struktur dengan kategori IV yang berlokasi dimana parameter respon spektral percepatan terpetakan pada periode 1 detik S1) lebih besar atau sama dengan 0,75 harus ditetapkan sebagai struktur dengan
kategori desain seismik F. Semua struktur lainnya harus ditetapkan kategori desain seismiknya berdasarkan kategori resiko dan parameter respon spektral percepatan desainnya, SDS dan SD1.
Tabel 2.6 Kategori Desain Seismik Berdasarkan Parameter Respons Percepatan
pada Periode Pendek
Sumber : (SNI 1726 : 2012)
Tabel 2.7 Kategori Desain Seismik Berdasarkan Parameter Respons Percepatan
Pada Periode Pendek
Sumber : (SNI 1726 : 2012)
2.9.10 Beban Geser Dasar Nominal Akibat Gempa
Beban geser dasar nominal horizontal akibat gempa yang bekerja pada struktur bangunan gedung, dapat ditentukan dengan rumus :
V = Cs.W ... (2.6) Cs = SDS
(IeR) ... (2.7) Nilai SDS
Kategori Resiko
I atau II atau III IV
SDS < 0,167 A A 0,167 ≤ SDS < 0,33 B C 0,33 ≤ SDS < 0,50 C D 0,50 ≤ SDS D D Nilai SD1 Kategori Resiko
I atau II atau III IV
SD1 < 0,167 A A
0,067 ≤ SD1 < 0,133 B C
0,133 ≤ SD1 < 0,20 C D
Beban geser dasar nominal (V) harus didistribusikan di sepanjang tinggi struktur bangunan gedung menjadi beban-beban gempa static ekuivalen yang bekerja pada pusat massa lantai-lantai tingkat. Besarnya beban static ekuivalen Fi pada lantai tingkat ke-I dari bangunan menurut SNI 03-1726-2012 pasal 7.8.3 dihitung dengan rumus :
Fx = Cvx V ... (2.8) Cvx
=
Wxhxk∑ni=1Wihik ... (2.9)
Keterangan:
Fx = gaya lateral rencana yang diaplikasikan pada lantai x Cvx = faktor distribusi vertical
V = gaya lateral desain total atau geser di dasar struktur, dinyatakan dalam kilonewton (kN)
wi dan wx = bagian berat seismic efektif total struktur (W) yang ditempatkan
atau dikenakan pada tingkat i atau x
hi dan hx = tinggi dari dasar sampai tingkat i atau x, dinyatakan dalam meter
(m)
k = eksponen yang etrkait dengan periode struktur sebagai berikut: a. untuk struktur yang mempunyai periode sebesar 0,5 detik atau
kurang, k = 1
b. untuk struktur yang mempunyai periode sebesar 0,5 detik atau lebih, k = 2
c. untuk struktur yang mempunyai periode antara 0,5 dan 2,5 detik, k harus sebesar 2 atau harus ditentukan dengan interpolasi linier antara 1 dan 2
2.9.11 Periode Fundamental Pendekatan
Periode fundamental struktur T, dalam arah yang ditinjau harus diperoleh menggunakan property sruktur dan karakteristik deformasi elemen penahan dalam
analisis yang teruji. Periode fundamental struktur T, tidak boleh melebihi hasil koefisien untuk batasan atas pada periode yang dihitung (Cu) dan periode fundamental pendekatan Ta. Sebagai alternatif pada pelaksanaan analisis untuk menentukan periode fundamental struktur T, diijinkan secara langsung menggunakan periode bangunan pendekatan Ta. Periode fundamental pendekatan (Ta) dalam detik harus ditentukan dari persamaan berikut :
Ta = Ct hnx ... (2.10) hn adalah ketinggian struktur dalam (m), di atas dasar sampai tingkat tertinggi struktur dan koefisien Ct dan x ditentukan dari table 2.9.
Tabel 2.8 Koefisien untuk Batas Atas pada Periode yang Dihitung
Parameter Percepatan Respons Spektral Desain Pada
1 Detik, SD1 Koefisien Cu ≥ 0.40 1.40 0.30 1.40 0.20 1.50 0.15 1.60 ≤ 0.10 1.70 Sumber : (SNI 1726 : 2012)
Tabel 2.9 Nilai Parameter Perioda Pendekatan Ct dan x
Tipe Struktur Ct x
Sistem rangka pemikul momen dimana rangka memikul 100 persen gaya gempa yang disyaratkan dan tidak dilingkupi atau di hubungkan dengan komponen yang lebuh kaku dan akan mencegah rangka dari defleksi jika dikenai gaya gempa
Rangka baja pemikul momen 0,0724 0,8
Rangka beton pemikul momen 0,0466 0,9
Rangka baja dengan bresing eksentris 0,0731 0,75
Rangka baja dengan bresing terkekang terhadap tekuk 0,0731 0,75
Semua sistem struktur lainnya 0,0488 0,75
Untuk struktur dengan ketinggian tidak melebihi 12 tingkat dimana sistem penahan gaya seismik terdiri dari rangka penahan momen beton atau baja secara keseluruhan dan tinggi tingkat paling sedikit 3 m, maka :
Ta = 0.10 N ... (2.11)
Dimana :
N = jumlah tingkat
Perioda fundamental pendekatan, Ta, dalam detik untuk struktur dinding geser batu bata atau beton diijinkan untuk ditentukan dari persamaan berikut : Cw
=
Wxh𝐴 xk 𝐵 ∑ ( ℎ𝑛 ℎ𝑖) 2 x i=1 𝐴𝑖 [1+0,83(𝐷𝑖ℎ𝑖) 2 ] ... (2.12) Dimana :AB = luas dasar struktur, dinyatakan dalam meter persegi (m2)
Ai = luas badan dinding geser, dinyatakan dalam meter persegi (m2) Di = panjang dinding geser “i”, dinyatakan dalam meter (m)
hi = tinggi dinding geser “i”, dinyatakan dalam meter (m)
= jumlah dinding geser dalam bangunan yang efektif dalam menahan gaya lateral dalam arah yang ditinjau.
Jika T yang lebih akurat tidak dimiliki (T hasil dari analisis komputer), maka menggunakan T = Ta. Namun, jika T yang lebih akurat dari analisis komputer dimiliki, maka :
1. Jika Tc > Cu Ta, maka menggunakan T = Cu Ta 2. Jika Ta < Tc < Ta Cu, maka menggunakan T = Tc 3. Jika Tc < Ta, maka menggunakan T = Ta
2.9.12 Nilai R, Cd, dan Ωo
Nilai R, Cd, dan Ωo harus dikenakan pada setiap sistem, termasuk batasan
sistem struktur yang termuat dalam tabel 2.10. Berikut ini adalah nilai R, Cd, dan
2.10 Struktur Balok
Balok adalah komponen struktur yang bertugas meneruskan beban yang disangga sendiri maupun dari plat kepada kolom penyangga. Balok menahan gaya-gaya yang bekerja dalam arah transversal terhadap sumbunya yang mengakibatkan terjadinya lenturan (Dipohusodo,1994).
Menurut Nawy (1990), berdasarkan jenis keruntuhannya, keruntuhan yang terjadi pada balok dapat dikelompokkan menjadi 3 kelompok, yaitu :
a. Penampang Balanced
Tulangan tarik mulai leleh tepat pada saat beton mencapai regangan ultimatnya dan akan hancur karena tekan. Pada saat awal terjadinya keruntuhan, regangan tekan yang diijinkan padaa saat serat tepi yang tertekan adalah 0,003 sedangkan regangan baja sama dengan regangan lelehnya yaitu εy = fy/Es. b. Penampang Over-Reinforced
Keruntuhan ini ditandai dengan hancurnya beton yang tertekan. Pada awal keruntuhan, regangan baja εs yang terjadi masih lebih kecil daripada regangan lelehnya εy. Dengan demikian tegangan baja fy juga lebih kecil daripada tegangan lelehnya fy. Kondisi ini terjadi apabila tulangan yang digunakan lebih banyak daripada yang diperlukan dalam keadaan balanced.
c. Penampang Under-Reinforced
Keruntuhan ini ditandai dengan terjadinya leleh pada tulangan baja meskipun tegangan pada beton tekan masih belum mencapai tegangan ultimatnya. Kondisi penampang yang demikian dapat terjadi apabila tulangan tarik yang dipakai pada balok kurang dari yang diperlukan dalam keadaan balanced.
2.10.1 Balok T Tulangan Rangkap
Perencanaan balok T tulangan rangkap adalah proses menentukan dimensi tebal dan lebar flens. Lebar dan tinggi efektif balok, dan luas tulangan baja tarik. Balok T juga didefinisikan sebagai balok yang menyatu dengan plat, dimana plat tersebut mengalami tekanan.
Dengan nilai MD b, ML b, ME b, (Statika / hasil STAAD Pro V8i), dimana
= 1,4MD b
= 1,2MD b + 1,6ML b
= 1,2MD b + 1,0ML b ± 1,0ME b
= 0,9MD b ± 1,0ME b
Dari keempat kombinasi di atas maka diambil nilai Mu yang paling besar. Balok persegi memiliki tulangan rangkap apabila momen yang harus ditahan cukup besar dan As perlu ˃ As Maks.
Untuk tulangan maksimum ada persyaratan bahwa balok atau komponen struktur lain yang menerima beban lentur murni harus bertulang lemah (under reinforced) SNI 2847-2013 memberikan batasan tulangan tarik maksimum sebesar 75% dari yang diperlukan pada keadaan regang seimbang. As maks = 0,75 ρb.
As maks = 0,75 (0,85.𝑓𝑐.𝛽1
𝑓𝑦 𝑥
600
600+𝑓𝑦) ... (2.13)
Untuk tulangan minimum agar menghindari terjadinya kahancuran getas pada balok, maka SNI 2847-2013 pada halaman 76 juga mengatur jumlah minimum tulangan yang harus terpasang pada balok, yaitu :
As min = 0,25√𝑓𝑐′
4.𝑓𝑦 . 𝑏𝑤. 𝑑 dan tidak lebih kecil dari As min = 1,4
𝑓𝑦. 𝑏𝑤. 𝑑
Langkah-langkah perencanaan balok T tulangan rangkap
Dapatkan nilai MD b, ML b, ME b, (Statika / hasil STAAD Pro V8i), dimana
kombinasi untuk Mu balok : = 1,4MD b
= 1,2MD b + 1,6ML b
= 1,2MD b + 1,0ML b ± 1,0ME b
= 0,9MD b ± 1,0ME b
1. Tentukan tulangan tarik dan tekan
2. Hitung nilai d’ = tebal selimut beton + diameter sengkang + ½ x diameter tulangan tarik. Setelah itu hitung d = h – d’.
Gambar 2.13 Gambar diagram tegangan balok T
Menurut SNI 2847-2013 pasal 8.12.2, lebar plat efektif yang diperhitungkan bekerja sama dengan rangka menahan momen lentur ditentukan sebagai berikut :
1. Jika balok mempunyai plat dua sisi. Lebar efektif diambil nilai terkecil dari : (1) beff ˂ ¼ dari bentang balok (panjang balok) (2) ˂ bw + 8hfkiri + 8hfkanan
(3) ˂ bw + ½ jarak bersih ke badan di sebalahnya. 2. Jika balok hanya mempunyai plat satu sisi.
Lebar efektif diambil nilai terkecil dari :
(1) beff ˂ 1/12 dari bentang balok (panjang balok) L
(2) beff ˂ bw + (6 x hfkir) + (6 x hfkanan)
(3) beff ˂ bw + ½ jarak bersih ke badan di sebalahnya.
3. Mencari letak garis netral jika sumbu netral diasumsikan terletak didalam flens, nilai a dapat dihitung seperti pada balok persegi:
Analisa balok bertulang rangkap dimana tulangan tekan sudah leleh. Misalkan tulangan tarik dan tulangan leleh.
Cc = 0,85 . f’c . ab Cs = As’ . fs’ = As’ . fy Ts = As . fy
∑H = 0 → Cc + Cs = Ts
0,85 . f’c . a . b + As’ . fy = As . fy
0,85 . f’c . a . b = As . fy – As’ . fy = fy (As – As’) Sehingga, nilai a = 𝑓𝑦 (𝐴𝑠−𝐴𝑠
′)
Dengan nilai tersebut kita kontrol tegangan yang terjadi apakah tulangan tekan leleh apa belum. Jika leleh, perhitungan dapat dilanjutkan dan jika belum leleh nilai a kita hitung kembali dengan persamaan lain.
Tinggi garis netral c = 𝑎
𝛽1 =
𝑓𝑦 (𝐴𝑠−𝐴𝑠′) 𝛽1 .0,85 .𝑓′𝑐.𝑏
Dari diagram regangan 𝜀
′𝑠 𝜀′𝑐 = (𝑐−𝑑′) 𝑐 → 𝜀 ′𝑠 = (𝑐−𝑑′) 𝑐 𝜀 ′𝑐
Jika ɛs’ ˂ εy = fy/εs → berarti tulangan tekan belum leleh maka perhitungan diulang.
Jika ɛs’ ˃ εy = fy/εs → berarti tulangan tekan belum leleh maka perhitungan dilanjutkan.
Mn = Cc . z1 + Cs . z2 dimana : z1 = 𝑑 − 𝑎
2 dan z2 = z – z’
Analisis balok bertulang rangkap dimana tulangan tekan belum leleh. Ini terjadi jika nilai ɛs’ ˃ εy = fy/εs
Untuk itu dicari nilai a dengan persamaan-persamaan sebagai berikut : ∑H = 0, maka Cc + Cs = Ts 0,85 . f’c . a . b + As’ . fy = As . fy fs’ = ɛs’ . ɛs, dimana : 𝜀′𝑠 = (𝑐−𝑑′) 𝑐 𝜀 ′𝑐 𝑓𝑠′= (𝑐−𝑑′) 𝑐 𝜀 ′𝑐 . 𝜀𝑠 =(𝑐−𝑑′) 𝑐 . 0,003 . 200000 𝑓𝑠′= (𝑐 − 𝑑 ′) 𝑐 . 600 Maka 0,85 . f’c . a . b + As’ . 600 = As . fy (0,85 . f’c . a . b) . x + As’ . (c – d’) . 600 = As . fy . c Dengan substitusi nilai a = β1 . c
(0,85 . f’c . β1 . c . b) . c + As’ . (c – d’) . 600 = As . fy . c (0,85 . f’c . β1 . b) . c2 + As’ . (c – d’) . 600 = As . fy . c
(0,85 . f’c . β1 . b) c2 + 600.As’.c – As . fy . c – 600 . As’.d = 0
(0,85 . f’c . β1 . b) c2 + (600.As’ – As . fy) . c – 600 . As’.d = 0
Dengan rumus ABC nilai x dapat dihitung :
𝑐1.2−𝑏 ± √𝑏
2− 4𝑎𝑐
Selanjutnya dapat dihitung dengan nilai-nilai : 𝑓𝑠′= (𝑐 − 𝑑 ′) 𝑐 . 600 Cc = 0,85 . f’c . a . b dimana a = β1 . x Cs = As’ . fs’ z1 = 𝑑 − 𝑎 2 dan z2 = d – d’ Mn = Cc . z1 + Cs . z2
2.10.2 Perencanaan Balok Terhadap Geser
Komponen struktur yang mengalami lentur akan mengalami juga kehancuran geser, selain kehancuran tarik/tekan. Sehingga dalam perencanaan struktur yang mengalami lentur selain direncanakan tulangan lentur, juga harus direncanakan tulangan geser.
Kuat geser pada struktur yang mengalami lentur SNI 2847-2013 adalah : ϕVu ≥ Vn
Vn = Vc + Vs Dimana :
Vu = gaya geser terfaktor pada penampang yang ditinjau.
Vc = kuat geser nominal yang disediakan oleh beton pada penampang yang ditinjau.
Vs = kuat geser nominal yang disediakan oleh tulangan geser pada penampang yang ditinjau.
Vn = kuat geser nominal pada penampang yang ditinjau.
Gaya geser terfaktor (Vu) ditinjau pada penampang sejarak (d) dari muka tumpuan dan untuk penampang yang jaraknya kurang dari d dapat direncanakan sama dengan pada penampang yang sejarak d.
Kuat geser yang disumbangkan oleh beton sesuai dengan SNI SNI 2847-2013 pasal 11.2.1.1 adalah :
Vc = 0,17 𝜆√𝑓′𝑐 . bw . d Dimana :
bw = lebar badan balok
d = jarak dari serat terluar ke titik berat tulangan tarik longitudinal Ada 2 keadaan :
Bila Vu ˃ ½ ϕVc, maka harus dipasang tulangan geser minimum dengan luas tulangan :
𝐴𝑣 =0,35 𝑏𝑤. 𝑠 𝑓𝑦
Dan bila Vu ˃ ϕVc, maka harus dipasang tulangan geser, sedangkan besar gaya geser yang disumbangkan oleh tulangan adalah :
𝑉𝑠 =𝐴𝑣. 𝑓𝑦. 𝑑 𝑠 Dimana :
Av = luas tulangan geser dalam daerah sejarak s. Av = 2 . ¼ π d2
s = spasi tulangan geser dalam arah paralel dengan tulangan longitudinal.
Sedangkan untuk spasi sengkang adalah : s ≤ ½ d
s ≤ 600 mm
Sedangkan bila Vs ˃ 0,33√𝑓′𝑐 bw . d, maka spasi tulangan adalah : s ≤ ¼ d
s ≤ 300 mm
Dalam hal ini Vs tidak boleh lebih besar dari 0,66√𝑓′𝑐 bw . d
2.11 Struktur Kolom
Definisi kolom menurut SNI 03-2847-2013 pasal 2.2 adalah Komponen struktur dengan rasio tinggi terhadap dimensi lateral terkecil melampaui 3 yang digunakan terutama untuk menumpu beban tekan aksial. Untuk komponen struktur dengan perubahan dimensi lateral, dimensi lateral terkecil adalah rata-rata dimensi atas dan bawah sisi yang lebih kecil.
Kegagalan kolom akan berakibat langsung pada runtuhnya komponen struktur lain yang berhubungan dengan kolom. Umumnya, kegagalan atau keruntuhan komponen desak bersifat mendadak, tanpa diawali dengan tanda peringatan yang jelas. Oleh karena itu, merencanakan struktur kolom harus diperhitungkan secara cermat cadangan kekuatan yang lebih tinggi dari pada komponen struktur lainnya.
Berikut ketentuan-ketentuan yang harus diperhatikan dalam merencanakan kolom menurut SNI 03-2847-2013 pasal 8.10 :
a. Kolom harus dirancang utuk menahan gaya aksial dari beban terfaktor pada semua lantai atau atap dan momen maksimum dari beban terfaktor pada suatu lantai atau atap bersebelahan yang ditinjau. Kondisi pembebanan yang memberikan rasio momen maksimum terhada beba aksial juga harus ditinjau.
b. Pada rangka atau konstruksi menerus, pertimbangan harus diberikan pada pengaruh beban lantai atau atap tak seimbang pada baik kolom eksterior dan interior dan dari pembebanan eksentris akibat penyebab lainya.
c. Dalam menghitung momen akibat beban gravitasi pada kolom, diizinkan untuk mengasumsikan ujung jauh kolom yang dibangun menyatu dengan struktur terjepit.
d. Momen-momen pada setiap level lantai atau atap harus disediakan dengan mendistribusikan momen diantara kolom-kolom langsung diatas dan di bawah lantai ditetapkan dalam proporsi terhadap kekakuan kolom relatif dan kondisi kekangan pada ujung kolom.
2.12 Perencanaan Penulangan Kolom Portal Terhadap Lentur dan Aksial
Kolom-kolom di dalam sebuah konstruksi meneruskan beban dari balok dan plat-plat ke bawah sampai ke pondasi, dan kolom-kolom merupakan bagian konstruksi tekan, meskipun mereka mungkin harus pula menahan gaya-gaya lentur akibat kontinuitas konstruksi.
a. Momen Ultimit (Mu)
Dari perhitungan statika momen
b. Beban aksial terfaktor, normal terhadap penampang (Pu) Dari perhitungan statika gaya normal.
Luas tulangan longitudinal komponen struktur tekan non komposit tidak boleh kurang dari 0,01 ataupun dari 0,08 kali luas bruto penampang Ag (1% - 8% Ag). Penulangan yang lazim digunakan antara 1,5% - 3%.
Kuat beban aksial maksimum dihitung dengan rumus sebagai berukut : ϕ Pn =0,85 ϕ {0,85 f’c(Ag – Ast) + fy . Ast} → pengikat spiral.
(Rachmat Purwono, Perencanaan Struktur Beton Bertulang Tahan Gempa, halaman 91).
Ketengan gambar :
X0 = ½ bentang atau jarak dari perletakan ke suatu titik dimana Vu = 0 X1 = daerah yang harus dipasang tulangan geser
X2 = daerah yang harus dipasang tulangan geser yang diperlukan X3 = daerah untuk tulangan geser miring
Ada beberapa kondisi dalam menghitung tulangan geser :
1. Bila Vu ˂ ½ ϕVc maka pada kondisi ini tidak diperlukan tulangan geser. 2. Bila ϕVc ˃ Vu ˃ ½ ϕVc maka pada kondisi ini dipasang tulangan geser
minimum.
3. Bila ϕVc ˃ Vu ˃ ϕ (5/6 √𝑓′𝑐 . bw . d) maka diperlukan tulangan geser. 4. Bila ϕVu ˃ ϕ (5/6 √𝑓′𝑐 . bw . d) maka dimensi diperbesar.
5. Dimana : (Vc + Vs maks) = (1/6 + 2/3) √𝑓′𝑐 . bw . d = 5/6 √𝑓′𝑐 . bw . d. Gambar 2.14 Diagram Gaya Geser dan Daerah Penempatan Tulangan Geser
2.13 Perencanaan Komponen Lentur Pada Sistem Rangka Pemikul Momen Khusus (SRPMK)
Kuat lentur pada komponen lentur adalah Mu harus ditentukan dengan kombinasi sebagai berikut :
Mu = 1,4 MD
Mu = 1,2 MD + 1,6 ML
Mu = 1,2 MD + 1,0 ML ± 1,0 ME
Mub = 0,9 MDb ± MEb
Dimana :
MD = Momen lentur komponen portal akibat beban mati tak terfaktor
MLb = Momen lentur komponen portal akibat beban hidup tak terfaktor
MEb = Momen lentur komponen portal akibat beban gempa tak terfaktor
Selain penentuan kuat lentur, tiap komponen-komponen struktur yang menerima beban lentur dalam SRPMK sesuai dengan SNI 2847-2013 pasal 21.6.1.1 sampai dengan 21.6.1.2 harus memenuhi kondisi berikut :
1. Gaya tekan aksial terfaktor Pu ≤ Ag . f’c / 10 2. bw/h ≥ 0,4
3. bw ≥ 300 mm dimana :
Ag = luas bruto penampang (mm2) d = tinggi efektif penampang (mm) bw = lebar badan (mm)
h = tinggi total komponen struktur (mm)
Persyaratan penulangan untuk komponen lentur pada SRPMK menurut SNI 2847-2013 pasal 21.5.2.1 dan Pasal 21.5.2.2 adalah sebagai berikut :
a. Tulangan minimal baik atas maupun bawah harus sedikitnya :
0,25√𝑓′𝑐
𝑓𝑦 𝑏𝑤. 𝑑 dan
1,4 𝑏𝑤.𝑑
𝑓𝑦
b. Rasio tulangan ρ ≤ 0,025
c. Kekuatan momen positif pada muka joint ≥ ½ kuat momen negatif yang disediakan pada muka joint tersebut.
d. Paling sedikit dua batang tulangan harus disediakan menerus pada kedua sisi atas dan bawah.
e. Baik kekuatan momen negatif atau positif pada sebarang penampang sepanjang panjang komponen struktur tidak boleh kurang dari ¼ kekuatan momen maksimum yang disediakan pada muka salah satu joint tersebut.
Sementara untuk sambungan lewatan (SL) harus diletakkan di luar daerah sendi plastis. Bila dipakai SL, maka sambungan itu harus didesain sebagai SL tarik dan harus dikekang sebaik-baiknya. Menurut SNI 2847-2013 persyaratannya adalah :
a. SL diizinkan hanya jika tulangan sengkang atau spiral disediakan sepanjang panjang sambungan.
b. Spasi tulangan transversal yang melingkupi batang tulangan yang disambung lewatkan tidak boleh melebihi d/4 dan 100 mm.
c. SL tidak boleh digunakan dalam Joint, dalam jarak 2d dari muka joint, di lokasi kemungkinan terjadi sendi plastis dan di daerah momen maksimum.
SL, bila diperlukan, harus dikekang dan di luar sendi plastis
Sengkang s ≤ d/4 atau 100 Sendi plastis 2d M M M +nka ≥ ½ M –nka 0,025bwd ≥ (𝐴𝑠− 𝑎𝑡𝑎𝑢 𝐴𝑠+) ≥ ቐ 𝑏𝑤𝑑 4𝑓𝑦√𝑓𝑐 1,4𝑏𝑤𝑑 𝑓𝑦 ቑ M –nki ≥ ½ M +nki
Gambar 2.15 Persyaratan Penulangan Komponen Lentur Pada SRPMK
Pengekangan yang cukup disyaratkan harus ada di ujung-ujung komponen kentur yang kemungkinan besar akan terjadi sendi plastis untuk menjamin kemampuan daktilitas struktur tersebut, bila terkena beban bolak-balik. Persyaratan tulangan pengekang disyaratkan di SNI 2847-2013 :
a. Hoops diperlukan sepanjang 2d dari muka kolom pada dua ujung komponen lentur, dengan meletakan hoops pertama sejarak 50 mm dari muka kolom. b. Hoops juga diperlukan sepanjang 2 x d di dua sisi potongan yang momen
leleh mungkin timbul berkenaan dengan lateral displacement inelastic dari rangka.
c. Hoops disyaratkan s harus tidak melebihi d/4, 6 x tulangan memanjang terkecil, dan 150 mm, spasi batang tulangan lentur tidak melebihi 350 mm. d. Dimana hoops tidak disyaratkan, begel dengan hoops gempa di dua ujung
harus dipasang dengan s ≤ d/2 sepanjang komponen.
e. Tulangan transversal harus pula dipasang untuk menahan gaya geser (Ve).
h
2h
= 50 mm
s = d/2
sengkang dengan kait gempa hoops
s = 6.Ø tul. memanjang 150 mm
d/4
2.13.1 Persyaratan Kuat Geser Pada Sistem Rangka Pemikul Momen Khusus (SRPMK)
Tulangan geser pada Sistem Rangka Pemikul Momen Khusus (SRPMK) harus didesain sedemikian rupa sehingga tidak terjadi kegagalan getas oleh geser mendahului kegagalan oleh lentur. Kebutuhan tulangan geser harus dibandingkan dengan kebutuhan tulangan pengekangan untuk dipakai yang lebih banyak agar memenuhi kebutuhan keduanya.
Pada komponen struktur yang menerima beban lentur harus didesain dengan gaya geser dengan memakai momen maksimum yang mungkin terjadi (Mpr). Mpr merupakan momen kapasitas balok dengan tegangan tulang sebesar fs = 1,25 fy dan ϕ = 1, ditambah dengan beban gravitasi di balok.
Bila gaya geser akibat saja ≥ 0,5 maksimum kuat geser rencana, dan gaya aksial tekan terfaktor termasuk efek gempa kurang dari Ag f’c/20 maka kontribusi kuat geser beton Vc boleh diambil sama dengan nol.
Untuk komponen struktur yang kena beban aksial dan lentur pada SRPMK, gaya geser rencana Ve harus ditentukan dari gaya-gaya maksimum yang dapat terjadi di muka HBK di tiap ujung komponen kolom oleh Mpr maksimum terkait dengan beban-beban aksial terfaktor yang bekerja pada komponen struktur yang bersangkutan Ve yang didapat tak perlu lebih besar dari gaya melintang HBK
yang diperoleh dari Mpr komponen transversal dan tak boleh lebih kecil dari hasil analisa struktur.
2.13.2 Perencanaan Komponen Terkena Beban Lentur dan Aksial Pada Struktur Rangka Pemikul Momen Khusus (SRPMK)
Berdasarkan prinsip “Capacity Design” dimana kolom harus diberi cukup kekuatan, sehingga kolom-kolom tidak leleh lebih dahulu sebelum balok. Goyangan leteral memungkinkan terjadinya sendi plastis di ujung-ujung kolom akan menyebabkan kerusakan berat, karena itu harus dihindarkan. Oleh sebab itu kolom-kolom selalu didesain 20% lebih kuat dari balok-balok di suatu Hubungan Balok Kolom (HBK).
Komponen rangka yang termasuk dalam klasifikasi komponen struktur yang terkena beban lentur dan aksial dalam SRPMK harus memenuhi persyaratan sebagai berikut :
a. Beban aksial tekan terfaktor ≤ Ag . f’c/10. b. Dimensi terkecil penampang ≥ 300 mm.
c. Ratio dimensi terkecil oenampang terhadap dimensi tegak lurusnya ≥ 0,4. Kuat lentur komponen strukturnya dapat ditentukan dengan menggunakan rumus: ∑𝑀𝑛𝑐 ≥ (1,2) ∑ 𝑀𝑛𝑏 ... (2.14)
Dimana :
∑Mnc = jumlah momen di muka HBK sesuai dengan desain kuat lentur. ∑Mnb = jumlah momen di muka HBK sesuai dengan desain kuat lentur
nominal balok-balok.
Keterangan : ka, ki, t dan b adalah kanan, kiri, top, dan bawah
d. Ratio tulangan (ρg) tidak boleh kurang dari 0,01 dan tidak boleh lebih dari
0,06
e. SL hanya diijinkan di sekitar tengah panjang komponen, harus sebagai sambungan tarik, yang harus dikenai tulangan transversal sepanjang penyalurannya.
Persyaratan Tulangan Transversal (TT) di SNI 2847-2013 adalah sebagai berikut :
a. Ratio Volumerik tulangan spiral atau sengkang cincin tidak boleh kurang dari 𝜌𝑠 = 0,12 𝑓′𝑐/𝑓𝑦ℎ.
b. Total luas penampang tulangan hoops persegi panjang untuk pengekangan harus tidak boleh kurang dari nilai dua persamaan ini :
Sambungan Lewatan Tarik
𝐴𝑠ℎ = 0,3 𝑠𝑏𝑐 𝑓′𝑐 𝑓𝑦𝑡 [(𝐴𝑔 𝐴𝑐ℎ ) − 1] 𝐴𝑠ℎ = 0,09 𝑠𝑏𝑐 𝑓′𝑐 𝑓𝑦𝑡
c. Tulangan transversal harus berupa sengkang tunggal atau tumpuk.
d. Perlu dipasang sepanjang lo dari muka HBK dikena ujung kolom dimana lentur leleh kemungkinan dapat terjadi lo harus tak boleh lebih kecil dari : - Tinggi penampang komponen struktur pada HBK.
- 1/6 panjang bentah bersih. - 450 mm
e. Spasi tulangan transversal sepanjang panjang lo tidak boleh melebihi ¼ dimensi komponen struktur minimum, 6 x Ø tulangan longitudinal, 100 mm ≤ so ≤ 150 mm.
f. Spasi pengikat sengkang atau kaki-kaki sengkang persegi, hx dalam penampang komponen struktur tidak boleh melebihi 350 mm pusat ke pusat.
g. Tulangan vertikal tidak boleh berjarak bersih lebih dari 150 mm dari tulangan yang didukung secara lateral. Bila TT untuk pengekangan tidak lagi disyaratkan maka sisa panjang kolom harus terpasang tulangan hoops dengan jarak s tak melebihi 6 x diameter tulangan memanjang atau 150 mm.
Terbesar dari : h1 atau h2 1/6 tinggi bersih 450 mm ht/4 h2/4 100 6 db 150 s’ kurang dari sama dengan s’ kurang dari sama dengan
Gambar 2.23 Syarat Pengekangan Ujung-Ujung Kolom Penulangan Hoops (Sengkang Tertutup) Persegi
Gambar 2.24 Luas Efektif dari HBK
2.14 Hubungan Balok Kolom (HBK) Pada Sistem Rangka Pemikul Momen Khusus (SRPMK)
Penulangan memanjang harus menerus menembus HBK dan dijangkar sebagai batang tarik atau tekan dengan panjang penyaluran yang benar dalam suatu inti kolom terkekang. Lekatan antara tulangan memanjang dan beton tidak boleh sampai lepas atau slip di dalam HBK yang berakibat menambah rotasi dalam HBK. Menurut SNI 2847-2013 Pasal 21.7 persyaratan ukuran minimum harus dipenuhi agar mengurangi kemungkinan kegagalan dan kehilangan lekatan pada waktu terjadi beban berbalik di atas tegangan leleh tulangan.
Bila tulangan memanjang balok menerus melewati HBK. Maka dimensi kolom yang sejajar tulangan balok harus tidak boleh lebih kecil dari 20 kali diameter terbesar tulangan memanjang.
Faktor paling penting dalam menentukan kuat geser nominal HBK adalah luas efektif (Aj) dari HBK. Untuk HBK yang dikekang oleh balok-balok di ke-empat mukanya, maka kapasitas atau kuat geser nominal HBK adalah sebesar 1,7 Aj √𝑓′𝑐. Untuk hubungan yang terkekang di tiga sisinya atau dua sisi yang berlawanan, maka kapasitasnya maka 1,25 Aj √𝑓′𝑐. Dan untuk kasus-kasus lainnya, kuat geser nominal = 1,0 Aj √𝑓′𝑐. Penting untuk dipahami bahwa kapasitas geser adalah hanya fungsi dari kekuatan beton dan luas Aj.
Dalam menghitung gaya geser di HBK gaya dalam tulangan memanjang balok di muka HBK, harus dianggap mempunyai tegangan tarik sebesar 1,25 fy.