• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGARUH KADAR AIR DAN METODE PENYIMPANAN TONGKOL JAGUNG (Zea mays, L.) TERHADAP PERTUMBUHAN Aspergillus flavus DAN PEMBENTUKAN AFLATOKSIN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENGARUH KADAR AIR DAN METODE PENYIMPANAN TONGKOL JAGUNG (Zea mays, L.) TERHADAP PERTUMBUHAN Aspergillus flavus DAN PEMBENTUKAN AFLATOKSIN"

Copied!
87
0
0

Teks penuh

(1)

PENGARUH KADAR AIR DAN METODE PENYIMPANAN TONGKOL JAGUNG (Zea mays, L.) TERHADAP PERTUMBUHAN Aspergillus flavus

DAN PEMBENTUKAN AFLATOKSIN

Oleh :

VENTY APRIANIE F34104049

2009

DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(2)

Venty Aprianie. F34104049. Pengaruh Kadar Air dan Metode Penyimpanan Tongkol Jagung (Zea mays L.) Terhadap Pertumbuhan Aspergillus flavus dan Pembentukan Aflatoksin. Dibawah bimbingan Liesbetini Hartoto dan Ani Suryani.

RINGKASAN

Jagung merupakan komoditas pertanian yang banyak ditanam di Indonesia. Sejauh ini pemanfaatannya masih terbatas pada biji, yang digunakan sebagai bahan pangan maupun pakan. Hasil samping yang berupa tongkol jagung pada pemanfaatan jagung umumnya masih sangat besar yaitu mencapai 46% untuk setiap varietas (Sapoetra, 1994), sehingga mulai dikembangkan pemanfaatan tongkol jagung agar menjadi produk yang lebih bernilai. Salah satu produk yang dihasilkan dari pemanfaatan tongkol jagung yaitu xilosa, sebagai bahan baku pembuatan xilitol yang bisa dimanfaatkan untuk pemanis pada permen maupun pasta gigi.

Jagung merupakan komoditas pertanian yang cukup rentan terhadap serangan kapang, sehingga diperlukan penanganan selama masa penyimpanan. Salah satu kapang yang sering dijumpai mencemari jagung adalah Aspergillus

flavus yang mampu menghasilkan aflatoksin. Aflatoksin berbahaya bagi kesehatan

karena bersifat karsinogen bagi manusia ataupun hewan yang mengkonsumsinya. Cemaran aflatoksin dalam kadar rendah (< 20 ppb) dalam jangka panjang bisa menyebabkan kanker hati atau kanker ginjal, sedangkan dalam kadar tinggi ( ≥ 20 ppb), jika masuk ke dalam tubuh manusia atau hewan bisa mengakibatkan kematian. Kadar maksimal aflatoksin yang diperbolehkan untuk dikonsumsi menurut Food and Drug Administration, USA adalah lebih kecil dari 20 ppb.

Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mendapatkan kadar air dan cara penyimpanan tongkol jagung terbaik, yang dapat menghambat pertumbuhan

Aspergillus flavus dan pembentukan aflatoksin. Kadar air yang digunakan adalah

11%, 15% dan 19%, sedangkan cara penyimpanan yang digunakan adalah penyimpanan dengan cara dihamparkan dan dengan cara dikemas menggunakan karung goni. Lama penyimpanan selama 30 hari dengan tiga waktu analisis, yaitu pada hari ke-0, 15 dan 30. Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah tongkol jagung varietas BISMA.

Penelitian terdiri dari dua tahap, yaitu penyiapan bahan baku dan penelitian utama. Penyiapan bahan baku terdiri dari karakterisasi bahan baku (tongkol jagung) dan pengaturan kadar air tongkol jagung. Karakterisasi tongkol jagung terdiri dari analisis kadar karbohidrat (by different), kadar protein, kadar lemak, kadar serat kasar, kadar abu dan kadar air, sedangkan pengaturan kadar air dilakukan dengan membasahkan atau mengeringkan tongkol jagung sampai diperoleh kadar air sekitar 11%, 15% dan 19%.

Pada penelitian utama, dilakukan analisis terhadap kadar air selama penyimpanan, pertumbuhan populasi Aspergillus flavus dan kadar aflatoksin dengan menggunakan metode ELISA. Metode analisis statistik yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap dua dan tiga faktor. RAL dua faktor digunakan untuk menganalisis data kadar air tongkol jagung, sedangkan RAL tiga faktor digunakan untuk menganalisis data populasi pertumbuhan A. flavus.

(3)

Dari hasil analisis proksimat, dapat diketahui bahwa tongkol jagung memiliki kadar air sebesar 11.80±0.06%, sedangkan kandungan bahan lainnya berdasarkan bobot kering, menunjukkan bahwa tongkol jagung memiliki kadar karbohidrat (by diff) yang cukup tinggi yaitu sebesar 95.65±0.01%, kadar protein 1.62±0.07%, kadar lemak 1.14±0.04%., kadar abu 1.59±0.10% dan kadar serat kasar 34.02±0.09%. Kadar air tongkol jagung selama penyimpanan mengalami penurunan dengan persentase penurunan tertinggi terjadi pada tongkol jagung berkadar air 19% dan penyimpanan dengan cara dihamparkan yaitu sebesar 17.55%, sedangkan persentase penurunan kadar air terkecil terjadi pada penyimpanan tongkol jagung berkadar air 11% dan penyimpanan dengan dikemas menggunakan karung goni yaitu sebesar 4.84%.

Analisis populasi A. flavus menunjukkan bahwa tongkol jagung berkadar air 11% dari masing-masing cara penyimpanan memiliki jumlah populasi paling sedikit, sedangkan populasi terbesar ditemukan pada tongkol jagung dengan kadar air 19% dari masing-masing cara penyimpanan. Sementara analisis kadar aflatoksin pada berbagai tingkat kadar air dan cara penyimpanan dengan menggunakan metode ELISA, menunjukkan tidak terdeteksi adanya aflatoksin pada tongkol jagung. Hal ini dapat disebabkan karena beberapa faktor, yaitu A.

flavus yang tumbuh pada tongkol jagung berasal dari galur yang tidak

menghasilkan toksin, aflatoksin yang dihasilkan bukan dari jenis B1 atau

aflatoksin yang dihasilkan awalnya dari jenis B1 tetapi telah berubah menjadi

aflatoksin B2, konsentrasi aflatoksin kurang dari 0.1 ppb sehingga tidak terdeteksi

dengan menggunakan metode ELISA, dan terdapat jenis kapang lain (Aspergillus

niger) yang tumbuh bersama dengan A. flavus, sehingga menghambat produksi

(4)

Venty Aprianie. F34104049. The Influence of Water Content and Storage Method of Corncob (Zea mays L.) to Aspergillus flavus Growth and Aflatoxin Formation. Under supervision by Liesbetini Hartoto and Ani Suryani.

ABSTRACT

Corn is one of agricultural commodity that has been cultivated in high quantity in Indonesia. Until now, the utilization of corn has been limited to the seed, which used as feeds and foods. It caused by product, in the form of corncob has been reach 46% from all corn varieties (Sapoetra, 1994), so it has been started to expand the using of corncob to be a more useful product. One alternative of the corncob utilization is xilosa, as the raw material in xilitol production. Xilitol has been used on candy and sweetener product.

Corn is agricultural commodity which susceptible to fungal infection, so it was need right condition during storage. A. flavus is one of mold that often contaminate corn. This fungy can produce aflatoxin, a toxin which was dangerous for human and animals health, if they eat the product which contaminated of aflatoxin. In low concentrations (not more than 20 ppb), aflatoxin cause liver and kidney cancer, while in high concentration (20 ppb or more), aflatoxin can cause death. Maximum aflatoxin concentration that was permitted to be consumed according to Food and Drug Administration, USA was no more than 20 ppb.

The goal of this research were to get the best water content and the right storage method which can inhibite A. flavus growth and aflatoxin formation. Water content that applied in this research were 11%, 15% and 19%, while the storage method that used were ruged and packed use gunny sack. The duration of storage was 30 days with three times sampling, that were 0 day, 15 day and 30 day. The corn variety that used was Bisma.

This research consist of two steps. First was preparation of raw material that include corncob characterizations and conditioning of water content. Corncob characterizations consist of carbohydrate, protein, fat, crude fiber, ash and water content, while conditioning of water content was done with moisting and drying the corncob to get the water content at 11%, 15% and 19%.

In main research the measured parameters were water content, A. flavus population and aflatoxin concentration. The analyze of statistic method that used in this research were Completely Randomize Design with two factors and Completely Randomize Design with three factors. Completely Randomize Design with two factors was used to analyze water content data, while Completely Randomize Design with three factors was used to analyze A. flavus population data.

The results of corncob characterizations were : water content 11.80±0.06%, ash content 1.59±0.010%, protein content 1.62±0.07%, crude fiber content 34.02±0.09, carbohydrate (by diff.) 95.65±0.01 and fat content 1.14±0.04%. In main research, the corncob water content was decrease during storage. The highest decrease of water content was occured on the storage with ruged method and 19% water content, while the lowest decrease was occured on the corncob which was packed use gunny sack and 11% water content.

The storage method that gave the lowest population of A. flavus was the corncob which was packed use gunny sack and 11% water content. From each

(5)

storage method, the lowest population of A. flavus was obtained on 11% water content and the highest population was obtained on 19% water content. Aflatoxin analyze from all water contents and storage methods showed that no aflatoxin was detected with ELISA method. It was happened because A. flavus which growth on the corncob was species that not produce aflatoxin, the aflatoxin that produce by

A. flavus was lower than 0.1 ppb, so it cannot be read by ELISA method because

ELISA method just can read if the aflatoxin concentration was higher than 0,1 ppb, from the beginning, aflatoxin that was produced was B1 but it has been

change to aflatoxin B2 in a natural process, so ELISA cannot read the result

because ELISA method only can read aflatoxin B1, and the last there were another

fungy (A. niger) that life together with A. flavus on AFPA media which cause A.

(6)

PENGARUH KADAR AIR DAN METODE PENYIMPANAN TONGKOL JAGUNG (Zea mays, L.) TERHADAP PERTUMBUHAN Aspergillus flavus

DAN PEMBENTUKAN AFLATOKSIN

SKRIPSI

Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Departemen Teknologi Industri Pertanian

Fakultas Tekologi Pertanian Institut Pertanian Bogor

Oleh :

VENTY APRIANIE F34104049

2009

DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(7)

INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

PENGARUH KADAR AIR DAN METODE PENYIMPANAN TONGKOL JAGUNG (Zea mays L.) TERHADAP PERTUMBUHAN Aspergillus flavus

DAN PEMBENTUKAN AFLATOKSIN

Oleh Venty Aprianie

F34104049

Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Teknologi Pertanian

Pada Departemen Teknologi Industri Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian

Institut Pertanian Bogor

Disetujui, Bogor, Januari 2009

Dr. Ir. Liesbetini Hartoto, MS Dr. Ir. Ani Suryani, DEA. Dosen Pembimbing Skripsi I Dosen Pembimbing Skripsi II

(8)

PERNYATAAN

Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa skripsi yang berjudul “Pengaruh Kadar Air dan Metode Penyimpanan Tongkol Jagung (Zea mays L.) Terhadap Pertumbuhan Aspergillus flavus dan Pembentukan Aflatoksin” adalah hasil karya saya sendiri dengan arahan dosen pembimbing, kecuali yang dengan jelas ditunjukkan rujukannya.

Bogor, 28 Januari 2009 Yang membuat pernyataan

Venty Aprianie F34104049

(9)

i

RIWAYAT PENULIS

Penulis bernama Venty Aprianie, dilahirkan di Batang pada tanggal 17 April 1986. Menempuh pendidikan Sekolah Dasar di SD Tegalsari II selama 6 tahun, yaitu dari tahun 1992 sampai tahun 1998. Kemudian penulis melanjutkan Pendidikan Sekolah Menengah Pertama di SMP N 3 Batang selama 3 tahun, yaitu dari tahun 1998 sampai 2001. Penulis menempuh Pendidikan Sekolah Menengah Atas di SMA N 1 Batang selama 3 tahun, yaitu dari tahun 2001 sampai 2004.

Pada tahun 2004 penulis diterima di Departemen Teknologi Industri Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI. Selama menempuh pendidikan di Institut Pertanian Bogor, penulis aktif di beberapa organisasi kemahasiswaan. Penulis tercatat sebagai pengurus Badan Eksekutif Mahasiswa Tingkat Persiapan Bersama (BEM TPB) periode 2004/2005 sebagai wakil bendahara dan pengurus Dewan Keluarga Masjid AL-Hurriyah sebagai staf divisi ekonomi pada periode yang sama. Pada tahun 2005 penulis menjabat sebagai Sekretaris Departemen Pengabdian Masyarakat Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Teknologi Pertanian (BEM FATETA) periode 2005/2006 dan pengurus Ikatan Mahasiswa Pekalongan Batang (IMAPEKA) sebagai staf Pengembangan Sumber Daya Mahasiswa. Pada tahun berikutnya penulis tercatat sebagai Bendahara Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Teknologi Pertanian (BEM FATETA) periode 2006/2007. Pada tahun 2007 penulis tercatat sebagai pengurus Forum Bina Islami sebagai staf Pengembangan Sumber Daya Mahasiswa periode 2007/2008.

Dalam bidang akademis, penulis tercatat sebagai Asisten Pendidikan Agama Islam pada Semester 6. Kemudian pada Semester 7, penulis menjadi asisten praktikum Teknologi Pengemasan dan Penyimpanan dan Teknologi Bioproses. Pada Semester 8 penulis tercatat sebagai asisten praktikum Peralatan Industri. Penulis melaksanakan Praktek Lapang pada tahun 2007 dengan Judul “Mempelajari Aspek Teknologi Proses Produksi Monosodium Glutamat di PT. Indonesia Miki Industries Batang-Jawa Tengah”.

(10)

ii

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah memberikan kekuatan dan kesabaran, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Teknologi Pertanian pada Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor dengan judul “Pengaruh Kadar Air dan Metode Penyimpanan Tongkol Jagung (Zea mays, L.) Terhadap Pertumbuhan Aspergillus flavus dan Pembentukan Aflatoksin”.

Oleh karena itu dengan segala kerendahan hati, penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Dr. Ir. Liesbetini Hartoto, MS. selaku pembimbing akademik I yang telah dengan begitu sabar memberikan pengarahan, saran, kritik, informasi dan petunjuk dalam menyelesaikan skripsi ini dan selama penulis menempuh pendidikan di Departemen Teknologi Industri Pertanian, FATETA, IPB. 2. Dr. Ir. Ani Suryani, DEA. selaku pembimbing akademik II yang dengan

penuh kesabaran memberikan pengarahan, informasi, saran dan petunjuk dalam penyelesaian skripsi ini.

3. Ayah dan Ibu tercinta atas do’a dan air mata dalam sujud-sujud panjang tahajud dan dalam setiap langkah. Kata tidak akan pernah cukup untuk mengungkapkan rasa terima kasih dan cinta ini.

4. Mas Soso dan keluarga kecilnya yang sedang menanti kelahiran putra kedua, adik dari Alifian. Semoga menambah keceriaan dan rasa syukur.

5. Mbak Arum dan Mas Andhi yang sedang menanti kelahiran jundi pertama, terima kasih atas dukungan dan do’a-do’anya.

6. Mbak Wanti atas do’a dan dukungannya selama ini. Senang rasanya saat keterbukaan itu tercipta. Hidup ini tidak selamanya sulit. Selalulah berusaha Mbak!

7. PT. Lautan Luas yang telah berkenan membiayai penelitian penulis

8. Seluruh dosen yang telah membimbing penulis selama menempuh pendidikan pada Departemen Teknologi Industri Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian IPB

(11)

iii

9. Seluruh karyawan Departemen Teknologi Industri Pertanian Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian IPB yang telah banyak membantu

10. Teman-teman di Departemen Teknologi Industri Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian IPB yang telah memberikan banyak pelajaran selama 4 tahun bersama

11. Afifah crew (Nova, Aria, Choir, Ratna, Ika dan Cucu) yang telah memberi banyak pelajaran hidup dan keceriaan. Maafkan kalau aku tidak selalu memberi perhatian

12. Eli atas jasa ojeknya. Terima kasih banyak saudaraku.

13. Teman-teman seperjuangan di IPB khususnya FATETA yang telah berusaha bersama untuk menciptakan kondisi yang lebih baik. Jangan pernah berhenti dan menyerah dengan keadaan!

14. Teman-teman SMA N 1 BATANG yang telah banyak menyumbang do’a dan dukungan. Jarak tidak akan pernah menjadi penghalang untuk persahabatan dan persaudaraan kita

15. Seluruh pihak yang terlibat langsung maupun tidak langsung dalam pembuatan skripsi ini. Terimakasih semuanya...!

Tentunya skripsi ini belum sempurna, tetapi penulis berharap semoga dapat bermanfaat bagi yang menyusun maupun yang membaca.

Bogor, Januari 2009

(12)

iv DAFTAR ISI Halaman RIWAYAT PENULIS ... i KATA PENGANTAR ... ii DAFTAR TABEL... vi

DAFTAR GAMBAR ... vii

DAFTAR LAMPIRAN... viii

BAB I. PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG ... 1

B. TUJUAN ... 2

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA A. JAGUNG …... 3

B. TONGKOL JAGUNG... 5

C. PENYIMPANAN JAGUNG …... 6

D. Aspergillus flavus ... ... 7

E. AFLATOKSIN ... 10

BAB III. METODOLOGI PENELITIAN A. ALAT DAN BAHAN... 17

1. Alat... 17

2. Bahan... 17

B. METODE PENELITIAN... 17

1. Analisis Proksimat dan Penyiapan Bahan Baku... 17

2. Penelitian Utama... 17

C. RANCANGAN PERCOBAAN... 19

D. WAKTU DAN TEMPAT PENELITIAN... 21

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. ANALISIS PROKSIMAT... 22

(13)

v

C. ANALISIS PERTUMBUHAN Aspergillus flavus... 29

1. Pertumbuhan A. flavus pada Penyimpanan Tongkol Jagung dengan Cara Dihamparkan... 30

2. Pertumbuhan A. flavus pada Penyimpanan Tongkol Jagung dengan Cara Dikemas menggunakan Karung Goni... 33

D. ANALISIS AFLATOKSIN... 37

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN A. KESIMPULAN ... 42

B. SARAN ... 43

DAFTAR PUSTAKA ... ... 44

(14)

vi

DAFTAR TABEL

Halaman Tabel 1. Karakteristik Varietas Jagung Komposit Unggul... 4 Tabel 2. Komposisi Kimia Tongkol Jagung ……….. 5 Tabel 3. Konsentrasi Maksimal Aflatoksin pada Bahan Pangan

dan Akibat yang Ditimbulkan………... 13 Tabel 4. Konsentrasi Aflatoksin yang Diperbolehkan pada

Berbagai Penggunaan………... 14 Tabel 5. Hasil Analisis Proksimat Tongkol Jagung………. 22 Tabel 6. Perubahan Kadar Air Tongkol Jagung Selama

Penyimpanan………. 25

Tabel 7. Populasi Aspergillus flavus pada Penyimpanan Tongkol

Jagung dengan Cara Dihamparkan ... 30 Tabel 8. Hasil Analisis Populasi Aspergillus flavus pada Penyimpanan

Tongkol Jagung dengan Cara Dikemas menggunakan

Karung Goni……….. 34 Tabel 9. Peta Plat Mikro Analisis Aflatoksin……….. 56

(15)

vii

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1. Jagung Tanpa Kelobot……….. 3

Gambar 2. Tongkol Jagung………. 5

Gambar 3. Struktur Kimia Aflatoksin B1 dan M1 ………. 12

Gambar 4. Struktur Kimia Aflatoksin G1 ……….. 13

Gambar 5. Diagram Alir Metode Penelitian………... 19

Gambar 6. Grafik Perubahan Kadar Air Tongkol Jagung selama Penyimpanan……… 28

Gambar 7. Grafik Populasi Aspergillus flavus pada Penyimpanan Tongkol Jagung dengan Cara Dihamparkan..……... 31

Gambar 8. Pertumbuhan A. flavus pada Media AFPA pada Pengamatan Hari ke-15 dan Penyimpanan dengan Cara Dihamparkan ……….,………. 32

Gambar 9. Pertumbuhan A. flavus pada Media AFPA Tanpa Kompetitor pada Kadar Air 11% dan Penyimpanan dengan Cara Dihamparkan Pengamatan Hari ke-15... 33

Gambar 10. Grafik Populasi Aspergillus flavus pada Penyimpanan Tongkol Jagung dengan Cara Dikemas Menggunakan Karung Goni………. 34

Gambar 11. Pertumbuhan A. flavus pada Media AFPA pada Pengamatan Hari ke 15 dan Penyimpanan dengan Cara Dikemas menggunakan Karung Goni pada... 35

(16)

viii

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1. Metode Analisis Proksimat………... 51

Lampiran 2. Dokumentasi Cara Penyimpanan Tongkol Jagung... 53

Lampiran 3. Metode Analisis Hasil Penelitian………... 54

Lampiran 4. Hasil Analisis Perubahan Kadar Air…………... 58

Lampiran 5 Data Hasil Analisis Perubahan Kadar Air, Analisis Ragam (ANOVA) dan Uji Lanjut Duncan pada Kadar Air 11%... 59

Lampiran 6. Data Hasil Analisis Perubahan Kadar Air, Analisis Ragam (ANOVA) dan Uji Lanjut Duncan pada Kadar Air 15%... 60

Lampiran 7. Data Hasil Analisis Perubahan Kadar Air, Analisis Ragam (ANOVA) dan Uji Lanjut Duncan pada Kadar Air 19%... 62

Lampiran 8. Komposisi Media AFPA, Cara Pembuatan dan Sterilisasi……… 64

Lampiran 9. Data Hasil Isolasi Aspergillus flavus………. 65

Lampiran 10. Data Hasil Analisis populasi A. flavus, Analisis Ragam (ANOVA) dan Uji Lanjut Duncan terhadap Pertumbuhan A. flavus... 66

Lampiran 11. Dokumentasi Hasil Isolasi A. flavus pada Media AFPA 69 Lampiran 12. Plat Mikro Pengujian Aflatoksin menggunakan Metode ELISA... ... ... 70

Lampiran 13. Hasil Analisis Aflatoksin……… 71

(17)

1 I. PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Jagung merupakan salah satu komoditas pertanian yang cukup banyak ditanam di Indonesia. Sejauh ini pemanfaatan jagung dalam jumlah besar masih terbatas pada penggunaan biji jagung sebagai bahan pangan seperti sayur, jagung rebus dan popcorn dan sebagai pakan ternak, sehingga jumlah bahan buangan (limbah padat) yang berupa tongkol jagung masih sangat besar, yaitu rata-rata 46% untuk setiap varietas dalam sekali panen (Sapoetra, 1994). Persentase tongkol jagung yang cukup besar dan pemanfaatannya yang belum optimal ini mendorong para pakar untuk mendapatkan alternatif pemanfaatan limbah tongkol jagung menjadi produk yang prospektif. Salah satu produk yang dapat dihasilkan dari pemanfaatan tongkol jagung yaitu xilosa yang dapat digunakan sebagai bahan baku pembuatan xilitol yang bisa dimanfaatkan untuk pemanis pada permen maupun pasta gigi.

Dalam rangka pemanfaatan tongkol jagung sebagai bahan baku pembuatan xilitol, maka diperlukan juga penanganan bahan baku tongkol jagung selama masa penyimpanan, mengingat jagung memiliki resiko yang sangat tinggi untuk terserang kapang. Hal ini disebabkan karena jagung termasuk juga tongkol jagung mengandung beberapa nutrisi seperti karbohidrat, protein, lemak dan serat yang berpotensi digunakan oleh kapang sebagai media pertumbuhan. Salah satu jenis kapang yang sering ditemukan pada jagung adalah Aspergillus flavus yang memproduksi aflatoksin dan bersifat karsinogen bagi manusia ataupun hewan yang mengkonsumsinya (Somantri, 2005).

Jagung di Indonesia pada umumnya mengandung kadar aflatoksin yang cukup tinggi. Aflatoksin adalah racun yang dihasilkan kapang Aspergillus sp. Zat ini berbahaya bagi kesehatan manusia dan hewan. Cemaran Aspergillus

flavus pada jagung umumnya terjadi sejak tanaman masih berada di kebun,

karena kapang ini merupakan jenis kapang yang secara alami terdapat pada tanah. Bagian tanaman jagung yang umumnya lebih dahulu diserang oleh kapang adalah akar, kemudian batang, daun, buah jagung dan selanjutnya

(18)

2 merambat ke bagian yang lebih dalam. Beberapa kondisi yang mendorong pertumbuhan A. flavus adalah kadar air dan kelembaban yang cukup tinggi serta kondisi atmosfer. A. flavus mampu tumbuh dengan baik pada kadar air 13-18%, suhu sekitar 30oC dan RH ≥ 95% (Onions et al., 1981 di dalam Corry, et al., 1986).

Aflatoksin dalam kadar tinggi (di atas 20 ppb) jika masuk ke dalam tubuh manusia atau hewan bisa mengakibatkan kematian. Sementara kontaminasi aflatoksin dalam kadar rendah (di bawah 20 ppb) dalam jangka panjang bisa menyebabkan kanker hati atau kanker ginjal (Anonim. 2000). Aflatoksin merupakan salah satu contoh mikotoksin yang mempunyai daya racun yang sangat tinggi. Menurut hasil penelitian pada Departemen Pertanian dan Departemen Kesehatan Amerika Serikat, aflatoksin dapat dihasilkan pada banyak jenis substrat, antara lain beras, jagung, gandum serta biji-bijian lainnya terutama kacang-kacangan, yang tersimpan dalam kondisi yang kurang memenuhi syarat (Suriawiria, 2004).

Berdasarkan beberapa resiko diatas, maka perlu dilakukan penanganan pascapanen yang mampu mendukung ketahanan tongkol jagung terhadap pencemaran A. flavus dan pembentukan aflatoksin. Salah satunya adalah dengan menentukan kondisi penyimpanan yang mampu menghambat pertumbuhan A. flavus dan pembentukan aflatoksin, seperti pengaturan kadar air dan metode penyimpanan tongkol jagung.

B. TUJUAN

Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mendapatkan kadar air dan cara penyimpanan tongkol jagung terbaik, sehingga dapat mengurangi pertumbuhan A. flavus dan pembentukan aflatoksin. Kadar air yang digunakan adalah 11 %, 15 % dan 19 %, sedangkan cara penyimpanan yang digunakan adalah dengan cara dihamparkan dan dengan cara dikemas menggunakan karung goni dengan lama penyimpanan selama 30 hari.

(19)

3 II. TINJAUAN PUSTAKA

A. JAGUNG

Tanaman jagung (Zea mays L.) merupakan salah satu tanaman biji-bijian dari keluarga rumput-rumputan (Graminae) (Warisno, 1998). Jagung merupakan salah satu komoditas tanaman palawija utama di Indonesia yang kegunaannya relatif luas, terutama sebagai bahan pangan dan pakan ternak. Jagung sebagai tanaman pangan menduduki urutan kedua setelah padi (AAK, 1993). Gambar jagung dapat dilihat pada Gambar 1. Taksonomi tanaman jagung adalah sebagai berikut (Anonim, 2005).

Kingdom : Plantae

Divisi : Spermatophyta (tumbuhan berbiji)

Sub Divisi : Angiospermae (berbiji tertutup)

Kelas : Monocotyledone (berkeping satu)

Ordo : Graminae Famili : Graminaceae Genus : Zea

Spesies : Zea mays L.

Gambar 1. Jagung Tanpa Kelobot (http://indonetwork.net)

Produksi jagung di Indonesia pada tahun 2007 mencapai 13.29 juta ton. Dibandingkan dengan produksi tahun 2006, terjadi kenaikan sebanyak 1.68 juta ton atau sekitar 14.45%. Sementara produksinya pada tahun 2008 diprediksi mencapai 14.85 juta ton. Jumlah ini naik sebanyak 1.57 juta ton atau sebesar 11.79% dibandingkan produksi jagung tahun 2007. Secara umum, kenaikan produksi itu terjadi karena peningkatan luas panen dan peningkatan produktivitas. Rata-rata produksi jagung setiap tahun mengalami

(20)

4 kenaikan 0.69% dari 34.5 kuintal per ha menjadi 34.8 kuintal per ha (BPS, 2008)

Varietas jagung komposit unggulan yang banyak ditanam di Indonesia antara lain Lamuru, Sukmaraga, Bisma, Srikandi Kuning, dan Srikandi Putih. Jagung komposit adalah varietas jagung hasil persilangan dari beberapa varietas. Jagung komposit terutama dari varietas Lamuru, Sukmaraga, Bisma, Srikandi Kuning, dan Srikandi Putih memiliki potensi hasil tinggi (7-8 ton/ha), hampir menyamai hasil varietas jagung hibrida, toleran terhadap kekeringan, tahan kondisi asam, rata-rata mempunyai kadar protein yang tinggi, dan dapat ditanam dari benih tanaman sebelumnya tanpa menurunkan hasil panen (BPTP, 2008).

Sementara itu kriteria yang ditentukan petani terhadap varietas unggulan yaitu meliputi tongkol besar yang mengindikasikan potensi hasil tinggi, posisi tongkol rendah akan lebih tahan terhadap kerebahan akibat angin kencang seperti angin puting beliung, penutupan kelobot yang baik akan lebih aman dari kontaminasi hama gudang dan cendawan yang dapat memproduksi aflatoksin, mampu disimpan dalam waktu lama, dan warna biji jernih (diduga memiliki nilai beta karoten tinggi) (BPTP, 2008).Karakteristik varietas unggul jagung komposit yang dihasilkan oleh Badan Litbang Pertanian disajikan pada Tabel 1.

`

Tabel 1. Karakteristik Varietas Jagung Komposit Unggul

Varietas Hasil Rata-rata (ton/ha) Potensi Hasil (ton/ha) Umur Panen (hari) Keunggulan Spesifik

BISMA 5.7 7.5 90 Tahan kekeringan

Lamuru 5.6 7.6 95 Tahan kekeringan Sukmaraga 6.0 8.5 105 Tahan keasaman Srikandi Kuning-1 5.4 7.9 110 Protein bermutu tinggi Srikandi Putih-1 5.9 8.1 110 Protein bermutu tinggi Anoman (putih) 5.0 7.0 102 Rasa enak

(21)

5 B. TONGKOL JAGUNG

Tongkol jagung merupakan simpanan makanan untuk pertumbuhan biji jagung selama melekat pada tongkol. Panjang tongkol jagung bervariasi antara 8-12 cm (Effendi dan Sulistiati, 1991). Menurut Koswara (1991), jagung mengandung kurang lebih 30% tongkol jagung dan sisanya adalah biji dan kulit. Menurut Maynard dan Loosli (1993), tongkol jagung terdiri dari serat kasar 35.5%, protein 2.5%, kalsium 0.12%, fosfor 0.04% dan zat-zat lain sisanya 38.16%. Tongkol jagung dapat dilihat pada Gambar 2, sedangkan komposisi kimia tongkol jagung disajikan pada Tabel 2.

Gambar 2. Tongkol Jagung

Tabel 2. Komposisi Kimia Tongkol Jagung Komposisi a (% bk) b (% bk) Karbohidrat • Glukan • Xilan • Arabinan • Galaktan • Lignin 34.40 ± 0.40 31.30 ± 0.30 3.01 ± 0.07 - 18.80 ± 0.10 39.40 28.40 3.60 1.10 7.00 Abu 1.30 ± 0.03 1.70 Protein 4.30 ± 0.09 3.20 Lemak kasar - 0.70 Gugus asetil 3.08 ± 0.01 -

Bahan lain (by different) 0.46 -

Asam Uronat 3.36 ± 0.09 -

a : Parajo et al. (2003)

b : White dan Johnson (2003)

Kandungan protein dan karbohidrat dalam bentuk monosakarida, disakarida atau polisakarida yang terdapat pada tongkol jagung merupakan nutrisi yang cukup potensial untuk pertumbuhan A. flavus karena A. flavus mampu tumbuh dengan baik pada substrat yang cukup mengandung sukrosa,

(22)

6 glukosa, ribosa, xilosa dan gliserol serta protein, baik organik maupun anorganik (Diener dan Davist, 1969).

C. PENYIMPANAN JAGUNG

Produk pertanian yang akan disimpan, terutama biji-bijian sebaiknya dikeringkan sampai dengan kadar air yang sesuai untuk penyimpanan. Di negara-negara beriklim sedang, kadar air penyimpanan biji-bijian yang ideal adalah di bawah 13% untuk penyimpanan lebih dari 9 bulan, sedangkan untuk penyimpanan yang singkat kadar air dapat mencapai 14%. Sementara untuk negara-negara beriklim tropis dengan suhu dan kelembaban yang tinggi, kadar air ideal untuk penyimpanan biji-bijian berkisar antara 7 - 9% terutama untuk komoditi yang disimpan lebih dari tiga bulan. Produk sebaiknya disimpan di gudang penyimpanan dengan sirkulasi udara yang baik. Jika memungkinkan, suhu dan kelembaban diukur secara rutin selama periode penyimpanan. Kenaikan suhu 2-3°C dapat menunjukkan adanya infeksi kapang atau serangga. Untuk produk yang dikemas, sebaiknya digunakan kemasan yang memiliki pori-pori untuk sirkulasi udara dan diletakkan dengan menggunakan alas papan (Maryam, 2006).

Laju respirasi setelah panen pada produk buah dan sayuran tergantung pada kelembaban, suhu dan tingkat kerusakan (perlukaan saat panen) (Watson dan Ramstad, 1994). Sebagai bahan yang kandungan karbohidratnya cukup tinggi, jagung sangat mudah terserang mikroba, sehingga setelah dipanen jagung sebaiknya segera dikupas kulitnya dan dijemur sampai cukup kering. Setelah cukup kering, segera dipipil dan dipisahkan antara biji jagung dan tongkolnya. Tongkol jagung kemudian dijemur lagi sampai kering konstan (kadar air kurang lebih 12%) agar dapat disimpan dalam jangka waktu lama (Suprapto, 1998).

Sampai saat ini sebagian besar pengeringan jagung dilakukan dengan cara penjemuran. Baik dengan kulit, tanpa kulit atau dalam bentuk pipilan. Pengeringan tongkol jagung dengan memanfaatkan sinar matahari dilakukan kurang lebih 7-8 hari agar diperoleh kadar air 9%-11% (Prabowo, 2007).

(23)

7 Ada beberapa faktor yang mempengaruhi ketahanan tongkol jagung selama penyimpanan yaitu meliputi aktivitas air (aw) dan kadar air bahan,

suhu, substrat (komposisi nutrisi bahan), ketersediaan oksigen, nitrogen dan karbon dioksida, kerusakan mekanis dan interaksi dengan serangga, jumlah spora yang menginfeksi dan lama waktu penyimpanan (Miller dan Trenholm, 1994).

Cara penyimpanan bahan sebelum dilakukan proses pengolahan lebih lanjut dapat dilakukan dengan atau tanpa pengemasan. Penyimpanan tanpa pengemasan yaitu penyimpanan dimana bahan dibiarkan kontak langsung dengan udara terbuka. Sementara penyimpanan dengan pengemasan yaitu penyimpanan yang dilakukan dengan terlebih dahulu mengemas bahan menggunakan bahan kemasan, yang akan lebih baik jika disesuaikan dengan karakter bahan yang dikemas. Pada pengemasan bahan yang tidak dimaksudkan untuk membuat atmosfer termodifikasi, hal yang diutamakan adalah menghindari kondisi beracun dan kondensasi uap air di dalam kemasan (Robertson, 1993).

Pengemasan bahan selama masa penyimpanan ditujukan untuk melindungi bahan dari perubahan kondisi lingkungan penyimpanan yaitu kelembaban dan suhu. Kemasan yang baik dapat menciptakan ekosistem ruang penyimpanan yang baik, sehingga bahan bisa disimpan lebih lama. Penyimpanan bahan pada ruang penyimpanan terbuka akan menyebabkan bahan cepat mengalami kemunduran atau daya simpannya menjadi lebih singkat karena pengaruh fluktuasi lingkungan seperti suhu dan kelembaban. Selain itu dalam ruang penyimpanan terbuka, bahan berhubungan langsung dengan lingkungan luar yang mungkin dapat mencemari bahan, baik berupa pencemar mikro seperti mikroba maupun pencemar makro seperti serangga (Robi’in, 2007).

D. Aspergillus flavus

Selama masa tanam di kebun ataupun penyimpanan, jagung rentan terhadap serangan kapang dan hama. Mikroba yang sering dijumpai terdapat pada tanaman jagung antara lain Aspergillus spp., Fusarium spp., dan

(24)

8

Penicillium spp. Infeksi awal terjadi pada fase penanaman di lapang,

kemudian terbawa oleh benih ke tempat-tempat penyimpanan (Schutless et

al., 2002). Mikroba patogen tersebut kemudian berkembang dan

memproduksi mikotoksin, sehingga bahan menjadi rusak dan bermutu rendah. Di daerah beriklim tropis, suhu, curah hujan dan kelembaban yang tinggi serta media penyimpanan yang tidak memadai, sangat mendukung perkembangan mikroba tersebut. Secara umum, pengertian mikotoksin yang dihasilkan oleh kapang seperti Aspergillus spp., Fusarium spp., dan

Penicillium spp. adalah hasil metabolisme sekunder yang bersifat toksik. Bath

dan Miller (1991) melaporkan bahwa mikotoksin yang paling banyak dan sering ditemui pada jagung adalah A. flavus. Toksin yang dihasilkanpun paling berbahaya dan banyak mencemari produk-produk pertanian di berbagai negara. Di Indonesia, aflatoksin juga merupakan mikotoksin yang dominan mencemari produk pertanian, terutama jagung dan kacang tanah (Bachri, 2001).

A. flavus merupakan salah satu spesies kapang atau fungi yang

termasuk ke dalam divisi Tallophyta, sub-divisi Deuteromycotina, kelas fungi

Imperfecti, ordo Moniliales, famili Moniliaceae dan genus Aspergillus

(Frazier dan Westhoff, 1987). A. flavus merupakan kapang saprofit yang umumnya mengkontaminasi berbagai jenis bahan makanan yang disimpan. Sifat morfologis A. flavus yaitu bersepta, miselia bercabang biasanya tidak berwarna, konidiophor muncul dari kaki sel, sterigmata sederhana atau kompleks dan berwarna atau tidak berwarna, konidia berbentuk rantai berwarna hijau, coklat atau hitam (Smith dan Pateman, 1977).

Menurut Bhatnagar et al. (2000) di dalam Robinson et al. (2002), A.

flavus memiliki hifa berseptum dan miselium bercabang, koloni kompak,

konidiofor kasar dan relatif panjang. Kapang ini dikenal sebagai kapang kuning kehijauan yang dapat tumbuh pada suhu 12-48 oC dengan aw minimal

0.8, sedangkan suhu optimal untuk pertumbuhannya adalah 25-42oC. Pertumbuhan kapang dan perkecambahan konidia ideal pada aw lebih rendah

(25)

9

A. flavus merupakan kapang yang hidup di tanah dan merupakan

kapang gudang, sehingga apabila kondisi lingkungannya cukup menguntungkan, maka perkembangan dan pertumbuhannya akan sangat cepat (Betina, 1989). Cemaran A. flavus dapat terjadi saat jagung masih ditanam di kebun ataupun saat disimpan. Cemaran di kebun disebabkan karena kapang

A. flavus merupakan jenis kapang yang terdapat secara alami pada tanah.

Kontaminasi serangga juga dapat mempercepat cemaran A. flavus dan aflatoksin (Sumner, 2003).

Menurut Sauer (1986), A. flavus tidak akan tumbuh pada kelembaban udara relatif di bawah 85% dan kadar air di bawah 16%. Aw minimum yang

dibutuhkan A. flavus untuk tumbuh adalah 0.80 (Richard et al., 1982). Sedangkan menurut Christensen et al. (1974) di dalam Christensen (1980), A.

flavus tumbuh optimal pada aw 0.85. Nilai ini jika disetarakan dengan kadar

air kesetimbangan optimum pada penyimpanan tongkol jagung adalah sekitar 18-18.5%.

Menurut Hesseltine (1976), A. flavus tumbuh pada kadar air 13-18%, sedangkan menurut Diener dan Davist (1969), kelembaban relatif yang aman untuk penyimpanan biji-bijian adalah 70%, karena hanya sedikit kapang yang dapat tumbuh. A. flavus adalah kapang mesofit yang membutuhkan RH minimal 80-90% untuk pertumbuhannya. RH minimum untuk pertumbuhan dan germinasi spora adalah 80% dan RH minimal 85% untuk sporulasi.

Sebagai kapang mesofilik, A. flavus mempunyai suhu pertumbuhan minimum 6-8oC, optimum 36-38oC dan maksimum 44-46oC. Suhu pertumbuhan minimum dan maksimum ini dipengaruhi oleh faktor lain seperti konsentrasi oksigen, kadar air, nutrien dan lain-lain (Diener dan Davist, 1969).

Umumnya penurunan konsentrasi oksigen dapat menurunkan produksi aflatoksin karena A. flavus sebagai kapang penghasil aflatoksin bersifat aerobik obligat, tetapi rendahnya kandungan oksigen tidak menyebabkan kematian pada miselia dan spora (Hesseltine, 1976).

Pertumbuhan A. flavus selain dipengaruhi oleh lingkungan seperti kadar air, oksigen, unsur makro (karbon, nitrogen, fosfor, kalium dan

(26)

10 magnesium) dan unsur mikro (besi, seng, tembaga, mangan dan molibdenum), juga dipengaruhi oleh cahaya, temperatur, kelembaban dan keberadaan kapang lain. Temperatur yang optimal untuk pertumbuhan A.

flavus sekitar 30oC dan RH ≥ 95% (Onions et al., 1981 di dalam Corry et al., 1986).

Menurut Sumner (2003), kadar air biji yang optimal untuk pertumbuhan dan perkembangan A. flavus adalah 18% dengan interval optimum antara 13-20%. Cemaran A. flavus pada tongkol jagung dapat dilihat pada penampakan hifa dari kapang ini yang menunjukkan warna hijau abu-abu atau hijau kekuningan.

E. AFLATOKSIN

Aflatoksin merupakan salah satu jenis mikotoksin yang banyak menimbulkan masalah terutama pada manusia dan ternak. Aflatoksin terutama dihasilkan oleh kapang A. flavus dan A. parasiticus (Goldblatt, 1969). Produksi aflatoksin oleh A. flavus dipengaruhi oleh faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal tergantung dari galur A. flavus (toksigenik dan non-toksigenik). Sedangkan faktor eksternal disebabkan oleh beberapa kondisi lingkungan, antara lain :

1. Aw dan Kadar Air

Pada aw 0.90 produksi aflatoksin mencapai nilai tertinggi dan

pertumbuhan A. flavus lebih baik dibandingkan kompetitornya yaitu

Fusarium graminearum, Penicillium viridicatum, dan Aspergillus niger

dan akan mengalami penurunan seiring dengan peningkatan aw, yaitu

sampai dengan aw 0.98. (Lacey et al., 1992).

2. Suhu

Produksi aflatoksin tergantung dari pertumbuhan A. flavus. Umumnya A. flavus mampu tumbuh dengan baik pada suhu 25-42 oC dan pada suhu itu pula aflatoksin bisa dihasilkan (Bhatnagar et al., 2000 di dalam Robinson et. al., 2002).

(27)

11 3. Substrat

Beberapa bahan kimia yang mampu mendorong produksi aflatoksin oleh A. flavus antara lain glukosa, sukrosa, ribosa, xilosa dan gliserol sebagai sumber karbon, protein dalam bentuk organik misalnya aspartat, glisin, glutamin dan glutamat maupun non-organik sebagai sumber nitrogen dan unsur mikro seperti magnesium, besi, dan seng. Secara umum kandungan lemak, protein dan trace elemen, asam amino dan asam lemak pada suatu bahan, mampu mendorong produksi aflatoksin oleh A. flavus (Diener dan Davist, 1969).

4. Kondisi Atmosfer

Landers et al. (1967) melaporkan bahwa pertumbuhan dan produksi aflatoksin oleh A. flavus terjadi pada kadar O2 1% dan N2 99%

juga pada O2 1%, N2 79 % dan CO2 20%, tetapi akan terhambat pada kadar

O2 1%, N2 19%, dan CO2 80%. Kondisi ini memperlihatkan bahwa

pertumbuhan dan produksi aflatoksin oleh kapang lebih sensitif pada kadar CO2 yang tinggi dibandingkan kadar N2 yang tinggi dan O2 yang rendah.

Hal ini menunjukkan bahwa kondisi gas di atmosfer lebih mempengaruhi produksi toksin daripada pertumbuhan kapang (Paster dan Bullerman, 1988).

5. Interaksi Mikrobial

Mislivec et al. (1988) melaporkan bahwa ketika A. parasiticus atau

A. ochraceus tumbuh bersama sama A. flavus, hal ini tidak mempengaruhi

produksi aflatoksin, tetapi jika A. flavus tumbuh bersama-sama A. niger atau Trichoderma viride Pers., ia tidak akan memproduksi aflatoksin (Wicklow et al., 1980).

6. Kerusakan Mekanik dan Infeksi Serangga

Kerusakan yang terjadi pada saat panen, seperti perlukaan atau memar dapat memudahkan mikroba untuk menginfeksi bahan. Pada kadar air yang cukup tinggi dan terdapat infeksi serangga bersama dengan A.

flavus, nitrogen hasil buangan serangga akan menyediakan sumber

nitrogen dan karbon yang potensial untuk pertumbuhan mikroba (Sinha, 1969). Meskipun demikian, hubungan antara infeksi serangga dan

(28)

12 pertumbuhan mikroba belum bisa diprediksi secara pasti. Ada beberapa serangga yang menghambat pertumbuhan kapang, tetapi ada juga yang meningkatkan pertumbuhan kapang (Dunkel, 1988).

7. Waktu

Umumnya pada hari ke-5 setelah masa inkubasi, terdapat sedikit toksin yang dihasilkan oleh kapang. Produksi toksin mulai banyak ditemukan pada hari ke-7 setelah pertumbuhan A. flavus. Kemudian meningkat pada hari ke-30, namun tidak ditemukan adanya waktu yang menunjukkan produksi toksin berada pada nilai yang tetap (Madhyasta et

al., 1990).

Menurut Dollear (1969) di dalam Goldblatt (1974), aflatoksin murni bersifat tidak larut dalam air dan hidrokarbon petroleum, tetapi larut dalam pelarut polar seperti metanol, etanol, kloroform dan benzena. Saat ini dikenal empat golongan utama aflatoksin, yaitu aflatoksin B1, B2, G1, dan G2.

Penggolongan ini didasarkan pada penampakannya pada sinar UV, yaitu B untuk blue (biru) dan G untuk green (hijau) (Siregar, 1986). Di samping keempat jenis aflatoksin di atas, masih ada beberapa golongan aflatoksin lain seperti M1 dan M2 yang tidak terlalu sering dijumpai. Penggolongan

aflatoksin jenis M didasarkan pada pendeteksian senyawa ini di dalam susu sapi (M untuk milk) (Betina, 1989).

Steyn (1991) dan Miller (1959) menyatakan bahwa aflatoksin B2

merupakan turunan dihidroaflatoksin B1, sedangkan aflatoksin G2 merupakan

turunan dihidroaflatoksin G1. Menurut Goldblatt (1969), aflatoksin M1 adalah

4-hidroksiaflatoksin B1 dan aflatoksin M2 adalah 4-hidroksiaflatoksin B2.

Struktur kimia aflatoksin B1 dan M1 disajikan pada Gambar 3, sedangkan

struktur kimia aflatoksin G1 disajikan pada Gambar 4.

(29)

13 Gambar 4. Struktur Kimia Aflatoksin G1 (Anonim, 2007)

Aflatoksin merupakan senyawa organik beracun yang sering mencemari produk pangan dan pakan. Keberadaannya pada berbagai produk pangan dan pakan tidak hanya menurunkan mutu produk, tetapi juga dapat mengakibatkan kematian pada konsumen. Kontaminasi aflatoksin di negara maju sering terjadi pada masa prapanen, sedangkan di negara berkembang, kontaminasi aflatoksin sering terjadi selama masa penyimpanan (Miller, 1959).

Pengaruh toksik yang ditimbulkan oleh aflatoksin disebut aflaktoksikosis (Goldblatt, 1969). Selain bersifat toksigenik, aflatoksin juga bersifat karsinogenik. Karsinogenisitas aflatoksin pada ternak dan manusia disebabkan oleh pembentukan metabolit 2,2-epoksida yang mampu merusak reseptor sel hati (Heathcothe dan Hibbert 1969). Aflatoksin dapat mengakibatkan radang hati, kelesuan, hepatitis dan kematian (Siregar, 1986). Menurut Pitt dan Hocking (1997), aflatoksin yang paling berbahaya adalah dari jenis B1. Konsentrasi maksimal aflatoksin pada bahan pangan dan akibat

yang ditimbulkan disajikan pada Tabel 3, sedangkan konsentrasi aflatoksin yang diperbolehkan pada berbagai penggunaan disajikan pada Tabel 4.

Tabel 3. Konsentrasi Maksimal Aflatoksin pada Bahan Pangan dan Akibat yang Ditimbulkan

Konsentrasi Aflatoksin (ppb) Efek yang Ditimbulkan 20 Level maksimal cemaran untuk manusia 50 Level maksimal cemaran untuk hewan 100 Pertumbuhan lambat pada usia muda 200-400 Pertumbuhan lambat pada usia tua

>400 Kerusakan hati dan kanker Sumber : www.ipm.iastate.edu

(30)

14 Tabel 4. Konsentrasi Aflatoksin yang Diperbolehkan pada Berbagai

Penggunaan

Penggunaan Konsentrasi

Aflatoksin (ppb) Susu (perusahaan susu) Tidak dideteksi Jagung yang belum pasti pengolahannya <20

Jagung untuk hewan muda <20

Jagung untuk pakan ternak lembu <20 Jagung untuk pakan sapi, babi, dan unggas dewasa <100 Jagung untuk pakan babi sebelum dipotong <200 Jagung untuk pakan lembu sebelum dipotong <300 Sumber : www. pubs.caes.uga.edu

Aflatoksin tidak bisa dihilangkan secara alami dari bahan yang telah terkontaminasi, tetapi ada beberapa bahan yang telah diketahui dapat mengurangi konsentrasi aflatoksin pada produk pertanian, antara lain :

1. Asam

Asam kuat mampu mengubah aflatoksin menjadi bentuk hemiasetal melalui proses hidrolisis. Konversi oleh asam dari aflatoksin B1 dan

aflatoksin G1 menjadi aflatoksin B2 dan aflatoksin G2 juga sekaligus

mengurangi efek toksin yang ditimbulkan. Meskipun efek toksin dari bentuk aflatoksin B2 dan aflatoksin G2 lebih ringan, tetapi bentuk ini lebih

sulit untuk didegradasi lebih lanjut oleh asam. Laju pembentukan aflatoksin B1 menjadi aflatoksin B2 dan aflatoksin G1 menjadi aflatoksin

G2 meningkat apabila terdapat penurunan pH dan peningkatan suhu, tetapi

tidak semua asam mampu mengurangi kontaminasi aflatoksin. Penambahan asam sitrat pada komoditas susu yang mengandung aflatoksin M1, tidak mampu mengurangi konsentrasi aflatoksin. Beberapa jenis asam

yang telah diketahui mampu mengurangi kadar aflatoksin pada suatu komoditas adalah asam klorida, antranilat, benzoat, borat, oksalat dan propionat dengan konsentrasi 5N, asam salisilat, sulfamat, sulfosalisilat pada konsentrasi 3N rata-rata mampu mengurangi kadar aflatoksin sampai 1 ppm pada suhu 25oC, RH 90% dan kadar air bahan 25% dalam waktu 72 jam.

(31)

15 2. Basa

Pengurangan kadar aflatoksin dengan perlakuan basa, dilakukan dengan mengggunakan bahan organik maupun nonorganik. Alkali menyebabkan cincin lakton pada aflatoksin B1 terhidrolisis. Kondisi ini

hanya bersifat sementara karena cincin lakton mampu menutup kembali jika berada dalam kondisi asam, sehingga akan terbentuk kembali aflatoksin B1. Beberapa jenis basa yang sudah diketahui mampu

mengurangi kadar aflatoksin adalah kalsium hidroksida 2%, NaOH 3% dan kombinasi antara kalsium hidroksida 2% yang diikuti dengan metilamin 0,5%. Perlakuan kombinasi antara kalsium hidroksida 2% yang diikuti dengan metilamin 0.5% mampu mereduksi aflatoksin dan menghambat pembentukan kembali menjadi aflatoksin B1.

3. Bisulfit

Bisulfit merupakan bahan kimia yang memiliki daya aktif yang cukup tinggi dan umum digunakan pada beberapa bahan makanan dan sayuran karena mampu menghambat dan mengurangi reaksi enzimatis maupun non enzimatis pada pencoklatan produk pertanian, pertumbuhan sebagian besar jenis mikroba, dan berfungsi sebagai antioksidan. Bisulfit juga diketahui mampu mengurangi kadar aflatoksin. Baik dalam bentuk bisulfit maupun dalam bentuk persenyawaan, misalnya natrium bisulfit. Dalam bentuk natrium bisulfit, reduksi aflatoksin terjadi karena natrium bisulfit bereaksi dengan ikatan 8,9 cincin furan dari aflatoksin, sehingga menyebabkan aflatoksin bersifat larut dalam air. Aflatoksin B1 mampu

tereduksi seluruhnya jika direndam dalam natrium bisulfit 10% selama 72 jam dan diikuti dengan penyaringan, pengeringan, dan inkubasi pada suhu 50oC selama 21 hari. Perlakuan menggunakan bisulfit 1% yang diikuti dengan hidrogen peroksida 0.2% selama 72 jam pada suhu 25oC mampu mereduksi jumlah aflatoksin B1 yang lebih banyak dibandingkan jika

reduksi dilakukan dengan hanya menggunakan bisulfit. 4. Hipoklorit

Hipoklorit yang umum digunakan untuk mengurangi kadar aflatoksin adalah senyawa natrium hipoklorit. Natrium hipoklorit mampu

(32)

16 mengurangi kadar aflatoksin melalui proses oksidasi, yang menyebabkan gugus OH radikal keluar (dilepaskan).

5. Amonium

Beberapa jenis amonium yang telah diketahui mampu mengurangi kadar aflatoksin adalah amonia 2% pada suhu 45oC, selama 60 menit pada tekanan 55 psi., amonium hidroksida 1.5% pada kadar air 20% selama 5 hari juga mampu mengurangi kadar aflatoksin sampai di bawah 20 ppb tanpa pembentukan kembali aflatoksin menjadi bentuk awal (aflatoksin B1).

6. Ozonisasi

Ozonisasi termasuk proses oksidasi. Dengan cara ini, biaya yang dikeluarkan lebih rendah dibandingkan beberapa perlakuan menggunakan bahan kimia yang telah disebutkan di atas. Proses ozonisasi umum dilakukan pada kadar kelembaban 30% dan suhu 100oC selama 2 jam. Pengurangan kadar aflatoksin B1 dengan cara ini, menyebabkan

terbentuknya aflatoksin B2 sebanyak 9%.

Sejauh ini, beberapa alternatif metode untuk mengurangi kadar aflatoksin tergolong mahal dan memerlukan banyak sarana maupun prasarana, sehingga cukup sulit untuk diterapkan dalam skala besar. Cara yang mungkin paling murah dan mudah adalah dengan menyimpan bahan pada kondisi yang mampu untuk menghambat aflatoksin, misalnya dengan mengatur kadar air bahan sampai di bawah batas minimal kadar air yang diperlukan untuk pertumbuhan kapang, mengatur kondisi atmosfer di sekitar bahan yang disimpan, misalnya dengan pengemasan bahan menggunakan bahan kemasan yang sesuai dengan karakter bahan, menjaga sanitasi dan kebersihan tempat penyimpanan produk (Abbas, 2005).

(33)

17 III. METODOLOGI PENELITIAN

A. ALAT DAN BAHAN 1. Alat

Peralatan yang digunakan pada penelitian ini antara lain oven, inkubator, timbangan analitik, shaker, desikator, jarum ose, pemanas api bunsen, cawan petri, cawan porselin, cawan alumunium, labu erlenmeyer, labu ukur, pipet, gelas ukur, tabung reaksi, gelas piala dan peralatan analisis aflatoksin dengan menggunakan metode ELISA.

2. Bahan

Bahan yang digunakan pada penelitian ini antara lain tongkol jagung varietas Bisma, bahan pengemas berupa karung goni, media AFPA (Aspergillus flavus dan Parasiticus Agar) yang terdiri dari pepton, ekstrak khamir, feri amonium sitrat, kloramfenikol, agar-agar bacto, dikloran dan akuades, metanol 80% dan bahan untuk analisis aflatoksin menggunakan metode ELISA yang terdapat di Balai Besar Penelitian Veteriner, Bogor.

B. METODE PENELITIAN

1. Analisis Proksimat dan Penyiapan Bahan Baku

Analisis proksimat dilakukan untuk mengetahui kondisi dan komposisi awal bahan. Analisis proksimat yang dilakukan meliputi kadar air, kadar abu, kadar serat kasar, kadar protein dan kadar lemak. Metode analisis proksimat disajikan pada Lampiran 1. Sementara penyiapan bahan baku dilakukan untuk mengatur kadar air tongkol jagung dengan cara dibasahkan sampai diperoleh kadar air tongkol pada kisaran 11%, 15% dan 19%.

2. Penelitian Utama

Bahan baku berupa tongkol jagung varietas Bisma dengan kadar air 11% (A1), 15% (A2) dan 19% (A3) ditimbang sebanyak 60 gram.

(34)

18 dihamparkan (B1) dan dikemas menggunakan karung goni (B2).

Perlakuan penyimpanan tongkol jagung adalah sebagai berikut :

1. A1B1 : tongkol jagung Bisma kadar air 11% penyimpanan dengan cara

dihamparkan

2. A1B2 : tongkol jagung Bisma kadar air 11% penyimpanan dengan cara

dikemas menggunakan karung goni

3. A2B1 : tongkol jagung Bisma kadar air 15% penyimpanan dengan cara

dihamparkan

4. A2B2 : tongkol jagung Bisma kadar air 15% penyimpanan dengan cara

dikemas menggunakan karung goni

5. A3B1 : tongkol jagung Bisma kadar air 19% penyimpanan dengan cara

dihamparkan

6. A3B2 : tongkol jagung Bisma kadar air 19% penyimpanan dengan cara

dikemas menggunakan karung goni

Seluruh sampel kemudian disimpan di dalam ruangan yang memiliki suhu ruang, yaitu antara 25-27oC. Dokumentasi cara penyimpanan tongkol jagung disajikan pada Lampiran 2. Selanjutnya dilakukan analisis terhadap sampel. Analisis dilakukan pada awal penyimpanan (hari 0) kemudian selanjutnya dilakukan pada hari ke-15 dan 30. Analisis yang dilakukan meliputi analisis kadar air, populasi

A. flavus, dan konsentrasi aflatoksin. Metode analisis hasil penelitian

disajikan pada Lampiran 3. Diagram alir penelitian disajikan pada Gambar 5.

(35)

19 Gambar 5. Diagram Alir Penelitian

C. RANCANGAN PERCOBAAN

Rancangan percobaan yang digunakan pada penelitian ini ada dua macam, yaitu :

1. Rancangan acak lengkap (RAL) dengan dua faktor, yaitu lama penyimpanan (α) dan cara penyimpanan. (β). Masing-masing lama penyimpanan dengan tiga taraf waktu analisis (0 hari, 15 hari dan 30 hari) dan cara penyimpanan dengan dua taraf (dihamparkan dan dikemas menggunakan karung goni). RAL dengan dua faktor digunakan pada analisis data perubahan kadar air tongkol jagung. Rumus matematika untuk RAL dengan dua faktor yaitu :

Yijk = µ + αi + βj + αβij + εijk

Keterangan :

Yijk :

variabel respon percobaan karena pengaruh lama penyimpanan pada

taraf ke-i dan pengaruh cara penyimpanan pada taraf ke-j

kadar air 11% kemasan karung goni kadar air 15% kemasan karung goni kadar air 19% kemasan karung goni kadar air 11% dihamparkan kadar air 15% dihamparkan kadar air 19% dihamparkan Tongkol jagung Analisis proksimat

Penimbangan dari setiap kadar air masing-masing 60 g (2 ulangan) Pengaturan kadar air tongkol jagung menjadi 11, 15 dan 19%

Penyimpanan

Analisis kadar air, populasi Aspergillus flavus dan aflatoksin pada hari ke-0,15 dan 30 Penyimpanan 1 bulan

(36)

20

µ

: rataan umum

αi

: pengaruh lama penyimpanan pada taraf ke-i

β

j : pengaruh cara penyimpanan pada taraf ke-j

αβ

ij : pengaruh interaksi lama penyimpanan pada taraf ke-i dan cara penyimpanan pada taraf ke-j

ε

ijk : pengaruh acak lama penyimpanan pada taraf ke-i dan cara penyimpanan pada taraf ke-j dan pada ulangan ke-k

2. Rancangan acak lengkap (RAL) dengan tiga faktor, yaitu lama penyimpanan (α), cara penyimpanan (β) dan kadar air (γ). Masing-masing lama penyimpanan dengan tiga taraf waktu analisis (0 hari, 15 hari dan 30 hari), cara penyimpanan dengan dua taraf (dihamparkan dan dikemas menggunakan karung goni) dan kadar air dengan tiga taraf (11%, !5% dan 19%). RAL dengan tiga faktor digunakan pada analisis data populasi A.

flavus. Rumus matematika untuk RAL yaitu :

Yijkℓ = µ + αi + βj + γk + αβij + αγik + βγjk + αβγijk + ε

(ijk)

Keterangan :

Y

ijkℓ : variabel respon percobaan karena pengaruh lama penyimpanan pada taraf ke-i, pengaruh cara penyimpanan pada taraf ke-j dan kadar air pada taraf ke-k

µ

: pengaruh rata-rata yang sebenarnya

αi

: pengaruh lama penyimpanan pada taraf ke-i

βj

: pengaruh cara penyimpanan pada taraf ke-j

γ

k : pengaruh kadar air pada taraf ke-k

αβ

ij : pengaruh interaksi lama penyimpanan pada taraf ke-i dan cara penyimpanan pada taraf ke-j

αγ

ik : pengaruh interaksi lama penyimpanan pada taraf ke-i dan kadar air pada taraf ke-k

(37)

21

βγjk

: pengaruh interaksi cara penyimpanan pada taraf ke-j dan kadar air

pada taraf ke-k

αβγijk :

pengaruh interaksi lama penyimpanan pada taraf ke-i, cara penyimpanan pada taraf ke-j dan kadar air pada taraf ke-k

ε

ℓ(ijk) : pengaruh acak lama penyimpanan ke-i, cara penyimpanan ke-j dan kadar air ke-k pada ulangan ke-l

(Sudjana, 1991).

D. WAKTU DAN TEMPAT PENELITIAN

Penelitian dilakukan selama kurang lebih 7 bulan dari bulan Maret sampai September 2008 dan dilaksanakan di Laboratorium Departemen Teknologi Industri Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Balai Besar Veteriner Cimanggu Bogor dan SEAMEO BIOTROP Tajur Bogor.

(38)

22 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. ANALISIS PROKSIMAT

Analisis proksimat tongkol jagung dilakukan untuk mengetahui kondisi dan komposisi kimia awal bahan. Analisis yang dilakukan meliputi kadar air, kadar abu, kadar protein, kadar lemak, kadar serat kasar dan karbohidrat (by different). Hasil analisis proksimat disajikan pada Tabel 5.

Tabel 5. Hasil Analisis Proksimat Tongkol Jagung Analisis Ulangan 1 Ulangan 2 Nilai

Kadar Air 11.84 11.76 11.80±0.06

Kadar Abu (% bk) 1.66 1.52 1.59±0.10 Kadar Protein (% bk) 1.57 1.67 1.62±0.07 Kadar Lemak (% bk) 1.11 1.17 1.14±0.04 Karbohidrat by diff. (% bk)

• Kadar Serat Kasar (% bk) • Lain-lain (% bk) 95.66 34.08 65.92 95.64 33.96 66.04 95.65±0.01 34.02±0.09 65.98±0.09

Analisis kadar air dilakukan untuk mengetahui kandungan awal air pada bahan. Kadar air merupakan salah satu faktor yang paling mempengaruhi daya simpan bahan selama menunggu untuk dilakukan proses pengolahan. Pengukuran kadar air awal ini juga bertujuan untuk mengetahui perlakuan yang akan dilakukan selanjutnya pada tahap penyiapan bahan baku, apakah perlu dilakukan pengeringan atau pembasahan.

Dari hasil analisis, dapat dilihat bahwa tongkol jagung varietas Bisma memiliki kadar air sebesar 11.80±0.06%. Hal ini menunjukkan bahwa tongkol jagung cenderung memiliki kadar air yang rendah, sehingga akan lebih tahan saat disimpan dalam jangka waktu yang cukup lama. Ketahanan pada kadar air rendah ini terutama terhadap cemaran mikroba (kapang, bakteri, dan khamir). Menurut Cuero et al. (1988), pada suhu antara 25-27oC dan aw antara 0.90-0.98 mikroba mampu tumbuh pada bahan dengan kadar air

13-18%.

Kadar abu menunjukkan besarnya kandungan bahan anorganik dan unsur mineral dalam suatu bahan. Berdasarkan hasil analisis, tongkol jagung Bisma memiliki kadar abu sebesar 1.59±0.10%. Kadar abu yang terkandung

(39)

23 pada bahan dipengaruhi oleh kandungan tanah tempat penanaman jagung, sehingga unsur mineral yang diserap oleh tanaman akan mempengaruhi banyaknya kadar abu yang terukur pada analisis. Selain dari kandungan tanah, kadar abu juga bisa dipengaruhi oleh jenis pupuk yang digunakan.

Analisis terhadap kadar lemak menunjukkan bahwa tongkol jagung varietas Bisma memiliki kadar lemak sebesar 1.14±0.04%. Lemak merupakan zat ekstraktif yang larut dalam pelarut organik seperti eter, aseton, dan lain-lain (Fengel dan Wegener, 1995). Lemak terdiri dari unsur C, H dan O yang mempunyai sifat tidak larut dalam air, tetapi larut dalam bahan organik misalnya eter, petroleum eter, spiritus, heksan, dan kloroform. Lemak bukan merupakan sumber energi utama, tetapi dapat dimanfaatkan oleh mikroba sebagai sumber energi cadangan. Apabila dibandingkan dengan protein dan karbohidrat, lemak lebih banyak mengandung unsur C dan H, tetapi kandungan unsur oksigennya rendah. Perbedaan lemak dan karbohidrat terutama terletak pada tingginya kandungan C dan H dibandingkan dengan oksigen dalam molekulnya, sehingga nilai energi lemak lebih tinggi dibandingkan dengan karbohidrat, karena pada lemak Iebih banyak unsur C dan H yang dapat dibakar menjadi CO2 dan H2O (Darmasih, 1997).

Protein merupakan salah satu komponen yang dianalisis dalam penelitian ini karena protein dapat dimanfaatkan sebagai sumber nitrogen bagi pertumbuhan mikroba yang mungkin mengkontaminasi tongkol jagung, baik pada saat masih ditanam maupun setelah dipanen. Menurut Abbas (2005), keberadaan protein sebagai sumber nitrogen dapat menjadi faktor yang cukup mempengaruhi biosintesis aflatoksin. Beberapa jenis asam amino yang dapat mendukung pembentukan aflatoksin diantaranya adalah glutamat, aspartat, asparagin, alanin, metionin, histidin, dan prolin. Dari hasil analisis diketahui bahwa tongkol jagung varietas Bisma memiliki kadar protein sebesar 1.62±0.07%.

Analisis serat kasar dilakukan untuk mengetahui kandungan serat pada bahan. Dari hasil analisis, diketahui bahwa kadar serat tongkol jagung adalah sebesar 34.02±0.09%. Serat pada tongkol jagung terdiri dari selulosa. hemiselulosa dan lignin. Selulosa dan hemiselulosa merupakan golongan

(40)

24 karbohidrat dan merupakan golongan gula, sehingga bisa dimanfaatkan sebagai sumber karbon (C) oleh A. flavus untuk tumbuh dan berkembang biak meskipun tidak umum digunakan sebagai bahan untuk mendukung pertumbuhan mikroba secara komersial, karena serat tersebut sulit dan hampir tidak bisa dicerna oleh enzim pencernaan (Anonim, 2008).

Analisis karbohidrat (by different) menunjukkan bahwa tongkol jagung varietas Bisma memiliki kandungan karbohidrat sebesar 95.65±0.01%. Kandungan karbohidrat yang cukup tinggi ini menunjukkan bahwa tongkol jagung memiliki peluang yang cukup besar sebagai sumber karbon (C) bagi pertumbuhan mikroba. Ketersediaan sumber karbon yang cukup ini juga akan menunjang pembentukan aflatoksin, karena karbohidrat dapat dengan mudah dipecah menjadi bentuk yang lebih sederhana yaitu berupa gula sederhana dibandingkan dengan serat atau lemak. Mateles dan Adye (1965) melaporkan bahwa ada 17 jenis karbon yang digunakan oleh A.

flavus untuk memproduksi aflatoksin yang diantaranya bisa diperoleh dari

sukrosa, fruktosa, glukosa, xilosa, ribosa dan gliserol.

B. ANALISIS PERUBAHAN KADAR AIR

Analisis terhadap perubahan kadar air bahan dilakukan untuk mengetahui kecenderungan penurunan atau peningkatan kadar air tongkol jagung selama masa penyimpanan 30 hari pada suhu ruang (25-27oC). selain itu juga untuk mengetahui besarnya nilai dan persentase perubahan kadar air tongkol jagung selama masa penyimpanan. Perubahan kadar air ini juga berhubungan dengan pertumbuhan A. flavus dan mikroba lainnya. Semakin tinggi kadar air pada bahan maka akan semakin banyak A. flavus dan mikroba lain yang dapat mengkontaminasi bahan, sehingga bahan akan mudah mengalami kerusakan. Perubahan kadar air tongkol jagung varietas Bisma selama penyimpanan disajikan pada Tabel 6 dan Gambar 6. Data hasil analisis perubahan kadar air tongkol jagung selama penyimpanan 30 hari secara lengkap disajikan pada Lampiran 4.

(41)

25 Tabel 6. Perubahan Kadar Air Tongkol Jagung Selama Penyimpanan No Kadar

Air Awal (%)

Cara Penyimpanan Perubahan Kadar Air Selama Penyimpanan

Persen Penurunan 0 hari 15 hari 30 hari

1. 11 Dihamparkan 11.37 10.90 10.38 8.71 2. 11 Dikemas Karung goni 11.37 10.95 10.82 4.84 3. 15 Dihamparkan 15.32 13.81 13.28 13.32 4. 15 Dikemas Karung goni 15.32 14.53 14.17 7.51 5. 19 Dihamparkan 19.14 17.78 15.78 17.55 6. 19 Dikemas Karung goni 19.14 18.82 17.30 9.61

Hasil analisis ragam (ANOVA) pada tingkat kepercayaan 95% (α = 0.05) terhadap kadar air awal tongkol jagung 11% menunjukkan bahwa lama penyimpanan, cara penyimpanan dan interaksi antara keduanya berpengaruh nyata terhadap perubahan kadar air tongkol jagung selama penyimpanan. Data hasil penelitian, analisis ragam dan uji lanjut Duncan terhadap perubahan kadar air tongkol jagung pada tingkat kadar air awal 11% disajikan pada Lampiran 5.

Uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa semua taraf lama penyimpanan (0 hari, 15 hari dan 30 hari) berbeda nyata terhadap perubahan kadar air tongkol jagung selama penyimpanan. Sementara interaksi antara lama penyimpanan dan cara penyimpanan tongkol jagung yang berpengaruh nyata hanya pada lama penyimpanan 30 hari dan penyimpanan dengan cara dihamparkan. Cara penyimpanan yang memberikan penurunan kadar air paling besar adalah penyimpanan dengan cara dihamparkan.

Berdasarkan hasil analisis terhadap perubahan kadar air tongkol jagung dapat diketahui bahwa pada seluruh perlakuan kadar air dan cara penyimpanan, tongkol jagung cenderung mengalami penurunan kadar air selama penyimpanan dalam jangka waktu 30 hari. Kadar air awal tongkol jagung yang disimpan dengan cara dihamparkan adalah 11.37% dan mengalami penurunan menjadi 10.90% pada penyimpanan selama 15 hari kemudian turun menjadi 10.38% setelah disimpan selama 30 hari dengan penurunan kadar air sebesar 8.71%. Sedangkan pada tongkol jagung yang disimpan dengan cara dikemas menggunakan karung goni, kadar air tongkol jagung turun dari 11.37% pada awal penyimpanan menjadi 10.95% setelah

(42)

26 disimpan selama 15 hari kemudian turun menjadi 10.82% setelah penyimpanan selama 30 hari dengan persentase penurunan kadar air sebesar 4.84%.

Tongkol jagung yang telah disimpan selama 30 hari, menunjukkan bahwa pada tingkat kadar air awal sebesar 11%, penyimpanan dengan cara dihamparkan memberikan nilai penurunan kadar air yang lebih tinggi dibandingkan tongkol jagung yang disimpan dengan cara dikemas menggunakan karung goni. Hal ini disebabkan karena pada penyimpanan dengan cara dihamparkan, kecepatan penguapan kandungan air pada tongkol jagung berlangsung lebih cepat. Kondisi terbuka yang langsung berhubungan dengan udara luar mengakibatkan uap air yang dilepaskan oleh tongkol jagung langsung terbawa oleh udara luar.

Hasil analisis ragam (ANOVA) pada tingkat kepercayaan 95% (α = 0.05) terhadap kadar air awal tongkol jagung 15% menunjukkan bahwa lama penyimpanan, cara penyimpanan dan interaksi antara keduanya berpengaruh nyata terhadap perubahan kadar air tongkol jagung selama penyimpanan. Data hasil penelitian, analisis ragam dan uji lanjut Duncan terhadap perubahan kadar air tongkol jagung pada tingkat kadar air awal 15% disajikan pada Lampiran 6.

Uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa semua taraf lama penyimpanan (0 hari, 15 hari dan 30 hari) berbeda nyata terhadap perubahan kadar air tongkol jagung selama penyimpanan. Sementara interaksi antara lama penyimpanan dan cara penyimpanan tongkol jagung yang berpengaruh nyata adalah pada lama penyimpanan 20 hari penyimpanan dengan cara dihamparkan, lama penyimpanan 20 hari penyimpanan dengan cara dikemas menggunakan karung goni, lama penyimpanan 30 hari penyimpanan dengan cara dihamparkan dan lama penyimpanan 30 hari penyimpanan dengan cara dikemas menggunakan karung goni. Cara penyimpanan yang memberikan penurunan kadar air paling besar adalah penyimpanan dengan cara dihamparkan.

Penyimpanan tongkol jagung pada kadar air awal 15%, menunjukkan bahwa penurunan kadar air tongkol jagung pada penyimpanan dengan cara

Gambar

Tabel 1. Karakteristik Varietas Jagung Komposit Unggul  Varietas  Hasil  Rata-rata  (ton/ha)  Potensi Hasil  (ton/ha)  Umur  Panen (hari)  Keunggulan Spesifik
Gambar 2. Tongkol Jagung
Tabel 3.  Konsentrasi  Maksimal  Aflatoksin  pada  Bahan  Pangan  dan  Akibat  yang Ditimbulkan
Tabel 5. Hasil Analisis Proksimat Tongkol Jagung  Analisis  Ulangan 1  Ulangan 2  Nilai
+4

Referensi

Dokumen terkait

Dari hasil penelitian di lapangan, data pengamatan di analisis dengan uji jarak berganda Duncan pada jenjang nyata 5% menunjukan bahwa penggunaaan macam varietas

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, diperoleh kesim- pulan bahwa disposisi berpikir kritis matematis siswa yang dominan muncul pada saat pembelajaran matematika

PEMANFAATAN SENSOR HCSR-04 SEBAGAI ALAT UKUR DAN PERINGATAN DINI BAGI PENGEMUDI KENDARAAN DI LENGKAPI DISPLAY DAN BUZZER. BERBASIS SISTEM ANDROID

Di dalam pembangunan bendungan, diperlukan analisa stabilitas tubuh bendungan terhadap berbagai kondisi agar bendungan yang direncanakan aman dan sesuai dengan usia guna

Program bantuan bidikmisi disusun untuk memberikan kesempatan dan harapan kepada masyarakat yang kurang mampu dan memiliki keterbatasan ekonomi dan mempunyai kemampuan

Tugas Akhir berjudul “DESAIN DAN PRODUKSI FIBRE PLASTIC COMPOSITE (FPC) DARI SERAT SABUT KELAPA DAN PLASTIK HDPE MENGGUNAKAN MESIN PLASTIC INJECTION” telah disetujui

Penelitian beton bertulang bambu dilakukan dengan pengujian kuat tekan dengan variasi susunan anyaman tulangan bambu untuk mengetahui kekakuan, kuat lentur dan

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan karunia dan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi dengan judul