• Tidak ada hasil yang ditemukan

Diurnal raptor (burung pemangsa) di Indonesia; Status dan konservasi 1

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Diurnal raptor (burung pemangsa) di Indonesia; Status dan konservasi 1"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

Diurnal raptor (burung pemangsa) di Indonesia;

Status dan konservasi

1

ADAMA. SUPRIATNA

Anggota ARRCN Asian Raptor dan Conservation Network (ARRCN) dan Jaringan Penelitian & Konservasi Raptor Indonesia (RAIN)

Raptor (burung pemangsa)

Burung mungkin merupakan satwa liar yang sering mendekati manusia. Burung adalah salah satu mahluk ciptaan Tuhan yang memiliki kemampuan terbang mengagumkan. Para ilmuwan

menggolongkan burung sebagai satwa berdarah panas dan merupakan vertebrata (hewan bertulang belakang) yang memiliki bulu, paruh kuat yang menggantikan fungsi gigi dan tubuh bagian depan (tangan) mereka yang teradaptasi khusus untuk sayap. Dalam pengertian dasar dan sederhana, menurut Oxford Advanced Learner’s Dictionary (Hornby 1989), burung adalah “binatang berbulu yang memiliki dua sayap dan dua kaki dan biasanya dapat terbang”).

Ada sekitar 9.052 jenis burung mendiami beragam habitat di muka bumi, dari pegunungan, sungai-sungai dan danau/tepi pantai sampai padang pasir dan tempat-tempat bersalju. Jenisnya pun beragam, misalnya ada burung air, burung daratan/pegunungan dan burung pemangsa; secara teori, tingginya keragaman burung ini mencerminkan tingginya keragaman hayati secara keseluruhan. Indonesia sendiri didiami oleh sekitar 1.539 jenis atau 17% dari total populasi burung yang ada dimuka bumi. Dari jumlah itu ada banyak jenis yang hanya ada di Indonesia dan tidak terdapat dimanapun secara alami di muka bumi ini (jenis yang endemik), jumlahnya sekitar 381 jenis (4%) (Sujatnika et al., 1995) dan merupakan yang tertinggi di dunia. Penelitian yang telah dilakukan menunjukan bahwa keragaman yang tinggi pada jenis burung mencerminkan tingginya keragaman hayati hidupan liar lainnya (McNeely et al. 1988; ICBP, 1992) sehingga dengan fakta ini Indonesia dikenal sebagai “hot-spot” atau kawasan prioritas untuk pelestarian keragaman hayati dunia. Lebih spesifik keberadaan kelompok raptor di Indonesia mencerminkan kondisi ini.

Dalam makalah ini tidak akan dibahas seluruh kelompok burung tapi hanya akan

menghadirkan satu kelompok saja, yaitu burung raptor atau burung pemangsa diurnal. Status dan konservasi raptor di Indonesia akan menjadi fokus penyajian dalam makalah ini.

Sekilas tentang raptor

Di Indonesia secara umum orang menyebut kelompok burung ini dengan ‘elang’ padahal elang hanyalah satu kelompok raptor saja. Nama “elang” dalam bahasa Inggris hanya merujuk kepada “eagles” padahal ada kelompok lain selain eagles, yaitu hawks, falcons, vultures, dan owls. Oleh sebab itu, istilah raptor selanjutnya digunakan oleh para ahli burung sebagai istilah untuk memayungi semua kelompok burung pemangsa tadi. Owls (jenis-jenis burung hantu) adalah nokturnal (aktif malam hari) dan kelompok lain umumnya diurnal (aktif siang hari).

Hampir semua jenis raptor adalah pemakan daging (carnivorous), namun tidak semua burung pemakan daging adalah raptor. Ada beberapa kelompok burung lain yang juga memangsa binatang lain dan bukan jenis raptor. Oleh sebab itu, ciri-ciri anatomis adalah perbedaan yang yang paling nyata dan tepat untuk mendefinisikan kelompok raptor ini daripada melihat proses pemangsaan dan mangsa yang dimakannya.

(2)

Klasifikasi ilmiah dan kekayaan jenis raptor Indonesia

Klasifikasi morfologis mengelompokkan semua diurnal raptor dalam ordo Falconiformers dan dalam ordo ini ada lima kelompok besar (family), yaitu Cathartidae (New World Vultures), Accipitridae, Sagittariidae, Falconidae. Tapi nampaknya kesamaan-kesamaan dalam penampakkan fisik (morfologi) tidak selalu menunjukkan kekerabatan yang dekat, dan pada perkembangan paling mutakhir para ahli mendalami metoda dan proses yang dikenal dengan DNA-DNA

hybridization untuk menganalisa tingkat kekerabatan antar spesies. Pendekatan genetik ini telah

menggoyang kemapanan pengelompokkan tradisional berdasarkan morfologi yang kita gunakan selama ini, dan perubahan paling radikal jika menggunakan pendekatan ini pada kelompok raptor adalah pengeluaran kelompok New World Vultures dan mengubah statusnya dari raptor menjadi stork. Tapi kelompok burung ini tidak terdapat di Indonesia jadi perubahan itu tidak terlalu berpengaruh meskipun Indonesia masih menggunakan cara pengelompokan tradisional (Sukmantoro 2007) yang dimodifikasi dengan perubahan-perubahan mutakhir.

Dengan pendekatan yang digunakan Indonesia seperti dalam Daftar Burung Indonesia (DBI, 2007) Indonesia memiliki 70 jenis diurnal raptor (lihat lampiran 1). Jumlah ini lebih sedikit dibanding, misalnya Ferguson-Less and Christie (FLC) dalam Raptors of the World (2005) yang menyebutkan Indonesia memiliki sekitar 76 jenis diurnal raptor. Jumlah yang lebih banyak itu karena FLC memasukan 5 anak jenis dalam genus Spilornis (DBI menganggap sebagai anak jenis) sebagai jenis tersendiri. Jenis-jenis itu adalah Spilornis abbotti, Spilornis asturinus, Spilornis sipora,

Spilornis natunensis, dan Spilornis baweanus, satu anak jenis dari genus Spizaetus yaitu Spizaetus vanheurni juga didaftar sebagai jenis tersendiri. Terlepas dari perbedaan jumlah jenis, yang lebih

penting adalah Indonesia memang sangat kaya dengan jenis raptor dan bahkan memiliki jenis raptor endemik terbanyak di dunia, yaitu16 jenis (Bildstein dkk. 1998). Penulis yakin jumlah ini bertambah mengingat beberapa anak jenis akhir-akhir ini sudah ditetapkan sebagai jenis tersendiri misalnya Spizaetus floris.

Ciri anatomis

Kata ‘raptor’ secara khusus bisa bermakna “pemburu binatang lain yang ganas” sehingga kata itu menjadi nama identitas kelompok burung ini. Secara definisi raptor adalah burung yang memiliki cakar yang kuat dan tajam yang digunakan untuk menangkap, mengoyak dan membunuh

mangsanya dan paruh yang melengkung dan berkait tajam untuk menghancurkan

mangsa/makanannya. Kata raptor berasal dari bahasa Latin: raptare yang artinya “mencengkram dan membawa pergi”. Secara anatomis raptor adalah burung yang memiliki ciri-ciri khas yang membedakan mereka dari kelompok burung lainnya, yaitu (1) kaki yang kuat dengan cakar yang juga kuat dan sangat tajam, (2) paruh yang kuat, tajam dan bagian atasnya melengkung, (3) mata yang tajam. Pada burung hantu juga dilengkapi dengan indera pendengaran yang tajam”

Ekologi

Raptor adalah top predator sehingga posisinya ini strategis sebagai penyeimbang dan pengontrol populasi mangsa dibawahnya. Sebagai top predator dalam ekosistem raptor memiliki ciri berikut: kepadatan rendah dan populasi yang kecil, sangat sensitif terhadap kontaminasi polutan kimia, dan sangat sensitif terhadap perubahan lingkungan. Jadi hilangnya jenis raptor merupakan indikasi terganggunya keseimbangan ekologis. Fenomena seperti melimpahnya populasi jenis tikus tertentu sehingga menjadi hama merupakan contoh hilangnya raptor sebagai pemangsa dan pengontrol.

(3)

Dimorfisme seksual menyangkut ukuran tubuh dimana secara umum ukuran tubuh individu jantan pada burung biasanya lebih besar dibanding betina, tapi fenomena ini terjadi sebaliknya pada raptor dimana ukuran tubuh jantan lebih kecil.

Status dan Konservasi

Menyadari betapa pentingnya keberadaan suatu jenis raptor secara ekologis maka sangat penting dan krusial mengetahui status keterancaman dan upaya konservasinya agar keberadaan jenis ini terselamatkan dari kepunahan. Mengikuti DBI, Indonesia tercatat memiliki 70 jenis raptor (Sukmantoro 2007). Jenis-jenis itu ada yang penetap, endemik, dan bermigrasi. Keberadaan jenis raptor di Indonesia. Status keterancaman mengikuti kriteria IUCN (2006) yang sudah diterima dan umum digunakan oleh berbagai negara. Secara umum IUCN membagi status keterancaman suatu jenis dengan menerapkan kriteria berikut:

Extinct (Punah): jika diketahui dengan meyakinkan bahwa individu terakhir sudah mati, misalnya

jenis Caracara lutosus. Sejauh ini di Indonesia tidak terdapat jenis yang masuk kategori ini.

Extinct in wild (Punah di alam): Suatu jenis hanya diketahui masih ada di captivity. Indonesia tidak

memiliki jenis yang sudah punah di alam.

Critically endangered (Kritis): Jenis yang memiliki peluang punah paling besar, populasi yang tersisa

di alam mungkin kurang dari 10 living individuals. Dalam kategori ini Indonesia memiliki dua jenis raptor endemik yang sekaligus Kritis, yaitu Elang Flores Spizaetus floris dan Elang Ular Bawean Spilornis baweanus. Birdlife International tidak memasukan S. baweanus sebagai jenis yang masuk kategori Kritis karena masih memasukan jenis ini sebagai anak jenis salam genus Spilornis. Kemungkinan jenis raptor yang endemik pulau-pulau kecil perlu dikaji karena kemungkinan masuk dalam daftar ini.

Endangered (Genting): Jenis yang menghadapi resiko kepunahan tinggi dalam waktu dekat jika

tidak ada upaya pelestarian dari manusia. Indonesia memiliki satu jenis yaitu Elang Jawa Spizaetus

bartelsi.

Vulnerable (Rentan): Jenis dalam kategori ini menghadapi resiko kepunahan pada tingkat

menengah jika melihat kecenderungan penurunan populasi aktual dan ancaman pelestarian lainnya yang berlangsung. Dalam kategori ini Indonesia memiliki Rajawali Papua Harpyopsis

novaeguineae (Rentan), Rajawali Totol Aquila clanga (Rentan) dan Elang Wallace Spizaetus nanus

yang rentan terhadap kepunahan jika tidak ada upaya konservasi yang nyata. Red Data Book (BirdLife International, 2003) juga memasukan Spilornis kinabaluensis sebagai jenis yang Rentan.

Near Threatened: Jenis yang tidak sedang dalam ancaman kepunahan pada saat ini namun

membutuhkan pengelolaan yang serius untuk mempertahankan suatu populasi yang sehat jadi ini tergantung pada upaya konservasi (Conservation Dependent). Indonesia memiliki Rajawali Kuskus Aquila gurneyi, Elangikan Kecil Ichthyophaga humilis, dan Elangikan Kepala-kelabu

Ichthyophaga ichthyaetus Yang masuk katergori ini.

Lower risk (Resiko rendah): Jenis yang mengadapi resiko kepunahan yang rendah, namu beberapa

sub populasi menghadapi ancaman kepunahan local. Indonesia memiliki banyak jenis yang masuk kategori Resiko rendah, yaitu Shikra Accipiter badius, Elangalap Maluku Accipiter erythrauchen, Elangalap Coklat Accipiter fasciatus, Elangalap Nipon Accipiter gularis, Elangalap Halmahera Accipiter henicogrammus, Elangalap Kelabu,Elangalap Dada-merah Accipiter rhodogaster, Elangalap Cina Accipiter soloensis, Elangalap Ekor-totol Accipiter trinotatus, Elangalap Jambul

(4)

Accipiter trivirgatus, Elangalap Besra Accipiter virgatus, Rajawali Ekor-baji Aquila audax, Baza Jerdon Aviceda jerdoni, Baza Hitam Aviceda leuphotes, Baza Pasifik, Elang Kelabu Butastur indicus, Elang

Sayap-coklat Butastur liventer, Elang Buteo Buteo buteo, Elangular Jari-pendek Circaetus gallicus, Elangrawa Katak Circus aeruginosus, Elangrawa Coklat Circus approximans, Elangrawa Tutul Circus

assimilis, Elangrawa Tangling Circus melanoleucus, Elangrawa Timur Circus spilonotus, Elang Tikus Elanus caeruleus, Alapalap Sapi Falco moluccensis, Alapalap Kawah Falco peregrinus, Alapalap Macan Falco severus, Alapalap Walet Falco subbuteo, Alapalap Erasia Falco tinnunculus,Elanglaut Perut-putih Haliaeetus leucogaster, Elang Bondol Haliastur indus, Elang Ekor-panjang Henicopernis longicauda,

Elang Hitam Ictinaetus mailayensis, Elang kelelawar Alapalap Capung, Microhierax fringillarius, Elang Paria Milvus migrans, Elang Gunung, Nisaetus alboniger, Elang Brontok, Nisaetus cirrhatus, Elang Sulawesi Nisaetus lanceolatus, Elang Tiram Pandion haliaetus, Sikepmadu Asia Pernis

ptilorhynchus, Elang Ular Spilornis cheela, dan Elangular Sulawesi Spilornis rufipectus. Data deficient: Jenis yang memilki data dan informasi yang sangat kurang sehingga sulit

menentukan status dan upaya konservasinya, kemungkinan statusnya Bergantung pada aksi konservasi atau bahkan Rentan jika dilakukan studi lebih jauh. Di Indonesia ada tujuh jenis yang masuk kategori ini, yaitu: Accipiter nanus, Accipiter griseiceps, Accipiter meyerianus, Spilornis abbotti,

Spilornis asturinus, Spilornis natunensis, dan Spilornis sipora Upaya konservasi

Di Indonesia semua jenis burung pemangsa diurnal (Accipitridae) dilindungi undang-undang nasional. Berikut adalah beberapa perangkat undang-undang nasional dan konvensi Internasional yang berkaitan dengan perlindungan burung pemangsa (raptor), yaitu:

1. Surat Keputusan No. 421/Kpts./Um/8/8/1970, 2. Undang-undang RI No. 5 tahun 1990 Pasal 2 Ayat 2, 3. Keppres No. 4 tahun 1993 mengenai Flora dan Fauna dan

4. Konvensi Perdagangan Internasional Spesies Flora dan Fauna Terancam atau Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITES)

5. CMS (untuk jenis raptor bermigrasi)

Ada tiga kategori ancaman yang paling menekan kepada raptor yang disebabkan disebabkan oleh ulah manusia, yaitu:

1. Hilangnya habitat,

2. Pencemaran lingkungan termasuk pestisida dan bahan kimia berbahaya lainnya, dan 3. Perlakuan langsung, seperti perburuan, koleksi telur, penangkapan dll.

a. Habitat loss

Habitat loss takes several forms, habitat degradation and habitat fragmentation. Degradation is outright loss of areas used by wild species; for example, from vegetation removal and erosion, which deprive native species of food, shelter, and breeding areas. Degradation is also about quantity of a habitat; whereas, fragmentation is when native species are squeezed onto small patches of undisturbed land surrounded by areas cleared for agriculture and other purposes. Fragmentation remains the greatest overall threats to raptors particularly in the tropics, and more than two-thirds of all threatened and near- threatened tropical raptors are forest-dependent species which require enermous tracts of contiguous forest for their survival (Bildstein1998; Thiollay 1989).

(5)

b. Environmental contaminants

In general, much of the threat from environmental contaminants stems from the systematic misuse of agriculture pesticides, which impacts raptors indirectly when birds of prey feed on poisoned pests and other organism - they come up through the food chain from their prey species. Being at the top of their niche in the food chain, raptors are very susceptible to attacks on the lower food chain (see Figure 1). The organochloride pesticides e.g. DDT and other agricultural chemicals have two main effects to raptors, directly they cause a reduced life expectancy of the birds. Secondly, and more importantly, they also cause thinness in shells of the eggs, resulting in breakages during incubation, as the eggs cannot support the weight of the parent.

c. Direct Assault

The followings are some of the major threats that are specific to raptors (the list could be much bigger if it included all environmental threats that have immediate impact or work their way through the food chain).

Egg Collecting: There is still a significant problem due to illegal egg collection. It seems that in the egg collecting community, the rarer a species is, the more important it is to collect the eggs. Just so we have an historical record of what the egg looked like before the bird became extinct (or maybe it is just because they're worth more money).

Poisoning: The use of poisons by stock farmers to kill `problem animals' such as black-backed

jackals, caracals, cheetahs or leopards is causing serious declines in scavenging animals. Raptors are often mistakenly seen as a threat to live stock (Red Kites eat a lot of carrion, often giving the impression that they killed the farmers lambs), because of this, farmers will often place poisoned food out to kill the birds or simply shoot them. Scavenging raptors that have been affected by this practice include whiteheaded, lappetfaced and Egyptian vultures, and the bateleur. A raptor's position at the end of the food chain makes it particularly more vulnerable to receiving a large dose. Thus raptors that eat poisoned prey may die, or become unable to breed.

Owls may be paralysed or killed after eating rodents poisoned by certain rodenticides. Poisoned rats and mice, whether dead or moving slowly as a result of being poisoned, are easier for owls to catch. Thus owls will eat more of these, and accumulate a large dose of poison.

Shooting: Many people enjoy hunting and shooting raptors for sport, often justified by the belief that these birds kill livestock. In fact, very few birds of prey are large enough to injure an animal as large as a lamb, let alone kill it. Most often the stock is killed by some other cause and a raptor may fly in to eat the carrion. There are very few eye-witness accounts of raptors killing domestic stock. When this does occur, it is often a result of unnatural destruction of the local food source, thus forcing the bird to look

elsewhere.

Figure 1. DDT concentration

increases in raptor ( Image

courtesy of U.S. Fish and Wildlife Service).

(6)

Trapping: Like shooting, a trap is often used to catch or kill raptors because they are believed to have killed livestock. Pole-trapping - placing a leg-hold trap on a high post, where raptors are likely to perch - is a simple way to kill raptors, and one that is still used in some regions despite its illegality.

Hunting: It includes capturing raptor from its natural habitat for either illegally traded or put in cage. Falcons are particularly vulnerable to this practice as they are much sought after when they are trained for falconry. In Indonesia for instance, Javan Hawk-eagle Spizaetus bartelsi is decreasing because they are illegally traded as well as habitat loss. Not only Javan Hawk-eagle but also other species like Black Eagle (Ictinaetus malayensis), Changeable Hawk-eagle (Spizaetus cirrhatus) , Crested Serpent-eagle (Spilornis cheela), dan beberapa jenis Accipiter marak diperdagangkan.

Gambar

Figure 1. DDT concentration increases in raptor ( Image

Referensi

Dokumen terkait

Dimana tujuannya yaitu melihat penerapan pemungutan pajak air tanah, perbandingan pendapatan pajak air tanah periode 2014-2016, serta pengaruh pajak air tanah tersebut

Sementara itu dari keseluruhan variable operasi yang dijalankan (yaitu konsentrasi feed, voltage kuat arus dan waktu operasi), dari hasil penelitian menunjukan bahwa hasil

Berdasarkan hasil analisis data dan temuan yang diperoleh dalam penelitian dapat disimpulkan bahwa terdapat pengaruh metode SAS terhadap kemampuan membaca

Pembuatan Aplikasi ini selain untuk membantu mempermudah petugas dalam menyampaikan informasi, juga mampu menyampaikan informasi mengenai pariwisata di kota Medan

Dengan penggunaan alat ukur tegangan dan arus induksi dapat diberikan suatu persamaan empiris yang dapat digunakan untuk menghitung kuat medan listrik dan

Yang dimaksud dengan Bank Campuran dalam ketentuan ini adalah Bank yang didirikan dan dimiliki oleh bank yang berkedudukan di luar negeri dan Bank di Indonesia, yang telah

Mencermati tingginya peningkatan pinjaman untuk keperluan investasi serta juga didukung kontribusi investasi yang cukup besar terhadap perekonomian Kabupaten Kubu Raya yaitu 37,8

Packed Red Cell mungkin dapat meningkatkan pasokan hemin sebagai unsur yang diperlukan H.influenza dalam pertumbuhannya.. banyak eritrosit yang ditambahkan, semakin