• Tidak ada hasil yang ditemukan

5 UMPAN 5.1 Pendahuluan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "5 UMPAN 5.1 Pendahuluan"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

5 UMPAN

5.1 Pendahuluan

Umpan merupakan salah satu faktor yang sangat besar pengaruhnya pada keberhasilan dalam usaha penangkapan, baik masalah jenis umpan, sifat, dan cara pemasangannya (Sadhori 1985). Lebih lanjut dijelaskan pula bahwa umpan merupakan salah satu bentuk rangsangan (stimulus) yang bersifat fisika dan kimia yang dapat memberikan respons bagi ikan-ikan tertentu pada proses penangkapan ikan. Berdasarkan sifat fisika, umpan merupakan bentuk perangsang yang dapat dideteksi oleh organ penglihatan ikan, sedangkan berdasarkan sifat kimia jika umpan sebagai bentuk perangsang untuk dapat dideteksi oleh organ penciuman ikan.

Umpan dapat dibedakan berdasarkan kondisinya sebagai umpan hidup (live bait) dan umpan mati (dead bait), sedangkan berdasarkan asalnya dibedakan sebagai umpan alami dan umpan buatan. Umpan alami (natural bait) adalah jenis umpan murni yang berasal dari alam yang dalam penggunaannya umpan tersebut dapat dalam bentuk utuh atau dipotong-potong. Hal yang harus diperhatikan pada penggunaan umpan mati adalah bahwa semua umpan mati harus dalam keadaan segar tidak boleh basi (Wiryawan 1993). Penggunaan kesegaran umpan mati sangat mempengaruhi kandungan protein yang di dalamnya terdapat asam amino yang bertanggung jawab sebagai atraktor aroma. Semakin lama perendaman umpan akan menurunkan kemampuan umpan sebagai atraktor aroma.

Umpan buatan (artificial bait) adalah umpan yang dibuat dari berbagai macam bahan makanan ikan dalam bentuk pelet. Tujuan pembuatan umpan buatan (artificial bait) dalam penangkapan ikan dengan bubu ini adalah sebagai

attractant (penarik) agar ikan-ikan dapat dengan cepat masuk dan terperangkap ke

dalam bubu. Umumnya umpan buatan diproduksi oleh skala industri penangkapan yang digunakan pada alat tangkap tuna longline, pancing, dan perangkap (trap) (Januma et al. 2003). Lebih lanjut dijelaskan bahwa tujuan pembuatan umpan buatan sebagai pengganti atau alternatif penggunaan umpan alami, dengan

(2)

75

memanfaatkan hasil sampingan industri perikanan yang merupakan perbaikan selektivitas hasil tangkapan terutama pada perikanan tuna longline.

Menurut Zarochman (1994), syarat-syarat umpan mati yang biasanya digunakan pada alat tangkap yang bersifat pasif seperti bubu adalah:

(1) Umpan yang digunakan dalam keadaan segar (2) Tidak mudah rusak dan tidak terlalu lembek (3) Berupa potongan daging atau bentuk utuh

(4) Memiliki bau dan warna yang disukai oleh ikan-ikan sasaran

Pemilihan umpan biasanya disesuaikan dengan kebiasaan makan ikan yang menjadi sasaran penangkapan (Bambang 2000). Umumnya ikan yang aktif di malam hari (nocturnal) akan menyukai umpan hidup yang memiliki bau yang kuat (Baskoro dan Efendy 2005). Hal ini mengindikasikan bahwa bervariasinya jenis umpan yang digunakan nelayan sebagai gambaran bahwa setiap ikan memiliki kecenderungan memakan jenis makanan yang berbeda sesuai dengan kebiasaan di habitat alaminya.

King (1991) menjelaskan bahwa umpan pada bubu dan perangkap digunakan untuk menangkap ikan dan crustacea. Prinsipnya adalah ikan tertarik oleh umpan, lalu masuk ke dalam bubu melalui mulut bubu dan sulit untuk melarikan diri. Umpan dengan menggunakan ikan cucut dan kakap dapat menghasilkan tangkapan yang banyak (Wudianto et al. 1993). Bubu yang menggunakan umpan dari ikan yang dipotong-potong, hasil tangkapannya lebih baik dibandingkan dengan menggunakan umpan buatan (pelet). Akan tetapi, tidak semua jenis ikan akan merespons jenis umpan yang sama, masing-masing spesies memiliki pilihan jenis umpan yang berbeda, seperti misalnya pinfish (Lagodon

rhomboides) memperlihatkan respons yang besar terhadap umpan dari udang dan

pigfish (Orthopristis chrysopterus) (Yamamoto 1982). Menurut Monintja et al. (1992), umpan yang digunakan dalam pengoperasian jaring keranjang untuk menangkap ikan-ikan karang adalah terasi.

Hal-hal yang berhubungan dengan umpan sebagai atraktor dalam penangkapan ikan ditentukan oleh kandungan kimia umpan yang digunakan. Kandungan kimia tersebut erat kaitannya sebagai perangsang bau pada ikan, yang meliputi kandungan proksimat, asam amino, asam lemak, dan amoniak.

(3)

76

Umpan yang mengandung asam amino diidentifikasi dapat menjadi stimulus dan atraktor makan pada ikan dan crustacea, dan hampir semua studi mengenai rangsangan kimia untuk tingkah laku makan menunjukkan bahwa rangsangan makan pada ikan dan crustacea akan hilang seiring dengan hilangnya kandungan asam amino pada umpan (makanan) (Engas dan Lokkeborg 1994). Lebih lanjut menurut pendapat Sola dan Tongiorgi (1998), berdasarkan hasil beberapa analisis elektrofisiologi bahwa asam amino merupakan atraktan (stimuli) yang efektif untuk organ penciuman dan rasa pada ikan. Menurut pendapat Hansen dan Reutter (2004) bahwa ikan predator (buas) yang makan makanan-makanan tidak hidup (umpan) menggunakan sistem pencium mereka untuk dapat merangsang makan dan dapat membeda-bedakan stimuli asam amino.

Asam amino yang sangat efektif sebagai stimulus pada sistem penciuman ikan atlantik salmon adalah L-glutamina dan L-alanina (Caprio 1982). Lebih lanjut dijelaskan pula bahwa efektivitas relatif stimulus organ penciuman dari kandungan asam amino sebanyak 10-4 M adalah alanina, glutamina, L-sisteina, dan L-metionina. Kandungan L-alanina terdapat pada jaringan organisme cacing, moluska, crustacea, dan ikan teleostei. Untuk L-arginina, terdapat pada jaringan organisme moluska dan crustacea. Pengetahuan yang mendasari bahwa untuk ikan catfish, reseptor penciuman sangat besar responsnya terhadap kandungan sisteina dan metionina; dan pada reseptor rasa sangat besar responsnya terhadap kandungan alanina dan arginina masih belum diketahui. Nukleosida, nukleotida dan 3 jenis asam amino aromatik (fenilalanina, triptofan dan tirosina) dan histidina diidentifikasi sebagai stimulan makanan (Lokkeborg 1990)

Berdasarkan hasil penelitian Yacoob et al. (2004) terhadap respons ikan cod atlantik stadia juvenile pada kandungan asam amino umpan menunjukkan bahwa asam amino leusina, metionina, asparagina, glutamina, alanina, dan treonina berperan sebagai perangsang penciuman yang tinggi dibandingkan prolina, fenilalanina, dan triptofan. Pada kelompok ikan air tawar, seperti ikan raibow trout (Oncorhynchus mykiss), asam amino yang berperan sebagai perangsang bau adalah sisteina, arginina dan glutamina (Hara 2006).

Potensi laju pelarutan atau pelepasan kandungan asam amino umpan akan mengalami penurunan seiring dengan lamanya waktu perendaman antara 2 hingga

(4)

77

24 jam (Lokkeborg 1990). Selanjutnya dijelaskan pula bahwa penurunan laju pelepasan antara umpan mackerel (natural bait) dan umpan buatan (artificial bait) berkisar 36% dan 31% pada satu jam pertama, selanjutnya pada lama perendaman 4 jam kemudian terjadi penurunan menjadi 20% dan 27% dan setelah 24 jam menjadi 4% dan 9%. Perbandingan presentase kandungan asam amino pada umpan segar dibandingkan umpan yang telah mengalami perendaman selama 2 jam akan mengalami penurunan sebesar 87% dan 84% setelah perendaman 4 jam, pada perendaman 24 jam penurunannya menjadi 45% (Lookkeborg 1994).

Penelitian mengenai analisis kandungan kimia dari berbagai jenis umpan, baik umpan alami dan buatan untuk operasi pangkapan masih belum banyak diketahui dan belum memberikan informasi yang jelas. Penelitian ini menganalisis ketahanan fisik umpan alami dan kandungan kimia pada umpan alami dan umpan buatan yang digunakan sebagai atraktor pada penangkapan ikan kerapu.

5.2 Metode Penelitian

5.2.1 Waktu dan tempat penelitian

Penelitian mengenai pembuatan formulasi umpan buatan dilakukan pada Laboratorium Bio-Kimia, Departemen Teknologi Hasil Perairan, FPIK-IPB. Pembuatan formulasi umpan buatan (dalam bentuk pasta) berdasarkan hasil analisis kimia yang dilakukan pada umpan alami.

Analisis kimia umpan, baik umpan alami dan umpan buatan, dilakukan pada Laboratorium Pascapanen, Balai Besar Litbang Pascapanen Pertanian, Cimanggu-Bogor. Analisis ketahanan umpan selama perendaman pada air laut dilakukan pada Laboratorium Biologi dan Keanekaragaman Hayati Laut, Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, FPIK-IPB. Penelitian dilakukan pada bulan Juni– Agustus 2007.

5.2.2 Metode Penelitian

Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah analisis deskriptif terhadap umpan. Umpan terdiri atas umpan alami (ikan juwi, udang krosok, dan gonad bulu babi) dan umpan buatan (umpan A, umpan B, umpan C, umpan D, dan umpan K).

(5)

78

Berdasarkan hasil analisis kimia yang dilakukan pada umpan alami, kemudian dibuat formulasi umpan buatan yang dibuat dalam bentuk pasta. Pembuatan formulasi umpan buatan dan analisis ketahanan umpan alami selama perendaman pada air laut dilakukan pada Laboratorium Biologi dan Keanekaragaman Hayati Laut, Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, Fakultas Perikanan dan Kelautan, FPIK-IPB. Analisis kimia umpan, baik umpan alami dan umpan buatan dilakukan pada Laboratorium Pascapanen, Balai Besar Litbang Pascapanen Pertanian, Cimanggu-Bogor.

5.2.3 Pembuatan umpan buatan (1) Alat dan bahan

Alat dan bahan yang digunakan dalam membuat formulasi umpan buatan dapat dilihat pada Tabel 8.

Tabel 8 Alat dan bahan membuat umpan buatan

No Alat dan bahan Kegunaan

1 Timbangan digital type BL-220H Menimbang bahan-bahan untuk membuat umpan 2 Wadah plastik volume 1 kg Tempat mencampur bahan

dalam pembuatan umpan 3 Baki penjemur berukuran

27cm x 21cm x 5cm

Tempat menjemur umpan yang telah menjadi pasta

4 Kertas label Labelling masing-masing

umpan buatan

5 Tepung ikan Bahan pembuat umpan

6 Minyak ikan Bahan pembuat umpan

7 Tepung tapioka Bahan pembuat umpan

8 Tepung terigu Bahan pembuat umpan

(6)

79

(2) Prosedur pembuatan umpan buatan

Formulasi umpan yang dibuat terdiri dari umpan A, umpan B, umpan C, umpan D, dan umpan K. Sebagai perbedaan adalah minyak ikan dengan perbandingan:

1) Umpan A minyak ikan 5%, dengan komposisi 100 g: Minyak ikan = 5 g Tepung ikan = 1 5 x 95 g = 19 g Tepung terigu = 1 5 x 95 g = 19 g Tepung tapioka = 3 5 x 95 g = 57 g

2) Umpan B minyak ikan 15%, dengan komposisi 100 g: Minyak ikan = 15 g Tepung ikan = 1 5 x 85 g = 17 g Tepung terigu = 1 5 x 85 g = 17 g Tepung tapioka = 3 5 x 85 g = 51 g

3) Umpan C minyak ikan 25%, dengan komposisi 100 g: Minyak ikan = 25 g Tepung ikan = 1 5 x 75 g = 15 g Tepung terigu = 1 5 x 75 g = 15 g Tepung tapioka = 3 5 x 75 g = 45 g

4) Umpan D minyak ikan 35%, dengan komposisi 100 g: Minyak ikan = 35 g

(7)

80 Tepung ikan = 1 5 x 65 g = 13 g Tepung terigu = 1 5 x 65 g = 13 g Tepung tapioka = 3 5 x 65 g = 39 g

5) Umpan K minyak ikan 0% (kontrol), dengan komposisi 100 g: Minyak ikan = 0 g Tepung ikan = 0 g Tepung terigu = 5 2 x 100 g = 40 g Tepung tapioka = 3 5 x 100 g = 60 g

Prosedur pembuatan formulasi umpan buatan sebagai berikut:

1) Bahan pembuat umpan dihitung sesuai bobot yang diperlukan (untuk pembuatan 100 g umpan jumlah bahan yang dibutuhkan disesuaikan dengan formulasi yang diinginkan).

2) Bahan-bahan yang memiliki bobot terkecil seperti tepung ikan dan tepung terigu dicampurkan terlebih dahulu dalam wadah hingga merata, kemudian pencampuran tepung tapioka sampai rata, dilanjutkan dengan minyak ikan. 3) Setelah adonan merata, untuk menjadi pasta ditambahkan air tawar sesuai

dengan kebutuhan secara perlahan-lahan.

4) Untuk bentuk kering, umpan yang telah jadi dikeringkan dengan cara dijemur di bawah sinar matahari hingga kandungan kadar air menjadi 20%.

5.2.4 Analisis data

(1) Ketahanan umpan alami selama perendaman

Umpan alami terdiri atas ikan juwi (Anodontostoma chacunda), udang krosok (Metapenaeopsis palmensis) dan gonad bulu babi (Diadema setosum). Uji ketahanan umpan bertujuan untuk mengetahui tingkat ketahanan masing-masing

(8)

81

umpan di dalam air laut dengan melihat perubahan yang terjadi pada bentuk dan tekstur daging umpan hingga warnanya pudar dan tekstur daging mulai hancur. Uji ketahanan gonad bulu babi tidak dilakukan karena bahan ini cepat memudar ketika diambil dari cangkang bulu babi dan diletakkan di air. Tahapan uji ketahanan umpan adalah sebagai berikut:

1) Menyiapkan akuarium yang telah diisi air laut kemudian digunakan aerator agar timbul arus (kondisi akuarium diumpamakan sama dengan kondisi laut). 2) Memasukkan umpan ke dalam akuarium sampai terlihat tekstur daging umpan

sudah pudar/tidak kompak. Selama proses perendaman selalu mengamati perubahan tekstur daging umpan dari mulai di masukkan sampai pudar.

3) Dihitung waktu yang dibutuhkan dari umpan mulai dimasukkan sampai tekstur daging pudar.

(2) Analisis kandungan kimia umpan

Analisis yang dilakukan selanjutnya adalah analisis kimia umpan untuk mengetahui kandungan kimia dari masing-masing umpan. Analisis kimia yang dianalisis adalah analisis proksimat, analisis asam amino, dan analisis asam lemak.

1) Analisa proksimat (A.O.A.C. 2000)

Analisis proksimat meliputi analisis kadar air, protein, dan lemak. 2) Analisis asam amino

Sebelum dilakukan analisis asam amino, terlebih dahulu perlu diketahui kadar protein sampel. Metode yang digunakan untuk analisis tersebut menggunakan metode Kjehdal (A.O.A.C. 2000). Analisis asam amino menggunakan metode HPLC dengan pereaksi ortoftaldehida (OPA) untuk membentuk senyawa yang berfluoresensi. Senyawa tersebut dapat dideteksi oleh detektor fluoresensi.

3) Analisis asam lemak

Metode ekstraksi lemak menggunakan metode Soxhlet, sedangkan analisis asam lemak melalui tahapan metilasi (A.O.A.C. 2000) dan penyuntikan dengan GC

(9)

82

5.3 Hasil

5.3.1 Ketahanan umpan alami selama perendaman

Pengujian ketahanan umpan alami dilakukan dalam skala laboratorium. Umpan direndam dengan air laut pada gelas ukur volume 500 ml yang diberi aerator agar terjadi arus. Pengujian tersebut dilakukan sebanyak 5 kali ulangan. Hasil dari uji ketahanan umpan ditampilkan pada Tabel 9 berikut :

Tabel 9 Ketahanan umpan di dalam air laut. Jenis umpan Ketahanan umpan (jam)

Ikan juwi 36

Udang krosok 36

Umpan buatan 20

Pada Tabel 9 menunjukkan bahwa jenis umpan ikan juwi dan udang sama-sama memiliki ketahanan tekstur daging yang mulai memudar mulai waktu 36 jam dengan kondisi terendam pada air laut yang beraerator. Artinya, kekompakan tekstur kedua jenis umpan tersebut akan hancur mulai waktu 36 jam setelah perendaman. Pada umpan buatan, ketahanan umpan dalam air lebih pendek waktunya dibandingkan dengan umpan alami (ikan dan udang). Hal ini membuktikan bahwa ketahanan tiap jenis umpan berbeda.

5.3.2 Kandungan kimia umpan (1) Umpan alami (natural bait)

Besarnya kandungan proksimat umpan alami (ikan, udang, dan gonad bulu babi), meliputi kandungan air, protein, dan lemak dapat dilihat pada Gambar 32. Kandungan asam amino umpan alami yang terdiri atas 17 unsur dapat dilihat pada Gambar 33.

(10)

83

Gambar 32 Kandungan proksimat umpan alami

Gambar 33 Kandungan asam amino umpan alami (natural bait)

Gambar 32 menunjukkan bahwa kandungan air tertinggi terdapat pada umpan udang, yaitu sebanyak 777,9 mg/g diikuti oleh umpan ikan juwi sebanyak 741,7 mg/g dan umpan gonad bulu babi sebanyak 731,4 mg/g. Kandungan lemak tertinggi terdapat pada umpan gonad bulu babi, yaitu sebanyak 67,6 mg/g, sedangkan pada umpan ikan dan udang berturut-turut 15,6 mg/g dan 8,4 mg/g. Kandungan protein tertinggi terdapat pada umpan ikan, yaitu sebanyak 171,4

0 100 200 300 400 500 600 700 800 900

Air Lemak Protein

N il a i (m g/ gr) B.Babi Udang Ikan 0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 As. Asp arta t As. Glu tam at Ser ina Glisi na Hist idin a Arg inin a Treo nina Ala nina Pro lina Tiro sina Val ina Met ioni na Sist eina Isole usina Leusi na Feni lala nina Lisi na asam amino N il a i (m g r/ g r) B.Babi Udang Ikan

(11)

84

mg/g diikuti oleh umpan udang sebanyak 138,2 mg/g, dan umpan gonad bulu babi sebanyak 83,2 mg/g.

Jenis asam amino yang dianggap sebagai atraktan pada organ penciuman ikan antara lain arginina, alanina, metionina, dan lisina. Kandungan arginina tertinggi terdapat pada umpan ikan dengan nilai 4,33 mg/g, dan nilai terendah pada umpan udang sebesar 0,14 mg/g. Kandungan alanina tertinggi terdapat pada umpan ikan dengan nilai 30,48 mg/g, nilai terendah terdapat pada umpan gonad bulu babi sebesar 0,13 mg/g. Kandungan metionina tertinggi terdapat pada umpan ikan dengan nilai 5,62 mg/g, nilai terendah terdapat pada umpan gonad bulu babi sebesar 0,07 mg/g. Kandungan lisina tertinggi terdapat pada umpan ikan dengan nilai 20,68 mg/g, nilai terendah terdapat pada umpan gonad bulu babi sebesar 0,06 mg/g.

Gambar 34 Kandungan asam lemak umpan alami (natural bait)

Kandungan asam lemak umpan alami disajikan pada Gambar 34. Komponen lemak terbesar yang terdapat pada umpan alami antara lain miristat, palmitat, oleat, dan linoleat. Kandungan miristat tertinggi terdapat pada umpan gonad bulu babi, yaitu sebanyak 34,51 mg/g sedangkan yang terendah adalah pada umpan udang sebanyak 0,04 mg/g. Kandungan palmitat tertinggi terdapat pada umpan gonad bulu babi, yaitu sebanyak 22,48 mg/g, sedangkan yang terendah terdapat pada umpan udang, yaitu sebanyak 3,82 mg/g. Kandungan oleat tertinggi terdapat pada umpan ikan, yaitu sebanyak 6,27 mg/g, sedangkan yang terendah

0 5 10 15 20 25 30 35 40 Laur at Miri stat Pal mita t Ste arat Oleat Lino leat Linl enat asam lemak N il a i (m g r/ g r) B.Babi Udang Ikan

(12)

85

pada umpan udang, yaitu sebanyak 0,84 mg/g. Kandungan linoleat tertinggi tertinggi pada umpan ikan, yaitu sebanyak 5,11 mg/g, sedangkan yang terendah pada umpan udang, yaitu sebanyak 0,78 mg/g.

(2) Umpan buatan (artificial bait)

Pemilihan komposisi bahan formulasi didasarkan pada respons kimiawi ikan terhadap kondisi lingkungan maupun proses mencari makan. Pemilihan minyak ikan dan tepung ikan sebagai bahan penyusun utama umpan buatan ini dikarenakan minyak ikan mengandung komposisi kimiawi berupa asam lemak yang merupakan bahan perespons utama dalam proses penciuman ikan (Fujaya 2004). Tepung ikan merupakan pengeringan dari ikan segar yang dihilangkan kandungan air, sehingga kandungan asam amino merupakan kandungan utama.

Pembuatan formulasi umpan buatan didasarkan pada hasil analisis kimia yang dilakukan pada umpan alami. Umpan buatan diformulasikan dalam bentuk pasta. Dari hasil formulasi umpan buatan yang dihasilkan kemudian dianalisis kembali komposisi kimianya. Hasil analisis kimia umpan buatan disajikan pada Gambar 35, 36, dan 37.

Gambar 35 Analisis proksimat umpan buatan (artificial bait)

Gambar 35 menunjukkan bahwa kandungan protein tertinggi terdapat pada umpan A, yaitu sebanyak 152,9 mg/g diikuti oleh umpan B sebanyak 135,7 mg/g;

0 50 100 150 200 250 300 350

Lemak Protein Air

N il a i (m g /g r) Umpan A Umpan B Umpan C Umpan D Umpan K

(13)

86

umpan C sebanyak 134,4 mg/g; dan umpan D sebanyak 92,5 mg/g. Umpan kontrol (K) memiliki nilai kadar protein terendah, yaitu sebanyak 40,3 mg/g. Kandungan lemak tertinggi terdapat pada umpan D, yaitu sebanyak 331,8 mg/g, sedangkan pada umpan A, B, C, dan K berturut-turut 54,3 mg/g; 231,9 mg/g; 283,9 mg/g, dan 2,2 mg/g. Kandungan air tertinggi terdapat pada umpan K, yaitu sebanyak 399,6 mg/g. Hal ini disebabkan karena umpan ini tidak menggunakan minyak ikan dan tepung ikan tetapi hanya menggunakan air sebagai pencampurnya.

Kandungan asam amino (arginina) tertinggi terdapat pada umpan D, yaitu sebanyak 0,45 mg/g; kandungan lisina tertinggi juga terdapat pada umpan D, yaitu sebanyak 0,53 mg/g. Kandungan arginina dan lisina dianggap sebagai atraktan pada organ penciuman ikan. Kandungan asam amino yang terdapat pada umpan buatan disajikan pada Gambar 36.

Gambar 36 Kandungan asam amino pada umpan buatan (artificial bait)

Komponen asam lemak terbesar yang terdapat pada umpan buatan antara lain palmitat, dan oleat. Kandungan palmitat tertinggi terdapat pada umpan D, yaitu sebanyak 141,54 mg/g, sedangkan yang terendah adalah pada umpan kontrol. Kandungan oleat tertinggi terdapat pada umpan D, yaitu sebanyak 60,32 mg/g,

0 0.5 1 1.5 2 2.5 3 As. Asp arta t As. Glu tam at Ser ina Glisi na Hist idin a Arg inin a Treo nina Ala nina Pro lina Tiro sina Val ina Met ioni na Sist eina Isole usina Leusi na Feni lala nina Lisi na asam amino N il a i (m g r/ g r) umpan A umpan B umpan C umpan D umpan K

(14)

87

sedangkan yang terendah terdapat pada umpan K. Kandungan lemak umpan buatan disajikan pada Gambar 37.

Gambar 37 Kandungan asam lemak umpan buatan (artificial bait)

5.4 Pembahasan

5.4.1 Ketahanan umpan alami selama perendaman

Kemampuan umpan sebagai atraktor penangkapan akan semakin berkurang seiring dengan lamanya waktu perendaman. Hal tersebut disebabkan karena tekstur umpan yang mengalami penurunan. Akibatnya respons ikan terhadap umpan semakin lama pula dan umpan akan semakin hancur serta kehilangan aromanya. Berdasarkan hasil penelitian pendahuluan pada kerapu macan menunjukkan bahwa waktu respons makan ikan kerapu macan mengalami penurunan ketika umpan direndam hingga 12 jam, yaitu sebesar 93% pada umpan ikan juwi dan 82% pada umpan ikan teri. Menurut Lokkeborg (1996) umpan yang efektif digunakan pada operasi penangkapan adalah umpan yang direndam selama 60 menit agar aroma yang terkandung di dalam tubuh ikan larut dalam air. Hal serupa dikemukakan pula oleh Gervibeita et al. (1997) bahwa terjadi penurunan hasil tangkapan torsk (Brosme brosme) pada alat tangkap pancing dengan menggunakan umpan mackerel dengan lama waktu perendaman lebih 24

0 20 40 60 80 100 120 140 160

Laurat Miristat Palmitat Stearat Oleat Linoleat Linolenat

asam lemak N il a i (m g r/ g r) umpan A umpan B umpan C umpan D umpan K

(15)

88

jam karena pelepasan atraktan pada umpan akan mengalami penurunan, yang berarti akan sangat berpengaruh pada efisiensi penangkapan.

5.4.2 Kandungan kimia umpan

Tester (1953) diacu dalam Syandri (1988) mengatakan bahwa kebiasaan makan ikan dapat dipengaruhi oleh bau-bau yang dikeluarkan dari tetesan daging yang mengandung substansi-substansi kimia sehingga merangsang ikan untuk makan. Ikan memiliki kepekaan yang berbeda terhadap berbagai bentuk makanannya. Ada ikan yang tertarik pada bau umpan yang menyengat dan ada pula ikan yang tertarik pada umpan yang memiliki bentuk yang menarik baginya. Biasanya jenis ikan yang aktif di malam hari (nocturnal) akan menyukai umpan hidup yang memiliki bau yang kuat (Baskoro dan Efendy 2006). Bau yang dikeluarkan umpan berasal dari kandungan kimia di dalam umpan tersebut.

Kandungan kimia umpan merupakan komponen yang dapat merangsang respons makan pada ikan (Fujaya 2004). Chemical sense sangat penting untuk mencari posisi/letak makanan ketika ikan telah dekat dengan sumber makanan (Lokkeborg 1998). Kandungan kimia yang diujikan pada masing-masing umpan alami meliputi kandungan air, lemak, dan protein serta asam amino, dan asam lemak.

(1) Umpan alami

Air berfungsi sebagai bahan yang dapat mendispersikan berbagai senyawa yang ada dalam suatu bahan, dan beberapa bahan tersebut malah berfungsi sebagai pelarut (Winarno 1992). Pada umpan, kandungan air akan berpengaruh pada distribusi bau dalam air. Semakin banyak kandungan air dalam umpan akan mempercepat distribusi bau di dalam air. Kandungan air menyebabkan umpan mengalami degradasi autolisis protein dan lemak. Protein dan lemak mengeluarkan aroma amis yang disukai oleh ikan. Aroma ini akan menyebar pada media air dan ditangkap oleh indra penciuman ikan. Udang mempunyai kandungan air yang paling besar di antara umpan ikan dan

(16)

89

gonad bulu babi. Kandungan protein tertinggi pada umpan ikan sedangkan kandungan lemak tertinggi terdapat pada gonad bulu babi.

Asam amino dan minyak ikan merupakan kandungan kimia umpan yang dapat merangsang organ penciuman ikan (Fujaya 2004, Djarijah 1998). Berdasarkan hal tersebut maka dilakukan uji kandungan asam amino pada umpan alami. Kandungan asam amino yang direspons oleh penciuman ikan sekaligus sebagai perangsang nafsu makan antara lain alanina, arginina, glutamina, metionina, lisina dan prolina. Kandungan alanina tertinggi terdapat pada umpan ikan, demikian pula kandungan arginina, metionina, dan lisina yang dianggap sebagai atraktan organ penciuman ikan dengan nilai tertinggi juga terdapat pada umpan ikan.

Kandungan asam amino merupakan isyarat (cue) dalam mencari makan (food search) baik yang dapat merangsang organ penciuman (olfactory) maupun organ rasa (gustatory) (Nikonov dan Caprio 2001). Komponen kimia dalam umpan yang telah diidentifikasi sebagai perangsang nafsu makan (olfaction dan gustation) adalah asam amino bebas dan nukleotida, L-alanina, glisina, dan L-prolina (Fujaya 2004). Selanjutnya Clark (1985) menjelaskan bahwa asam amino yang dapat merangsang penciuman ikan adalah taurina, asam glutamat, alanina, glisina, prolina, dan asam aspartat. Menurut Takaoka

et al. (1987) diacu dalam Jones (1992) stimulan kimia yang dapat

mempengaruhi makan pada ikan marbled rockfish (Sebasticus marmoratus) adalah alanina, metionina, serina, dan prolina, dan inosin. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Yacoob et al. (2004); Hara (2006); Yamashita

et al. (2006), dan Nikonov dan Caprio (2007) bahwa komponen kimia pada

asam amino yang merupakan stimulan pada organ olfactory ikan adalah alanina, arginina, metionina, dan leusina; prolina dan glutamina merupakan asam amino yang merangsang organ rasa (gustatory) pada ikan.

Rantai kimia pada kandungan asam lemak apabila terpotong akan berpengaruh pada pembentukan komponen yang bertanggung jawab atas bau. Dari kandungan asam lemak miristat dan palmitat umpan gonad bulu babi memiliki kandungan yang paling tinggi dibandingkan umpan ikan dan udang. Berdasarkan hasil penelitian di Samudera Pasifik, umpan yang mengandung

(17)

90

lebih banyak lemak menghasilkan tangkapan yang lebih baik dibandingkan dengan umpan dengan kandungan lemak yang kurang (King 1986 diacu

dalam Rahardjo dan Linting 1993). Menurut Ketaren (1986), jenis asam lemak

palmitat terdapat dalam sebagian besar lemak hewani dengan titik cair 64°C, sedangkan miristat, umumnya terdapat pada lemak ikan hiu.

.

(2) Umpan buatan

Asam amino merupakan kandungan kimia umpan yang dapat merangsang organ penciuman ikan (Fujaya 2004). Berdasarkan hal tersebut maka dilakukan analisis kandungan asam amino pada umpan buatan. Komposisi asam amino umpan buatan terdiri atas 17 jenis asam amino. Sama halnya seperti pada umpan alami, asam amino pada umpan buatan, yang merupakan bagian dari protein yang dapat merangsang organ penciuman ikan dan sekaligus sebagai perangsang nafsu makan, antara lain alanina, glisina, prolina, valina, lisina, fenilalanina, histidina, dan triptofan.

Tujuan pembuatan umpan buatan dalam penangkapan ikan dengan bubu ini adalah sebagai attractant (penarik) agar ikan-ikan dapat dengan cepat masuk dan terperangkap ke dalam bubu. Pemilihan komposisi bahan formulasi didasarkan pada respons kimiawi ikan terhadap kondisi lingkungan maupun proses mencari makan. Pemilihan minyak ikan dan tepung ikan sebagai bahan penyusun utama umpan buatan ini dikarenakan minyak ikan mengandung komposisi kimiawi berupa asam amino dan asam lemak yang merupakan bahan perangsang utama dalam proses penciuman ikan. Kandungan minyak yang dimasukkan sebagai salah satu bahan dalam pembuatan umpan tiruan apabila bercampur dengan air akan berpengaruh sebagai atraktan ikan (Anonim 2008). Komponen kimia dalam umpan yang telah diidentifikasi sebagai perangsang nafsu makan (olfaction dan gustation) adalah asam amino bebas dan nukleotida, L-alanina, glisina, dan L-prolina. Selanjutnya Clark (1985), juga menjelaskan bahwa asam amino yang dapat dirangsang oleh penciuman ikan adalah taurina, glutamina, alanina, glisina, prolina dan aspartat.

(18)

91

Umpan buatan D (komposisi minyak ikan (35%), tepung ikan (13%) dan tepung terigu dan tepung tapioka (52%) memiliki kandungan lemak tertinggi. Hal ini mengindikasikan bahwa semakin banyak minyak ikan, maka semakin tinggi jumlah lemak yang dihasilkan. Sebagaimana pendapat Djarijah (1998), pemberian minyak ikan dalam pembuatan pakan ikan berfungsi sebagai atraktan (bahan penyedap aroma). Berdasarkan keterangan tersebut dapat diketahui bahwa secara langsung maupun tidak langsung ikan akan merespons semua makanan yang dianggap memiliki kandungan asam lemak untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.

Umpan buatan (artificial bait) sebagai bahan uji komposisi kimia dibuat dalam bentuk kering dengan kadar air 20%. Kadar air tertinggi terdapat pada umpan D (378,2 mg/g). Semakin banyak kandungan air dalam umpan akan mempercepat proses dispersi dan distribusi bau dalam air. Umpan yang digunakan pada uji coba lapangan dibuat dalam bentuk pasta, sehingga ikan dapat cepat merespons bau yang ditimbulkan. Kandungan air yang cukup tinggi membantu dalam proses dispersi zat kimia, sehingga ikan akan dapat dengan cepat memberikan respons terhadap umpan.

Asam amino yang terkandung dalam umpan buatan sebagian merupakan komponen perangsang utama dalam proses penciuman ikan. Menurut Sutterlin dan Sutterlin (1971), reseptor penciuman pada ikan memiliki respons tertinggi terhadap asam amino yang merupakan bagian dalam rangkaian protein.

Perbandingan lemak dan protein antara umpan alami dan umpan buatan menunjukkan bahwa umpan buatan memiliki kandungan lemak dan protein lebih banyak. Perbedaan ini dimungkinkan karena umpan buatan merupakan hasil pengolahan ikan dengan tingkat konsentrasi kandungan lemak dan protein yang tinggi dari bahan yang terpisah. Namun perbedaan yang cukup besar terjadi pada kandungan asam amino (alanina dan lisina), dimana umpan alami memiliki jumlah kandungan alanina dan lisina yang lebih banyak.

Antarspesies ikan memiliki kepekaan asam amino yang relatif berbeda pada jenis-jenis makanan/umpan (Hara 1993). Pada kebanyakan spesies, kombinasi kandungan asam amino (prolina, betaina, glisina dan alanina) diidentifikasikan sebagai kandungan yang efektif untuk stimulan makanan. L-prolina merupakan

(19)

92

jenis asam amino yang utama untuk organ rasa (gustatory) pada ikan salmon yang merupakan faktor penting dalam makan (Hara 1993). Kapasitas stimulan/perangsang makan ikan pada kandungan asam amino lebih efektif apabila dalam bentuk suatu campuran dari unsur-unsur pokok dibandingkan satu atau beberapa unsur asam amino saja ( Lokkeborg 1990).

Ikan menggunakan penciumannya (olfaction) untuk tingkah laku dalam membedakan bau (odorants) dan menggunakan asam amino dan nucleotides sebagai isyarat makan (Nikonov dan Caprio 2001). Hal tersebut dibuktikan dengan dilakukannya tes pada bagian olfactory bulb pada ikan catfish untuk mendeteksi sensitivitas organ tersebut terhadap bile salt, nucleotides, dan asam amino yang menunjukkan bahwa signal terbanyak diterima oleh olfactory bulb adalah asam amino. Kandungan asam lemak palmitat yang tinggi pada umpan buatan D disebabkan kandungan minyak ikan pada formulasi umpan D tertinggi dibandingkan umpan buatan lainnya, sebagaimana pendapat Ketaren (1986), bahwa jenis asam lemak palmitat sebagian besar terdapat pada sumber minyak hewani. Diduga dengan kandungan palmitat yang tinggi ditambah dengan adanya campuran air pada umpan D maka akan terjadi peristiwa hidrolisis yang menimbulkan suatu senyawa aromatik yang dapat berfungsi sebagai atraktan pada organ penciuman ikan.

5.5 Kesimpulan

Ketahanan tekstur umpan udang dan ikan pada perendaman air laut beraerator adalah selama 36 jam. Kandungan air pada ketiga umpan alami, yaitu umpan gonad bulu babi, udang, dan ikan lebih tinggi dibandingkan pada umpan buatan. Kandungan protein tertinggi baik pada umpan alami maupun umpan buatan terdapat pada umpan ikan.

Kandungan asam amino yang dianggap dapat dideteksi oleh indera penciuman kerapu (alanina, arginina, metionina, dan lisina) pada umpan alami yang tertinggi adalah umpan ikan, sedangkan pada umpan buatan adalah kandungan arginina, metionina, leusina dan lisina terdapat pada formulasi umpan D.

(20)

93

Kandungan asam lemak yang dianggap dapat direspons kerapu pada jenis umpan alami, yaitu miristat dan palmitat yang terdapat pada umpan gonad bulu babi, oleat dan linoleat terdapat pada umpan ikan. Pada umpan buatan, kandungan palmitat dan oleat terdapat pada formulasi umpan D.

Gambar

Gambar 32 Kandungan proksimat umpan alami

Referensi

Dokumen terkait

Pada penelitin yang dilakukan oleh Riyadi dan Tirtoboma (2004) terhadap embrio somatik kopi arabika, diperoleh hasil induksi terbaik untuk varietas Kartika-1

Universitas Sriwijaya Penggunaan cangkang sawit sebagai pengganti bahan kayu dalam pembuatan partikel komposit diduga akan mempengaruhi mutu silinder partikel

Eluen yang terbaik untuk pemisahan senyawa triterpenoid dari ekstrak metanol tanaman alga merah Eucheuma cottonii dengan menggunakan kromatografi lapis tipis KLT adalah eluen

Peran kepemimpinan Kepala Puskesmas dalam melakukan peran interpersonalterkait 6 pilar pelaksanaan LKB HIV-IMS di Kota Semarang yang paling bermasalah pada peran

Fanda Bunga Prasetyaningrum. Analisis Deskriptif Harmonisasi Pasar Tradisional Dengan Pasar Modern Di Kecamatan Kartasura Perekonomian. Universitas Muhammadiyah

Pola tanam petani yang dilaksanakan pada musim hujan adalah menanam padi lokal dari bulan Agustus sampai dengan bulan Pebruari, sedangkan padi unggul penanaman dilakukan

Berdasarkan hasil penelitian yang penulis peroleh di lapangan, terdapat dua dampak positif dan satu dampak negatif yang ditimbulkan dari perkawinan endogami ( Siala

Lebih lanjut Gunarsa (1988: 19), menyatakan bahwa dari segi hukum kenakalan remaja digolongkan dalam dua kelompok yang berkaitan dengan norma-norma hukum yakni: