BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Undang–Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 dalam Pasal 1 ayat (3) hasil amandemen ketiga menyatakan bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum. Jimly Asshiddiqie (2011:127) telah merumuskan tiga belas prinsip pokok Negara Hukum (Rechtsstaat) yang berlaku di zaman sekarang. Ketiga belas prinsip pokok itu merupakan pilar – pilar utama yang menyangga berdiri tegaknya satu negara modern sehingga dapat disebut sebagai Negara Hukum (The Rule of Law, ataupun Rechtsstaat) dalam arti yang sebenarnya. Prinsip tersebut diantaranya adalah persamaan dalam hukum (equality before the law) dan peradilan yang bebas dan tidak memihak (independent and impartial judiciary).
Menurut Amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, teori equality before the law termasuk dalam Pasal 27 ayat (1) yang menyatakan bahwa, “Segala warga Negara bersamaan kedudukannya didalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”. Ini merupakan pengakuan dan jaminan hak kesamaan semua warga negara dalam hukum dan pemerintahan. Teori dan konsep equality before the law seperti yang dianut oleh Pasal 27 ayat (1) Amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tersebut menjadi dasar perlindungan bagi warga Negara agar diperlakukan sama dihadapan hukum dan pemerintahan. Hal ini dimaksud, bahwa semua orang diperlakukan sama di depan hukum (Julita Melissa Walukow dalam Jurnal Lex et Societatis, 2013:163). Berkaitan dengan prinsip peradilan yang bebas dan tidak memihak (independent and impartial judiciary) hal ini terdapat dalam Pasal 28D ayat (1) dan 28I ayat (2) Undang–Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pasal 28D ayat (1) berbunyi, “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”. Sedangkan Pasal 28I ayat (2) berbunyi, “Setiap orang berhak
bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu”.
Akan tetapi muncul perdebatan ketika Mahkamah Konstitusi mengeluarkan sebuah putusan yaitu Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 76/PUU-XII/2014, yang dianggap tidak mencerminkan prinsip equality before the law serta prinsip peradilan yang bebas dan tidak memihak, karena anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang diduga melakukan tindak pidana tidak dapat langsung dilakukan pemeriksaan oleh aparat penegak hukum, melainkan harus mendapatkan izin dari Presiden terlebih dahulu.
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 76/PUU-XII/2014 ini terkait pengujian Pasal 245 Undang–Undang Nomor 17 tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang pasalnya berbunyi :
(1) Pemanggilan dan permintaan keterangan untuk penyidikan terhadap anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana harus mendapat persetujuan tertulis dari Mahkamah Kehormatan Dewan.
(2) Dalam hal persetujuan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak diberikan oleh Mahkamah Kehormatan Dewan paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak diterimanya permohonan, pemanggilan, dan permintaan keterangan untuk penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku apabila anggota DPR:
a. Tertangkap tangan melakukan tindak pidana;
b. Disangka melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau tindak pidana kejahatan terhadap kemanusiaan dan keamanan negara berdasarkan bukti permulaan yang cukup; atau
c. Disangka melakukan tindak pidana khusus.
Ketentuan dalam Pasal 245 Undang–Undang Nomor 17 tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah ini diajukan permohonan judicial review dengan surat permohonan tertanggal 5 Agustus 2014 dan telah dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi pada tanggal 13 Agustus 2014 dengan Nomor 76/PUU-XII/2014 oleh Supriyadi Widodo Eddyono selaku Pemohon I dan Perkumpulan Masyarakat Pembaharuan Peradilan Pidana selaku Pemohon II. Para
pemohon menyatakan dalam alasan permohonannya bahwa Pasal 245 Undang– Undang Nomor 17 tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah bertentangan dengan Undang–Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 karena izin pemeriksaan apabila dikeluarkan oleh Mahkamah Kehormatan Dewan dianggap kurang tepat karena Mahkamah Kehormatan Dewan merupakan lembaga etik yang merupakan alat kelengkapan DPR sendiri yang tidak memiliki hubungan langsung pada sistem peradilan pidana. Selain itu, Mahkamah Kehormatan Dewan diisi pula oleh anggota DPR sendiri untuk melakukan penyelidikan dan verifikasi atas pengaduan terhadap anggota dewan, hal ini dianggap merupakan konflik kepentingan dari anggota dewan dan bertentangan dengan prinsip negara hukum dan secara langsung berpotensi menghambat terhambatnya proses hukum. Oleh karena itu para pemohon meminta dalam petitum permohonannya agar Pasal 245 Undang–Undang Nomor 17 tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dinyatakan bertentangan dengan Undang–Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Namun, Mahkamah Konstitusi melalui Majelis Hakimnya kemudian mengeluarkan Putusan Nomor 76/PUU-XII/2014 dimana Majelis Hakim mengabulkan sebagian permohonan pemohon seperti yang terdapat dalam poin kedua dari putusan. Amar putusannya berbunyi :
“ 1. Permohonan Pemohon I tidak dapat diterima;
2. Mengabulkan permohonan Pemohon II untuk sebagian:
2.1. Frasa “persetujuan tertulis dari Mahkamah Kehormatan Dewan” dalam Pasal 245 ayat (1) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 182, Tambahana Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5568) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai “persetujuan tertulis dari Presiden”;
2.2. Frasa “persetujuan tertulis dari Mahkamah Kehormatan Dewan” dalam Pasal 245 ayat (1) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014
tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 182, Tambahana Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5568) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “persetujuan tertulis dari Presiden”;
2.4. Frasa “persetujuan tertulis dari Mahkamah Kehormatan Dewan” dalam Pasal 245 ayat (1) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 182, Tambahana Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5568) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai “persetujuan tertulis dari Presiden”;
2.5. Frasa “persetujuan tertulis dari Mahkamah Kehormatan Dewan” dalam Pasal 245 ayat (1) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 182, Tambahana Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5568) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “persetujuan tertulis dari Presiden”;
2.6. Pasal 224 ayat (5) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 182, Tambahana Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5568) selengkapnya menjadi, “Pemanggilan dan permintaan keterangan kepada anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana sehubungan dengan pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3) dan ayat (4) harus mendapatkan persetujuan tertulis dari Presiden”.
3. Menolak permohonan Pemohon II untuk selain dan selebihnya;
4. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya. “
Ketentuan ini kemudian dinyatakan Mahkamah Konstitusi inkonstitusional bersyarat sepanjang frasa “persetujuan tertulis dari Mahkamah Kehormatan Dewan” tidak dimaknai “persetujuan tertulis dari Presiden”. Artinya, pemanggilan dan permintaan keterangan untuk penyidikan terhadap anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana harus mendapat persetujuan tertulis dari Presiden. Dalam konteks inilah MK telah merekonstruksi mekanisme "izin MKD" menjadi "izin
Presiden" (diakses melalui http://www.mahkamahkonstitusi.go.id, pada 20 Februari 2016 pukul 12.49 WIB).
Salah satu pemberitaan dugaan tindak pidana yang dilakukan anggota DPR yang muncul pasca dikeluarkannya putusan ini di berita online adalah kasus penganiayaan oleh Ivan Haz terhadap T yang bermula pada 30 September 2015. T kemudian melapor apa yang dialaminya ke Polda Metro Jaya. Namun karena diketahui tersangka pelakunya seorang anggota DPR RI, polisi butuh izin Presiden untuk memeriksa Ivan (diakses melalui http://megapolitan.kompas.com, pada 05 Maret 2016 pukul 10.53 WIB). Selain itu, kasus lain adalah dugaan penganiayaan yang dilakukan anggota DPR dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Masinton Pasaribu kepada staf ahlinya Dita Aditia Ismawati. Menurut Trimedya Panjaitan selaku Wakil Ketua Komisi Hukum DPR, Masinton pasti akan memenuhi panggilan pemeriksaannya asal sesuai prosedur dan sesuai undang-undang yaitu harus izin presiden (diakses melalui http://www.cnnindonesia.com, pada 05 Maret 2016 pukul 11.06 WIB).
Kedua kasus ini kemudian menunjukkan bahwa anggota DPR seolah-olah dapat berlindung dibalik izin yang dikeluarkan oleh Presiden. Hal tersebut dikarenakan terdapat perlakuan hukum yang berbeda antara anggota DPR dengan masyarakat. Berdasarkan uraian tersebut diatas, penulis tertarik untuk membuat suatu penulisan hukum yang berjudul, “ANALISIS IZIN PEMERIKSAAN TERHADAP ANGGOTA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT OLEH APARAT PENEGAK HUKUM DIKAITKAN PRINSIP NEGARA HUKUM (STUDI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 76/PUU-XII/2014) “.
B. Rumusan Masalah
1. Mengapa konstruksi perizinan pemeriksaan anggota DPR oleh penegak hukum diubah memerlukan izin dari Presiden?
2. Apakah izin pemeriksaan anggota DPR memiliki relevansi dengan prinsip negara hukum?
C. Tujuan Penelitian
Suatu penelitian tentu memiliki tujuan yang menjadi target yang akan dicapai dalam penelitian sebagai solusi terhadap permasalahan yang akan diteliti. Adapun tujuan yang hendak dicapai penulis yaitu :
1. Tujuan Obyektif
a. Untuk melakukan analisis sehubungan dengan perubahan konstruksi perizinan pemeriksaan anggota DPR menjadi memerlukan persetujuan dari Presiden; dan
b. Untuk melakukan analisis relevansi izin pemeriksaan terhadap anggota DPR dengan prinsip negara hukum.
2. Tujuan Subyektif
a. Untuk mempertajam wawasan Penulis dalam bidang Hukum Tata Negara, khususnya mengenai Izin Pemeriksaan terhadap Anggota DPR oleh Aparat Penegak Hukum; dan
b. Untuk menghasilkan penulisan hukum (skripsi) sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar kesarjanaan (S1) di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.
D. Manfaat Penelitian
Dalam suatu penelitian pada prinsipnya harus dapat memberikan manfaat bagi ilmu pengetahuan, bagi obyek yang diteliti maupun bagi penulis sendiri serta bagi pembaca secara umum. Adapun manfaat yang diharapkan dari penulisan hukum ini meliputi :
1. Manfaat Teoritis
Manfaat teoritis adalah manfaat yang berhubungan dengan pengembangan ilmu pengetahuan. Manfaat teoritis dari penelitian hukum ini sebagai berikut :
a. Sebagai salah satu sarana untuk memberikan kontribusi pemikiran bagi perkembangan ilmu pengetahuan pada umumnya dan ilmu hukum pada khususnya.
b. Sebagai salah satu sarana untuk menambah referensi dan literatur yang dapat digunakan sebagai acuan terhadap penelitian – penelitian hukum sejenis pada masa yang akan datang.
2. Manfaat Praktis
Manfaat praktis adalah manfaat yang berhubungan dengan pemecahan masalah ataupun penerapan teori dalam prakteknya. Adapun manfaat praktis dari penulisan hukum ini adalah sebagai berikut :
a. Memberikan manfaat dalam rangka pengembangan penalaran, pembentukan pola pikir yang sistematis dan mengetahui kemampuan penulis dalam menerapkan ilmu yang diperoleh selama berkuliah di Fakultas Hukum.
b. Memberikan tambahan pengetahuan dan masukan bagi pihak-pihak yang terkait dengan masalah dalam penelitian ini dan berguna bagi pihak–pihak yang berminat pada masalah yang sama.
E. Metode Penelitian
Adapun metode penelitian yang peneliti gunakan dalam penelitian hukum ini adalah sebagai berikut :
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan oleh penulis dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normatif atau doktrinal. Terry Hutchinson memberikan pengertiaan penelitian hukum doktrinal sebagai berikut, “Doctrinal Research – Research which provides a systematic exposition of the rules governing a particular legal category, analyses the relationship between rules, explains areas of difficulty and, perhaps, predicts future development” (Johnny Ibrahim, 2006:44). Dengan kata lain, Hutchinson mengatakan penelitian doktinal, yaitu penelitian yang menyediakan ekspos sistematis terhadap peraturan yang mengatur kategori hukum tertentu, menganalisis hubungan antar peraturan, menjelaskan area yang mengalami hambatan, dan bahkan memperkirakan perkembangan mendatang. Dalam penelitian ini, penulis ingin menganalisis mengenai izin pemeriksaan
terhadap anggota DPR oleh aparat penegak hukum dikaitkan dengan prinsip negara hukum.
2. Sifat Penelitian
Sifat penelitian ini adalah sifat penelitian yang bersifat preskriptif dan terapan. Ilmu hukum mempunyai karakteristik sebagai ilmu yang berifat preskriptif dan terapan. Sebagai ilmu yang bersifat preskriptif, objek ilmu hukum adalah koherensi antara norma hukum dan prinsip hukum, antara aturan hukum dan norma hukum, serta koherensi antara tingkah laku dengan norma hukum (Peter Mahmud Marzuki, 2014:59). Pada penulisan ini sifat preskripsi digunakan untuk mendapatkan suatu argumen mengenai ada atau tidaknya relevansi antara izin Presiden dalam pemeriksaan anggota DPR dengan prinsip negara hukum.
3. Pendekatan Penelitian
Pada penelitian hukum ini, penulis menggunakan pendekatan kasus (case approach) dan pendekatan undang-undang (statue approach). Pendekatan kasus dilakukan dengan mempelajari ratio decidendi atau alasan hukum yang digunakan untuk hakim dalam merubah konstruksi izin pemeriksaan anggota DPR menjadi memerlukan izin dari Presiden. Sementara pendekatan undang-undang dilakukan dengan menelaah undang – undang atau kesesuaian aturan hukum yang ada terkait isu hukum yang diteliti yaitu izin pemeriksaan anggota DPR dan relevansinya dengan prinsip negara hukum.
4. Jenis dan Sumber Data Penelitian
Adapun bahan hukum yang digunakan dalam penelitian hukum ini adalah sebagai berikut:
a) Bahan Hukum Primer
Bahan primer yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Undang–Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah
3. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum; 4. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan; 5. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa
Keuangan;
6. Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden;
7. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2009 tentang Bank Indonesia; 8. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman;
9. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.
10. Undang–Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah; 11. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan
Daerah
12. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 73/PUU-IX/2011; dan 13. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 76/PUU-XII/2014. b) Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum sekunder yang digunakan penulis berupa publikasi, yang meliputi buku–buku, kamus-kamus hukum, jurnal-jurnal, dan teks mengenai Hukum Tata Negara, khususnya yang terkait dengan lembaga perwakilan dan prinsip negara hukum.
5. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum
Teknik pengumpulan bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini yaitu:
a) Studi Kepustakaan (Library Research)
Peneliti dalam studi kepustakaan ini mengkaji, mempelajari dan menelaah buku–buku, jurnal-jurnal, arsip-arsip, dan dokumen maupun
peraturan-peraturan yang berhubungan dengan izin, lembaga perwakilan, dan prinsip negara hukum.
b) Cyber Media
Cyber media merupakan teknik pengumpulan bahan hukum melalui internet dengan cara melakukan pengunduhan berbagai artikel yang berhubungan dengan izin pemeriksaan terhadap anggota DPR oleh aparat penegak hukum dan mengenai prinsip negara hukum. Bahan hukum yang penulis unduh dari internet antaralain berupa jurna nasional, jurnal internasional dan makalah. Halaman web yang penulis gunakan yaitu antara lain adalah www.jimly.com, www.mahkamahkonstitusi.go.id, www.cnnindonesia.com, www.hamdanzoelva.wordpress.com, dan www.kompas.com.
6. Teknik Analisis Bahan Hukum
Teknik analisis bahan hukum yang dipergunakan dalam penulisan hukum ini adalah deduksi, sebagaimana silogisme yang diajarkan oleh Aristoteles, penggunaan metode deduksi ini berpangkal dari pengajuan premis mayor berupa pengaturan mengenai izin pemeriksaan terhadap anggota DPR oleh aparat penegak hukum dalam Undang–Undang Nomor 17 tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang diubah berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 76/PUU-XII/2014. Kemudian diajukan premis minor yaitu relevansi antara izin pemeriksaan tersebut dengan prinsip negara hukum. Dari kedua premis ini kemudian ditarik suatu kesimpulan atau conclusio, apakah izin pemeriksaan terhadap anggota DPR oleh aparat penegak hukum memiliki relevansi atau tidak dengan prinsip negara hukum.
F. Sistematika Penulisan Hukum
Sistematika penulisan hukum digunakan untuk memberikan gambaran secara menyeluruh dan sistematis berkaitan dengan keseluruhan isi dari penulisan hukum. Sistematika penulisan hukum ini terdiri dari 4 (empat) bab, yang tiap-tiap
bab terbagi dalam sub-sub bab bagian. Sistematika penulisan hukum ini adalah sebagai berikut: BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang B. Rumusan Masalah C. Tujuan Penelitian D. Manfaat Penelitian E. Metode Penelitian
F. Sistematika Penulisan Hukum BAB II : TINJAUAN PUSTAKA
A. Kerangka Teori
1) Tinjauan mengenai Izin
2) Tinjauan mengenai Lembaga Perwakilan 3) Tinjauan mengenai Prinsip Negara Hukum B. Kerangka Pemikiran
BAB III : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Perubahan Konstruksi Izin Pemeriksaan terhadap Anggota DPR oleh Aparat Penegak Hukum menjadi Memerlukan Persetujuan dari Presiden
B. Analisis Relevansi Izin Pemeriksaan terhadap Anggota DPR Dikaitkan dengan Prinsip Negara Hukum
BAB IV : PENUTUP A. Simpulan B. Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN