• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 15 PERWUJUDAN LEMBAGA DEMOKRASI YANG MAKIN KUKUH

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB 15 PERWUJUDAN LEMBAGA DEMOKRASI YANG MAKIN KUKUH"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 15

PERWUJUDAN LEMBAGA DEMOKRASI YANG MAKIN KUKUH

Pada kuartal akhir tahun 2005 hingga semester pertama tahun 2006 ini, terlihat kecenderungan adanya pemanfaatan ruang publik yang kurang sejalan dengan arah pelembagaan demokrasi yang berintikan pada penegakan proses politik yang demokratis dan penegakan supremasi hukum. Hal ini antara lain terlihat dari cukup kuatnya kecenderungan penggunaan cara-cara kekerasan serta sering terjadinya gejala-gejala pemaksakan pendapat dan kepentingan suatu kelompok tertentu terhadap kelompok lainnya. Berkaitan dengan gejala-gejala kurang positif ini, berbagai pihak menghimbau bahwa Pemerintah, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), dan lembaga-lembaga penegak hukum perlu menegaskan kembali komitmen bersama mengenai perlunya perlakuan yang adil dan sama secara hukum bagi setiap warganegara tanpa kecuali; tanpa memandang afiliasi politik dan pengelompokan kemasyarakatan yang bersangkutan. Selain itu, penyelesaian perbedaan pendapat dapat ditempuh melalui cara-cara damai dan demokratis, serta mengikuti aturan hukum yang ada. Masih kurangnya pengalaman bersama dalam berdemokrasi; masih cukup besarnya kekosongan dalam struktur peraturan perundangan yang ada untuk mengatur berbagai perilaku dan tatakrama dalam berpolitik; serta masih rendahnya kapasitas kelembagaan demokrasi yang ada

(2)

merupakan kelemahan yang harus diakui memberikan andil bagi terciptanya suasana-suasana demikian. Namun, belum sempurnanya berbagai struktur dan kelembagaan demokrasi yang sedang dibangun, tidak dapat menjadi alasan ataupun pembenaran (justifikasi) untuk melakukan tindakan-tindakan pemaksaan kehendak melalui ancaman dan tindakan kekerasan secara melawan hukum.

I. PERMASALAHAN YANG DIHADAPI

Pada tahun 2006 ada beberapa perkembangan dalam proses demokratisasi yang secara khusus perlu dicermati oleh semua lembaga penyelenggara negara maupun masyarakat pada umumnya. Pada tingkat masyarakat, wacana mengenai amandemen Konstitusi merupakan salah satu pembicaraan penting yang muncul kembali di kalangan masyarakat. Setiap aspirasi yang berkaitan dengan dasar negara tentu dapat saja secara terbuka dikemukakan ke wacana politik, termasuk adanya keinginan-keinginan untuk kembali kepada Undang Undang Dasar UUD 1945 yang asli. Masyarakat umumnya sepakat bahwa segala aspirasi politik yang ada sebaiknya dikembalikan saja kepada proses politik dan kelembagaan yang ada. Setiap kelompok masyarakat memiliki hak untuk tidak menyetujui amandemen Konstitusi yang sudah dilakukan. Amandemen UUD 1945 adalah sesuatu yang dilakukan secara konstitusional karena dilaksanakan oleh parlemen yang dipilih oleh rakyat melalui pemilu yang demokratis pula. Sebaiknya, apabila menghendaki kembali kepada UUD 1945 yang asli, membatalkan sebagian amandemen, ataupun melanjutkan amandemen diharapkan dapat dilakukan melalui proses/prosedur yang sama sesuai konstitusi, dan, bukan dengan cara-cara inkonstitusional.

Di dalam masyarakat telah kembali pula wacana yang sudah muncul sejak awal era reformasi serta merupakan isu politik yang cukup peka, yakni apakah anggota TNI dan Polri sebaiknya sudah diizinkan untuk menggunakan hak pilih mereka dalam Pemilu Nasional pada tahun 2009 mendatang. Pada satu pihak, ada kelompok masyarakat yang mengacu pada Tap MPR No.VII Tahun 2000 tentang Peran Tentara Nasional Indonesia dan Peran Kepolisian Negara Republik Indonesia, yang memberikan batas waktu keberadaan TNI dan Polri di MPR paling lama sampai dengan Tahun 2009. Menurut

(3)

kelompok ini, sudah saatnya anggota TNI dan Polri menggunakan hak pilihnya secara normal sebagaimana halnya warganegara Indonesia yang lain, dan seperti normalnya setiap anggota angkatan bersenjata di negara-negara demokrasi maju. Di lain pihak, ada kelompok yang berpendapat, sebaiknya TNI menunda penggunakan hak pilihnya sampai dengan Pemilu selanjutnya, yakni tahun 2014. Pemilu 2009 telah mulai menjadi isu hangat yang dibicarakan di dalam masyarakat, terutama terkait dengan perlunya penyempurnaan terhadap undang-undang penyelenggaraan pemilu, undang-undang-undang-undang partai politik dan pemilu anggota DPR, Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dan berbagai persiapan teknis operasional Pemilu 2009.

Pada tingkat penyelenggaraan negara, satu hal yang perlu diperhatikan adalah adanya aspirasi-aspirasi bagi penyempurnaan mekanisme checks and balances, terutama yang menyangkut keterkaitan hubungan kelembagaan antara DPR dengan DPD. Aspirasi-aspirasi yang ke luar dari para anggota DPD umumnya menginginkan peningkatan peran, fungsi, hak dan kedudukan DPD terhadap DPR, karena menganggap posisi DPD masih jauh di bawah DPR. Menurut aspirasi yang berkembang, sesuai dengan asas-asas demokrasi, kelembagaan yang ada di dalam sistem parlemen bikameral (DPR dan DPD) diharapkan memiliki posisi yang berimbang. Berbagai kalangan menilai bahwa Konstitusi maupun perundang-undangan yang ada dianggap memberikan ruang yang terbatas bagi lembaga DPD, bahkan terkesan berada di bawah (subordinat) lembaga DPR.

Sebelum menentukan posisi terbaik DPD dalam parlemen di era konsolidasi demokrasi diperlukan pertukaran pemikiran, wacana politik, serta diskusi intensif di antara semua kekuatan lembaga hukum dan politik yang terkait dan relevan, termasuk DPR dan DPD itu sendiri. Disamping itu, keputusan apa pun yang akan diambil harus dilakukan dengan cara-cara konstitusional. Pada prinsipnya, keputusan mengenai fungsi, hak dan kedudukan DPD di masa mendatang diharapkan dapat memperkuat parlemen sebagai lembaga legislasi, bukan sebaliknya memperlemahnya dalam konteks konsolidasi demokrasi di masa mendatang.

(4)

Permasalahan berikutnya adalah masih belum terjalinnya harmonisasi yang optimal di antara lembaga-lembaga konstitusional baru yang dibentuk berdasarkan perundang-undangan dengan lembaga-lembaga yang sudah ada, seperti Mahkamah Agung (MA), Komisi Yudisial (KY), Mahkamah Konstitusi (MK), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dan Komisi Pemilihan Umum (KPU). Di antara isu yang banyak mendapatkan sorotan masyarakat adalah silang pendapat antara Mahkamah Agung (MA) dengan Komisi Yudisial (KY) berkaitan dengan penafsiran konstitusional dan perundangan-undangan mengenai peran, fungsi, dan kewenangan masing-masing dalam menyelesaikan kasus-kasus tertentu. Agar tidak mengganggu kinerja kelembagaan secara keseluruhan, kekurang harmonisan yang terjadi dalam hubungan kelembagaan dapat diatasi dengan beberapa alternatif misalnya melalui perbaikan mekanisme dan prosedur kerja, atau dapat juga melalui revisi atau mengamandemen perundang-undangan yang menjadi dasar pembentukan lembaga-lembaga baru tersebut untuk mengatasi permasalahan-permasalahan yang dianggap cukup prinsipil. Dapat diprediksi bahwa akan ada konsekuensi yang cukup berat bagi penegakan demokrasi dan supremasi hukum apabila lembaga-lembaga penting yang ada masih terus mencari-cari peran dan kewenangan, serta masih lemahnya koordinasi antara lembaga-lembaga yang secara konstitusional setara.

Salah satu permasalahan yang terjadi saat ini adalah masih terpuruknya wibawa aparatur penegak hukum di tanah air. Padahal penegakan supremasi hukum dan pemenuhan rasa keadilan masyarakat merupakan salah satu tonggak terpenting berhasilnya upaya demokratisasi di Indonesia. Apabila hukum di Indonesia sudah berhasil menegakkan asas persamaan di muka hukum dan keadilan bagi setiap warganegara, berarti salah satu prinsip penting demokrasi sudah berhasil dijalankan. Sebaliknya, selama wibawa hukum dan lembaga peradilan belum mampu menjaga rasa keadilan masyarakat, maka demokrasi pun tidak mungkin ditegakkan.

Permasalahan berikutnya yang perlu dikemukakan adalah berkaitan erat dengan terus berlanjutnya proses desentralisasi kewenangan pemerintahan pusat melalui penerapan kebijakan otonomi daerah secara konsisten dan berkelanjutan. Dengan

(5)

mempertimbangkan berbagai keberhasilan, maupun permasalahan dan tantangan yang ada selama kurang lebih 10 bulan terakhir, maka Pemerintah mengharapkan sampai dengan akhir 2006, seluruh peraturan pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah akan dapat dituntaskan. Selain itu, walaupun merupakan pengalaman baru, seperti halnya pemilihan presiden dan wakil presiden, pelaksanaan Pilkada secara umum sudah dapat dilaksanakan secara baik, antara lain karena antusiasme masyarakat dalam menyukseskan pelaksanaannya. Hal ini diungkapkan dengan tanpa mengingkari adanya berbagai permasalahan yang timbul selama dan sesudah pelaksanaan proses Pilkada.

Adanya berbagai tuntutan belum lama berselang dari sejumlah besar kepala desa agar dilakukan perubahan-perubahan terhadap pasal-pasal di dalam Undang-Undang No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Peraturan Pemerintah (PP) No. 72 Tahun 2005 tentang Desa sangat tergantung terhadap visi Pemerintah Pusat dan DPR mengenai pemerintahan desa seperti yang tercantum di dalam UU No 32 Tahun 2004. Pertama, apakah desa akan dikembangkan lebih lanjut untuk menjadi daerah dengan otonomi tersendiri, seperti halnya kabupaten/kota. Kalau hal ini menjadi pilihan, maka akan membawa konsekuensi-konsekuensi politik lanjutan. Kedua, apakah desa dikembangkan lebih lanjut untuk menjadi organ daerah otonomi kabupaten/kota, seperti halnya kecamatan, yang merupakan organ pemerintahan daerah. Pemerintah bersedia membuka diri untuk membicarakan hal ini lebih lanjut, demi kepentingan penataan desentralisasi dan Otonomi Daerah.

Erat kaitannya dengan otonomi Daerah dan Pilkada adalah persoalan pemantapan pelaksanaan otonomi khusus (Otsus), baik Otonomi Khusus Papua (UU No. 21 Tahun 2001) maupun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (UU PA). Hal ini berkaitan dengan masih adanya upaya-upaya mengganggu pelaksanaan Otsus di Papua, dengan melakukan propaganda-propaganda politik dan gerakan-gerakan yang dapat merugikan kedaulatan NKRI atas Propinsi Papua.

Menyangkut penerapan lebih lanjut Otsus Aceh dan pelaksanaan kesepakatan yang dituangkan dalam MoU Helsinki tahun 2005 mengenai Kesepakatan Damai di Aceh, akhirnya pada tanggal 11 Juli 2006 Sidang Paripurna DPR telah menetapkan UU PA dan

(6)

diharapkan dapat menjadi dasar bagi pembentukan pemerintahan Aceh yang baru. Sikap kompromistis dari masing-masing pihak yang berkepentingan sangat menentukan berhasilnya pembentukan UU PA ini menjadi produk perundang-undangan, sekaligus diharapkan menyelesaikan secara tuntas permasalahan separatisme Aceh.

Satu hal yang tidak kurang penting dalam pelembagaan demokrasi adalah memperkuat kelembagaan media massa, termasuk lembaga pers dan penyiaran. Media massa adalah pengawal utama kekuatan masyarakat sipil (civil society) dari semua lembaga masyarakat yang ada dalam demokrasi. Media massa merupakan pencerminan kekuatan langsung masyarakat, tanpa perwakilan, dalam menggunakan dan mengimplementasikan hak-hak asasinya dalam sebuah demokrasi. Antara lain berupa hak-hak mengetahui, hak-hak mengemukakan dan membentuk pendapat, hak-hak melakukan kontrol atas lembaga-lembaga penyelenggara negara, serta hak-hak ikut serta dalam proses perumusan kebijakan dan pengambilan keputusan politik.

Diakui masih cukup banyak persoalan yang menjadi hambatan kalangan media massa dalam menjalankan tugas-tugasnya dalam menyebarluaskan informasi kepada publik. Banyak keluhan bahwa media massa masih seringkali kurang mendapatkan perlindungan keamanan karena seringkali menjadi korban tindak kekerasan dari pihak-pihak yang merasa dirugikan nama baik dan kedudukan penting mereka karena pemberitaan media massa; namun pada sisi lain adanya kenyataan masih lemahnya profesionalisme media massa dalam menjalankan perannya. Selain itu, khusus di bidang penyiaran, sejumlah kalangan masih mempertanyakan itikad baik Pemerintah dalam menjamin hak masyarakat untuk mengatur dan menyampaikan informasi sesuai dengan UUD 1945 Pasal 28 F serta perundang-undangan bidang penyiaran. Empat PP di bidang penyiaran, yaitu PP No. 49 Tahun 2005 tentang Pedoman Kegiatan Peliputan Lembaga Penyiaran Asing, PP No. 50 Tahun 2005 tentang Penyelenggaraan Penyiaran Lembaga Penyiaran Swasta, PP No. 51 Tahun 2005 tentang Penyelenggaraan Penyiaran Lembaga Penyiaran Komunitas, dan PP No.52 Tahun 2005 tentang Penyelenggaraan Penyiaran Lembaga Penyiaran Berlangganan oleh sejumlah pihak dianggap sebagai upaya Pemerintah untuk melakukan kontrol secara berlebihan terhadap

(7)

lembaga-lembaga penyiaran, antara lain berupa pengaturan mengenai perizinan khusus dalam memperoleh hak penyiaran tertentu dengan mengecilkan peranan KPI. Padahal, menurut berbagai pihak tersebut, media cetak sudah tidak lagi menuntut berbagai perizinan tertentu. Lebih jauh, KPI berpendapat bahwa PP No. 50 Tahun 2005 tentang Lembaga Penyiaran Swasta belum sejalan dengan semangat otonomi daerah dan desentralisasi penyiaran. PP tersebut menyatakan pula program siaran nasional yang hanya memberi porsi siaran lokal sebanyak 10 persen, sedangkan 90 persennya didominasi oleh siaran TV yang bersiaran nasional. Sementara itu, UU Penyiaran mengamanatkan adanya penyiaran yang berjejaringan dengan tujuan untuk menciptakan pengembangan potensi lokal baik perekonomian maupun SDM dan memenuhi syarat utama keragaman isi (diversity of content) dan keragaman kepemilikan (diversity of ownership).

Sedangkan terhadap 3 (tiga) PP sebelumnya yaitu PP No. 11 Tahun 2005 tentang Lembaga Penyiaran Publik, PP No. 12 Tahun 2005 tentang TVRI dan PP No. 13 Tahun 2005 tentang RRI sedang dilakukan review, dan saat ini masih dalam pembahasan dengan DPR dan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Keberatan-keberatan yang ada ini tentu menjadi perhatian Pemerintah bagi upaya-upaya pemecahan masalah dan penyempurnaan peraturan perundangan khususnya tentang perizinan. Perhatian Pemerintah tentu juga dengan memperhatikan masukan-masukan dari DPR dan KPI.

Hal lain yang menjadi persoalan saat ini adalah pengaruh negatif maraknya media penyiaran pasca reformasi. Dikhawatirkan persoalan ini akan menghasilkan dampak yang bertentangan dengan tujuan pembangunan untuk mencerdaskan bangsa dan proses demokratisasi di Indonesia.

II. LANGKAH-LANGKAH KEBIJAKAN DAN HASIL-HASIL YANG DICAPAI

Langkah-langkah kebijakan pada semester pertama 2006 ini masih merupakan kelanjutan dari semester terakhir 2005 lalu untuk menjaga konsistensi dan menghindarkan penerapan kebijakan yang berlawanan dengan upaya konsolidasi demokrasi. Langkah kebijakan yang diambil antara lain tetap terarah pada penataan hubungan

(8)

kelembagaan negara, baik antara lembaga-lembaga politik yang sudah mantap keberadaannya, maupun lembaga-lembaga baru yang dalam prakteknya masih mencari bentuk dan peranan yang sesuai seperti yang digariskan oleh peraturan dan perundang-perundangan yang relevan. Langkah kebijakan lainnya adalah penguatan dan penyempurnaan struktur peraturan dan perundang-undangan yang diharapkan mampu memberikan fondasi lebih kokoh bagi pengaturan hubungan kelembagaan dan penguatan kelembagaan (capacity building), termasuk lembaga perwakilan (DPR, DPD, DPRD), penguatan Pemerintah daerah dan pemantapan status otonomi khusus, pengaturan lebih lanjut hubungan pusat dan daerah, dan hal-hal lainnya yang berkaitan dengan pemberdayaan masyarakat sipil dan organisasi politik (parpol) serta organisasi kemasyarakatan (ormas). Pemerintah juga sedang berusaha mewujudkan kelembagaan KKR berdasarkan perundang-undangan yang ada.

Menyangkut peningkatan peran DPD, Pemerintah sejak awal, baik melalui Rencana Pebangunan Jangka Panjang Menengah (RPJM) 2004-2009 maupun melalui Rencana Kerja Pemerintah (RKP) 2005, Rencana Kerja Pemerintah (RKP) 2006, dan RKP 2007 di bawah payung program penyempurnaan dan penguatan kelembagaan demokrasi, secara prinsip sudah mencantumkan pentingnya peningkatan capacity building lembaga legislatif, termasuk DPD. Mengingat pentingnya upaya desentralisasi politik dan perlunya menyempurnakan pelaksanaan otonomi daerah dalam kerangka konsolidasi demokrasi, maka gagasan mengembangkan Rumah Aspirasi (House of Aspirations) yang bertujuan memperkuat komunikasi politik antara wakil-wakil rakyat yang ada di DPD dengan konstituennya perlu mendapatkan dukungan. Gagasan mengembangkan Rumah Aspirasi dapat dianggap sebagai upaya strategis untuk membangun legitimasi dari bawah. Dengan membesarnya legitimasi dari bawah, maka diharapkan landasan konstitusional dapat diubah melalui proses politik. Akan sulit bagi DPD kalau hanya menuntut perubahan terhadap landasan konstitusional keberadaannya, kalau tidak mengubah realitas politik di tingkat akar rumput. Lebih jauh lagi, dengan mengamati perkembangan realitas politik yang ada dewasa ini, DPD memiliki peluang untuk maju memperkuat eksistensinya.

(9)

Dalam konteks penataan sistem pemerintahan secara nasional, berbagai regulasi, pembagian tugas dan hubungan kerja antara lembaga-lembaga pemerintahan yang ada, termasuk di tingkat daerah, secara bertahap telah dirumuskan. Upaya penyempurnaan struktur, fungsi dan mekanisme penyelenggaraan pemerintahan daerah berdasarkan UU No. 32 Tahun 2004 terus dilakukan dengan mengacu pada prinsip-prinsip dasar yang diamanatkan dalam Konstitusi, serta memperhatikan berbagai peraturan perundangan yang berlaku. Penataan sistem pemerintahan, antara lain diwujudkan dalam pengaturan pembagian urusan pemerintahan yang dapat menciptakan hubungan antar tingkat pemerintahan yang sinergis dan harmonis.

Hal lain, dalam upaya memantapkan pelaksanaan Otonomi Daerah (Otda), telah diimplementasikan secara sinergis penyelenggaraan asas-asas pemerintahan yang relevan, yakni desentralisasi, dekonsentrasi dan tugas pembantuan, dengan penekanan pada upaya pemantapan fungsi dan peran Gubernur dalam melakukan koordinasi pusat-daerah, pembinaan, pengawasan dan supervisi terhadap pelaksanaan asas-asas penyelenggaraan pemerintahan di daerah, termasuk pada tingkat kabupaten/kota, serta dukungan pembangunan sarana dan prasarana perkantoran di daerah otonom baru.

Dalam penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada), selama Juni 2005 hingga akhir Juni 2006, telah dilaksanakan 252 Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah (Gubernur, Bupati, Walikota) di seluruh wilayah NKRI, yaitu pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur di 10 provinsi, pemilihan Bupati/Wakil Bupati di 204 kabupaten, dan pemilihan Walikota/Wakil Walikota di 38 kota. Secara umum pelaksanaan Pilkada telah dapat diselenggarakan dengan cukup demokratis, dengan hasil yang dapat diterima oleh masyarakat pemilihnya. Namun, di berbagai daerah terjadi berbagai letupan ketidakpuasan masyarakat, baik dikemukakan melalui cara-cara yang damai tanpa kekerasan, dengan membawa berbagai kasus dugaan pelanggaran ke Komisi Pengawasan Pemilihan Umum (KPPU/KPPUD) dan pengadilan, maupun yang dilampiaskan melalui cara-cara kekerasan dan perusakan gedung dan sarana-sarana publik.

(10)

Dalam kaitan dengan keinginan KY untuk memperbesar wewenang kelembagaannya dan mengharapkan Pemerintah memberikan dukungan, dengan mengeluarkan Perpu, maka kebijakan Pemerintah adalah memutuskan untuk tidak megelukan Perpu, karena dapat menyebabkan komplikasi politik yang serius dalam hubungan kelembagaan. Menurut KY, rancangan Perpu harus dibuat sehubungan dengan perlunya tambahan kewenangan KY untuk menjatuhkan sanksi kepada hakim yang menurut KY telah melanggar etika profesi hakim. Sedangkan sesuai dengan UU No. 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial, KY hanya memiliki kewenangan untuk merekomendasikan kepada MA berkaitan dengan pelanggaran yang dilakukan oleh hakim. Pemerintah menghargai permintaan KY untuk mengeluarkan Perpu, namun tidak melihat adanya satu alasan yang konstitusisoal hal ikhwal kepentingan yang memaksa terkait dengan dikeluarkannya Perpu tersebut.

Berkenaan dengan peningkatan peran parpol, pemerintah telah mengeluarkan PP No. 29 Tahun 2005 tentang Bantuan Keuangan Kepada Partai Politik serta Permendagri No. 32 Tahun 2005 tentang Pedoman Pengajuan, Penyerahan, dan Laporan Penggunaan Bantuan Keuangan kepada Parpol. Dikeluarkannya PP tersebut merupakan penjabaran pasal 17 ayat (4) UU No. 31 tahun 2002 tentang Partai Politik. Dalam kerangka mewujudkan kehidupan demokrasi di Indonesia serta mengingat pembentukan partai politik merupakan perwujudan kedaulatan rakyat dan partai politik merupakan juga asset negara, maka pemerintah perlu memberikan bantuan keuangan. Bantuan keuangan ini diberikan bertujuan untuk membantu kelancaran administrasi dan/atau sekretariat partai politik yang mendapatkan kursi di Lembaga Perwakilan Rakyat guna memperjuangkan tujuan partai politik dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara guna memperkokoh integritas Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sedangkan terkait dengan upaya meningkatkan peran masyarakat sipil dalam penyelenggaraan pemerintahan dan negara, pemerintah telah melakukan berbagai forum untuk memperoleh masukan bagi penyempurnaan UU No. 8 Tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan yang ditengarai sudah tidak relevan lagi di dalam mengakomodasi perkembangan proses demokrasi saat ini dan ke depan. Diharapkan revisi/amandemen terhadap undang-undang

(11)

tersebut dapat segera dilakukan, dan saat ini sudah masuk dalam daftar undang-undang yang diprioritaskan untuk diselesaikan pada tahun 2007.

Langkah kebijakan lain adalah bersangkutan dengan media massa. Disadari sepenuhnya, bahwa media massa yang terjamin kebebasan dan independensinya pada gilirannya menguntungkan semuanya, baik negara maupun masyarakat. Walaupun seringkali dianggap merugikan kepentingan-kepentingan politik tertentu (vested interest), namun precision journalism (berdasarkan investigative reporting), justru dapat menjadi semacam early warning system terhadap ancaman-ancaman laten terhadap negara dan masyarakat, termasuk praktek-praktek yang merongrong kekayaan rakyat seperti Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN). Oleh karena itulah, UU No. 40 tahun 1999 tentang Pers dan UU No. 32 tahun 2002 tentang Penyiaran, beserta 7 PP di bidang Penyiaran, kemudian diberlakukan untuk menjamin kebebasan dan independensi media massa. Walaupun masih ada juga pihak yang mempertanyakan apakah kedua undang-undang ini termasuk peraturan pelaksanaannya sudah cukup mampu menjamin pers sebagai kekuatan keempat (fourth estate) dari demokrasi.

Lebih jauh, dalam konteks mencerdaskan kehidupan bangsa dan mendorong proses demokratisasi di Indonesia, KPI telah mengawal momen penting kenegaraan dalam regulasi penyiaran informasi politik pada pemilu legislatif maupun pemilihan presiden secara langsung pada tahun 2004. Juga telah disusun Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3-SPS) sebagai pedoman bagi perilaku dan isi lembaga penyiaran di Indonesia. Penerbitan P3-SPS ini diikuti dengan kegiatan pemantauan intensif terhadap pelanggaran program siaran yang dilakukan semua stasiun TV yang bersiaran nasional.

Hal lain yang telah dilakukan adalah dibangunnya kerja sama antara KPI dengan pihak Kepolisian untuk mengefektifkan pasal-pasal dalam UU Penyiaran 2002 khususnya untuk menetapkan ancaman pidana terhadap pelanggaran mengenai sejumlah jenis siaran yang antara lain terlalu menonjolkan kekerasan, pornografi dan lain sebagainya. Saat ini telah diefektifkan pula forum/dialog dengan berbagai pihak yang relevan, yang difasilitasi oleh KPI, untuk

(12)

meningkatkan kualitas lembaga penyiaran yang dapat memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kesejahteraan dan pendidikan.

Dalam rangka mengatasi hambatan penyebaran informasi ke daerah, saat ini masih terus dibangun hubungan fungsional dan kerja sama dengan pemerintah daerah melalui Badan Koordinasi Kehumasan (BAKOHUMAS), dan telah disusun konsep pedoman koordinasi dan pertukaran informasi antarpemerintah, baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah. Hal lain adalah telah disusun konsep pengembangan, pemberdayaan dan pemanfaatan lembaga komunikasi masyarakat sebagai mitra pemerintah dalam penyebaran informasi.

Hal lain terkait bidang komunikasi dan informasi yang telah dilakukan oleh Pemerintah adalah telah disusunya: draft akademik untuk penyempurnaan UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers; rancangan Permen tentang Lembaga Penyiaran Swasta, Lembaga Penyiaran Berlangganan Eksisting, Surat Edaran No. 80/SE/DJSKDI/4/2006 tentang Pelaporan Keberadaan Lembaga Penyiaran Online dan Surat Edaran No. 02/SE/M/Kominfo/3/2006 tentang Pelaporan Keberadaan Lembaga Penyiaran Publik, Lembaga Penyiaran Swasta dan Lembaga Penyiaran Berlangganan; Peraturan Menteri Kominfo No. 14/P/M Kominfo/6/2006 tentang Tata Cara Penyesuaian Izin Penyelenggaraan Penyiaran; Penyusunan Pedoman Kelompok Informasi Masyarakat (KIM); dan telah dilakukan sosialisasi UU Penyiaran serta Peraturan Pemerintahnya. Sedangkan terkait dengan pelayanan komunikasi dan informasi, beberapa hal yang telah dilakukan adalah antara lain Meet The Press/Media Gathering dengan Perwakilan Asing, Dialog Interaktif Indonesia Bersatu melalui RRI, pelaksanaan forum komunikasi dan dialog untuk peningkatan manajemen layanan informasi dan diseminasi informasi, serta forum pemberdayaan lembaga komunikasi perdesaan, pemantau media dan media tradisional .

III. TINDAK LANJUT YANG DIPERLUKAN

Pada satu sisi, pembangunan kelembagaan demokrasi merupakan sebuah upaya jangka panjang yang berkelanjutan. Pada saat yang sama dalam jangka pendek dan menengah pengembangan kelembagaan demokrasi memerlukan berbagai kemampuan

(13)

memahami perkembangan realitas yang ada secara domestik maupun internasional. Hal ini bukan berarti demokratisasi harus menyerah pada hambatan dan tantangan yang mungkin datang dari berbagai kelompok kepentingan yang tidak menghendaki keberlanjutan konsolidasi demokrasi di Indonesia.

Pada sisi lain, perwujudan lembaga demokrasi yang kukuh selain membutuhkan penyempurnaan struktur peraturan dan perundang-undangan serta penyesuaian-penyesuaian dalam proses politik, diperlukan pula kemampuan menumbuhkan budaya politik yang relevan dengan nilai-nilai universal demokrasi, seperti nilai-nilai HAM dan budaya egalitarianisme. Pemerintah menyadari sosialisasi dan internalisasi nilai-nilai demokrasi ke dalam semangat masyarakat dan bangsa Indonesia membutuhkan investasi yang bersifat jangka panjang, serta memerlukan kebersamaan dan persatuan semua unsur-unsur masyarakat sipil tanpa kecuali. Selain itu, tidak mungkin demokrasi yang sehat dapat dibangun apabila masih ada kelompok masyarakat yang mengalami diskriminasi sosial ataupun mendapatkan stigma politik tanpa alasan yang dapat diterima oleh masyarakat terbuka yang berdasarkan hukum.

Dalam kerangka di atas, seperti pada tahun-tahun sebelumnya, beberapa hal penting perlu diperhatikan keberlanjutannya. Hal itu terutama terkait dengan reformasi struktur politik serta peraturan perundang-undangan. Berbagai evaluasi terhadap pelaksanaan undang-undang pemerintahan daerah yang berkaitan dengan pengembangan otonomi daerah lebih lanjut adalah salah satu kegiatan yang perlu diutamakan bersamaan dengan penerapan ketetapan-ketetapan yang sudah ada. Sehubungan dengan adanya usulan-usulan untuk memperbaiki proses Pilkada, Pemerintah juga memberikan catatan kelembagaan mengenai perlunya pengkajian mengenai UU No.32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, apakah hal yang berkaitan dengan Pilkada dijadikan perundang-undangan tersendiri atau tetap menjadi ketentuan-ketentuan yang tercakup ke dalam UU No. 32 Tahun 2004. Penilaian yang obyektif perlu melibatkan berbagai pihak, mengingat luasnya lingkup Pemerintah Daerah dan Pilkada. Pada sisi lain, demi menuntaskan pembenahan yang menyeluruh terhadap pemerintahan daerah, Pemerintah perlu mengakomodasikan seluas mungkin kepentingan-kepentingan yang

(14)

berkaitan dengan pengembangan PP No. 72 Tahun 2005 tentang Desa. Pemerintah menyadari masih banyaknya hal-hal yang perlu diperbaiki untuk memperbaiki kelembagaan perdesaan, termasuk posisi Kepala Desa dan perangkat desa lainnya. Hal ini penting untuk dijadikan perhatian mengingat kecamatan dan desa merupakan ujung tombak pembangunan di tingkat masyarakat terbawah. Untuk itu, ke depan harus dilakukan pengkajian yang menyeluruh mengenai posisi Desa, Kepala Desa serta perangkat kelembagaan pendukungnya seperti yang diatur dalam UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dan PP No. 72 Tahun 2005 tentang Pemerintah Desa. Misalnya, perlu adanya kajian mengenai apakah cukup alasan berdasarkan konstitusi dan perundang-undangan yang berlaku untuk menerapkan larangan berpolitik bagi Kepala Desa seperti tercantum pada PP No. 72 tahun 2005 tentang Pemerintah Desa, dan larangan yang diterapkan kepada PNS serta TNI/Polri aktif.

Dengan makin mendekatnya waktu penyelenggaraan Pemilu 2009, Pemerintah mengajak DPR untuk sejak saat ini mulai menyusun jadwal yang lebih terinci bagi kemungkinan mempercepat penyelesaian atau penyempurnaan undang-undang penyelenggaraan pemilu, undang-undang partai politik dan pemilu anggota DPR, DPD dan DPRD, yang akan digunakan sebagai landasan operasional penyelenggaraan Pemilu 2009, sehingga diharapkan produk final perundang-undangan termaksud sudah disahkan pada Maret 2007. Hal ini dimaksudkan agar persiapan Pemilu sampai dengan pengadaan sarana keperluan Pemilu 2009 dapat dilaksanakan pada tahun 2007 dan 2008, sehingga pada tahun 2009 KPU hanya tinggal menyelesaikan tahap distribusi barang. KPU mengusulkan perlunya definisi tentang daerah pemilihan dimasukkan ke dalam ketentuan umum UU tersebut; sedangkan di dalam batang tubuh UU secara khusus menjelaskan standar alokasi perolehan kursi berdasarkan kondisi geografis dan perkembangan jumlah penduduk serta pemekaran wilayah. KPU juga mengusulkan klausul dalam perangkat peraturan perundang-undangan yang memungkinkan dapat direkrutnya kembali anggota KPU yang ikut serta dalam pelaksanaan Pemilu 2004 untuk memanfaatkan pengalaman yang sudah dimilikinya.

(15)

KPU saat ini telah memberikan pendapat bahwa apabila sampai dengan bulan Maret 2007 ketiga perundang-undangan tersebut belum ditetapkan/disahkan, mengusulkan kepada Pemerintah untuk mengeluarkan PP tentang Pengadaan Barang dan Jasa khusus untuk penyelenggaraan Pemilu 2009. Hal ini diperlukan untuk menjamin legalitas KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota dalam penyelenggaraan Pemilu yang tertib administrasi, transparan dan akuntabel.

Pada tahun-tahun mendatang, penguatan nilai-nilai kebersamaan dan persaudaraan merupakan kebijakan politik yang sebaiknya jangan ditunda-tunda dalam pembangunan demokrasi. Salah satu alat untuk mencapai kebersamaan dan persaudaraan yang dibutuhkan dalam membangun masyarakat demokratis yang sehat adalah menuntaskan upaya-upaya rekonsiliasi nasional seperti yang sudah diamanatkan oleh UU No. 27/2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Nasional (KKR). Pemerintah menyadari masih adanya ganjalan-ganjalan politik tertentu bagi pembentukan KKR karena erat berkaitan dengan persoalan-persoalan pelanggaran HAM dan kejahatan-kejahatan politik pada masa lalu dalam perjalanan sejarah Republik Indonesia ini. Namun, Pemerintah tetap mengajak DPR serta lembaga-lembaga yang berkaitan untuk bersama-sama menyelesaikan permasalahan ini, karena sudah merupakan amanat perundang-undangan yang kita susun bersama.

Pada tahun 2006 ini, Pemerintah menargetkan penyelesaian UU tentang Kebebasan Memperoleh Informasi Publik (KMIP). Hal ini sebagai upaya memperkuat UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers dan UU No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran beserta 7 PP bidang penyiaran yang sudah efektif berlaku. Hal ini terkait dengan adanya keragu-raguan terhadap itikad baik Pemerintah sendiri terhadap pemenuhan hak publik untuk memiliki akses yang seluas-luasnya kepada semua sumber informasi yang berkaitan langsung dengan hajat hidup orang banyak, serta pemberdayaan peran lembaga-lembaga independen di bidang media massa seperti Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) yang merupakan lembaga negara independen di bidang penyiaran dan Dewan Pers yang merupakan lembaga independen yang mengawasi pelaksanaan Kode Etik Jurnalistik. Dengan akan diberlakukannya UU KMIP ini, maka diharapkan tidak

(16)

ada lagi keragu-raguan tentang keinginan Pemerintah menjamin kebebasan masyarakat dalam mendapatkan informasi yang seluas-luasnya tanpa pembatasan-pembatasan yang tidak perlu. Pada tahun 2006 ini, KPI akan membuat ketentuan siaran iklan di Indonesia sesuai amanat UU Penyiaran pasal 46.

Disamping itu, secara umum pada masa depan Pemerintah akan menyelesaikan berbagai persoalan mengenai PP sebagai penjabaran UU Penyiaran, menyelesaikan kebijakan Menteri untuk mendukung pelaksanaan berbagai PP Penyiaran, serta menyelesaikan pedoman pelaksanaan yang saat ini telah dipersiapkan. Melanjutkan program kegiatan yang diarahkan pada peningkatan kerja sama dengan lembaga informasi masyarakat dan media, serta melakukan fasilitasi peningkatan SDM bidang komunikasi dan informasi tetap menjadi prioritas yang akan dilakukan pada tahun 2006 dan 2007.

Referensi

Dokumen terkait

Memungkinkan dapat terjadi pada saat proses pemberian nilai siswa karana dalam penialain menunggu hasil penilaian yang sudah lengkap dari guru bidang studi kemudian diberikan wali

 Responden di Kalimantan cenderung untuk berubah opini menjadi setuju pencabutan subsidi BBM setelah menerima informasi terkait daripada responden di Jawa & Bali (21,3%).

3. Dalam hal instansi pemerintah sebagai Pemegang Paten tidak dapat melaksanakan Patennya, Inventor atas persetujuan Pemegang Paten. dapat melaksanakan Paten dengan pihak

Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2014 tentang Dana Desa Yang Bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun

1. :elaskan akibat yang bisa terjadi bila keluarga tidak mengambil keputusan untuk mengatasi diare @ muntaber  2. +eri kesempatan keluarga bertanya &. Dorong keluarga

Berkat artikulasi yang baik, mampu untuk menjaga sistem 4x4 menjaga traksi dan semua roda berada pada permukaan lintasan lumpur, pasir, berair dan bebatuan sehingga Anda tetap dapat

Penelitian Harimurti (2008) menyebutkan bahwa peningkatan jumlah Obesitas pada anak- anak saat ini karena anak-anak lebih senang mengkonsumsi fast food modern yang

dan rumput laut, maka diperlukan lokasi yang terlindung dari pengaruh angin dan gelombang yang besar. Lokasi yang terlindung biasanya di perairan teluk atau perairan yang