• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. tempat-tempat tertentu dengan tujuan untuk rekreasi dalam jangka waktu tertentu.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. tempat-tempat tertentu dengan tujuan untuk rekreasi dalam jangka waktu tertentu."

Copied!
27
0
0

Teks penuh

(1)

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Wisatawan, adalah sebutan bagi orang-orang yang melakukan perjalanan ke tempat-tempat tertentu dengan tujuan untuk rekreasi dalam jangka waktu tertentu. Motivasi wisatawan dalam melakukan perjalanan berbeda-beda, dimulai dari untuk menjalankan tujuan-tujuan yang bersifat rekreasi, yang perlahan berkembang menjadi untuk tujuan bisnis, menghadiri rapat atau pertemuan, hingga perjalanan untuk mempelajari keunikan suatu tempat. Berdasarkan sejarahnya, manusia melakukan perjalanan karena keinginan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Perjalanan identik dengan kegiatan untuk bersenang-senang yang dilakukan dalam waktu tertentu. Selain bersenang-senang, kegiatan wisata juga identik dengan jumlah wisatawan yang banyak dan berkelompok.

Sektor pariwisata merupakan salah satu sumber devisa non Migas yang cukup besar di Indonesia. Data statistik dari Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif pada Januari hingga Juli 2014 menunjukkan bahwa tingkat kunjungan wisatawan mancanegara melalui 19 pintu masuk utama, sebesar 5.328.732 dengan pertumbuhan sebesar 9.37%. Berdasarkan data tersebut, terlihat bahwa pada bulan Juli 2014, kunjungan wisatawan tertinggi adalah melalui Bandara Ngurah Rai, Bali dengan tingkat kunjungan sebesar 358.907, yang selanjutnya diikuti dengan Bandara Soekarno Hatta dengan jumlah kunjungan sebesar 169.135.1

1Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, 2014, Jumlah Kunjungan Wisatawan Mancanegara Menurut Pintu Masuk dan Kebangsaan Bulan Juli 2014,

(2)

Bertambahnya tingkat kunjungan wisatawan ini, berdampak pada timbulnya permintaan-permintaan berupa jasa pariwisata yang disediakan oleh masyarakat di sekitar tempat kunjungan wisata.2 Industri Pariwisata dapat dipandang sebagai sebuah sub sistem dari sistem pariwisata secara keseluruhan. Struktur Industri Pariwisata dimulai dari travel generating region, dari mana calon wisatawan akan merencanakan dan memulai perjalanan wisatanya. Hal ini berlaku apabila calon wisatawan tersebut mencari jasa perjalanan pariwisata yang ada di negaranya untuk merencanakan suatu perjalanan wisata. Sub sistem industri pariwisata akan berlanjut sepanjang tempat/jalur transit yang mencakup pelayanan maskapai penerbangan dan akomodasi selama transit penerbangan.3 Berdasarkan sistem tersebut, maka dapat dilihat bahwa pentingnya keberadaan suatu usaha jasa perjalanan wisata dalam Industri Pariwisata.

Dengan berwisata, merupakan cara untuk memenuhi rasa ingin tahu seseorang terhadap tempat wisata yang akan dikunjunginya. Oleh sebab itu, wisatawan sering menggunakan jasa pemandu wisata untuk memudahkan perjalanannya dalam menjelajahi tempat-tempat yang dikunjunginya tersebut. Hal itu merupakan salah satu faktor yang mendorong muncul dan berkembangnya berbagai macam usaha jasa perjalanan wisata.

http://www.parekraf.go.id/userfiles/file/Lapbul%20Juli%202014.pdf, diakses tanggal 6 September 2014.

2Muljadi A.J., 2012, Kepariwisataan dan Perjalanan, Cetakan ke-3, PT. Rajagrafindo Persada, Jakarta, h. 6.

3I Gde Pitana dan I Ketut Surya Diarta, 2009, Pengantar Ilmu Pariwisata, CV. Andi Offset, Yogyakarta, h. 63.

(3)

Usaha Jasa Perjalanan Wisata adalah perusahaan yang kegiatannya mengurus keperluan orang yang mengadakan perjalanan baik darat, udara, maupun laut dengan cara menjadi penghubung antara perusahaan yang menyediakan fasilitas perjalanan dengan orang yang ingin melakukan perjalanan.4 Usaha Jasa Perjalanan Wisata ini terdiri dari dua jenis, yaitu Biro Perjalanan Wisata dan Agen Perjalanan Wisata.

Suatu perusahaan dapat disebut sebagai Biro Perjalan Wisata apabila kegiatan utama perusahaan tersebut ditekankan pada perencanaan dan penyelenggaraan perjalanan wisata atau paket wisata atas inisiatif sendiri dan tanggung jawab sendiri dengan tujuan mengambil keuntungan dari penyelenggaraan perjalanan tersebut.5 Dalam tujuannya untuk merencanakan kegiatan perjalanan wisatawan, Biro Perjalanan Wisata sering kali mengadakan berbagai macam bentuk paket wisata untuk menarik minat wisatawan yang akan datang ke suatu daerah wisata. Paket wisata dapat diartikan sebagai suatu perjalanan wisata dengan beberapa tujuan wisata yang tersusun dari berbagai fasilitas jasa perjalanan tertentu dan terprogram dalam susunan acaranya dan dipasarkan kepada masyarakat dengan harga yang telah ditetapkan.6 Dimana paket-paket tersebut meliputi layanan akomodasi hotel, restoran, dan berbagai macam bentuk usaha wisata lainnya. Paket wisata yang sudah dibuat dengan baik dapat dipasarkan langsung oleh biro

4 I Gde Pitana dan I Ketut Surya Diarta, ibid, h. 124.

5I Gusti Putu Bagus Sasrawan Mananda, 2011, “Studi Kelayakan Pendirian PT. Medussa Multi Bussines Center (MMBC) Sumanda Tour & Travel di Bali (Kajian Aspek Pasar Finasial)”, (tesis) Program Studi Magister (S2) Manajemen Pascasarjana Universitas Udayana, h. 48.

(4)

perjalanan wisata itu sendiri ataupun melalui agen perjalanan wisata, yang nantinya akan diperoleh imbalan berupa komisi penjualan paket wisata yang telah disepakati oleh kedua belah pihak.

Travel Agent menduduki posisi yang amat penting dalam industri pariwisata

karena Travel Agent menjadi perantara di antara perusahaan-perusahaan industri pariwisata di satu pihak dan wisatawan potensial di lain pihak. Travel Agent memiliki karakteristik utama berupa yaitu agent (agen). Berkaitan dengan hal itu, Trevor C. Atherton dan Trudie A. Atherton dalam bukunya yang berjudul

Tourism, Travel and Hospitality Law, menyatakan bahwa “At common law an agent is a person who is authorized to represent or act on behalf of a second person, called a principal, to transact some business or affair between the principal and third person.”7

Travel Agent berfungsi untuk memberikan berbagai macam informasi kepada

calon wisatawan mengenai daerah tujuan wisata, dokumen perjalanan, peraturan lalu lintas devisa, pakaian dan perlengkapan yang harus dibawa, memberi saran kepada calon wisatawan, menyediakan tiket, memilih akomodasi, melakukan reservasi hotel, mengatur perencanaan tour di daerah destinasi wisata.8

Seperti halnya usaha perdagangan jasa (trade in services) yaitu usaha perdagangan yang menempatkan jasa sebagai komoditi yang mencakup pengertian pelayanan dan bantuan untuk mendapatkan sesuatu atau suatu sistem yang mengorganisir kegiatan untuk memenuhi kebutuhan dasar seseorang atau

7Trevor C. Atherton and Trudie A. Atherton, 1998, Tourism, Travel and Hospitality Law, LBC Information Services, Australia, h.239.

(5)

beberapa orang9, Biro Perjalanan Wisata maupun Agen Perjalanan Wisata merupakan pihak yang memperoleh imbalan atas jasa yang diberikannya dari wisatawan. Berdasarkan data dalam Direktori 2013 Dinas Pariwisata Provinsi Bali, selama tahun 2013 terdapat 377 Biro Perjalanan Wisata di Bali, yang dibagi dalam beberapa jenis, yaitu Biro Perjalanan Wisata (BPW), Cabang Biro Perjalanan Wisata (CBPW), Biro Perjalanan Wisata MICE (BPW MICE), dan Biro Perjalanan Wisata Lanjut Usia (BPW Lanjut Usia).

Keberadaan Biro Perjalanan Wisata di Bali telah diatur secara khusus dalam Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 1 Tahun 2010 tentang Usaha Jasa Perjalanan Wisata (UJPW). Dalam Pasal 1 Angka 13 Perda ini, disebutkan bahwa usaha biro perjalanan wisata meliputi usaha penyediaan jasa perencanaan perjalanan dan/atau jasa pelayanan dan penyelenggaraan pariwisata, termasuk penyelenggaraan perjalanan ibadah. Sementara itu, dalam pasal 6 angka 1 disebutkan bahwa salah satu bentuk kegiatan Biro Perjalanan Wisata ini adalah memberikan layanan angkutan/transportasi wisata.

Dalam tujuannya untuk merencanakan kegiatan perjalanan wisatawan, Biro Perjalanan Wisata sering kali mengadakan berbagai macam bentuk paket wisata untuk menarik minat wisatawan yang akan datang ke suatu daerah wisata. Paket-paket tersebut meliputi layanan akomodasi hotel, restoran, dan berbagai macam bentuk usaha wisata lainnya.

9Ida Bagus Wyasa Putra, et.al., 2003, Hukum Bisnis Pariwisata, Refika Aditama, Bandung, h.1.

(6)

Namun keberadaan paket-paket perjalanan wisata yang ditawarkan oleh Biro-Biro Perjalanan Wisata ini sering kali tidak ditunjang dengan faktor perlindungan keselamatan wisatawan, yang jelas. Sangat jarang terlihat adanya perjanjian khusus yang dibuat secara tertulis antara pihak Biro Perjalanan Wisata dengan Wisatawan terkait keselamatan wisatawan itu sendiri. Padahal dalam Pasal 26 poin d Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan telah disebutkan dengan jelas bahwa Pengusaha Pariwisata berkewajiban untuk memberikan kenyamanan, keramahan, perlindungan keamanan, dan keselamatan wisatawan. Sedangkan dalam pasal 11 angka 1 Huruf a dalam Perda Provinsi Bali, hanya menyebutkan bahwa Pengusaha UJPW wajib untuk memberikan perlindungan kepada wisatawan, dalam bentuk jaminan keselamatan dan keamanan selama wisatawan tersebut berada di Bali.

Maraknya kasus kecelakaan lalu lintas yang belakangan ini terjadi terhadap Bus Pariwisata, seperti yang terjadi pada Bus Pariwisata Giri Indah, tanggal 21 Agustus 2013 di Jalan Raya Puncak-Bogor, atau kasus kecelakaan Bus Pariwisata di Klatakan, Melaya, Kabupaten Jembrana tanggal 15 Desember 2012 ini, cukup menjadi contoh pentingnya keberadaan jaminan keselamatan yang diberikan oleh Biro Perjalanan Wisata terhadap wisatawannya. Sebab sejauh ini, bentuk penyelesaian dari kasus-kasus yang telah terjadi sebelumnya terlihat tidak jelas. Padahal sesungguhnya tingkat keberhasilan suatu Biro Perjalanan Wisata bergantung pada kepuasan wisatawan yang menggunakan jasa mereka. Hal ini dikarenakan layanan atau transaksi yang dilakukan adalah transaksi/pembayaran

(7)

atas pelayanan yang akan dinikmati kemudian (after sales services) dan berdasarkan kepercayaan wisatawan.10

Kenyataan bahwa adanya kecelakaan-kecelakaan yang timbul tersebut disebabkan oleh kurang mampunya Biro Perjalanan Wisata dalam membuat paket wisata yang tersusun dan terkelola dengan baik. Perencanaan yang matang adalah salah satu kunci penting untuk dapat menyelenggarakan suatu paket perjalanan wisata yang sukses. Pada dasarnya, proses penyusunan paket wisata ini sangat kompleks, karena harus menggabungkan beberapa produk jasa dari berbagai macam usaha pariwisata. Disamping itu, dalam produk-produk tersebut yang diutamakan adalah harga yang murah dan mampu menarik minat wisatawan, sehingga sering kali mengabaikan standarisasi terhadap keamanan dan keselamatan yang harus dipenuhi untuk dapat menjamin perlindungan kepada wisatawan. Padahal standarisasi yang jelas dan tepat merupakan salah satu instrumen penting dalam suatu perlindungan hukum.

Namun terhitung sejak tanggal 11 April 2014, Pemerintah telah menetapkan peraturan tentang Standar Usaha Jasa Perjalanan Wisata melalui Peraturan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2014. Dalam Pasal 9 ayat 4 huruf a telah disebutkan bahwa standar usaha bagi Biro Perjalanan Wisata meliputi 3 aspek, yaitu 1. Produk, yang terdiri dari 20 unsur, 2. Pelayanan, yang terdiri dari 7 unsur, dan 3. Pengelolaan, yang terdiri dari 11 unsur. Penjelasan secara detail terkait unsur-unsur tersebut dijelaskan lebih

(8)

lanjut dalam Lampiran Peraturan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Nomor 4 Tahun 2014.

Hal ini memungkinkan adanya masalah standarisasi Biro Perjalanan Wisata sebagaimana ditentukan dalam peraturan menteri, dan kendala yang dialami oleh Biro Perjalanan Wisata untuk memenuhi standarisasi. Peraturan tersebut belum menentukan secara detail mengenai lembaga yang menguji standarisasi aspek produk, pelayanan, dan pengelolaan suatu Biro Perjalanan Wisata. Perlindungan hukum terhadap pengguna jasa pariwisata baik domestik maupun mancanegara dan para pengusaha pariwisata sangat diperlukan,11 karena dalam hukum internasional telah dinyatakan bahwa Negara wajib untuk melindungi Warga Negaranya maupun orang asing yang berada di Negaranya. Sementara itu, apabila dilihat dalam aspek ekonomi, adanya jaminan perlindungan hukum akan sangat berpengaruh pada respon pasar dalam industri pariwisata.

Pariwisata merupakan salah satu andalan dalam perolehan devisa bagi pembangunan baik nasional maupun daerah. Oleh sebab itu, pembangunan pariwisata Indonesia harus mampu menciptakan inovasi baru untuk mempertahankan dan meningkatkan daya saing secara berkelanjutan.12 Adanya penelitian ini diharapkan dapat memberikan saran dan masukan kepada pihak-pihak yang berkepentingan yaitu pemerintah dan biro-biro perjalanan wisata, agar lebih bertanggung jawab dalam mengutamakan keselamatan wisatawan sesuai

11Violetta Simatupang, 2009, Pengaturan Hukum Kepariwisataan Indonesia, PT. Alumni, Bandung, h. 59.

12Made Metu Dhana, 2012, Perlindungan Hukum dan Keamanan Terhadap Wisatawan, Paramita, Surabaya, h. 1.

(9)

dengan standarisasi yang telah ditetapkan dalam suatu peraturan. Maka berdasarkan hal tersebut, penulis tertarik untuk melakukan penelitian yang berjudul “Perlindungan Hukum Terhadap Wisatawan Dalam Pasokan Jasa Pariwisata oleh Biro Perjalanan Wisata”.

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, terdapat beberapa permasalahan yang penting untuk dibahas secara lebih lanjut. Adapun permasalahan tersebut adalah sebagai berikut :

1. Bagaimanakah konstruksi norma pengaturan standar keamanan dan keselamatan wisatawan dalam pasokan jasa pariwisata oleh Biro Perjalanan Wisata?

2. Bagaimanakah kesiapan Biro Perjalanan Wisata dalam melaksanakan peraturan perlindungan wisatawan dalam pasokan jasa pariwisata oleh Biro Perjalanan Wisata?

1.3. Ruang Lingkup Masalah

Untuk menghindari pembahasan menyimpang dari pokok permasalahan, diberikan batasan-batasan mengenai ruang lingkup permasalahan yang akan dibahas. Adapun ruang lingkup permasalahan yang akan dibahas adalah sebagai berikut :

1. Akan dijelaskan tentang konstruksi norma pengaturan standar keamanan dan keselamatan wisatawan dalam pasokan jasa pariwisata oleh Biro Perjalanan Wisata.

(10)

2. Akan dibahas mengenai kesiapan Biro Perjalanan Wisata dalam melaksanakan peraturan perlindungan wisatawan dalam pasokan jasa pariwisata oleh Biro Perjalanan Wisata.

1.4. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan-tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini, adalah : 1.4.1. Tujuan Umum

Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengkaji bentuk tanggung jawab yang diberikan oleh Biro Perjalanan Wisata terhadap wisatawan.

1.4.2. Tujuan Khusus

a. Mengidentifikasi konstruksi norma pengaturan standar keamanan dan keselamatan wisatawan dalam pasokan jasa pariwisata oleh Biro Perjalanan Wisata.

b. Mengetahui kesiapan Biro Perjalanan Wisata dalam melaksanakan peraturan perlindungan wisatawan dalam pasokan jasa pariwisata oleh Biro Perjalanan Wisata.

1.5. Manfaat Penelitian

Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini, yaitu: 1.5.1. Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi bagi penelitian lainnya yang berkaitan dengan Biro Perjalanan Wisata.

(11)

1.5.2. Manfaat Praktis

Secara Praktis, penelitian ini diharapkan dapat menjadi saran dan masukan kepada Pemerintah maupun Biro Perjalanan Wisata, untuk lebih mengintensifkan perlindungan hukum terhadap wisatawan.

1.6. Orisinalitas Penelitian

Dalam proses penyusunan penelitian ini, ditemukan beberapa jenis karya ilmiah yang sama-sama membahas tentang Biro Perjalanan Wisata namun dengan metode dan pembahasan yang berbeda, yaitu:

1. Judul Penelitian: Pengaturan Usaha Biro Perjalanan Wisata di Provinsi Bali, oleh I Ketut Suparta, Pascasarjana Universitas Udayana Tahun Penelitian 2013.

Tesis ini menggunakan metode penelitian hukum Normatif. Dalam tesis ini dibahas tentang Kewenangan Pemerintah Provinsi Bali dalam mengatur Usaha Biro Perjalanan Wisata dan Pengawasan terhadap Usaha Biro Perjalanan Wisata di Provinsi Provinsi Bali.

Sementara tesis peneliti, menggunakan metode penelitian hukum empiris dengan pembahasan tentang konstruksi norma baru pengaturan perlindungan biro perjalanan wisata terhadap wisatawan dan kesiapan Biro Perjalanan Wisata dalam melaksanakan peraturan baru tentang perlindungan wisatawan oleh Biro Perjalanan Wisata.

2. Judul Penelitian: Tinjauan Yuridis Sosiologis Perijinan Usaha Biro dan Agen Perjalanan Wisata di Kota Malang, oleh Bambang Toto Widodo, Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Malang Tahun 2007.

(12)

Tesis ini mengambil lokasi penelitian di Kota Malang. Dan membahas tentang perijinan Usaha Biro dan Agen Perjalanan Wisata di kota tersebut. Tesis ini menggunakan metode peneilitian empiris. Sedangkan Tesis penulis menggunakan metode penelitian yang sama, namun membahas lebih khusus mengenai tanggung jawab biro perjalanan wisata terhadap wisatawan. Dan disasarkan pada Peraturan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2014 tentang Standar Usaha Jasa Perjalanan Wisata.

3. Judul Penelitian: Aspek Yuridis Pelaksanaan Asuransi Terhadap Wisatawan Yang Mengalami Kecelakaan Di Lingkungan Obyek Wisata, oleh Setyo Boedi Mumpuni Harso, Magister Hukum Universitas Gajah Mada, Tahun 2008.

Penelitian ini membahas mengenai pelaksanaan asuransi wisatawan oleh PT. Jasa Raharja Putera di Daerah Istimewa Yogyakarta dengan metode penelitian yuridis normatif. Dengan pembahasan terkait tentang faktor-faktor penghambat pelaksanaan asuransi wisatawan di Daerah Istimewa Yogyakarta, dan mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi besarnya santunan terhadap wisatawan bila terjadi di lingkungan obyek wisata.

Sedangkan tesis peneliti membahas tentang tanggung jawab yang diberikan oleh Biro Perjalanan Wisata terhadap wisatawan yang menggunakan jasanya. Objek kajian tesis penulis adalah Biro Perjalanan Wisata, sehingga pembahasannya tidak hanya terbatas pada asuransi, namun juga bentuk standarisasi yang harus dimiliki oleh Biro Perjalanan Wisata untuk dapat

(13)

memberikan perlindungan kepada wisatawan, sesuai dengan peraturan yang berlaku.

1.7. Landasan Teoritis

Dalam mengkaji permasalahan yang berkaitan dengan penelitian ini, diperlukan berbagai teori yang ada relevasinya dengan penelitian ini, yaitu:

A. Teori Hukum Murni

Teori Hukum Murni adalah teori yang dipelopori oleh Hans Kelsen. Teori ini berusaha menelaah ilmu hukum dari dalam ilmu itu sendiri, dengan menggunakan metode ilmu hukum itu sendiri, dan dengan menghilangkan pengaruh ilmu lain dalam menganalisa hukum, dengan tujuan agar kajiannya hanya bertumpu pada jawaban atas pertanyaan apa dan bagaimana hukum itu.13

Suatu norma hukum dengan norma hukum yang lainnya semestinya tidak saling bertentangan, karena norma hukum berada pada sebuah sistem yang tersusun secara hierarkis, yang seluruhnya bersumber pada satu sistem besar yang merupakan satu norma dasar (groundnorm), yaitu konstitusi. Sementara itu, Hans Kelsen menyatakan bahwa, pertentangan antara suatu kaidah hukum dengan kaidah hukum lainnya adalah wajar terjadi, mengingat ketika berbicara dalam tataran yang lebih konkrit maka dimungkinkan adanya penafsiran antara satu sama lain.14

Selanjutnya, teori hukum murni ini dikembangkan oleh Hans Nawiasky. Dalam pengembangannya, Hans Nawiasky berpendapat bahwa norma hukum

13Munir Fuady, 2013, Teori-Teori Besar (Grand Theory) Dalam Hukum, Kencana Prenadamedia Group, Jakarta, h. 127.

(14)

dalam suatu Negara juga berjenjang dan bertingkat hingga membentuk suatu tertib hukum, sehingga norma yang dibawah berdasar, bersumber dan berlaku pada norma yang lebih tinggi. Norma dalam Negara itu juga membentuk kelompok norma hukum yang terdiri atas 4 (empat) kelompok besar, yaitu :15

1. Staatfundamentalnorm (Norma Fundamental Negara) 2. Staatgrundgesetz (Aturan dasar/pokok Negara) 3. Formellgesetz (Undang-undang)

4. Verordnung dan Autonome Satzung (Pelaksana dan Aturan Otonom)

Teori Hukum Murni ini digunakan untuk menjawab rumusan masalah pertama, yaitu tentang konstruksi norma pengaturan standar keamanan dan keselamatan wisatawan dalam pasokan jasa pariwisata oleh Biro Perjalanan Wisata. Pengaturan tentang standar usaha jasa perjalanan wisata ini merupakan peraturan yang baru dikeluarkan oleh Pemerintah melalui Peraturan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif pada tanggal 11 April 2014, sehingga diperlukan adanya kajian secara mendalam terkait pasal-pasal dalam peraturan ini, untuk mengetahui tentang letak peraturan menteri ini dalam sistem hukum di Indonesia dan ada atau tidaknya norma-norma yang bertentangan, baik dalam peraturan menteri itu sendiri, ataupun dengan peraturan-peraturan lain yang ada di atasnya. B. Teori Tanggung Jawab Hukum

Teori tanggung jawab hukum merupakan teori yang mengkaji dan menganalisis tentang kesediaan dari subjek hukum atau pelaku tindak pidana

15Hoemam Fairuzy Fahmi, 2012, Teori Hans Kelsen dan Hans Nawiasky,

http://www.scribd.com/doc/85318361/Teori-Hans-Kelsen-Dan-Hans-Nawiansky, diakses tanggal 7 September 2014.

(15)

untuk membayar sejumlah denda atau memberikan ganti rugi ataupun melaksanakan pidana atas kesalahannya maupun karena kealpaannya.16 Teori ini kemudian dikembangkan oleh Hans Kelsen, Wright, Maurice Finkelstein, dan Amad Sudiro.

Tanggung jawab hukum dapat dibagi dalam tiga bidang tanggung jawab, yaitu Tanggung Jawab bidang Perdata, bidang Pidana, dan bidang Adminsitrasi. Adanya tanggung jawab dalam bidang perdata disebabkan oleh tidak dilaksanakannya suatu kewajiban oleh subjek hukum dan atau subjek hukum tersebut melakukan suatu tindakan yang melawan hukum. Pertanggungjawaban dalam bidang administrasi dapat dikenakan pada subjek hukum yang melakukan kesalahan administratif. Salah satu contohnya adalah, apabila dalam mendirikan usahanya, pelaku usaha tidak melengkapi syarat-syarat perizinan sebagaimana yang ditetapkan oleh pemerintah, maka pelaku usaha tersebut berhak untuk dinakan sanksi administratif berupa pencabutan izin usaha. Sementara itu dalam bidang pidana, pelaku tindak pidana dapat diminta pertanggungjawabannya dalam bentuk penjatuhan sanksi pidana, yang terdiri dari pidana pokok dan pidana tambahan.

Menurut Hans Kelsen, tanggung jawab dibedakan menjadi dua macam, yaitu:17

16Salim HS dan Erlies Septianan Nurbani, 2014, Penerapan Teori Hukum Pada Penelitian Tesis dan Disertasi (Buku Kedua), PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, (selanjutnya disingkat Salim HS dan Erlies Septianan Nurbani I), h. 208.

(16)

1. Tanggung jawab yang didasarkan pada kesalahan. Tanggung jawab ini dibebankan kepada subjek hukum atau pelaku yang melakukan suatu perbuatan melawan hukum atau perbuatan pidana, yang disebabkan oleh adanya kekeliruan atau kealpaannya.

2. Tanggung jawab mutlak. Tanggung jawab ini dibebankan kepada seseorang apabila perbuatannya menimbulkan akibat yang dianggap merugikan oleh pembuat undang-undang, dan terdapat suatu hubungan antara perbuatan dengan akibat yang ditimbulkan.

Teori Tanggung Jawab Hukum dari Hans Kelsen ini berkaitan dengan rumusan masalah pertama yang membahas tentang norma dan sanksi terhadap Biro Perjalanan wisata dalam melaksanakan Peraturan Menteri tentang Standar Usaha Jasa Perjalanan Wisata. Teori ini digunakan untuk menganalisis tanggung jawab yang dapat dibebankan kepada Biro Perjalanan Wisata yang tidak mampu menjaga keamanan dan keselamatan wisatawan pengguna jasanya, yang diakibatkan oleh tidak dipenuhinya standarisasi terkait produk, pelayanan, dan pengelolaan yang telah diatur dalam Peraturan Menteri tersebut.

C. Teori Perlindungan Hukum

Fokus kajian Teori Perlindungan Hukum ini adalah perlindungan hukum yang diberikan kepada masyarakat, terutama masyarakat-masyarakat yang berada di posisi lemah, baik secara aspek yuridis maupun aspek ekonomis.18 Sementara itu, menurut Santjipto Raharjo, perlindungan hukum adalah “Memberikan

18Salim HS dan Erlies Septianan Nurbani, 2013, Penerapan Teori Hukum Pada Penelitian Tesis dan Disertasi, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, (selanjutnya disingkat Salim HS dan Erlies Septianan Nurbani II) h. 259.

(17)

pengayoman terhadap hak asasi manusia (HAM) yang dirugikan orang lain dan perlindungan itu diberikan kepada masyarakat agar dapat menikmati semua hak-hak yang diberikan oleh hukum.”19

Menurut Setiono, perlindungan hukum adalah tindakan atau upaya untuk melindungi masyarakat dari perbuatan sewenang-wenang oleh penguasa yang tidak sesuai dengan aturan hukum, untuk mewujudkan ketertiban dan ketentraman sehingga memungkinkan manusia untuk menikmati martabatnya sebagai manusia.20 Menurut Muchsin, perlindungan hukum merupakan kegiatan untuk melindungi individu dengan menyerasikan hubungan nilai-nilai atau kaidah-kaidah yang menjelma dalam sikap dan tindakan dalam menciptakan adanya ketertiban dalam pergaulan hidup antar sesama manusia.21

Hukum adalah salah satu alat untuk melindungi kepentingan manusia. Sehingga apabila dilihat berdasarkan isinya, norma hukum sangatlah berbeda dengan norma-norma lainnya. Karena dalam norma hukum, terdapat suatu perintah dan/atau larangan, serta kewajiban dan hak. Menurut Sudikno Mertokusumo, untuk dapat menjalankan fungsinya sebagai pelindung kepentingan manusia, hukum memiliki suatu tujuan pokok, yaitu menciptakan tatanan masyarakat yang tertib, menciptakan ketertiban dan keseimbangan. Sehingga dalam mencapai tujuannya tersebut, hukum memiliki tugas untuk membagi hak

19Santjipto Raharjo, 2000, Ilmu Hukum, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 54.

20Setiono, 2004, Rule of Law (Supremasi Hukum), Magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret, Surakarta, h. 3.

21Muchsin, 2003, Perlindungan dan Kepastian Hukum bagi Investor di Indonesia, Magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret, Surakarta, h. 14.

(18)

dan kewajiban setiap orang dalam suatu masyarakat, membagi wewenang, dan mengatur cara memecahkan masalah hukum, serta memelihara kepastian hukum.22

Teori Perlindungan Hukum sebagaimana dikemukakan oleh Sudikno Mertokusumo ini, digunakan untuk menjawab rumusan masalah kedua. Sehingga dengan teori ini, akan dikaji terkait kesiapan Biro Perjalanan Wisata dalam melaksanakan peraturan menteri tentang standar usaha jasa perjalanan wisata, terkait dengan hak dan kewajiban, wewenang yang dimiliki oleh Biro Perjalanan itu sendiri maupun wisatawan pengguna jasa.

D. Teori Efektivitas Hukum

Teori Efektivitas Hukum adalah teori yang mengkaji dan menganalisis tentang keberhasilan, kegagalan dan faktor-faktor yang mempengaruhi dalam pelaksanaan dan penerapan hukum. Teori ini diperkenalkan oleh Bronislaw Malinowski, Lawrence M. Friedman, Soerjono Soekanto, Clearence J. Dias, Howard dan Mummers.23

Soerjono Soekanto menyajikan teori efektivitas dengan memperhatikan 5 faktor dalam penegakan hukum. Penegakan hukum merupakan kegiatan yang menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan di dalam kaidah-kaidah yang mantap dan mengejawantahkan dan sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran

22Salim HS dan Erlies Septianan Nurbani II, op.cit, h. 269. 23Salim HS dan Erlies Septianan Nurbani II, op.cit, h. 303.

(19)

nilai tahap akhir untuk menciptakan, memelihara, dan mempertahankan kedamaian dalam masyarakat.24 Berikut 5 faktor dalam penegakan hukum, yaitu: 1. Faktor hukum atau undang-undang

Hukum atau undang-undang dalam arti material merupakan peraturan tertulis yang berlaku umum dan dibuat oleh penguasa pusat maupun daerah yang sah. Peraturan dibagi 2 macam, yaitu peraturan pusat yang berlaku untuk semua warga negara atau suatu golongan tertentu saja maupun yang berlaku umum di sebagian wilayah negara dan peraturan setempat hanya berlaku suatu tempat atau daerah saja.

2. Faktor Penegak Hukum

Penegak hukum adalah kalangan yang secara langsung berkecimpung dalam bidang penegakan hukum yang tidak hanya mencakup law enforcement, akan tetapi juga mencakup peace maintenance (penegakan secara damai). Para penegak hukum, yaitu mereka yang bertugas di bidang kehakiman, kejaksaan, kepolisian, kepengacaraan, dan pemasyarakatan.

3. Faktor Sarana atau Fasilitas

Sarana atau fasilitas merupakan segala hal yang dapat digunakan untuk mendukung dalam proses penegakan hukum. Sarana atau fasilitas, meliputi tenaga kerja manusia yang berpendidikan dan terampil, organisasi yang baik, peralatan yang memadai, keuangan yang cukup, dan seterusnya. Kalau hal itu tidak terpenuhi, maka mustahil penegakan hukum akan mencapai tujuannya.

(20)

4. Faktor Masyarakat

Masyarakat memiliki arti sejumlah manusia dalam arti seluas-luasnya dan terikat oleh suatu kebudayaan yang mereka anggap sama. Masyarakat dalam konteks penegakan hukum erat kaitannya, di mana hukum tersebut berlaku atau diterapkan.

5. Faktor Kebudayaan

Kebudayaan diartikan sebagai karya, cipta dan rasa yang tersebut harus didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.

Teori Efektivitas Hukum dari Soerjono Soekanto, digunakan untuk menjawab rumusan masalah kedua yang membahas tentang kesiapan biro perjalanan wisata dalam melaksanakan standar usaha jasa perjalanan wisata. Melalui teori ini, akan dikaji tentang bagaimana peraturan menteri ini dapat ditegakkan dengan baik. Karena kelima faktor sebagaimana disebutkan oleh Soerjono Soekanto tersebut, wajib untuk diperhatikan secara seksama dalam proses penegakan hukum, agar dapat terciptanya suatu penegakan hukum yang adil dan tepat.

1.8. Metode Penelitian

Hakekat keilmuan dari ilmu hukum merupakan kajian yang menarik karena terdiri dari dua unsur yang saling berkaitan yakni fakta kemasyarakatan dan kaidah hukum. Disinilah peran metode penelitian hukum mempertanggungjawabkan sifat ilmiah ilmu hukum sebagai ilmu yang mandiri. Adapun metodologi penelitian yang digunakan dalam penulisan penelitian ini adalah sebagai berikut :

(21)

1.8.1. Jenis Penelitian

Jenis Penelitian yang digunakan adalah Penelitian Hukum Empiris, karena penelitian ini menyangkut tentang data25. Dimana penelitian ini beranjak dari adanya kesenjangan antara das solen dan das sein, yaitu adanya kesenjangan antara keadaan teoritis dengan fakta hukum yang terjadi dalam masyarakat.

Dalam penelitian ini, kesenjangan terlihat pada adanya aturan yang menyatakan bahwa suatu usaha jasa perjalanan wisata wajib memberikan perlindungan kepada wisatawan yang menggunakan jasanya. Sementara dalam prakteknya, belum semua Biro Perjalanan Wisata memberikan perlindungan hukum yang sesuai berkaitan dengan keselamatan wisatawan yang menggunakan jasanya. Dimana paket-paket wisata yang ditawarkan terkadang belum sesuai dengan standarisasi produk yang aman diberikan kepada wisatawan.

1.8.2. Sifat Penelitian

Penelitian hukum empiris menurut sifatnya dapat dibedakan menjadi Penelitian yang sifatnya eksploratif (Penjajakan atau penjelajahan), Penelitian yang sifatnya deskriptif, dan Penelitian yang sifatnya eksplanatoris. Adapun yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah Penelitian yang sifatnya deskriptif.

Dalam penelitian yang sifatnya deskriptif, teori-teori, ketentuan peraturan, norma-norma hukum, karya tulis yang dimuat baik dalam literatur maupun jurnal, doktrin, serta laporan penelitian terdahulu sudah mulai ada dan bahkan jumlahnya

25Philipus M. Hadjon dan Titiek Sri Djatmiati, 2005, Argumentasi Hukum, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, h. 2

(22)

cukup memadai, sehingga dalam penelitian ini hipotesis boleh ada atau boleh juga tidak.

Deskriptif tersebut meliputi isi dan struktur hukum positif, yaitu suatu kegiatan yang dilakukan oleh penulis untuk menentukan isi atau makna aturan hukum yang dijadikan rujukan dalam menyelesaikan permasalahan hukum yang akan menjadi obyek kajian.

1.8.3. Data dan Sumber Data

Data yang diteliti dalam penelitian hukum empiris ada dua jenis, yaitu:

a.) Data Primer, adalah data yang bersumber dari penelitian di lapangan yaitu suatu data yang diperoleh langsung dari sumber pertama di lapangan, yaitu baik dari responden maupun informan.

Dalam penelitian ini, data primer yang digunakan adalah data yang didapat dari Biro Perjalanan Wisata yang berada di sekitar Denpasar dan Badung. b.) Data Sekunder adalah suatu data yang bersumber dari penelitian kepustakaan,

yaitu data yang diperoleh tidak secara langsung dari sumber pertamanya, melainkan bersumber dari data-data yang sudah terdokumentasikan dalam bentuk bahan-bahan hukum. Bahan hukum tersebut terdiri dari :

i. Bahan Hukum Primer, yakni bahan hukum yang mempunyai kekuatan mengikat umum, terdiri atas peraturan perundang-undangan, yurisprudensi atau putusan pengadilan, peraturan dasar, konvensi ketatanegaraan dan perjanjian internasional (traktat).

(23)

Menurut Peter Mahmud Marzuki,26 bahan hukum primer ini bersifat otoritatif, artinya mempunyai otoritas, yaitu merupakan hasil tindakan atau kegiatan yang dilakukan oleh lembaga yang berwenang untuk itu. Adapun bahan hukum primer, yang berasal dari peraturan perundang-undangan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain :

1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

2. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen; 3. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 Tentang Kepariwisataan;

4. Peraturan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2014 tentang Standar Usaha Jasa Perjalanan Wisata;

5. Peraturan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2014 tentang Standar Usaha Jasa Perjalanan Wisata;

6. Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 1 Tahun 2010 Tentang Usaha Jasa Perjalanan Wisata.

ii. Bahan Hukum Sekunder yaitu bahan hukum yang dapat memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer27, yang dapat berupa rancangan peraturan perundang-undangan, hasil penelitian, buku-buku teks, jurnal ilmiah, surat kabar koran), pamphlet, brosur, karya tulis hukum atau

26Peter Mahmud Marzuki, 2008, Penelitian Hukum, Prenada Media Group, Jakarta, h. 144 - 154.

(24)

pandangan ahli hukum yang termuat dalam media massa dan berita di internet.

Terkait penelitian ini maka digunakan sumber dari kepustakaan seperti buku-buku, peraturan perundang-undangan, karya tulis hukum atau pandangan ahli hukum yang termuat dalam media massa maupun berita di internet yang berkaitan dengan masalah yang dibahas, yaitu mengenai Perlindungan Hukum Terhadap Wisatawan Dalam Pasokan Jasa Pariwisata oleh Biro Perjalanan Wisata.

iii. Bahan Hukum Tersier, atau menurut Peter Mahmud Marzuki merupakan bahan non hukum yang digunakan untuk menjelaskan, baik bahan hukum primer maupun bahan hukum sekunder, seperti kamus, ensiklopedi, leksikon, dan lain-lain.

1.8.4. Teknik Pengumpulan Data

Dalam penelitian hukum empiris dikenal teknik-teknik untuk mengumpulkan data, yaitu studi dokumen, wawancara, observasi, dan penyebaran quisioner/angket. Teknik pengumpulan data yang dipergunakan adalah Teknik Studi Dokumen dan Teknik Wawancara.

Teknik Studi Dokumen, yaitu dalam pengumpulan bahan hukum terhadap sumber kepustakaan yang relevan dengan permasalahan yang dibahas dengan cara membaca dan mencatat kembali bahan hukum tersebut yang kemudian dikelompokkan secara sistematis yang berhubungan dengan masalah dalam penulisan penelitian ini. Untuk menunjang penulisan penelitian ini pengumpulan bahan-bahan hukum diperoleh melalui :

(25)

1. Pengumpulan bahan hukum primer dilakukan dengan cara mengumpulkan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan masalah yang dibahas. 2. Pengumpulan bahan hukum sekunder dilakukan dengan cara penelitian

kepustakaan yang bertujuan untuk mendapatkan bahan hukum yang bersumber dari buku-buku, rancangan undang-undang, jurnal nasional maupun asing, karya tulis hukum atau pandangan ahli hukum yang termuat dalam media massa maupun berita di internet yang terkait dengan permasalahan yang hendak dibahas dalam penelitian ini.

Wawancara adalah proses tanya jawab dalam penelitian, yang dilakukan secara lisan dimana dua orang atau lebih bertatap muka mendengarkan secara langsung informasi-informasi ataupun keterangan.28 Teknik Wawancara merupakan salah satu teknik yang sering dan paling lazim digunakan dalam penelitian hukum empiris. Dalam kegiatan ilmiah, wawancara dilakukan bukan sekedar bertanya pada seseorang, melainkan dilakukan pertanyaan-pertanyaan yang dirancang untuk memperoleh jawaban yang relevan dengan masalah penelitian kepada responden maupun informan.

1.8.5. Teknik Penentuan Sampel Penelitian

Sampling merupakan salah satu langkah yang penting dalam penelitian, karena sampling menentukan validitas eksternal dari suatu hasil penelitian, dengan makna bahwa menentukan seberapa besar atau sejauh mana keberlauan generalisasi hasil penelitian tersebut. Kesalahan dalam sampling akan

28Cholid Narbuko dan H. Abu Achmadi, 2004, Metodologi Penelitian, Bumi Aksara, Jakarta, h. 83.

(26)

menyebabkan kesalahan dalam kesimpulan, ramalan atau tindakan yang berkaitan dengan hasil penelitian tersebut.

Populasi adalah keseluruhan dari obyek pengamatan atau obyek penelitian. Populasi dapat berupa himpunan orang, benda (hidup atau mati), kejadian, kasus-kasus, waktu, aatau tempat, dengan sifat dan ciri yang sama. Sedangkan sampel adalah himpunan bagian atau sebagian dari populasi. Dalam suatu penelitian, umumnya observasi dilakukan bukan terhadap populasi melainkan terhadap sampel.29

Populasi dalam penelitian ini adalah Biro Perjalanan Wisata dan sampel dalam penelitian ini adalah Biro Perjalanan Wisata yang berada di sekitar Denpasar dan Badung. Penentuan lokasi sampel penelitian ini didasarkan pada data Direktori Pariwisata Bali 2013, yang menunjukkan bahwa hampir seluruh Biro Perjalanan Wisata yang ada di Propinsi Bali berdomisili di Daerah Kota Denpasar dan Kabupaten Badung.

Secara garis besar teknik sampling dari populasi dibedakan atas dua cara, yaitu Probabilitas Sampling atau Random Sampling dan Nonprobabilitas

Sampling atau Non-random sampling. Teknik Pengambilan sampel atas populasi

penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah Teknik Non Probability

Sampling.

Dalam hal ini tidak ada ketentuan yang pasti berapa sampel yang harus diambil agar dapat dianggap mewakili populasinya. Dan bentuk Teknik Non

29Bambang Sunggono, 2009, Metodologi Penelitian Hukum, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, h. 119.

(27)

Probability Sampling yang digunakan adalah Purposive Sampling, dimana

penarikan sampel dilakukan berdasarkan tujuan tertentu, yaitu sampel dipilih atau ditentukan sendiri oleh peneliti yang mana penunjukan dan pemilihan sampel didasarkan pertimbangan bahwa sampel telah memenuhi kriteria dan sifat-sifat atau karakteristik tertentu yang merupakan ciri utama populasinya.

1.8.6. Pengolahan dan Analisis Data

Dalam penelitian ilmu hukum aspek empiris dikenal model-model analisis seperti: Analisis Data Kualitatif dan Analisis Data Kuantitatif. Adapun analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah Analisis Data Kualitatif. Penelitian yuridis normatif yang bersifat kualitatif adalah penelitian yang mengacu pada norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan serta norma-norma yang hidup dan berkembang dalam masyarakat.

Dalam analisis ini, data yang dikumpulkan adalah data naturalistik yang terdiri atas kata-kata yang tidak diolah menjadi angka-angka, data sukar diukur dengan angka, bersifat monografis atau berwujud kasus-kasus sehingga tidak dapat disusun kedalam struktur klasifikasi, hubungan antar variabel tidak jelas, sampel lebih bersifat non probabilitas, dan pengumpulan data menggunakan pedoman wawancara.

Referensi

Dokumen terkait

Pinjaman Bilateral yang diterima Pemerintah Indonesia pada semester II tahun 2012 adalah 7 pinjaman dengan total sebesar EUR 16.000.000,00 dan USD 511.776.987,99 yang berasal

Pastikan Transformator PS yang akan diukur harus dalam keadaan aman dari tegangan, cek dengan Detektor 20 KV. Saklar pada alat ukur dalam

Selain juga telah menjabat pada posisi yang sama periode lalu, Guk Khofi juga telah menginisiasi kekhususan aswaja ala nahdliyin bersama ulama’ sepuh NU lainya pada Muktamar 2015

melahirkan sumber daya manusia yang berkualitas yang tidak hanya kita lihat pada pengembangan individu akan tetapi juga berkontribusi dalam kemajuan suatu bangsa dan

Dari angka-angka yang tampak pada Tabel 1 tersebut, kita dapat menghitung secara gampang kuantitas manure yang dihasilkan per hari dari industri feedlot yang, apabila jumlah

Penggunaan suhu yang lebih rendah dari titik didih pelarut akan menyebabkan proses ekstraksi berjalan dengan lambat dan kurang efisien, sedangkan penggunaan suhu yang lebih

assessor dan auditor mutu pelayanan kesehatan.. Universitas Indonesia 13) Melaksanakan kegiatan pembinaan, pengawasan dan pengendalian pelayanan sarana pelayanan kefarmasian

Dari kesedaran ini, kami ingin menyampaikan mesej kepada semua bakal penggerak kemajuan negara Malaysia supaya mencontohi cara pemikiran rakyat Jepun yang sentiasa ingin