• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA BERFIKIR, DAN HIPOTESIS. A. Kajian Pustaka. 1. Tinjauan tentang tunagrahita ringan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA BERFIKIR, DAN HIPOTESIS. A. Kajian Pustaka. 1. Tinjauan tentang tunagrahita ringan"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

6

KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA BERFIKIR, DAN HIPOTESIS

A. Kajian Pustaka

1. Tinjauan tentang tunagrahita ringan a. Pengertian Tunagrahita Ringan

Tunagrahita adalah istilah yang digunakan untuk menyebut anak yang mempunyai kemampuan intelektual di bawah rata-rata. Banyak istilah yang digunakan dalam Bahasa Inggris tentang anak tunagrahita yaitu mental retardation, mentally retarted, mental deficiency, mental defective, dan sebagainya. Begitu juga istilah anak tunagrahita dalam Bahasa Indonesia yaitu anak lemah ingatan, anak terbelakang mental, anak lemah pikir, anak lemah otak, dan sebagainya.

Lepas dari berbagai perbedaan istilah mana yang tepat, tunagrahita umumnya diartikan sebagai bentuk kelainan intelegensi, yaitu suatu kondisi kecerdasan di bawah rata-rata normal. Diantara anak-anak tunagrahita terdapat anak tunagrahita tingkat ringan, anak tunagrahita tingkat sedang dan anak tunagrahita tingkat berat. Untuk lebih jelasnya peneliti kemukakan pendapat sebagai berikut :

Martin dalam Wantah (2007: 10), menjelaskan tunagrahita ringan dengan istilah tunagrahita mampu didik memiliki kemampuan IQ 50-70, dan mereka dapat mempelajari ketrampilan, dan akademik mereka sampai kelas 6 SD.

Sedangkan dalam PP No. 72 Tahun 1991 dalam Amin (1995: 22) dikemukakan bahwa “Anak tunagrahita ringan ialah mereka yang memiliki hambatan dalam kecerdasan dan adaptasi sosial, namun mereka mempunyai kemampuan untuk berkembang dalam pelajaran akademik, penyesuaian sosial, dan kemampuan bekerja”.

(2)

Sementara Somantri (1996: 86) berpendapat, “Anak tunagrahita ringan memiliki IQ antara 68-52 menurut Binet, sedangkan menurut Skala Weschler (WISC) memiliki IQ 69-55 dan mereka masih dapat belajar membaca, menulis, dan berhitung sederhana”.

Berdasarkan definisi tersebut dapat ditegaskan bahwa anak tunagrahita ringan adalah seseorang yang memiliki kemampuan intelektual di bawah rata-rata namun masih dapat dikembangkan potensi akademiknya melalui pendidikan khusus setara dangan siswa sekolah dasar (SD).

b. Karakteristik Tunagrahita Ringan

Karakteristik anak tunagrahita adalah sesuatu hal yang nampak dan sering terjadi pada individu yang mengalami ketunagrahitaan.

Keterbelakangan mental menunjukkan fungsi intelek dibawah rata-rata secara jelas deangan disertai ketidakmampuan dalam penyesuaian perilaku yang terjadi pada masa perkembangan. Yang dimaksud penyesuaian perilaku adalah bahwa seseorang dikatakan tunagrahita bukan hanya dilihat dari IQ-nya saja akan tetapi perlu dilihat sejauh mana anak tersebut dapat menyesuaikan diri. Ada beberapa karakteristik anak tunagrahita ringan, diantaranya:

Amin (1995: 37) mengemukakan siswa tunagrahita ringan mengalami kesukaran berfikir abstrak, tetapi masih dapat mengikuti pelajaran akademik di sekolah biasa maupun sekolah khusus.

Pendapat ini senada dengan Hourcade dalam Wantah (2007: 16) yang menyatakan karakteristik tunagrahita ringan sebagai berikut:

1) Siswa tunagrahita ringan memerlukan dukungan yang terbatas (kadang-kadang).

2) Seringkali mereka hanya mengalami sedikit hambatan dalam perkembangannya yang merupakan kekurangan utamanya, kecuali pada bidang akademik.

3) Siswa tunagrahita ringan dapat bersekolah di sekolah regular. 4) Siswa tunagrahita ringan dapat mencapai kemampuan akademik

kelas tiga sampai kelas enam SD.

5) Setelah dewasa, siswa tunagrahita ringan dapat memperoleh pekerjaan sendiri.

(3)

Sedangkan Munzayanah dalam penelitian Mulyono (2010: 27) menyebutkan karakteristik anak tunagrahita ringan adalah sebagai berikut:

1) Dapat dilatih untuk bermacam-macam tugas yang lebih tinggi atau kompleks.

2) Dapat dilatih dalam bidang sosial atau intelektual dalam batas-batas tertentu, misalnya membaca, menulis dan menghitung. 3) Dapat dilatih untuk pekerjaan-pekerjaan rutin maupun

keterampilan.

Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa karakteristik siswa tunagrahita ringan memiliki kemampuan inteleketual yang rendah sehingga kemampuan berfikir kognitif dan daya ingatnya rendah. Namun, siswa tunagrahita ringan masih memiliki potensi yang dapat dikembangkan bila mendapatkan pendidikan khusus.

c. Masalah Tunagrahita Ringan

Masalah yang terdapat pada anak tunagrahita ringan berupa masalah kesulitan belajar, masalah penyesuaian diri serta masalah gangguan kepribadian dan emosi sebagai berikut:

1) Masalah kesulitan belajar sering terlihat dalam kemampuan belajar, dimana bila dibandingkan dengan anak normal, kemampuan intelektualnya lebih lambat untuk belajar pengetahuan dan keterampilan baru karena kesulitan dalam menangkap pelajaran, kesulitan dalam belajar yang baik, kemampuan berfikir abstrak yang terbatas, dan daya ingat yang lemah (Amin, 1995: 43)

2) Masalah penyesuaian sosial bisa berupa siswa tunagrahita ringan tidak mampu melakukan penyesuaian sosial sosial secara independen. Ia tidak dapat merencanakan masa depan dan bahkan suka berbuat kesalahan (Somantri, 1996: 86).

3) Masalah gangguan kepribadian dan emosi dijelaskan Amin (1995: 49) bahwa anak tunagrahita kurang memiliki kemampuan berfikir, keseimbangan pribadinya labil, kadang stabil dan kadang-kadang kacau. Kondisi yang demikian itu dapat dilihat pada

(4)

penampilan tingkah lakunya sehari-hari. Misalnya: berdiri berjam-jam lamanya, gerakan yang hiperaktif, mudah marah, suka mengganggu orang lain di sekitarnya (bahkan tindakan merusak).

Berdasarkan pendapat di atas dapat peneliti simpulkan bahwa dijumpai beberapa masalah yang ada pada anak tunagrahita ringan; diantaranya adalah: (1) Masalah kesulitan belajar; (2) Masalah Penyesuaian Diri; (3) Masalah gangguan kepribadian dan emosi.

d. Layanan Pendidikan Tunagrahita Ringan

Mereka yang termasuk dalam kelompok ini meskipun kecerdasan dan adaptasi sosialnya terhambat, namun mereka mempunyai kemampuan untuk berkembang dalam bidang pelajaran akademik, penyesuaian sosial, dan kemampuan bekerja.

Layanan pendidikan bagi anak tunagrahita ada berbagai bentuk yaitu bentuk segregasi dan integrasi. Purwanto (1998: 25) bentuk segregasi merupakan bentuk layanan yang terbesar bagi anak tunagrahita, bentuk ini meliputi sekolah luar biasa bagian C untuk tunagrahita mampu didik (ringan), dan C.1 untuk tunagrahita mampu latih (sedang), sekolah dasar luar biasa (SDLB) yang hanya menerima siswa tunagrahita mampu didik, panti rehabilitasi penyandang cacat mental (PRPCM).

Bertitik tolak dari pandangan yang diuraikan di atas maka tempat dan sistem pendidikan bagi penyandang tunagrahita diperlukan beberapa macam (alternatif) disesuaikan dengan tingkat ketunaan yang disandangnya, yaitu sistem terpadu di sekolah umum, dan sistem segregasi di sekolah khusus. Amin (1995: 162) menjelaskan pelaksanaannya sebagai berikut:

1) Di sekolah umum dengan sistem terpadu

a) Di kelas biasa tanpa kekhususan baik bahan pelajaran maupun guru.

Anak tunagrahita yang dimasukkan dalam kelas ini adalah yang paling ringan ketunagrahitaannya, sehingga tidak memerlukan bahan khusus ataupun guru khusus. Bahan-bahannya

(5)

juga biasa-biasa saja hanya saja memerlukan waktu belajar yang lebih banyak dari rekan-rekannya yang normal. Mereka memerlukan perhatian yang khusus dari guru kelasnya, misalnya penempatan tempat duduknya, pengelompokan dengan teman-temannya, mendapat giliran menjadi pemimpin kelompok dan lain-lain.

b) Di kelas biasa dengan guru konsultan.

Anak tunagrahita ringan ditempatkan di kelas biasa, belajar bersama-sama teman di kelasnya di bawah pimpinan guru kelasnya, sesekali guru konsultan datang untuk membantu guru kelas dalam memahami masalah anak tunagrahita ringan dan caa menanganinya, memberikan petunjuk kepada guru kelas mengenai bahan atau metode yang sesuai dengan kebutuhan anak. Guru konsultan adalah guru ahli pendidikan luar biasa atau ahli lainnya. c) Di kelas biasa dengan guru kunjung.

Anak tunagrahita ringan belajar bersama-sama temannya di kelas biasa dengan guru kelasnya. Guru kunjung memiliki jadwal waktu kunjungan berpindah-pindah dari sekolah yang satu ke sekolah yang lain, mengunjungi kelas-kelas atau memberikan saran kepada guru kelas serta berkonsultasi mengenai masalah-masalah yang dihadapi anak tunagrahita ringan.

d) Di kelas biasa dengan ruang sumber.

Anak tunagrahita ringan dapat pula di didik di kelas biasa dengan bantuan guru pendidikan luar biasa pada runag sumber. Yang dimaksud ruang sumber disini ialah ruangan khusus yang menyediakan berbagai fasilitas untuk mengatasi kesulitan-kesulitan belajar yang dihadapi anak tunagrahita ringan di kelas biasa. Dalam ruangan ini anak tunagrahita ringan mendapat bimbingan dari guru pembimbing khusus (GPK) untuk pelajaran-pelajaran tertentu.

(6)

Pelayanan pendidikan di sekolah khusus (sistem segregasi) yang bentuknya disesuaikan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 72 tahun 1991 pasal 4, pasal 5, dan pasal 6.

Penjelasan pasal-pasal tersebut adalah sebagai berikut: Pasal 4

Bentuk satuan pendidikan luar biasa terdiri atas: (1) Sekolah Dasar Luar Biasa (SDLB).

(2) Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Luar Biasa (SLTPLB). (3) Sekolah Menengah Luar Biasa (SMLB), dan

(4) Bentuk lain yang ditetapkan oleh Menteri. Pasal 5

Lamanya pendidikan pada:

(1) Sekolah Dasar Luar Biasa (SDLB) sekurang-kurangnya 6 tahun. (2) Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Luar Biasa (SLTPLB)

sekurang-kurangnya 3 tahun, dan

(3) Sekolah Menengah Luar Biasa (SMLB) sekurang-kurangnya 3 tahun.

Pasal 6

(1) Pada pendidikan pra sekolah satuan pendidikan luar biasa dapat diselenggarakan dalam Taman Kanak-kanak Luar Biasa (TKLB). (2) Lama pendidikan Taman Kanak-kanak Luar Biasa (TKLB) 1

sampai dengan 3 tahun.

Dalam mata pelajaran akademik anak tunagrahita ringan pada umumnya mampu mengikuti mata-mata pelajaran tingkat sekolah lanjutan baik SLTPLB dan SMLB, maupun di sekolah biasa dengan program khusus (Amin, 1995: 22).

Dari penjelasan di atas dapat peneliti simpulkan bahwa bentuk layanan pendidikan integrasi yang mungkin dilakukan untuk anak-anak tunagrahita mampu didik (ringan) bentuknya adalah integrasi partial dapat berupa kelas khusus pada sekolah dasar, maupun layanan pendidikan

(7)

segregasi seperti di SLB C Setya Darma Surakarta dengan jenjang pendidikan TKLB, SDLB, SLTPLB, dan SMLB.

2. Kemampuan Berhitung Tunagrahita Ringan a. Hakikat Matematika

Dari berbagai bidang studi yang diajarkan di sekolah, matematika merupakan bidang studi yang dianggap paling sulit oleh para siswa termasuk siswa tunagrahita ringan.

Ismail dalam Hamzah (2013: 48) mengemukakan bahwa matematika adalah ilmu yang membahas angka-angka dan perhitungannya, membahas masalah-masalah numerik, mengenal kuantitas dan besaran, mempelajari hubungan pola, bentuk dan struktur, sarana berpikir, kumpulan sistem dan alat.

Paling dalam Mulyono Abdurrahman (1999: 217) menjelaskan matematika adalah suatu cara untuk menemukan jawaban terhadap masalah yang dihadapi manusia; menggunakan pengetahuan tentang bentuk dan ukuran, dan menggunakan pengetahuan tentang menghitung.

Sedangkan Dali S. Naga dalam Mulyono Abdurrahman (1999: 218) mengemukakan ”matematika adalah aritmatika atau berhitung adalah cabang matematika yang berkenaan dengan sifat hubungan-hubungan bilangan-bilangan nyata dengan perhitungan mereka terutama menyangkut penjumlahan, pengurangan, perkalian dan pembagian”.

Berdasarkan definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa hakikat matematika adalah cara atau metode berfikir dan bernalar berupa kumpulan bilangan yang dapat digunakan untuk menyelesaikan persoalan hitungan. b. Sifat-sifat Penjumlahan

Ada beberapa sifat penjumlahan yang peneliti kemukakan menurut Wahyudi (2014: 101) yaitu:

(8)

1. Sifat Tertutup

Hasil penjumlahan dua buah bilangan asli, maka bila dijumlahkan hasilnya merupakan bilangan asli juga.

Contoh: 3 + 4 = 7

Bilangan 3. 4, dan 7 merupakan bilangan asli. 2. Sifat Pertukaran (Komutatif)

Hasil penjumlahan dua buah bilangan tidak berubah, walaupun urutan letak kedua bilangan itu dipertukarkan.

Contoh: 64 + 26 = 26 + 64 90 = 90

3. Sifat Pengelompokkan (Asosiatif)

Hasil penjumlahan tiga buah bilangan tidak berubah, meskipun pengelompokannya berbeda.

Contoh: (2 +5) + 6 = 2 + ( 5 + 6 ) 7 + 6 = 2 + 11

13 = 13

c. Tujuan Pembelajaran Matematika bagi Tunagrahita Ringan

Secara umum tujuan pembelajaran matematika dalam Subarinah (2006: 1) adalah membentuk pola pikir siswa menjadi pola pikir yang sistemis, logis, kritis dengan penuh kecermatan.

Mumpuniarti (2007: 118) mengungkapkan bahwa diberikannya matematika kepada siswa tunagrahita ringan bertujuan agar siswa tunagrahita mampu menggunakan konsep matematika untuk pemecahan masalah, penggunaan untuk situasi sehari-hari dan keterampilan menghitung.).

a + b = c

(a + b) + c = a + (b + c) a + b = b + a

(9)

Kurikulum yang dirancang bagi tunagrahita ringan dikhususkan pada lembaga SLB C.

Dalam penelitian Susi Wahyuningrum (2010: 7) disebutkan tujuan bidang studi matematika yang diajarkan di SLB C (mampu didik) adalah sebagai berikut :

1) Agar anak memiliki pengetahuan dasar yang fungsional tentang prinsip-prinsip dasar matematika.

2) Agar anak dapat bekerja dengan teliti, tekun, matematis dan kreatif.

3) Agar anak bersikap ekonomi, berbuat secara efesien dan efektif. 4) Agar anak cinta akan kebenaran, bertanggung jawab dan percaya

kepada diri sendiri.

5) Agar anak dapat memecahkan masalah yang sederhana dalam kehidupan sehari-hari.

Dalam (SKKD) SDLB Anak Tunagrahita, mata pelajaran matematika bertujuan agar peserta didik memiliki kemampuan sebagai berikut:

Mata Pelajaran : MATEMATIKA

Kelas : IV

Satuan Pendidikan : SDLB C Setya Darma Surakarta Jenis Ketunaan : Tunagrahita

Tabel 2.1 Kompetensi Inti dan Kompetensi Dasar Kelas IV SDLB C Setya Darma Surakarta

Kompetensi Inti Kompetensi Dasar

1. Menerima dan menjalankan ajaran agama yang dianutnya

1.1 Menerima dan menjalankan ajaran agama yang dianutnya

2. Menunjukkan perilaku jujur, disiplin, tanggung jawab santun,

2.1 Menunjukkan sikap cermat dan teliti, jujur, tertib dan mengikuti aturan, peduli, disiplin waktu serta tidak mudah menyerah dalam mengerjakan tugas

(10)

Kompetensi Inti Kompetensi Dasar peduli, dan percaya

diri dalam

berinteraksi dengan keluarga, teman, guru dan

tetangganya.

2.2 Memiliki rasa ingin tahu dan ketertarikan pada matematika, yang terbentuk melalui pengalaman belajar.

2.3 Memiliki sikap terbuka, objektif, menghargai pendapat dan karya teman sebaya dalam diskusi kelompok maupun aktivitas sehari-hari.

3. Memahami pengetahuan faktual dengan cara mengamati [mendengar, melihat, membaca] dan menanya berdasarkan rasa ingin tahu tentang dirinya, makhluk ciptaan Tuhan dan kegiatannya, dan benda-benda yang dijumpainya di rumah, dan di sekolah.

3.1 Mengenal bilangan asli sampai 60 dengan menggunakan alat peraga sederhana (kubus satuan atau kelereng)

3.2 Mengenal operasi penjumlahan dan pengurangan pada bilangan asli maksimal 30 melalui kegiatan eksplorasi menggunakan benda konkrit

3.3 Mengenal bangun datar segi lima dan segi enam beraturan menggunakan benda-benda yang ada di sekitar rumah, sekolah, atau tempat bermain. 3.4 Memahami perbedaan berat – ringan benda

dengan menggunakan benda-benda di sekitarnya. 3.5 Mengenal konsep waktu (hari, tanggal, dan

bulan)

3.6 Mengenal pecahan mata uang rupian (Rp500 s.d. Rp10.000) 4. Menyajikan pengetahuan faktual dalam bahasa (lisan/tulis/isyarat)

4.1 Menulis bilangan asli sampai 60 dengan

menggunakan alat peraga sederhana (kubus satuan atau kelereng)

4.2 Menghitung operasi penjumlahan dan pengurangan pada bilangan asli maksimal 30 melalui kegiatan

(11)

Kompetensi Inti Kompetensi Dasar yang jelas dan

logis, dalam karya yang estetis, dalam gerakan yang mencerminkan anak sehat, dan dalam tindakan yang mencerminkan perilaku anak beriman dan berakhlak mulia

eksplorasi menggunakan benda konkrit

4.3 Membuat bangun datar segi lima dan segi enam beraturan

4.4 Mengurutkan benda dari berat ke ringan atau sebaliknya.

4.5 Menuliskan nama hari, tanggal, dan bulan.

4.6 Menuliskan nilai tukar antar pecahan uang (Rp500 s.d. Rp10.000

d. Kemampuan Belajar Matematika Tunagrahita Ringan

Kemampuan siswa tunagrahita ringan dari segi kognitif pada umumnya terhambat akibat lemahnya intelektual yang dimiliki. Kirk dalam Effendi (2006: 98) menyatakan perkembangan kognitif siswa tunagrahita ringan berhenti pada tahap operasional konkret. Oleh karena itu, meskipun usia kronologis siswa tunagrahita ringan sama dengan siswa normal, tetapi prestasi yang diraih berbeda dengan siswa normal. Meskipun demikian, potensi yang dimiliki siswa tunagrahita ringan masih dapat dikembangkan secara akademik melalui pendidikan khusus.

Selain itu Effendi (2006: 98) menyebutkan dampak keterlambatan perkembangan kognitifnya antara lain: cenderung berpikir konkret dan sukar berpikir, mengalami kesulitan dalam berkonsentrasi, prestasi tertinggi bidang baca dan tulis sedangkan hitung tidak lebih dari siswa normal setingkat kelas 3-4 SD.

Keterampilan menghitung (arithmetic) diutamakan untuk anak tunagrahita ringan, karena itu sebagai bagian dari matematika yang dasar.

(12)

Matematika mempunyai cabang geometri, aljabar, termasuk aritmatika. Aritmatika sebagai sub kategori dari matematika dan menunjuk kepada pelajaran tentang bilangan, menghitung, tanda-tanda hitung dan pengoperasian bilangan. Pada anak tunagrahita lebih diutamakan pada aritmetika. Pada bidang matematika lainnya seperti geometri, aljabar tergantung kondisi anak jika memungkinkan juga diajarkan.

Semua kegiatan yang dilakukan dalam kehidupan sehari-hari perlu menggunakan matematika. Untuk itu, matematika yang dibelajarkan bagi anak tunagrahita ringan juga menopang dalam menjalankan kehidupan sehari-hari. Bidang matematika itu antara lain : hitung bilangan dan operasinya, bangun geometri, pengukuran serta penggunaan uang dan waktu.

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa kemampuan belajar matematika secara kognitif siswa tunagrahita ringan rendah. Meskipun demikian, potensi kemampuan berhitung yang dimiliki dapat dikembangkan melalui pendidikan khusus dengan memperhatikan tahapan perkembangannya yaitu operasional konkret.

3. Alat peraga block dienes untuk meningkatkan kemampuan berhitung tunagrahita ringan

a. Pengertian Alat Peraga

Pembelajaran yang mampu menjadikan siswa aktif membangun keilmuannya pada umumnya menggunakan sumber belajar berupa alat peraga sebagai alat bantu pembelajaran.

Ali dalam Sundayana (2013: 7) menyatakan bahwa alat peraga adalah segala sesuatu yang dapat digunakan untuk menyatakan pesan, merangsang pikiran, perasaan dan perhatian dan kemauan siswa sehingga dapat mendorong proses belajar.

Pendapat lain mengenai pengertian alat peraga disampaikan Russefendi dalam Sundayana (2013: 7) yaitu “alat yang menerangkan atau mewujudkan konsep matematika”.

(13)

Terkait dengan pengertian alat peraga Arsyad (2013: 9) juga mengemukakan pendapatnya yaitu “alat peraga adalah media alat bantu pembelajaran, dan segala macam benda yang digunakan untuk memperagakan materi pelajaran”. Alat peraga disini mengandung pengertian bahwa segala sesuatu yang masih bersifat abstrak, kemudian dikonkretkan dengan menggunakan alat agar dapat dijangkau dengan pikiran yang sederhana dan dapat dilihat, dipandang, dan dirasakan.

Sedangkan Pramudjono dalam Sundayana (2013: 8) berpendapat bahwa alat peraga matematika adalah benda konkret yang dibuat, dihimpun atau disusun secara sengaja digunakan untuk membantu menanamkan atau mengembangkan konsep matematika.

Dari pengertian di atas dapat peneliti simpulkan bahwa alat peraga adalah seperangkat benda kongkret yang sengaja dibuat atau dirancang dan digunakan untuk membantu menanamkan konsep-konsep yang abstrak, mengembangkan konsep dan prinsip-prinsip dalam matematika. Dengan bantuan alat peraga maka hal-hal yang bersifat abstrak akan dapat disajikan dalam bentuk konkrit sehingga anak tunagrahita ringan dapat memanipulasi atau mengotak-atik alat tersebut dengan cara melihat, memegang, meraba, memutar balik dan sebagainya sehingga kegiatan belajar akan terasa lebih menarik dan tentu saja akan meningkatkan motivasi mereka dalam belajar matematika.

b. Prinsip Penggunaan Alat Peraga

Selain mempersiapkan langkah-langkah penggunaan alat peraga, seperti persiapan guru, lingkungan, persiapan peserta didik, maka perlu pula mengetahui prinsip-prinsip umum dalam penggunaan alat peraga.

Sukayati (2009: 9) mengidentifikasikan bahwa prinsip umum alat peraga di antaranya sebagai berikut:

1. Penggunaan alat peraga hendaknya sesuai dengan tujuan pembelajaran.

2. Alat peraga yang digunakan hendaknya sesuai dengan metode/strategi pembelajaran.

(14)

3. Tidak ada satu alat peragapun yang dapat atau sesuai untuk segala macam kegiatan belajar.

4. Guru harus terampil menggunakan alat peraga dalam pembelajaran.

5. Peraga yang digunakan harus sesuai dengan kemampuan siswa dan gaya belajarnya.

6. Pemilihan alat peraga harus obyektif, tidak didasarkan kepada kesenangan pribadi.

7. Keberhasilan penggunaan alat peraga juga dipengaruhi oleh kondisi lingkungan.

Dari prinsip umum di atas dapat peneliti simpulkan bahwa penggunaan alat peraga lebih khusus dari media dan teknologi pembelajaran karena berfungsi hanya untuk memperagakan materi pelajaran yang bersifat abstrak sesuai dengan kemampuan siswa.

c. Persyaratan Alat Peraga

Ada beberapa persyaratan yang harus dimiliki alat peraga agar fungsi atau manfaat dari alat peraga tersebut sesuai dengan yang diharapkan dalam pembelajaran.

Menurut E.T. Ruseffendi dalam Sukayati (2009: 15) menyebutkan bahwa persyaratan tersebut adalah sebagai berikut:

1. Sesuai dengan konsep matematika.

2. Dapat memperjelas konsep matematika, baik dalam bentuk real, gambar atau diagram dan bukan sebaliknya (mempersulit pemahaman konsep matematika)

3. Tahan lama (dibuat dari bahan-bahan yang cukup kuat). 4. Bentuk dan warnanya menarik.

5. Dari bahan yang aman bagi kesehatan peserta didik. 6. Sederhana dan mudah dikelola.

7. Ukuran sesuai atau seimbang dengan ukuran fisik dari peserta didik.

8. Peragan diharapkan menjadi dasar bagi tumbuhnya konsep berpikir abstrak bagi peserta didik, karena alat peraga tersebut dapat dimanipulasi (dapat diraba, dipegang, dipindahkan, dipasangkan, dan sebagainya) agar peserta didik dapat belajar secara aktif baik secara individual maupun kelompok.

(15)

d. Pengertian Block Dienes

Block Dienes merupakan jenis alat peraga visual. Kamsiyati (2012: 32) mendefinisikan block dienes merupakan alat peraga yang dikembangkan oleh Z.P Dienes yang bertujuan untuk memahami konsep dasar bilangan, nilai tempat, dan aritmatika, baik itu penjumlahan, pengurangan, perkalian, maupun pembagian. Block dienes ini dapat dibuat dari balok kayu. Untuk bilangan dasar 10, blok dienes terdiri atas satuan (berupa dadu kecil), puluhan (berupa batang), ratusan (berupa balok), dan ribuan (berupa kubus besar).

Selain itu Sukayati dan Agus Suharjana (2009: 16) mengemukakan bahwa block dienes berfungsi untuk mengajarkan konsep atau pengertian tentang banyak benda, membandingkan dan mengurutkan banyak benda, nilai tempat suatu bilangan (satuan, puluhan, ratusan dan ribuan) serta operasi penjumlahan, pengurangan, perkalian, dan pembagian sesuai jenjang kelas.

Dari pengertian tersebut dapat peneliti simpulkan bahwa block dienes merupakan alat peraga visual berupa kubus satuan, puluhan, ratusan dan ribuan yang berfungsi sebagai alat peraga dalam pembelajaran konsep atau pengertian tentang banyak benda, membandingkan dan mengurutkan banyak benda, nilai tempat suatu bilangan serta operasi hitung. Block dienes terdiri dari potongan-potongan sebagai berikut:

Ribuan Ratusan Puluhan Satuan Gambar 2.1. ilustrasi block dienes

(16)

e. Langkah-langkah Penggunaan Block Dienes

Langkah penggunaan block dienes dalam pembelajaran matematika materi operasi hitung penjumlahan bagi siswa tunagrahita ringan dapat dilakukan sebagai berikut:

a. Pengenalan block dienes

1) Siswa mengenal kubus kecil pada block dienes sebagai satuan yang setiap paket berjumlah 9.

2) Siswa mengenal bentuk batangan pada block dienes sebagai puluhan yang setiap paket berjumlah 90.

b. Operasi hitung penjumlahan ke samping dan bersusun ke bawah 1) Memberikan soal penjumlahan

2) Siswa membaca bilangan pertama dari soal

3) Letakkan blok sesuai dengan bilangan pertama pada nilai tempatnya masing-masing. Puluhan pada tempat puluhan, satuan pada tempat satuan.

4) Siswa membaca bilangan ke dua atau bilangan penjumlah. 5) Letakkan blok sesuai dengan bilangan ke dua atau penjumlah

pada nilai tempatnya masing-masing. Puluhan pada tempat puluhan, satuan pada tempat satuan.

6) Siswa kemudian membaca soal penjumlahan yang ditunjukkan oleh jumlah blok.

7) Sesuai dengan implementasi dari operasi penjumlahan, gabungkan blok satuan terlebih dahulu dan letakkan pada kotak hasil satuan.

8) Setiap 10 blok satuan, gantikan dengan 1 blok puluhan dan letakkan pada kotak hasil puluhan.

9) Lanjutkan menggabungkan blok puluhan dan letakkan pada kotak hasil puluhan.

10) Setiap 10 blok puluhan, gantikan dengan 1 blok ratusan dan letakkan pada kotak hasil ratusan.

(17)

11) Hitung jumlah blok pada kotak hasil sesuai dengan nilai tempatnya masing-masing.

12) Siswa kemudian menuliskan hasil yang diperoleh pada jawaban.

13) Agar siswa benar-benar paham, kegiatan ini dilakukan berulang kali dengan bilangan yang berbeda. Ini dapat dilakukan dengan bimbingan guru maupun oleh siswa sendiri.

Contoh : 18 + 16 =

Gambar 2.2. Aplikasi Block Dienes dalam Penjumlahan f. Kelebihan dan Kelemahan Block Dienes

Kelebihan dari alat peraga block dienes menurut Oktarandi (2014: 66) sebagai berikut:

1. Block Dienes ini berbentuk konkrit dan mudah digunakan untuk memahami konsep penjumlahan.

2. Terbuat dari balok kayu sehingga tidak mudah patah. 3. Mudah untuk di bawa kemana-mana

4. Dapat membantu siswa melakukan penjumlahan dan pengurangan dengan cepat, tepat dan akurat.

Berdasarkan beberapa pendapat yang dikemukakan diatas dapat ditegaskan bahwa kelebihan block dienes sebagai berikut:

(18)

1. Materi pelajaran matematika akan lebih dikuasai anak, sebab dengan menggunakan alat peraga block dienes, materi sering diulang-ulang.

2. Anak tunagrahita ringan sukar memahami sesuatu yang abstrak, dengan menggunakan alat peraga block dienes dalam pembelajaran matematika anak akan lebih konkrit dalam menerima pelajaran.

Sedangkan kelemahan dari block dienes menurut Oktarandi (2014: 67) yaitu membutuhkan ketelitian siswa dalam membaca angka dan meletakkan blok sesuai nilai tempat angka tersebut saat melakukan penjumlahan.

B. Kerangka Berpikir

Kerangka berpikir merupakan penalaran untuk sampai pada hipotesis. Anak tunagrahita ringan mengalami hambatan dalam kemampuan intelektualnya. Hal ini mengakibatkan ketidakmampuannya dalam berpikir abstrak. Meskipun demikian, siswa tunagrahita ringan masih dapat dikembangkan kemampuan akademiknya di sekolah khusus atau SLB C. Salah satu kemampuan akademik yang terdapat dalam materi pembelajaran yang diberikan pada siswa tunagrahita ringan adalah kemampuan dalam operasi hitung penjumlahan maksimal 30. Kegiatan menjumlahkan ini sulit dipahami oleh siswa tunagrahita ringan yang memiliki daya abstraksi rendah. Pada dasarnya tahapan berpikir siswa tunagrahita ringan terdiri dari tahap konkret menuju tahap abstrak. Kondisi ini mengakibatkan siswa mengalami kesulitan dalam melakukan operasi hitung penjumlahan. Oleh karena itu, dibutuhkan alat peraga yang mampu membantu siswa dalam operasi hitung penjumlahan.

Salah satu alat peraga yang dapat digunakan adalah block dienes. Alasan dipilihnya alat peraga ini untuk memudahkan siswa melakukan penjumlahan dan pengurangan dengan tepat yang terdiri atas satuan (berupa dadu kecil) dan puluhan (berupa batang).

Berikut ini dapat digambarkan kerangka pemikiran yang dijadikan dasar pemikiran dalam penelitian ini. Kerangka tersebut merupakan dasar pemikiran dalam melakukan analisis pada penelitian ini.

(19)

Gambar 2.3. Bagan Kerangka Berpikir Pembelajaran matematika

materi penjumlahan dengan hasil maksimal 30

Anak tunagrahita ringan kelas IV SLB Setya Darma

Surakarta

Setelah menggunakan block dienes Sebelum menggunakan

block dienes

Kemampuan menghitung anak tunagrahita materi penjumlahan maksimal sampai 30 meningkat Kemampuan menghitung anak

tunagrahita materi penjumlahan maksimal sampai 30 rendah

(20)

C. Hipotesis

Margono dalam penelitian Suparjo (2011: 50) menjelaskan hipotesis berasal dari kata hipo (hypo) dan tesis (thesis). Hipo berarti kurang dari, sedangkan tesis berarti pendapat. Jadi hipotesis adalah suatu pendapat atau kesimpulan yang sifatnya sementara, belum benar-benar berstatus sebagai suatu tesis.

Hipotesis dalam penelitian ini adalah bahwa ada pengaruh positif penggunaan alat peraga block dienes sebagai upaya meningkatkan kemampuan berhitung penjumlahan pada anak tunagrahita ringan kelas IV di SLB-C Setya Darma Surakarta tahun ajaran 2015/2016.

Gambar

Tabel 2.1 Kompetensi Inti dan Kompetensi Dasar Kelas IV SDLB C Setya  Darma Surakarta
Gambar 2.2. Aplikasi Block Dienes dalam Penjumlahan
Gambar 2.3. Bagan Kerangka BerpikirPembelajaran matematika

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian mengenai pengaruh gelombang mikro terhadap tubuh manusia menyatakan bahwa untuk daya sampai dengan 10 mW/cm2 masih termasuk dalam nilai ambang batas aman

Berdasarkan data dari Laporan Keuangan yaitu Laporan Posisi Keuangan dan Laporan Laporan Laba Rugi tahun 2014, 2015, dan 2016, maka penulis tertarik untuk menganalisis rasio

In measuring phase the sequences (i.e. patterns) of HO and LAU zones can be determined and stored in database on each road. There are operating solutions and IPRs based

Penerapan media poster untuk meningkatkan partisipasi belajar siswa dalam pembelajaran pendidikan kewarganegaraan.. Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu |

Sertifikasi Bidang Studi NRG

Data hasil pretes dan postes yang telah diperoleh akan dianalisis untuk melihat bagaimana efektivitas model pembelajaran reflektif untuk meningkatkan pemahaman

Kami juga akan memberikan dukungan dan pantauan kepada yang bersangkutan dalam mengikuti dan memenuhi tugas-tugas selama pelaksanaan diklat online. Demikian

Maka dapat ditarik kesimpulan pada sifat dan karakter musik modem baik dalam pertunjukan maupun dari rekaman para pendengarnya akan dapat merasakan dinamika musiknya dan