• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. satu sama lainnya tidak dapat dipisahkan, karena pada satu sisi demokrasi memberikan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. satu sama lainnya tidak dapat dipisahkan, karena pada satu sisi demokrasi memberikan"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Demokrasi dan negara hukum adalah dua konsepsi mekanisme kekuasan dalam menjalankan roda pemerintahan negara. Kedua konsepsi tersebut saling berkaitan yang satu sama lainnya tidak dapat dipisahkan, karena pada satu sisi demokrasi memberikan landasan dan mekanisme kekuasaan berdasarkan prinsip persamaan dan kesederajatan manusia, pada sisi yang lain negara hukum memberikan patokan bahwa yang memerintah dalam suatu negara bukanlah manusia, tetapi hukum.1 Konsepsi demokrasi selalu menempatkan rakyat pada posisi yang sangat strategis dalam sistem ketatanegaraan, walaupun pada tataran implementasinya terjadi perbedaan antara negara yang satu dengan negara yang lain, sedangkan di dalam konsepsi negara hukum terkandung prinsip-prinsip negara hukum (nomocratie), yang masing-masing prinsip-prinsip dari kedua konsepsi tersebut dijalankan secara beriringan sebagai dua sisi dari satu mata uang.2 Paham negara hukum yang demikian dikenal dengan sebutan “negara hukum yang demokratis” (democratische rechtsstaat) atau dalam bentuk konstitusional disebut constitutional

democracy.3

Professor Jimmly Asshidiqie menegaskan bahwa negara hukum yang bertopang pada sistem demokrasi pada pokoknya mengidealkan suatu mekanisme bahwa negara hukum itu haruslah demokratis, dan negara demokrasi itu haruslah didasarkan atas

1 Satjipto Rahardjo, 2009, Negara Hukum yang Membahagiakan Rakyatnya, Genta Publishing, Jakarta, hlm. 10.

2

Jimly Asshidiqie, 2005, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Edisi Revisi, Konstitusi Press, Jakarta, hlm. 152-162.

3 Jimly Asshidiqie, 2008, Menuju Negara Hukum yang Demokratis, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Jakarta, hlm. 532.

(2)

hukum. Menurutnya, dalam perspektif yang bersifat horizontal gagasan demokrasi yang berdasarkan atas hukum (constitutional democracy) mengandung 4 (empat) prinsip pokok, yaitu:4

1) Adanya jaminan persamaan dan kesetaraan dalam kehidupan bersama; 2) Pengakuan dan penghormatan terhadap perbedaan atau pluralitas;

3) Adanya aturan yang mengikat dan dijadikan sumber rujukan bersama; dan

4) Adanya mekanisme penyelesaian sengketa berdasarkan mekanisme aturan yang ditaati bersama dalam konteks kehidupan bernegara, di mana terkait pula dimensi-dimensi kekuasaan yang bersifat vertikal antar institusi negara dengan warga negara.

Dalam pandangannya, keempat prinsip-prinsip pokok dari demokrasi tersebut lazimnya dilembagakan dengan menambahkan prinsip-prinsip negara hukum (nomokrasi), yaitu:5

1) Pengakuan dan penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia;

2) Pembatasan kekuasaan melalui mekanisme kekuasaan dan pembagian kekuasaan disertai mekanisme penyelesaian sengketa ketatanegaraan antar lembaga negara, baik secara vertikal maupun horizontal;

3) Adanya peradilan yang bersifat independen dan tidak memihak (independent and

impartial) dengan kewibawaan putusan yang tertinggi atas dasar keadilan dan

kebenaran;

4) Dibentuknya lembaga peradilan yang khusus untuk menjamin keadilan warga negara yang dirugikan akibat putusan atau kebijakan pemerintahan (pejabat administrasi negara);

5) Adanya mekanisme judicial review oleh lembaga legislatif maupun lembaga eksekutif;

6) Dibuatnya konstitusi dan peraturan perundang-undangan yang mengatur jaminan-jaminan pelaksana prinsip-prinsip tersebut; dan

7) Pengakuan terhadap asas legalitas atau due process of law dalam keseluruhan sistem penyelenggaraan negara.

Oleh karena itu, negara hukum itu harus ditopang dengan sistem demokrasi karena terdapat korelasi yang jelas antara negara hukum yang bertumpu pada konstitusi, dengan kedaulatan rakyat yang dijalankan melalui sistem demokrasi. Dalam sistem demokrasi partisipasi rakyat merupakan esensi dari sistem ini. Akan tetapi, demokrasi

4 Jimly Asshidiqie, 2000, “Demokrasi dan Nomokrasi: Prasayarat Menuju Indonesia Baru”, Kapita Selekta Teori Hukum (Kumpulan Tulisan Tersebar), FH-UII, Jakarta, hlm. 141-144.

(3)

tanpa pengaturan hukum akan kehilangan bentuk dan arah, sementara hukum tanpa demokrasi akan kehilangan makna.6

Secara tegas dijelaskan dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945, bahwa Indonesia merupakan negara hukum. Salah satu poin diatas menyebutkan bahwa prinsip negara hukum memerlukan peradilan yang bebas dan tidak memihak, yang artinya telah masuk ke dalam ranah kekuasaan kehakiman. Sejalan dengan ketentuan tersebut maka salah satu prinsip penting negara hukum adalah adanya jaminan penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang merdeka, bebas dari pengaruh kekuasaan lainnya untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.

Dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 hanya di dalam BAB IX yang menyatakan,7 kekuasaan “merdeka” yang melekat pada suatu lembaga atau badan kekuasaan negara, tidak ditemukan adanya penyebutkan kekuasaan merdeka pada bab-bab yang lainnya. Hal ini menegaskan bahwa kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan yang mulia yang diatur secara tegas dalam konstitusi, dan sering juga dikatakan jabatan mulia pada hakim sebagai komponen utama pelaksana kekuasaan kehakiman, karena tindakannya dilakukan hanya atas nama Tuhan dan tidak nama Negara. Lebih lanjut dijelaskan bahwa jikalau pejabat kekuasaan kehakiman terutama hakim dapat menjalankan tugas tetap berada dalam ruang lingkup sistem yang berlaku dengan tegas, cermat, dan tidak dapat dipengaruhi oleh apa pun juga sebagai kekuatan moral yang tinggi, maka kekuasaan kehakiman akan menjadi kekuasaan yang disegani.8

6 Satjipto Rahardjo, Op. cit., hlm. 48. 7

BAB IX Undang-Undang Dasar 1945 setelah amandemen ketiga tahun 2001, yang mengatur tentang “Kekuasaan Kehakiman”.

8 Harifin A. Tumpa. 2003, Pengkajian Beberapa Topik Hukum Acara Perdata; Bunga Rampain Hukum

(4)

Asas kebebasan kehakiman yang bebas dan merdeka diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Tahun 1945, pada Pasal 24 ayat (1), berbunyi

“Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakan hukum dan keadilan.” dan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang

Nomor 48 Tahun 2009, berbunyi “Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan Negara yang merdeka untuk menyelanggarakan peradilan guna menegakan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia.”9

Dengan adanya jaminan konstitusi tersebut, sudah seharusnya hakim menjalankan tugasnya dalam menegakan hukum dan keadilan bebas dari segala tekanan dari pihak mana pun juga, sehingga dapat memberikan putusan yang seadil-adilnya. Oleh karena itu, Wahyu Affandi10 menegaskan, karenanya tugasnya sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman yang merdeka harus bebas dari segala campur tangan pihak mana pun juga, baik intern maupun ekstern. Sehingga hakim dapat dengan tenang memberikan putusan yang seadil-adilnya. Dengan demikian, dapat ditarik benang merah, bahwa kekuasaan kehakiman yang bebas dan merdeka adalah mutlak adanya. Hakim sebagai wakil Tuhan yang mempunyai peran sangat penting dalam penegakan hukum, berhak untuk memutuskan suatu putusan tanpa adanya intervensi dari pihak manapun.

Akan tetapi Sudikno Mertokosusumo tetap memberikan batasan-batasan dalam hal menjalankan kebebasan kekuasaan kehakiman. Sudikno menyatakan walaupun merdeka

9 Rimdan, 2012, Kekuasaan Kehakiman Pasca Amandemen Konstitusi, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, hlm. 50.

(5)

kekuasaan kehakiman tersebut.11 Hakim dalam melaksanakan wewenang judisial tidaklah mutlak sifatnya. Secara mikro, hakim dibatasi oleh Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, Undang-Undang, ketertiban umum, kesusilaan, dan perilaku atau kepentingan para pihak, sedang secara makro hakim dibatasi oleh sistem pemerintahan, politik, ekonomi dan sebagainya. Namun pada bagian lain Sudikno Mertokusumo menguraikan,12 disadari bahwa kebebasan kekuasaan kehakiman, yang penyelenggaraannya diserahkan kepada badan-badan peradilan, merupakan salah satu ciri khas daripada Negara hukum. Lebih lanjut, menurut Sudikno Mertokusumo diperlukannya pengawasan atas kekuasaan kehakiman. Bentuk pengawasan untuk membatasi kebebasannya, maka putusan harus dikoreksi. Oleh karena itu, asas peradilan yang baik (principle of good judicature) ialah adanya pengawasan dalam bentuk upaya hukum.13

Kebebasan yang dimiliki oleh profesi hakim pada hakikatnya merupakan pelayanan kepada manusia dan masyarakat di bidang hukum. Oleh karenanya hakim dituntut memiliki moralitas dan tanggung jawab yang tinggi. Disamping itu, pada Pasal 25 amandemen UUD 1945 ditentukan bahwa syarat–syarat untuk menjadi dan diberhentikan sebagai hakim ditetapkan oleh undang–undang. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan jaminan agar hakim dalam melaksanakan tugasnya dapat dengan sungguh– sungguh dan memiliki independensi, secara merdeka, terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah atau kekuasaan lain dalam masyarakat. Keberadaan suatu pedoman etika dan perilaku hakim sangat dibutuhkan dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Pedoman etika dan perilaku hakim

11 Sudikno Mertokusumo, “Perkembangan Reformasi Kekuasaan Kehakiman”, http://sudiknoartikel.blogspot.com, diakses tanggal 12 Februari 2015.

12 Amran Suadi, 2014, Sistem Pengawasan Badan Peradilan di Indonesia, Rajawali Press, Jakarta, hlm. 214.

(6)

merupakan inti yang melekat pada profesi hakim, sebab ia adalah kode perilaku yang memuat nilai etika dan moral, untuk mewujudkan suatu pengadilan

Dalam proses penyelesaian perkara peradilan, peran hakim dalam semua tingkatan peradilan menduduki posisi yang sangat sentral. Dalam posisi sentral itulah diharapkan dapat menegakkan hukum yang sesuai dengan rasa keadilan. Hanya hakim yang memiliki komitmen moral dan integritas terhadap hukum yang diharapkan dapat menghasilkan putusan yang sesuai dengan rasa keadilan. Banyak pandangan tentang kriteria hakim yang baik dan memiliki integritas, antara lain: memiliki kemampuan hukum (legal skill), berpengalaman yang memadai, memiliki integritas, memiliki kesehatan yang baik, mencerminkan keterwakilan masyarakat, memiliki nalar yang baik, memiliki visi yang luas, memiliki kemampuan berbahasa dan menulis, mampu menegakkan hukum negara dan bertindak independen dan imparsial, dan memiliki kemampuan administratif dan efisien.14

Akan tetapi, bobot dan kualitas penguasaan hukum saja tidak cukup. Seorang profesional hukum juga harus bermoral. Dalam arti ini, diperlukan suatu kode etik bagi pengemban profesi hukum. Kode etik adalah sebuah kompas yang menunjuk arah moral bagi profesional hukum dan sekaligus juga menjamin mutu moral profesi hukum di mata masyarakat. Kode etik dan penguasaan hukum ini bersifat komplementer, saling mengisi dan menguatkan jati diri para profesi hukum. Kode etik juga merupakan nilai-nilai dan norma-norma moral yang wajib diperhatikan dan dijalankan oleh profesional hukum. Di dalamnya terdapat daftar kewajiban khusus bagi setiap anggota profesi hukum untuk mengatur tingkah lakunya dalam masyarakat dan diharapkan akan dipegang teguh oleh

14 Tim Sekretaris Mahkamah Agung, 2014, Laporan Tahunan 2014, Mahkamah Agung RI, Jakarta, hlm. 135.

(7)

seluruh anggota profesi hukum. Kode etik ini mengikat para pelaku profesi hukum agar senantiasa menaati kode etik tersebut. Kode etik itu menjadi ukuran moralitas anggota profesi hukum, motivasi tindakan, dan ruang lingkup tindakan itu dilakukan. Ini dimaksudkan agar setiap anggota profesi hukum wajib mewujudkan nilai-nilai moral yang dianggap hakiki yang dituangkan dalam kode etik, dan tidak pernah mendapat paksaan dari luar.15

Namun di dalam masyarakat akhir-akhir ini, peneliti merasa terdapat suatu kecenderungan bahwa lembaga tersebut kurang dapat menjalankan fungsinya dengan baik. Indikasi ini dapat dilihat dari banyaknya keputusan dan tindakan pengadilan yang mendapatkan kritik oleh para pakar hukum ataupun masyarakat secara umum dan juga menimbulkan polemik yang berkepanjangan di berbagai media masyarakat di Indonesia. Ditambah saat ini dunia peradilan disorot tajam pasca putusan Hakim Sarpin yang mengkabulkan gugatan pra peradilan Budi Gunawan yang mana makin mengkhawatirkan dunia penegakan hukum walaupun masih dalam penyelidikan oleh Komisi Yudisial apakah melanggar kode etik atau tidak, sehingga timbul pertanyaan yakni bagaimanakah penegakan kode etik hakim untuk mewujudkan peradilan yang bebas dan mandiri.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimanakah pengawasan yang dilakukan terkait penegakan kode etik hakim baik secara internal maupun eksternal?

(8)

2. Apakah kendala dalam pengawasan yang dilakukan terkait penegakan kode etik hakim baik secara internal maupun eksternal?

3. Bagaimanakah upaya untuk mengatasi kendala dalam pengawasan terkait penegakan kode etik hakim tersebut?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Tujuan Objektif

Mengacu pada rumusan masalah, maka tujuan objekif dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

a) Mengetahui dan mengkaji pengawasan yang dilakukan terkait penegakan kode etik hakim baik secara internal maupun eksternal.

b) Mengetahui dan mengkaji kendala dalam pengawasan tersebut.

c) Mengetahui dan mengkaji upaya dalam pengawasan terkait penegakan kode etik hakim.

2. Tujuan Subjektif

Tujuan subjektif dilakukannya penelitian ini adalah untuk memperoleh data – data yang diperlukan dalam menyusun penulisan hukum sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat, baik dari ilmu pengetahuan dan praktek ketatanegaraan, sebagai berikut:

(9)

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi Negara Indonesia, yaitu berupa masukan – masukan yang membangun untuk perumusan kebijakan profesi hakim, khususnya penegakan kode etik hakim agar dapat mewujudkan kekuasaan kehakiman yang merdeka dan bebas

2. Manfaat Bagi Praktik Ketatanegaraan

Manfaat penelitian ini bagi masyarakat adalah memberikan pemahaman kepada masyarakat tentang mekanisme penegakan kode etik dan pedoman perilaku hakim dalam mewujudkan kekuasaan kehakiman yang bebas dan merdeka

E. Keaslian Penelitian

Penelitian berjudul “Pengawasan dalam Penegakan Kode Etik Hakim pada Mahkamah Agung Untuk Mewujudkan Kekuasaan Kehakiman yang Bebas dan Merdeka”, sejauh penelusuran Penulis belum pernah dilakukan. Selama penelusuran, Penulis menemukan penelitian yang mempunyai keterkaitan dengan penelitian ini sebagaimana karya Jai Dewer dengan berjudul “Fungsi dan Wewenang Komisi Yudisial dalam Melakukan Pengawasan terhadap Kekuasaan Kehakiman”. Masalah yang dikaji oleh Jai Dewer lebih berfokus pada ranah Komisi Yudisial dalam melakukan pengawasan terhadap kekuasaan kehakiman.

Selain itu juga terdapat skrispi karya Riyo Eka Saputra dengan judul “Implikasi Keberadaan Majelis Kehormatan Hakim di Mahkamah Agung”. Masalah yang dikaji Riyo Eka Saputra adalah fungsi sekaligus keberadaan Majelis Kehormatan Hakim di Mahkamah Agung sebagai pengawasan terhadap kekuasaan kehakiman. Perbedaan penulisan Hukum ini dengan dua skripsi di atas adalah Penulisan Hukum ini lebih

(10)

berfokus pada pengawasan terkait penegakan kode etik Hakim pada Mahkamah Agung baik dari segi pengawasan internal mauapun eksternal yakni Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial. Berbeda dengan penelitian tersebut, penelitian ini akan melakukan kajian mengenai pengawasan terkait penegakan kode etik hakim baik yang dilakukan oleh internal yakni Mahkamah Agung itu sendiri dan eksternal yakni Komisi Yudisal.

Namun demikian , Penulis tetap menjunjung etika dalam penulisan karya ilmiah dengan tidak melakukan plagiarism terhadap karya orang lain dengan cara mencantumkan setiap kutipan ataupun pemikiran yang Penulis tuangkan kembali dalam bahasa Penulis sendiri dengan mencantumkan sumber kutipan di catatan kaki.

Referensi

Dokumen terkait

109 Pengadaan Jasa Konsultansi Pengawasan Pengembangan dan Rehabilitasi Kontruksi Jalan Produksi (JP) dan Jalan Usaha Tani (JUT) Kawasan Tanaman

Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) yang terdiri dari 18 perlakuan yaitu perlakuan konsentrasi (0persen, 0,1persen, 0,2persen, 0,3persen, 0,4persen

Meskipun Injil mengandung banyak tema Yahudi konservatif, bentuk akhir dari teks Matius menunjukkan bahwa itu adalah penulis dapat digambarkan dengan

Oleh karena itu salah satu fungsi pendidikan seni tari adalah belajar tentang upaya agar siswa dapat mengenali nilai budaya, karena belajar tentang budaya tidak cukup

Penelitian terdahulu pertama yang di lakukan oleh (Mohammad Doostar, Maryam Kazemi Iman Abadi, Reza Kazemi Iman Abadi) yang berjudul “Impact of Brand Equity on Purchase

Bersinergi dan mempererat jaringan relawan, komunitas dan donatur yang tidak mudik lebaran dalam keceriaan lebaran bersama anak yatim, dhuafa dan orang

perubahan iklim global terhadap kehidupan, dan Lembaga-lembaga yang menyediakan dan memanfaatkan data cuaca dan iklim di Indonesia, Peserta didik kemudian diberi

salina akibat pemberian variasi dosis pakan tepung kepala udang Vannamei dan dilanjutkan dengan uji Duncan untuk mengetahui dosis perlakuan yang menghasilkan rerata