Fakultas Ilmu Komputer
Universitas Brawijaya
2672
Perbandingan Kinerja Pengiriman Data Skema Routing Single-Copy dan
Multi-Copy pada Jaringan Delay Tolerant Network (DTN)
Fedro Jordie T. H. Simangunsong1, Heru Nurwarsito2, Reza Andria Siregar3 Program Studi Teknik Informatika, Fakultas Ilmu Komputer, Universitas Brawijaya
Email: 1hasiholan.fedrojordie@gmail.com, 2heru@ub.ac.id, 3reza.jalin@ub.ac.id Abstrak
Internet menjadi cara yang paling populer untuk mendapatkan dan membagikan informasi. Namun tidak semua daerah di Indonesia memiliki koneksi Internet yang tak terputus-putus. Wilayah pedesaan, pendakian, dan perairan menjadi contoh daerah memiliki koneksi Internet terputus-putus. Permasalahan tersebut dapat diatasi dengan memanfaatkan teknologi Delay Tolerant Network (DTN). Pada penelitian ini akan mensimulasikan jaringan DTN pada aplikasi The ONE Simulator untuk membandingkan kinerja skema routing DTN dengan ukuran buffer, ukuran pesan, dan letak geografis yang berbeda. Protokol
routing yang digunakan adalah Direct Delivery dan First Contact untuk skema routing Single-copy,
serta MaxProp, Spray and Wait, dan Epidemic untuk skema routing Multi-copy. Hasil penelitian menunjukkan skema routing Multi-copy lebih unggul dibandingkan dengan skema routing Single-copy, terutama pada nilai Delivery Probability dan Average Latency. Dengan nilai Delivery Probability tertinggi 98.08% berbanding 88.56% milik Single-copy, nilai Average Latency terendah 40.3138s, berbanding 41.2028s pada Single-copy, nilai Overhead Ratio terendah 367.66%, berbanding 0% pada
Single-copy. Protokol routing MaxProp menghasilkan nilai Delivery Probability yang paling baik.
Sedangkan nilai Average Latency yang paling baik dihasilkan protokol routing Spray and Wait. Untuk nilai Overhead Ratio, protokol routing Direct Delivery menghasilkan nilai yang paling baik.
Kata kunci: DTN, delay tolerant network, multi-copy, single-copy, Direct Delivery, First Contact, MaxProp,
Epidemic, Spray and Wait, pedesaan, pendakian, pegunungan, perairan Abstract
Nowadays The Internet become the most popular way to get and share information. But not all regions in Indonesia have an uninterrupted Internet connection. Rural, mountain climbing, and marine are examples of areas having interrupted Internet connections. These problems can be solved by adapting Delay Tolerant Network (DTN) technology. In this research, the DTN Network was simulated in The ONE Simulator to compare performance of DTN routing scheme with buffer size, message size, and different geographical location. Routing protocols that used are Direct Delivery and First Contact for Single-copy routing schemes, and MaxProp, Spray and Wait, and Epidemic for Multi-copy routing schemes. The results show that the performance of Multi-copy routing schemes are better than Single-copy routing schemes, especially on the Delivery Probability and Average Latency value. With the highest Delivery Probability value of 98.08% compared to 88.56% of Single Copy, the lowest Average Latency value is 40.3138s, compared to 41.2028s of Single-copy, the lowest Overhead Ratio is 367.66%, compared to 0% of Single-copy. MaxProp routing protocol generated the best Delivery Probability value. While, the best Average Latency value generated by Spray and Wait routing protocol. And Direct Delivery generated the best Overhead Ratio value.
Keywords: DTN, delay tolerant network, multi-copy, single-copy, Direct Delivery, First Contact, MaxProp,
Epidemic, Spray and Wait, rural, mountain climbing, mountains, marine
1. PENDAHULUAN
Pada zaman modern yang berkembang pesat saat ini, kebutuhan akan informasi menjadi
kebutuhan pokok. Cara yang paling populer adalah dengan menggunakan Internet (Warthman, 2012). Dibutuhkan akses terhadap Internet yang stabil dan konsisten untuk mendapat dan membagikan informasi secara
realtime. Namun tidak semua daerah di
Indonesia memiliki koneksi Internet yang stabil. Pedesaan, pegunungan, dan wilayah kepulauan menjadi contoh daerah yang memiliki koneksi Internet terputus-putus.
Untuk membangun infrastruktur komunikasi membutuhkan biaya yang sangat banyak. Oleh karena itu penelitian tentang DTN mulai dilakukan.
Konsep DTN awalnya diperkenalkan oleh Kevin Fall (Fall, 2003). Pada jurnal tersebut, ia menyatakan bahwa DTN adalah arsitektur yang cocok untuk digunakan pada jaringan yang penuh dengan berbagai macam kendala, seperti
delay, koneksi yang tidak stabil bahkan terputus,
dan tingkat error yang tinggi (Fall, 2003) Penelitian DTN untuk pertukaran data pada daerah terpencil telah dilakukan oleh beberapa peneliti yang pertama adalah oleh Giwang Sugiyanto (Sugiyanto, 2015), yang meneliti performa protokol routing MaxProp dan PRoPHET, ia menyimpulkan bahwa MaxProp lebih unggul dibanding dengan PRoPHET dalam hal Delivery Probability, Average Latency (Delay), Average Buffer Time, dan Overhead
Ratio. Pada penelitian tersebut ia telah
melakukan simulasi dengan mengambil data real dengan menggunakan angkutan kota sebagai
router bergerak dan sekolah-sekolah yang ada di
daerah Magetan.
Penelitian yang berikutnya yang membahas DTN adalah Siska Permatasari (Permatasari, 2017). Dalam penelitian tersebut peneliti menggunakan ONE Simulator untuk mensimulasikan kinerja protokol routing Epidemic, PRoPHET, dan Spray and Wait
dengan menggunakan kapal sebagai node bergerak. Pada penelitian tersebut peneliti melakukan penelitiannya di Pulau Gili Trawangan, Gili Meno, dan Gili Air. Parameter uji yang digunakan pada penelitian tersebut hanya membandingkan ukuran pesan yang berbeda terhadap kinerja dari masing-masing protokol routing.
Berdasarkan penelitian tersebut, rancangan kedua peneliti diatas yang menggunakan pergerakan Shortest Path Map-Based Movement (SPMBM) tidak menggunakan POI (Point Of
Interest) sehingga node akan bergerak secara random (acak). Selain itu, para peneliti hanya
berfokus pada satu skema routing dan satu letak geografis. Sementara untuk mengetahui kehandalan atau kinerja dari masing-masing protokol routing tidak hanya dilakukan dengan satu lokasi geografis saja atau hanya dengan
memvariasikan parameter uji saja, tetapi harus dengan mengkombinasikan keduanya. Selain dapat mengetahui kinerja masing-masing jenis protokol routing DTN, kita juga dapat mengetahui protokol mana yang cocok diterapkan pada kondisi geografis yang berbeda-beda tersebut.
Maka dari itu, penulis ingin melakukan analisis performa lebih lanjut dengan melakukan perbandingan antara skema routing single-copy dan protokol multi-copy yang akan disimulasikan menggunakan perangkat lunak
Opportunistic Network Environtment (ONE) Simulator dengan judul “Perbandingan Kinerja
Pengiriman Data dengan Skema Routing
Single-copy dan Multi-Single-copy pada Jaringan Delay
Tolerant Network”. Mengingat penelitian
terdahulu hanya menggunakan skema routing
multi-copy saja. Untuk jenis skema routing single-copy penulis akan menggunakan protokol routing Direct Delivery dan First Contact
sementara untuk skema routing multi-copy penulis akan menggunakan routing protokol
Epidemic, MaxProp, dan Spray and Wait.
Perbandingan dilakukan dengan memvariasikan parameter uji yaitu ukuran paket, dan ukuran buffer, parameter uji tersebut nantinya akan dikombinasikan pada lingkungan yang bersifat nyata seperti pada perdesaan, dan pegunungan, dan wilayah kepualuan yang terpisah oleh lautan. Sehingga setelah penelitian telah selesai dilakukan maka dapat dilakukan analisis pada parameter yang digunakan dalam penelitian untuk mengetahui kinerja dari protokol routing DTN yang akan diuji coba dalam penulisan tugas akhir ini. Juga nantinya penelitian ini dapat menjadi referensi bagi peneliti yang ingin melakukan implementasi di daerah, pedesaan, pegunungan, dan kepulauan dengan menggunakan algoritme routing yang tepat yang nantinya akan memaksimalkan kinerja pengiriman dari data.
2. JARINGAN DTN
Delay Tolerant Network (DTN), memiliki
arti jaringan yang toleran atau tidak mempermasalahkan delay. Jaringan DTN tetap dapat bekerja meskipun delay dalam jaringan cukup tinggi, dimana hal ini cocok untuk diterapkan pada daerah terpencil yang susah mendapatkan sinyal Internet.
Konsep DTN pertama kali diperkenalkan oleh Kevin Fall (Fall, 2003). Dalam makalah tersebut, Kevin menyatakan bahwa DTN
merupakan arsitektur yang cocok pada jaringan yang “menantang” (challenged). Maksud dari “menantang” disini adalah jaringan yang penuh dengan masalah, seperti delay yang lama karena koneksi end-to-end tidak selalu ada, koneksi yang sering terputus dan tingkat error yang tinggi.
3. SKEMA ROUTING SINGLE-COPY
Skema routing single-copy adalah skema
routing dimana hanya mengizinkan hanya satu
salinan paket data untuk setiap pesan yang dikirimkan ke node lain saat berada dalam area cakupannya. Sehingga strategi ini mengurangi kinerja jaringan berupa rasio pengiriman dan semakin meningkatnya penundaan jaringan (Farrell, 2006).
Skema routing single-copy terdiri atas 2 protokol routing yaitu protokol routing First
Contact dan Direct Delivery.
3.1. First Contact (FC)
Protokol First Contact merupakan salah satu skema protokol single-copy routing pada DTN. Pesan dikirim ke node yang ditemui pertama dan kemudian pesan dihapus pada sisi
node pengirim kemudian pesan diteruskan
sampai ke node tujuan (Jain, et al., 2004). 3.2. Direct Delivery (DD)
Gambaran yang paling sederhana dari protokol routing Direct Delivery adalah seperti berikut : sebuah node A meneruskan sebuah pesan ke node yang lain yaitu B, dan node B tersebut adalah node tujuan dari pesan yang diteruskan oleh node A. Dengan kata lain node A membawa pesan tersebut langsung hingga ke tujuan tanpa meneruskan ke node perantara. Skema routing ini memiliki delivery delay yang tidak terbatas (Grossglauser & Tse, 2002), tapi memiliki keuntungan karena melakukan hanya satu kali transmisi per pesan
4. SKEMA ROUTING MULTI-COPY
Skema routing multi-copy adalah skema
routing yang meneruskan tiap pesan ke setiap node di jalur yang ada dalam area cakupannya.
Strategi yang diterapkan oleh jenis protokol
multi-copy pun memiliki kelemahan yaitu
dengan pemanfaatan sumberdaya secara berlebihan yang dimiliki oleh masing-masing
node (Spyropoulos, et al., 2008). Hal tersebut
disebabkan oleh duplikasi pesan yang dilakukan
pada jenis routing tersebut. 4.1. Spray and Wait (SaW)
Protokol routing Spray and Wait membatasi jumlah replika bundel per bundel yang diperbolehkan dalam satu jaringan untuk mengontrol flooding. (Spyropoulos, et al., 2005). Protokol routing ini terdiri dari dua fase, yaitu fase spray dan fase wait. Pada fase spray, setiap pesan yang berasal dari node sumber, pesan akan disebar (forward) oleh node sumber dan mungkin juga disebarkan oleh node lain yang menerima pesan tersebut. Pada fase wait, jika destinasi tidak dapat ditemukan pada fase spray, setiap node yang membawa salinan pesan dari sumber akan melakukan pengiriman langsung ke
node tujuan.
4.2. MaxProp
MaxProp merupakan forwarding based routing protocol. MaxProp menggunakan
beberapa mekanisme untuk menentukan paket mana yang harus ditransmisikan dan paket mana yang akan dihapus (drop). Protokol routing
MaxProp memberikan prioritas tinggi untuk
paket-paket baru yang telah diterima, dan juga berupaya untuk mencegah penerimanaan paket yang sama dua kali. Kemudian MaxProp juga memberikan prioritas rendah untuk paket yang dibuang dari ruang buffer. MaxProp memiliki daftar peringkat node yang menyimpan paket berdasarkan cost pengiriman untuk tiap tujuan.
Cost pada MaxProp merupakan estimasi dari delivery likehood. Protokol routing MaxProp
juga menerapkan pengiriman ACK (Acknowledgement) ke semua node untuk memberitahu node-node yang ada tentang pengiriman paket. ACK tersebut juga digunakan untuk membersihkan paket yang berada di
node-node jika paket yang dikirim telah sampai di
tujuan. MaxProp juga melakukan pertukaran prioritas paket dengan mempertimbangkan jumlah hop dan delivery likehood berdasarkan pertemuan sebelumnya. (Burgess, et al., 2006). 4.3. Epidemic
Routing protokol Epidemic ini dianalogikan
sebagai penyebaran penyakit menular. Setiap
node yang membawa pesan dan bertemu dengan node lain yang tidak memiliki salinan paket
tersebut, sang carrier (pembawa pesan) akan menginfeksi node baru tersebut dengan meneruskan salinan pesan. Begitu seterusnya hingga pesan tersebut sampai ke node tujuan.
Pada saat beban trafik yang rendah, routing
Epidemic dapat memperoleh tingkat delay yang
minimum dengan mengorbankan peningkatan sumberdaya, seperti penyimpanan buffer, bandwidth, dan daya transmisi (Bindra &
Sangal, 2012).
5. PERSIAPAN SIMULASI
Untuk membandingkan performa protokol
routing pada 3 wilayah berbeda yaitu pedesaan,
pendakian, dan perairan, penulis menggunakan 5 protokol routing yaitu, Direct Delivery dan First
Contact yang termasuk ke dalam skema routing single-copy, serta Spray and Wait, MaxProp, dan Epidemic yang termasuk ke dalam skema routing multi-copy. Protokol yang telah
disebutkan tadi akan disimulasikan pada aplikasi
The ONE Simulator.
Pada Tabel 1, dijelaskan parameter-parameter yang akan dikonfigurasi pada aplikasi
The ONE Simulator.
Tabel 1 Parameter Simulasi Penelitian
Parameter Nilai
Objek Penelitian
Desa Ngadas – Desa Ranu Pani (pedesaan), Basecamp Ranu Pani – Ranu Kumbolo (pendakian), Pelabuhan
Sanur – Pelabuhan Jungutbatu
(perairan)
Protokol
Routing
DD, FC, SaW, MaxProp, Epidemic
Jumlah Node 36 (pedesaan), 128 (pendakian), 12 (perairan) Kecepatan Node 5-7 m/s (pedesaan), 0.4-0.56 m/s (pendakian), 13.88 m/s (perairan) Ukuran Buffer 25M,50M,75M,100M,125M,150M Ukuran Paket 500k, 5M, 10M, 25M, 50M Kecepatan Transmisi 2.5Mbps Waktu Simulasi 43200 detik (12 jam) Model Pergerakan
Shortest Path Map Based Movement, Stationary Movement
Area Transmisi
50 m
TTL 300 menit
Pada Tabel 2, dijelaskan skenario-skenario yang akan disimulasikan pada aplikasi The ONE
Simulator dengan mensimulasikan seluruh
protokol routing yang telah disebutkan sebelumnya. Simulasi pengujian pada tiga wilayah yang berbeda (pedesaan, pendakian, dan
perairan) akan dikombinasi dengan parameter uji ukuran pesan dan ukuran buffer.
Tabel 2 Skenario Penelitian
No. Skenario Penjelasan
1 Skenario
1
Wilayah pedesaan dengan
parameter uji ukuran pesan
2 Skenario
2
Wilayah pedesaan dengan
parameter uji ukuran buffer
3 Skenario
3
Wilayah pendakian dengan
parameter uji ukuran pesan
4 Skenario
4
Wilayah pendakian dengan
parameter uji ukuran buffer
5 Skenario
5
Wilayah perairan dengan
parameter uji ukuran pesan
6 Skenario
6
Wilayah perairan dengan
parameter uji ukuran buffer
5.1. Parameter Pengukuran Kinerja
Penulis akan membandingkan kinerja masing-masing protokol routing berdasarkan parameter pengukuran kinerja sebagai berikut.
1) Delivery Probability (%) : Delivery
Probability adalah probabilitas jumlah
paket yang berhasil dikirimkan dari sumber hingga ke tujuan berbanding dengan jumlah keseluruhan paket data yang dikirimkan. 2) Average Latency (s) : Average Latency atau
rata-rata waktu tunda adalah selang waktu yang dibutuhkan oleh suatu paket data pada saat setelah paket mulai dikirimkan dan sampai mencapai titik tujuan.
3)
Overhead Ratio (%) : Overhead Ratioadalah banyaknya pesan yang di-relay agar satu pesan dapat sampai ketujuan.
6. PROSES SIMULASI
Setelah parameter simulasi telah berhasil di konfigurasi, maka selanjutnya adalah melakukan pengujian kinerja protokol routing dengan simulasi. Pada penelitian ini simulasi dilakukan dengan menggunakan program aplikasi The
ONE Simulator. Simulasi akan dilakukan sesuai
dengan skenario yang telah dibuat. Untuk skenario yang menggunakan parameter uji ukuran pesan, akan dilakukan simulasi sebanyak 25 kali per skenario, berdasarkan protokol routing dan ukuran pesan yang telah ditentukan. Sementara skenario yang menggunakan parameter uji ukuran buffer akan disimulasikan sebanyak 30 kali per skenario.
Setiap simulasi akan dilakukan selama 43200 detik/12 jam. Simulasi telah berhasil
dilakukan apabila simulasi telah dilakukan selama 12 jam. Tentunya 12 jam tersebut dapat dipercepat menjadi beberapa kali lipat untuk mempersingkat waktu.
Untuk melakukan simulasi menggunakan
The ONE Simulator dapat melakukan klik dua
kali pada file one.bat atau menggunakan cmd dengan mengetikkan one.bat. Apabila proses tersebut telah berhasil dilakukan akan tampil seperti Gambar 1.
Gambar 1 Tampilan GUI The ONE Simulator
Gambar 1 merupakan tampilan GUI (Graphical User Interface) dari aplikasi The
ONE Simulator. Pada area kotak putih
menampilkan peta simulasi. Pada bagian kanan jendela merupakan node-node yang disimulasikan. Untuk mempercepat dan memperlambat simulasi dapat menggunakan tombol-tombol yang terdapat pada bagian diatas area putih. Pada bagian kiri bawah merupakan
filter untuk update simulasi yang sedang
berjalan dan disampingnya merupakan update dari simulasi yang sedang dijalankan.
7. HASIL DAN PEMBAHASAN
Setelah simulasi dilakukan berdasarkan skenario yang telah dibuat. Maka aplikasi The
ONE Simulator akan menghasilkan suatu report
yang berisi data-data mengenai hasil dari simulasi yang telah dilakukan. Data tersebut akan diambil dan disajikan ke dalam grafik yang nantinya akan dilakukan analisis terhadap kinerja protokol routing.
7.1. Analisis Performansi Protokol Routing Terhadap Ukuran Pesan
Hasil simulasi yang digunakan untuk menganalisis performansi protokol routing pada bagian ini yaitu skenario 1 wilayah pedesaan, skenario 3 wilayah pendakian, dan skenario 5 wilayah perairan. Analisis akan dibagi ke dalam
3 bagian yaitu Delivery Probability, Latency Average, dan Overhead Ratio.
A. Analisis Delivery Probability
Berdasarkan Gambar 2, seluruh protokol
routing mengalami penurunan kinerja dalam
hasil nilai Delivery Probability seiring dengan bertambahnya ukuran pesan yang dikirimkan. Penurunan kinerja dari setiap protokol routing diakibatkan bertambahnya ukuran pesan yang dikirimkan tidak diiringi dengan bertambahnya kecepatan transmisi data, walaupun penurunan nilai Delivery Probability pada masing-masing protokol menghasilkan nilai yang berbeda. Walaupun semua protokol routing mengalami penurunan kinerja, skema routing multi-copy lebih baik dari skema routing single-copy. Protokol MaxProp menjadi protokol routing paling baik di seluruh skenario pengujian.
Gambar 2 Delivery Probability Skenario 1, 3, 5
B. Analisis Average Latency
Berdasarkan Gambar 3 nilai Average
Latency pada wilayah pedesaan, pendakian, dan
perairan menghasilkan kondisi yang berbeda-beda. Untuk wilayah pedesaan nilai Average
Latency yang dihasilkan oleh setiap protokol
routing mengalami peningkatan seiring
meningkatnya ukuran pesan yang dikirimkan. Sedangkan untuk wilayah pendakian dan perairan nilai Average Latency yang dihasilkan semakin menurun. Protokol routing Spray and
Wait menghasilkan nilai Average Latency pada
skenario 1 dan 5. Pada skenario 3, nilai Average
Latency terkecil dihasilkan oleh protokol routing
0,0% 100,0% 500 kB 5 MB 10 MB 25 MB 50 MB Delivery Probability Uk u ran Pe san Skenario 1 Epidemic MaxProp Spray and Wait First Contact Direct Delivery 0,00% 100,00% 500 kB 5 MB 10 MB 25 MB 50 MB Delivery Probability Uk u ran Pe san Skenario 3 Epidemic MaxProp Spray and Wait First Contact Direct Delivery 0,00% 100,00% 500 kB 5 MB 10 MB 25 MB 50 MB Delivery Probability Uk u ran Pe san Skenario 5 Epidemic MaxProp Spray and Wait First Contact Direct Delivery
Epidemic.
Gambar 3 Grafik Average Latency Skenario 1, 3, 5
C. Analisis Overhead Ratio
Gambar 4 Grafik Overhead Ratio Skenario 1, 3, 5
Dari Gambar 4, skema routing single-copy dengan protokol routingnya Direct Delivery menghasilkan nilai yang lebih baik dibandingkan dengan skema routing multi-copy. Hal ini diakibatkan protokol routing Direct
Delivery tidak melakukan replikasi pesan kepada
relay node yang lain. Sedangkan pada skema
routing multi-copy, baik protokol Spray and Wait, MaxProp, dan Epidemic pasti melakukan
replikasi kepada node yang lain. Dari gambar tersebut dapat dilihat seiring dengan bertambahnya ukuran pesan yang dikirimkan
maka nilai Overhead Ratio semakin kecil. 7.2. Analisis Performansi Protokol Routing
Terhadap Ukuran Buffer A. Analisis Delivery Probability
Gambar 5 Delivery Probability Skenario 2,4,6
Berdasarkan Gambar 5, peningkatan ukuran
buffer yang digunakan berbanding lurus dengan
nilai Delivery Probability yang dihasilkan. Hal tersebut disebabkan semakin banyaknya pesan yang dapat ditampung oleh buffer dapat meningkatkan probabilitas terkirimnya pesan hingga ke tujuan. Skema routing multi-copy memiliki kinerja lebih unggul dibandingkan
single-copy berdasarkan nilai Delivery
Probability. MaxProp menjadi protokol routing
paling baik di seluruh skenario pengujian. B. Analisis Average Latency
Pada Gambar 6 adalah grafik Average
Latency hasil pengujian skenario 2, 4, dan 6.
Dapat dilihat dari grafik tersebut semakin besar ukuran buffer yang digunakan semakin meningkat pula Average Latency yang dihasilkan. Berdasarkan gambar tersebut, skema
routing multi-copy mengungguli skema routing single-copy. Protokol routing Spray and Wait
memiliki nilai Average Latency paling baik pada skenario 2, protokol routing Epidemic pada skenario 4, dan protokol routing First Contact pada skenario 6. 0 7500 500 kB 5 MB 10 MB 25 MB 50 MB Average Latency (s) Uk u ran Pe san Skenario 1 Epidemic MaxProp Spray and Wait First Contact Direct Delivery 0 9000 500 kB 5 MB 10 MB 25 MB 50 MB Average Latency (s) U ku ran Pes an Skenario 3 Epidemic MaxProp Spray and Wait First Contact Direct Delivery 0 5000 500 kB 5 MB 10 MB 25 MB 50 MB Average Latency (s) Uk u ran Pe san Skenario
5
Epidemic MaxProp Spray and Wait First Contact Direct Delivery 0% 40000% 500 kB 5 MB 10 MB 25 MB 50 MB Overhead Ratio Uk u ran Pe san Skenario 1 Epidemic MaxProp Spray and Wait First Contact Direct Delivery 0% 300000% 500 kB 5 MB 10 MB 25 MB 50 MB Overhead Ratio Uk u ran Pe san Skenario 3 Epidemic MaxProp Spray and Wait First Contact Direct Delivery 0% 30000% 500 kB 5 MB 10 MB 25 MB 50 MB Overhead Ratio Uk u ran Pe san Skenario 5 Epidemic MaxProp Spray and Wait First Contact Direct Delivery 0,00% 100,00% 25 MB 50 MB 75 MB 100 MB 125 MB 150 MB Delivery Probability Uk u ran B u ff er Skenario 2 Epidemic MaxProp Spray and Wait First Contact Direct Delivery 0,00% 60,00% 25 MB 50 MB 75 MB 100 MB 125 MB 150 MB Delivery Probability Uk u ran B u ff er Skenario 4 Epidemic MaxProp Spray and Wait First Contact Direct Delivery 0,00% 60,00% 25 MB 50 MB 75 MB 100 MB 125 MB 150 MB Delivery Probability Uk u ran B u ff er Skenario 6 Epidemic MaxProp Spray and Wait First Contact Direct DeliveryGambar 6 Grafik Average Latency Skenario 2,4,6
C. Analisis Overhead Ratio
Gambar 7 Grafik Overhead Ratio Skenario 2,4,6
Berdasarkan Gambar 7, hampir semua protokol routing yang diujikan mengalami penurunan nilai Overhead Ratio pada saat ukuran buffer dinaikkan kecuali Epidemic. Penurunan nilai Overhead Ratio ini dikarenakan
router dapat menampung lebih banyak salinan
pesan, sehingga meningkatkan kemungkinan pesan untuk sampai ke tujuan. Dengan begitu perbandingan jumlah pesan yang di relay dengan pesan yang sampai ketujuan semakin menurun. Protokol routing Direct Delivery menjadi protokol routing yang menghasilkan nilai
optimal pada semua skenario.
7.3. Analisis Performansi Protokol Routing Terhadap Letak Geografis
Jika pada analisis perbandingan kinerja protokol routing data yang disajikan dibagi ke dalam 3 bagian berdasarkan parameter performansinya lalu dibagi kembali sesuai dengan skenario yang disimulasikan. Maka pada sub analisis gabungan ini, akan dibagi lagi ke dalam 3 bagian berdasarkan parameter performansi, namun hasil analisis akan dibagi lagi berdasarkan wilayah pengujian, yaitu pedesaan, pendakian, dan perairan.
A. Analisis Delivery Probability
Pada Gambar 8 bagian kiri adalah grafik hasil rata-rata Delivery Probability untuk wilayah pedesaan. Dari kelima protokol routing diatas, protokol routing MaxProp menjadi protokol routing yang paling optimal, unggul sedikit dibanding protokol routing Spray and
Wait.
Berdasarkan grafik tersebut, protokol skema routing single-copy mampu mengungguli protokol routing Epidemic. Dapat dilihat dari grafik tersebut protokol routing Epidemic menghasilkan nilai Delivery Probability yang paling kecil dibanding protokol pada skema
routing multi-copy lainnya.
Gambar 8 Grafik Delivery Probability untuk
Wilayah Pedesaan, Pendakian, dan Perairan
Pada Gambar 8 bagian tengah menampilkan grafik rata-rata Delivery Probability hasil pengujian pada wilayah pendakian, yaitu skenario 3 dan 4. Dari grafik tersebut protokol 0 5000 25 MB 50 MB 75 MB 100 MB 125 MB 150 MB Average Latency (s) Uk u ran B u ff er Skenario 2 Epidemic MaxProp Spray and Wait First Contact Direct Delivery 0 10000 25 MB 50 MB 75 MB 100 MB 125 MB 150 MB Average Latency (s) Uk u ran B u ff er Skenario 4 Epidemic MaxProp Spray and Wait First Contact Direct Delivery 0 2000 25 MB 50 MB 75 MB 100 MB 125 MB 150 MB Average Latency (s) U ku ran B u ff er Skenario 6 Epidemic MaxProp Spray and Wait First Contact Direct Delivery 0% 10000% 25 MB 50 MB 75 MB 100 MB 125 MB 150 MB Overhead Ratio Uk u ran B u ff er Skenario 2 Epidemic MaxProp Spray and Wait First Contact Direct Delivery 0% 250000% 25 MB 50 MB 75 MB 100 MB 125 MB 150 MB Overhead Ratio Uk u ran B u ff er Skenario 4 Epidemic MaxProp Spray and Wait First Contact Direct Delivery 0% 6000% 25 MB 50 MB 75 MB 100 MB 125 MB 150 MB Overhead Ratio Uk u ran B u ff er Skenario 6 Epidemic MaxProp Spray and Wait First Contact Direct Delivery 0% 10% 20% 30% 40% 50% 60% 70% 80% D irec t D el iv ery Fi rs t Co n ta ct Sp ra y a n d W a it M a xPro p Ep id em ic D el iv ery Pro b a b ili ty Pedesaan 0% 5% 10% 15% 20% 25% 30% 35% 40% 45% 50% Di rect Del iv er y Fi rs t Co n ta ct Sp ra y a n d W a it M a xPro p Ep id em ic D el iv ery Pro b a b ili ty Pendakian 0% 10% 20% 30% 40% 50% 60% D irec t D el iv ery Fi rs t Co n ta ct Sp ra y a n d W a it Ma xPr o p Ep id em ic D el iv ery Pro b a b ili ty Perairan
routing MaxProp memiliki kinerja yang paling
baik dibandingkan dengan protokol routing yang lainnya. Sedangkan protokol routing yang paling buruk pada wilayah pendakian ini adalah protokol routing Epidemic.
Pada Gambar 8 bagian kanan menampilkan grafik rata-rata dari nilai Delivery Probability hasil pengujian pada wilayah perairan yaitu skenario 5 dan 6. Berdasarkan grafik tersebut protokol routing MaxProp menjadi protokol
routing memiliki kinerja yang paling optimal
pada wilayah perairan.
Protokol routing Epidemic kembali menjadi protokol routing yang memiliki kinerja pengiriman data yang paling buruk dari seluruh protokol routing yang diujikan. Hal ini diakibatkan oleh banyaknya replikasi pesan yang dilakukan oleh protokol routing Epidemic sehingga kapasitas buffer yang ada menjadi cepat penuh dan banyak data yang terbuang (loss) sehingga banyak data yang tidak sampai ke tujuan.
B. Analisis Average Latency
Pada Gambar 9 bagian kiri menampilkan grafik rata-rata nilai Average Latency hasil pengujian pada wilayah pedesaan yaitu skenario 1 dan 2. Berdasarkan grafik tersebut protokol
routing Spray and Wait menjadi protokol routing yang memiliki nilai Average Latency
yang paling baik. Sementara itu protokol routing yang memiliki nilai Average Latency paling buruk pada pengujian wilayah pedesaan adalah protokol routing First Contact.
Gambar 9 Grafik Rata-Rata Average Latency untuk
Wilayah Pedesaan, Pendakian, dan Perairan
Pada Gambar 9 bagian tengah menampilkan grafik rata-rata nilai Average Latency hasil pengujian pada wilayah pendakian yaitu skenario 3 dan 4. Berdasarkan grafik tersebut protokol routing Epidemic menjadi protokol
routing yang menghasilkan nilai Average Latency yang paling kecil. Sementara protokol routing Direct Delivery menjadi protokol routing dengan nilai rataan Average Latency
yang paling tinggi.
Pada Gambar 9 bagian kanan menampilkan grafik rata-rata nilai Average Latency hasil pengujian pada wilayah perairan yaitu skenario 5 dan 6. Berdasarkan grafik tersebut protokol
routing Spray and Wait menjadi protokol routing yang memiliki nilai rata-rata Average Latency yang paling baik. Sementara itu
protokol routing MaxProp menjadi protokol
routing yang menghasilkan rata-rata nilai Average Latency paling buruk.
C. Analisis Overhead Ratio
Gambar 10 Grafik Nilai Rata-Rata Overhead Ratio
untuk Wilayah Pedesaan, Pendakian, dan Perairan
Pada Gambar 10 bagian kiri menampilkan grafik nilai rata-rata Overhead Ratio hasil pengujian pada wilayah pedesaan yaitu pengujian skenario 1 dan 2. Pada grafik tersebut dapat dilihat bahwa protokol routing Direct
Delivery memiliki nilai Overhead Ratio yang
paling kecil berikutnya ada protokol routing
Spray and Wait yang menjadi protokol routing
kedua terbaik. Sementara protokol routing
Epidemic menjadi protokol routing yang
memiliki nilai Overhead Ratio yang paling tinggi atau paling buruk. Hal ini dikarenakan protokol routing Epidemic mererplikasi pesan 0 500 1000 1500 2000 2500 3000 D irec t D el iv ery Fi rs t Co n ta ct Sp ra y a n d W a it M a xPro p Ep id em ic Av era g e La ten cy (s )
Pedesaan
0 1000 2000 3000 4000 5000 6000 7000 8000 Di rect Del iv er y Fi rs t Co n ta ct Sp ra y a n d W a it M a xPro p Ep id em ic Av era g e La ten cy (s ) Pendakian 0 200 400 600 800 1000 1200 D irec t D el iv ery Fi rs t Co n ta ct Sp ra y a n d W a it M a xPro p Ep id em ic Av er a g e Lat en cy ( s) Perairan 0% 1000% 2000% 3000% 4000% 5000% 6000% 7000% 8000% 9000% D irec t D el iv ery Fi rs t Co n ta ct Sp ra y a n d W a it M a xPro p Ep id em ic O verh ea d Ra ti o Pedesaan 0% 20000% 40000% 60000% 80000% 100000% 120000% 140000% 160000% 180000% 200000% D irec t D el iv ery Fi rs t Co n ta ct Sp ra y a n d W a it M a xPro p Ep id em ic O verh ea d Ra ti o Pendakian 0% 1000% 2000% 3000% 4000% 5000% 6000% 7000% D irec t D el iv ery Fi rs t Co n ta ct Sp ra y a n d W a it M a xPro p Ep id em ic O verh ea d Ra ti o Perairandari node sumber ke node lain yang dilewatinya. Sehingga replikasi dari satu pesan hampir berada di seluruh node.
Pada Gambar 10 bagian tengah menampilkan grafik nilai rata-rata Overhead
Ratio hasil pengujian pada wilayah pendakian
yaitu pengujian skenario 3 dan 4. Pada grafik tersebut dapat dilihat bahwa protokol routing
Direct Delivery menghasilkan nilai Overhead Ratio yang paling rendah, dikarenakan protokol routing tidak melakukan replikasi pesan ke node
lain. Protokol routing yang memiliki rataan nilai
Overhead Ratio yang paling buruk adalah
protokol routing Epidemic. Hal tersebut dikarenakan protokol routing ini mereplikasi pesan kepada node lain yang dijumpainya. Mengingat bahwa node yang ada pada wilayah pendakian cukup banyak semakin meningkatkan nilai Overhead Ratio dari protokol routing
Epidemic.
Pada Gambar 10 bagian kanan menunjukkan grafik nilai rata-rata Overhead
Ratio hasil pengujian pada wilayah pedesaan,
yaitu pada pengujian skenario 5 dan 6. Berdasarkan grafik tersebut protokol routing
Direct Delivery menjadi protokol routing yang
memiliki nilai ratio yang paling optimal dengan nilai 0%. Protokol routing Epidemic kembali menjadi protokol routing yang memiliki nilai
Overhead Ratio yang paling buruk, sangat tinggi
dibandingkan protokol routing yang lainnya
8. KESIMPULAN
1. Simulasi pada penelitian ini mampu menjalankan semua perancangan skenario yang telah dibuat. Hal ini ditandai dengan simulasi yang dapat dijalankan hingga selesai menggunakan skema routing
single-copy dan multi-single-copy dengan parameter uji
ukuran pesan dan ukuran buffer. Pesan yang dibuat oleh node sumber pun dapat di teruskan hingga ke node tujuan.
2. Skema routing multi-copy menghasilkan nilai Delivery Probability dan Average
Latency yang lebih baik dari skema routing single-copy. Sementara itu skema routing single-copy menghasilkan nilai Overhead Ratio yang lebih baik dari skema routing
multi-copy. Berikut rincian nilai
perbandingannya:
a. Nilai Delivery Probability terbaik yang dihasilkan skema routing multi copy dari skenario 1 hingga skenario 6 adalah 98.08%, 91.10%, 82.12%,
56.85%, 96.85%, 43.3%, sementara skema routing single-copy
menghasilkan nilai 88.56%, 66.99%, 41.10%, 41.10%, 75.10%, 52.05%. b. Nilai Average Latency terbaik yang
dihasilkan skema routing multi copy dari skenario 1 hingga skenario 6 adalah 1015.066s, 489.1207s, 1042.481s, 1109.3235s, 92.2556s, 40.3138s, sementara skema routing
single-copy menghasilkan nilai
756.8745s, 545.0259s, 2230.832s, 1252.9031s, 95.0598s, 41.2028s. c. Nilai Overhead Ratio terbaik yang
dihasilkan skema routing single-copy dari skenario 1 hingga skenario 6 adalah 0%, sementara skema routing
multi-copy menghasilkan nilai
407.48%, 530.86%, 609.77%, 890.04%, 367.66%, 566.62%.
3. Dengan berdasarkan tiga parameter performansi yang telah ditentukan, nilai
Delivery Probability paling baik dihasilkan MaxProp. Untuk nilai Average Latency
yang paling baik dihasilkan oleh Spray and
Wait. Sementara nilai Overhead Ratio yang
paling optimal dihasilkan Direct Delivery. DAFTAR PUSTAKA
Bindra, H. S. & Sangal, A. L., 2012. Performance Comparison of RAPID,
Epidemic and Prophet Routing Protocols for Delay Tolerant Networks. International
Journal of Computer Theory and
Engineering , Volume 4, pp. 314-317.
Burgess, J., Gallagher, B., Jensen, D. & Levine, B. N., 2006. MaxProp: Routing for Vehicle-Based Disruption-Tolerant Networks. in
Proc, 25th IEEE Int. Conf. on Computer Communications, pp. 1-11.
Fall, K., 2003. A Delay Tolerant Network Architecture for Challenged Internets.
SIGCOMM ’03, pp. 27-34.
Farrell, S., 2006. Delay and Distruption Tolerant
Networking. Norwood, MA, USA: Artech
House, Inc.
Grossglauser, M. & Tse, D. N. C., 2002. Mobility increases the capacity of ad hoc wireless networks. IEEE/ACM Trans.
Netw., Volume 10, pp. 477-486.
Delay Tolerant Network.
Permatasari, S., 2017. ANALISIS KINERJA
PROTOKOL ROUTING PROPHET,
EPIDEMIC, DAN SPRAY AND WAIT MENGGUNAKAN THE OPPORTUNISTIC
NETWORK ENVIRONMENT
SIMULATOR. Malang: FILKOM
Universitas Brawijaya.
Spyropoulos, T., Psounis, K. & Raghavendra., C. S., 2005. Spray and Wait: an ecient
routing scheme for. New York, USA, s.n.
Spyropoulos, T., Psounis, K. & Raghavendra, C., 2008. Efficient Routing in Intermittently Connected Mobile Networks: The Multiple-Copy Case. IEEE/ACM
TRANSACTIONS ON NETWORKING,
Volume 16, pp. 77-90.
Sugiyanto, G., 2015. Analisis Protokol MaxProp
dan Prophet Pada Simulasi Jaringan DTN
(Delay Tolerant Network). Malang:
Program Teknologi Informasi dan Ilmu Komputer Universitas Brawijaya.
Warthman, F., 2012. Delay-and
Disruption-Tolerant Networks (DTNs) A Tutorial. 2.0