• Tidak ada hasil yang ditemukan

Implikasi Perkembangan Alat Bukti Elektronik Terhadap Sistem Pembuktian Perdata Di Pengadilan.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Implikasi Perkembangan Alat Bukti Elektronik Terhadap Sistem Pembuktian Perdata Di Pengadilan."

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

ARTIKEL ILMIAH

JUDUL : IMPLIKASI PERKEMBANGAN ALAT BUKTI ELEKTRONIK

TERHADAP SISTEM PEMBUKTIAN PERDATA DI

PENGADILAN

A. LATAR BELAKANG

Pembangunan nasional merupakan usaha peningkatan kualitas manusia dalam hal

ini masyarakat Indonesia pada berbagai aspek kehidupan, yang dilakukan secara

berkelanjutan berlandaskan pada kemampuan nasional, dengan memanfaatkan

kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta memperhatikan perkembangan global

Pembangunan di bidang hukum merupakan bagian dari pembangunan nasional,

karena hukum sebagai sarana pembaruan masyarakat tidak boleh ketinggalan dari

proses perkembangan yang terjadi dalam masyarakat, antara lain pembangunan.

Pembangunan yang berkesinambungan menghendaki adanya konsepsi hukum yang

selalu mampu mendorong dan mengarahkan pembangunan sebagai cerminan dari

tujuan hukum.

Hukum sebagai sarana pembaruan (pembangunan) masyarakat sebagaimana

dikemukakan oleh Mochtar Kusumaatmadja, berkembang pula seiring dengan lajunya

pembangunan/perkembangan di segala bidang kehidupan.1 Mengingat bahwa

perkembangan dan pembaruan masyarakat di suatu negara yang sedang berkembang

dipelopori oleh pemerintah, sudah tentu hukum memegang peranan penting dalam

proses pembaruan (pembangunan) tersebut.

Pembangunan hukum sebagaimana telah dikemukakan di atas, tidak dapat

dipisahkan dari perkembangan masyarakat, khususnya perkembangan ilmu

pengetahuan dan teknologi. Hal ini terkait dengan munculnya berbagai fenomena

1

(2)

baru yang merupakan implikasi dari kemajuan teknologi dan informasi.

Perkembangan yang saat ini sangat mempengaruhi kehidupan masyarakat global,

adalah perkembangan teknologi dan informasi, yang antara lain ditandai dengan era

teknologi informatika yang memperkenalkan dunia maya (cyberspace) dengan

hadirnya interconnected network (internet) yang mempergunakan komunikasi tanpa

kertas (paperless document).

Kemajuan teknologi akhir-akhir ini menimbulkan banyak kemajuan di segala

bidang, termasuk dalam kontak seseorang dengan pihak lainnya. Aktivitas dunia

maya merupakan salah satu contoh dari perkembangan teknologi yang sedemikian

pesat. Sebenarnya aktivitas dunia maya sangat luas mencakup banyak hal dan di

berbagai bidang. Melalui media elektronik masyarakat memasuki dunia maya yang

bersifat abstrak, universal, lepas dari keadaan, tempat dan waktu.2

Internet telah membentuk masyarakat dengan kebudayaan baru, saat ini hubungan

antara masyarakat dalam dimensi global tidak lagi dibatasi oleh batas-batas territorial

negara (borderless). Hadirnya internet dengan segala fasilitas dan program yang

menyertainya, seperti: e-mail, chating video, video teleconference, dan situs website

(www), telah memungkinkan dilakukannya komunikasi global tanpa mengenal batas

negara. Fenomena ini merupakan salah satu bagian dari globalisasi yang melanda

dunia.

Derasnya penggunaan teknologi informasi dalam kegiatan yang berbasis transaksi

elektronik, seperti misalnya layanan ATM (Anjungan Tunai Mandiri), transaksi bisnis

melalui handphone, mobile banking, internet banking, e-commerce, dan lain-lain;

ternyata belum diikuti dengan perkembangan hukum yang dapat mengikuti

percepatan kemajuan teknologi komunikasi dan informasi. Oleh karena itu diperlukan

kehadiran hukum yang dapat menyelesaikan permasalahan/sengketa yang terjadi di

dunia maya, karena hukum positif yang ada belum dapat menjangkaunya.

Perkembangan teknologi yang menimbulkan kemajuan di bidang komunikasi dan

informasi sebagaimana telah dikemukakan di atas, tidak hanya harus ditunjang oleh

2

(3)

perangkat hukum materiil saja (cyber law), tetapi juga harus didukung oleh perangkat

hukum formal, dalam hal ini Hukum Acara Perdata, sebagai sarana untuk

melaksanakan hukum perdata materiil. Oleh karena itu perlu dibentuk Hukum Acara

Perdata baru sebagai pengganti hukum acara perdata yang sekarang berlaku.

Hukum acara perdata yang ada merupakan bagian dari tata hukum Hindia

Belanda karena merupakan produk pemerintah kolonial Belanda yang masih berlaku

sampai sekarang. Bangsa Indonesia sejak merdeka sampai saat ini belum membentuk

hukum acara perdata yang baru sebagai pembaruan atas hukum acara perdata yang

sekarang berlaku yaitu HIR/RBg, meskipun demikian upaya untuk membentuknya

sudah lama dilakukan, terbukti dengan sudah dimilikinya rancangan undang-undang

tentang Hukum Acara Perdata yang sampai saat ini masih dalam proses penyusunan.3

Dalam penyelesaian perkara di pengadilan, acara pembuktian merupakan tahap

terpenting untuk membuktikan kebenaran terjadinya suatu peristiwa atau hubungan

hukum tertentu, atau adanya suatu hak, yang dijadikan dasar oleh penggugat untuk

mengajukan gugatan ke pengadilan. Melalui tahap pembuktian dengan menggunakan

alat-alat bukti, hakim akan memperoleh dasar-dasar untuk menjatuhkan putusan

dalam menyelesaikan suatu perkara.

Terjadi perubahan dalam hal macam-macam alat bukti yang dapat digunakan

dalam penyelesaian sengketa perdata melalui pengadilan, dengan dikenal dan

digunakannya alat bukti elektronik dimasyarakat. Baik HIR/RBg maupun peraturan

lainnya tentang acara perdata sampai saat ini belum mengatur tentang dokumen/data

elektronik sebagai salah satu alat bukti, dengan kata lain hukum pembuktian di

Indonesia belum mengakomodasi keberadaan dokumen/data elektronik sebagai alat

bukti. Sementara dalam perkembangannya sekarang dikenal adanya bukti elektronik

(dianggap sebagai alat bukti) seperti misalnya data/dokumen elektronik yang

dikaitkan dengan tandatangan digital dan peraturan bea materai yang harus dipenuhi

oleh alat bukti surat, pemeriksaan saksi dengan menggunakan teleconference, di

samping bukti-bukti lain seperti misalnya rekaman radio kaset, VCD/DVD, foto,

faximili, CCTV, bahkan sistem layanan pesan singkat.(short massage system /sms).

3

(4)

Perkembangan yang terjadi sebagaimana terurai di atas khususnya yang

menyangkut alat bukti elektronik, berpengaruh pula terhadap sistem pembuktian

perdata. Menurut sistem HIR/RBg (hukum acara perdata yang berlaku), dalam acara

perdata hakim terikat pada alat-alat bukti yang sah, yang berarti bahwa hakim hanya

boleh mengambil keputusan berdasarkan alat-alat bukti yang ditentukan oleh

undang-undang saja (dalam hal ini HIR/RBg).4 Keadaan ini tentu saja akan menyulitkan

proses penyelesaian sengketa, khususnya proses pembuktian dalam hal terjadinya

sengketa pada transaksiE-commerce.

Beranjak dari uraian tersebut di atas, maka dilakukan pengkajian terhadap

perkembangan alat bukti dalam penyelesaian sengketa perdata melalui pengadilan,

dalam hal ini dengan munculnya alat bukti elektronik, serta bagaimana pengaruhnya

terhadap sistem pembuktian perdata (mengingat alat bukti merupakan salah satu

variabel dalam sistem pembuktian) di pengadilan.

B. Identifikasi Masalah:

Berdasarkan apa yang telah diuraikan di atas, maka dapat dirumuskan

masalah-masalah sebagai berikut:

1. Bagaimana perkembangan bukti elektronik dalam praktik penyelesaian

sengketa perdata melalui pengadilan?

2. Bagaimana implikasi perkembangan alat bukti elektronik terhadap sistem

pembuktian dalam penyelesaian sengketa perdata melalui pengadilan di

Indonesia?

C. Kerangka Pemikiran

Teori negara kesejahteraan (welfare state) melandasi pemikiran bahwa

Indonesia adalah Negara Hukum, sebagaimana tercantum dalam bunyi Pasal 1 ayat

(3) Undang-Undang Dasar 1945. Hal ini berarti bahwa Negara Kesatuan Republik

Indonesia adalah negara yang berdasar atas hukum (rechtsstaat), tidak berdasar atas

kekuasaan (machtstaat), dan pemerintahan berdasarkan sistem konstitusi (hukum

4

(5)

dasar), bukan absolutisme (kekuasaan yang tidak terbatas). Di dalam konsep Negara

Hukum adanya keteraturan dengan memelihara ketertiban umum dan

menyelenggarakan kesejahteraan rakyat, merupakan tujuan yang hendak dicapai.

Dalam konsep negara kesejahteraan yang bertujuan untuk mewujudkan

kesejahteraan umum, negara melalui pemerintah sebagai organ penyelenggara

kehidupan bernegara mempunyai kewajiban dan tanggungjawab untuk mewujudkan

kesejahteraan dan kemakmuran warganya. Salah satu cara untuk mewujudkan tujuan

tersebut adalah melalui pembangunan nasional yang salah satu aspeknya adalah

pembangunan hukum.

Pembangunan hukum yang merupakan salah satu cara guna mewujudkan

kesejahteraan masyarakat, tidak hanya harus dilakukan terhadap hukum materiil saja

tetapi juga hukum formal dalam hal ini hukum acara perdata. Kemajuan teknologi

informasi dan komunikasi yang telah menyebabkan semakin berkembang pula

transaksi modern melalui media elektronik, belum diikuti oleh perkembangan hukum

terutama hukum formal yang dapat mengikuti percepatan perkembangan

implementasi teknologi tersebut.

Pada konsep negara hukum, dalam pengertian yang sederhana tidak ada warga

negara yang berada di atas hukum dan karenanya semua warga negara harus patuh

pada hukum. Persamaan di muka hukum (equality before the law) merupakan satu di

antara arti-arti negara hukum dalam tradisi Anglo Saxon (rule of law) yang kemudian

diakui sebagai nilai-nilai universal. Nilai-nilai persamaan dan keadilan sangat erat

terkait dengan proses penegakan hukum, yang tidak lain merupakan instrumen di

tataran praktis dalam konsep negara hukum.5

Pembangunan hukum ditujukan untuk mewujudkan supremasi hukum yang

merupakan ciri negara hukum. Hal yang penting dalam rangka pembangunan hukum

adalah pemahaman terhadap hukum sebagai suatu sistem. Oleh karena itu, dalam

pembangunan hukum tidak hanya peraturan perundang-undangan saja yang harus

dibenahi, tetapi juga sub-sub sistem hukum lainnya, seperti: sumber daya manusia,

sarana dan prasarana, serta kesadaran hukum masyarakat.

5

(6)

Pembangunan dalam arti seluas-luasnya meliputi segala segi dari kehidupan

masyarakat. Masyarakat yang sedang membangun dicirikan oleh adanya perubahan.

Peran hukum dalam pembangunan adalah untuk menjamin bahwa perubahan itu

terjadi dengan cara yang teratur, perubahan yang teratur demikian dapat dibantu

oleh perundang-undangan atau keputusan pengadilan, atau kombinasi dari keduanya.

Karena baik perubahan maupun ketertiban (atau keteraturan) merupakan tujuan

kembar dari masyarakat yang sedang membangun, maka hukum menjadi suatu alat

yang tak dapat diabaikan dalam proses pembangunan. Jelaslah bahwa pemakaian

hukum yang demikian yakni sebagai suatu alat pembaharuan masyarakat.

Pembangunan nasional meliputi juga pembangunan di bidang hukum karena

hukum sebagai alat pembaharu masyarakat tidak boleh ketinggalan dari proses

perkembangan yang terjadi dalam masyarakat, antara lain pembangunan.

Pembangunan yang berkesinambungan menghendaki adanya konsepsi hukum yang

selalu mampu mendorong dan mengarahkan pembangunan sebagai cerminan dari

tujuan hukum.

Perkembangan teknologi komunikasi dan informasi yang demikian pesat dengan

segala fasilitas penunjangnya dalam peradaban manusia modern saat ini, telah

membawa Indonesia memasuki era baru yang disebut sebagai era digital (digital age).

Seiring dengan kemajuan pola pikir manusia, penggunaan internet semakin

berkembang, saat ini internet menjadi salah satu teknologi yang membahana dalam

setiap aktivitas manusia. Semula dunia internet merupakan pusat media komunikasi

dan informasi, namun kini dapat digunakan sebagai media transaksi, kemudian

dikenal dengan apa yang disebut sebagai transaksi perdagangan yang dilakukan

melalui media elektronik (electronic commerce).

Pesatnya perkembangan penggunaan teknologi informasi dalam kegiatan bisnis

yang berbasis transaksi elektronik, belum diikuti dengan perkembangan hukum yang

dapat mengikuti percepatan perkembangan implementasi teknologi. Oleh karena itu

diperlukan kehadiran hukum yang dapat menjangkau permasalahan

(7)

menjangkau hal-hal tersebut.6 Perlu diperhatikan dalam rangka membuat hukum

positif di dunia maya tetang perbedaan mendasar antara masyarakat dunia maya

dengan masyarakat nyata dalam tindakan dan perbuatan hukum, dampak yang

diakibatkannya, penerapan sanksi dan juga pembuktiannya.

Dalam dunia maya, para penegak hukum akan mengalami persoalan ketika terkait

dengan pembuktian dan penegakan hukumnya, karena harus membuktikan suatu

persoalan yang diasumsikan sebagai maya, sesuatu yang tidak terlihat dan semu. Alat

buktinya bersifat elektronik, antara lain dalam bentuk dokumen elektronik, yang

belum diatur dalam hukum acara perdata Indonesia namun dalam praktik sudah

dikenal dan banyak digunakan.

Permasalahan timbul apabila terjadi sengketa akibat hubungan hukum

keperdataan yang dilakukan secara elektronik khususnya dalam bidang perdagangan

dan perbankan, dalam hal penyelesaian yang dilakukan melalui pengadilan (litigasi),

berkaitan dengan masalah pembuktian yang menggunakan alat bukti elektronik.

Hukum pembuktian Indonesia sampai saat ini masih mendasarkan pada HIR/RBg

yang secara limitatif menentukan alat bukti dalam perkara perdata.

Sebenarnya di Indonesia telah ada beberapa tindakan yang mengarah pada

penggunaan dan pengakuan dokumen elektronik sebagai alat bukti yang sah,

misalnya:

1. Dikenalnyaonline tradingdalam bursa efek;

2. Pengaturan mikro film dan sarana elektronik sebagai media penyimpanan

dokumen perusahaan yang telah diberi kedudukan sebagai alat bukti tertulis

otentik dalam UU No.8 Tahun 1997 Tentang Dokumen Perusahaan.

3. Pengaturan tentang informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik sebagai

alat bukti yang sah, hal ini merupakan perluasan dari alat bukti yang sah yang

diatur dalam hukum acara perdata, dalam UU No.11 Tahun 2008 Tentang

Informasi dan Transaksi Elektronik.

Namun demikian, hal ini tidak dapat dijadikan dasar hukum oleh hakim di

pengadilan dalam memutus perkara/sengketa yang terjadi sebagai akibat dari

6

(8)

dilakukannya transaksi di dunia maya, karena dalam sistem hukum acara perdata

Indonesia yang bersumber pada HIR/RBg, pembuktian itu baru sah bila didasarkan

pada bukti-bukti yang sudah diatur dalam undang-undang (hukum acara perdata.

Secara yuridis formal, alat bukti elektronik belum dimasukkan (diatur) dalam

undang-undang/ hukum acara perdata sebagai alat bukti yang dapat digunakan dalam

penyelesaian perkara secara litigasi, sementara dalam praktik sudah banyak

digunakan.

Keadaan demikian akan menimbulkan ketidakpastian hukum (yang merupakan

salah satu unsur dalam penegkan hukum) bagi pencari keadilan. Dalam menegakan

hukum ada 3 unsur yang selalu harus diperhatikan, yaitu: kepastian hukum

(Rechtssicherheit), kemanfaatan (Zweckmassigkeit), dan keadilan (Gerechtigkeit).7

Kepastian hukum merupakan perlindungan yustisiabel terhadap tindakan

sewenang-wenang, yang berarti bahwa seseorang akan dapat memperoleh sesuatu

yang diharapkan dalam keadaan tertentu. Kemanfaatan, masyarakat mengharapkan

manfaat dalam pelaksanaan atau penegakan hukum; Hukum adalah untuk manusia,

maka pelaksanaan hukum atau penegakan hukum harus memberi manfaat atau

kegunaan bagi masyarakat. Keadilan, dalam pelaksanaan atau penegakan hukum

harus adil. Dalam menegakkan hukum harus ada kompromi antara ketiga unsur

tersebut.

D. Metode Penelitian

Metode pendekatan yang digunakan adalah yuridis normatif, yaitu suatu metode

yang menitikberatkan penelitian pada data kepustakaan, atau data sekunder melalui

asas-asas hukum dan perbandingan hukum.8 Pendekatan melalui asas-asas hukum

7

Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo, Bab-bab Tentang Penemuan Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1993, hlm.1. Mohon dilihat juga Gustav Radburch yang mengatakan bahwa hukum mengandung beberapa tuntutan dasar, yaitu: keadilan, kepastian hukum dan finalitas hukum (hak asasi manusia yang tidak boleh dilanggar harus diakui), dalam Theo Huijbers OSC,Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah,Yayasan Kanisius, Yogyakarta, 1982, hlm. 165.

8

(9)

adalah penelitian terhadap norma-norma hukum yang merupakan patokan-patokan

untuk bertingkahlaku yang pantas.9

Sesuai dengan metode pendekatan yang digunakan, maka kajian dilakukan

terhadap norma-norma dan asas-asas yang terdapat dalam data sekunder, yang

tersebar dalam bahan hukum primer, sekunder maupun tersier. Hal ini meliputi

kajian terhadap perundang-undangan tentang acara perdata khususnya hukum

pembuktian perdata, buku-buku yang memuat tentang acara perdata dan hukum

pembuktian serta tentang sistem hukum dan perkembangannya, artikel-artikel dalam

jurnal-jurnal yang mengupas tentang alat bukti elektronik, sistem pembuktian ,

hukum acara perdata, dan hukum pembuktian.

Spesifikasi penelitian yang digunakan adalah deskriptif analitis, yaitu dengan cara

memberikan data atau gambaran seteliti mungkin mengenai objek permasalahan.

Gambaran tersebut berupa kedudukan alat bukti elektronik dalam pembuktian perdata

di Pengadilan dan bagaimana pengaruhnya terhadap sistem pembuktian perdata.

Penelitian ini dilakukan dalam dua tahapan, yaitu penelitian kepustakaan dan

penelitian lapangan. Penelitian kepustakaan dilakukan dalam rangka memperoleh

data sekunder berupa bahan-bahan hukum yang terdiri dari:

1). Bahan hukum primer, antara lain Undang-Undang Dasar 1945,

KUHPerdata, HIR/RBg, RV, dan peraturan perundang-undangan lainnya

dalam bidang hukum perdata dan acara perdata yang terkait dengan objek

permasalahan;

2). Bahan hukum sekunder, berupa buku-buku yang berhubungan dengan

objek permasalahan;

3). Bahan hukum tersier berupa jurnal, majalah, surat kabar, kamus hukum,

ensiklopedi, kamus bahasa yang ada kaitannya dengan objek

permasalahan, serta internet..

Penelitian lapangan dilakukan untuk mendapatkan bahan-bahan hukum primer,

sekunder dan tersier sebagai penunjang data sekunder, yang dilakukan melalui studi

lapangan dengan cara mengumpulkan, menyeleksi, mengklasifikasikan, dan

9

(10)

meneliti data penelitian melalui wawancara lepas tetapi terarah dengan para nara

sumber berpedoman pada pedoman wawancara.

Nara sumber yang digunakan terdiri dari hakim Pengadilan Negeri Jakarta

Pusat, hakim Pengadilan Negeri Bandung, hakim Pengadilan Niaga Jakarta,

hakim Pengadilan Agama Jakarta Selatan, hakim Mahkamah Agung; Pakar hukum

acara perdata di Indonesia Sudikno Mertokusumo; Pihak-pihak yang terkait dengan

objek penelitian, serta Instansi/ Departemen terkait dengan objek penelitian.

Pengumpulan data dilakukan dengan cara melakukan studi dokumen dan

wawancara. Studi dokumen dilakukan terhadap data sekunder untuk mendapatkan

landasan teoritis berupa bahan-bahan hukum yang terdiri dari bahan hukum primer,

bahan hukum sekunder dan bahan hukm tersier. Di samping itu teknik wawancara

digunakan untuk mendapatkan data primer melalui wawancara yang dilakukan

dengan tanya jawab langsung pada nara sumber dengan menggunakan pedoman

wawancara.

Untuk melakukan analisis data dan menarik simpulan-simpulan dari hasil

penelitian, maka data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum

sekunder dan bahan hukum tersier akan dianalisis secara kualitatif, kemudian

disajikan dalam bentuk deskriptif .

Penelitian akan dilakukan di Bandung, Jakarta, Surabaya, Semarang, Leiden dan

Den Haag – Belanda, serta Singapura. Data sekunder diperoleh dari Perpustakaan

Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Perpustakaan Fakultas Hukum Unversitas

Gajah Mada, Perpustakaan Pascasarjana Universitas Padjadjaran, Perpustakaan

Pascasarjana Universitas Indonesia, Pengadilan Negeri Bandung, Pengadilan

Agama Bandung, Pengadilan Agama Jakarta Selatan, Pengadilan Negeri Jakarta

Pusat, Pengadilan Niaga Jakarta, Mahkamah Agung, serta Instansi atau Departemen

lainnya yang terkait dengan objek penelitian.

E. Hasil dan Pembahasan

(11)

Perkembangan teknologi telekomunikasi dan informasi dewasa ini telah

mempengaruhi berbagai sektor usaha termasuk di dalamnya kegiatan perdagangan

dan perbankan. Transaksi elektronik yang dikenal dengan e-commerce semakin

banyak dilakukan, sehingga perbuatan hukum tidak lagi hanya didasarkan pada

tindakan yang konkrit, kontan dan komun, melainkan dilakukan dalam dunia

maya secara tidak kontan dan bersifat individual.

Transaksi melalui media internet, pada dasarnya merupakan pasar yang

potensial, karena masyarakat selaku konsumen dapat melakukan transaksi dengan

distributor atau produsen di seluruh dunia dengan biaya yang relatif rendah.

Dalam era globalisasi, efisiensi dalam berbagai bidang kehidupan merupakan

suatu keharusan untuk mencapai tingkat perekonomian yang lebih baik dan lebih

kompetitif.

Suatu negara akan tertinggal jauh apabila tidak dapat dengan cepat mengikuti

dan mengaplikasikan perkembangan bidang transaksi yang memanfaatkan

kemajuan di bidang teknologi dan informasi. Transaksi melalui media internet

telah terbukti dapat meningkatkan efisiensi daya kerja dan menumbuhkan

aktivitas baru yang merangsang tingkat pertumbuhan.

Sementara itu, derasnya pemanfaatan teknologi informasi dalam kegiatan

bisnis yang berbasis transaksi elektronik di Indonesia, seperti: layanan ATM,

transaksi bisnis melalui handphone, mobile banking, internet banking, dll,

ternyata belum diikuti dengan perkembangan hukum yang dapat mengikuti

percepatan perkembangan implementasi teknologi, termasuk juga belum ada

hukum yang mengatur permasalah pelanggaran yang terjadi di dunia maya dan

sengketa yang ditimbulkan karenanya.

Perdagangan secara elektronik yang semakin banyak terjadi dewasa ini, di

satu sisi memberikan peluang dan berbagai kemudahan namun di sisi lain

memberikan dampak negatif seperti kemungkinan timbulnya kerugian yang

dialami oleh konsumen yang melakukan transaksi. Kerugian konsumen pada

dasarnya dapat dibagi dua, yaitu kerugian yang diakibatkan oleh perilaku penjual

(12)

yang terjadi karena tindakan melawan hukum yang dilakukan oleh pihak ke tiga

sehingga konsumen dirugikan.

Seiring dengan kemajuan teknologi informasi dan telekomunikasi, semakin

berkembang pula perdagangan yang dilakukan secara elektronik dikenal dengan

e-commerce. Dengan sendirinya alat bukti mengalami perkembangan dengan

munculnya bukti dalam bentuk informasi atau dokumen elektronik, yang dikenal

dengan istilah alat bukti elektronik.

Dengan semakin meningkatnya aktivitas elektronik, maka alat pembuktian

yang dapat digunakan sebagai bukti secara hukum harus juga meliputi informasi

atau dokumen elektronik untuk memudahkan pelaksanaan hukumnya. Selain itu

hasil cetak dari dokumen atau informasi tersebut juga harus dapat dijadikan alat

bukti sah secara hukum.

Dalam dunia maya (cyberspace), masalah penegakan hukum dan pembuktian

merupakan persoalan tersendiri, mengingat para penegak hukum akan

menghadapi kesulitan jika harus membuktikan suatu persoalan yang diasumsikan

sebagai maya, sesuatu yang tidak terlihat dan semu. Pembuktian merupakan

faktor yang sangat penting, mengingat mengenai data elektronik bukan saja belum

diakomodir dalam hukum acara perdata positif, tetapi juga dalam kenyataannya

data elektronik sangat rentan untuk diubah, disadap, dipalsukan dan dikirim ke

berbagai penjuru dunia dalam waktu hitungan detik, sehingga dampak yang

diakibatkannya dapat demikian cepat. Karena itu, kemajuan teknologi informasi

menjadi pedang bermata dua, karena selain memberikan kontribusi bagi

peningkatan kesejahteraan, kemajuan dan peradaban manusia, sekaligus juga

menjadi sarana efektif perbuatan melawan hukum.

Bukti elektronik baru dapat dinyatakan sah apabila menggunakan sistem

elektronik yang sesuai dengan peraturan yang berlaku di Indonesia. Suatu bukti

elektronik dapat memiliki kekuatan hukum apabila informasinya dapat dijamin

keutuhannya, dapat dipertanggungjawabkan, dapat diakses, dan dapat

ditampilkan, sehingga menerangkan suatu keadaan. Orang yang mengajukan

suatu bukti elektronik harus dapat menunjukkan bahwa informasi yang

(13)

Alat bukti elektronik memiliki kelemahan dari segi pembuktian, karena surat

(akta) yang bersifatvirtualitu sangat rentan untuk diubah, dipalsukan atau bahkan

dibuat oleh orang yang sebenarnya bukanlah para pihak yang berwenang

membuatnya tetapi bersikap seolah-olah sebagai para pihak yang sebenarnya.

Secara umum bukti elektronik yang timbul dalam praktik adalah berbentuk

dokumen elektronik, yaitu setiap informasi elektronik yang dibuat, diteruskan,

dikirimkan, diterima, atau disimpan dalam bentuk analog, digital,

elektromagnetik, optikal, atau sejenisnya, yang dapat dilihat, ditampilkan dan/atau

didengar melalui komputer atau sistem elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas

pada tulisan, suara atau gambar, peta, rancangan, foto atau sejenisnya, huruf,

tanda, angka, kode akses, simbol atau perforasi yang memiliki makna atau arti

atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.10

Pengakuan dan pengaturan terhadap dokumen elektronik di Indonesia sudah

dimulai sejak tahun 1997 melalui Undang Undang Dokumen Perusahaan sebagai

titik awal diakuinya bukti elektronik. Pasal 1 undang-undang ini menyebutkan

bahwa yang dimaksud dengan Dokumen Perusahaan adalah data, catatan dan atau

keterangan yang dibuat dan atau diterima oleh perusahaan dalam rangka

pelaksanaan kegiatannya, baik tertulis di atas kertas atau sarana lain, maupun

terekam dalam bentuk corak apapun yang dapat dilihat, dibaca dan didengar.

Bila dilihat dari sejarah pembentukan undang-undang ini, dapat diketahui

bahwa sebenarnya undang-undang ini dibentuk untuk mencabut dan mengganti

ketentuan Pasal 6 Kitab Undang Undang Hukum Dagang yang mengatur

mengenai kewajiban penyimpanan dokumen perusahaan yang saat ini sudah tidak

sesuai lagi dengan perkembangan dan kebutuhan hukum masyarakat, khususnya

dalam bidang ekonomi dan perdagangan.

Oleh karena itu dengan undang-undang Dokumen Perusahaan ini, mulai diatur

mengenai pengalihan data tertulis (surat) ke dalam bentuk data elektronik.

Sebagaimana disebutkan dalam pertimbangan pembentukan undang-undang ini,

pada bagian “menimbang” huruf f dinyatakan bahwa:

10

(14)

“Kemajuan teknologi telah memungkinkan catatan dan dokumen yang dibuat di

atas kertas dialihkan ke dalam media elektronik.”

Selama ini penggunaan dan pengakuan dokumen elektronik sebagai alat bukti

didasarkan pada Undang-undang Dokumen Perusahaan yang menyatakan bahwa

dokumen perusahaan yang terdiri dari catatan, bukti pembukuan, dan data

pendukung administrasi keuangan sebagaimana yang dimaksud dalam

undang-undang ini, baik yang dibuat dalam bentuk tertulis di atas kertas atau sarana lain,

maupun terekam dalam bentuk corak apapun yang dapat dilihat, dibaca atau

didengar, dapat digunakan sebagai alat bukti.11

Lebih lanjut undang-undang ini menyebutkan bahwa setiap pengalihan

dikomen perusahaan ke dalam bentuk microfilm atau media lainnya wajib

dilegalisasi, artinya jika dokumen perusahaan itu tidak dilegalisasi maka dokumen

hasil pengalihan tersebut secara hukum tidak dapat dijadikan alat bukti yang sah.

Legalisasi adalah tindakan pengesahan isi dokumen perusahaan yang dialihkan

atau ditransformasikan ke dalam mikrofilm atau media lainnya yang menerangkan

atau menyatakan bahwa isi dokumen perusahaan yang terkandung di dalam

mikrofilm atau media lainnya tersebut sesuai dengan naskah aslinya.12

Microfilm adalah film yang memuat rekaman bahan tertulis, tercetak, dan

tergambar dalam ukuran yang sangat kecil. Media lainnya adalah alat penyimpan

informasi yang bukan kertas dan mempunyai tingkat pengamanan yang dapat

menjamin keaslian dokumen yang dialihkan atau ditransformasikan, misalnya

Compact Disk – Read Only Memory (CD-ROM) dan Write Once Read Memory

(WORM).13

Dari apa yang telah diuraikan di atas, jelaslah bahwa dengan undang-undang

Dokumen Perusahaan mulai ada pengaturan dokumen elektronik sebagai alat

bukti, meskipun terbatas pada dokumen perusahaan. Undang-undang ini hanya

mengatur mengenai peralihan dari data tertulis ke dalam bentuk data elektronik,

11

Pasal 11 ayat (5) Undang Undang Dokumen Perusahaan menyebutkan: “kewajiban penyimpanan dokumen perusahaan dalam bentuk mikrofilm tidak menghilangkan fungsi dokumen yang bersangkutan sebagai alat bukti sesuai dengan kebutuhan sebagaimana ditentukan dalam ketentuan mengenai daluwarsa suatu tuntutan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku, atau untuk kepentingan hukum lainnya.”

12

Pasal 13 UU Dokumen Perusahaan.

13

(15)

sebaliknya mengenai pengakuan terhadap data elektronik dapat diakui

sebagaimana halnya bukti tertulis belum ada pengaturannya. Dengan demikian

penggunaan hasil cetak dari data elektronik masih dipertanyakan kekuatan

pembuktiannya sebagai alat bukti.

Dapatlah dikatakan bahwa munculnya undang-undang Dokumen Perusahaan

merupakan titik awal mulai diakuinya bukti elektronik berupa dokumen

elektronik sebagai alat bukti yang dapat diajukan ke pengadilan. Para pihak yang

berperkara dapat mengajukan dokumen perusahaan yang sudah terekam dalam

bentuk dokumen elektronik sebagai alat bukti, dan hakim berdasarkan

undang-undang Dokumen Perusahaan dapat mempertimbangkan untuk menerimanya

sebagai alat bukti sekalipun HIR/RBg tidak mengatur tentang dokumen elektronik

sebagai alat bukti.

Di samping itu, telah pula dilakukan upaya lain untuk mengakui secara

formal dokumen elektronik sebagai alat bukti melalui Undang Undang Informasi

dan Transaksi Elektronik. Dijelaskan bahwa informasi dan atau dokumen

elektronik , juga hasil cetaknya merupakan alat bukti yang sah dan memiliki

akibat hukum yang sah. Hal ini merupakan perluasan dari alat bukti yang sah

sesuai dengan Hukum Acara yang berlaku di Indonesia.14

Namun pengakuan terhadap informasi dan atau dokumen elktronik sebagai

alat bukti yang sah ini terbatas sifatnya, hanya berlaku pada transaksi elektronik

saja dan tidak berlaku untuk:15

a. Pembuatan dan pelaksanaan surat-surat yang berkenaan dengan terjadinya

atau putusnya suatu perkawinan;

b. Surat-surat yang menurut ketentuan undang-undang harus dibuat dalam

bentuk tertulis, seperti misalnya akta kelahiran atau surat kenal lahir;

c. Perjanjian yang berkaitan dengan transaksi barang tidak bergerak, seperti

misalnya akta jual beli tanah;

d. Dokumen-dokumen yang berkaitan dengan hak kepemilikan, misalnya

sertifikat hak milik;

14

Pasal 5 ayat (1) dan (2) UU Informasi dan Transaksi Elektronik.

15

(16)

e. Dokumen–dokumen lainnya yang menurut peraturan perundang-undangan

yang berlaku mengharuskan adanya pengesahan notaris atau pejabat yang

berwenang, misalnya akta notaris atau putusan hakim.

Sesunguhnya keberadaan undang-undang ITE ini sangat diperlukan untuk

memberikan koridor hukum yang jelas dan terarah serta menyikapi pentingnya

keberadaan undang-undang yang berkaitan dengan dunia maya (cyberspace),

khususnya yang mencakup pengaturan transaksi elektronik.

2. Implikasi Perkembangan Bukti Elektronik Terhadap Sistem Pembuktian Dalam Penyelesaian Sengketa Perdata Melalui Pengadilan

Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, bahwa hukum acara perdata

adalah seperangkat aturan yang mengatur cara bagaimana seseorang

mempertahankan hak dan kepentingannya melalui suatu badan yang disebut

badan peradilan demi tercapainya tertib hukum. Hukum acara perdata merupakan

suatu sistem hukum yang terdiri dari bagian-bagian yang satu sama lain saling

berhubungan dan mempengaruhi untuk tercapainya suatu tujuan. Salah satu

bagian dari hukum acara perdata adalah hukum pembuktian/proses pembuktian.

Pembuktian merupakan bagian terpenting dalam proses penyelesaian sengketa

perdata di pengadilan, karena melalui tahap pembuktian maka kebenaran adanya

suatu peristiwa dan adanya suatu hak dapat dinyatakan terbukti atau tidak di muka

persidangan. Pada intinya dengan pembuktian, para pihak berupaya meyakinkan

hakim tentang kebenaran adanya suatu peristiwa atau hak, dengan menggunakan

alat-alat bukti. Melalui pembuktian, hakim akan memperoleh dasar-dasar untuk

menjatuhkan putusan dalam menyelesaikan suatu sengketa.

Para pihaklah yang berkewajiban untuk membuktikan kebenaran suatu

peristiwa atau adanya suatu hak di muka persidangan, sedangkan hakim bertugas

menilai pembuktian yang disampaikan oleh para pihak apakah kebenaran

peristiwa atau adanya suatu hak dapat dibuktikan atau tidak dengan alat-alat bukti

(17)

perkara guna memberi kepastian tentang kebenaran suatu peristiwa yang

dikemukakan.16

Hukum pembuktian merupakan bagian dari hukum acara perdata yang

merupakan hukum formal dan berfungsi untuk mempertahankan atau

melaksanakan hukum materiil (dalam hal ini hukum perdata materiil). Hukum

acara perdata mempunyai sifat publik karena mengikat bagi setiap orang yang

menggunakannya, dalam arti manakala orang mulai menggunakan hukum acara

perdata maka ia terikat untuk melaksanakannya sesuai dengan apa yang

ditentukan/diatur dalam hukum acara perdata (tidak dapat disimpangi).

Wirjono Projodikoro berpendapat bahwa sifat mengikat atau formalisme dari hukum acara perdata ini perlu untuk menjamin adanya tata tertib dalam

pemeriksaan perkara sehingga kedua belah pihak mempunyai kesempatan untuk

membela kepentingan masing-masing. Peraturan yang sifatnya mengikat itu juga

perlu untuk menjamin agar hakim tetap bersifat tidak berat sebelah dalam

melakukan pemeriksaan perkara.17

Demikian pula halnya dengan hukum pembuktian mempunyai sifat yang

mengikat bagi pihak yang menggunakannya, dalam pembuktian para pihak terikat

pada hukum pembuktian yang berlaku termasuk sistem pembuktian, kekuatan

pembuktian dan alat-alat bukti yang diatur dalam hukum acara perdata yaitu

HIR/RBg, BW, dan peraturan lainnya tentang acara perdata.

Pasal 164 HIR mengatur secara limitatif dan berurutan alat-alat bukti dalam

perkara perdata di persidangan, yaitu terdiri dari: surat, keterangan saksi,

persangkaan-persangkaan, pengakuan dan sumpah. Di luar itu, dalam HIR diatur

pula alat bukti pemeriksaan setempat (Pasal 153 HIR, yang berdasarkan

yurisprudensi dapat dijadikan alat bukti karena dengan pemeriksaan setempat

menambah pengetahuan hakim), dan juga keterangan saksi ahli (Pasal 154 HIR)

meskipun masih terdapat perbedaan pendapat mengenai hal ini.

Pada sistem pembuktian perdata berdasarkan sistem HIR, dalam proses

pembuktian hakim terikat pada alat alat bukti yang sah, yang berarti bahwa hakim

16

Riduan Syahrani,loc.cit., Hukum Acara Perdata Di Lingkungan Peradilan Umum.

17

(18)

hanya boleh mengambil atau menjatuhkan keputusan berdasarkan alat-alat bukti

yang ditentukan oleh undang-undang saja. Alat bukti dalam acara perdata yang

disebutkan oleh undang-undang (Pasal 164 HIR, 284 RBg, 1866 BW) ialah surat,

keterangan saksi, persangkaan-persangkaan, pengakuan dan sumpah. Di luar itu

dalam HIR dan RBg juga diatur mengenai pemeriksaan setempat dan keterangan

saksi ahli yang juga dapat merupakan alat bukti.

Hukum pembuktian yang berlaku saat ini, secara formal belum

mengakomodasi dokumen elektronik sebagai alat bukti, sedangkan dalam

praktiknya di masyarakat melalui transaksi perdagangan secara elektronik, alat

bukti elektronik sudah banyak digunakan, terutama dalam transaksi bisnis

modern.

Pada sistem pembuktian perdata berdasarkan sistem HIR, dalam proses

pembuktian hakim terikat pada alat alat bukti yang sah, yang berarti bahwa hakim

hanya boleh mengambil atau menjatuhkan keputusan berdasarkan alat-alat bukti

yang ditentukan oleh undang-undang saja. Ini berarti bahwa hukum acara perdata

Indonesia menganut sistem pembuktian yang tertutup. Hal ini sejalan dengan apa

yang termuat dalam Pasal 6 ayat (2) Undang-undang Kekuasaan Kehakiman yang

menyebutkan bahwa: Tidak seorangpun dapat dijatuhi pidana, kecuali apabila

pengadilan karena alat pembuktian yang sah menurut undang-undang, mendapat

keyakinan bahwa seseorang yang dianggap bertanggung jawab, telah bersalah atas

perbuatan yang didakwakan atas dirinya”.

Seiring dengan tuntutan kebutuhan masyarakat pencari keadilan dalam era

perkembangan teknologi informasi dan telekomunikasi dewasa ini, perlu adanya

suatu perubahan sistem pembuktian dalam penyelesaian sengketa melalui

pengadilan dari sistem tertutup menjadi sistem terbuka. Dalam arti proses

pembuktian di pengadilan tidak terikat pada alat bukti yang ditentukan dalam

undang-undang secara terbatas, karenanya dalam undang-undang Acara Perdata

yang akan datang hendaknya alat bukti diatur dalam pasal dengan sifat terbuka,

tidak ditentukan secara limitatif tentang apa saja yang dapat dijadikan alat bukti.

Ketentuan yang mengatur tentang alat bukti hendaknya dibuat secara terbuka,

(19)

kemudian hari muncul alat-alat bukti yang belum ditentukan atau diatur dalam

undang-undang. Dengan demikian ketentuan tentang acara perdata

(undang-undang Acara Perdata yang baru) dapat mengikuti perkembangan yang terjadi

dalam masyarakat serta memenuhi kebutuhan hukum masyarakat, sehingga

berlaku dalam kurun waktu yang panjang.

E. SIMPULAN DAN SARAN 1. Simpulan

Berdasarkan hasil kajian yang dilandasi oleh kerangka berfikir secara teoritis dan

analisis secara yuridis atas pokok-pokok permasalahan sebagaimana telah diuraikan

dalam tulisan ini, maka dapat ditarik beberapa simpulan sebagai berikut:

a. Perkembangan alat bukti elektronik melalui transaksi perdagangan modern,

seperti misalnya e-mail, pemeriksaan saksi menggunakan teleconference, sms,

cctv, informasi elektronik, tiket elektronik, data/dokumen elektronik, dan sarana

elektronik lainnya sebagai media penyimpan data, sudah mulai digunakan oleh

hakim, khususnya hakim Pengadilan Niaga, dalam menyelesaikan sengketa

melalui pengadilan. Secara materil sudah diakomodasi pengaturannya dalam

UU Dokumen Perusahaan dan UU Informasi dan Transaksi Elektronik.

b. Implikasi perkembangan alat bukti elektronik terhadap sistem pembuktian dalam

penyelesaian sengketa perdata melalui pengadilan di Indonesia adalah bahwa

perkembangan alat bukti elektronik melalui transaksi perdagangan modern

sebagaimana tersebut pada butir 1 di atas, mempengaruhi sistem pembuktian

perdata yang selama ini berlaku berdasarkan sistem HIR. Pada umumnya hakim

mau menerima dan mengakui bukti elektronik sebagai alat bukti, khususnya

(20)

kepailitan perusahaan. Kekuatan pembuktiannya diserahkan kepada hakim

(mempunyai kekuatan pembuktian bebas).

2. Saran

a. RUU Hukum Acara Perdata harus sudah mengakomodasi perkembangan alat

bukti elektronik berupa dokumen elektronik dan pemeriksaan saksi melalui

teleconference. Mengingat keduanya sudah lama dikenal dan digunakan dalam

praktik, maka sudah waktunya diatur dan dirumuskan secara tegas

(dinormatifkan) guna memenuhi kebutuhan praktik peradilan untuk tercapainya

ketertiban hukum dan kepastian hukum .

b. Untuk memenuhi kebutuhan masyarakat pencari keadilan dalam era

perkembangan teknologi informasi dan telekomunikasi dewasa ini, perlu ada

perubahan sistem pembuktian dalam penyelesaian sengketa melalui pengadilan,

yaitu dari sistem tertutup menjadi sistem terbuka. Karenanya dalam hukum

acara perdata yang akan datang hendaknya alat bukti diatur dalam pasal dengan

sifat terbuka, tidak ditentukan secara limitatif tentang apa saja yang dapat

dijadikan alat bukti.

F. Daftar Pustaka

Ahmad M. Ramli,RUU Pemanfaatan Teknologi Informasi dan Urgensi Regulasi

Cyber Law di Indonesia,PPH Newsletter No.49/XIII/Juni 2002.

A. Muhammad Asrun,Krisis Peradilan (Mahkamah Agung di Bawah Soeharto),

(21)

Man S. Sastrawidjaja,Bunga RampaiHukum Dagang,Alumni, Bandung, 2005.

Mariamdarus Badrulzaman, Mendambakan Kelahiran Siber (Cyber Law) Di

Indonesia, Pidato diucapkan pada upacara memasuki masa Purna

Bhakti Sebagai Guru Besar Tetap pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan, 13 November 2001.

Mochtar Kusumaatmadja, Pembinaan Hukum dalam Rangka Pembangunan

Nasional, Lembaga Penelitian Hukum dan Kriminologi Fakultas

Hukum Universitas Padjadjaran, Binacipta, 1986.

Riduan Syahrani, loc.cit., Hukum Acara Perdata Di Lingkungan Peradilan Umum,Pustaka Kartini, Jakarta, 1998.

Ronny Hanityo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum Dan Jurimetri, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1980.

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan Singkat, PT.Radja Grafindo Persada, Jakarta, 1995.

Sudikno Mertokusumo,Hukum Acara Perdata Indonesia,Edisi enam, Liberty, Yogyakarta, 2002.

Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo, Bab-bab Tentang Penemuan Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1993

Theo Huijbers OSC,Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah,Yayasan Kanisius, Yogyakarta, 1982.

Referensi

Dokumen terkait

Solusi yang direncanakan oleh tim pengabdi adalah aktivitas fisik rutin yang tidak membutuhkan banyak alat dan lokasi yang luas. Selain menentukan aktivitas fisik yang

Atas kehendak-Nya penyusunan skripsi dengan judul “APLIKASI MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE TEAMS GAME TOURNAMENT (TGT) UNTUK MENINGKATKAN KOMPETENSI LOMPAT JAUH

Persoalannya bila sikap bebal ini dilakukan banyak orang, secara berulang-ulang dan terus menerus, apakah fenomena empirik ini kemudian dapat dikategorikan sebagai keadaan di

Serta didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Micheli & Marzoni,(2010) Keputusan strategis yang diberikan oleh sistem pengukuran kinerja akan memberikan

Pada baja yang tidak diberi perlakuan ketahanan korosinya sangat baik ini terlihat dari pengurangan massa dari hasil uji weight loss, sebesar 0.2mg, sedangkan pada

Realisasi usaha proses produksi, penanganan pasca panen, atau usaha budidaya tanaman pangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11, Pasal 12, atau Pasal 13 untuk yang menggunakan Hak

Melaksanakan pemeliharaan berkala sistem pada karburator yang meliputi : sistem pelampung, sistem idel dan perpindahan, sistem tambahan pada idel, sistem utama, sistem

Kedua, Kepada institusi sekolah di- sarankan untuk: (1) menyebarluaskan metode pembelajaran kooperatif model make a match kepada guru-guru mata pelajaran lainnya,