• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III KETENTUAN KOMPILASI HUKUM ISLAM TENTANG WASIAT. Sistem-sistem wasiat tersebut memiliki perbedaan dalam melaksanakannya.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB III KETENTUAN KOMPILASI HUKUM ISLAM TENTANG WASIAT. Sistem-sistem wasiat tersebut memiliki perbedaan dalam melaksanakannya."

Copied!
38
0
0

Teks penuh

(1)

BAB III

KETENTUAN KOMPILASI HUKUM ISLAM TENTANG WASIAT

A. Dasar Hukum Wasiat

Wasiat merupakan salah satu cara dalam peralihan harta dari satu orang ke orang lain. Sistem wasiat ini berjalan sejak zaman dulu, bukan hanya agama Islam saja yang mengatur, tapi setiap komunitas memiliki pemahaman tentang wasiat Sistem-sistem wasiat tersebut memiliki perbedaan dalam melaksanakannya. Semuanya memiliki ketentuan masing-masing bagaimana sahnya pelaksanaan wasiat tersebut. Begitu pula di Indonesia, sama mempunyai aturan sendiri tentang wasiat ini. Di antaranya di atur dalam BW untuk non muslim atau kaum adat, sedangkan untuk umat Islam diatur dalam Kompilasi Hukum Islam. Meskipun di atur dalam BW dan KHI, ketentuan-ketentuan daerah masih diperhatikan dan dijadikan rujukan penentuan hukum.

Sumber hukum yang mengatur tentang wasiat tercantum dalam QS Al-Baqarah ayat 180 yang berbunyi:

Artinya : “Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, Berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma’ruf, ini adalah kewajiban atas orang-orang yang bertakwa”. (Q.S Al Baqarah : 180).

(2)

Dalam tafsir dijelaskan bahwa makna ma’ruf ialah adil dan baik. Wasiat itu tidak melebihi sepertiga dari seluruh harta orang yang akan meninggal itu.

Adapun mengenai hukum wasiat para ahli hukum berbeda pendapat yaitu:28

1. Pendapat pertama memandang bahwa wasiat itu wajib bagi setiap orang yang meninggalkan harta, baik harta itu banyak atau sedikit. Pendapat ini dikatakan oleh Az-zuhri dan Abu Mijlaz.

2. Pendapat kedua memandang bahwa wasiat kepada kedua orang tua dan karib kerabat yang tidak mewarisi dari si mayyit wajib hukumnya. Ini menurut Masruq, lyas, Qatadah, Ibnu Jarir dan Az-zuhri.

3. Pendapat ketiga Imam dari aliran Zaidiyah yang menyatakan bahwa wasiat itu bukanlah kewajiban atas setiap orang yang meninggalkan harta dan bukan pula kewajiban terhadap kedua orang tua dan karib akan tetapi wasiat itu berbeda-beda hukumnya menurut keadaan.

4. Abu Daud Ibnu Hazm dan ulama salaf berpendapat bahwa wasiat hukumnya fardhu 'ain. Mereka beralasan bahwa QS Al-Baqarah ayat 180 dan QS An-Nisa ayat 11-12 mengandung pengertian bahwa ”Allah mewajibkan hamba-Nya untuk mewariskan sebagian hartanya kepada ahli waris dan mewajibkan wasiat didahulukan pelaksanaanya daripada pelunasan utang. Adapun maksud kepada orang tua dan kerabat dipahami karena mereka itu tidak menerima warisan”.

Selain beberapa pendapat di atas, maka hukum wasiat juga diatur sebagai berikut:29

1. Wajib: berwasiat wajib hukumnya apabila wasiat itu untuk hak-hak Allah SWT yang dilalaikan oleh pewasiat, misalnya zakat yang belum dibayar,

karafat, nadzar, fidyah, puasa, haji, dan lain-lain sebagainya atau sebagai

pemenuhan hak-hak sesama yang tidak diketahui oleh pewasiat itu sendiri. 2. Sunnah: untuk orang-orang yang tidak menerima pusaka atau untuk motif

sosial, seperti berwasiat kepada fakir miskin, anak yatim yang bertujuan untuk menambah amal kepada Allah SWT, memberi sumbangan pembangunan rumah-rumah Ibadah, sumbangan kepada kaum kerabat yang kekurangan.

3. Haram: berwasiat untuk keperluan maksiat, seperti berwasiat untuk mendirikan tempat-tempat perjudian,pelacuran, dan sebagainya.

28

Wirjono Prodjodikoro, Hukum Warisan Di Indonesia, Sumur Bandung, Bandung, 1991, Hal. 88.

29

(3)

4. Makhruh: berwasiat kepada keperluan-keperluan lain, dengan wasiat itu mereka akan bertambah gila dan tambah melakukan maksiat, misalnya berwasiat kepada anak yang ketagihan narkotika untuk membeli ganja keperluan anak itu. Apabila dengan wasiat itu dia menjadi sembuh, maka menjadi sunnah wasiat tersebut.

5. Mubah: berwasiat kepada kaum kerabat atau tetangga yang penghidupan mereka dalam kekurangan.

Adapun yang menjadi dasar hukum wasiat menurut Kompilasi Hukum Islam terdapat pada Bab V Pasal 194 sampai dengan Pasal 214 yang isinya sebagai berikut:

1. Pasal 194 KHI menjelaskan bahwa: “orang yang telah berumur sekurang-kurangnya 21 tahun, berakal sehat dan tidak ada paksaan dapat mewasiatkan sebagian harta bendanya kepada orang lain atau lembaga. Harta yang diwasiatkan merupakan hak pewasiat, dan baru dapat dilaksanakan sesudah pewasiat meninggal dunia”.

2. Pasal 195 KHI menjelaskan bahwa: “suatu wasiat dapat dilakukan secara lisan atau secara tertulis di hadapan dua orang saksi, atau di hadapan notaris. Dan harta boleh di wasiatkan sebanyak-banyaknya sepertiga dari harta warisan, kecuali ahli waris menyetujui”.

3. Pasal 196 KHI menjelaskan bahwa: “dalam wasiat harus disebutkan dengan tegas dan jelas tentang siapa-siapa atau lembaga apa yang ditunjuk untuk menerima harta wasiat”.

4. Pasal 197 KHI menjelaskan bahwa: “penyebab batalnya wasiat apabila berdasarkan keputusan hakim yang berkekuatan hukum tetap menyatakan bahwa calon penerima wasiat dihukum karena telah membunuh, menganiaya berat, menfitnah pewasiat telah melakukan kejahatan yang diancam hukuman

(4)

minimal 5 tahun penjara, melakukan kekerasan atau ancaman agar pewasiat merubah wasiat, menggelapkan atau memalsukan surat wasiat dari pewasiat, tidak mengetahui adanya wasiat, menolak menerima wasiat, tidak pernah menyatakan menolak atau menerima wasiat dan juga batal apabila barang yang diwasiatkan musnah”.

5. Pasal 198 KHI menjelaskan bahwa: “ wasiat yang berupa hasil atau pemanfaatan suatu benda diberikan jangka waktu tertentu.

6. Pasal 199 KHI menjelaskan bahwa: “pewasiat dapat mencabut wasiatnya selama calon penerima wasiat belum menyatakan atau menarik kembali persetujuannya, pencabutan tersebut dapat dilakukan secara lisan atau tulisan dihadapan dua orang saksi atau berdasarkan akta notaris”.

7. Pasal 200 KHI menjelaskan bahwa: “harta wasiat berupa barang tak bergerak yang sah mengalami penyusutan atau kerusakan terjadi sebelum pewasiat meninggal dunia, maka penerima wasiat hanya akan menerima harta yang tersisa”.

8. Pasal 201 KHI menjelaskan bahwa: “jika wasiat melebihi sepertiga dari harta warisan sedangkan ahli waris tidak ada yang setuju, maka wasiat hanya dilaksanakan sepertiga dari harta warisan saja”.

9. Pasal 202 KHI menjelaskan bahwa: “apabila wasiat ditujukan untuk berbagai kegiatan kebaikan, sedangkan harta tidak cukup maka ahli waris dapat menentukan kegiatan mana yang harus didahulukan”.

(5)

10. Pasal 203 KHI menjelaskan bahwa: “surat wasiat dalam keadaan tertutup disimpan ditempat notaris yang membuatnya, apabila surat wasiat tersebut dicabut maka diserahkan kembali kepada pewasiat”.

11. Pasal 204 KHI menjelaskan bahwa: “jika pewasiat meninggal dunia, maka surat wasiat yang tertutup dan disimpan pada notaris, dibuka olehnya di hadapan ahli waris, disaksikan dua orang saksi dan dengan membuat berita acara pembukaan surat wasiat”.

12. Pasal 205 KHI menjelaskan bahwa: “anggota tentara yang dalam keadaan perang diperbolehkan untuk membuat surat wasiat di hadapan komandannya dengan dihadiri oleh dua orang saksi”.

13. Pasal 206 KHI menjelaskan bahwa: “orang yang berada dalam perjalanan laut diperbolehkan untuk membuat surat wasiat di hadapan nakhoda, mualim kapal atau pejabat penggantinya, dengan dihadiri dua orang saksi”.

14. Pasal 207 KHI menjelaskan bahwa: “wasiat tidak diperbolehkan untuk orang yang melakukan pelayanan atau orang yang melakukan tuntunan rohani sewaktu pewasiat mengalami sakit hingga meninggalnya, kecuali ditentukan dengan tegas dan jelas untuk membalas jasa”.

15. Pasal 208 KHI menjelaskan bahwa: “bagi notaris dan saksi-saksi pembuat akte, wasiat tidak berlaku”.

16. Pasal 209 KHI menjelaskan bahwa: “harta peninggalan anak angkat dibagi berdasarkan pasal-pasal 176 sampai dengan 193, sedangkan terhadap orang tua angkat dan anak angkat yang tidak menerima wasiat, diberi wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta warisan”.

(6)

17. Pasal 210 KHI menjelaskan bahwa: “orang yang telah berumur sekurang-kurangnya 21 tahun, berakal sehat dan tanpa adanya paksaan dapat menghibahkan sebanyak-banyaknya 1/3 harta bendanya kepada orang lain atau lembaga di hadapan dua orang saksi”.

18. Pasal 211 KHI menjelaskan bahwa: “hibah dari orang tua kepada anaknya dapat diperhitungkan sebagai warisan”.

19. Pasal 212 KHI menjelaskan bahwa: “hanya hibah orang tua kepada anaknya yang dapat ditarik kembali”.

20. Pasal 213 KHI menjelaskan bahwa: “hibah yang diberikan oleh penghibah yang dalam keadaan sakit yang dekat dengan kematian, maka harus mendapat persetujuan dari ahli warisnya”.

21. Pasal 214 KHI menjelaskan bahwa: “warga negara Indonesia yang berada di negara asing dapat membuat surat hibah di hadapan konsulat atau kedutaan Republik Indonesia setempat, yang isinya tidak boleh bertentangan dengan ketentuan-ketentuan pasal ini”.

B. Syarat-syarat Wasiat

Menurut mayoritas ulama fiqih (jumhur al-fuqaha), bahwa ada empat rukun atau syarat wasiat, yaitu:30

a. Orang yang berwasiat (Al-mushi/ al-muwashshi), adalah setiap pemilik yang sah hak kepemilikannya terhadap orang lain, bersifat mukallaf, berhak berbuat kebaikan, orang yang tidak mempunyai hutang yang dapat menghabiskan seluruh hartanya, dan dengan kehendaknya sendiri. Pemberi wasiat harus berakal, merdeka, baliqh dan tidak dibatasi karena kedunguan atau kelalaian.

30

(7)

b. Orang yang menerima wasiat (Al-Maushilah), adalah orang atau badan hukum yang dapat bertindak sebagai penerima wasiat dan secara hukum dipandang cakap untuk memiliki sesuatu hak atau benda.

Adapun syarat yang harus dipenuhi pihak penerima wasiat yaitu: 1) Pihak penerima wasiat sudah ada pada waktu perwasiatan terjadi. 2) Penerima wasiat adalah orang atau badan hukum.

3) Penerima wasiat bukan pembunuh pewasiat atau melakukan percobaan pembunuhan ketika pewasiat masih hidup.

4) Penerima wasiat bukan sesuatu badan yang mengelola kemaksiatan. 5) Penerima wasiat bukan ahli waris dari penerima wasiat.

c. Adanya sesuatu yang diwasiatkan (Maushilah Bih), disyaratkan dapat berupa harta milik pemberi wasiat atau manfaat tertentu milik pemberi wasiat, yang merupakan milik sah dari pemberi wasiat serta yang diwasiatkan tersebut dapat bermanfaat bagi penerima wasiat dan dapat berpindah milik dari seorang kepada orang lain.

d. Shigat, pada prinsipnya ijab kabul dilaksanakan berdasarkan atas kesepakatan bebas di antara para pihak dan tanpa di antara para pihak dan tanpa adanya unsur paksaan, kekhilafan maupun penipuan, serta dapat dilakukan secara lisan maupun tertulis dan disaksikan dua orang saksi.

Sementara menurut Kompilasi Hukum Islam dalam pasal 194 disebutkan bahwa yang berhak melakukan wasiat adalah orang yang sudah mencapai umur sekurang-kurangnya 21 tahun, berakal sehat dan tidak dalam tekanan pemaksaan, harta benda yang diwasiatkan pun harus hak milik pewasiat dan pelaksanaan wasiat saat pewasiatnya sudah meninggal. Dan disebutkan juga dalam Pasal 195 KHI bahwa suatu wasiat dapat dilakukan secara lisan atau secara tertulis di hadapan dua orang saksi, atau di hadapan notaris. Dan harta boleh di wasiatkan

(8)

sebanyak-banyaknya sepertiga dari harta warisan, kecuali ahli waris menyetujuinya.

C. Bentuk Dan Sifat Wasiat

Dalam Hukum Islam tidak ada ditentukan tentang bentuk suatu wasiat. Syariat Islam juga tidak menentukan bentuk yang tertulis, namun demi kesempurnaan dan guna membuktikan ada baiknya kalau wasiat tersebut diperbuat secara tertulis.

Untuk kebaikan dan keberesan terhadap penerima wasiat di kemudian hari, hendaklah sewaktu berwasiat dipersaksikan oleh sekurang-kurangnya 2 (dua) saksi yang adil. Seperti yang tercantum dalam AI-Qur'an surat Al-Maidah ayat 106, yang ditafsirkan dalam bahasa Indonesia :

(9)

Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, panggillah saksi diantara kamu apabila seseorang kamu menghadapi kematian, di waktu berwasiat, di waktu saksi itu dua orang yang adil (bersifat lurus) diantara kamu atau 2 (dua) orang yang lain bukan dari kamu. Jika kamu dalam perjalanan di muka bumi lalu kamu ditimpa bahaya kematian, kamu tahan kedua saksi itu sesudah sembahyang (untuk bersumpah), lalu mereka keduanya bersumpah dengan nama Allah jika kamu ragu-ragu : “Demi Allah kami tidak akan membeli dengan sumpah ini harga yang sedikit (untuk kepentingan seseorang) walaupun dia karib kerabat, dan tidak pula kami menyembunyikan persaksian Allah sesungguhnya kami kalau demikian tentulah termasuk orang-orang yang berdosa”.31

Bentuk wasiat ini juga mempunyai syarat “qabul” dan harus jelas disaksikan oleh dua saksi tersebut diatas yang kemudian dapat membenarkan pemberian wasiat itu. penerimaan atau penolakan suatu qabul itu dilakukan setelah yang berwasiat itu meninggal dunia.32

Dari ketentuan diatas jelaslah bagi kita bahwa bentuk wasiat harus adanya

qabul yang jelas. Pemberian wasiat ini dapat dilaksanakan dengan cara tegas dan

terang, boleh juga dengan cara diam-diam, tetapi dengan ketentuan setelah si pemberi wasiat meninggal dunia kelak.

Sama halnya dengan wasiat yang diatur dalam KUH Perdata bahwa sebelum meninggal dunia yang berwasiat berhak untuk menarik kembali wasiatnya. Penarikan tersebut dapat dilakukannya secara terang-terangan atau secara diam-diam dengan menjual benda yang diwariskannya.

Jika orang yang akan menerima wasiat itu lebih dulu meninggal dunia dari pada pemberi wasiat, maka wasiat tetap jalan dengan pemberian kepada ahli waris dari yang akan menerima wasiat itu.

31

Direktorat Jendral Kelembagaan Agama Islam, Op. Cit, hal. 114. 32

http://www.asiatour.com/lawarchives/indonesia/perdata/wasiat.htm (diakses tanggal 4 juni 2010)

(10)

Andaikan si penerima wasiat terlebih dulu meninggal dari pada si pemberi wasiat, wasiat akan berjalan terus tanpa dapat dibatalkan oleh siapapun, karena wasiat tersebut dapat diterimakan kepada ahli warisnya.

Adapun bentuk wasiat menurut KHI terdapat dalam pasal 195 yaitu dapat dilakukan dengan cara:33

1. Lisan, bahwa suatu wasiat ataupun akta di bawah tangan harus dilakukan di hadapan dua orang saksi.

2. Tertulis, bahwa suatu wasiat yang dilakukan secara tertulis dapat berupa akta di bawah tangan dan akta otentik. Apabila wasiat ditujukan kepada ahli waris, maka persetujuan ahli waris atau para ahli waris lainnya itu dapat dibuat secara lisan maupun tertulis. Persetujuan lisan maupun tertulis yang bukan akta otentik harus dilakukan di hadapan dua orang saksi atau di hadapan notaris

D. Kecakapan Membuat Surat Wasiat

Kompilasi Hukum Islam tidak lagi menggunakan ukuran-ukuran yang tidak mengandung kepastian hukum untuk menentukan apakah seorang itu cakap atau tidak cakap melakukan perbuatan hukum, melainkan mempergunakan batasan umur, yaitu sekurang-kurangnya 21 tahun. Angka ini pulalah yang dipergunakan oleh KUH Perdata untuk menentukan apakah seseorang sudah dewasa atau belum dewasa. Akan tetapi, sesungguhnya Pasal 194 ayat (1) yang menegaskan batasan umur tersebut harus diikutu perkecualian, yaitu: “kecuali orang-orang yang telah melangsungkan perkawinan. Walaupun perkecualian ini tidak dicantumkan secara tegas, tetapi tetap dianggap ada agar tidak terjadi pertentangan antara Pasal 194 ayat (1) dengan Pasal 15 ayat (1). Adapun bunyi Pasal 15 ayat (1): “untuk kemaslahatan keluarga dan rumah-tangga, perkawinan

33

(11)

boleh dilakukan calon mempelai yang telah mencapai umur yang ditetapkan dalam Pasal 7 Undang-undang No.1 Tahun 1974, yakni calon suami sekurang-kurangnya berumur 19 tahun dan calon istri sekurang-sekurang-kurangnya 16 tahun”.

Setelah seseorang melangsungkan perkawinan, meskipun belum berumur 21 tahun, harus dianggap telah dewasa, yang berarti cakap melakukan perbuatan hukum, termasuk membuat wasiat. Supaya seseorang dapat menyatakan kehendaknya, maka ia harus berakal sehat. Syarat ini logis dan harus disertakan, sebab jika tidak akan sulit diketahui apakah seseorang benar-benar ingin mewasiatkan harta-bendanya atau tidak. Yang paling sulit sebenarnya adalah mencari ukuran yang dapat dikatakan berakal sehat.

Dan dalam Pasal 194-196 KHI, disebutkan juga bahwa setiap orang yang telah berumur 21 tahun, berakal sehat dan tanpa adanya paksaan dapat dengan mudah mewasiatkan sebagian hartanya untuk orang lain atau untuk suatu lembaga, atau kepada ahli warisnya yang lain. Pernyataan para ahli waris yang menyetujui ini harus diucapkan secara lisan atau dapat secara tertulis di hadapan dua orang saksi, atau dibuat di hadapan notaris. Dalam surat baik dibuat secara tertulis, maupun secara lisan, harus diterangkan dengan jelas dan tegas siapa-siapa saja, atau lembaga mana saja yang ditunjuk untuk menerima harta yang diwasiatkan itu.

Wasiat itu suatu keharusan yang harus dilaksanakan oleh seorang untuk memberi wasiat atau menerima wasiat. Oleh karena itu, orang yang memberi wasiat itu boleh saja menarik kembali wasiat yang dinyatakan, baik itu wasiat yang berkenaan dengan kekuasaan atau wilayah. Pencabutan kembali wasiat itu dapat

(12)

dilaksanakan dengan lisan atau dengan perbuatan, seperti seseorang mewariskan sebidang tanah untuk orang lain, kemudian orang yang mewasiatkan itu menjual tanah tersebut kepada pihak lain lagi tanpa memberitahukan kepada orang yang telah menerima wasiat itu. Terhadap yang terakhir ini, Imam Hanafi mengatakan bahwa menjual barang wasiat sepihak seperti itu, sipenerima wasiat berhak menerima harga barang wasiat yang telah dijual itu. Menyangkut hal ini Sayyid Sabiq mengatakan bahwa “wasiat itu termasuk dalam perjanjian yang dibolehkan oleh hukum, tetapi di dalam perjanjian itu orang yang memberi wasiat boleh saja mengubah wasiatnya atau menarik kembali apa yang dikehendaki dari wasiatnya, atau menarik kembali wasiatnya itu baik secara lisan maupun secara perbuatan”.34

1. Pewasiat dapat mencabut wasiatnya selama calon penerima wasiat belum menyatakan persetujuannya atau menyatakan persetujuannya tetapi kemudian menarik kembali;

Dalam Pasal 199 Kompilasi Hukum Islam di Indonesia ditegaskan bahwa:

2. Pencabutan wasiat dapat dilakukan secara lisan dengan disaksikan dengan dua orang saksi atau tertulis dengan disaksikan oleh dua orang saksi atau berdasarkan akta notaris;

3. Bila wasiat dilakukan secara tertulis maka pencabutan hanya dapat dilakukan secara tertulis dengan dua orang saksi atau dengan akta notaris;

4. Apabila wasiat dilakukan dengan akta notaris, maka pencabutannya hanya dilakukan dengan akta notaris.

34

(13)

Pada Pasal 203 ayat (2) KHI disebutkan bahwa bilamana surat wasiat dicabut, sesuai dengan Pasal 199 KHI maka surat wasiat yang telah dicabut itu diserahkan kembali kepada pewasiat. Tampaknya dalam masalah pencabutan wasiat yang dikemukakan oleh Kompilasi Hukum Islam ini lebih banyak menyangkut persoalan administratifnya, bukan masalah substansinya.

Dalam rumusan fiqih tradisional dikemukakan bahwa wasiat dapat saja batal jika orang yang memberi wasiat tidak cakap bertindak hukum atau orang yang memberi wasiat itu tidak berhak atas barang yang diwasiatkan itu, wasiat juga batal jika orang yang menerima wasiat itu lebih dulu meninggal dunia dari pada orang yang memberi wasiat dan wasiat juga bisa batal jika barang yang diwariskan itu musnah sebelum barang tersebut diterima oleh orang yang menerima wasiat. Sehubungan dengan pembatalan wasiat itu, Sayyid Sabiq merumuskan hal-hal yang membatalkan wasiat yaitu jika orang yang memberi wasiat menderita sakit gila hingga meninggal dunia. Jika orang yang menerima wasiat itu meninggal dunia sebelum orang yang memberi wasiat meninggal dunia dan jika benda yang diwasiatkan itu rusak sebelum diterima oleh orang atau badan yang menerima wasiat itu. Sementara itu Peunoh Daly sebagaimana yang dikutip oleh Achmad Rofiq memperinci hal-hal yang menjadikan wasiat batal, yaitu: 35 a. yang menerima wasiat dengan sengaja membunuh penerima wasiat; b. yang menerima wasiat meninggal lebih dahulu dari si pemberi wasiat;

c. yang menerima wasiat menolak wasiat yang diberikan itu sesudah meninggalnya pemberi wasiat;

d. barang yang diwasiatkan itu ternyata kemudian bukan milik yang berwasiat;

e. yang berwasiat menarik kembali wasiatnya;

(14)

f. yang memberi wasiat hilang kecakapannya dalam melakukan perbuatan hukum karena gila terus-menerus sampai meninggal dunia.

Dalam Pasal 197 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam di Indonesia ditegaskan bahwa wasiat bisa dibatalkan apabila calon penerima wasiat berdasarkan keputusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap dihukum karena: (1) dipersalahkan karena membunuh atau mencoba membunuh atau menganiaya berat si pewaris; (2) dipersalahkan secara memfitnah telah membuat pengaduan bahwa pewasiat telah melakukan kejahatan yang diancam hukuman 5 tahun penjara; (3) dipersalahkan dengan kekerasan ancaman mencegah pewasiat membuat atau mengubah wasiat untuk kepentingan calon penerima wasiat; (4) dipersalahkan telah menggelapkan atau merusak atau memalsukan surat-surat wasiat dari orang yang memberi wasiat. Kemudian dalam Pasal 197 ayat (2) dikemukakan bahwa wasiat menjadi batal apabila calon penerima wasiat: (1) tidak mengetahui adanya wasiat sampai ia meninggal dunia sebelum meninggalnya pewasiat; (2) mengetahui adanya wasiat tersebut, tetapi ia menolak menerimanya; (3) mengetahui adanya wasiat, tetapi tidak pernah menyatakan menerima atau menolak sampai ia meninggal dunia sebelum meninggalnya pewasiat. Wasiat bisa menjadi batal apabila barang yang diwasiatkan musnah.

Berdasarkan Pasal 49 Undang-Undang No.3 Tahun 2006 tentang perubahan dari Undang-undang No.7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama ditetapkan bahwa “perselisihan tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq,

(15)

menyelesaikannya”.36

Salah satu ciri yang membedakan Islam dan lainnya adalah penekanan yang difokuskan terhadap ilmu sedangkan Al- Qur’an dan hadits sering kali Oleh karena itu, permohonan pembatalan wasiat ini diajukan ke peradilan agama oleh pihak yang merasa dirugikan karena adanya wasiat tersebut dengan menyebut alasan-alasan yang dibenarkan oleh hukum tersebut dan memberikan putusan sebagaimana mestinya. Dalam praktik peradilan agama banyak ditemukan gugatan yang berhubungan dengan wasiat oleh pencari keadilan dengan alasan wasiat telah melebihi dari sepertiga harta si pewaris, atau si pewaris telah memberi wasiat semua harta kepada anak angkat sehingga ahli waris yang berhak tidak mendapat bagian, atau sebaliknya anak angkat menggugat ahli waris karena wasiat yang diberikan oleh bapak angkatnya saat ini dikuasai oleh ahli waris. Kebanyakan pelaksanaan wasiat itu dilaksanakan sebelum berlakunya Undang-undang No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama. Dengan berlakunya Undang-undang No. 7 Tahun 1989 yang telah di

ratifikasi menjadi Undang-undang tentang Peradilan Agama dan Kompilasi

Hukum Islam dengan oleh penggugat dianggap telah terbuka peluang untuk mengajukan Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 gugatan tentang pembatalan wasiat ke pengadilan agama.

E. Pihak-Pihak Yang Dapat Menikmati Wasiat Dan Yang Tidak Diperkenankan Menikmati Wasiat

1. Yang Dapat Menikmati Wasiat

36

(16)

mengajak dan memberikan informasi terhadap kaum muslimin untuk mencari dan mendapatkan kedamainan, ketenangan, dan kebahagiaan.

Kemiskinan merupakan salah satu problem yang selalu melilit dan menyaring umat manusia di segala waktu dan tempat yang akhirnya terciptalah suatu persoalan yang tidak dikehendaki oleh Al-Qur'an dan Al-Hadits yakni adanya rasa dendam dan dengki sekaligus bermusuhan, lebih-lebih yang terjadi dalam keluarga sendiri, inilah yang dalam Islam diistilahkan dengan mu’amalah yang di mana di dalamnya termasuk persoalan wasiat yang sering dalam praktek dan pelaksanaannya tidak pernah dilakuan secara adil dan bijaksana

Yang menjadi perhatian secara serius dalam hukum fiqh ialah kajian mengenai wasiat, karena dalam ketentuan fiqh disebutkan “apabila seseorang wafat, maka seluruh hartanya akan berpindah milik kepada ahli waris yang ditinggalkannya, dengan catatan ongkos pemakaman pewaris, menutupi hutang pewaris dan sejumlah harta yang di waqafkan oleh pewaris juga menjadi kewajiban para ahli waris”.37

37

http://www.scribd.com/doc/13422903/figh-Dan-Wasiat (di akses tanggal 2010-05-03)

Persoalan wasiat penting untuk dikaji karena selama ini yang terjadi tidak sama rata hanya dalam pembagian dari suatu harta peninggalan, hal semacam ini mungkin timbul karena orang yang berwenang untuk melakukan wasiat tidak lagi memakai konsep yang tertera dalam Al-Qur'an dan Al-Hadits dalam arti tidak menelaah apa yang terkandung dalam sumber Hukum Islam dan Undang-undang yang sudah diberlakukan yakni dalam KHI.

(17)

Dalam hal penerima wasiat ini haruslah subjek hukum, yaitu baik yang bersifat personal (perorangan) maupun rechtpersoon (badan hukum). Adapun syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh pihak penerima wasiat adalah sebagai berikut:38

1. pihak penerima wasiat sudah ada pada waktu pewasiatan terjadi

(dalam praktik dapat saja terjadi seseorang berwasiat untuk membuat sesuatu badan sosial dari hartanya itu);

2. penerima wasiat adalah orang atau badan hukum; 3. penerima wasiat bukan pembunuh si pewasiat;

4. penerima wasiat bukan suatu badan hukum yang mengelola kemaksiatan; 5. penerima wasiat bukan ahli waris dari pemberi wasiat;

Wasiat dapat juga ditujukan kepada orang tertentu, baik kepada ahli waris. Demikian juga, wasiat dapat pula ditujukan kepada yayasan atau lembaga sosial, kegiatan keagamaan, dan semua kegiatan yang tidak bertentangan dengan agama Islam. Demikin juga halnya, bila wasiat dilakukan kepada yang non muslim maka wasiat itu sah bila penerima wasiat (orang yang non muslim) itu berada di wilayah yang mayoritas penduduknya beragama islam.

Adapun yang dapat menikmati wasiat menurut KHI yaitu sesuai dalam Pasal 171 huruf (f) dapat diketahui bahwa penerima wasiat adalah orang atau lembaga. Di samping itu, dari Pasal 196 juga menegaskan bahwa dalam wasiat, baik secara tertulis maupun lisan harus dissebutkan dengan tegas yang ditunjuk akan mererima harta benda yang diwasiatkan.

Pada dasarnya setiap orang, kecuali pewasiat sendiri dapat menjadi subjek penerima wasiat, kecuali sebagaimana tercantum dalam Pasal 195 ayat (3), Pasal 207 dan Pasal 208 tentang orang-orang yang tidak dapat diberi wasiat, yaitu:

38

(18)

1. Ahli waris; kecuali wasiat tersebut disetujui oleh semua ahli waris lainnya. 2. Orang yang melakukan pelayanan atau orang yang melakukan tuntunan

rohani sewaktu pewasiat mengalami sakit hingga meninggalnya, kecuali ditentukan dengan tegas dan jelas untuk membalas jasa.

3. Notaris dan saksi-saksi pembuat akta.

Pendapat para ulama’ mengenai Hibah yang lebih dari Sepertiga

1. Sayyid Sabiq mengemukakan bahwa para ahli hukum Islam sepakat pendapatnya, bahwa seseorang dapat menghibahkan semua hartanya kepada orang yang bukan ahli waris.

2. Tetapi Imam Muhammad Ibnul Hasan dan sebagian pentahkiik mahdzab Hanafi mengemukakan bahwa tidak sah menghibahkan semua harta, meskipun untuk keperluan kebaikan. Mereka menganggap orang yang bebuat demikian itu sebagai orang dungu yang wajib dibatasi tindakannya. Dalam hal ini dapat di bedakan dalam 2 hal yaitu:

1) jika hibah itu diberikan kepada orang lain (selain ahli waris) atau suatu badan hukum mayoritas pakar hukum islam sepakat tidak ada batasnya, tetapi

2) jika hibah itu diberikan kepada anak-anak pemberi hibah, menurut Imam Malik dan Ahlul Zahir tidak memperbolehkannya, sedangkan fuqaha’ amsar menyatakan makruh.

Sehubungan dengan tindakan rasulullah SAW. Terhadap kasus Nu’man Ibnu Basyir menunjukkan bahwa hibah orang tua terhadap anaknya haruslah disamakan bahkan banyak hadist lain yang redaksinya berbeda

(19)

menjelaskan ketidakbolehan membedakan pemberian orang tua kepada anaknya secara berbeda, yang satu lebih banyak dari yang lain

3. Menurut pendapat Imam Ahmad Ishaq, Tsauri, dan beberapa pakar hukum islam yang lain bahwa hibah batal apabila melebihkan satu dengan yang lain, tidak diperkenankan menghibahkan hartanya kepada salah seorang anaknya, haruslah bersikap adill diantara anak-anaknya. Kalau sudah terlanjur dilakukan maka harus dicabut kembali.

Yang masih diperselisihkan para ahli hukum islam adalah tentang bagaimana cara penyamaan sikap dan perlakuan anak-anak itu? Ada yang berpendapat bahwa pemberian itu adalah sama diantara anak laki-laki dan anak perempuan, ada pula yang berpendapat bahwa penyamaan antara anak laki-lakiitu dengan cara menetapkan bagian untuk seorang anak laiki-laki sama dengan bagian dua anak perempuan, sesuai dengan pembagian waris. Menurut sebagian ahli hukum islam, sesungguhnya penyamaan itu bukan hal yang wajib dilaksanakan, tetapi sunnah saja. Mereka menyatakan bahwa hadist yang menyatakan menyamakan anak-anaknya dalam pemberian hibah adalah lemah, demikian juga hadist yang menyatakan bahwa pemberian semua harta yang berbentuk hibah kepada anak-anaknya yang nakal. Pendapat yang mewajibkan menyamakan pemberian semua harta berupa hibah kepada anak-anaknya adalah pendapat yang kuat. Oleh karena itu, jika dalam hal pemberian hibah itu tidak sesuai dengan ketentuan ini, maka hibahnya adalah batal Prinsip pelaksanaan hibah orang tua terhadap anaknya haruslah sesuai petunjuk Rasulullah SAW. Dalam berberapa hadist dikemukakan bahwa

(20)

bagian mereka supaya disamakan dan tidak dibenarkan memberi semua harta kepada salah seorang anaknya. Jika hibah yang diberikan orang tua kepada anaknya melebihi dari ketentuan bagian waris, maka hibah tersebut dapat diperhitungkan sebagai warisan. Sikap seperti ini menurut kompilasi didasarkan pada kebiasaan yang dianggap positif oleh masyarakat. Karena bukan suatu hal yang aneh apabila bagian waris yang dilakuka tidak adil akan menimbulkan penderitaan bagi pihak tertentu, lebih-lebih kalau penyelesaiannya sampai ke pengadilan agama tentu akan terjadi perpecahan keluarga. Sehubungan dengan hal ini Umar Ibnul Khttab pernah mengemukakan bahwa kembalikan putusan itu diantara sanak keluarga, sehingga mereka membuat perdamaian karena sesungguhnya putusan pengadilan itu sangat menyakitkan hati dan menimbulkan penderitaan

4. Ulama Malikyah menetapkan dalam syarat orang yang yang menghibahkan adalah Ahlan li tabarru’ yaitu orang yang berhak berderma dan bersedekah. Yang dimaksud dengan ahli tabarru’ adalah diantaranya adalah :

a) bukan seorang isteri. Jika harta yang dihibahkan melebihi dari sepertiga harta, karena ketika seorang isteri ketika menghibahkan harta melebihi sepertiga hartaharus mendapat izin dari suaminya

b) bukan orang yang sakit, yang sudah mendekati kematian. Syarat ini berlaku jika harta yang dihibahkan melebihi dari sepertga. Jika menghibahkan lebih dari sepertiga maka harus mendapat persetujuan ahli waris pada pasal 954 yang berisi wasiat pengangkatan waris, adalah suatu wasiat, dengan mana si yang mewasiat kan, kepada seseorang atau lebih,

(21)

memberikan harta kekayaan yang akan di tinggal kan nya apabila ia meninggal dunia baik seluruh nya maupun sebagian seperti misal nya, setengah nya, sepertiga nya.

KHI PASAL 210 yang berbunyi: “Orang yang telah berumur sekurang-kurangnya 21 tahun berakal sehat tanpa adanya paksaan dapat menghibahkan sebanyak-banyaknya 1/3 harta bendanya kepada orang lain atau lembaga di hadapan dua orang saksi untuk dimiliki” Menurut Muhammad Daud Ali dalam bukunya Sistem Ekonomi Islam, Zakat dan Wakaf, beliau mencantumkan syarat-syarat hibah, yang salah satunya adalah: pada dasrnya, hibah adalah pemberian yang tidak ada kaitannya dengan kewarisan kecuali kalau ternyata bahwa hibah itu, akan mempengaruhi kepentingan dan hak-hak ahli waris. Dalam hal demikian, perlu ada batas maksimal hibah, tidak melebihi sepertiga harta seseorang, selaras dengan batas wasiyat yang tidak melebihi sepertiga harta peninggalan.

Hadis Nabi:

(22)

Artinya: Diriwayatkandari Sa’ad bin Abi Waqosh ra: pada tahun Haji Penghabisan (wada’)Nabi Muhammad SAW mengunjungiku seraya mendoakan kesehatanku. Aku berkata kepada nabi Muhammad SAW, “aku lemah karena sakitku yang parah padahal aku kaya dan aku tidak punya ahli wariskecuali seorang anak perempuan. Haruskah aku menyedekahkan 2/3 kekayaanku? Nabi Muhammad SAW bersabda, “tidak” kemudian Nabi Muhammad SAW bersabda bahkan 1/3 telah cukup banyak. Lebih baik kamu meninggalkan ahli warismudalam keadaan berkecukupan daripada meninggalkan merekadalam keadaan miskin, mengemis kepada orang lain. Kau akan memperoleh pahala dari sedekah yang dikeluarkan dengan niat karena Allah, bahkam untuk yang kau suapkan dalam mulut isteriu”. Aku berkata,”ya rasulullah, apakah aku akan sendirian ketika para sahabatku pergi?”. Nabi Muhammad SAW bersabda, “jika kamu ditinggalkan, apapun yang kau kerjakan akan mengangkat mu ke tempat yang tinggi. Dan mungkin saja kau akan berumur panjang hingga(dating suatu saat ketika) sebagian orang mengambil keuntungan darimu, dan sebagian yang lain mengambil kemudharatandarimu.” Ya Allah, lengkapkan hijrah sahabatku dan jangan biarkan mereka berpaling “. Dan rasullah SAW

(23)

merasa sedih dengan meninggalnya Sa’ad bin khaulah yang miskin di Makkah. (sedangkan sepeninggal nabi Muhammad SAW, Sa’ad bin Abi Waqash hidup dengan umur yang panjang).{HR.Bukhari}

Dimana hadist tersebut seolah menggambarkan bahwa bersedekah yang lebih dari sepertiga merupakan tindakan yang berakibat merusak esensi dan kepentingan dari ahli waris39

a. Penerima wasiat dengan sengaja atau mencoba membunuh, dan menganiaya berat pewasiat.

2. Pihak Yang Tidak Diperkenankan Menikmati Wasiat

Pihak-pihak yang tidak diperkenankan menikmati wasiat atau juga mengakibatkan wasiat menjadi batal diatur dalam Pasal 197 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam yaitu:

b. Dipersalahkan karena memfitnah, telah membuat pengaduan bahwa pewasiat telah melakukan kejahatan yang diancam hukuman minimal lima tahun penjara atau lebih.

c. Dipersalahkan dengan kekerasan dengan mengancaman atau mencegah pewasiat untuk membuat atau mengubah wasiat untuk kepentingan calon penerima wasiat;

d. Dipersalahkan telah menggelapkan atau merusak, memalsukan surat wasiat dari pewasiat.

39

(24)

Selanjutnya dalam Pasal 207 Kompilasi Hukum Islam dikemukakan bahwa wasiat tidak diperbolehkan kepada orang yang melakukan pelayanan perawatan bagi seseorang dan kepada orang yang memberi tuntutan kerohanian sewaktu ia menderita sakit sehingga meninggalnya, kecuali ditentukan dengan tegas dan jelas untuk membalas jasa. Kemudian dalam Pasal 208 KHI juga disebutkan bahwa wasiat tidak berlaku bagi notaris dan saksi-saksi pembuat akta wasiat.

(25)

BAB IV

PELAKSANAAN SURAT WASIAT MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA

DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM

A. Persamaan dan Perbedaan Pembuatan Surat Wasiat Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan Kompilasi Hukum Islam

Surat wasiat adalah surat di mana memuat keinginan-keinginan terakhir seseorang yang akan dilaksanakan apabila yang bersangkutan meninggal dunia. Lebih sering dalam wasiat seseorang memuat keinginannya yang terakhir berkaitan dengan harta yang dimilikinya yang hendak ia berikan/ wariskan kepada orang-orang yang disayanginya, namun tidak jarang memuat keinginannya mengenai hal-hal lain seperti penguburannya kelak (yang dikenal sebagai codicil).

Pengaturan tentang wasiat terdapat dalam Pasal 930-953 KUH Perdata. Pada prinsipnya pewaris yang membuat surat wasiat ini harus bebas dari intervensi pihak manapun, sehingga pasal tersebut di atas sangat menekankan tentang prosedur pembuatan wasiat guna menjamin tentang pembuatan wasiat seseorang dalam membuat wasiatnya sesuai kehendak bebasnya sendiri tanpa dipengaruhi orang lain, termasuk notaris sendiri.

Dalam prosedur pembuatan surat wasiat secara formal menurut KUH Perdata, ada beberapa macam jenis wasiat dan cara pembuatannya, yaitu:

1. Wasiat Olografis (Pasal 932 KUH Perdata); Wasiat tersebut seluruhnya ditulis sendiri oleh si pembuat, diberi tanggal dan ditandatangani olehnya. Harus disampaikan kepada notaris untuk disimpan dalam protokolnya, bisa dalam keadaan terbuka atau tertutup. Notaris membuat akta penyimpanan

(26)

(akta van depot) dengan dihadiri oleh dua orang saksi. Akta penyimpanan dibuat di bagian bawah surat wasiat jika darurat wasiat tersebut diserahkan dalam keadaan terbuka, namun jika diserahkan tertutup maka akta penyimpanannya dibuat tersendiri dan pembuat wasiat harus menulis di atas sampul surat dengan dihadiri oleh dua orang saksi dan notaris, bahwa sampul itu berisi wasiatnya, dan ditandatangani. Apabila pembuat wasiat pada saat menyerahkan sudah tidak dapat menulis atau menandatangani wasiatnya, maka notaris wajib menuliskan alasannya dalam akta penyimpanan atau sampul wasiat tersebut. Wasiat ini dapat diminta kembali oleh pembuatnya, jika menyuruh orang lain untuk mengambil maka diperlukan surat kuasa.

2. Wasiat Rahasia (Pasal 940 BW): Semua formalitasnya sama dengan wasiat olografis dengan beberapa perbedaan sebagai berikut: Wasiat dapat ditulis oleh orang lain/ tidak perlu ditulis sendiri asalkan ditandatangani oleh pewaris. Wasiat ini harus diserahkan dalam keadaan tertutup dan disegel, dengan syarat pewaris harus menjelaskan bahwa sampul itu berisi wasiatnya yang ditulis sendiri atau orang lain namun ditandatanganinya sendiri. Notaris akan memberi judul akta penyimpanannya dengan nama akta Superskripsi. Penyerahannya dilakukan di hadapan empat orang saksi.

3. Wasiat Umum (openbare akte) Pasal 938 BW; Akta ini tidak tertutup seperti wasiat rahasia atau olografis, bukan berarti semua orang boleh melihatnya, kerahaasiaan tetap dijaga oleh notaris seperti pada setiap akta

(27)

yang dibuatnya. Prosesnya adalah pembuat wasiat menghadap notaris dan menerangkan dengan lugas apa yang menjadi keinginan terakhirnya, lalu notaris menuliskan dengan kata-kata yang jelas. Jika proses tersebut tanpa dihadiri saksi-saksi, maka setelah akta itu selesai ditulis, pembuat wasiat harus mengulangi keinginan terakhirnya itu dihadapan para saksi (biasanya dalam praktek, notaris membacakan kembali keinginan terakhir pewaris dan menanyakan apakah betul demikian, jadi proses pembacaan akta dilakukan dua kali). Akta tersebut ditandatangani oleh pewaris kemudian notaris dan setelah itu oleh para saksi. Berikut ini beberapa hal berkaitan dengan wasiat dan kondisi pewaris saat membuat suatu wasiat, yaitu: apabila pewaris tidak dapat menulis (buta huruf)/ tuna aksara/ tuna netra. Seorang yang buta huruf tidak berarti tidak bisa membuat wasiat dan masih dimungkinkan untuk membuat wasiat dengan akta umum atau surat wasiat rahasia, asalkan dapat membubuhkan tanda tangannya/ cap jempolnya. Dan apabila pewaris tidak dapat berbicara/ tuna wicara, Seorang tuna wicara dapat membuat wasiat dalam bentuk wasiat olografis dan surat wasiat rahasia, dan disebutkan bahwa ia harus datang sendiri kepada notaris untuk menyimpan wasiatnya (Pasal 941 KUH Perdata). Jika pewaris yang tidak dapat mendengar (tuna tungu), yaitu bahwa seorang yang tuli dapat membuat surat wasiatnya yaitu dengan bentuk surat wasiat

(28)

Sedangkan cara pembuatan wasiat menurut Kompilasi Hukum Islam diatur dalam Pasal 195 yaitu:

1. Wasiat dilakukan secara lisan dihadapan 2 orang saksi, atau dihadapan notaris.

2. Wasiat hanya diperbolehkan sebanyak-banyaknya sepertiga dari harta warisan kecuali apabila semua ahli waris menyetujui.

3. Wasiat kepada ahli waris hanya berlaku bila disetujui oleh semua ahli waris.

4. Pernyataan persetujuan pada ayat (2) dan (3) pasal ini dibuat secara lisan di hadapan dua orang saksi atau tertulis di hadapan dua orang saksi atau di hadapan notaris.

Dalam hal ini 2 (dua) orang saksi sangat dibutuhkan karena mengingat sangat pentingnya kedudukan wasiat terhadap harta peninggalan seseorang, suatu wasiat bila terjadi hendaklah dikuatkan dengan alat-alat bukti yang dapat menghindarkan perselisihan di masa-masa yang akan datang. Apabila wasiat dinyatakan secara lisan maka hendaknya diucapkan dihadapan saksi-saksi yang dapat dipercaya dan tidak mempunyai hubungan kepentingan dengan harta peninggalan, seperti RT, RW, Lurah, atau pihak-pihak yang berwenang dalam masyarakat. Selain itu harus disebutkan dengan tegas dan jelas siapa atau siapa-siapa atau lembaga apa yang ditunjuk akan menerima harta benda yang diwasiatkan (Pasal 196 KHI). Wasiat dalam bentuk tertulis akan lebih sempurna apabila ditulis di atas kertas bermaterai, wasiat yang dibuat secara tertulis hanya dapat dicabut dengan cara tertulis dan disaksikan 2 orang saksi atau berdasarkan

(29)

akta notaris (Pasal 199 ayat (3) KHI). Dan agar tidak timbulnya keragu-raguan terhadap sebuah wasiat sebaiknya wasiat dilaksanakan dihadapan notaris. Surat wasiat yang dibuat berdasarkan akta notaris, maka hanya dapat dicabut berdasarkan akta notaris (Pasal 199 ayat (4)KHI).

Dan disebutkan juga dalam Pasal 204 KHI yaitu:

1. Jika pewasiat meninggal dunia, maka surat wasiat yang dibuat dihadapan notaris harus dibuka dan dibaca olehnya dihadapan para ahli waris, dan disaksikan oleh 2 (dua) orang saksi dan dengan membuat berita acara pembukaan surat wasiat.

2. Jika surat wasiat yang tertutup disimpan bukan pada notaris, maka penyimpanan harus menyerahkan kepada notaris setempat atau kantor urusan agama setempat dan selanjutnya notaris atau kantor urusan agama tersebut membuka sebagaimana ditentukan dalam ayat (1) Pasal ini.

3. Setelah isi serta maksud surat wasiat itu diketahui, maka oleh notaris atau kantor urusan agama diserahkan kepada penerima wasiat guna menyelesaikan selanjutnya.

Jadi kesimpulannya, yang merupakan persamaan dari pembuatan surat wasiat dalam KUH Perdata dan KHI yaitu bahwa isi dari surat wasiat dalam KUH Perdata maupun dalam KHI sama-sama berisi tentang pengangkatan atau penunjukan hak waris untuk seluruh atau sebagian dari pada harta pewaris, yang mana hak tersebut meliputi hak aktiva dan hak pasiva pewaris dan besarnya sebanding dengan warisan.

(30)

Adapun yang merupakan perbedaan dalam pembuatan surat wasiat menurut KUH Perdata dan KHI yaitu dalam KUH Perdata pembuatan surat wasiat hanya boleh ditulis dan ditandatangani sendiri oleh pewasiat dengan bentuk akta tertulis sendiri, baik dengan akta umum, baik akta rahasia atau tertutup. Apabila surat wasiat tersebut disimpan kepada notaris maka harus ditandatangani oleh pewaris, notaris dan para saksi dalam akta penyimpanan tersebut. Sedangkan dalam KHI, suatu surat wasiat boleh dilakukan secara lisan saja ataupun secara tertulis di hadapan notaris dan dua orang saksi dan dengan membuat berita acara pembukaan surat wasiat.

B. Pelaksanaan Surat Wasiat Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan Kompilasi Hukum Islam

1. Pelaksanaan Surat Wasiat Menurut KUH Perdata

Pelaksanaan surat wasiat juga kerap kali dilakukan sesuai dengan ketentuan Kitab Undang-undang Hukum Perdata, di dalam pelaksanaan suatu surat wasiat, ahli waris dapat ditunjuk melalui:40

1. Surat wasiat atau testament

2. Dalam suatu akta di bawah tangan, yang ditulis dan diberi tanggal dan ditanda tangani oleh si pewaris.

3. Dalam suatu akta notaris yang istimewa.

Istilah yang istimewa ini tidak berarti bahwa dalam akta notaris dilarang memuat hal ini selain penunjuk pelaksana wasiat atau pelaksana testament,

40

http://herman-notary.blogspot.com/2009/06/cara-membagi-waris-menurut-kuh-perdata.html (diakses tanggal 07 juni 2010)

(31)

dengan maksud agar apabila setelah seseorang berhalangan dapat diganti oleh orang lain. Si pewaris dapat menentukan, bahwa para pelaksana wasiat atau

testament dapat bekerja, artinya masing-masing dari mereka ada bagian dalam

wasiat atau testament untuk dilaksanakan, jadi dapat disimpulkan bahwa seorang pelaksana wasiat atau testament tidak berkuasa menunjuk seorang pengganti maksudnya pelaksana testament tidak dapat digantikan.

Surat wasiat atau testament dalam pelaksanaannya harus berdasarkan apa yang dibuat oleh si pewaris artinya si pewaris telah membuat masing-masing dari mereka ada bagian yang ditentukan, jadi dapat disimpulkan bahwa seorang pelaksana wasiat atau testament tidak berkuasa menunjuk seorang pengganti, dengan kata lain si pewaris (pembuat wasiat) tidak boleh memberi kuasa kepada pelaksana wasiat atau pelaksana testament untuk menunjukkan pengganti apabila berhalangan.

Surat wasiat atau testament dalam pelaksana harus dilaksanakan. Pekerjaan atau tugas dari pelaksana wasiat merupakan hal penting yang harus diketahui yang mana apabila ada perselisihan ia berkuasa untuk memajukan kepada hakim guna mempertahankan sahnya wasiat atau testament.

Pekerjaan atau tugas dari pelaksana wasiat haruslah mendapat kuasa dari si pewaris, jika si pewaris warisan tidak memberikan kekuasaan untuk menguasai atau memegang semua atau sebagian dari barang warisan, maka si pelaksana hanya berkuasa untuk memberikan petunjuk untuk memperingati para ahli waris akan kewajiban selaku ahli waris akan hak-haknya terhadap harta warisan.

(32)

Pelaksana wasiat atau testament harus menyegel barang-barang warisan, jika di antara para ahli waris masih ada yang belum dewasa, di bawah curatele dan mereka yang pada saat meninggalkan warisan tidak mempunyai wali atau

curator atau di antara ahli waris tidak ada yang hadir, maksudnya seorang yang

mempunyai masalah dengan pengadilan segala perbuatan perdata setelah putusan pengadilan batal demi hukum tetapi tetap berhak membuat surat wasiat, sedangkan menyegel barang warisan bertujuan untuk mengamankan hak dari ahli waris sampai menunggu dewasanya ahli waris.

Pelaksana wasiat atau testament apabila hendak menghadiri pengurusan harta warisan atau menyelesaikan setelah lampau waktu satu tahun. Pasal 1018 KUH Perdata mengatakan: “apabila si pewaris dalam wasiat atau testament membebaskan si pelaksana wasiat atau testament dari kewajiban untuk mempertanggungjawabkan, maka penetapan dalam wasiat atau testament adalah gagal atau batal”.41

1. Kalau tidak memberi pertanggung jawaban

Pelaksana wasiat atau testament dapat dipecat dengan alasan-alasan yang dipergunakan memecat wali dari seorang yang belum dewasa yaitu :

2. Apabila berkelakuan jelek

3. Apabila mereka menandakan tidak mampu melakukan kewajiban secara baik atau mengabaikan kewajiban-kewajibannya.

4. Apabila jatuh pailit

41

(33)

5. Apabila mereka dan keturunannya atau leluhurnya atau suami, istrinya mempunyai perkara di muka hakim yang di dalamnya terlibat kekayaan dari barang-barang warisan yang diurusnya itu.

6. Apabila mereka dihukum penjara selama dua tahun atau lebih.

Surat wasiat dalam KUH Perdata yang ditentukan oleh undang-undang tersebut pada dasarnya tidak jauh berbeda dengan apa yang dipandang Kompilasi Hukum Islam mengenai hal tersebut.

Pelaksana wasiat dalam KUH Perdata merupakan pandangan yang sangat universal tetapi mengikat masyarakat terhadap undang-undang tersebut, sedangkan peraturan yang ada dalam undang-undang Kompilasi Hukum Islam merupakan penelaah dari AI-Qur'an, hadist dan Sunnah yang merupakan pedoman bagi umat islam dalam menjalani kehidupan guna mendapat pencerahan hidup.

2. Pelaksanaan Surat Wasiat Menurut KHI

Kompilasi Hukum Islam mengenai wasiat diatur dalam ketentuan umum Pasal 171 (huruf F) wasiat adalah pemberian suatu benda dari pewaris kepada orang lain atau lembaga, yang akan berlaku setelah pewaris meninggal dunia.

Menurut ketentuan hukum Islam, bahwa bagi seseorang yang merasa ajalnya telah dekat dan ia meninggalkan harta yang cukup (apalagi banyak) maka diwajibkan kepadanya untuk membuat wasiat baik bagi kedua orang tuanya (demikian juga bagi kerabatnya), terutama sekali apabila ia telah pula dapat memperkirakan bahwa harta mereka (kedua orang tuanya) dan kerabatnya tidak cukup untuk keperluan mereka.

(34)

Menyangkut pelaksanaan wasiat menurut Kompilasi Hukum Islam sering sekali orang yang menerima warisan merasa telah tidak diperlakukan secara adil mengenai pembagian yang tak jarang bahkan sering terjadi silang sengketa mengenai warisan yang termuat dalam surat wasiat.

Kompilasi Hukum Islam Indonesia khususnya dalam ketentuan yang terdapat dalam Buku II Bab V Pasal 194 menyebutkan syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam pelaksanaan wasiat tersebut adalah :42

1. Perwasiatan harus orang yang telah berumur 21 tahun, berakal sehat dan didasarkan kesukarelaannya.

2. Harta benda yang diwasiatkan harus merupakan hak si pewasiat.

3. Peralihan hak terhadap barang/ benda yang diwasiatkan adalah setelah si pewasiat meninggal dunia.

Menyangkut persyaratan yang harus dilakukan atau dipenuhi dalam pelaksanaan perwasiatan antara lain (Pasal 195 KHI) :43

1. Apabila wasiat itu dilakukan secara lisan maupun tertulis hendaklah pelaksanaannya dilakukan dihadapan 2 (dua) orang saksi atau dihadapan notaris.

2. Wasiat hanya dibolehkan maksimal sepertiga dari harta warisan kecuali ada persetujuan semua ahli waris.

3. Wasiat kepada ahli waris hanya berlaku bila disetujui oleh semua ahli waris.

4. Pertanyaan persetujuan pada poin 2 dan 3 dapat dilakukan secara lisan maupun tulisan dihadapan 2 (dua) orang saksi atau dibuat dihadapan notaris.

Persoalan wasiat ini apabila dihubungkan dengan persoalan pembagian harta warisan, maka haruslah terlebih dahulu dikeluarkan apa-apa yang menjadi wasiat dari si pewaris barulah kemudian harta tersebut dibagikan kepada ahli waris.

42

Racmadi Usman. Op. Cit. hal.157-159. 43

(35)

Surat wasiat yang telah dibuat dan dilaksanakan serta setiap orang yang memperoleh hak atas suatu warisan ada baiknya menyelidiki keadaan harta peninggalan, agar dapat mempertimbangkan manfaat bagi mereka untuk menerima warisan itu.

Begitu juga halnya dengan wasiat yang diberikan oleh si pewasiat untuk mengadakan pendaftaran atas harta peninggalannya. Apabila suatu wasiat yang dibuat dan telah dilaksnakan serta pula telah dilakukan pendaftarannya, si penerima wasiat berkewajiban untuk mengatur harta benda tersebut.

Dari semua yang telah dipaparkan di atas tadi dapat diambil kesimpulan bahwa setiap wasiat harus diadakan atau berkewajiban untuk melakukan pendaftaran pada tempat-tempat yang telah ditentukan oleh Undang-undang yang mana dalam hal ini adalah dibuat akta notarisnya.

(36)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

1. Perbedaan pembuatan surat wasiat dalam KUH Perdata dan Kompilasi Hukum Islam yaitu disebutkan dalam KUH Perdata bahwa surat wasiat dapat dinyatakan baik dengan akta tertulis sendiri, yang seluruhnya harus ditulis dan ditanda tangani oleh yang mewariskan atau olografis, baik dengan akta umum, juga akta rahasia atau tertutup. Surat wasiat harus disimpan kepada seorang notaris, dibantu oleh 2 orang saksi atau yang wajib segera membuat sebuah akte penyimpanan yang harus ditanda tangani oleh yang mewariskan. Sedangkan menurut Kompilasi Hukum Islam suatu surat wasiat dapat dinyatakan dalam bentuk lisan di hadapan 2 orang saksi, atau dalam bentuk tertulis di hadapan 2 orang saksi, atau di hadapan notaris. Dan surat wasiat yang bentuknya tertutup dan disimpan pada notaris dapat dibuka olehnya di hadapan ahli waris dan disaksikan oleh 2 orang saksi dengan membuat berita acara pembukaan surat wasiat tersebut.

2. Pelaksanaan surat wasiat menurut KUH Perdata harus berdasarkan apa yang dibuat oleh pewaris artinya pewaris telah membuat masing-masing bagian ahli waris, sehingga seorang pelaksana wasiat tidak berkuasa menunjuk seorang pengganti. Pelaksana wasiat merupakan tugas penting yang harus diketahui yang mana apabila ada perselisihan ia berkuasa untuk memajukan kepada hakim guna mempertahankan sahnya surat wasiat, pelaksana wasiat harus menyegel barang-barang warisan, jika di antara para ahli waris tidak

(37)

ada yang hadir. Sedangkan menurut ketentuan hukum islam bagi seorang yang merasa ajalnya sudah dekat dan ia meninggalkan harta yang cukup maka diwajibkan kepadanya untuk membuat wasiat baik kepada orang tuanya, maupun kerabatnya. Kompilasi Hukum Islam dalam buku II Bab VI Pasal 194 menyatakan bahwa syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam pelaksanaan wasiat yaitu: pewasiat harus berumur 21 tahun, berakal sehat, harta benda yang diwasiatkan harus merupakan hak pewasiat, peralihan hak terhadap barang/benda yang diwasiatkan adalah setelah pewasiat meninggal dunia.

Menyangkut persyaratan yang harus dilakukan atau dipenuhi dalam pelaksanaan perwasiatan antara lain (Pasal 195 KHI) :

a. Apabila wasiat itu dilakukan secara lisan maupun tertulis hendaklah pelaksanaannya dilakukan dihadapan 2 (dua) orang saksi atau dihadapan notaris.

b. Wasiat hanya dibolehkan maksimal sepertiga dari harta warisan kecuali ada persetujuan semua ahli waris.

c. Wasiat kepada ahli waris hanya berlaku bila disetujui oleh semua ahli waris. d. Pertanyaan persetujuan pada poin 2 dan 3 dapat dilakukan secara lisan

maupun tulisan dihadapan 2 (dua) orang saksi atau dibuat dihadapan notaris. Kemudian wasiat yang diberikan oleh pewaris dapat dilakukan pendaftaran atas harta peninggalannya, dan setelah didaftarkan, si penerima wasiat berkewajiban untuk mengatur harta benda tersebut.

(38)

B. Saran

1 Dalam rangka pembentukan hukum nasional, lembaga wasiat di Indonesia, azas maupun pelaksanaannya hendaknya diatur dan didasarkan kepada agama atau kepercayaan yang dianut oleh pembuatnya.

2 Sebaiknya pemerintah bersama-sama dengan DPR membentuk suatu undang-undang khusus yang mengatur tentang wasiat, karena wasiat yang diatur dalam KUH Perdata merupakan warisan jaman kolonial. Jadi sudah sepantasnyalah membentuk undang-undang yang sesuai dengan alam kemerdekaan sekarang.

Referensi

Dokumen terkait

pedoman atau panduan BRI Bogor Dewi Sartika dalam merencanakan suatu startegi yang dapat mengembangkan bisnis ritel di Kota Bogor, maka fokus studi pada karya akhir ini

Gambar 3.16 Grafik Perkembangan Target dan Capaian Tingkat Konsumsi Ikan Tahun 2010 - 2015.. Dinas Kelautan dan Perikanan Kab. Banyuwangi 69 Angka diatas

Berdasarkan grafik index Top Brand untuk kategori pembalut wanita pada gambar di atas Laurier menempati urutan pertama pada tahun 2011. Akan tetapi, keunggulan Laurier dalam

Kesimpulan Dari hasil penelitian ini dapat diketahui bahwa kesulitan skill Dalam pokok bahasan integral pada siswa kelas siswa kelas XII.IPA.1 SMA Negeri 10 Jeneponto, tahun

Subyek Penelitian adalah seseorang atau hal yang akan diperoleh keterangan tentang mereka. 18 Subyek peneliti ini berkaitan dengan sumber- sumber informasi

Display dalam istilah Drumband SMA Negeri 3 Unggulan Kayuagung merupakan Bentuk Penyajian Drumband yang ditampilkan oleh sekelompok orang yang memainkan satu atau

Adapun saran yang dapat disampaikan adalah sebagai berikut : (1) pola pembelajaran ceramah, tanya jawab, pemberian tugas dan diskusi merupakan metode

Berdasarkan hasil pengolahan data, dapat dilihat dari 51 responden, yang terdiri dari 26 responden siswa kelas XI IPS dan 25 responden siswa kelas XI IPA bahwa